• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biologi & Morfologi Kumbang Tanduk (O. rhinoceros)

Hama O. rhinoceros merupakan hama utama tanaman kelapa sawit muda dengan siklus hidup yang panjang yaitu 4-9 bulan. O. rhinoceros memakan pucuk kelapa sawit. Terhambat dan rusaknya titik tumbuh mengakibatkan matinya tanaman sawit, apabila hama ini bertahan di areal perkebunan maka hasil tanaman akan menurun, bahkan pada saat awal produksinya akan tertunda, serangan kumbang tanduk juga dilaporkan terjadi pada tanaman kelapa sawit tua sebagai akibat aplikasi mulsa tandan kosong sawit (TKS). Serangan hama tersebut menyebabkan penurunan produksi dan dapat mengakibatkan kematian kelapa sawit (Chenon &

Pasaribu, 2005).

Kumbang terbang dari tempat persembunyiannya menjelang senja sampai agak malam (sampai dengan jam 21.00), dan jarang dijumpai pada waktu larut malam.

Dari pengalaman diketahui banyak menyerang kelapa sebelum turun hujan (Sudharto et al., 2012).

Kumbang akan meletakkan telur pada sisa-sisa bahan organik yang telah melapuk.

Misalnya batang kelapa sawit yang masih berdiri dan telah melapuk, rumpukan

batang kelapa sawit, batang kelapa sawit yang telah dicacah, serbuk gergaji,

tunggul-tunggul karet serta tumpukan tandan kosong kelapa sawit (Dhileepan,

1988). Batang kelapa sawit yang diracun dan masih berdiri sampai pembusukan

pada sistem underplanting merupakan tempat berkembangbiak yang paling

baikbagi kumbang tanduk. Selama lebih dari 2 tahun masa dekomposisi, batang

yang masih berdiri memberikan perkembangbiakan 39.000 larva perhektar

dibandingkan dengan batang yang telah dicacah dan dibakar (500 larva perhektar)

(Samsudin et al.,1993).

(2)

2.2 Klasifikasi Kumbang Tanduk (O. rhinoceros)

Di Indonesia, kumbang tanduk disebut juga kumbang badak atau kumbang penggerek pucuk kelapa. Nama yang lebih terkenal lagi adalah O. rhinoceros yang di klasifikasikan sebagai berikut:

Kingdom : Animalia Phylum : Arthropoda Class : Insecta Ordo : Coleoptera Family : Scarabaeidae Genus : Oryctes

Species : Oryctes rhinoceros L. (Kalshoven, 1981).

2.3 Siklus Hidup Kumbang Tanduk (O. rhinoceros)

Siklus hidup kumbang tanduk bervariasi tergantung pada habitat dan kondisi

lingkungan. Iklim kering dan sedikit kondisi makanan akan merusak perkembangan

larva, yang dapat bertahan selama 14 bulan dan memberikan ukuran dewasa lebih

kecil (Sudhartoet al., 2012). Bedford (1980) menemukan kisaran luas dalam durasa

larva instar ketiga dibandingkan dengan stadia hidup yang lain yang disebabkan

oleh kondisi iklim dan makanan di habitatnya. Suhu yang sesuai untuk

perkembangan larva adalah 27º C - 29º dengan kelembaban relatif 85 – 95 %

(Bedford, 1980).

(3)

2.3.1 Fase-Fase Perkembangan Kumbang Tanduk (O. rhinoceros) 1) Telur

Telur kumbang tanduk berwarna putih kekuningan dengan diameter 3 – 4 mm (Gambar 2.1). Bentuk telur biasanya oval kemudian mulai membengkak sekitar satu minggu setelah peletakan (Wood, 1968). Telur menetas pada umur 8 – 12 hari (Bedford, 1976). Kumbang tanduk betina dalam satu siklus hidupdapat menghasilkan 30 – 70 butir (Pracaya, 2009).

Gambar 2.1 Telur O. rhinoceros (Sumber : Dokumentasi Pribadi)

2) Larva

Larva O. rhinoceros yang sering disebut gendon atau uret berwarna putih kekuningan, berbentuk silinder, gemuk dan berkerut-kerut, melengkung membentuk setengah lingkaran seperti huruf C dengan panjang 60 – 100 mm atau lebih (Ooi, 1998). Kepala yang keras dilengkapi dengan rahang yang kuat. Penutup kepala maksimum sekitar 10,6 – 11,4 mm. Tengkorak coklat gelap dengan sejumlah lubang disekelilingnya. Panjang spirakel toraks 1,85 – 2,23 mm dan lebar 1,25 – 1,53 mm (Gambar 2.2). Tempat pernafasan memiliki jumlah lubang maksimum 40 – 80 atau lebih yang berbentuk oval disekeliling toraks (Bedford, 1976). Stadia larva O.

rhinoceros terdiri dari 3 instar, instar I berlangsung selama 10 – 21 hari,

(4)

instar II berlangsung selama 12 – 21 hari, instar III berlangsung selama 60 – 165 hari (Sudharto, 1990).

Gambar 2.2 Larva O. rhinoceros (Sumber : Dokumentasi Pribadi)

2) Pupa

Pupa terlihat menyerupai larva, hanya saja lebih kecil daripada instar terakhir dan menjadi berkerut serta aktif bergerak ketika diganggu. Lama stadia pupa berlangsung 8 – 13 hari. Pupa berwana cokelat kekuningan, berukuran sampai 50 mm dengan waktu 17 – 28 hari (Gambar 2.3). Pupa kemudian berubah menjadi imago (Sudharto, 1990).

Gambar 2.3 Pupa O. rhinoceros

(Sumber : Dokumentasi Pribadi)

(5)

3) Imago

Kumbang berwarna cokelat gelap sampai hitam, mengkilap, panjang 35 – 50 mm dan lebar 20 – 23 mm dengan satu tanduk yang menonjol pada bagian kepala (Wood, 1968; Bedford, 1976). Jantan memiliki tanduk yang lebih panjang dari betina (Gambar 2.4). Jantan dapat dibedakan lebih akurat dengan ujung ruas abdomen terakhir dimana betina memiliki rambut (Wood, 1968). Umur betina lebih panjang daripada umur jantan. Imago betina mempunyai lama hidup 274 hari, sedangkan imago jantan memiliki lama hidup 192 hari (Sudharto, 1990).

Gambar 2.4 Kumbang Dewasa (Sumber : Dokumentasi Pribadi)

2.3.2 Kerusakan Gejala & Serangan

Makanan kumbang tanduk dewasa baik jantan maupun betina adalah

tajuk tanaman, dengan menggerek melalui pangkal patiole ke dalam titik

tumbuh. Kegiatan ini menciptakan kumpulan serat yang berada di dalam

lubang gerekan. Serangan yang dihasilkan pada pelepah berbentuk V

terbalik atau karakteristik potongan serrate (Wood, 1968). Gejala ini

disebabkan kumbang menyerang pucuk dan pangkal daun muda yang

belum membuka yang merusak jaringan aktif untuk pertumbuhan

(Sudharto, 1990).

(6)

2.4 Pengendalian Hama Kumbang Tanduk (O. rhinoceros)

Secara umum pengendalian O. rhinoceros selama ini telah dilakukan meliputi : pengutipan larva dan kumbang, mengurangi breeding site hama, aplikasi insektisisida kimiawi, dan penggunaan jamur entomopatogen ( Kallidas & Koncu, 2005). Suatu teknik pengendalian belum tentu cocok untuk kondisi yang lain atau tempat yang lain. Prinsip utaman yang harus digunakan dalam mengendalikan kumbang tanduk adalah tidak boleh menggantungkan pada salah satu teknik pengendalian saja (Sudharto et al., 2012).

A. Penggunaan Feromon Agregat

Pengendalian ini langsung ditujukan pada kumbang O. rhinoceros yang secara langsung merusak tanaman kelapa sawit. Selama ini pengendalian kumbang dengan pengutipan secara manual langsung pada tanaman kela sawit tidak efektif dan efisien yang sangat tergantung pada ketekunan petugas dan topografi kebun. Prestasi kerja petugas sangat rendah, Apalagi untuk daerah-daerah kebun yang tidak baik infrastrukturnya (Sudharto et al., 2012).

Feromon yang digunakan untuk mengendalikan hama ini adalah feromon agregat (ethyl 4-methyloctanoate) (Hallet et al., 1995). Kemampuan feromon ini mampu menarik kumbang jantan maupun betina karena kedua-duanya merupakan hama yang makan kelapa sawit. Feromon produksi PPKS (FEROMONAS) dikemas dalam plastik berpori dengan ukuran 200 mm sehingga di lapangan mampu bertahan selama 2 – 3 bulan (Utomo et al., 2007).

B. Pengendalian Kimiawi

Pengendalian kimiawi masih diperlukan dalam pengendalian hama O.

rhinoceros ini karena tidak semua O. rhinoceros yang ditarik feromon masuk ke

dalam ferotrap. Oleh karena itu penggunaan pestisida untuk 6 tanaman di

sekeliling feromon menjadi wajib dilaksanakan. Dengan demikian, penggunaan

insektisida tidak harus digunakan untuk semua tanaman kelapa sawit. Insektisida

yang banyak digunakan adalah yang berbahan aktif karbosulfan atau

sipermetrin. Insektisida karbosulfan biasanya dengan cara ditabur dengan dosis

(7)

5 – 10 gram per tanaman dengan frekuensi tergantung pada musim. Pada musim kemarau frekuensi aplikasi berkisar 2 – 3 minggu sekali, sedangkan pada musim penghujan dengan frekuensi aplikasi adalah 7 – 10 hari sekali. Aplikasi pada tanaman yang agak tinggi dengan menggunakan alat tambahan berupa galah yang ujungnya ada wadah insektisida. Aplikasi insektisida sipermetrin biasanya berupa penyemprotan (Sudharto et al., 2012).

C. Pengutipan Larva

Teknik pengendalian dengan pengutipan larva sangat diperlukan untuk memutus siklus hidup O. rhinoceros. Teknik ini biasa sangat efektif menurunkan populasi O. rhinoceros pada siklus berikutnya. Pada tanaman TBM, tempat berkembang biak O. rhinoceros adalah rumpukan hasil replanting yang umumnya masih bertahan sampai umur 5 tahunan. Hasil pengutipan larva O. rhinoceros sebaiknya digunakan sebagai bahan perbanyakan jamur Metharizium anisopliae.

Apabila larva-larva ini sudah terinfeksi Metharizium anisopliae sebaiknya diaplikasikan lagi ke lapangan pada tandan kosong kelapa sawit (Sudharto et al,.

2012).

2.5 Bioinsektisida

Bioinsektisida adalah mikroorganisme yang dapat digunakan sebagai agen pengendalian serangga hama. Pemanfaatan bioinsektisida sebagai agen hayati dalam pngendalian hama merupakan salah satu komponen pengendalian hama terpadu (PHT) (Litbang, 2016).Terdapat setidaknya enam kelompok mikroorganisme yang dapat dimanfaatkan sebagai mikro organisme yang dapat dimanfaatkan sebagai bioinsektisida, yaitu cendawan, bakteri, virus, nematoda, protozoa, dan ricketsia (Tanada & Kaya, 1993).

Pertanian berkelanjutan pada abad 21 akan lebih mengedepankan upaya alternatif

pengelolaan serangga hama yang ramah lingkungan dan meminimalkan kontak

antara manusia dengan insektisida kimia. Patogen serangga (entomopatogen) yang

berpeluang untuk mengisi kebutuhan akan alternatif pengendalian hama masih

membutuhkan beberapa perbaikan, termasuk perbaikan potensi, produksi dan

(8)

formulasi, pemahaman yang tepat terhadap kemampuannya berintegrasi dengan sistem/ekosistem, dan kesesuaiannya dengan lingkungan dan komponen PHT lainnya, serta dapat diterima oleh petani atau pengguna. Salah satu entomopatogen yang berpotensi dikembangkan sebagai alternatif pengendalian hama adalah cendawan (Indrayani & Soetopo, 2007).

Lebih dari 700 spesies cendawan entomopatogen dilaporkan telah diisolasi dari berbagai spesies serangga hama, tetapi baru 10 spesies di antaranya yang berhasil dikembangkan untuk pengendalian hama (Hajek et al., 1994). Kisaran sifat-sifat biologinya yang luas mulai dari sebagai parasit sejati hingga parasit patogen yang dapat hidup secara saprofit tanpa inang serangga menyebabkan beberapa spesies cendawan ini sangat patogenik terhadap serangga hama (Indrayani & Soetopo, 2007).

Salah satu cendawan entomopatogen yang sangat potensial dalam pengendalian beberapa spesies serangga hama adalah B. bassiana (Balsamo) Vuillemin.

Cendawan ini dilaporkan sebagai agensi hayati yang sangat efektif mengendalikan sejumlah spesies serangga hama termasuk rayap, kutu putih, dan beberapa jenis kumbang (Gillespie, 1988).

Saat ini produk bioinsektisida berbahan aktif B. bassiana telah tersedia secara

komersial di Indonesia. Meskipun demikian, tampaknya pemanfaatannya di

lapangan khususnya untuk tanaman perkebunan belum optimal. Padahal,

lingkungan mikro tanaman perkebunan sangat ideal bagi perkembangan epizootik

cendawancendawan entomopatogen, termasuk B. bassiana. Keberlangsungan

epizootik cendawan sangat dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban lingkungan, dan

kriteria ini dapat ditemukan pada tanaman-tanaman perkebunan yang banyak

diusahakan di Indonesia. Disamping itu, pemanfaatan cendawan ini dan patogen

serangga secara umum dalam pengendalian hama berpotensi memberi keuntungan

ekologis jangka panjang terhadap keseimbangan hayati maupun keberlanjutan

sistem pertanian (Indrayani & Soetopo, 2007).

(9)

2.6 Jamur Entomopatogen B. bassiana

Cendawan entomopatogen penyebab penyakit pada serangga ini pertama kali ditemukan oleh Agostino bassi di Beauce, Perancis. (Steinhaus, 1975) yang kemudian mengujinya pada ulat sutera (Bombyx mori). Penelitian tersebut bukan saja sebagai penemuan penyakit pertama pada serangga, tetapi juga yang pertama untuk binatang. Sebagai penghormatan kepada Agostino Bassi, cendawan ini kemudian diberi nama Beauveria bassiana (Indrayani & Soetopo, 2007).

Cendawan ini memiliki kisaran inang serangga yang sangat luas, meliputi ordo Lepidoptera, Coleoptera, dan Hemiptera. Selain itu, infeksinya juga sering ditemukan pada serangga-serangga Diptera maupun Hymenoptera (McCoy et al., 1988).

B. bassiana memproduksi toksin yang disebut beauvericin (Kučera &

Samšiňáková, 1968). Beberapa jenis racun yang telah berhasil di isolasi dari B.

bassiana antara lain beauvericine, beauverolide, isorolide, dan zat warna serta asam oksalat (Talanca, 2005).

Kematian serangga biasanya disebabkan oleh kerusakan jaringan secara menyeluruh, dan atau karena toksin yang diproduksi oleh cendawan Cendawan B.

bassiana juga dikenal sebagai penyakit white muscardine karena miselia dan konidia (spora) yang dihasilkan berwarna putih, bentuknya oval, dan tumbuh secara zig zag pada konidiopornya yang menyerang saluran pencernaan Heliothis zea mengakibatkan gangguan nutrisi hingga kematian. Serangga yang terbunuh tubuhnya akan berwarna putih karena ditumbuhi konidia B. bassiana. Jumlah konidia yang dapat dihasilkan oleh satu serangga ditentukan oleh besar kecilnya ukuran serangga tersebut. Setiap serangga terinfeksi B. bassiana akan efektif menjadi sumber infeksi bagi serangga sehat di sekitarnya (Cheung & Grula, 1982).

Seperti cendawan lain, perrtumbuhan B. bassiana juga sangat ditentukan oleh

kelembapan lingkungan. Namun demikian, cendawan ini juga memiliki fase

resisten yang dapat mempertahankan kemampuannya menginfeksi inang pada

(10)

kondisi kering. Keberadaan epizootiknya di alam menyebabkan B.bassiana secara cepat menginfeksi populasi serangga hingga menyebabkan kematian. Selain itu, kemampuan penetrasinya yang tinggi pada tubuh serangga menyebabkan cendawan ini juga dengan mudah menginfeksi serangga hama pengisap, seperti aphid (Aphis sp.) dan kutu putih Bemisia spp. yang tidak mudah terinfeksi oleh bakteri maupun virus (Indrayani & Soetopo, 2007).

2.6.1 Morfologi & Klasifikasi Jamur B. bassiana

Jamur B. bassiana diklasifikasikan sebagai berikut : Phylum : Ascomycota

Class : Ascomycetes

Ordo : Hypocreales

Family : Clavicitiae

Genus : Beauveria (Bals)

Spesies : Beauveria bassiana (Hughes, 1971).

B. bassiana merupakan jamur imperfekti yang membentuk koloni berwarna putih seperti kapas dengan pertumbuhan tidak teratur (Barnett, 1972).

Konidiofor jamur ini memiliki bagian fertil yang bercabang dengan bentuk zig- zag dan di ujungnya terbentuk konidia yang berbentuk bola. Konidia memiliki dinding yang licin, diameter 2-3 mm, dan bersifat hidrofob. Hifa hialin, berbentuk massa yang berwarna putih atau kuning pucat, namun kadang berwarna merah muda atau kemerahan (Steinhaus, 1949) dalam (Indrayan &

Soetopo, 2007).

(11)

2.6.2 Mekanisme Infeksi Jamur B. bassiana

B. bassiana dapat melakukan penetrasi melalui kutikula dan ruas-ruas anggota badan serangga (Ferron, 1981). Mekanisme penetrasinya dimulai dengan pertumbuhan konidia pada epikutikula serangga yang terinfeksi, diikuti pembentukan badan seperti apsesoria (Elzinga, 1978). Penetrasi berlangsung selama 12-24 jam dengan bantuan enzim khitinase, lipase, dan protease yang dikeluarkan hifa. Di dalam epidermis, miselia tumbuh secara radial dari pusat infeksi dan akan mencapai hemokoel dalam 1-2 hari. Selanjutnya miselia akan tumbuh ke seluruh jaringan tubuh, mengadakan penetrasi ke permukaan tubuh, dan membentuk konidia (Robert, 1981). Hifa juga mengandung toksin yang beauverisin, beauverolit, bassinolit, isorolit, zat warna, dan asam oklasik (Steinhaus, 1949). Kematian serangga yang terinfeksi B. bassiana disebabkan adanya toksin dan rusaknya jaringan atau organ secara mekanis. Jaringan atau organ yang dirusak jamur ini antara lain saluran pencernaan, otot, kelemjar sutra, urat saraf, lemak, dan sistem pernafasan (Suntoro, 1991).

Selain secara kontak, B. bassiana juga dapat menginfeksi serangga melalui inokulasi atau kontaminasi pakan. Broome et al. (1976) menyatakan bahwa 37% dari konidia B. bassiana yang dicampurkan ke dalam pakan semut api, Selenopsis richteri, berkecambah di dalam saluran pencernaan inangnya dalam waktu 72 jam, sedangkan hifanya mampu menembus dinding usus antara 60- 72 jam. Di dalam tubuh inangnya cendawan ini dengan cepat memperbanyak diri hingga seluruh jaringan serangga terinfeksi. Serangga yang telah terinfeksi B. bassiana biasanya akan berhenti makan, sehingga menjadi lemah, dan kematiannya bisa lebih cepat. Serangga yang mati tidak selalu disertai gejala pertumbuhan spora. Serangga yang mati tidak selalu disertai gejala pertumbuhan spora. Contohnya, aphid yang terinfeksi B. bassiana hanya mengalami pembengkakan tanpa terjadi perubahan warna. Demikian pula tempayak lalat yang terinfeksi B. bassiana sering ditemukan secara berkelompok pada ujung-ujung rerumputan (Plate, 1976) dalam (Indrayani &

Soetopo, 2007).

(12)

Gambar

Gambar 2.4 Kumbang Dewasa  (Sumber : Dokumentasi Pribadi)

Referensi

Dokumen terkait

Sesuai dengan judul skripsi ini, maka ruang lingkup akan dibatasi pada permasalahan pengolahan data kegiatan belajar mengajar (KMB) pada kurikulum pembelajaran

Perempuan usia dewasa awal memang mengalami ketidakpuasan terhadap tubuh, tetapi mereka masih mampu menerima dirinya karena mereka memiliki cara dengan kamuflase-kamuflase

Dari hasil analisa dan kriteria desain yang dihasilkan, maka kriteria dan konsep permukiman tanggap kebakaran yang sebaiknya dipertimbangkan pada permukiman di Kelayan

keuangan dan akibat dari kebijakan pemerintah Belanda yang melarang terbitnya majalah Pembela Islam. 6 Walaupun majalah Pembela Islam dilarang terbit kembali, namun

Statistik inferensial digunakan untuk membuktikan hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini. Pada tahap ini akan dilakukan uji perbedaan dan pengaruh rata-rata

Organ tersebut berperan penting pada proses absorpsi cairan yang berasal dari  tubulus seminiferus testis, pematangan, penyimpanan dan penyaluran spermatozoa ke  ductus

1) Target Program Keluarga Harapan adalah Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM). 2) Rekuitmen Pendampingan dan Operator. Pendamping kemudian melakukan sosialisasi kepada calon

Basis Data Terpadu untuk Program Perlindungan Sosial yang dikelola oleh Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) adalah sebuah sistemyang dapat digunakan