7 Universitas Indonesia
2.1 Buy Back
2.1.1 Pengertian Buy Back
Weston, Mitchel, dan Mulherin (2004: 484) mendefinisikan buy back saham atau share repurchase sebagai suatu tindakan perusahaan public yang membeli sahamnya sendiri baik melalui proses tender offer, open market atau melakukan negosiasi pembelian kembali dari blockholder.
Selain itu menurut investopedia.com mengatakan bahwa buy back sahma merupaka suatu aksi korporasi yang dilakukan perusahaan untuk membeli sahamnya yang beredar di pasar, sehingga jumlah saham yang beredar akan berkurang. Biasanya tindakan ini mengindikasikan bahwa menurut tim manajemen perusahaan nilai saham perusahaan tersebut undervalued. Karena tindakan buy back ini akan mengurangi jumlah saham yang beredar, maka buy back saham akan meningkatkan earning per share yang diharapkan dapat meningkatan market value dari saham yang tersisa di pasar. Ketika perusahaan melakukan buy back seakan-akan memberikan signal bahwa tidak ada investasi yang lebih baik dari pada perusahaan itu sendiri.
Menurut Wikipedia.com buy back saham dapat mendistribusikan cash kepada pemegang saham yang ada sebagai ganti dari saham yang beredar yang dipegang oleh pemegang saham. Pembelian kembali saham merupakan salah satu cara pemanfaatan sisa profit yang ditahan. Ketika perusahaan membeli kembali sahamnya, hal tersebut akan mengurangi jumlah saham beredar yang dipegang oleh public. Sehingga walaupun profit yang dihasilkan tetap sama, tetapi earning per share akan meningkat. Jadi, buy back saham khususnya ketika harga saham perusahaan undervalue akan memberikan return on investment yang menguntungkan.
2.1.2. Peraturan Buy Back di Indonesia
BAPEPAM-LK mengatur tentang pembelian kembali saham ini Peraturan
Nomor XI.B.2 tentang ketentuan pembelian kembali saham oleh perusahaan yang
mulai berlaku sejak tanggal 14 Agustus 1998. Dimana menurut peraturan tersebut perusahaan dapat membeli kembali saham yang telah dikeluarkan dengan ketentuan:
Dibayar dari laba bersih sepanjang tidak menyebabkan kekayaan bersih perusahaan menjadi lebih kecil dari jumlah modal yang ditempatkan ditambah cadangan yang diwajibkan sesuai dengan ketentuan.
Jumlah nilai nominal seluruh saham yang dimiliki perusahaan bersama dengan yang dimiliki oleh anak perusahaan dan gadai saham yang dipegang, tidak melebihi 10% dari jumlah modal yang ditempatkan.
Hal ini sesuai dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1995.
Menurut Peraturan Nomor XI.B.2 perusahaan yang akan melakukan buy back wajib mengungkapkan rencana pembelian kembali saham kepada seluruh pemegang saham. Rencana pembelian kembali saham wajib memuat informasi sebagai berikut :
Perkiraan jadwal dan biaya pembelian kembali saham tersebut.
Perkiraan menurunnya pendapatan perusahaan sebagai akibat pelaksanaan pembelian kembali saham dan dampak atas biaya pembiayaan perusahaan.
Proforma laba per saham perusahaan setelah rencana pembelian kembali saham dilaksanakan, dengan mempertimbangkan menurunnya pendapatan.
Pembatasan harga saham untuk pembelian kembali saham.
Pembatasan jangka waktu pembelian kembali saham
Metode yang akan digunakan untuk membeli kembali saham.
Pembahasan dan analisi manajemen mengenai pengaruh pembelian kembali saham terhadap kegiatan usaha dan pertumbuhan perusahaan di masa datang.
Rencana perusahaan atas saham yang akan dibeli kembali, apakah akan dijual kembali atau akan mengurangi modal perusahaan.
2.1.3. Reaksi Pasar Terhadap Buy Back
Menurut Chen, Cheng, dan Chen (2003) ada dua hipotesis alternatif yang biasa digunakan untuk menjelaskan reaksi investor terhadap buy back saham ini.
Kedua hipotesis alternatif tersebut adalah hipotesis traditional signaling dan
hipotesis free cash flow. Hipotesis traditional signaling mengatakan bahwa keinginan perusahaan untuk membayar lebih mahal sahamnya dibandingkan dengan harga pasar ketika melakukan buy back menunjukan bahwa perusahaan mengirimkan sinyal kepada investor bahwa prospek perusahaan di masa yang akan datang akan meningkat dan perusahaan dalam keadaan undervalued.
Sedangkan untuk hipotesis free cash flow menurut Jensen (1986) mengatakan bahwa perusahaan yang memiliki excess cash dan kesempatan investasi yang buruk akan menghadapi agency cost yang besar apabila tidak mendistribusikan excess cash yang dimiliki kepada shareholder. Pembelian kembali saham memungkinkan perusahaan untuk mendistribusikan excess cash yang dimiliki, sehingga akan mengurangi kerugian akibat investasi yang gagal dan akan meningkatkan nilai perusahaan.
Lang dan Litzenberger (1989) membahas kedua hipotesis alternatif ini dalam konteks sebagai bentuk alternatif dari corporate payout yang biasa disebut dengan dividen. Mereka menggunakan Tobin Q, yaitu rasio antara nilai pasar dari asset dengan replacement cost dari asset. Tobin Q ini digunakan untuk mengukur kesempatan investasi yang dimiliki oleh perusahaan dimana dengan beberapa asumsi yang ada apabila memiliki nilai Tobin Q kurang dari satu perusahaan akan dikatakan mengalami over-investing. Dengan mengelompokkan sampelnya yang dimilikinya menajadi high-q dan low-q, Lang dan Litzenberger menunjukkan bahwa reaksi pasar terhadap perubahan dividen akan lebih pada perusahaan yang memiliki low-q dibandingkan dengan perusahaan yang memiliki high-q. Mereka berpendapat bahwa bukti yang mereka dapatkan mendukung hipotesis free cash flow. Selain itu kesimpulan mereka juga didukung oleh Perfect (1995), Nobel dan Tarhan (1998) dalam konteks tender offer pembelian kembali saham, serta Vafeas dan Joy (1995) dalam konteks open market pembelian kembali saham. Menurut Isagawa (2000), model free cash flow signaling memperlihatkan dan memprediksi bahwa harga saham akan turun sebelum hari pengumuman buy back dan akan naik kembali sebagai respon dari pengumuman buy back.
McNally (1999) yang menghasilkan beberapa implikasi yang dapat di
prediksi bahwa penilaian ulang pasar seharusnya berhubungan secara positif
dengan proporsi pembelian kembali, volatilitas perusahaan. Implikasi ini
konsisten dengan hasil literatur yang lainnya. Comment dan Jarrel (1991) menguji open market signaling dengan mengestimasi spesifikasi fungsi strategi pasar. Mereka menemukan bahwa proporsi dan kepemilikan manajerial memiliki nilai yang signifikan positif terhadap variabel penjelas untuk periode pengumuman penilaian ulang pasar.
Ikenberry dan Vermalen (1996) menunjukkan model option-signaling menghasilkan implikasi bahwa return pada saat pengumuman akan berkorelasi positif pada proporsi saham yang akan dibeli dan volatilitas saham, dan akan memiliki hubungan negative dengan variabel penjelas dari market model. Raad dan Wu (1995) secara empiris membuktikan efek dari adanya insider trading, proporsi pembelian kembali, dan kepemilikan management terhadap return saham disekitar periode pengumuman. Hasilnya menunjukan bahwa insider trading yang terjadi pada bulan sebelum pengumuman mempunyai efek yang signifikan pada pengumuman. Mereka juga mengindikasikan bahwa kepemilikan manajemen dan proporsi pembelian kembali mempunyai efek positif yang signifikan terhadap return saham. Secara keseluruhan, beberapa penelitian tentang hipotesis signaling ini memperkuat teori angensi yang dibuat oleh Jensen dan Meckling (1976) serta Leland dan Pyle (1977).
2.2 Event Study
2.2.1 Definisi Event Study
Bodie, Kane, dan Marcus (2005: 381) menjelaskan event study merupakan
sebuah teknik penelitian empiris di bidang keuangan yang memungkinkan peneliti
untuk menilai pengaruh kejadian (event) tertentu terhadap harga saham suatu
perusahaan. Menurut Sharpe (2000: 91) event study dapat dilakukan untuk melihat
seberapa cepat harga sekuritas benar-benar bereaksi terhadap informasi yang
diumumkan. Pada dasarnya metode event study timbul berdasarkan konsep
informationally efficient market, dimana dalam pasar yang efisien, harga-harga
sekuritas telah mencerminkan informasi-informasi yang ada dan setiap perubahan
harga yang terjadi pasti merefleksikan adanya informasi baru.
Damodaran (2002: 117-118) menjelaskan bahwa ada lima langkah dalam event study yang terdiri dari :
1. Kejadian yang akan dipelajari harus diidentifikasikan dengan jelas. Begitu juga dengan tanggal kejadian tersebut diumumkan harus ditetapkan dengan jelas. Asumsi yang mendasari adalah bahwa waktu pengumuman kejadian diketahui dengan tingkat kepastian yang wajar. Karena pasar bereaksi terhadap informasi pada saat kejadian, maka event study focus pada tanggal pengumuman kejadian.
2. Data return disekitar tanggal pengumuman untuk setiap perusahaan dicatat dan dikumpulkan.
3. Berdasarkan data return yang ada di sekitar tanggal pengumuman, dihitung abnormal return untuk masing-masing perusahaan sampel. Hal ini dilakukan untuk menyesuaikan dengan performansi dan risiko pasar.
4. Abnormal return kemudian dirata-ratakan terhadap semua perusahaan sampel demikian juga dengan standard error-nya.
5. Kemudian dilakukan estimasi statistik t untuk masing-masing periode.
Tujuan melakukan estimasi statistik adalah untuk menjawab apakah abnormal return disekitar pengumuman tidak sama dengan nol. Jika statistik t signifikan, maka kejadian yang diteliti memberikan dampak pada return saham. Abnormal return yang positif atau negative menentukan apakah dampaknya bersifat positif atau negative.
2.2.2. Asumsi Dasar Event Study 1. Market Efficiency
Menurut Bodie, Kane, dan Marcus (2005: 371) konsep pasar modal
yang efisien didefinisikan sebagai pasar yang harga sahamnya telah
mencerminkan semua informasi yang relevan. Semakin cepat informasi
baru yang tercermin pada harga sahm, semakin efisien pasar modal
tersebut. Sehingga pada pasar modal yang efisien, kemungkinan bagi para
investor untuk memperoleh tingkat keuntungan di atas normal (abnormal
return) sangat kecil atau bahkan tidak mungkin.
Kitchen (1970) menambahkan beberapa syarat yang perlu dipenuhi agar suatu pasar dapat dikatakan efisien:
Tidak ada biaya transaksi
Informasi tersedia secara bebas dan cepat
Investor mempunyai homogeneous expectationdan mereka bersifat risk averse
Ada pembeli dan penjual dalam jumlah yang besar
Tersedia sejumlah sekuritas yang cukup banyak untuk melakukan diversifikasi
Fama (1970) membagi tiga tingkatan dalam efisiensi pasar : a) Weak Form
Dalam weak form ini, harga yang ada mencerminkan semua informasi yang ada pada harga di masa lampau. Data ini sangat mudah didapat dan tersedia secara umum, sehingga investor dengan mudah dapat memprediksi harga di masa datang dengan menggunakan data harga di masa lampau. Sehingga investor tidak dapat memperoleh abnormal return hanya dengan mengandalkan informasi harga di masa lampau.
b) Semi-strong form
Dalam bentuk semi-strong, keadaan dimana harga saham tidak hanya mencerminkan harga di masa lampau tetapi juga mencerminkan informasi yang dipublikasikan. Sehingga investor tidak dapat memperoleh abnormal return dengan hanya memanfaatkan public information. Penelitian dengan metode event study dapat dilakukan pada pasar modal yang setidaknya efisien dalam bentuk setengan kuat, karena seperti telah disebutkan bahwa di dalalm pasar modal yang efisien dalam bentuk ini, harga saham- sahamnya akan merefleksikan informasi yang dipublikasikan.
c) Strong Form
Dalam bentuk strong, harga tidak saja mencerminkan semua
informasi yang dipublikasikan tetapi juga dapat diperoleh dari
analisa fundamental perusahaan dan perekonomian, sehingga
investor tidak akan mampu mempresdikasi harga dan harga akan selalu wajar. Dalam kondisi ini harga-harga yang tercipta merupakan harga yang wajar dan tidak ada investor yang dapat memperoleh abnormal return dengan berbekal pada jenis informasi apapun.
2. Unanticipated Event
Asumsi dasar yang lainnya yang digunakan adalah bahwa kejadian yang akan diteliti pengaruhnya terhadap return saham harus merupakan kejadian yang tidak diduga atau diprediksi sebelumnya dan merupakan satu-satunya informasi yang didapat dari media massa tidak dari sumber informasi lainnya. Jika kejadian itu telah diprediksi sebelumnya atau masyarakat telah memiliki informasi mengenai kejadian tersebut sebelum informasi mengenai kejadian itu diumumkan, maka informasi tersebut telah terefleksikan pada harga saham sekarang. Padahal tujuan dilakukannya event study adalah untuk mengetahui dampak suatu kejadian terhadap return suatu saham dengan mengukur apakah terjadi abnormal return pada saham tersebut.
3. Confounding Effects
Diasumsikan bahwa tidak ada kejadian lain yang dapat
mengacaukan dampak dari event yang sedang diteliti. Efek dari
berbaurnya suatu event dengan event yang lain pada periode yang diteliti
menyebabkan pengukuran reaksi pasar menjadi tidak akurat. Mengisolir
event lain yang mempengaruhi suatu event tertentu memang sulit, namun
perlu ditetapkan asumsi bahwa efek yang mengacaukan telah diisolir untuk
mempermudah pelaksanaan penelitian, yang artinya factor yang
mempengaruhi harga saham perusahaan pada periode penelitian, semata-
mata dipengaruhi oleh event yang sedang diteliti. Semakin panjang event
windoe yang digunakan, maka akan semakin sulit untuk meyakinkan
bahwa tidak ada kejadian lain yang akan mengacaukan dampak dair event
yang diteliti.
2.3 Penelitian Empirik Pengaruh Buy Back Terhadap Return Saham Beberapa penelitian yang telah dilakukan untuk melihat pengaruh pengumuman buy back terhadap return saham menunjukksn hasil yang beragam tergantung dengan tahun dilakukannya buy back saham tersebut. Karena kondisi pasar pada tiap periode akan berbeda sehingga akan menghasilkan return yang berbeda juga. Berikut ini merupakan beberapa hasil penelitian empiris yang pernah dilakukan.
1. Dann (1981) dalam Weston (2004; 498) meneliti 143 sampel di NYSE selama periode 1962 sampai 1976 menghasilkan 17% cumulative abnormal return (CAR) untuk event period 3 hari. Hasil yang sama juga ditunjukkan oleh Vermaelen (1981) dalam Weston (2004; 498) meneliti 131 sampel selama periode 1962 sampai dengan 1977 yang menghasilnya 17% cumulative abnormal return (CAR) untuk event period 3 hari. CAR yang positif pada periode ini disebabkan kaena pada periode tersebut saham sedang berada pada kondisi undervalued.
2. Netter dan Mitchekk (1989) dalam Weston (2004; 498) meneliti 337 sampel di NYSE pada tahun 1987 pada saat keadaan pasar saham sedang jatuh, yang menghasilkan 2% CAR untuk event period 3 hari.
3. Koerniadi (2005) meneliti 57 sampel di NZX pada periode 1995 sampai 2004 yang menghasilkan 2.8% abnormal return pada hari pengumuman.
4. Vithessonthi (2007) meneliti 30 sampel di SET pada periode 2001 sampai 2005 yang hasilnya menunjukkan bahwa abnormal return yang dihasilkan sebesar 3.36% pada hari pengumuman.
5. Seifert dan Stehle (2003) meneliti sebanyak 262 sampael di DAX pada periode 1998 sampai dengan 2003 yang menunjukan bahwa abnormal return yang dihasilkan pada saat hari pengumuman 4.793%.
6. Budiana (2008) meneliti perusahaan publik di Indonesia yang melakukan
tindakan stock repurchase pada periode 2003-2007. Hasil penelitian ini
menunjukan bahwa pasar bereaksi positif atas rencana aksi korporasi stock
repurchase.
Tabel 2.1 Penelitian Empirik Sebelumnya
Peneliti Periode Metodologi Event Date Hasil
Dann (1981) 1962-1976 Market Model Tanggal Pengumuman
17% cumulative abnormal return (CAR) untuk event period 3 hari.
Netter dan Mitchell (1989) 1987 Market Model Tanggal Pengumuman 2% CAR untuk event period 3 hari Koerniadi (2005) 1995-2004 Market Model Tanggal Pengumuman 2.8% abnormal return pada hari pengumuman Vithessonthi (2007) 2001-2005 Market Model Tanggal Pengumuman 3.36% pada hari pengumuman
Seifert dan Stehle (2003) 1998-2003 Market Adjusted Return Tanggal Pengumuman
Abnormal return yang dihasilkan pada saat hari pengumuman 4.793%
Budiana (2008) 2003-2007 Market Model Tanggal Pengumuman
Pasar bereaksi positif atas rencana aksi korporasi stock repurchase .