1
ANALISA YURIDIS TERHADAP KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DALAM PROSES PENCALONAN KEPALA DAERAH DENGAN
STATUS MANTAN TERPIDANA KORUPSI (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 56/PUU- XVII/2019)
Retno Melianti
(Mahasiswa Program S1 Fakultas Hukum Universitas Trisakti) (Email: [email protected])
Tri Sulistyowati
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti) (Email: [email protected])
ABSTRAK
Pemberlakuan aturan bagi mantan terpidana untuk menyalonkan diri dirasa diskriminasi terhadap hak politik bagi mereka yang memiliki status mantan terpidana untuk menyalonkan diri sebagai kepala daerah maka dari itu diajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi. Selain itu masalah untuk mengungkapkan kepada publik dirasa masih menjadi perdebatan antara aturan KPU dengan UU KIP yang melindungi data pribadi. Pokok Permasalahan; (1) Apakah batasan keterbukaan informasi publik yang diwajibkan dalam pencalonan kepala daerah? (2)Apakah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019 dapat menjamin hak politik bagi para mantan terpidana korupsi?dan (3)Apakah penyampaian status mantan terpidana korupsi kepada publik secara terbuka sudah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik? Untuk menjawab permasalahan tersebut dilakukan penelitian secara yuridis normatif yang menggunakan data sekunder sebagai data utamanya dan dianalisis secara kualitatif. Kesimpulan dalam penelitian ini adalah setelah diajukannya Judicial Review menghasilkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019 menyatakan bahwa para mantan terpidana berhak menjadi kepala daerah dengan syarat-syarat tertentu, dan dilihat dari Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2007 Tentang Pencalonan Pemilhan Gubernur Dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati, Dan/Atau Walikota Dan Wakil Walikota mantan terpidana wajib mengumumkan statusnya kepada publik.
Kata kunci: Keterbukaan Informasi Publik, Pencalonan Kepala Daerah, Mantan Terpidana Korupsi
2 A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Setiap warga negara memiliki Hak Asasi Manusia, dimana setiap orang maupun negara wajib menjunjung tinggi hal tersebut, sebagaimana tertuang dalam Pasal 28A-28J Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hal ini menandakan bahwa Indonesia melalui peraturan yang ada tersebut serius untuk menjamin, melindungi, maupun menghormati seluruh hak asasi warga negaranya. Salah satu contoh pembatasan adalah dengan pemberlakuan syarat-syarat tertentu contohnya dalam pencalonan kepala daerah seorang calon harus memenuhi syarat-syarat yang terdapat dalam suatu peraturan contohnya dengan pemberlakuan Pasal 7 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang.
Apakah pembatasan dengan peraturan ini sudah sesuai dengan keadaan politik di Indonesia, karena Pasal tersebut dianggap kurang relevan bagi beberapa pihak, khususnya Indonesia Corruption Watch sebagai pemohon I dan Perkumpulan Untuk Pemilu Dan Demokrasi (Perludem) sebagai pemohon II yang akhirnya mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi atau MK.
Kewenangan Mahkamah Konstitusi diatur dalam Pasal 24C ayat yaitu berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.1 Begitupun Mahkamah Konstitusi berperan sebagai pelindung
1 Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 24C Ayat (1).
3
konstitusi, Mahkamah Konstitusi berhak untuk memberikan penafsiran terhadap sebuah ketentuan Pasal- Pasal dalam suatu undang-undang agar berkesesuaian dengan nilai- nilai konstitusi.
Mahkamah Konstitusi merupakan penafsir tunggal atas konstitusionalitas Pasal-Pasal dalam undang-undang, yang memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Bukan berarti Komisi Pemilihan Umum bisa sembarangan membuka data diri calon kepala daerah tanpa persetujuan yang bersangkutan, karena memang calon kepala daerah memiliki hak untuk tidak membuka data dirinya ke publik ketika pengisian dokumen calon kepala daerah diberikan form yang memperbolehkan mereka untuk tidak mengungkapkan data pribadinya ke publik, karena menyangkut hak konstitusional seseorang sebagai warga negara yang dilindungi undang- undang keterbukaan informasi publik seperti yang tertuang dalam Pasal 17 huruf f Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. maka penulis tertarik untuk membahas dan menuangkannya dalam bentuk skripsi yang berjudul “Analisa Yuridis Terhadap Keterbukaan Informasi Publik Dalam Proses Pencalonan Kepala Daerah Dengan Status Mantan Terpidana Korupsi (Studi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU- XVII/2019)”
2. Pokok Permasalahan
Dalam penelitian ini dikemukakan perumusan masalah adalah sebagai berikut:
a. Apakah batasan Keterbukaan Informasi Publik yang diwajibkan dalam pencalonan kepala daerah?
b. Apakah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019 dapat menjamin hak politik bagi para mantan terpidana korupsi?
c. Apakah penyampaian status mantan terpidana korupsi secara terbuka berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019 sudah Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik?
4 3. Metode Penelitian
a. Tipe penelitian
Berdasarkan tipenya, skripsi ini termasuk kedalam penelitian hukum Yuridis normatif tipe penelitian hukum yuridis normatif yaitu dengan menelaah teori, konsep, asas hukum, serta peraturan perundang- undangan yang berlaku.2
b. Sifat Penelitian
Sifat penelitian yang digunakan yaitu penelitian deskriptif analisis penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran secara sistematis dan terperinci tentang permasalahan yang akan diteliti.
c. Data dan Sumber data
Berdasarkan rumusan masalah dalam penelitian ini akan menggunakan data sekunder sedangkan sumber data yang digunakan melalui bahan pustaka antara lain dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, buku harian, dll.3
Data Sekunder yaitu bahan yang dimaksud diperoleh dari studi kepustakaan terhadap peraturan perundang-undangan, buku. Adapun sumber data sekunder ini yakni:
1) Bahan Hukum Primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat yang terdiri dari norma atau kaidah dasar, peraturan dasar, peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, traktat dan/atau bahan hukum yang berlaku.
2) Bahan Hukum Sekunder, bahan-bahan hukum yang menjelaskan mengenai bahan hukum primer yaitu, rancangan Undang-Undang, hasil penelitian, serta hasil karya dari kalangan hukum dan seterusnya, dan dalam hal ini yang akan menjadi bahan hukum sekunder berupa buku-buku, artikel-artikel, serta literatur lainnya yang berkaitan dengan masalah yang terdapat dalam skripsi ini.
2 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: Universitas Indonesia Press.
2018), hal. 6.
3 Ibid., hal.51.
5
3) Bahan hukum tersier, yaitu merupakan bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif, dan seterusnya.
d. Pengumpulan Data
Pengumpulan data yang dilakukan melalui studi kepustakaan yang dilakukan di beberapa tempat, seperti Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Perpustakaan Universitas Indonesia, Perpustakaan Umum Daerah Jakarta Selatan maupun mengakses data melalui internet.
e. Analisis Data
Data hasil penelitian ini dilakukan dengan analisis data secara kualitatif4 yaitu dengan menganalisis data sekunder,dengan maksud bahwa data kepustakaan dianalisis secara mendalam dan komprehensif oleh penulis, serta data tersebut disusun secara sistematis agar dapat memberikan gambaran yang jelas dan mudah dipahami oleh pembaca.
f. Cara Penarikan Kesimpulan
Pengambilan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan metode Deduktif. Menurut Soerjono Soekanto metode deduktif adalah metode penarikan kesimpulan yang bersifat khusus dari pernyataan-pernyataan yang bersifat umum.5
B. Analisis dan Pembahasan
1. Batasan Keterbukaan Informasi Publik Yang Diwajibkan Dalam Pencalonan Kepala Daerah.
Mengenai batasan keterbukaan informasi dalam proses pencalonan kepala daerah sebenarnya tidak diatur secara spesifik dalam Undang- Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik ini atau UU KIP. Data pribadi termasuk data yang sebenarnya masih
4 Ibid., hal.68.
5 Ibid., hal.5.
6
diperdebatkan apakah demi kepentingan publik harus dibuka untuk menjamin adanya transparansi atau sebaliknya.sehingga apabila ada calon pejabat publik minta dirahasiakan juga tidak salah. Sebenarnya hal tersebut dapat dipublikasikan apabila ingin harus disertai dengan adaya persetujuan dari orang yang bersangkutan. Sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (2) yaitu:
Tidak termasuk informasi yang dikecualikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf g dan huruf h, antara lain apabila:6
a. Pihak yang rahasianya diungkap memberikan persetujuan tertulis;
dan/atau
b. Pengungkapan berkaitan dengan posisi seseorang dalam jabatan- jabatan publik.
Jika dilihat lagi, memang di dalam UU KIP tidak diatur secara khusus mengenai batasan dalam publikasi informasi dari calon kepala daerah itu sendiri, namun apabila dilihat dari Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2007 Tentang Pencalonan Pemilhan Gubernur Dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati, Dan/Atau Walikota Dan Wakil Walikota, diatur syarat-syarat bagi para calon kepala daerah dengan status mantan terpidana wajib terbuka mengemukakan status nya sebagai “mantan terpidana” kepada publik, pembatasan dalam keterbukaan tersebut diatur dengan syarat-syarat sebagai berikut:
Dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g7 yaitu “Bagi Mantan Terpidana yang telah selesai menjalani masa pemidanaannya wajib secara jujur atau terbuka mengemukakan kepada publik.” Mengemukakan kepada publik selanjutnya diatur sebagaimana dalam Pasal 4 ayat (2b) yaitu “Mengemukakan kepada publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f1 dan huruf g dilakukan
6 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik, Pasal 18 Ayat (2).
7Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2007 Tentang Pencalonan Pemilhan Gubernur Dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati, Dan/Atau Walikota Dan Wakil Walikota, Pasal 4 ayat (1) Huruf g.
7
dalam bentuk iklan pengumuman di media massa harian lokal sesuai daerah calon yang bersangkutan mencalonkan diri dan/atau nasional yang terverifikasi pada Dewan Pers yang berisi: 8
a. Latar belakang jati dirinya sebagai terpidana tidak dalam penjara atau Mantan Terpidana;
b. Jenis tindak pidananya; dan
c. Bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang”
Iklan pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2b) dilakukan dengan ketentuan:9
a. Paling sedikit 1 (satu) kali dalam rentang waktu sejak masa pendaftaran sampai dengan sebelum masa perbaikan;
b. Paling kecil berukuran 135 (seratus tiga puluh lima) milimeter kolom x 4 (empat) kolom atau setara dengan 1/8 (satu per delapan) halaman koran yang dimuat di halaman satu, halaman tiga, atau halaman terakhir;
c. Iklan pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2b) huruf a paling kurang memuat:
1) Nama lengkap;
2) Tempat tanggal lahir;
3) Jenis kelamin;
4) Alamat;
5) Pendidikan; dan 6) Pekerjaan.
d. Iklan pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2b) huruf b dan huruf c paling kurang memuat:
1) Jenis tindak pidana;
2) Nomor dan tanggal putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap;
3) Nomor dan tanggal surat keterangan telah selesai menjalani pidana penjara dari kepala lembaga permasyarakatan, atau nomor dan tanggal
8 Ibid., Pasal 4 Ayat (2b).
9 Ibid., Pasal 4 ayat (2c).
8
surat keterangan dari kejaksaan yang menerangkan bahwa terpidana tidak menjalani pidana dalam penjara bagi terpidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f1;
4) Nomor dan tanggal surat keterangan telah selesai menjalani pembebasan bersyarat, cuti bersyarat atau cuti menjelang bebas dari kepala lembaga pemasyarakatan, dalam hal bakal calon mendapat pembebasan bersyarat, cuti bersyarat atau cuti menjelang bebas; dan 5) Nomor dan tanggal surat keterangan yang menyatakan bahwa bakal
calon yang bersangkutan bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang dari Kepolisian.
2. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019 Terhadap Hak Politik Bagi Para Mantan Terpidana Korupsi
Sebagaimana tertuang dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yaitu:
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”. Hak politik yang lebih ditekankan adalah dalam hak untuk memilih maupun dipilih.
Walaupun telah dijamin demikian Hak politik bukanlah hak yang tidak dapat dibatasi, misalnya dengan syarat-syarat tertentu dalam penelitian ini pembatasan tersebut berfokus pada pemberlakuan Pasal 7 ayat (2) huruf g karena dinilai diskriminasi.
Syaratnya tertera pada Pasal 7 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang, yang berbunyi:10
“Tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana
10 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang, Pasal 7 ayat (2).
9
telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.”
Maka dari itu, menurut para pemohon, penting untuk memberlakukan Kembali adanya jeda masa tunggu yang dinilai bisa menjadi jalan tengah, adanya jeda masa tunggu selama 10 tahun merupakan waktu yang ideal.
Bagi narapidana untuk bisa lebih siap Kembali ke masyarakat. Terutama untuk mengemban suatu jabatan publik. Belum lagi tindak pidana korupsi merupakan Serious Crime tanpa adanya pembenahan dari calon kepala daerah ditakutkan korupsi bisa terus menerus terulang.
Maka jelaslah bahwa para calon kepala daerah yang ingin menduduki suatu jabatan publik yang memiliki status sebagai mantan terpidana terutama mantan terpidana korupsi boleh menyalonkan diri kembali karena hak politiknya sudah dijamin yang dituangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019. Tetapi tentu dengan syarat syarat tertentu sebagaimana yang diuraikan dalam pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU- XVII/2019 sebagai berikut:11
“Mahkamah tidak menemukan jalan lain kecuali memberlakukan kembali keempat syarat kumulatif sebagaimana tertuang dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU- VII/2009 dalam pencalonan kepala daerah yang saat ini diatur dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016. Selain karena alasan di atas, langkah demikian juga dipandang penting oleh Mahkamah demi memberikan kepastian hukum serta mengembalikan makna esensial dari pemilihan kepala daerah itu sendiri, yakni menghasilkan orang-orang yang memiliki kualitas dan integritas untuk menjadi pejabat publik dan pada saat yang sama tidak menghilangkan hak politik warga negara dalam berpartisipasi di dalam pemerintahan”
Lalu Pasal 7 ayat (2) huruf g mengalami perubahan sebagaimana dalam amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019 yaitu:
“Menyatakan Pasal 7 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan
11 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU- XVII/2019.
10
Walikota Menjadi UndangUndang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5898) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; sehingga Pasal 7 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang- Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5898) selengkapnya berbunyi:
Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: …
g. (i) tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa; (ii) bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana; dan (iii) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulangulang”
3. Publikasi Status Mantan Terpidana Korupsi Secara Terbuka Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU- XVII/2019 Sudah Sesuai Dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik
Pada akhirnya kepentingan publik tetap menang. Hal ini jelas berada di balik pengaturan oleh Pasal 18 ayat (2) huruf b yang menyatakan bahwa suatu informasi personal terkait dengan posisi seseorang di badan publik harus dibuka. Dalam konteksnya dengan pengujian kepentingan publik, hal
11
ini berarti menimbang berat kepentingan privasi tersebut terhadap kebutuhan untuk memastikan kepercayaan khalayak mengenai integritas pejabat yang telah dipilih dan untuk meminimalisasikan terjadinya tindak pidana korupsi. Hal ini sejalan dengan undang-undang lainnya yang juga melindungi informasi. Perorangan di satu sisi, dan juga mengutamakan kepentingan publik dalam perlindungan ini di sisi lainnya. Selain itu, hal ini pun sejalan dengan standar internasional aturan-aturan di wilayah lain, yang mengizinkan privasi untuk diprioritaskan di bawah kepentingan publik, sebagai contohnya kebebasan dalam berekspresi.
Hal ini diperkuat dengan dikeluarkannya Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Komisis Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2017 Tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur Dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati, Dan/Atau Walikota Dan Wakil Walikota Pasal 91 yaitu12:
1) KPU Provinsi/KIP Aceh dan kabupaten/kota mengumumkan kepada masyarakat mengenai:
a. Daftar Bakal Pasangan Calon;
b. Dokumen pendaftaran;
c. Batas waktu masukan dan tanggapan masyarakat; dan
d. Nama bakal calon yang berstatus sebagai Mantan Terpidana dan terpidana termasuk jenis tindak pidananya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f dan huruf g
1a. Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf d dilakukan untuk mendapat masukan dan tanggapan masyarakat.
2) Batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan batas waktu 1 (satu) Hari sebelum berakhirnya masa penelitian perbaikan.
3) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui laman KPU Provinsi/KIP Aceh dan KPU/KIP Kabupaten/Kota, media cetak, dan/atau media elektronik.
4) Masukan dan tanggapan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1a) dilakukan dengan ketentuan:
a. Dibuat secara tertulis dan dilengkapi dengan identitas yang jelas dan fotokopi Kartu Tanda Penduduk Elektronik; dan
12 Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2007 Tentang Pencalonan Pemilhan Gubernur Dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati, Dan/Atau Walikota Dan Wakil Walikota, Pasal 91
12
b. Disampaikan paling lambat sesuai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2).Yang didukung dengan Adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU- XVII/2019.
Sehingga Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019 ini semakin memberikan kejelasan mengenai kewajiban mengumumkan latar belakang atau jati diri kepada publik mengenai status sebagai mantan terpidana korupsi, bagi para calon kepala daerah yang ingin maju untuk mengikuti pilkada amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU- XVII/2019 hal ini sesuai dengan yang diatur juga di dalam Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik Nomor 14 Tahun 2008 dalam Pasal 18 ayat (2)13 bagi seseorang yang ingin menduduki jabatan publik data diri mereka diperbolehkan dibuka ke publik. Yang mana semakin mempertegas Pasal 14 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yaitu:14
1) Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadinya dan lingkungan sosialnya.
2) Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia
C. Penutup 1. Kesimpulan
a. Keterbukaan Informasi Publik yang diwajibkan dalam pencalonan kepala daerah tidak diatur secara spesifik dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik atau UU KIP. Dalam proses pencalonan kepala daerah didukung oleh KPU sebagai badan publik yang wajib menyiarkan informasi yang akurat, benar dan tidak menyesatkan. Tetapi KPU tetap memiliki wewenang untuk menolak
13 Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik Nomor 14 Tahun 2008 Pasal 18 ayat (2)
14 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Pasal 14
13
memberikan informasi yang termasuk kedalam (informasi yang dikecualikan) sebagaimana diatur dalam Pasal 17 UU KIP.
b. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019 di dalamnya menyatakan bahwa para mantan para mantan terpidana diperbolehkan untuk menyalonkan diri kembali untuk menduduki suatu jabatan di pemerintahan. Namun dengan syarat-syarat yaitu tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa, bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu 5 tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana dan bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.
c. Publikasi status mantan terpidana kepada publik merupakan hal yang wajib untuk dilakukan. Hal ini sudah sesuai dengan peraturan dalam Pasal 18 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik. Asas erga omes tercermin dari ketentuan yang menyatakan bawa putusan Mahkamah Konstitusi langsung dapat dilaksanakan dengan tidak memerlukan lagi keputusan pejabat yang berwenang kecuali peraturan perundang-undangan mengatur lain.
2. Saran
a. Pencalonan kepala daerah, kepala daerah wajib untuk terbuka mengenai jati dirinya, namun hal-hal pribadi yang wajib dibuka ke publik belum
14
diatur secara jelas dalam UU KIP. Karena di satu sisi syarat mutlak bagi calon kepala daerah yang memiliki status mantan terpidana wajib untuk mengemukakan ke publik. Namun di dalam UU KIP hal tersebut dilindungi dalam Pasal 17 UU KIP karena termasuk dalam informasi yang dikecualikan sehingga perlu untuk dilakukan pengujian kembali mengenai "data pribadi" tersebut.
b. Diharapkan setiap lembaga yang mendukung terlaksananya pemilihan kepala daerah untuk benar-benar mengawasi setiap calon terutama yang berstatus mantan terpidana untuk melakukan pengumuman kepada publik bahwa ia adalah mantan terpidana.
15
DAFTAR REFERENSI
BUKU
Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2018.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang
Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2007 Tentang Pencalonan Pemilhan Gubernur Dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati, Dan/Atau Walikota Dan Wakil Walikota
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia PERATURAN-PERATURAN LAINNYA
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019