Skripsi ini berjudul organisasi papua merdeka Tahun 1960-1969 Skripsi ini mengambil tema seputar gerakan Organisasi Papua Merdeka pada masa penjajahan kolonial Belanda sampai dengan era awal Kemerdekaan Indonesia. Tujuan dari skripsi ini adalah untuk mengetahui latar belakang dari berdirinya Organisasi Papua Merdeka, dinamika perkembangan Organisasi Papua Merdeka tahun 1960-1969, dan pengaruh dari Organisasi Papua Merdeka bagi masyarakat di Papua dan pemerintah Indonesia.
Penelitian ini dilakukan dengan kajian pustaka. Oleh karena itu data-data dalam penelitian ini harus di gali melalui literatur dan arsip-arsip yang tersimpan di berbagai Perpustakaan. Adapun Perpustakaan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain Perpustakaan Universitas Sanata Dharma, Perpustakaan Pusat Universitas Gadjah Mada, serta Perpustakaan Daerah Manokwari.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Organisasi Papua Merdeka ternyata tidak lepas dari respon atas kepemimpinan Indonesia yang pada masa itu berada di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno. Pada perkembangannya, Organisasi Papua Merdeka juga tidak dapat berkembang secara efektif menjadi kelompok penekan pemerintah karena pemerintah Indonesia pada masa itu juga memberikan perlawanan secara kuat.
Melalui penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa berdirinya Organisasi Papua Merdeka (OPM) ternyata tidak lepas dari pengaruh kolonialisme Belanda, dimana sebelumnya terdapat beberapa negara lainnya yang berhasil menguasasi wilayah ini, diantaranya Jepang, Jerman dan Inggris. Dalam perkembangannya, kedekatan Belanda dengan Australia yang berhasil membangun kerjasama pada beberapa bidang kemudian menjadi cikap-bakal berdirinya OPM.
The title of this thesis is Organisasi Papua Merdeka (OPM) in 1960-1969. This thesis took the theme about OPM’s movement during the Dutch colonialization until the beginning of Indonesian independence. The aim of this thesis was to understand the background of OPM establishmenr, the development dynamics of OPM in 1960-1969, and the influence of OPM toward the people in Papua and Indonesian goverment.
This research was done through a library reearch. Therefore, the data in this research should be dug through literary works and archives which were stored in some libraries. The libraries which were used by the writer such as Universitas Sanata Dharma’s library, Universitas Gajah Mada central library, and Manokwari’s library.
The result of this research showed that OPM actually was a form of respond toward Indonesian govermental which was led by Soekarno. In its development, OPM was not effectively developed to be the goverment’s opposition because the Indonesian goverment at that time had a strong defense.
Through this research, it could be concluded that the establishment of OPM was influenced by the Dutch colonialism, in which there were some countries that had concquered this region first such as, Japan, Germany, and England. In its development, the close relation between Dutch and Australia succeeded in establishing the cooperation in some fields which later became the cause of OPM establishment.
i
ORGANISASI PAPUA MERDEKA
TAHUN 1960-1969
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Sastra
Program Studi Sejarah
Disusun Oleh: Yuling Malo NIM: 094314006
PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA
iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis benar-benar merupakan karya saya sendiri dan tidak diambil dari karya orang lain, kecuali disebut dalam kutipan, catatan kaki dan daftar puistaka.
Yogyakarta, 9 Januari 2017
Penulis
v Motto
Jalan Cepat Atau Lambat Tujuannya Sama
vi
Halaman Pernyataan Keaslian Karya
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta
Penulis
vii ABSTRAK
Skripsi ini berjudul organisasi papua merdeka Tahun 1960-1969 Skripsi ini mengambil tema seputar gerakan Organisasi Papua Merdeka pada masa penjajahan kolonial Belanda sampai dengan era awal Kemerdekaan Indonesia. Tujuan dari skripsi ini adalah untuk mengetahui latar belakang dari berdirinya Organisasi Papua Merdeka, dinamika perkembangan Organisasi Papua Merdeka tahun 1960-1969, dan pengaruh dari Organisasi Papua Merdeka bagi masyarakat di Papua dan pemerintah Indonesia.
Penelitian ini dilakukan dengan kajian pustaka. Oleh karena itu data-data dalam penelitian ini harus di gali melalui literatur dan arsip-arsip yang tersimpan di berbagai Perpustakaan. Adapun Perpustakaan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain Perpustakaan Universitas Sanata Dharma, Perpustakaan Pusat Universitas Gadjah Mada, serta Perpustakaan Daerah Manokwari.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Organisasi Papua Merdeka ternyata tidak lepas dari respon atas kepemimpinan Indonesia yang pada masa itu berada di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno. Pada perkembangannya, Organisasi Papua Merdeka juga tidak dapat berkembang secara efektif menjadi kelompok penekan pemerintah karena pemerintah Indonesia pada masa itu juga memberikan perlawanan secara kuat.
Melalui penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa berdirinya Organisasi Papua Merdeka (OPM) ternyata tidak lepas dari pengaruh kolonialisme Belanda, dimana sebelumnya terdapat beberapa negara lainnya yang berhasil menguasasi wilayah ini, diantaranya Jepang, Jerman dan Inggris. Dalam perkembangannya, kedekatan Belanda dengan Australia yang berhasil membangun kerjasama pada beberapa bidang kemudian menjadi cikap-bakal berdirinya OPM.
viii ABSTRACT
The title of this thesis is Organisasi Papua Merdeka (OPM) in 1960-1969. This thesis took the theme about OPM’s movement during the Dutch colonialization until the beginning of Indonesian independence. The aim of this thesis was to understand the background of OPM establishmenr, the development dynamics of OPM in 1960-1969, and the influence of OPM toward the people in Papua and Indonesian goverment.
This research was done through a library reearch. Therefore, the data in this research should be dug through literary works and archives which were stored in some libraries. The libraries which were used by the writer such as Universitas Sanata Dharma’s library, Universitas Gajah Mada central library, and Manokwari’s library. The result of this research showed that OPM actually was a form of respond toward Indonesian govermental which was led by Soekarno. In its development, OPM was not effectively developed to be the goverment’s opposition because the Indonesian goverment at that time had a strong defense.
Through this research, it could be concluded that the establishment of OPM was influenced by the Dutch colonialism, in which there were some countries that had concquered this region first such as, Japan, Germany, and England. In its development, the close relation between Dutch and Australia succeeded in establishing the cooperation in some fields which later became the cause of OPM establishment.
ix
KATA PENGANTAR
Dengan rasa syukur kepada Allah Bapa di Surga atas berkat dan penyertaannya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Dalam proses penulisannya, berbagai suka dan duka telah saya alami. Namun kehadiran sosok keluarga, pembimbing, dan sahabat dalam proses penulisan skripsi ini sungguh membantu dan meringankan beban itu.
Semangat saya dalam menulis skripsi suatu ketika pernah pudar. Namun inspirasi dan dorongan dari orang-orang di sekeliling saya membuat saya kembali bersemangat untuk menyelesaikan Skripsi ini. Oleh sebab itu saya ingin menucapkan terima kasih kepada :
1. Allah Bapa di Surga dan Putra-Nya yang tunggal, Yesus Kristus. 2. Orang Tua dan semua Saudara di Pegunungan Bintang, Papua.
3. Bapak Hb. Hery Santosa, M.Hum atas bimbingannya selama menyusun skripsi dan Dr.Lucia Juningsih, M. Hum. Beserta semua dosen di jurusan Ilmu Sejarah Fakutas Sastra univertitas Sanata Dharma yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis.
4. Segenap dosen dan staf Program Studi Sejarah, Universitas Sanata Dharma. Teman-teman Program Studi Sejarah Sanata Dharma angkatan 2009 ; Deaz, Belo, Maksi, Yunda, Yulia, Adul.
1. Anak nongkrong Sejarah ; Britto ganteng, Riko, Deslin, Fauzan, Juan, Deslin, Yasmine, Ndoi, Noven, Wowok, Luis, Agung, Jeray, Penyik, Adit, Lud, Erik, Marni, Desi, Mbak Dyah.
2. Seluruh Pengurus serta anggota KOMAPO Yogyakarta.
Yogyakarta, Penulis
x
DAFTAR ISI
Hal
HALAMAN JUDUL………...………...……... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING...…...……… ……...ii
PENGESAHAN...………...III HALAMAN MOTTO………..………..………....……...IV HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA…..…………...V ABSTRAK………...………...VI
B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah………..3
C. Rumusan Masalah………3
BAB II SEJARAH KOLONIALISASI BELANDA DI PAPUA DAN LATAR BELAKANG BERDIRINYA OPM (ORGANISASI PAPUA MERDEKA)……….…22
A. Sejarah Pemerintahan Belanda Di Irian Jaya ………22
B. Aspek-Aspek Internasional yang Menumbuhkan Benih Separatisme………..34
xi
BAB III PERKEMBANGAN DAN PERJUANGAN ORGANISASI PAPUA MERDEKA (OPM), SERTA PANDANGAN INDONESIA TERHADAP
ORGANISASI PAPUA MERDEKA (OPM)……….41
A. Perkembangan Organisasi Papua Merdeka (OPM) Sejak Runtuhnya Rezim Orde Lama………41
B. Sepak Terjang OPM (Organisasi Papua Merdeka)………44
C. Perjuangan Organisasi Papua Merdeka (OPM) Ditinjau Dari Kepentingan Papua………49
D. Perjuangan Organisasi Papua Merdeka (OPM) Ditinjau Dari Kepentingan Indonesia………..52
BAB IV ORGANISASI PAPUA MERDEKA (OPM), MASYARAKAT PAPUA DAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA (NKRI)………...59
A. Kebijakan Pemerintah Indonesia Terhadap Papua Dalam Bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia………59
B. Dampak Organisasi Papua Merdeka (OPM) Terhadap Masyarakat dan Pemerintah Indonesia………..61
1. Dampak Bagi Masyarakat Papua………...62
2. Dampak Bagi Pemerintah Indonesia………..66
BAB V PENUTUP………..71
A. Kesimpulan………71
B. Saran………..74
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dinamika sosial, politik dan keamanan di Indonesia ternyata tidak bisa
dilepaskan dari konflik. Konflik ini terjadi akibat kesenjangan antara satu wilayah
dengan wilayah lainnya, adanya rasa ketidakadilan dari daerah terhadap
kebijakan-kebijakan pemerintah pusat hingga gesekan sosial pada kelompok akar
rumput (grass root). Sejak awal kemerdekaan, organisasi-organisasi yang mengganggu stabilitas Indonesia sebagai Negara berdaulat banyak bermunculan.
Sebut saja GAM (Gerakan Aceh Merdeka) di Aceh, DI TII di Makassar,
FRETILIN di Timor Timur, dan OPM (Organisasi Papua Merdeka) di Papua.
Pergolakan tersebut tidak bisa dilihat dari satu sudut pandang (NKRI) saja,
mengingat pembentukan NKRI pun didasari dengan upaya perlawanan dari
berbagai daerah dan suku bangsa terhadap Belanda. Oleh karena itu dualitas sudut
pandang harus benar-benar ditegakkan, yaitu perlawanan terhadap Belanda atas
nama nasionalisme di satu sisi, dan perlawanan atas nama daerah dan suku bangsa
di sisi lain; sehingga sejarah dapat ditulis secara objektif.
Papua, dalam konteks ini adalah Papua Barat atau Irian Jaya, merupakan
salah satu wilayah yang mengalami pergolakan yang hingga dewasa ini masih
belum dapat diselesaikan. OPM (1964), jelas dikenal oleh rakyat Indonesia
Batalyon 751 Brawijaya di Manokwari, yang menewaskan 3 prajurit TNI.1
Pandangan negatif dari masyarakat umum terhadap OPM, memunculkan asumsi
bahwa terdapat intervensi dari pemerintahan Soekarno hingga Soeharto yang
terkesan menempatkan OPM pada isu-isu “miring” terkait dengan kemunculannya
di media massa nasional, dan masih dipertahankan sampai era demokrasi sekarang
ini.
Jika ditinjau ke belakang, sejak proklamasi Indonesia (1945), sebetulnya
Pemerintah Belanda telah memisahkan daerah Papua dari Hindia untuk
menyiapkan Papua beserta rakyatnya membentuk pemerintahan sendiri dan lepas
dari Pemerintahan Belanda. Untuk membantu usaha tersebut PBB membentuk
UNTEA (United Nation Temporary Administration) yang memikul tanggung jawab pemerintahan/administratif selama masa transisi. Sampai pada 1 Desember
1961, Pemerintah Belanda menunjuk masyarakat lokal terpilih Papua; 50% dari
New Guinea Raad (legislatif) untuk mengibarkan bendera Bintang Kejora
bersebelahan dengan bendera Belanda, serta lagu kebangsaan Papua pun
diperkenalkan –Proklamasi Papua di Victoria.2 (lihat lampiran 1)
Berseberangan dengan itu, Indonesia mengadakan Perjanjian New York3
(1962) dengan tidak melibatkan masyarakat Papua seorang pun, dan dengan serta
merta mengakuisisi Papua dari Belanda ke Indonesia. Tahun 1964 kaum terpelajar
1
Syamsul Hadi, 2007. Disintegrasi Pasca Ordebaru; Negara, Konflik Lokal dan Dinamika Internasional. Jakarta: Yayasan Obor. hlm. 99.
2
Yulia Sugandi, 2008. Analisis Konflik dan Rekomendasi Kebijakan Mengenai Papua. Makalah. Jakarta: Friedrich Ebert Stiftung. hlm 4.
3
Papua mengusahakan ke PBB agar melakukan free choice, bahwa Papua harus bebas dari Belanda dan Indonesia. Berangkat dari hal tersebut, OPM berkembang
menjadi sebuah organisasi separatis yang lebih teratur. Tata organisasi mulai
dirapikan, memiliki kepengurusan inti, logistik, panglima perang, komandan
sektor militer I-V dan sebagainya.4
Kondisi tersebut jelas merugikan dan mengancam kedaulatan NKRI
sehingga komando-komando militer selalu digalakkan di seluruh distrik yang ada
di Papua. Secara resmi, Komando Pasukan Khusus (Kopasus) memang dihadirkan
untuk mengawasi, memantau dan menekan gerakan OPM yang desas-desusnya
kembali berkembang sejak 1960-an.
Dari deskripsi singkat di atas, maka urgensitas dari penelitian ini adalah
mendeskripsikan secara periodik, terkait perjalanan dan perjuangan OPM dari
1960 sampai dengan 1969.
B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah
Penulisan ini mengidentifikasi permasalahan pada perkembangan OPM
yang ditinjau dari sudut pandang kedua pihak, yaitu; Indonesia sebagai negara dan
Papua sebagai bagian dari Negara Indonesia, kronologis sesuai dengan periode
1960-1969 hingga berbagai dampak yang ditimbulkan. Berangkat dari identifikasi
tersebut, kemudian permasalahan akan dibatasi pada sekumpulan fakta mengenai
hubungan OPM dan pemerintah Indonesia sesuai dengan periode yang telah
ditentukan, yaitu pada tahun 1960-1969.
4
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, identifikasi dan pembatasan masalah di atas,
maka dapat disusun rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa yang melatarbelakangi berdirinya Organisasi Papua Merdeka ?
2. Bagaimana dinamika gerak OPM pada tahun 1960 sampai dengan
tahun 1969 ?
3. Bagaimana pengaruh OPM terhadap masyarakat Papua dan
pemerintah Indonesia ?
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah
mendeskripsikan dinamika Organisasi Papua Merdeka dari tahun 1960 sampai
dengan tahun 1969 yang meliputi latar belakang pendirian OPM, dinamika gerak
hingga dampak yang ditimbulkan.
E. Manfaat Penelitian
Sebagaimana umumnya studi ilmiah, maka penelitian ini juga membawa
manfaat. Adapun manfaat yang penulis maksud mencakup manfaat praktis dan
penelitian ini dilakukan, sedangkan manfaat teoritis acuannya lebih pada
sumbangsih penulis terhadap ilmu pengetahuan.5
1. Manfaat Teoretis
Melalui penulisan ini diharapkan dapat mengembangkan wawasan
dan pengetahuan dalam bidang ilmu sejarah, khususnya mengenai sejarah
Organisasi Papua Merdeka.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Kalangan Akademik
Untuk memberikan masukan, bahan referensi dan bacaan
kepada mahasiswa (khususnya Ilmu Sejarah) terkait penulisan sejarah
OPM dari berbagai sudut pandang baik dari pihak pemerintah
Indonesia ataupun dari pihak OPM.
b. Bagi Kalangan Masyarakat
Memberikan pengetahuan kepada masyarakat luas tentang
OPM, terkait sejarah kemunculannya, ideologi yang diusung,
pengorbanan, dan perjuangannya.
F. Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka adalah penelusuran pustaka atau penelitian terdahulu
yang memiliki relevansi dengan penelitian ini. Tujuannya adalah untuk
memperluas referensi dan membuktikan bahwa penelitian ini memiliki nilai-nilai
5
„kebaruan‟ karena berfokus pada periode tahun 1960-1969, dimana periode ini
belum pernah diambil sebelumnya oleh civitas akademika program studi sejarah
pada Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta sehingga bukan merupakan plagiasi
dari penelitian atau karya orang lain. Berikut ini beberapa penelitian yang pernah
mengkaji Organisasi Papua Merdeka.
Ngatiyem6 dalam skripsinya mengemukakan bahwa stabilitas politik di
Indonesia dengan objek kajiannya adalah Organisasi Papua Merdeka (OPM) 1964
sampai dengan 1998. Hasil penelitian Ngatiyem adalah deskripsi historis tentang:
latar belakang kemunculan OPM adalah pengaruh Pemerintah Belanda pada masa
Residen J. P Eechoud yang ditandai dengan lahirnya kaum elit Papua terdidik
yang bersikap Pro-Papua. Belanda menjanjikan kemerdekaan Papua sekitar tahun
1970, tetapi terhalang perjanjian New York (15 Agustus 1962) sehingga Papua
Barat jatuh ke tangan Indonesia.
Dalam penelitian Ngatiyem dapat diketahui bahwa perjuangan Organisasi
Papua Merdeka adalah usaha untuk menuntut kesetaraan, kemerdekaan, hak asasi
manusia, dan tentu saja keadilan. Perlawanan dilakukan dengan menyerang
pos-pos TNI, pengibaran bendera Bintang Kejora, dan penculikan dan Proklamasi
Papua Barat di Victoria. Organisasi Papua Merdeka terus mencari dukungan
massa, dukungan sesama bangsa dan dukungan internasional. Menanggapi hal
tersebut, Indonesia terus menurunkan TNI untuk melakukan operasi keamanan di
6
Papua Barat. Demikianlah, Indonesia lebih memilih melakukan pendekatan
Militer ketimbang diplomasi, sehingga pergolakan terus berkecamuk.
Dalam penelitian Ngatiyem juga ditegaskan bahwa konflik Papua terjadi
akibat kesenjangan dan ketidakadilan antara pusat dan daerah. Ini kemudian
menimbulkan pergolakan yang sulit untuk diselesaikan. Dengan demikian
perspektif (sudut pandang) penelitian Ngatiyem adalah dari masyarakat dan
entitas sosial-politik di Papua.
Kemudian tulisan berkaitan dengan konflik Papua dan OPM dikemukakan
oleh Djopari7 dalam thesisnya yang mengkaji pemberontakan OPM dari tahun
1964 sampai dengan 1984 melakukan studi pustaka dengan mengumpulkan
data-data dari koran, buku, jurnal, dan media lainnya. Pengkajiannya fokus pada
masalah integrasi politik dan imbasnya terhadap pembangunan. Pemberontakan
OPM dimulai tahun 1965 yang dipimpin Permenas Ferry Awom. Pemberontakan
terus berlangsung secara sporadis sehingga menghambat pembangunan fisik
maupun non-fisik. Dalam konteks ini OPM dipandang sebagai tantangan besar
dalam penciptaan suatu masyarakat politik yang homogen.(Lihat Lampiran 2)
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa OPM lahir di wilayah Papua dari
dua Fraksi Utama pimpinan Terianus Arongger, SE (1964) dan Aser Demotekay
(1963). Kegiatan OPM terbagi menjadi kegiatan politik dan militer. Kegiatan
politik bertujuan untuk menggalang dukungan ke luar negeri, dan kegiatan militer
dilakukan di Irian Jaya. Aksi penggalangan dukungan ke Luar negeri tidak
7
berlangsung mulus karena pro-kontra internal, yakni ada yang orientasi Barat dan
orientasi neo-Marxis/Sosialis. Inilah yang menyebabkan OPM lemah sehingga
mudah dipatahkan TNI.
Kemudian penelitian selanjutnya dikemukakan oleh Sugandi8 dalam
kajiannya tentang konflik dan rekomendasi kebijakan mengenai Papua, berusaha
menunjukkan peran dari setiap para pelaku perubahan sosial di Papua termasuk di
antaranya masyarakat akar rumput, organisasi masyarakat madani, pemerintah
lokal, perempuan, militer dan pemerintah pusat, serta keterlibatan
organisasi-organisasi internasional dengan strategi-strategi intervensi mereka.
Keluhan-keluhan di Papua mulai ditanggapi sejak lahirnya otsus (otonomi
khusus). Dukungan lebih jauh untuk menciptakan konteks positif dalam mencapai
keadilan pemerataan keadilan harus terus dilakukan, yakni perlindungan terhadap
pendudukasli Papua sampai pada tingkat Desa. Strategi intervensi harus
memastikan kesinambungan akibat dari program dan menyentuh kelompok
rentan. Dalam hal ini sudah banyak organisasi internasional yang mendukung
pelaksanaan otsus di Papua. Menurut Sugandi, kerumitan masalah di Papua,
termasuk penyimpangan-penyimpangan tidak dapat dilepaskan dari kerangka
nasional, yakni hubungannya dengan pemerintah Pusat. Kemudian
kelemahan-kelemahan di tingkal lokal termasuk kurangnya sistem penyaluran professional
dalam pemerataan kesejahteraan, tingkat keamanan manusia dari kelompok rentan
di daerah-daerah terpencil juga dipengaruhi oleh konstelasi perdamaian yang
8
ditandai dengan kurangnya modal sosial antara negara dengan aparat
keamanannya dan rakyatnya. Oleh karena itu resolusi konflik sebetulnya berada di
tangan kedua belah pihak, antara Jakarta dan Papua sebagai pelaku utama dalam
mencapai perdamaian.
Berdasarkan tiga penelitian di atas, maka dapat diketahui bahwa upaya
penulisan sejarah OPM dari awal kemunculannya sampai dengan 1969 belum
pernah dilakukan. Oleh karena itu penelitian ini memiliki nilai-nilai kebaruan.
Adapun berbagai penelitian yang akan uraikan di sini, sangat menunjang
penelitian ini, baik dari segi konten sejarah, metodologi, maupun secara teoritis.
Kemudian perbedaan ketiga tesis di atas dengan penelitian ini adalah fokus dari
rezim, dimana penulis memfokuskan penelitian pada periode 1960-1969,
khususnya pada akhir era kepemimpinan Presiden Soekarno.
G. Landasan Teori 1. Teori Konflik
Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling
memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara
dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha
menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak
berdaya. Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu
dalam suatu interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah
menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain
konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu
masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau
dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan
dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.9
Menurut Taquiri dalam bukunya The Conflict of Paradoks konflik merupakan warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan
akibat daripada berbangkitnya keadaan ketidaksetujuan, kontroversi dan
pertentangan di antara dua pihak atau lebih pihak secara berterusan. Sedangkan
menurut Gibson dalam bukunya The Capitalizing of Conflicy : Stratgis and Pratice, menyatakan bahwa hubungan selain dapat menciptakan kerjasama, hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan konflik. Hal ini terjadi jika
masing – masing komponen organisasi memiliki kepentingan atau tujuan sendiri –
sendiri dan tidak bekerja sama satu sama lain.10
Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki
pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan
pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat
menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial,
seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung
pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan
berbeda-beda. Ada yang merasa terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang
9
Budi Khelik Herprasetyo, 2014, Kala Tak Mampu Lagi Berkata, Blitar : Adora Media, hal.9.
10
merasa terhibur. Kemudian penyebab konflik lainnya adalah perbedaan latar
belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda.
Berdasar pada teori konflik di atas maka dapat difahami bahwa munculnya
OPM merupakan pangkal dari kegagalan entitas pro-kemerdekaan Papua dengan
pemerintah Indonesia. Jika dikaitkan dengan proposisi dikemukakan oleh Taquiri
dan Gibson maka konflik OPM terjadi akibat pertentangan kedua belah dan belum
dapat tercapai kesepakatan yang bersifat win-win solutions, serta kegagalan dalam membangun kerjasama dan akomodasi pada bidang sosial, ekonomi ataupun
politik.
2. Ideologi
Secara etimologis, ideologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu ‘idea’ dan ‘logia.’ Idea dapat diartikan sebagai sesuatu yang ada dalam pikiran sebagai hasil
perumusan suatu pemikiran atau rencana. Kemudian kata logia mengandung makna „ilmu pengetahuan atau teori‟ yang berasal dari kata logis atau logos.
Istilah ideologi pertama kali dilontarkan oleh Antoine Destutt de Tracy
(1754-1836), ketika Revolusi Prancis, untuk mendefinisikan sains tentang ide. Dengan
demikian, ideologi adalah pengucapan atau pengutaraan terhadap sesuatu yang
terumuskan dalam pikiran.11 Berdasarkan pandangan tersebut, maka yang
dimaksud dengan ideologi dalam konteks penelitian ini adalah paham, pemikiran,
11
yang melandasi suatu oraganisasi untuk memiliki kesadaran yang orientis
terhadap suatu kesepakatan bersama yang akan dikejar atau diperjuangkan.
Menurut Soerjanto Poespowardojo dalam Nuswantoro12, ada 6 fungsi
ideologi, yaitu sebagai berikut:
a. Struktur kognitif, yakni keseluruhan pengetahuan yang dapat merupakan
landasan untuk memahami dan menafsirkan dunia dan kejadian-kejadian
dalam alam sekitarnya.
b. Prientasi dasar dengan membuka wawasan yang memberikan makna serta
menunjukkan tujuan dalam kehidupan manusia.
c. Norma-norma yang menjadi pedoman dan pegangan bagi seseorang untuk
melangkah dan bertindak.
d. Bekal dan jalan bagi seseorang untuk menemukan identitasnya.
e. Kekuatan yang mampu menyemangati dan mendorong seseorang untuk
menjalankan kegiatan dan mencapai tujuan.
f. Pendidikan bagi seseorang atau masyarakat untuk memahami, menghayati
serta mempolakan tingkah laku sesuai orientasi dan norma-norma yang
terkandung di dalamnya.
Melalui paparan konsep ideologi di atas maka dapat difahami bahwa jika
dikaitkan dengan bentuk dan operasional dari OPM maka ideologi menjadi bagian
penting bagi organisasi tersebut. Ideologi bagi OPM merupakan pemersatu
12
tindakan dan tujuan. Selain itu, ideologi merupakan bagian dari cita-cita dan
tujuan akhir bagi OPM, yaitu kemerdekaan.
Kemudian jika dikaitkan dengan proposisi yang dikemukakan oleh
Soerjanto Poespowardojo dalam Nuswantoro maka faktor ideologi menjadi
penting bagi OPM yaitu berkaitan dengan norma sebagai pedoman bagi para
anggota dan elit OPM dalam bertindak, beroperasi dan berjuang. Selain itu,
melalui konsep ideologi dapat difahami bahwa nantinya OPM dapat menemukan
identitasnya sebagai organisasi perjuangan/pergerakan kemerdekaan bangsa
Papua. Selain itu, ideologi dapat menjadi semangat bagi OPM untuk
memperjuangkan cita-citanya sebagai bangsa/wilayah yang merdeka/otonom.
3. Pergerakan
Pergerakan adalah kebangkitan (untuk perjuangan atau perbaikan). Secara
istilah, pergerakan adalah suatu perjuangan yang dilakukan seseorang atau
sekelompok orang untuk memperbaiki kondisi atau keadaan.13 Berdasarkan
pengertian tersebut, maka kelompok yang mengadakan pergerakan mengetahui
betul kondisi yang dialami tidak sesuai dengan yang seharusnya sehingga harus
diperbaiki, yakni melalui pergerakan. Semakin banyak orang yang merasa tidak
kondusif dengan keadaannya, maka akan semakin besar pergerakan yang akan
dilakukan.
13
Di Indonesia, istilah pergerakan (movement/beweging) telah digunakan sejak berdirinya organisasi Budi Utomo (1908), dan secara aksionis pada 1928
diutarakan sebagai suatu aksi terbuka yang di dalamnya memaknai suatu
semangat perjuangan, yang mewakili suatu ideologi berkebangsaan, perasaan
senasib, dan seperjuangan.14 Indikator pergerakan nasional adalah kemunculan
organisasi-organisasi yang menyatakan diri atau mengusung ideologi „nasionalisme.‟ Dalam konteks ini, istilah nasionalisme mengacu pada perjuangan
untuk lepas dari penjajahan.15
Berdasarkan pemahaman di atas, maka istilah pergerakan di Indonesia
tidak dapat lepas dengan ideologi berkebangsaan dan kemunculan organisasi yang
menyuarakan ideologi selama kurun 1928 sampai dengan 1945, bahkan pada
masa-masa gejolak pemberontakan (1960-an). Dengan demikian, pergerakan
sangat erat hubungannya dengan perubahan sebagai hasil dari pergerakan.
Melalui paparan teori pergerakan di atas maka dapat difahami bahwa
pergerakan merupakan aktifitas dari organisasi yang memiliki persamaan
kepentingan dan ideologi. Pergerakan merupakan tindakan nyata yang dijalankan
oleh individu atau seseorang untuk mencapai kehidupan atau kondisi yang lebih
baik. Jika dikaitkan dengan dinamika gerak OPM maka konspe pergerakan
menjadi sebuah kerangka kerja dan operasionalisasi dari OPM untuk dapat
memperjuangkan kehidupan yang lebih baik bagi masa depan Papua.
14
Soehartono. 1994. Sejarah Pergerakan Nasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hlm. 5.
15
Konsep pergerakan menjadi penting dalam mengakomodasi perjuangan
OPM karena ini tidak semata-mata berkaitan dengan kondisi kekinian (current condition), namun juga berkaitan dengan dinamika sejarah pada masa lalu, ketika wilayah Papua masih berada di bawah kekuasaan kolonialis Belanda. Ketika
kolonialis Belanda berakhir di Papua ternyata entitas-entitas sosial-politik di
Papua tidak sepenuhnya dapat menerima hegemoni pemerintahan Indonesia.
Sebagian diantaranya memilih untuk berjuang melalui pergerakan-pergerakan
yang terangkum dalam OPM untuk memperjuangkan kemerdekaan Papua.
4. Stabilitas
Menurut Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa stabilitas adalah ”menciptakan suatu kestabilan nasional yang dinamis, bukanlah sematamata tugas
pemerintah dan aparatnya, melainkan tugas segenap anggota masyarakat”.16
Stabilitas merupakan ”kemantapan, kestabilan, keamanan politik dan ekonomi
perlu bagi terlaksananya rencana pembangunan dalam suatu negara”. Stabilitas
adalah suatu kondisi dari sebuah sistem yang komponennya cenderung tetap di
dalam, atau kembali pada suatu hubungan yang sudah mantap. Stabilitas sama
dengan tiadanya perubahan yang mendasar atau kacau didalan suatu sistem
politik, atau perubahan yang terjadi pada batas-batas yang telah disepakati atau
ditentukan. Sebuah negara muda yang masyarakatnya bangsanya bersifat
pluralistis dapat bergerak maju, apabila ada tiga faktor penentu, yaitu adanya
16
kepemimpinan nasional yang efektif, adanya angkatan bersenjata yang utuh
dengan loyalitas yang tinggi, serta adanya partai politik yang berpengaruh
dominan.17
Negara yang sedang membangun seperti negara kita memerlukan stabilitas
yang memadai atau stabilitas yang berkelanjutan dan semakin dinamis untuk
mendukung setiap proses penyejahteraan bangsa. Ciri-ciri negara yang sedang
membangun senantiasa memerlukan unsur penopang yang berupa kondisi
stabilitas nasional yang mantap dan dinamis yang dapat menjadi wadah dan
memadai bagi setiap momentum kemajuan.18
Stabilitas nasional harus selalu dipandang dalam hubungan timbal balik
dengan pembangunan nasional. Stabilitas demi pembangunan yakni demi
perubahan, pembangunan untuk mencapai keadaan yang lebih tentram. Stabilitas
dalam bidang politik ditentukan dalam rangka memantapkan stabilitas yang
dinamis serta pelaksanaan mekanisme demokrasi pancasila, perlu makin
memantapkan kehidupan konstitusional, demokrasi dan tegaknya hukum.
Demikian pula perlu dimantapkan pelaksanaan mekanisme kepemimpinan
nasional serta dimantapkan berfungsinya dan saling berhubungan antara
Lembaga-lembaga Tinggi Negara berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 (A
Heuken SJ, 1991: 20-21). Stabilitas politik dalam negeri sangat tergantung pada
derajat partisipasi politik dan pelembagaan politik dan lembaga tersebut adalah
17
Jack C. Plano and Roy Olton dalam Wawan Djuanda (ed), 1989, Kamus Hubungan Internasional, Bandung : Putra A. Bardin, hal.249.
18
legislatif, aksekutif, yudikatif sebagai tempat dalam mengkoordinir berbagai
kepentingan masyarakat pada suatu negara. Secara teoritis, stabilitas politik
banyak ditentukan oleh tiga variabel yang berkaitan satu sama lain, yakni:
perkembangan ekonomi yang memadai, perkembangan pelembagaan baik struktur
maupun struktur politik dan partisipasi politik.19
Stabilitas politik yang sedang berkembang sangat tergantung atas
kekokohan partai politik yang dimiliki. Negara yang sedang berkembang
mencapai derajat stabilitas politik yang tinggi paling tidak memikiki satu partai
politik yang berwibawa (Samuel P. Huntington, 1983:630). Stabilitas tidak dapat
disangsikan, bahwa stabilitas politik akan sangat tergantung pada jenis dan
intensitas tantangan yang dihadapinya. Pembangunan semata-mata hanya
merupakan proses ekonomi dan tertib sosial belaka. Sandaran politis daripada
pandangan sperti ini biasanya berpusat pada konsep stabilitas politik yang
didasarkan pada kemampuan melaksakan perubahan dalam tertib sosial yang
pasti.20
Stabilitas menjadi penting bagi kelangsungan sebuah negara. Jika
dikaitkan dengan stabilitas keamanan secara nasional maka keberadaan OPM
telah menyebabkan dampak serius benturan kepentingan antara Indonesia dan
OPM. Ini tidak semata-mata menjadi obyek reepresifisme dan
19
May Rudy, 2002, Organisasi dan Administrasi Internasional, Jakarta : Refika Adhitama, hal. 120.
20
kebijakan yang cenderung kaku, namun juga bentrokan bersenjata yang
menyebabkan jatuhnya korban jiwa di kedua pihak.
H. Metodologi Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian historis. Menurut Gottshalk21 penelitian ini
merupakan suatu kajian yang tujuannya untuk mengumpulkan, menguji dan
menganalisis data yang diperoleh dari masa lampau kemudian melakukan
rekonstruksi berdasarkan data yang diperoleh sehingga menghasilkan
historiografi. Sjamsudin22 menyatakan bahwa metode penelitian sejarah adalah
seperangkat aturan atau prinsip yang menyimpulkan sumber-sumber sejarah
secara efektif, menilainya secara kritis dan mengajukan sintesa dan hasil-hasil
yang dicapai dalam bentuk tulisan. Sedangkan Nawawi memandang bahwa
penelitian historis adalah prosedur pemecahan masalah dengan menggunakan data
masa lalu atau peninggalan-peninggalan baik untuk memahami kejadian atau
suatu keadaan yang berlangsung pada masa lalu, selanjutnya kerapkali juga
hasilnya dapat digunakan untuk meramalkan atau memprediksi masa depan.23
21
Gottshalk.1975. Mengerti Sejarah. Jakarta: UI Press. hal. 32
22
Syamsuddin, Helius.1996. Metodologi Sejarah. Jakarta: Depdikbud Proyek Pendidikan Tenaga Akademik. hal. 3.
23
Berdasarkan pandangan beberapa ahli di atas, maka penelitian ini
menerapkan metode historis, atau berjenis penelitian historiografi. Oleh karena itu
data yang digunakan adalah data yang telah tersedia (telah ada) yng berupa
peristiwa di masa lalu yang terekan di berbagai media, dan tentu saja berpengaruh
secara simultan dengan masa sekarang, dan masa depan.
Penelitian ini dilakukan dengan kajian pustaka. Oleh karena itu data-data
dalam penelitian ini harus digali melalui literatur dan arsip-arsip yang tersimpan
di berbagai Perpustakaan. Adapun Perpustakaan yang digunakan dalam penelitian
ini antara lain Perpustakaan Universitas Sanata Dharma, Perpustakaan Pusat
Universitas Gadjah Mada, serta Perpustakaan Daerah Manokwari
Jangka waktu yang digunakan dalam penelitian ini direncanakan selama
empat bulan, dari Maret sampai dengan November 2016. Sumber data dalam
penelitian ini adalah literatur, buku, catatan-catatan, arsip, pemberitaan media
massa, dan lain sebagainya. Dalam penelitian ini, data digali dengan studi pustaka,
yakni dengan mengumpulkan berbagai sumber data sejarah menyangkut
Organisasi Papua Merdeka. Penggalian data tersebut dilakukan dengan
penyimakan dan pencatatan kronologis periodesasi mulai dari kemunculan OPM
sampai dengan sekarang.
Adapun pengkajian dalam tulisan ini menggunakan metode penulisan
sejarah, yakni dengan lebih mengutamakan periodesasi waktu dalam
mendeskripsikan perjuangan, perjalanan, dan perkembangan OPM. Setelah data
berhasil dikumpulkan dalam periodesasi waktu yang berkesinambungan, maka
analisis historis, yang mengutamakan ketajaman interpretasi terhadap fakta.
tekniknya adalah dengan melakukan kritik intern, kritik ekstern, dan interpretasi
fakta setelah data-data yang memiliki keterkaitan dengan tema yang sedang
dibahas diperoleh dengan sebelumnya melalui kodifikasi.24 Analisis data
dilakukan dengan mengidentifikasi gaya, tata bahasa, ide yang digunakan penulis,
pendidikan penulis, situasi saat penulisan, dan tujuan penulis dalam
mendeskripsikan peristiwa yang berhubungan dengan OPM dari tahun 1960
sampai dengan 1969.
Adapun langkah-langkah yang akan diterapkan dalam melaksanakan penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Heuristik
Heuristik adalah pencarian sumber tertulis, baik berupa buku, majalah,
Koran, makalah, jurnal, dan lain sebagainya. Pencarian dilakukan di berbagai
perpustakaan yang telah disebutkan dalam Tempat Penelitian.
2. Kritik Sumber
Kritik merupakan kegiatan yang mencakup menyeleksi, meneliti,
mengidentifikasi, menilai, dan membandingkan sumber data.
3. Interpretasi
24
Interpretasi atau penafsiran dalam konteks ini disebut penafsiran sejarah,
yakni dengan menarik generalisasi dari terminologi.25 Dalam penelitian ini
interpretasi dimaksudkan untuk menghubungkan antara fakta yang satu dengan
fakta yang lain demi mencapai objektifitas sejarah.
4. Historiografi
Historiografi adalah proses penulisan sejarah dalam rangka menyampaikan
fakta-fakta sejarah. Adapun fakta-fakta yang telah dikritisasi, diinterpretasi,
selanjutnya dideskripsikan dalam penulisan sejarah yang berjudul Sejarah
Organisasi Papua Merdeka tahun 1960-1969.
I. Sistematika Penulisan
Penelitian ini direncakanan terdiri dari lima bab. Pada bab I dijelaskan
latar belakang masalah, batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
tinjauan pustaka, landasan teori, sampai dengan metode penelitian dan sistematika
penulisan, pada bab II menjelaskan Latar Belakang Berdirinya OPM, pada bab ini
dideskripsikan mengenai hal-hal yang memicu lahirnya OPM, proses
pembentukannya, sampai dengan terbentuknya OPM, kemudian bab III
menjelaskan Dinamika OPM (1961 -1969). Pada bab ini dideskripsikan dua
kepentingan yang bertolak belakang antara OPM dan NKRI. Pendeskripsian tetap
bersifat objektif, yakni berdasarkan fakta atau berbagai sumber baik Lokal Papua,
sumber Internasional, dan Sumber Nasional Indonesia, kemudian pada bab IV
25
menejelaskan dampak OPM bagi masyarakat dan pemerintah Indonesia serta
perkembangan OPM sejak runtuhnya rezim Orde Lama kemudian pada bab V
BAB II
SEJARAH KOLONIALISASI BELANDA DI PAPUA DAN LATAR BELAKANG BERDIRINYA OPM
(ORGANISASI PAPUA MERDEKA)
A. Sejarah Pemerintahan Belanda Di Irian Jaya
Sejarah kolonisasi di Irian Jaya berawal pasca kedatangan bangsa Eropa,
yaitu pada tahun 1660, sebuah perjanjian disepakati antara Tidore dan Ternate di
bawah pengawasan Pemerintah Hindia Timur Belanda yang menyatakan bahwa
semua wilayah Papua berada di wilayah kekuasaan Kesultanan Tidore. Perjanjian
ini menunjukkan bahwa pada awalnya Pemerintah Belanda sebenarnya mengakui
Papua sebagai bagian dari penduduk di kepulauan Nusantara.1
Sebelum Perang Dunia II, Pemerintah Hindia Belanda menempatkan
Papua dan para penduduknya di bawah Provinsi Maluku dengan Ambon sebagai
ibukota pemerintahan. Menyatunya Papua dengan wilayah lain di Nusantara
dipertegas dengan peta Pemerintah Belanda tahun 1931 yang menunjukkan bahwa
wilayah kolonial Belanda membentang dari Sumatera di sebelah barat sampai
Papua di sebelah Timur. Papua juga tidak pernah disebutkan terpisah dari Hindia
Belanda. Fakta ini menunjukkan bahwa berdasarkan sejarah, Papua merupakan
1
John Dademo Waiko, 2007, Short History of Papua Guinea, New York : Oxford Universiry Press, hal.31-32.
bagian dari bangsa-bangsa di kepulauan Nusantara yang akhirnya membentuk
Negara Indonesia.2
Sejarah Irian Jaya tidak bisa dilepaskan dari masa lalu Indonesia. Papua
adalah sebuah pulau yang terletak di sebelah utara Australia dan merupakan
bagian dari wilayah timur Indonesia. Sebagian besar daratan Papua masih berupa
hutan belantara. Papua merupakan pulau terbesar ke-dua di dunia setelah
Greenland. Sekitar 47% wilayah pulau Papua merupakan bagian dari Indonesia,
yaitu yang dikenal sebagai Netherland New Guinea, Irian Barat, West Irian, serta
Irian Jaya, dan akhir-akhir ini dikenal sebagai Papua. Sebagian lainnya dari
wilayah pulau ini adalah wilayah negara Papua New Guinea (Papua Nugini), yaitu
bekas koloni Inggris. Populasi penduduk diantara kedua negara sebetulnya
memiliki kekerabatan etnis, namun kemudian dipisahkan oleh sebuah garis
perbatasan.
Sejak abad ke-18, pulau Pasifik Selatan Irian Jaya telah menjadi korban
ambisi penjajahan dan pernah dikuasai oleh Inggris, Jerman, Belanda dan
Jepang.Separuh bagian Barat Papua tetap berada di bawah pemerintahan Belanda,
bahkan setelah kawasan lain Hindia Belanda berada di dalam kedaulatan Republik
Indonesia setelah kemerdekan tahun 1945. Baru pada tahun 1950-an, pemerintah
Belanda mulai melepaskan kekuasaan atas bagian akhir dari bekas kerajaannya di
Asia Pasifik.
Orang-orang Belanda menjanjikan kemerdekaan kepada rakyat Irian Jaya
melalui proses dekolonisasi menuju kemerdekaan3. Menurut Syamsudin,4 setelah
2
kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, Belanda mempersiapkan
untuk mempertahankan kepentingan dan kontrolnya atas Irian Barat. Ada tiga
kepentingan Belanda di Irian Barat antara lain:
1. Menjadikan Irian Barat sebagai pusat penampungan atau “Tropical Holland” untuk keturunan Eurasia yang tidak dapat kembali ke Holland.
2. Menjadikan Irian Barat sebagai tempat penampungan para wiraswastawan
Belanda yang meninggalkan Indonesia.
3. Menjadikan Irian Barat sebagai basis untuk kemungkinan intervensi
militer Indonesia, apabila republik yang baru berdiri tersebut runtuh.
Upaya Belanda untuk mencegah jatuhnya Irian Jaya kepada Indonesia
diwarnai pula keinginan untuk memberikan hak untuk berpemerintahan sendiri
kepada Irian Jaya dalam tahun 1950-an. Oleh sebab itu Belanda merencanakan
untuk memberikan status pemerintahan sendiri kepada Irian Jaya
selambatlambatnya tahun 1970-an, dan status pemerintahan itu pun tergantung
pada proses kemajuan pemerintahan di Irian Jaya5.
Sejarah cikal-bakalnya masuknya Irian Barat ke Indonesia merupakan
jalan panjang dan rumit. Indonesia bukan saja menggunakan cara-cara diplomasi
untuk mendapatkan Irian Barat, tetapi juga menggunakan cara-cara militer. Pada
3
Irfan Abubakar, Chaider S. Bamualim. 2005. Transisi Politik dan Konflik Kekerasan: Meretas Jalan Perdamaian di Indonesia, Timor-Timur, Filipina dan Papua New Guinea. Jakarta: Pusat Bahasa dan Budaya (PBB) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah hal. 118
4
Syamsudin Haris. 1999. Indonesia di Ambang Perpecahan. Jakarta: Erlangga hal. 98
5
fase pembebasan ini, yaitu tahun 1949-1963, sudah muncul benih-benih
separatisme di Irian Jaya.Benih-benih separatisme ini dipupuk dan dikembangkan
oleh pemerintah kolonial Belanda sejak awal tahun 1950-an. Belanda saat itu
bukan saja mempercepat pembangunan ekonomi dan administrasi di Irian Jaya,
tetapi juga melakukan pembangunan politik.6
Menurut Syamsudin Haris,7 untuk mempercepat pembangunan ekonomi
dan pendidikan di Irian Barat, subsidi Belanda untuk Irian Barat meningkat dari
US$ 4,3 juta pada tahun 1950 menjadi hampir US$ 28 juta pada tahun 1962.
Belanda membangun sekolah administrasi di Abepura, dan memperbolehkan
berdirinya partai politik sebagai bagian dari pembangunan politik di Irian Barat.
Sejak awal tahun 1950 Belanda memfokuskan diri pada pembangunan politik di
Irian Barat sebagai upaya untuk mencegah Indonesia mendapatkan dukungan dari
luar negeri atas persoalan Irian Barat, yaitu dengan cara meningkatkan persepsi
bahwa wilayah Irian Barat dapat merdeka sendiri.
Sejak awal tahun 1960 hingga akhir tahun 1961 terdapat berbagai tahapan
penting tentang status Irian Jaya, masing-masing yaitu :8
a. Pada tanggal 3-9 Maret 1960. Konferensi Belanda – Australia
dilaksanakan di Hollandia (sekarang Jayapura) yang membahas tentang
masa depan Papua, termasuk perencanaan Belanda dalam membangun
6
Saafroedin Bahar. 1996. Integrasi Nasional. Jakarta: Ghalia Indonesia hal. 220
7
Samsyudin. 1995. Pergokan di Perbatasan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama hal. 182-183
8
sisten parwakilan parlementer, serta penggunaan mata uang Belanda di
wilayah Papua.
b. Pada Agustus 1960. Hubungan diplomatik dengan Belanda dihentikan
sepihak oleh Indonesia. Pada bulan itu mulai terbentuk partai-partai
politik di New Guinea Barat, seperti Parna (Partai Nasional) dan Partai
PVP (Partai Rakyat Dekmokratik) yang pro-Belanda dibentuk.
c. Pada Januari 1961. John F. Kennedy menjadi Presiden Amerika Serikat.
Kennedy mengumumkan kepada rakyat Amereka bahwa ia akan
menghentikan bantuan dan intervensi Soviet di Indonesia.
d. Pada Februari 1961. Pemilu dilaksanakan di New Guinea Barat untuk
memilih 16 anggota Dewan New Guinea Barat. Belanda memilih 12
orang untuk mewakili daerah-daerah yang dinilai belum siap
melaksanakan Pemilu secara benar. Di dalam Pemilu itu, orang-orang asli
New Guinea merebut 22 dari 28 kursi.
e. Pada 5 April 1961. Dewan New Guinea diresmikan.
f. Pada September 1961. Sejumlah infiltrator Indonesia ditangkap oleh
tentara Belanda dan orang-orang Papua.
g. Pada 26-27 September 1961. Menteri Luar Negeri Belanda Luns
mengajukan usulan ke Majelis Umum PBB tentang masa depan New
Guinea Barat. Rencana Luns itu berisi diakhirinya kedaulatan Belanda
mengawasi dan melaksanakaan suatu plebisit untuk menentukan status
akhir wilayah ini.
h. Pada 24 November 1961. Majelis Umum PBB mendukung proposal `kompromi’ tentang New Guinea Barat yang mengakui hak-hak
orang-orang asli Papua untuk menentukan nasib sendiri (self-determination), dan menyerukan agar Belanda – Indonesia melakukan perundingan langsung
atas masalah tersebut. Walaupun didukung dengan pilihan 53 menyetujui
dan 41 tidak menyetujui, tetapi hasil pemungutan suara itu tidak mencapai
angka 2/3 mayoritas agar dapat diterima dan disahkan oleh Majelis
Umum. Resolusi lain yang disponsori Indonesia, yang tidak
mencantumkan perihal penentuan nasib sendiri, menerima 41 suara
menyetujui dan 40 suara tidak menyetujui. Sesudah ini, Belanda
mengumumkan bahwa Rencana Luns tidak akan diusulkan kembali dalam
persidangan Majelis Umum PBB yang berikut.
i. Pada 1 Desember 1961. Sesudah dilakukan pemungutan suara oleh
Dewan New Guinea, wilayah ini dinamakan Papua Barat dan memiliki
lagu kebangsaan dan bendera yang dikibarkan bersebelahan dengan
bendera triwarna Belanda. Selain itu, Dewan New Guinea merespon
pemungutan suara yang dilakukan di Majelis Umum PBB beberapa waktu
sebelumnya dengan menghasilkan sejumlah resolusi berturut-turut yang
mendukung Rencana Luns dan mendesak seluruh bangsa di dunia untuk
j. Pada 19 Desember 1961. Sukarno mengumumkan TRIKORA, singkatan
dari Tri Komando Rakyat, dan memerintahkan dilakukannya mobilisasi
umum untuk menghancurkan negara Papua yang disponsori pendiriannya
oleh Belanda; untuk mengibarkan bendera Merah Putih di Irian Barat; dan
untuk bersiap melaksanakan perang merebut Irian Barat.
Beberapa partai politik pada saat itu ada yang pro-Indonesia dan sebagian
lainnya pro-Belanda.Di antara gerakan politik pro-Indonesia adalah gerakan
pemuda Iryan (bukan Irian) yang dianggap disusupi oleh pemimpin nasional
Indonesia di Irian Barat, maka dilarang oleh Belanda pada tahun 1961.Pada bulan
Januari Belanda menyetujui berdirinya delapan partai politik di Irian Barat. Partai
politik itu antara lain
1. Partai Demokrasi Rakyat, ketua: Arnold Runtubuy; sekretaris: Mozes
Rumainum; bendahara: Petrus Moabuay. Partai ini didirikan pada tahun
1957 dan mempunyai tujuan untuk bersatu dengan Papua Niugini dalam
Federasi Melanesia.
2. Partai Nasional, ketua: Herman Wajoi; wakil ketua: Amos Indey;
sekretaris: S. Martin Bela dan Frits M. Kirihio. Partai ini mempunyai
tujuan untuk mempersiapkan orang-orang papua menuju penentuan nasib
sendiri dibawah pengawasan dan petunjuk Belanda.
3. Partai New Guinea Bersatu, ketua: Ludwijk Mandatjan; wakil ketua: H.
F.W. Gosewisch. Partai ini mempunyai tujuan untuk mencapai
kemerdekaan politik sebelum tahun 1975 dalam kaitannya dengan
4. Partai Serikat Pemuda Papua, ketua: Johan Wamaer, anggota terbatas pada
orang-orang Papua dan partai ini mempunyai tujuan untuk mencapai
kemerdekaan dibawah pengawasan PBB.
5. Partai Persatuan Orang New Guinea, ketua: Johan Ariks. Partai ini
mempunyai tujuan untuk merdeka tanpa target tanggal dan anggotanya
terbatas pada orang-orang Papua.
6. Partai Kekuatan Menuju Persatuan atau Kena U Embay, ketua: Ezau Itaar;
wakil ketua: Anas Kereuta; bendahara: Willem Ossoway. Partai ini
mempunyai tujuan menuju kemerdekaan sesudah itu bekerja dalam kaitan
dengan Belanda
7. Partai Rakyat, ketua: Husain Warwey; wakil ketua: Luis Rumaropen;
sekretaris: M. Ongge, dan Z. Abaa.
8. Persatuan Kristen-Islam Raja Ampat, ketua: Muhammed Nur Majalibit;
sekretaris: J. Rajar; penasehat pertama: Abdullah Arfan. Partai ini bekerja
sama dengan Belanda untuk mencapai kemakmuran di New Guinea
Belanda, dan bersandar pada hasil-hasil daerah.
Puncak tuntutan rakyat Papua Barat terjadi sekitar tahun 1960-an. Pada
saat itu banyak tuntutan yang datang kepada pemerintah Belanda sebagai pihak
yang memegang kendali administratif dan politik di Papua Barat, agar Papua
Barat diberi kemerdekaan sebagai negara yang berdaulat.Upaya Belanda terhadap
tuntutan itu adalah Belanda mulai memperkenalkan suatu bentuk demokrasi yang
datang dari atas ke bawah. Bentuk demokrasi itu adalah Belanda membentuk
yang diberi nama Nieuw Guinea Raad atau Dewan Nieuw Guinea. Perencanaan
berdirinya organisasi ini sebenarnya sudah ada sejak tahun 1946 dengan jumlah
21 orang, tetapi tidak bisa terealisir karena kondisi masyarakat Papua yang tidak
memungkinkan untuk diselenggarakan pemilihan umum. Pada bulan Februari
1961 Belanda melangsungkan pemilihan umum baik pemilihan langsung maupun
tidak langsung untuk membentuk sebuah parlemen Nieuw Guinea Raad atau
Dewan Nieuw Guinea. Menurut Van Der Veur, sekitar 54.000 orang Papua
berpartisipasi dalam pemilihan umum dan ketika Dewan Nieuw Guinea
diresmikan pada tanggal 5 April 1961, orang-orang Papua menduduki 22 kursi
dari 28 kursi yang tersedia.9
Dominasi masyarakat Papua terhadap saluran-saluran politik pada masa itu
tertampung dalam Dewan Nieuw Guinea merupakan badan dengan fungsi-fungsi legislatif yang bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran “nasional” Irian dengan
memperkenalkan proses demokrasi. Belanda mendirikan Dewan Nieuw Guinea
dengan harapan dapat menjauhkan perhatian orang-orang Irian terhadap Indonesia
dan sebaliknya mendekatkan orang Irian kepada Papua dan New Guinea yang
pada waktu itu masih dikuasai oleh Australia. Secara garis besar Nieuw Guinea Raad memiliki kekuasaan legislatif bersama dengan pemerintah dan melaksanakan beberapa pengawasan terhadap anggaran belanja.10
9
Samsyudin. 1995. Pergokan di Perbatasan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama hal. 184
10
Dalam memperkuat perjuangan dalam bidang politik, elemen masyarakat
Papua juga menjalankan konsolidasi fisik, dimana pada tahun 1960 telah dibentuk
sebuah batalyon sukarelawan Papua (Papua Vrijwillegers Korps) dan
berkedudukan di Arfai-Manokwari. Maka setelah pembentukan Nieuw Guinea
Raad, pada awal tahun 1962 dilanjutkan dengan pembentukan dewan daerah
(streekraad). Menurut Nazarudin Syamsudin11, upaya Belanda dalam rangka penanaman rasa anti-Indonesia di kalangan masyarakat Irian, yaitu Belanda
menempuh tiga cara yaitu:
1. Mengalihkan orientasi dari Indonesia pada wilayah Pasifik, meskipun
sebelumnya Belanda telah ikut memperkuat orientasi Irian kepada
Nusantara ini.
2. Berusaha mendekatkan Irian kepada Papua dan Nugini yang dikuasai
Australia dengan harapan dapat menggabungkan semuanya dalam suatu
negara.
3. Merencanakan suatu negara Papua
Dewan Nieuw Guinea yang didirikan oleh Belanda sebagai upaya untuk mendirikan negara boneka Papua, dapat dianggap sebagai “boom waktu” yang
sengaja ditinggalkan oleh pemerintah Belanda di Irian Barat. Beberapa tokoh Irian
11
yang pro-Belanda pada saat itu antara lain: Nicolaas Jouwe, P. Torey, Marcus
Kaisiepo, Nicolaas Tangahma, dan Elieser Jan Bonay12.
Di samping itu Belanda juga mendirikan lembaga baru untuk
mempersiapkan orang-orang Irian menghadapi “kemerdekaan”.Selain itu Belanda
juga memberikan pendidikan untuk para calon Pamong Praja, Belanda mendirikan
polisi Papua dan Batalyon Papua.13
Pada tanggal 19 Oktober 1961 Belanda membentuk Komite Nasional yang
beranggotakan 21 orang. Komite Nasional ini bertugas untuk merencanakan
pembentukan sebuah negara Papua yang merdeka, yang dilengkapi 70 putra Papua
Barat yang berpendidikan dan berhasil melahirkan manifesto yang isinya:
menentukan nama negara: Papua Barat; menentukan lagu kebangsaan: Hai
Tanahku Papua; menentukan bendera: Bintang Kejora; menentukan lambang
negara: Burung Mambruk, dengan semboyan One People One Soul dan menentukan bendera Bintang Kejora akan dikibarkan pada tanggal 1
November1961.
Rencana pengibaran bendera Bintang Kejora pada tanggal 1 November
1961 tidak terlaksana karena belum mendapat persetujuan dari pemerintah
Belanda.Selanjutnya pada tanggal 1 Desember 1961 bendera Bintang Kejora
dikibarkan di Holladia dan lagu Hai Tanahku Papua dinyanyikan bersamaan
dengan lagu Wilhelmus. Kegiatan pengibaran dan menyanyikan lagu
12
Saafroedin Bahar. 1996. Integrasi Nasional. Jakarta: Ghalia Indonesia hal. 220
13
kemerdekaan Papua Barat dilakukan terus menerus selama satu minggu sampai
dengan dimulainya pemerintahan United Nations Temporary Execitive Asosiations (UNTEA) pada tanggal 1 Oktober 1962.14
Upaya Belanda untuk menanamkan perasaan anti-Indonesia di kalangan
masyarakat Irian mulai menunjukkan hasilnya, yaitu menjelang akhir kekuasaan
Belanda.Pada tanggal 1 Desember 1962 terjadi demonstrasi anti-Indonesia
dibeberapa tempat. Para demonstran membawa bendera Papua Merdeka dan
menyebarkan pamflet-pamflet. Sebelum demonstrasi terjadi, dibeberapa tempat
telah berlangsung rapat-rapat pendahuluan yang dikoordinasi oleh anggota Dewan
Nieuw Guinea.15
Berdasar pada paparan di atas maka dapat dipahami bahwa pasca
kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 ternyata persoalan tentang status Papua
belum dapat terselesaikan secara mendasar. Banyak pihak Papua menganggap
kehadiran Indonesia akan mengganggu masa depan Papua. Kemudian di pihak
Belanda juga dengan sengaja berupaya menjadikan Papua sebagai wilayah
otonom yang diharapkan dapat merdeka, termasuk dengan mengajak Australia
untuk mewujudkan hal ini.
Kemudian Belanda juga dengan sengaja berupaya menerapkan
platform/landasan agar pengaruhnya di Papua akan terus ada. Hal ini penting
karena Papua dipandang memilik sumber daya alam yang sangat besar dan belum
14
Yakobus F Dumupa. 2006. Berburu Keadilan di Papua. Yogyakarta: Pilar Media hal. 31
15
dapat terkelola secara maksimal. Inilah yang menjadi pertimbangan utama bagi
Belanda untuk terus mengontrol Papua.
Melalui uraian di atas maka dapat dipahami bahwa antropologis
masyarakat Papua ternyata banyak dipengaruhi kebudayaan Austronesia yang
kemudian membedakannya dengan kehidupan sosial di beberapa wilayah
Indonesia lainnya pada umumnya, seperti halnya Sulawesi, Sumatera,
Kalimantan, dan Jawa. Kemudian pendudukan Belanda di wilayah Papua
memberikan pengaruh terhadap kehidupan masyarakat Papua, khususnya pada
kelas menengah (middle class) pada masa itu untuk berupaya memperjuangkan berbagai kepentingan daerahnya.
B. Aspek-Aspek Internasional yang Menumbuhkan Benih Separatisme Pada masa pergolakan politik, contohnya dari pengaruh internasional
adalah adanya upaya Belanda untuk bekerjasama dengan Australia dibidang
administrasi perbatasan, khususnya masalah karantina, kesehatan, kerjasama
tehnik, dan juga pertukaran informasi mengenai perbatasan. Namun perjanjian itu
dibuat pada bulan November 1957 itu tidak membahas masalah politik, karena
Australia sebagai penguasa kolonial di PNG (saat itu bernama The Territory of Papua and New Guinea) takut akan adanya ketegangan dengan Indonesia apabila Indonesia berhasil mendapatkan Irian Barat. Alasan Australia adalah menjaga
keamanan regional dengan Belanda dari pada dengan Indonesia, karena Australia
takut bahwa Indonesia juga akan mengklaim PNG dan akan menyebarkan
Barat dari “Netralis Pasif” ke “Mediasi Aktif” telah mengubah sikap Australia
untuk mendukung Indonesia dalam klaim Irian Barat. Akhirnya Australia juga
menghentikan kerjasama dengan Belanda pada tahun 1961.
Melemahnya dukungan dari sekutu-sekutu Barat telah menyebabkan
Menteri Luar Negeri Belanda, Dr. Joseph Luns mengajukan “Luns Plans” kepada
Majelis Umum PBB. Luns mengusulkan supaya sebuah organisasi atau badan
internasional yang bernaung dibawah PBB, untuk mengambil alih kekuasaan atas
Irian Barat dengan maksud untuk mempersiapkan rakyat Irian Barat untuk
mengadakan penentuan nasib sendiri secepatnya dibawah kondisi yang stabil.
Usulan Luns telah meningkatkan atau membangkitkan aktifitas para tokoh Irian
yang pro-Belanda termasuk: Nicolaas Jouwe, P. Torey, Marcus Kaisiepo,
Nicolaas Tanggahma, dan Elieser Jan Bonay melakukan konsolidasi dan juga telah mempersiapkan “kemerdekaan Papua Barat”16
. Cita-cita menjadi bangsa
(nations state) yang merdeka dan berdaulat penuh itulah yang dihadang oleh perjanjian New York (15 Januari 1962) yang berlangsung tanpa melibatkan
tokoh-tokoh masyarakat dan intelektual Papua. Padahal perjanjian itu menyangkut nasib
dan masa depan bangsa Papua, bukan nasib Indonesia atau Belanda.
Kepergian Belanda dari Irian Jaya pada akhir bulan Desember 1962 yang
diikuti pula beberapa tokoh yang anti-Indonesia termasuk di dalam kelompok ini
adalah mantan anggota Dewan Nieuw Guinea, seperti Marcus Kaisiepo, Nicolaas
Jouwe, Herman Wamsiwor, dan juga Ben Tanggahma, Dick Sarwon, Jufuwai.
Setibanya tokoh anti-Indonesia itu di negeri Belanda, mulailah terdengar adanya
16
gerakan yang bernama Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang bertujuan untuk
memisahkan Irian Jaya dari Indonesia. Dengan pengalaman politik yang diajarkan
oleh pemerintah Belanda telah membangkitkan para elit Irian Jaya didikan
Belanda untuk mendirikan Organisasi Papua Merdeka. Tujuan daripada
mendirikan Organisasi Papua Merdeka adalah untuk membentuk suatu negara
Papua yang merdeka lepas dari Indonesia maupun Belanda.
Berkembangnya benis separatisme di Papua tidak lepas karena pengaruh
dari lingkungan regional dan internasional, khususnya Belanda dan Australia. Jika
dikaitkan dengan proposisi organisasi maka berkembangnya separatisme Papua
berkaitan dengan faktor wawasan, serta kekuatan untuk dapat menyemangati dan
mendorong masyarakat Papua pada masa itu, dimana pihak Belanda saat ini
sedang berkonfrontasi dengan pihak Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden
Soekarno.
C. Terbentuknya Organisasi Papua Merdeka (OPM)
Organisasi Papua Merdeka (OPM) dikendalikan oleh warganegara
Belanda. Warganegara Belanda tersebut menamakan diri sebagai Organisasi
Papua Merdeka (OPM) yang mengandalkan diri untuk membebaskan tanah
Papua dan juga menonjolkan diri sebagai tokoh pejuang Papua Merdeka yang
meminta dan menerima kewarganegaraan Belanda. Sekurang-kurangnya ada 6
tokoh pimpinan OPM sebagai warganegara Belanda. Tokoh tersebut adalah: J.E.
Papare bertempat tinggal di Apedoorn, Herman Wasiwor bertempat tinggal di Den
bertempat tinggal di Hoogeveen, W.J. Aringaneng bertempat tinggal di
Hoogeveen, dan O.A. Dakilwadjir bertempat tinggal di Hoogeveen 17.
Organisasi Papua Merdeka lahir dan tumbuh di Irian Jaya yang pada
awalnya terdiri dari dua faksi. Faksi itu adalah:
1. Organisasi atau faksi yang didirikan oleh Aser Demotekay pada tahun
1963 di Jayapura dan bergerak di bawah tanah. Faksi ini menempuh jalan
kooperasi dengan pemerintah Indonesia, serta mengaitkan perjuangannya
dengan gerakan yang bercirikan spiritual yaitu campuran antar agama adat
atau gerakan dan agama Kristen. Perjuangan Aser Demotekay untuk
mencapai kemerdekaan Papua Barat atau Irian Jaya dengan bekerjasama
dengan pemerintah Indonesia, dan meminta pemerintah Indonesia untuk
menyerahkan kemerdekaan kepada Irian Jaya sesuai dengan janji Al Kitab,
janji leluhur dan janji tanah ini bahwa bangsa terakhir yang terbentuk dan
menuju akhir zaman adalah Papua Barat. Secara organisasi, kegiatan
Organisasi Papua Merdeka pimpinan Aser Demotekay merupakan
kegiatan pemujaan versi baru dan sangat tergantung pada Aser Demotekay
karena ia merupakan tokoh pembtnuk faksi perjuangan pertama yang
berupaya melawan pemerintah Indonesia tanpa melalui kekerasan dan
upaya ini banyak meraih simpati dari kalangan masyarakat Papua, serta
berbagai masyarakat di wilayah Indonesia Timur.
17“OPM Ternyata di Kendalikan Oleh Warga Negara Belanda”. 1969. April.