I.1. Latar Belakang
Industri telah lama menempatkan anak sebagai target pasar berbagai
produk seperti makanan, pakaian, peralatan dan perlengkapan anak, sepatu, obat,
mainan dan lain sebagainya. Dengan populasi anak berusia 0 hingga 14 tahun
sebesar 28,9 % dari proyeksi total penduduk tahun 2015 mencapai 255 juta jiwa,
Indonesia merupakan pasar mainan yang cukup besar dan potensial (BSN 2013).
Berdasarkan data dari www.trademap.org pada tahun 2013 Indonesia mengimpor
mainan anak dengan nilai mencapai US$ 75,3 juta setara dengan Rp 753 milyar
(asumsi 1 US$ = Rp 10.000,-). China menyumbang 65 % dari total impor mainan
dari seluruh dunia. Trend impor mainan terus mengalami peningkatan dari tahun
ke tahun, seperti terlihat pada Gambar 1.1
Gambar 1.1 Grafik Impor Mainan (HS 9503) (ITC, 2015) 42.614 66.229 75.289 106.157 114.213 116.563 - 50.000 100.000 150.000 200.000 250.000
Tahun 2011 Tahun 2012 Tahun 2013
N ila i d alam r ib u an US $
Impor dari Dunia Impor dari China
Mainan identik dengan dunia anak. Setiap anak memiliki benda untuk
digunakan sebagai alat bermain, baik itu alat permainan buatan sendiri atau buatan
industri mainan. Berbagai jenis mainan produksi industri yang dimainkan oleh
anak-anak seperti boneka, robot-robotan, puzzle, bola, pistol-pistolan, ayunan,
seluncuran, dan lain sebagainya. Kesemua mainan tersebut memiliki potensi
mencelakai anak pada saat dimainkan. Oleh karena itu perlunya dilakukan
standardisasi mainan anak agar mengurangi potensi terjadinya kecelakaan dan
meningkatkan keamanan dalam bermain.
Berbagai penelitian dilakukan terhadap produk-produk mainan yang
berbahan plastik elastis diantaranya adalah Al-Natsheh et al. (2015) meneliti
tentang migrasi phthalate pada mainan anak berbahan polymer plastik, Ionas et
al., (2014) meneliti bahan kimia organik berbahaya pada mainan anak. Penelitian
dilakukan karena diduga di dalam mainan berbahan plastik mengandung zat-zat
yang berbahaya yaitu phthalate. Phthalate adalah zat yang digunakan untuk
membuat plastik keras yang fleksibel dan lebih tahan lama, zat ini telah dilarang
oleh AS dan Uni Eropa dalam mainan anak-anak pada konsentrasi lebih besar dari
0,1 persen. Penelitian telah dilakukan Consumer Council yang menemukan
phthalate pada konsentrasi hingga 300 kali standar di Amerika Serikat dan Uni Eropa. Dua puluh tujuh sampel mainan yang diuji, 16 mengandung phthalate dan
4 diantaranya memiliki konsentrasi 28-38 persen (Kao, 2013).
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) juga telah melakukan
penelitian terhadap 21 sampel mainan lokal dan impor. Hasilnya menunjukkan
unsur zat kimia, diantaranya Timbal (Pb), Merkuri (Hg), Krom (Cr) dan Cadmium
(Cd) (BSN,2013).
Ketika anak bermain dengan memainkan benda, terdapat 10 bahaya yang
dapat dialami oleh anak, yaitu: 1) bahaya tersedak, 2) bahaya pendengaran, 3)
bahaya penglihatan, 4) bahaya terjerat, 5) bahaya tergores, 6) bahaya terjatuh, 7)
bahaya terjepit, 8) bahaya tersetrum, 9) bahaya zat kimia, dan 10) bahaya terbakar
(Haryono dan Safitri, 2011).
Untuk melindungi keselamatan anak-anak dalam memainkan aneka
permainan, Indonesia telah menerapkan 4 Standar Nasional Indonesia (SNI)
khusus tentang mainan anak yaitu SNI 12-6527.1 untuk spesifikasi sifat fisis dan
mekanis, SNI 6527.2-2001 untuk spesifikasi sifat mudah terbakar, SNI
12-6527.3-2001 untuk spesifikasi peralatan percobaan kimia dan aktivitas terkait
(Herjanto dan Rahmi, 2010). Pada tahun 2005 dilakukan perumusan revisi SNI
dengan memperhatikan perubahan yang terjadi pada ASTM F-963 1998, BS-EN
71:2001 dan menambahkan ISO 8124:2000 sebagai acuan. Pada tahun 2010 SNI
Mainan kembali dilakukan revisi dan Panitia Teknis telah menyusun RSNI baru
dengan mengadopsi identik ISO 8124.
Membanjirnya produk-produk mainan impor khususnya yang berasal dari
China, telah mendominasi pasar tanah air dan telah meminggirkan keberadaan
produk mainan yang dibuat oleh produsen lokal. Ini terkait dengan pemberlakuan
China ASEAN Free Trade Area (CAFTA). Maka Gerakan Nasional Penerapan Standar Nasional Indonesia (GeNap SNI), yang dicanangkan oleh Wakil Presiden
pada tanggal 9 November 2010 mempertimbangkan sektor mainan anak sebagai
salah satu sektor dari 11 sektor prioritas yaitu 1) baja, 2) makanan dan minuman,
3) aluminium, 4) tekstil dan produk tekstil, 5) elektronika, 6) alas kaki, 7)
petrokimia, 8) plastik, 9) mesin dan perkakas, 10) mainan anak, dan 11) pertanian.
Pemberlakuan wajib SNI Mainan oleh Pemerintah melalui Kementerian
Perindustrian menerbitkan Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) No.
24/M-IND/PER/4/2013 tentang pemberlakuan SNI Mainan yang secara wajib
mulai diberlakukan pada 10 Oktober 2013, namun berselang 6 bulan, pemerintah
menerbitkan perubahan terhadap Permenperin No 24 Tahun 2013 tersebut dengan
menerbitkan Permenperin No. 55/M-IND/11/2013. Permenperin No 55 Tahun
2013 ini memundurkan waktu pemberlakuan wajib SNI Mainan menjadi 30 April
2014.
Adapun SNI yang diberlakukan wajib dalam Permenperin tersebut
meliputi
1. SNI ISO 8124-1:2010 Keamanan Mainan – Bagian 1 : Aspek keamanan
yang berhubungan sifat fisis dan mekanis,
2. SNI ISO 8124-1:2010 Keamanan Mainan – Bagian 2 : Sifat mudah
terbakar,
3. SNI ISO 8124-3:2010 Keamanan Mainan – Bagian 3 : Migrasi unsur
4. SNI 8124-4:2010 Keamanan Mainan – Bagian 4 : Ayunan, seluncuran
dan mainan aktivitas sejenis untuk pemakaian di dalam dan di luar
lingkungan tempat tinggal,
5. SNI IEC 62115:2011 Mainan elektrik – Keamanan.
6. Sebagian parameter dari BS-EN 71:5 Persyaratan kandungan phthalate
kurang dari 0,1 %,
7. Parameter Non Azo pada SNI 7612:2010
8. Kandungan formaldehida maksimum 20 ppm pada SNI 7612:2010
Sejak pemberlakuan wajib SNI Mainan, produk mainan baik dari
produsen dalam negeri maupun produk impor, diwajibkan memenuhi peryaratan
mutu yang ada pada SNI Mainan. Sementara itu industri mainan yang tergabung
dalam Asosiasi Pengusaha Mainan Indonesia (APMI) dan Asosiasi Penggiat
Mainan Edukatif dan Tradisional Indonesia (APMETI) yang pada dasarnya adalah
industri menengah dan besar menyatakan tidak mengalami kendala yang berarti
terhadap pemberlakuan SNI ini, namun berbeda halnya dengan industri kecil,
masih membutuhkan pembinaan (Herjanto dan Rahmi, 2010). Seiring dengan apa
yang diungkapkan oleh Herjanto dan Rahmi, penelitian ini melakukan kajian
kesiapan industri kecil dan menengah mainan yang berada di DIY terkait dengan
penerapan SNI Mainan.
1.1.1 Peluang dan Tantangan Pasar Global Mainan
Keamanan produk mainan anak telah menjadi persyaratan pasar di Eropa,
atau disingkat BS-EN 71. Pada saat ini terdapat 11 Standar BS-EN 71 bagian 1
sampai dengan 11 yang berlaku di negara Austria, Belgia, Bulgaria, Cyprus,
Republik Ceko, Denmark, Estonia, Finlandia, Perancis, Jerman, Yunani,
Hungaria, Iceland, Irlandia, Italia, Latvia, Lithuania, Luxemburg, Malta, Belanda,
Norwegia, Polandia, Portugal, Romania, Slovakia, Slovenia, Spanyol, Swedia,
Swiss dan Inggris. Untuk memperluas penerapan standar tersebut secara
internasional, maka ISO Technical Committees 181, Safety of toys telah
mengadopsi seri standar BS-EN 71 bagian 1, 2, 3 dan 8 menjadi seri standar ISO
8124 bagian 1 sampai dengan 4 (BSN, 2011).
Menurut data yang dikeluarkan oleh International Council of Toy
Industries (ICTI) hingga bulan Juni 2011 negara-negara yang mensyaratkan standar mainan anak adalah Argentina, Australia, Brazil, Canada, Taiwan, Uni
Eropa, Hongkong, Jamaica, Japan, Malaysia, Mexico, Selandia Baru, Arab Saudi,
Singapura, Afrika Selatan, Thailand dan Amerika Serikat (www.toy-icti.org,
2011). Sedangkan untuk negara-negara ASEAN yang telah mensyaratkan standar
keamanan produk mainan anak yaitu Singapura, Thailand, Malaysia dan
Indonesia.
I.1.2 Prosedur Pengurusan Sertifikasi SNI
Sejak berlakunya Permenperin No. 55 tahun 2013 tentang SNI Mainan
secara wajib menuntut produsen dan importir wajib memiliki Sertifikat Produk
Pengguna Tanda (SPPT) SNI atau selanjutnya disebut dengan sertifikat SNI.
persyaratan-persyaratan yang termuat dalam Peraturan Direktur Jenderal Basis
Industri Manufaktur (Perdirjen BIM) Nomor: 02/BIM/PER/1/2014 tentang
Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pemberlakuan dan Pengawasan Penerapan Nasional
Indonesia (SNI) Mainan Secara Wajib. Prosedur sertifikasi SNI seperti terlihat
pada Gambar 1.3 dimulai dari pemohon (produsen maupun importir) mengajukan
permohonan kepada LSPro (Lembaga Sertifikasi Produk). Adapun persyaratan
administrasi untuk mendapatkan SPPT SNI bagi produsen adalah sebagai berikut :
1) Formulir permohonan, 2) Daftar isian permohonan SPPT SNI, 3) Formulir
Permohonan Pencatatan SPPT SNI dari Direktorat Pembina Industri, 4) Formulir
Data Pemohon, 5) Surat Pernyataan jaminan tidak mengedarkan produk saat
pengujian, 6) Daftar Barang, 7) Fotokopi Izin Usaha Industri (IUI)/Tanda Daftar
Industri (TDI), 8) Fotokopi merek/Surat Bukti pendaftaran merek, 9) Sertifikat uji
produk (bila ada), 10) Profil Perusahaan, 11) Foto-foto produk yang disertifikasi,
12) Diagram alir proses produksi, 13) Dokumen/Rekaman Mutu perusahaan (bila
ada).
Gambar 1.3 menunjukkan alur proses setelah produsen/importir memenuhi
persyaratan administrasi, LSPro akan menugaskan Petugas Pengambil Contoh
(PPC) untuk mengambil sampel produk dan akan diuji di laboratorium uji yang
ditunjuk oleh LSPro. Laboratorium uji adalah laboratorium yang terakreditasi oleh
Komite Akreditasi Nasional (KAN) dan ditunjuk oleh Menteri dengan ruang
lingkup produk mainan (Kementerian Perindustrian [Kemenperin] 2013). Jenis
pengujian atau parameter uji yang akan diterapkan pada sampel produk tergantung
finishing produk (cat) dan penggunaan listrik, sehingga untuk jenis produk yang berbeda akan diberlakukan parameter uji yang berbeda dan biaya uji yang
berbeda. Pengujian produk ini yang menjadi inti dari proses sertifikasi, jika
contoh produk lolos uji pada semua parameter uji, maka perusahaan mendapatkan
sertifikat untuk melakukan penandaan pada produknya dan produk dapat
dipasarkan, namun jika contoh produk tidak lolos uji sebagian atau seluruh
parameter uji, maka produk dilarang beredar di pasaran.
Gambar 1.2 Alur Proses Sertifikasi. Tidak Ya Ya Pemohon LSPro Administrasi Ditjen BIM Pengambilan Contoh di Pabrik/Pelabuhan Pengujian Contoh di Laboratorium Hasil Pengujian/Analisa Rapat Komisi Teknis Memenuhi persyaratan ? Penerbitan Sertifikat LSPro melaporkan penerbitan SPPT SNI ke Dirjen BIM
dan Kepala BPKIMI Pemohon dapat menggunakan SNI Barang dilarang beredar Tidak
Pada proses sertifikasi ini, produsen akan mengeluarkan biaya - biaya
sebagai berikut
1. Biaya sertifikasi sebesar Rp. 5.000.000 (1 PPC).
2. Biaya akomodasi dan transport PPC (tergantung dari lokasi pemohon).
3. Biaya Pengujian sekitar Rp. 1.000.000,- – Rp. 20.000.000,- (tergantung
dari produk yang akan diuji).
Masa berlaku SPPT SNI berdasarkan pasal 3 Permenperin No. 24 Tahun
2013 dan perubahannya adalah 6 bulan dengan asumsi bahwa lot/batch produksi
adalah total produksi selama 6 bulan. Biaya-biaya tersebut dirasakan berat oleh
industri kecil dan menengah yang mempunyai aset dan permodalan yang kecil,
sehingga perlunya dilakukan kajian dari aspek ekonomi.
Berdasarkan observasi awal pada proses sertifikasi SNI, sebagian IKM
Mainan di DIY menyatakan keberatan dalam proses sertifikasi, baik dari segi
biaya, persyaratan, proses dan masa berlakunya.
I.1.3. Kondisi Industri Mainan Secara Umum
Menurut data dari Departemen Perindustrian jumlah industri mainan
dengan skala menengah ke atas berjumlah 122 perusahaan yang tersebar di
berbagai propinsi. Propinsi Jawa Barat dan Banten merupakan propinsi dengan
jumlah industri mainan terbanyak (Herjanto dan Rahmi, 2010). Kondisi industri
mainan secara umum dapat dilihat dari kinerja ekpor dan impor mainan anak
untuk seluruh Indonesia, sebagaimana disajikan pada Tabel 1.1 dan Tabel 1.2
Tabel 1.1 Neraca Dagang Mainan Anak Berdasarkan Nilai (Lilin dkk., 2014)
Neraca Dagang Mainan Anak Berdasarkan Nilai (dalam US$ ribu)
Tahun 2008 2009 2010 2011 2012
Nilai Ekspor 201.86 206.85 303.536 286.197 326.485
Nilai Impor 122.159 73.751 100.011 147.344 138.114
Tabel 1.2 Neraca Dagang Mainan Anak Berdasarkan Volume (Lilin dkk., 2014) Neraca Dagang Mainan Anak Berdasarkan Volume (dalam kg)
Tahun 2008 2009 2010 2011 2012
Volume Ekspor 24,026,386 25,493,205 31,486,552 30,080,761 31,724,678 Volume Impor 39,615,264 26,911,327 32,468,888 52,687,129 41,820,493
Tabel 1.1 menunjukkan ekspor mainan masih mencatatkan angka
surplus untuk kinerja ekspor mainan lokal terhadap impor. Volume ekspor
mainan sepanjang 2012 tercatat 31,72 juta kg. Nilainya US$ 326,48 juta, atau
setara Rp 3,8 triliun. Tabel 1.2 menunjukkan volume impor mainan anak, meski
lebih besar dari sisi nilai, tapi lebih kecil pada sisi volume. Volume impor
mainan mencapai 41,82 juta kilogram (kg), dan nilainya US$ 138,11 juta, setara
Rp 1,6 triliun. Jika dihitung perbandingan harga produk, berdasarkan volume
dan harga antara ekspor dan impor, maka harga rata-rata mainan yang diekspor
adalah Rp 119.798,23 per kg. Sementara harga rata-rata mainan impor Rp
38.259,21 per kg. Sehingga harga mainan lokal kurang lebih tiga kali lebih
mahal daripada harga mainan impor. Selain dari harga mainan lokal yang lebih
impor. Menurut Ketua APMETI, perbandingan antara mainan lokal dengan
impor adalah 1 : 3 (Lilin dkk., 2014).
Di Indonesia terdapat dua asosiasi yang terkait dengan mainan anak yaitu
Asosiasi Pengusaha Mainan Indonesia (APMI) dan Asosiasi Penggiat Mainan
Edukatif dan Tradisional Indoensia (APMETI). Badan Standardisasi Nasional
menyatakan bahwa pada tahun 2007 anggota yang tergabung dalam APMETI
tercatat ada 84 anggota, namun akibat tekanan produk mainan impor China, kini
jumlah anggota APMETI menyusut menjadi 63 anggota (Haryono dan Safitri,
2011).
I.1.4 Kondisi Industri Mainan di DIY
Industri mainan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tersebar di hampir
semua kabupaten dan kota. Berdasarkan data yang dikumpulkan dari berbagai
sumber (Dinas Perindustrian terkait, internet, dan observasi lapangan) didapatkan
data IKM mainan di DIY ditunjukkan pada Tabel 1.3. Jenis-jenis produk mainan
yang dihasilkan oleh IKM di Yogyakarta seperti pada meliputi mainan edukatif,
mainan tradisional, mainan outdoor, mainan berbahan kain, dan mainan berbahan
kayu lainnya.
Berdasarkan data dari LSPro Toegoe di Yogyakarta, sejak diberlakukan
wajib SNI Mainan, hingga bulan Maret 2015 telah menerima 14 permohonan
sertifikasi yang salah satunya adalah industri yang berasal dari DIY. Hasil
pengujian menunjukkan 2 perusahaan telah tersertifikasi, 10 perusahaan tidak
sebagian besar parameter uji. Ini menunjukkan bahwa persentase perusahaan yang
mendapatkan sertifikasi di LSPro Toegoe hanya 14,3 %. Terkait dengan
rendahnya perusahaan yang mendapatkan sertifikat SNI diduga disebabkan oleh
pengetahuan tentang SNI dan persyaratan mutunya, teknologi yang diterapkan
untuk membuat produk, dan sumber daya manusia yang ada di dalam perusahaan.
Tabel 1.3 Data IKM Mainan di DIY
No Kabupaten/Kota Jumlah IKM Kategori Produk
1 Kota Yogya 3 buah Mainan edukatif
2 Kabupaten Bantul 1 1 2 6 1 kelompok usaha buah buah buah buah Mainan tradisional Mainan berbahan kayu Mainan outdoor Mainan edukatif Mainan berbahan kain
3 Kabupaten Sleman 3 2 1 buah buah buah Mainan edukatif Mainan outdoor Mainan berbahan kain
4 Kabupaten
Gunungkidul
1 kelompok usaha Mainan tradisional
5 Kabupaten Kulonprogo - - -
TOTAL 21 buah
Gambar 1.3 Persentase IKM mainan di DIY berdasarkan jenis produk Mainan Edukatif 52% Mainan Outdoor 24% Mainan Bahan kain 9% Mainan Bahan Kayu Lainnya 5% Mainan Tradisional 10%
Gambar 1.2 menunjukkan persentase jumlah IKM di DIY berdasarkan
jenis produknya, dimana IKM mainan edukatif menunjukkan data yang paling
banyak yaitu 52 % dari total IKM Mainan di DIY.
IKM mainan di DIY diperkirakan mempunyai nilai penjualan per tahun
sebesar 6 milyar rupiah. IKM mainan ini diperkirakan menyerap tenaga kerja
sebanyak 217 orang. Namun sebuah industri akan selalu terkait dengan industri
yang mendukung misalnya seperti industri bahan baku (kayu, kain, besi, kertas),
industri bahan tambahan (cat, lem, aksesoris, dan lain-lain) serta usaha pemasaran
(toko, even – even pameran).
1.2 Identifikasi Masalah
Sejak berlakunya perjanjian China-ASEAN Free Trade Area (C-AFTA)
dan sebelum diberlakukan SNI Mainan secara wajib, telah terjadi aliran
produk-produk mainan dari China yang kurang berkualitas dan berbahaya bagi kesehatan.
Kekhawatiran dari membanjirnya produk mainan dari China ini dapat berdampak
buruk bagi kesehatan. Fisher-Price sebuah perusahaan dari Amerika pernah
menarik jutaan produknya yang diimpor dari China karena khawatir akan
tingginya kandungan timbal dalam cat mainan tersebut. Demikian juga dengan
perusahaan importir mainan dari China, RC2 Corp pernah menarik 1,5 juta
produk karena alasan yang sama (Herjanto dan Rahmi, 2010). Selain
kekhawatiran pengaruh pada kesehatan, dampak membanjirnya produk impor dar
China juga mempengaruhi kelangsungan hidup industri mainan di tanah air
melindungi kesehatan dan keselamatan konsumen mainan anak, mengurangi
produk impor yang sub-standard masuk ke Indonesia melalui strategi non tariff
barrier dan meningkatkan kualitas produk serta daya saing produsen mainan dalam negeri, pemerintah Indonesia melalui Permenperin No. 55 tahun 2013
menerapkan SNI wajib mainan.
Industri besar tidak mengalami permasalahan dalam penerapan SNI ini
(Herjanto dan Rahmi, 2010), namun untuk industri kecil dan menengah
menyebabkan beberapa permasalahan sebagai berikut
1. Masih rendahnya minat industri mainan di DIY untuk mendapatkan
sertifikasi SNI Mainan.
2. Masih rendahnya jumlah industri yang lolos sertifikasi berdasarkan data
dari LSPro Toegoe.
3. Biaya sertifikasi dirasakan berat oleh IKM.
Untuk dapat menjawab beberapa permasalahan berkaitan dengan minat
dan kemampuan IKM dalam penerapan SNI, dan untuk melihat keberhasilan dari
penerapan SNI wajib ini bagi IKM, dukungan stakeholders juga sangat
dibutuhkan oleh IKM, maka dirumuskan dalam perumusan masalah.
1.3. Perumusan Masalah
Mengingat pentingnya pemberlakuan wajib SNI bagi konsumen
khususnya keselamatan anak-anak dan untuk membendung masuknya produk
impor yang kurang berkualitas, konsekuensi pemberlakuan SNI tersebut akan
kesiapan IKM mainan di Yogyakarta. Berdasarkan latar belakang dan identifikasi
masalah di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut
1. Bagaimana kesiapan administrasi IKM mainan di Yogyakarta dalam
memenuhi persyaratan administrasi pada proses sertifikasi?
2. Bagaimana kesiapan teknologi IKM mainan di Yogyakarta dalam
memenuhi persyaratan mutu pada SNI Mainan?
3. Bagaimana kelayakan ekonomi IKM di Yogyakarta dalam menerapkan
SNI Mainan ?
4. Bagaimana dukungan pemangku kepentingan bagi IKM mainan di
Yogyakarta terkait pemberlakuan wajib SNI Mainan?
1.4. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut
1. Mengukur kesiapan administrasi IKM mainan di Yogyakarta dalam
memenuhi persyaratan administrasi pada proses sertifikasi.
2. Mengukur kesiapan teknologi IKM mainan di Yogyakarta dengan
pendekatan metode teknometrik.
3. Menganalisis kelayakan ekonomi IKM mainan di Yogyakarta dalam
penerapan SNI Mainan.
4. Melakukan kajian dukungan pemangku kepentingan bagi IKM mainan
di Yogyakarta terkait pemberlakuan wajib SNI mainan.
1.5. Batasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah agar penelitian ini lebih fokus maka
dibatasi beberapa hal sebagai berikut
1. Penelitian ini berfokus pada produsen/industri mainan dengan skala
Industri Kecil dan Menengah (IKM) yang berlokasi di Yogyakarta.
2. Kelayakan ekonomi dihitung dengan menggunakan benefit to cost
ratio (BCR).
Obyek penelitian mengambil IKM mainan di Yogyakarta karena dilihat
dari dukungan pemangku kepentingan yang ada seperti Lembaga Sertifikasi
Produk (LSPro), Laboratorium pengujian, Asosiasi, Institusi Litbang, Instansi
1.6. Keaslian Penelitian
Tabel 1.4 menunjukkan penelitian terkait dengan kesiapan IKM mainan
anak dalam menghadapi pemberlakuan wajib SNI Mainan belum banyak
dilakukan. Salah satu penelitian yang dilakukan oleh Harjanto dan Rahmi (2010)
yaitu mengkaji kesiapan pemberlakuan secara wajib standar mainan anak-anak
sebelum SNI diberlakukan secara wajib. Kajian ini berskala nasional dengan
diwakili oleh industri mainan di Medan, Batam, Serang, Jakarta, Bogor, Bekasi,
Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, dan Bali dengan 75 responden,
namun hasil yang diperoleh dari kuisoner hanya 42 responden atau sekitar 56%.
Hasilnya 85,7 % menyatakan setuju dan 14,3 % menyatakan tidak setuju. Industri
besar rata-rata siap menerima SNI wajib karena 90% produk lolos uji, industri
menengah 45% lolos uji, dan industri kecil 35 % lolos uji. Sehingga industri kecil
dan menengah masih memerlukan pembinaan. Namun setelah pemberlakuan
secara wajib, ternyata banyak yang menyatakan ketidaksiapannya. Tingkat
kesiapan IKM untuk tiap daerah akan berbeda, karena setiap daerah mempunyai
profil industri dengan kemampuan yang berbeda-beda.
Sedangkan Yuliandita (2010) meneliti tentang alasan atau motivasi
pemberlakuan SNI Mainan. Namun belum dikaji kesiapan IKM lokal dalam
menghadapi pemberlakuan SNI Mainan. Raliby dkk. (2013) meneliti tentang
upaya peningkatan kualitas produk mainan di Magelang melalui standardisasi.
Metode yang digunakan adalah Participatory Rural Apraisal (PRA) yaitu
pendekatan partisipasi dari pelaku usaha untuk mengevaluasi dan menentukan
Focus Group Discussion (FGD), sosisalisasi standardisasi berikut dengan penentuan produk, pelatihan dan pendampingan, monitoring dan evaluasi produk.
Hasilnya adalah produk mainan awal sebelum sosialisasi masih kurang aman bagi
anak-anak, setelah sosialisasi dan pelatihan hasilnya lebih bagus dan lebih aman,
dengan desain yang seragam. Selain itu IKM di Magelang juga telah
menggunakan pewarna cat yang tidak berbahaya.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya adalah
penelitian ini berfokus pada kondisi kesiapan IKM di DIY dalam menerapkan SNI
Mainan. Metode yang digunakan untuk menilai kesiapan adalah teknometrik dan
kelayakan ekonomi dihitung dengan benefit to cost ratio (BCR). BCR dihitung
sebelum dan sesudah mendapatkan sertifikat SNI. Untuk melihat keberhasilan
penerapan SNI dilakukan analisis pasar dan persepsi konsumen mainan anak.
Tabel 1.4 Peta Penelitian
No Peneliti Judul Penelitian Hasil Penelitian
1 Eddy Herjanto dan Dwinna Rahmi (2010)
Kajian Kesiapan Pemberlakuan Secara Wajib Standar Mainan Anak-Anak
- SNI yang berlaku saat itu SNI 12-6527.1-3:2001
- Sebagian besar produsen tidak kesulitan memenuhi persyaratan spesifikasi teknis SNI 12-6527.1-3:2001
- Laboratorium uji dianggap sudah siap mendukung pemberlakuan wajib standar mainan anak, namun lokasinya masih terpusat di Jabodetabek
- Rendahnya produsen yang telah menerapkan sistem manajemen mutu - Tingginya biaya pengujian sampel 2 Alpina Yuliandita
(2010)
Motivasi Indonesia Menerapkan Regulasi SNI Terhadap Mainan Impor. Studi Kasus : Produk Mainan Impor dari China
- Standardisasi merupakan salah satu instrumen regulasi teknis yang dapat melindungi kepentingan konsumen dan sekaligus produsen dalam negeri - UKM belum siap berkompetisi di pasar
Tabel 1.4 Peta Penelitian (lanjutan)
No Peneliti Judul Penelitian Hasil Penelitian
3 Oesman Raliby, Retno Rusdjijati dan Nugroho Agung Prabowo (2013)
Standardisasi Produk Guna Meningkatkan Daya Saing IKM Mainan Anak di Kota Magelang
- Metode Standardisasi Produk dengan pendekatan Participatory Rural Apraisal (PRA).
- Standardisasi produk dalam hal keamanan dengan perancangan ulang dan membakukan desain ukuran produk.
I.7 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini ke depan dapat memberikan manfaat baik secara
teoritis maupun praktis
1. Manfaat teoritis
a. Dapat memperkaya literatur mengenai kesiapan IKM dalam
menghadapi pemberlakuan SNI secara wajib. Sebagai contoh adalah
pemberlakuan wajib SNI pakaian bayi.
b. Dapat menjadi referensi bagi penelitian selanjutnya dengan topik yang
relevan.
2. Manfaat Praktis
Dengan mengetahui tingkat kesiapan teknologi dalam penerapan SNI
Mainan manfaat bagi IKM adalah mengetahui tingkat teknologi yang
dimiliki saat ini dan dapat menentukan fokus pengembangan perusahaan.
Manfaat bagi pemangku kepentingan (stakeholders) berguna untuk
merumuskan strategi pembinaan yang tepat dengan melihat dari hasil