• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

Secara sempit Moeljatno memberikan pengertian tindak pidana sebagai “perbuatan yang dilarang dalam undang-undang dan diancam dengan pidana barangsiapa melanggar larangan itu”.5 Dalam pengertian tindak pidana tersebut, Moeljatno tidak berbicara mengenai suatu kesalahan atau pertanggungjawaban pidana. Bahwa tidak seharusnya menjadi bagian dari definisi tindak pidana dikarenakan kesalahan merupakan faktor utama pertanggungjawaban pidana. Dalam pendapat yang lain menurut Moeljatno, pemikiran yang menyatukan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana adalah pemikiran monistis yang dianggapnya kuno.6 Kemudian secara tegas dijelaskan oleh Moeljatno, “apakah inkonkreto, yang melakukan perbuatan pidana tadi sungguh-sungguh dijatuhi pidana atau tidak, itu sudah diluar arti perbuatan pidana”.7 Pandangan Moeljatno yang tidak mempersatukan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana dapat disebut dengan pandangan dualistis.

Enschede, seorang ahli hukum pidana Belanda memberikan pengertian tindak pidana sebagai “een menselijke gedraging die valt binnen de grenzen

5 Moeljatno. 1955. Perbuatan Pidana Dan Pertanggung Jawab Dalam Hukum Pidana.

Yogyakarta. Pidato diucapkan pada upacara peringatan Dies Natalis ke VI Universitas Gadjah Mada. Hal. 17.

6 Sudarto. 1990. Hukum Pidana I. Semarang. Yayasan Sudarto Fakultas Hukum Universitas

Diponegoro. Hal. 40.

7 Chairul Huda. 2006. Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada

Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan; Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Jakarta. Kencana Prenada Media. Hal. 27.

(2)

21

van delictsomschrijving, wederechtelijk is en aan schuld te wijten” yang dapat

diartikan sebagai kelakuan manusia yang memenuhi rumusan delik, melawan hukum dan dapat dicela.8 Definisi singkat dari Enschede sudah memenuhi

perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Kelakuan manusia yang memenuhi rumusan delik berhubungan dengan perbuatan pidana, sedangkan melawan hukum dan dapat dicela berhubungan dengan kesalahan yang sebagai unsur absolut pertanggungjawaban pidana.

Ahli hukum pidana Belanda yang lain yaitu Simons mengartikan tindak pidana sebagai suatu perbuatan yang oleh hukum diancam dengan hukuman, bertentangan dengan hukum, dilakukan oleh seseorang yang bersalah dan orang tersebut dianggap bertanggungjawab atas perbuatannya (Strabaar feit omshrijven als eene strafbaar gestelde, onrechtmatige, met

schuld in verband staande handeling van een toerekeningsvat baar persoon)9.

Bahwa berdasarkan pengertian mengenai tindak pidana yang telah dijabarkan oleh Enschede, dan Simons, dapat di lihat dengan jelas bahwa di dalam istilah “perbuatan pidana” sebagai terjemahan dari “strafbaarfeit” mencakup perbuatan pidana itu sendiri maupun pertanggungjawaban pidana.

Namun terdapat juga ahli hukum pidana Belanda yang menyatakan secara tegas bahwa perbuatan pidana tidak mencakup pertanggungjawaban pidana, yakni Hazewinkel Suringa dan Vos. Bahwa menurut Hazewinkel Suringa, tindak pidana merupakan “Straafbaar feit-dat is de term. Die na veel

wikken en wegen ten slotte is gekozen voor ieder gedraging, die op strafe

8 Enschede, Ch. J. 2002. Beginselen Van Strafrecht. Deventer. Kluwer. Hal. 156.

9 Simons. 1937. Leerboek Van Het Nederlandsche Strafrecht. N.V.-Groningen-Batavia. Eerste

(3)

22

wordt verboden, hetzij zij bestaat in een doen of in een nalaten: hetzij zij onder de misdrijven dan wel onder de overtredingen valt”10 yang dapat diartikan sebagai Tindak pidana adalah sebuah istilah setelah dipertimbangkan pada akhirnya dipilih untuk setiap kelakuan perbuatan yang diancam pidana atau dapat berupa melakukan atau tidak melakukan sesuatu atau terdiri dari kejahatan-kejahatan dan pelanggaran-pelanggaran. Sedangkan Vos memberikan pengertian tindak pidana adalah “een menselijke gedraging,

waarop door wet straf is gesteld (tindak pidana adalah kelakuan manusia yang

oleh undang-undang pidana diberi hukuman)11.

Pemikiran mengenai pengertian dari tindak pidana yang tidak menyatukan antara perbuatan pidana dengan pertanggungjawaban pidana sesungguhnya untuk memudahkan penuntutan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana dalam perkara pembuktian. Pada saat sidang di pengadilan, seringkali pembuktian dimulai dengan adanya perbuatan pidana, setelah itu apakah perbuatan pidana yang sudah dilakukan dapat atau tidaknya dimintakan pertanggungjawabannya kepada terdakwa yang sedang diadili dalam persidangan.

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Perbuatan dikategorikan sebagai delik bila memenuhi unsur-unsur, sebagai berikut:

1) Harus ada perbuatan manusia;

10 Suringa. 1953. Inleiding Tot de Studie Van Het Nederlandse Strafrecht. H.D. Tjeenk Willink &

Zoon N.V.-Haarlem. Hal. 124.

11 Vos. 1950. Leerboek Van Nederlandsche Strafrecht. N.V.-Haarlem. Derde Herziene Druk. Hal.

(4)

23 2) Perbuatan manusia tersebut harus sesuai dengan perumusan pasal dari

undang-undang yang bersangkutan;

3) Perbuatan itu melawan hukum (tidak ada alasan pemaaf); 4) Dapat dipertanggungjawabkan.12

Sedangkan menurut Moeljatno menyatakan bahwa: 1) Kelakuan dan akibat

2) Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan. 3) Keadaan tambahan yang memberatkan pidana 4) Unsur melawan hukum yang objektif

5) Unsur melawan hukum yang subjektif.13

Unsur melawan hukum yang objektif atau objektif onrechtselement merupakan perbuatan nyata yang secara kasat mata memenuhi unsur delik. Sedangkan unsur melawan hukum yang subjektif atau subjektif

onrechtselement merupakan niat atau sikap batin dari dalam diri pelaku. Dapat

disimpulkan bahwa untuk bisa dikenakan hukuman pidana maka seseorang pelaku harus memenuhi kedua unsur tersebut. Dapat dikatakan kedua unsur melawan hukum tersebut bersifat absolut, mengenai subjektif onrechtselement dapat diketahui hanya dengan terdapatnya objektif onrechtselement. Berbicara mengenai unsur melawan hukum yang subjektif pada hakikatnya menyangkut perihal sikap batin atau niat atau mensrea dari pelaku yang merupakan dasar adanya pertanggungjawaban pidana.

12 Lamintang. 1984. Hukum Penitensier Indonesia. Bandung. Armico. Hal. 184. 13 Moeljatno, Op.cit. Hal. 69

(5)

24 Sutorius, Schaffmeister, dan Keijzer mengemukakan unsur-unsur dari tindak pidana yang lebih sederhana, bahwa unsur-unsur tindak pidana terdiri dari memenuhi unsur delik, melawan hukum dan dapat dicela.14 Senada dengan Sutorius, Schaffmeister, dan Keijzer, Pompe juga menyatakan bahwa “Het strafbare feit een gedraging zijn met drie algemene eigenschapen

wederrechtelijk, aan schuld te wijten en strafbaar” yang dapat diartikan

sebagai perbuatan pidana merupakan suatu kelakuan dengan tiga hal sebagai suatu kesatuan yakni melawan hukum, kesalahan yang dapat dicela dan dapat dipidana.15

Kalau dilihat dari unsur-unsur tindak pidana yang dinyatakan oleh Sutorius, Schaffmeister, Keijzer dan Pompe, maka dapat disimpulkan bahwa unsur delik serupa dengan perbuatan pidana itu sendiri, sedangan kumpulan dari unsur melawan hukum dan unsur dapat dicela terbentuk suatu pertanggungjawaban pidana.

3. Jenis-Jenis Tindak Pidana (Delik)

Terdapat beberapa jenis dari tindak pidana (delik) yang dikenal dalam hukum pidana, yakni:

1) Kejahatan dan Pelanggaran

Tappan menjabarkan definisi tentang kejahatan adalah suatu perbuatan sengaja atau pengabaian dalam melanggar hukum pidana, dilakukan bukan untuk pembelaan diri dan tanpa pembenaran yang ditetapkan

14 Eddy O.S. Hiariej. 2016. Prinsip-Prinsip Hukum Pidana. Yogyakarta. Cahaya Atma Pustaka.

Hal. 128.

15 Pompe. 1959. Handboek Van Het Nederlandse Strafrecht, Viffde Herziene Druk. Zwolle. N.V

(6)

25 oleh Negara.16 Menurutnya, kejahatan sebagai perilaku dan perbuatan

yang dapat dikenai sanksi yang ditetapkan secara resmi oleh Negara.17

Mala prohibita merupakan perbuatan-perbuatan yang telah diatur oleh

undang-undang sebagai bentuk dari adanya suatu ketidakadilan. Dapat disimpulkan bahwa Mala prohibita merupakan bentuk dari pelanggaran.

Pemisahan perbuatan pidana ke dalam kejahatan dan pelanggaran memberikan beberapa konsekuensi. Pertama, perbuatan dan dampak yang ditimbulkan dari adanya suatu kejahatan lebih berbahaya apabila dibandingkan dengan dengan pelanggaran. Kedua, pernyataan yang pertama membawa pengaruh terhadap sanksi pidana yang akan dikenakan. Adanya suatu kejahatan dapat diancam atau dikenakan dengan pidana yang lebih berat apabila dibanding dengan pelanggaran. Ketiga, adanya suatu percobaan dalam melakukan suatu kejahatan dapat dikenakan atau diancam dengan maksimum ancaman pidana dikurangi sepertiga, sedangkan pada pelanggaran apabila adanya suatu percobaan maka tidak dapat dikenakan atau diancam dengan pidana. 2) Delik Formil dan Delik Materiil

Delik formil adalah delik yang penekanannya pada tindakan, sedangkan pada delik materiil penekanannya ada pada dampak atau akibat. Contoh delik formil terdapat pada pasal 362 KUHP yang berbunyi “Barangsiapa mengambil barang sesuatu yang seluruhnya

16 Hagen. 2013. Pengantar Kriminologi: Teori, Metode, dan Perilaku Kriminal. Jakarta. Kencana

Prenadamedia Group. Hal. 15.

(7)

26

atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah”.18 Misalnya dalam kehidupan sehari-hari, X masuk ke dalam Masjid “Y”, lalu X mengambil speaker masjid yang ada di dalam masjid. Kemudian X melarikan diri bersama speaker yang diambilnya, tidak jauh dari Masjid “Y” warga sekitar melihat X dan warga akhirnya menangkap X. Speaker Masjid tersebut akhirnya dikembalikan oleh X kepada warga. Perbuatan yang dilakukan oleh X tetap dapat dikatakan sebagai pencurian walaupun barang yang dicuri sudah dikembalikan, karena di dalam delik perncurian dirumuskan secara formil yang lebih menekankan pada tindakan.

Sedangkan contoh dari delik materiil yaitu Pasal 338 KUHP yang berbunyi “Barangsiapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam

karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”.19 Sebagai misal, karena A sakit hati dengan B, kemudian A menembak B dengan senapan angina dari jarak jauh. Lalu B dilarikan ke Rumah Sakit dan nyawa B terselamatkan. Maka A tidak dapat dikatakan bahwa telah melakukan pembunuhan melainkan dikatakan sebagai percobaan pembunuhan, karena B tidak mati atau nyawanya terselamatkan. Pada Pasal 338 KUHP dirumuskan secara materiil yang menitikberatkan pada adanya suatu akibat dari adanya suatu tindakan.

18 Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. 19 Pasal 338 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

(8)

27 A dapat dikatakan telah melakukan pembunuhan terhadap B apabila akibat dari tembakan yang ditimbulkan menyebabkan kematian.

3) Delicta Commissionis, Delicta Ommissionis, dan Delicta Commissionis Per Ommissionem Commissa.

Delicta Commissionis adalah melakukan suatu perbuatan yang

dilarang dalam undang-undang, contohnya Pasal 362 KUHP. Sedangkan Delik Omissionis yakni ketika seseorang yang berdiam diri, tidak melakukan ataupun tidak mencegah sesuatu yang harusnya dilakukan atau dicegah, dapat dikatakan sama saja seperti ia yang memerintahkan, contohnya saat tidak hadirnya sebagai saksi dalam persidangan (Pasal 522 KUHP). Delik Comissionis Per Omissionem

Comissa merupakan kesengajaan atau kelalaian terhadap suatu

kewajiban yang akan menimbulkan suatu akibat, contohnya pada Pasal 338, 340 KUHP. Misal, seorang ibu yang membunuh anaknya dengan tidak memberikan air susu

4) Delik Kesengajaan dan delik Kealpaan

Delik Kesengajaan atau dolus atau opzet menitiberatkan pada adanya suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan pada rumusan delik, contohnya pada Pasal 187 KUHP. Sedangkan Delik Culpa atau schuld atau alpa menitiberatkan pada bentuk kesalahan yang berupa kealpaan pada rumusan delik, contohnya pada Pasal 195 KUHPidana.

(9)

28 Delik tunggal merupakan delik yang pelakunya dapat dipidana hanya dengan satu kali saja melakukan perbuatan yang dilarang atau tidak melakukan perbuatan yang bersifat wajib. Sedangkan samengestelde

delic atau delik gabungan dapat dilihat secara subjektif dan objektif.

Subjektif apabila delik gabungan tersebut memperlihatkan motivasi dari pelaku, sedangkan secara objektif diketahui dari perbuatan-perbuatan pelaku yang berbarengan satu sama lain.20 Misalnya, Pasal 379a KUHPidana.

6) Delik Berdiri Sendiri dan Delik Lanjutan

Hakikat dari pembagian delik menjadi delik berdiri sendiri dan delik lanjutan terdapat penjatuhan pidana. Pada dasarnya semua delik merupakan delik berdiri sendiri, tetapi ketika delik-delik yang berdiri sendiri dilakukan secara berkelanjutan dalam suatu rangkaian sehingga dapat dikatan sebagai delik lanjutan.

7) Gewone Delic dan Klacht Delic

Pemisahan delik menjadi Klacht Delic atau Delik aduan serta Gewone

Delic atau delik biasa mempunyai sebab yang penting dalam suatu

proses persidangan di pengadilan. Sebagian besar delik-delik yang ada pada KUHPidana merupakan Gewone Delic, yang berarti bahwa untuk dapat menjalankan proses hukum terhadap perkara-perkara tersebut tidak perlu adanya suatu pengaduan, baik dari saksi maupun korban. Contohnya pada Pasal 281 KUHPidana yakni perbuatan melanggar

20 G.A. Van Hammel. 1913. Inleiding Tot De Studie Van Het Nederlansche Strafrecht. Derde

(10)

29 kesusilaan. Sedangkan terdapat beberapa delik yang membutuhkan suatu pengaduan untuk dapat menjalankan proses hukum terhadap perkara-perkara yang ada secara lebih lanjut, delik ini dapat dikatakan sebagai Klacht Delic atau Delik aduan, secara eksplisit syarat dari delik aduan ini dinyatakan dalam pasal. Contohnya pada pasal 370 KUHPidana tentang pemerasan dan pengancaman dalam keluarga. 8) Eenvoudige Delic dan Gequalificeerde Delic

Eenvoudige Delic atau Delik sederhana merupakan delik dalam bentuk

mendasar seperti halnya yang dirumuskan oleh si pembuat undang-undang. Sedangkan Gequalificeerde Delic atau delik terkualifikasi adalah delik-delik dengan pemberatan karena kondisi-kondisi tertentu. Pasal 374 KUHPidana merupakan Gequalificeerde Delic yang biasanya dapat dikatakan dengan tindak pidana penggelapan dalam jabatan.

9) Delik Umum, Delik Khusus dan Delik Politik

Delik Umum atau delicta communia merupakan delik yang dapat dilakukan oleh siapapun. Sebagian besar delik yang terdapat pada KUHP merupakan delik umum. Sedangkan Delik Khusus atau delicta

propria yakni delik tersebut memiliki kualifikasi tertentu bagi

orang-orang yang melakukannya. Sebagai contoh pada pasal 449 KUHPidana.

Seorang ahli hukum Belanda, Christine van Wijngaert tidak secara jelas memberikan definisi dari delik politik. Wijngaert memisahkan

(11)

30 antara political offender, pseudo political offender, dan political

refugee. Political offender diartikan sebagai kejahatan politik yang

melanggar ketentuan pidana dengan dasar politik dan keyakinannya. Sedangkan pseudo political offender didefinisikan sebagai kejahatan yang dilakukan seolah-olah berlatar belakang politik, tetapi sebenarnya motivasi politiknya sangat lemah. Sementara poltical refugee yakni mereka melarikan diri keluar negeri karena takut akan dilakukan tindakan oleh pemerintahannya berdasarkan perbedaan politik, ras, agama, dan lain sebagainya.21

B. Tinjauan Umum Tindak Pidana Pemalsuan Terhadap Asal-Usul Pernikahan

1. Definisi Pemalsuan dan Asal-Usul

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), definisi dari pemalsuan adalah tidak sah atau tidak tulen atau membuat sesuatu menjadi tidak benar atau tidak tulen.22 Definsi dari asal-usul berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) merupakan asal keturunan, silsilah. Maka dapat disimpulkan bahwa pemalsuan asal-usul pernikahan merupakan membuat secara tidak benar atau tidak sah atau tidak tulen dari asal keturunan dan silsilah yang seharusnya, di mana dalam asal-usul pernikahan itu dapat berisi tentang identitas dari kedua calon mempelai dan identitas orang tua dari masing-masing kedua calon mempelai, juga dapat berisi mengenai status dari kedua calon mempelai.

21 Dani Krisnawati, Eddy O.S. Hiariej, Marcus Priyo Gunarto, Sigid Riyanto, Supriyadi. 2006.

Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus. Jakarta. Pena: ilmu dan amal. Hal. 20-21.

(12)

31 2. Definsi Pernikahan

Salah satu kebutuhan dasar yang dimiliki oleh manusia adalah kebutuhan untuk menyalurkan nafsu seksnya yang dapat dikatakan sebagai kebutuhan fisiologis (the physiological needs). Penyaluran kebutuhan fisiologis dapat dilakukan oleh manusia dengan berbagai macam cara, seperti dengan cara yang lazim yakni sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam berkehidupan yang dikenal dengan istilah pernikahan, juga dapat dengan cara yang tidak lazim yaitu hubungan kelamin yang dilakukan terhadap sesama jenis). Akan tetapi dengan adanya pernikahan tidak hanya untuk menyalurkan kebutuhan fisiologis manusia, karena pernikahan terdapat makna atau definsi yang lebih luas. Adanya pernikahan seseorang akan mendapatkan keturunan, maka dapat dikatakan bahwa pernikahan termasuk juga dalam kelompok kebutuhan akan rasa memiliki dan kasih sayang (the

belongingness and love needs).

Kata nikah berasal dari bahasa Arab yaitu Al-nikah yang bermakna

wathi’ dan dammu wa altadakhul. Umumnya juga dapat disebut dengan al-dammu wa al-jam’u atau ibarat ‘an al-wath wa al-‘aqd yang bermakna

bersetubuh, berkumpul dan akad.23 Secara terminologi nikah atau kawin menurut bahasa Arab disebut juga “ziwaaj”, sehingga perkataan nikah mempunyai dua pengertian, yakni dalam arti yang sebenarnya (hakikat) dan dalam arti kiasan (majaaz).24 Dalam pengertian sebenarnya nikah disebut

23 Tengku Erwinsyahbana. Sistem Hukum Perkawinan Pada Negara Hukum Berdasarkan

Pancasila. www.media.neliti.com. diakses pada 28 Agustus 2020.

24 Abdurrahman al-Jaziri. al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah. Beirut, t.t. Dar al-Fikr. Juz. IV.

(13)

32 dengan dham yang berarti “menghimpit”, “menindih”, atau “berkumpul”, sedangkan dalam pengertian kiasannya disebut dengan istilah “wathaa” yang berarti “setubuh”.25

Wirjono Prodjodikoro mengatakan bahwa pernikahan adalah hidup bersama dari seorang laki-laki dan seorang perempuan yang memenuhi syarat-syarat tertentu, dan jika dicermati pada dasarnya perkawinan merupakan suatu perjanjian yang mengikat lahir dan batin dengan dasar iman.26 Di antara yang berpendapat demikian mengatakan, bahwa kalau dipandang sepintas lalu saja, maka suatu pernikahan merupakan suatu persetujuan belaka dalam masyarakat antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, seperti misalnya suatu persetujuan jual beli, sewa menyewa dan lain-lain.27

Pernikahan merupakan suatu penjanjian atau akad, namun makna penjanjian yang dimaksud dalam pernikahan berbeda dengan perjanjian seperti yang di atur dalam Buku III KUH Perdata. Pernikahan memiliki perjanjian yang tujuannya adalah untuk menciptakan kebahagiaan antara pasangan suami dan isteri, juga tidak dibatasi dalam waktu tertentu serta memiliki sifat religious yakni adanya aspek ibadah.

3. Tujuan Pernikahan

Orang yang menjalankan pernikahan seharusnya tidak hanya untuk menunaikan kebutuhan nafsunya saja, melainkan hendaknya dengan menjalankan suatu pernikahan karena sesuai dengan ajaran agama Islam ialah

25 Rachmadi Usman . 2006. Aspek-aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia.

Jakarta. Sinar Grafika. Hal. 268.

26 Tengku Erwinsyahbana. Op.Cit. 27 Ibid.

(14)

33 untuk memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia. Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban anggota keluarga, dan sejahtera yang menciptakan ketenangan lahir dan batin disebabkan terpenuhinya keperluan hidup lahir batinnya.28 Dari sudut pandang sosiologis, pernikahan merupakan sarana fundamental untuk membangun masyarakat sejahtera berdasarkan prinsip-prinsip humanisme, tolong menolong, solidaritas dan moral yang luhur. Dilihat dari sudut ekonomi, pernikahan merupakan sarana fundamental untuk membutuhkan etos kerja dan rasa tanggung jawab yang kuat terhadap pekerjaan, efektif dan efisiensi. Sedangkan dilihat dari sudut kedokteran, pernikahan merupakan tahap awal kehidupan seks yang sehat serta bebas dari penyakit, bebas dari gangguan jiwa dan proses regenerasi yang sehat dan sejahtera.29

Apabila menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, tujuan pernikahan adalah tidak hanya melihat dari segi lahirnya saja, tapi sekaligus terdapat adanya suatu pertautan batin antara suami istri yang ditujukan untuk membina suatu keluarga atau rumah tangga yang kekal dan bahagia bagi keduanya dan yang sesuai dengan kehendak Tuhan Yang Maha Esa.30 Pernikahan juga membentuk suatu rumah tangga atau keluarga yang bahagia dan kekal. Hal ini dimaksudkan, bahwa pernikahan itu hendaklah berlangsung seumur hidup dan tidak boleh berakhir begitu saja, dan pembentukan keluarga yang bahagia dan kekal itu, haruslah berdasarkan

28 Zakiah Dradjat. 1995. Ilmu Fiqih. Yogyakarta. PT. Dana Bakti Wakaf. Hal. 38.

29 Ahmad Syauqi al-Fanjari. 1996. Nilai-nilai Kesehatan dalam Syari’at Islam. Jakarta. Bumi

Aksara. Hal. 139.

(15)

34 Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai asas pertama dalam Pancasila. Menurut agama Islam sendiri tujuan dari pernikahan itu sendiri yaitu manusia dapat memelihara statusnya sebagai makhluk yang mulia dan menyalurkan kebutuhan biologisnya dan pernikahan merupakan satu-satunya bentuk berpasangan yang benar dan halal.

4. Syarat-Syarat Pernikahan

Bagi sepasang laki-laki dan perempuan yang hendak melangsungkan pernikahan, seseorang diwajibkan untuk memenuhi syarat-syarat pernikahan yang telah diatur menurut syariat dan menurut hukum positif Indonesia. Adapun syarat-syarat pernikahan menurut syariat, yakni bagi calon pengantin pria diantaranya yaitu beragama islam, terang prianya (bukan banci), tidak dipaksa, tidak beristri empat orang, bukan mahram calon istri, tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istri, mengetahui calon istri tidak haram dinikahinya, tidak sedang dalam ihram haji atau umrah. Sedangkan bagi calon pengantin wanita yaitu beragama Islam, terang wanitanya, telah memberi izin kepada wali untuk menikahkannya, tidak bersuami dan tidak dalam iddah, bukan mahram calon suami, belum pernah dili’an (sumpah li’an) oleh calon suami, terang orangtuanya, tidak sedang dalam ihram haji atau umrah.31

Sedangkan syarat-syarat pernikahan menurut hukum positif Indonesia yang telah diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu memenuhi ketentuan agama dan kepercayaan yang dianut,

31 H.Z Muttaqin. 2003. Pedoman Pegawai Pencatat Nikah. Jakarta. Departemen Agama Republik

(16)

35 persetujuan dari kedua calon mempelai, telah mencapai umur 21 tahun (bagi calon yang berumur dibawah 21 tahun harus memperoleh ijin dari kedua orangtuanya (jika keduanya masih hidup), ijin hanya mungkin diberikan kepada laki-laki yang sudah berumur 19 tahun dan perempuan sudah berumur 16 tahun), bukan perkawinan yang dilarang, tidak terikat dalam suatu tali perkawinan (kecuali laki-laki yang mendapatkan ijin dari pengadilan).32

5. Surat-Surat Nikah

Untuk melangsungkan suatu pernikahan, setiap calon mempelai wajib memenuhi surat-surat yang dibutuhkan untuk persyaratan pernikahan, seperti pengisian formulir. Jenis formulir menurut Keputusan Menteri Agama Nomor 298 Tahun 2003, terdapat 16 formulir pencatatan nikah yang dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu formulir pokok, formulir pelengkap dan formulir mutasi.

1) Formulir mutasi, yaitu formulir yang dipergunakan untuk memberitahukan perubahan status seseorang, kepada PPN atau Pengadilan Agama yang sebelumnya telah mencatat perceraiannya, yakni Pemberitahuan Nikah, Pemberitahuan Poligami.

2) Formulir Pelengkap, yaitu formulir yang merupakan kelengkapan dari pelaksanaan pernikahan dan disiapkan sebelum pelaksanaan pernikahan. Sebagian besar formulir tersebut pengisiannya dilakukan oleh Kepala Desa, yakni Surat Keterangan Untuk Nikah ( N1 ), Surat Keterangan asal-usul ( N2 ), Surat Persetujuan Mempelai ( N3 ), Surat

(17)

36 Keterangan tentang orang tua ( N4 ), Surat Izin orang tua ( N5 ), Surat Keterangan kematian suami atau istri ( N6 ), Pemberitahuan kehendak Nikah ( N7 ), Pemberitahuan adanya halangan atau kekurangan syarat ( N8 ), Penolakan Pernikahan ( N9 ).

3) Formulir Pokok, yaitu formulir yang secara langsung menjadi tanggung jawab dan dikerjakan pengisiannya oleh PPn, yakni Akta Nikah (model N), Kutipan Akta Nikah (model NA), Daftar Pemeriksaan Nikah (model NB), Pengumuman Kehendak Nikah (model NC). Pengisian formulir tersebut dimulai dari model NB, NC kemudian model N dan yang terakhir model NA.33

6. Pernikahan “Kawin Sirri”

Perkawinan siri merupakan perkawinan yang dilakukan secara rahasia. Secara etimologi kata “sirri” berasal dari bahasa Arab, yaitu “sirrun” yang artinya rahasia, sunyi, diam, tersembunyi sebagai lawan kata dari ‘alaniyyah, yaitu terang-terangan.34 Kata sirri ini kemudian digabung dengan kata nikah sehingga menjadi nikah sirri untuk menyebutkan bahwa nikah yang dilakukan secara diam atau tersembunyi. Makna diam-diam dan tersembunyi ini memunculkan dua pemahaman, yaitu pernikahan yang diam-diam tidak diumumkan kepada khalayak ramai atau pernikahan yang tidak diketahui atau tidak tercatat di lembaga negara.35 Sedangkan

33 H.Z Muttaqin, Op.cit. Hal. 18.

34 Addin Daniar Syamdan, Djumadi Purwoatmodjo. 2019. Aspek Hukum Perkawinan Siri dan

Akibat Hukumnya. Semarang. NOTARIUS. Vol. 12 No. 1. Fakultas Hukum. Universitas Diponegoro.

(18)

37 Pengertian Nikah Siri istilah yang berkembangdi masyarakat sama dengan istilah nikah dibawah tangan; yaitu sebuah proses pernikahan sesuai dengan aturan dan ketentuan yang berlaku dalam islam (seperti adanya wali, saksi dan ijab qabul).36

Jika ditinjau dari Undang-Undang perkawinan maka pekawinan siri dianggap tidak sah, karena pada pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan mengatur bahwa: “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.37 Namun dalam ayat selanjutnya pada Undang-Undang Perkawinan mewajibkan pencatatan pada lembaga Negara yang ada agar mendapatkan akta perkawinan. Jadi akta perkawinan merupakan bukti otentik bahwa telah terjadinya atau berlangsungnya suatu perkawinan, tidak hanya yang menentukan sah atau tidaknya perkawinan. Hanya saja ketiadaan bukti inilah yang dapat membawa dampak negatif, yakni menyebabkan anak maupun isteri dari suatu ikatan perkawinan siri tidak memiliki legalitas di hadapan negara. Perkawinan siri memang sah menurut agama, tetapi tidak memiliki kekuatan hukum dan karenanya dianggap tidak pernah ada dalam catatan negara. Dapat disimpulkan bahwa perkawinan siri tidak diakui oleh negara.

36 Sobari, A. 2013. Nikah Siri dalam Perspektif Islam. Mizan : Jurnal Ilmu Syariah 1. Hal. 51. 37 Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974

(19)

38 7. Unsur-Unsur Tindak Pidana Pemalsuan Terhadap Asal-Usul Pernikahan

Pemalsuan terhadap asal-usul pernikahan diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang salah satunya terdapat pada Pasal 279 Ayat (1) ke-1 KUHP, yang unsur-unsurnya adalah sebagai berikut :

1) Barangsiapa

Mengenai unsur barang siapa ini menunjuk kepada person yang dijadikan subyek hukum yakni: seseorang, beberapa orang dan/atau suatu badan hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya

2) Melaksanakan Perkawinan

Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa Perkawinan dipandang sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, selanjutnya dalam ayat (2) bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku. 3) Padahal mengetahui bahwa perkawinan atau

perkawinan-perkawinannya yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu. Tujuan atau maksud dari unsur ini adalah untuk mengetahui apakah perkawinan kedua yang dilakukan oleh Terdakwa terdapat penghalang bagi Terdakwa atau tidak. Menurut ketentuan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami dan terhadap ketentuan “seorang wanita hanya boleh

(20)

39 mempunyai seorang suami” dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak ada pasal pengecualian.

Ketentuan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menjelaskan bahwa “seseorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-Undang ini”. Bahwa ketentuan Pasal 9 tersebut diberlakukan untuk “seorang pria yang ingin mempunyai lebih dari seorang istri” dan bukan diperuntukan untuk “seorang wanita yang ingin mempunyai seorang suami” karena Undang-Undang tentang Perkawinan tidak menganut asas “Poliandri” (bersuami lebih dari satu).

C. Tinjauan Umum Putusan Hakim

1. Definisi Putusan

Dalam Pasal 1 butir 22 KUHAPidana, mengartikan bahwa putusan pengadilan merupakan Pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang – undang.38 Apabila kita perhatikan, ketentuan dalam Pasal 1 butir 22 KUHAP masih kurang sempurna. Adanya suatu putusan bertujuan untuk menyelesaikan suatu perselisihan yang lebih nyata. Sebab dengan adanya suatu putusan dari pengadilan, pihak-pihak yang berperkara mengharapkan adanya keadilan dan juga kepastian hukum dalam perkara yang mereka

(21)

40 hadapi. Untuk dapat memberikan putusan yang mencerminkan keadilan dan kepastian hukum, maka majelis hakim diharuskan benar-benar mengetahui duduk perkara yang sebenar-benarnya, serta berpedoman pada peraturan-peraturan hukum yang mengaturnya, dan juga seorang hakim memiliki suatu keyakinan dalam memutus suatu perkara. Bahwa Keyakinan hakim inilah yang menjadi suatu prasyarat harus ada bagi proses lahirnya suatu putusan (vonis). Ahli hukum acara perdata berpendapat bahwa putusan disebut dengan vonnis. Apabila berpijak pada pendapat hukum diatas, maka putusan dari pengadilan yakni pernyataan hakim yang diucapkan pada sidang pengadilan yang terbuka ataupun tertutup untuk umum. Bahwa dalam putusan tersebut terdapat juga perintah terhadap penuntut umum, penasehat hukum serta terdakwa yang berisi hukuman untuk melaksanakan sesuatu.

2. Jenis-Jenis Putusan

Pada hakikatnya, jenis-jenis dari suatu putusan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :

1. Putusan Sela merupakan putusan yang dijatuhkan sebelum putusan akhir yag diadakan dengan tujuan untuk memungkinkan atau mempermudah kelanjutan pemeriksaan perkara. Misalnya putusan dari Pengadilan Negeri terkait eksepsi mengenai tidak berwenangnya pengadilan untuk mengadili terhadap suatu perkara. Putusan ini diucapka oleh majelis hakim pada saat persidangan, akan tetapi tidak diadakan secara terpisah, melainkan hanya dicatat dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP).

(22)

41 2. Putusan Akhir adalah Putusan yang mengakhiri suatu sengketa atau perkara dalam tingkatan peradilan tertentu. Putusan akhir ini ada yang bersifat menghukum (condemnatoir), ada yang bersifat menciptakan (constitutif) dan adapula yang bersifat menerangkan atau menyatakan (declaratoir).39

3. Isi Putusan

1) Putusan bebas dari segala tuntutan hukum (vrijspraak), adalah jika pengadilan berpendapat bahwa hasil dari pemeriksaan di persidangan, mengenai kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa dapat diputus bebas. Akan tetapi, jika terdakwa masih terlibat pada perkara yang lain, maka terdakwa sah untuk tetap dalam tahanan.40 Maka mengenai ketentuan yang terdapat pada pasal 183 KUHAPidana tidak dipenuhi:

a) Tidak adanya fakta-fakta terkait kesalahan b) tidak adanya 2 alat bukti

c) tidak adanya keyakinan hakim

d) tidak terpenuhinya unsur tindak pidana.41

2) Putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum/onslag van alle rechtsvervolging jika hakim berpendapat bahwa perbuatan yang

39 A.G Mawey. 2016. Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Lepas Dari Segala

Tuntutan Hukum. Manado. Lex Crimen. Vol. V / Nomor 2. Fakultas Hukum. Universitas Sam Ratulangi. Hal. 82.

40 Pasal 193 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. 41 Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(23)

42 didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu bukan merupakan suatu tindak pidana (Pasal 191 ayat (2) KUHAP).42

3) Putusan pemidanaan apabila hakim atau pengadilan berpendapat bahwa terdakwa secara sah dan meyakinkan menurut hukum terbukti bersalah melakukan tindakan pidana yang didakwakan (Pasal 193 ayat (1) KUHAPidana).43 Apabila putusan pemidanaan telah diajtuhkan, maka pengadilan mejelis memberitahukan kepada terdakwa bahwa mempunyai hak untuk menerima, pikir-pikir atau banding (waktu tenggang 7 hari).44

D. Tinjauan Umum Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan

Sistem Pembuktian menurut KUHAP yaitu sistem pembuktian secara negatif, bahwa Hakim dalam memutus suatu perkara pidana berdasarkan pada dua alat bukti yang terungkap pada persidangan, juga hakim memiliki suatu keyakinan dalam menangani suatu perkara pidana menjadi suatu prasyarat yang harus ada, untuk proses dari lahirnya suatu putusan (vonis). Hakim dilarang memutus suatu perkara pidana dengan hanya menumpukan diri pada fakta atau keadaan objektif yang terjadi pada suatu perkara, tapi diharuskan menggunakan keyakinannya terhadap adanya berbagai fakta dan keadaan objektif bahwa terdakwa semestinya bersalah. Keyakinan hakim harus

42 Sandro Unas. 2019. Kajian Yuridis Terhadap Bentuk Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana

Korupsi. Manado. Lex Et Societatis. Vol. VII/No. 4. Fakultas Hukum. Universitas Sam Ratulangi. Hal. 59.

43 Ibid.

44 Moch. Amin. 2018. Hukum Acara Pidana dan Praktek Pidana. Malang. Fakultas Hukum

(24)

43 ditonjolkan karena hakim bekerja tidak berdasarkan demi hukum saja, tetapi lebih tinggi dari itu adalah meyakini suatu keadilan itu berdasarkan ketuhanan yang maha esa sebagaimana irah-irah yang tertulis diawal kalimat putusan.45

Pertimbangan majelis hakim diatur pada Pasal 197 ayat (1)d KUHPidana yang menyatakan “pertimbangan disusun secara ringkas menganai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan disidang yang menjadi dasar penentuan-penentuan kesalahan terdakwa”.46

Majelis Hakim dalam membuat suatu penjatuhan pidana diwajibkan memperhatikan ketentuan-ketentuan yang ada pada Pasal 58 KUHPidana, yakni Kesalahan pembuat tindak pidana, Motif dan tujuan melakukan tindak pidana, Cara melakukan tindak pidana, Sikap batin pembuat tindak pidana, Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pembuat tindak pidana, Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana, Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana, Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan, Pengurus tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban, Apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana.47

Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana berat atau ringan terhadap terdakwa diantaranya adalah pertimbangan yuridis dan pertimbangan sosiologis.

45 Faisal Riza, Keyakinan Hakim Dalam Memutus Perkara Pidana. https://litigasi.co.id/. diakses

tanggal 25 Januari 2021.

46 Pasal 197 Ayat 1(d) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(25)

44 1. Pertimbangan Yuridis

Pertimbangan yuridis adalah pertimbangan hukum adalah yang menjadi dasar sebelum memutus perkara, hakim akan menarik fakta-fakta dalam proses persidangan yang merupakan konklusi komulatif dari keterengan para saksi, keterangan terdakwa dan barang bukti. Fakta-fakta yang dihadirkan, berorientasi dari lokasi, waktu kejadian, dan modus operandi tentang bagaimana tindak pidana dilakukan. dan juga melihat bagaimana akibat yang ditimbulkan.Pertimbangan hakim dalam putusan hakim harus mengetahui aspek teoritik, pandangan doktrin, yurisprudensi, dan posisi kasus yang ditangani. Setelah pencantuman unsur-unsur tersebut, selanjutnya dipertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan.48

2. Pertimbangan Sosiologis

Pertimbangan hakim secara sosiologis diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa “hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.49 Adapun mengenai hal-hal yang harus menjadi pertimbangan hakim secara sosiologis dalam memutus suatu perkara pidana, yaitu :

1) Memperhatikan sumber hukum tak tertulis, serta nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat;

48 L.H. Permana. Analisis Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Penjatuhan Pidana Di Bawah

Minimum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Kesusilaan (Perkara No.107/Pid.Sus/2015/PN.MET). http://digilib.unila.ac.id/. diakses pada 30 Agustus 2020.

(26)

45 2) Memperhatikan sifat baik, dan buruk dari terdakwa, serta nilai-nilai

yang meringankan juga hal-hal yang memberatkan terdakwa;

3) Memperhatikan ada atau tidaknya peranan korban, kesalahan, dan perdamaian;

4) Faktor masyarakat yaitu lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan;

5) Faktor kebudayaan yaitu sebagai hasil karya cipta, serta rasa yang didasarkan pada karya manusia dalam pergaulan hidup.50

3. Dasar-Dasar yang Menyebabkan Diperberatnya Pidana dan Menyebabkan Diperingannya Pidana

Pertimbangan yang bersifat yuridis adalah pertimbangan Hakim yang didasarkan pada fakta-fakta yuridis yang terungkap dalam persidangan dan oleh Undang-Undang ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat di dalam putusan.

1) Dasar-dasar yang menyebabkan diperberatnya pidana

Undang-Undang membedakan antara dasar-dasar pemberatan pidana umum dan dasar-dasar pemberatan pidana khusus. Dasar pemberatan pidana umum adalah dasar pemberatan pidana yang berlaku untuk segala macam tindak pidana, baik tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), maupun yang diluar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

50 H.B. Sutopo. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta. Gramedia Pustaka Utama. Hal.

(27)

46 Dasar pemberatan pidana umum disebabkan karena jabatan (diatur dalam Pasal 52 KUHP yang berbunyi “Bilamana seorang pejabat karena melakukan tindak pidana melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya, atau pada waktu melakukan tindak pidana memakai kekuasaan, kesempatan, atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya, pidananya ditambah sepertiga)51, menggunakan sarana bendera kebangsaan (Pasal 52a KUHP yang berbunyi “Bilamana pada waktu melakukan kejahatan digunakan bendera kebangsaan Republik Indonesia, dipidana untuk kejahatan tersebut dapat ditambah sepertiga”)52, dan disebabkan pengulangan.

Dasar pemberatan pidana khusus adalah dirumuskan dan berlaku pada tindak pidana tertentu saja, dan tidak berlaku pada tindak pidana lain. Maksud diperberatkan pidana pada dasar pemberatan pidana khusus adalah si pembuat dapat dipidana melampaui atau diatas ancaman maksimum pada tindak pidana yang bersangkutan, hal diperberatnya dicantumkan di dalam tindak pidana tertentu. Dasar pemberatan khusus karena hanya berlaku pada tindak pidana tertentu yang dicantumkannya alasan pemberat. Bentuk-bentuk tindak pidana yang diperberat terdapat dalam jenis/kualifikasi tindak pidana pencurian (Pasal 363 KUHP) dan tindak pidana penggelapan (Pasal 365) dan bentuk pemberatannya diatur dalam Pasal 374 dan Pasal 375 KUHP. 53

51 Pasal 52 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 52 Pasal 52 a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

53 Nur Iman. 2014. Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Penadahan (Studi Kasus No.

(28)

47 2) Dasar-dasar yang menyebabkan diperingannya pidana

a) Dasar yang menyebabkan diperingannya pidana umum terdapat pada tindak pidana secara umum. Alasan-alasan yang meringankan menurut KUHPidana yaitu Belum dewasa atau minderjarigheid terdapat pada Pasal 47 KUHPidana, Membantu atau

medeplichgqheid terdapat pada Pasal 57 ayat 1 KUHPidana,

Percobaan terdapat pada Pasal 53 ayat 2 KUHPidana,.54

b) Dasar diperingannya pidana khusus, berlaku pada tindak pidana tertentu saja dan tidak perlaku umum untuk segala macam tindak pidana. Terdapat unsur yang menyebabkan diperingannya pidana terhadap terdakwa, yakni tindak pidana dalam eenvoudige delicten, bentuk dasar atau bentuk secara biasa, serta tindak pidana lainnya yang berarti bahwa bukan merupakan bentuk pokok, melainkan syarat-syarat serta pembuatannya berlaku sama.55

54 Adam Chazawi. 2002. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2. Jakarta. Raja Grafindo Persada. Hal.

105

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan pemaparan diatas, penulis tertarik untuk meneliti efek perbandingan dari teh hijau dan teh hitam terhadap efek hemostasis pada luka potong ekor mencit

Puji syukur atas segala rahmat-Nya penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yesus Kristus, Sang Pencipta, dan Penguasa, segala karya atas karunia dan pertolongan-Nya

I am happy to see this great work as part of collaborations among Universitas Ahmad Dahlan and Universitas Gadjah Mada, Universitas Diponegoro, Universitas

Implikasi penelitian ini dapat digunakan sebagai pedoman bagi lembaga wakaf yang ada di Indonesia untuk mengembangkan pengelolaan dana wakaf produktif untuk

Jumlah butir bernas per malai yang dihasilkan varietas Sunting Bungo Durian dan Randah Kuning meningkat pada dosis abu tandan kosong kelapa sawit 300-900 kg ha

Transparansi laporan keuangan merupakan upaya dalam memberikan informasi keuangan yang terbuka dan jujur kepada masyarakat berdasarkan pertimbangan bahwa

Ferm entasi daging te lah m enjadi subjek pene litian intensif selam a dekade terakhir, dim ana konse kuensi dari aktivitas enzim proteolitik m enyebabkan adanya

Berdasarkan hasil pengujian dapat disimpulkan bahwa Self Organized Map sudah mampu mengelompokkan jerawat berdasarkan fitur warnanya dengan akurat, namun karena