• Tidak ada hasil yang ditemukan

MASUK ANGIN: Konsep Jawa vs Modern dan Implikasi Pengobatannya. Atik Triratnawati

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MASUK ANGIN: Konsep Jawa vs Modern dan Implikasi Pengobatannya. Atik Triratnawati"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

MASUK ANGIN:

Konsep Jawa vs Modern dan Implikasi Pengobatannya

Atik Triratnawati

East is east, west is west, and never the twain shall meet (Rudyard Kipling)

Pendahuluan

Kesehatan bagi manusia modern sering dianggap segala-galanya. Sehat adalah modal utama dalam melaksanakan aktivitas apapun. Kesehatan kemudian dianggap sebagai investasi dan bukan lagi sebagai beban. Sehat adalah investasi yang melebihi investasi uang. Manusia dapat mencari uang jika sehat, saat sakit uang sebanyak apapun terasa tiada berguna (Malahayati, 2010: 11).

Dalam kondisi seperti itu hidup sehat kemudian menjadi dambaan setiap manusia. Akan tetapi selama hidupnya manusia sering terganggu kesehatannya, seringan apapun gangguan kesehatan tersebut. Akibatnya keadaan sakit bagi seseorang selain akan membawa ketidaknyamanan dan penderitaan juga berpengaruh pada pada biaya kesehatn yang mesti dikeluarkannya. Oleh karena itu manusia akan berupaya agar terhindar dari kesakitan dan penyakit, sebab sakit dan penyakit seakan-akan menjadi trauma bagi penderitanya.

Setiap masyarakat mempunyai sistem medis sendiri. Sistem medis adalah unsur universal dari suatu kebudayaan sehingga sistem medis adalah bagian integral dari kebudayaan. Setiap sistem medis merefleksikan nilai-nilai inti dari orang yang menggunakannya (McElroy dan Townsend, 1996: 102). Penyakit ditentukan oleh kebudayaan, sehingga semua sistem medis memiliki segi pencegahan dan pengobatan, serta sistem medis mempunyai sejumlah fungsi. Istilah sistem medis mencakup keseluruhan pengetahuan kesehatan, kepercayaan, ketrampilan dan praktik-praktik dari para anggota dari tiap kesatuan sosial (Hardon, et al, 1995: 6). Pemakaian istilah sistem medis harus digunakan dalam artian komphrehensif yang mencakup semua aktivitas klinik dan nonklinik, pranata-pranata formal dan informal serta segala aktivitas lain yang betapapun menyimpangnya tetapi berpengaruh terhadap derajat kesehatan kelompok tersebut dan meningkatkan fungsi masyarakat secara optimal (Foster dan Anderson, 1986: 45-52).

Dalam kehidupan sehari-hari aktivitas manusia yang beragam dan tinggi intensitasnya seringkali menimbulkan gangguan ketidakseimbangan unsur di dalam tubuhnya, yang kemudian disusul dengan munculnya penyakit atau kondisi sakit. Gangguan ketidakseimbangan itu ada yang sifatnya ringan atau berat. Gangguan yang ringan sifatnya akan menimbulkan penyakit yang ringan, sementara yang berat akan menimbulkan penyakit yang berat pula.

Salah satu kondisi kesehatan yang mengganggu kehidupan warga masyarakat di Jawa adalah masuk angin. Di suatu pertemuan misalnya sering terlihat seseorang memilih duduk di pojok ruangan demi menghindar dari AC, alasannya karena takut terkena hembusan angin dingin dari penyejuk ruangan tersebut. Demikian juga banyak penumpang bus non-AC memilih menutup

(2)

rapat kaca jendela karena khawatir terkena angin. Tidak jarang pula orang tua akan menasihati anak-anaknya agar jangan tidur di lantai tanpa alas karena nanti akan mengalami sakit. Kondisi-kondisi tersebut dianggap akan menimbulkan gangguan kesehatan yang dikenal dengan istilah masuk angin.

Peristiwa masuk angin bagi orang Jawa dan masyarakat Indonesia pada umumnya muncul karena orang Jawa memiliki konsep sakit berupa rasa tidak nyaman, tidak enak di badan, yang dipercaya diakibatkan oleh pengaruh angin. Masuk angin sebenarnya bukan istilah medis, namun masyarakat menyebut seperti itu. Gejala yang muncul antara lain perut kembung, mual, nyeri, ditambah tidak bisa kentut dan bersendawa (Rustami, 2009: 85). Ferzacca (2001: 96) menambahkan bahwa gejala masuk angin termasuk pula panas-dingin, demam, lesu, meriang, cekot-cekot, sakit persendian, nyeri otot, badan pegal-pegal, mata berkunang-kunang, muntah dan bersin-bersin.

Bagi orang Jawa angin dianggap masuk ke dalam tubuh manusia melalui pori-pori (Triratnawati, 2005; Tamtama, 2005), maupun sembilan lubang tubuh manusia (babahan nawa sanga) (Endraswara, 2006: 240). Akibat unsur angin yang masuk tubuh yang berlebih maka tubuh mengalami ketidakseimbangan.

Sehat bagi orang Jawa adalah keseimbangan, sementara sakit, celaka dan

ketidakberuntungan dianggap sebagai ketidakseimbangan (Yitno, 1985). Sementara itu pihak medis yang mendasarkan konsep biomedis dalam mendefinisikan sakit menitikberatkan hasil laboratorium maupun penyebab penyakit berupa virus, kuman, amuba, jamur atau jasat renik (Galanti, 2008: 22).

Akibat adanya perbedaan konsep antara orang Jawa dan medis maka masuk angin pun dipandang berbeda oleh kedua belah pihak. Tidak ada terminologi medis untuk masuk angin sehingga masuk angin hanya dianggap sebagai kumpulan gejala/simptom suatu penyakit. Pihak medis menyebut masuk angin sama dengan common cold (influenza, pilek), wind cold atau catching a cold (www.expat.or.id/medical/masukangin.html). Masuk angin dianggap dapat menjadi gejala dari penyakit yang beragam seperti: influenza, hipertensi, diabetes, hepatitis, atau stres pasca trauma (Tamtomo, 2005: 16). Oleh sebab itu masuk angin oleh pihak medis akan diobati berdasar gejala yang dirasakan pasien.

Sebaliknya masyarakat Jawa mengenal masuk angin sebagai suatu penyakit akibat ketidakseimbangan elemen tubuh seperti: air, angin, api, tanah (patologi humoral) (Triratnawati, 2005: 156). Pengaruh masuk angin tidak hanya mengakibatkan terganggunya aktivitas mencari nafkah, beberapa orang terpaksa tidak masuk kerja, atau tidak hadir dalam aktivitas lain seperti sosial, budaya, dan keagamaan. Meski alasan masuk angin dapat diterima oleh semua pihak sehingga ketidakhadiran seseorang dalam bekerja atau aktivitas sosial keagamaan lain tidak memerlukan bukti surat dokter. Mereka biasa melisankan saja apabila membolos kerja akibat masuk angin. Akan tetapi apabila seseorang sering membolos dengan alasan masuk angin maka hal itu perlu dipertanyakan.

Lewat penelitian ini ingin diungkap bagaimana konsep Jawa dan medis modern mengenai masuk angin serta implikasi msing-masing konsep terhadap pengobatannya. Pengumpulan data dilakukan tahun 2008-2009 di komunitas petani Desa Sardonoharjo (Sleman) dan konunitas nelayan di Desa Pandangan Wetan (Rembang). Kedua komunitas pekerjaan utamanya berada di udara terbuka, namun dengan intensitas waktu yang berbeda. Terdapat 60 informan laki-laki dan perempuan dewasa yang diwawancara terkait dengan pengalaman mereka saat mengalami masuk angin, sementara dari sisi medis wawancara dilakukan terhadap 3 orang bidan/mantri, 1dokter dari masing-masing Puskesmas di wilayah penelitian serta 3 dokter dari rumah sakit pendidikan di Sleman. Demi memperkaya data keterangan dari informan kunci sangat diperlukan

(3)

seperti: kepala desa/perangkat, dukun, 5 penyembuh tradisional termasuk tukang pijat, tukang kerok dan terapi prana.

Konsep Jawa Masuk Angin

Bagi orang Jawa masuk angin telah dianggap sebagai gangguan kesehatan yang sifatnya biasa atau lumrah, bahkan akibat masuk angin itu sering mereka alami sehingga disebut penyakit harian. Masuk angin adalah fenomena budaya sekaligus medis, sebab masuk angin adalah pemahaman/konsep Jawa terkait dengan ketidaknyamanan tubuh tetapi hal itu juga merupakan konsep medis sebab memang tubuh mengalami gangguan dan mereka juga memiliki cara mengenali penyebab, penyembuhan maupun pencegahannya. Masuk angin adalah gangguang kesehatan yang bersifat subyektif karena didasarkan pada pengalaman penderita. Satu penderita dengan yang lain dapat saja berbeda perasaan, pengalaman maupun daya ambang rasa sakitnya. Dalam pandangan antropologi perhatian mengenai pengalaman budaya terkait penyakit menjadi mata rantai yang penting menyangkut etnis dan kesadaran kesadaran mereka akan kesehatan (Chrisman dan Maretzki, 1982: 6).

Studi mengenai Antropologi Kesehatan membedakan antara yang disebut illness, disease maupun sickness. Masuk angin termasuk sebagai illness. Illness adalah problem kesehatan yang didasarkan atas pengalaman penderita sehingga merupakan fenomena budaya (Kleinman, 1988: 3-4; Hardon, et al, 1995: 11). Pemahaman Jawa mengenai masuk angin selalu terkait dengan angin yang masuk ke dalam tubuh sehingga seluruh tubuh menjadi dingin. Menurut konsep Jawa angin yang bersifat dingin tersebut apabila terdapat di dalam tubuh dalam jumlah yang tidak seimbang akan menimbulkan gangguan kesehatan. Teori penyebab penyakit yang muncul lebih didasarkan pada naturalistik daripada personalitik. Sistem naturalistik bersifat tidak mengenai orang tertentu melainkan umum (impersonal). Penyakit muncul akibat ketidakseimbangan kekuatan alam seperti panas, dingin, udara, kelembaban, sehingga sehat menekankan pada model keseimbangan (Brown, 1998: 112). Dengan demikian penyembuhan lebih dimaksudkan untuk menyeimbangkan kembali tubuh pasien ke keadaan semula/normal (Galanti, 2008: 21).

Bagi orang awam masuk angin dianggap terjadi karena kehujanan, perut kosong atau pencernaan kurang beres (Murti dan Poerba, 2010: 119). Sementara orang Jawa menganggap bahwa masuk angin dapat terjadi akibat kelelahan, kehujanan, kedinginan, kepanasan, atau perubahan panas ke dingin dan sebaliknya secara mendadak, banyak pikiran, kurang tidur akibat begadang, terlambat makan, tidur di lantai tanpa alas, maupun terkena angin yang keras. Penyebab masuk angin dapat bersifat fisik maupun mental atau bahkan keduanya. Bahkan salah seorang penyembuh tradisional Jawa menyatakan sebagai berikut.

“Masuk angin tidak mungkin jika penyebabnya hanya raga saja, tetapi pasti ada unsur pikirannya. Sebab dalam pandangan Jawa jiwa (spirit) itu bisa berupa pikiran (mental), perasaan (ada hawa dan napsu) maupun budi. Apabila ada bagian pikiran tidak senyawa dengan lingkungannya akan menimbulkan sakit. Keseimbangan perlu diujudkan sebab masing-masing unsur tubuh menuntut haknya. Seseorang yang berbeda pendapat, marah, tidak mampu mengendalikan emosi berarti hatinya terluka, pada saat yang bersamaan ada energi yang dikeluarkan dengan keras, pasti ia akan merasakan sakit karena tubuh menjadi tidak seimbang atau selaras. Tubuh membutuhkan makanan untuk hidup, namun apabila perut dibiarkan kosong misalnya terlambat makan maka tubuh akan merasakan masuk angin, sebab tubuh fisik menuntut haknya untuk diberi makanan”.

(4)

Dari kutipan di atas, ditambah beberapa pengalaman masuk angin yang dialami para informan memang ditemukan bahwa faktor banyaknya pikiran, perasaan atau emosi sering menjadi pencetus munculnya masuk angin. Tuntutan pekerjaan memaksa seseorang untuk bekerja keras sehingga sering mengabaikan waktu makan-minum, istirahat. Akibatnya beban pikiran mereka menjadi terlalu berat, vitalitas tubuh menurun, bahkan muncul gejala sulit tidur karena belum menemukan solusi atas masalah yang dihadapi. Kondisi kurang tidur, kurang makan, minum jika dibiarkan lama kelamaan akan menumpuk dan terjadilah ketidakseimbangan unsur di dalam tubuh.

Gejala awal masuk angin berbeda antara satu orang dengan yang lainnya. Bahkan intensitas gejalanya juga berbeda. Ada penderita yang merasa bagian kepala dirasa paling berat rasanya, umumnya kepala terasa pusing, berdenyut-denyut, bahkan berputar-putar, sementara yang lain merasa bahwa bagian perutlah yang dirasa paling berat sebaba bagian perut terasa mual, kembung dan tidak jarang kemudian muntah-jmuntah. Ada pula seseorang mengenali masuk angin dari badan yang terasa pegal linu, keju-keju (terasa pegal sekali), bahkan otot-otot di seluruh badan terasa hampir copot (Jw. awak kaya dilolosi). Tidak sedikit penderita masuk angin merasakan bahwa mata terasa ngantuk terus menerus, rasanya badan hanya ingin tidur saja, meski mereka baru saja bangun dari tidur. Kutipan informan I (39 tahun) sebagai berikut.

“Kula nak masuk angin niku teng mata rasane mbeyuyut, abot nek ajeng melek. Awak rasane aras-arasen dinggo nyambut gawe. Mengke nak sela nggih njuk ngaso, ning nak dereng sela nggih ngrampungke gaweyan riyin”.

Artinya: “Saya kalau masuk angin mata itu rasanya ngantuk terus, berat jika membuka mata. Badan terasa malas untuk bekerja. Nanti jika longgar beristirahat, tetapi jika belum longgar pekerjaan diselesaikan dahulu”.

Pada umumnya penderita masuk angin merasakan badan yang lemah, lesu, serta mulut tidak enak untuk makan minum. Makanan terasa pahit di lidah, demikian juga rokok. Oleh karena itu banyak informan perokok yang menandai dirinya mengalami masuk angin apabila merokok itu terasa pahit. Seperti yang diungkapkan S (69 tahun).

“Pokoke nak ses (udut) niku krasa ora enak, pait nika, wah mesti kula masuk angin niku”. Artinya: “Pokoknya jika merokok terasa tidak enak, pahit, wah mesti saya mengalami masuk angin”.

Orang Jawa membedakan masuk angin berdasar berat ringannya gejala, banyak sedikitnya jumlah gejala serta mudah tidaknya dalam proses penyembuhan. Pertama, masuk angin ringan, yaitu masuk angin yang dirasakan gejalanya tidak terlalu berat, tidak sampai muntah maupun diare, masih mampu bekerja atau beraktivitas serta doyan makan dan minum meski jumlahnya tidak seperti saat sehat. Kedua, masuk angin berat, yaitu masuk angin dengan gejala yang beragam dan berat termasuk diikuti oleh muntah-muntah maupun diare. Ketiga, masuk angin kasep, yaitu masuk angin yang dibiarkan atau tidak dirasakan oleh penderitanya sehingga berubah menjadi berat bahkan membawa kematian yang sifatnya mendadak. Masuk angin kasep selalu diawali dengan masuk angin biasa, kemudian masuk angin berat, akan tetapi oleh penderitanya hal itu tidak dirasakan serta tidak segera ditanggulangi. Akibatnya kematian mendadak yang sering diawali dengan rasa tidak enak badan, sesak napas atau keluar banyak keringat itu disebut sebagai angin duduk. Ungkapan penyembuh tradisional S (42 tahun) menguatkan hal itu.

(5)

“Angin duduk niku mesti dimulai saking masuk angin biasa, ning mboten diraosake. Lha niku mbebayani mergane ora ngapa-ngapa mung lingguh njuk seda”.

Artinya: “Angin duduk itu mesti dimulai dari masuk angin biasa, akan tetapi tidak dirasakan. Itu berbahaya soalnya tidak melakukan pekerjaan apapun hanya duduk saja terus mati”.

Bagi orang Jawa masuk angin duduk dianggap sebagai masuk angin yang berbahaya sebab umumnya penderita tidak mampu ditolong lagi. Oleh sebab itu gangguan masuk angin tidak boleh dianggap sepele atau ringan sebab jika tidak dirawat atau dibiarkan saja dan tidak diperhatikan akibatnya akan fatal yaitu kematian. Pihak medis menyebut angin duduk sebagai gangguan pembuluh darah yang jika dibiarkan akan menjadi serangan jantung (Intisari, 2005: 122). Matriks berikut akan memberi penjelasan mengenai klasifikasi masuk angin beserta gejala yang muncul. Kategori/gejala M. A. ringan M. A. berat M.A. kasep/terlambat (angin duduk) Pusing/sakit kepala √ √ √ Panas √ √ √ Dingin √ √ √ Pegal linu √ √ √

Perut terasa tidak

enak/njebebeg

√ √ √

Makan minum tidak enak √ √ √

Greges-greges √ √ √ Awak abot √ √ √ Muntah √ √ Mencret √ √ Sesak napas √ Dada nyeri √ Keringat mengucur √

Catatan: M.A adalah singkatan dari masuk angin.

Dari matriks di atas terlihat bahwa bagi orang Jawa konsep masuk angin bukanlah pilek atau batuk, meski kedua penyakit itu sering menyertai masuk angin. Jika penderita masuk angin juga mengalami batuk, pilek maka hal itu dianggap sebagai kebetulan semata, sebab batuk pilek muncul akibat kondisi fisik penderita yang kurang prima sehingga penyakit apapun mudah dialaminya. Sementara itu gejala angin duduk terlihat paling banyak jumlahnya. Namun, akibat penderita tidak merasakan atau mengabaikan gejalanya, maka yang paling sering muncul hanyalah gejala yang spesifik seperti: nyeri dada, sesak napas, maupun keringat mengucur yang terlihat sebelum pasien meninggal.

(6)

Apabila pihak medis menyamakan masuk angin sebagai gejala pilek atau batuk maka gejalanya yang akan muncul adalah bersin-bersin maupun batuk-batuk. Pilek maupun batuk dipercaya berasal dari virus sehingga bisa menular, sementara masuk angin bukanlah dianggap penyakit yang mampu menular, kecuali orang sekitar penderita juga mengalami kelelahan atau vitalitas tubuh yang turun.

Orang Jawa mengatasi gangguan masuk angin lewat kerokan. Kerokan adalah menggurat atau mengerik (tidak sampai mengelupas) bagian kulit tubuh penderita dengan tekanan yang lembut dibantu alat berupa uang logam (Jw. benggol) serta minyak atau balsam sebagai pelicin (Sanyoto, 1995: 77). Kerokan dilakukan di daerah seperti punggung, bahu, leher, dada, perut, tangan, kaki. Luas sempitnya permukaan kulit yang dikerok tergantung pada rasa sakit yang dialami penderita. Jika masuk angin yang dirasakan ringan umumnya hanya punggung atau leher saja yang dikerok. Sebaliknya apabila seluruh tubuh merasakan pegal dan linu bahkan disertai muntah maupun diare biasanya kerokan akan dilakukan ke seluruh tubuh. Seperti kebiasaan yang dilakukan Ibu M (55 tahun).

“Kula nak kerokan sak awak kabeh, mergane bahu dan sikil krasa keju-keju yen bali saking alas. Yen pun dikeroki biasane awak trus krasa entheng”.

Artinya: “Saya kalau kerokan sekujur tubuh, sebab bahu dan kaki terasa pegal-pegal semua jika pulang dari sawah. Jika sudah dikerok biasanya badan jadi ringan”.

Kerokan adalah pengobatan pertama dan utama untuk mengatasi masuk angin. Setelah kerokan umumnya penderita kemudian minum minuman panas seperti teh, kopi, jahe atau ada pula yang mencampur air mendidih dengan dicampur sedikit garam. Minuman panas dimaksudkan agar supaya badan cepat mengeluarkan keringat, sementara air garam untuk mencegah agar tidak muntah. Kerokan bekerja dengan cepat sebab tekanan langsung menyentuh ke otot sehingga peredaran darah kembali lancar. Selain kerokan ada beberapa informan yang memilih pijat; minum ramuan jamu (sachet kemudian ditambah anggur, madu, kolesom, telur) dari warung jamu tradisional); minuman bersoda; atau obat bebas yang dibeli di warung. Bahkan demi mendapat kesembuhan yang cepat mereka juga mengkombinasikan antara kerokan dengan pijat, jamu, atau obat Semuanya dimaksudkan agar tubuh cepat mencapai keseimbangan sehingga tanda-tanda kesembuhan seperti berkeringat, badan ringan, rasa kemepyar (pandangan mata yang jernih dan badan segar), mampu kentut dan bersendawa cepat mereka alami.

Kesembuhan masuk angin didasarkan oleh pengalaman penderita serta diukur dari efektivitas kerokan. Kesembuhan internal (tidak terlihat) hanya dirasakan oleh penderita seperti rasa kemepyar, entheng (ringan), segar, rileks, sementara kesembuhan yang bersifat eksternal (terlihat) bisa diamati dari warna merah atau merah kehitaman dari kulit penderita setelah dikerok maupun tanda lain seperti kentut maupun sendawa. Semakin merah atau kehitaman kulit penderita dianggap semakin berat masuk angin yang diderita. Demikian pula rasa mantap atau sugesti yang kuat dialami penderita apabila warna kulit akibat kerokan semakin gelap (merah kehitaman). Faktor sugesti dan rasa pasrah dari penderita setelah dikerok menjadi kekuatan tersendiri bagi kesembuhan penyakitnya.

Kerokan atau coin rubbing atau coining (McElroy dan Townsend, 1996: 311; Galanti, 2008: 197; Helman, 1995: 121) merupakan praktek pengobatan untuk menyembuhkan panas-dingin, sakit kepala, nyeri otot, atau penyakit ringan lainnya yang dipraktikkan secara luas pada masyarakat di Asia Tenggara. Di kalangan mereka muncul kepercayaan bahwa warna merah menandakan bahwa penyakit telah keluar dari permukaan kulit mereka. Tanda merah dianggap hanya muncul jika seseiorang benar-benar sakit (Galanti, 2008: 198).

(7)

Bagi orang Jawa praktik kerokan dianggap sebagai penyembuhan masuk angin yang efektif, manjur, murah serta mudah. Alasan lain adalah kerokan sesuai dengan prinsip keseimbangan dalam kosmologi Jawa, dimana untuk mengembalikan keseimbangan maka berarti keseimbangan jiwa, raga dan suksma harus terwujud. Kerokan sebagai penyembuhan yang bersifat holistik tidak hanya mengembalikan fisik penderita saja melainkan juga mental yaitu rasa pasrah, sabar dan nrima (menerima). Kesembuhan penderita akan cepat karena secara sosial pun kerokan memiliki fungsi mengembalikan hubungan manusia satu dengan yang lain lewat perhatian, sentuhan tangan saat mengerok maupun nasihat atau diskursus yang muncul saat penderita dan penyembuh (pengerok) saling berinteraksi.

Konsep Medis Masuk Angin

Para dokter yang melakukan praktik pengobatan baik di Puskesmas, rumah sakit maupun praktik pribadi sering menjumpai keluhan umum pasien yaitu badannya terasa tidak tidak enak. Mereka mengatakan kepada dokter bahwa dirinya mengalami masuk angin. Sebelum ke dokter mereka sudah melakukan kerokan, minum jamu, atau minum obat bebas di pasaran yang dimaksudkan untuk menghilangkan rasa sakit kepala, mual, atau pegal linu yang dialaminya. Namun, aneka pengobatan itu tidak membawa hasil sehingga jika gejala masuk angin itu sudah melampaui 3-7 hari maka banyak penderita kemudian berobat kepada dokter. Mereka berpendapat bahwa dirinya tidak mengalami masuk angin biasa sebab masuk angin umumnya sembuh setelah 1-3 hari, sebaliknya jika lebih dari 3 hari maka dipercaya ada gangguan kesehatan lain yang menyertainya. Oleh sebab itu mereka memeriksakan diri ke dokter yang dianggap lebih tahu karena memiliki peralatan kesehatan yang lengkap.

Dalam pandangan dokter semua penyakit itu pasti disebabkan oleh penyebab berupa virus, kuman, jasad renik maupun amuba (Galanti, 2008: 22). Oleh karena itu pemeriksaan pemeriksaan fisik, laboratorium, ditambah riwayat sebelum sakit akan dilakukan dokter sebelum mereka melakukan pengobatan.

Menurut para dokter hampir sebagian besar pasien yang datang kepadanya khususnya orang desa menceriterakan keluhannya yang dialami secara umum/general. Mereka mengatakan kepada dokter dengan ungkapan “Saya masuk angin dokter”. Kata masuk angin itu digunakan baik untuk mengungkapkan keluhan berupa: kembung, mual, melilit, pegal linu, sakit kepala serta keluar keringat dingin. Pendek kata semua rasa tidak enak atau tidak nyaman yang dirasakan tubuh pasien mereka beri istilah sebagai masuk angin. Dokter biasanya akan melakukan anamnesa yaitu menanyai riwayat penyakit, misalnya kapan panas, dingin, kembung, atau pegal linu itu mulai dirasakan, atau berapa kali muntah dan diare itu dialami. Setelah itu dokter akan lebih menfokuskan pada gejala yang utama misalnya berapa lama gejala itu sudah dirasakan, termasuk riwayat penyakit sebelumnya. Setelah anamnese barulah pemeriksaan fisik dilakukan dengan alat stetoskop maupun tensimeter. Dokter akan memeriksa fisik pasien misalnya di bagian perut, dada, mulut, kening dan lain sebagainya. Setelah pemeriksaan fisik barulah diagnosa ditegakkan.

Masuk angin seperti yang dikeluhkan oleh pasien tidak ada istilah medisnya, sebab kalangan medis tidak bisa menerima fenomena angin yang masuk ke dalam tubuh. Dari kacamata kedokteran masuk angin tidaklah dianggap sebagai penyakit melainkan hanya kumpulan gejala saja seperti flu/pilek (Tamtomo, 2005: 15). Dalam praktik medis para dokter menyebut masuk angin dapat dianggap manifestasi dari gejala penyakit seperti flu, batuk, ISPA (infeksi saluran pernapasan atas), maag, gangguan pencernaan, penyakit jantung atau gangguan penglihatan bagi mereka yang sudah berusia tua.

(8)

Tidak lupa juga dokter akan menanyakan pada pasien pengobatan rumah tangga apa saja yang telah dilakukan sebelum pergi ke dokter. Jika pasien sudah melakukan kerokan maka dokter tidak akan melarang maupun menganjurkan. Dokter tidak tahu pasti manfaat atau kerugian kerokan sebab memang kerokan tidak dikenal di dalam dunia medis. Selain itu mereka menganggap belum ada uji klinis atas pengaruh kerokan terhadap kulit maupun fungsi penyembuhannya sehingga mereka cenderung membiarkan praktik kerokan tersebut.

Namun karena banyak pasien, khususnya orang Jawa melakukan kerokan dan terbukti sembuh maka faktor sugesti dianggap sebagai faktor utama kesembuhan tersebut. Para dokter masih menghormati kepercayaan tradisional dari pasien terhadap penyembuhan rumah tangga yang mereka lakukan. Dokter kemudian akan mengobati pasien dengan cara meringankan gejala yang dialami pasien. Apabila sakit kepala yang dirasakan cukup menonjol maka dokter akan menghilangkan nyeri di kepala itu dengan obat-obatan yang telah mereka pelajari di bangku kuliah, demikian pula dengan perut melilit yang kemudian didiagnosa sebagai maag maka dokter akan memberikan obat maag.

Dalam menyembuhkan dokter menyatakan bahwa mereka hanya menghilangkan gejala, artinya fisik atau fisiologi saja yang mereka perhatikan. Mereka tidak mengobati dalam konteks budaya pasien akan tetapi lebih mandiri didasarkan pada sisi biomedis. Dalam sistem medis Barat biasanya menitikberatkan penyakit sebagai entiti klinis yang dapat didiagnosa secara mandiri keluar dari konteks budaya (McElroy dan Townsend, 1996: xxi).

Model Penyembuhan Holistik

Menurut faham Jawa bahwa tubuh akan dijaga oleh kakang kawah adhi ari-ari. Agar hidup manusia selamat ia harus memahami alam semesta sebagai simbol kekuasaan Tuhan. Oleh Tuhan orang Jawa diberikan arah/kiblat yang dinamakan keblat papat lima pancer yaitu 4 arah mata angin ditambah pusat/tengah agar tidak salah arah. Kakang kawah adhi ari-ari meliputi empat elemen kawah atau ketuban (arah timur), darah (arah selatan), talipusat (arah barat), dan pusar/plasenta (arah utara) (Endraswara, 2006: 102; Hardjodisastra, 2010: 201) yang berfungsi menjaga kesehatan jiwa, raga dan suksma agar selalu dalam keadaan keseimbangan dalam konteks memayu hayuning bawana. Memayu hayuning bawana artinya manusia harus selalu menjaga keselarasan dan keseimbangan. Kesehatan jiwa, raga dan suksma itu perlu dijaga dalam rangka menuju sangkan paraning dumadi (Tuhan sebagai tempat berakhir manusia) sehingga manusia akan mendapatkan jalan yang terang (padhang). Masuk angin terjadi akibat ketidakseimbangan antara 3 unsur kesehatan manusia itu.

Dalam mengatasi masuk angin, orang Jawa menggunakan penyembuhan holistik yaitu berusaha mengembalikan keseimbangan baik jagat gedhe (makrokosmos) maupun jagat cilik (mikrokosmos), artinya manusia berusaha memperbaiki relasi sosial baik dengan sesama, lingkungan alam maupun Tuhan. Penyembuhan holitik melihat manusia secara komplit. Artinya pasien bukan hanya sekedar tampilan jasad yang harus dibebaskan dari bakteri maupun penyakit fisik lainnya melainkan lebih dari itu. Holistik beranjak dari empati terhadap diri sendiri (Intisari, 2004: 71-78). Baik kerokan, pijat, jamu, minuman bersoda mampu mengembalikan keseimbangan tubuh individu baik fisik maupun metafisik. Pasca pengobatan perilaku orang Jawa akan berubah lebih pasrah, sabar dan nrima atas apa yang akan terjadi, baik kesembuhan maupun ketidaksembuhan. Rasa sugesti yang kuat akan upaya penyembuhan yang mereka lakukan mampu mempercepat proses kesembuhan. Dalam pengobatan holistik tidak hanya individu yang diperlakukan secara pribadi, melainkan ada unsur caring (merawat), artinya individu yang tidak mampu merawat diri sendiri dibantu satu dengan yang lain, di sini kasih sayang akan muncul

(9)

seperti dalam prinsip keperawatan (nursing) (Chrisman dan Maretzki, 1982: 118). Kerokan pun mengandung unsur saling tolong menolong, sebab meski penderita mampu mengerok diri sendiri akan tetapi ada bagian tubuh tertentu yang mesti dikerok oleh orang lain karena keterbatasan jangkauan tangan manusia. Kerokan juga sifatnya tolong menolong antar sesama, saat ini diminta mengerok, lain kali ganti akan meminta dikerok. Hal ini menunjukkan bahwa bagi orang Jawa hidup itupun tidak mungkin tanpa bantuan orang lain.

Kesimpulan

Masuk angin bagi orang Jawa adalah konsep budaya mengenai ketidaknyamanan tubuh dan memiliki arti bagi penderitanya. Masuk angin muncul karena proses ketidakseimbangan baik menyangkut fisik, mental maupun suksma sehingga proses penyembuhan yang bersifat holistik pun dimaksudkan untuk mengembalikan keseimbangan. Sementara pihak medis menganggap masuk angin hanyalah kumpulan gejala seperti flu atau penyakit lainnya sehingga penyembuhannya cenderung menekankan pada aspek klinis yang mandiri dan terpisah dari unsur budaya.

Referensi

Brown, P.J., 1998, Understanding and Applying Medical Anthropology, Mountain View: Mayfield Publishing Company

Chrisman, N.J. dan Maretzki, T.W., 1982, Clinically Applied Anthropology, Anthropology in Health Science Settings, Dordrecht: D. Reidel Publishing Company

Endraswara, S., 2006, Mistik Kejawen, Yogyakarta: Narasi

Ferzacca, S., 2001, Healing the Modern in a Central Javanese City, Durham: Carolina Academic Press

Foster, G.M, dan Anderson, B.G, 1986, Antropologi Kesehatan (terjemahan oleh Meuthia Hatta dan Priyanti Pakan), Jakarta: UI Press

Galanti, A.G, 2008, Caring for Patients from Different Cultures, Philadelphia: University of Pennsylvania

Hardjodisastro, D., dan Hardjodisastro, W., 2010, Ilmu Slamet, Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer Hardon, A., et al, 1995, Applied Health Reseach Manual, Anthropology of Health and Health

Research, Den Haag: Cip-Data Koninklijke Bibliotheek

Helman, C.G., 1995, Culture, Health and Illness: An Introduction for Health Professionals, Oxford: Butterworth-Heineman Ltd.

Intisari, 2004, Pengobatan Alternatif, Jakarta: PT Intisari Mediatama

---. 2005, Kumpulan Artikel Kesehatan 6, Jakarta: PT Intisari Mediatama Kleinman, A. 1988, The Illness Narratives, USA: Basic Books, Inc

Malahayati, 2010, Solusi Murah Untuk Cantik Sehat Energik, Yogyakarta: Great Publisher Mascie-Taylor, C.G.N. 1993, The Anthropology of Disease, New York: Oxford University Press

(10)

McElroy, A., dan Townsend, P., 1996, Medical Anthropology in Ecological Perspective, Boulder: Westview Press

Murti, T.K dan Poerba, A.P., 2010, Ramuan Tradisional Untuk Mengatasi Berbagai Penyakit, Yogyakarta: Insania

Rustami, A., 2009, A-Z Tips Hidup Sehat Sehari-hari, Yogyakarta: Wahana Totalita Publisher Sanyoto, W.K. 1995, Praktek Aneka Penyembuhan, Pekalongan: CV Bahagia

Tamtama, D.G., 2005, Kajian Biologi Mulekuler Pengobatan Tradisional Kerokan Pada Penanggulangan Mialgia, Disertasi, Universitas Airlangga

Triratnawati, A., 2005, “Masuk Angin, Patologi Humoral Jawa” dalam Ahimsa-Putra (eds.) Masalah Kesehatan Dalam Kajian Ilmu Sosial Budaya, Yogyakarta: CE-BU FK UGM

Yitno, A., 1985, “Kosmologi dan Dasar Konsep Kesehatan Pada Orang Jawa” dalam Soedarsono, dkk., Celaka, Sakit, Obat dan Sehat Menurut Konsepsi Orang Jawa, Yogyakarta: Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara

Referensi

Dokumen terkait

Dalam bekerja penting adanya sebuah pencapaian atau prestasi kerja, pada kuesioner yang ditanyakan adalah tentang apresiasi prestasi kerja dan peningkatan jabatan, namun pada

Karena memelihara keyakinan dan kebebasan memeluk suatu agama merupakan hal yang paling mendasar dalam Islam, maka Islam memandang orang yang murtad dari Islam,

Kompetensi Guru Agama adalah kewenangan untuk menentukan pendidikan agama yang akan diajarkan pada jenjang tertentu di sekolah tempat guru itu mengajar, dan sebagai seorang

Bahwa Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri semarang dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan atau UU, sehingga permohonan kasasi yang diajukan

Menurut Muzzani (1999: 86) jika dilihat dari sudut pandang kekuasaan yang berakibat pada penindasan, maka pengaruh hegemoni dapat dibedakan menjadi dua bagian

U ovom poglavlju biti će prikazane sve scene interaktivne multimedijske slikovnice Palčica i pojašnjen dio priče koji opisuje scena i elementi na sceni Naslovna scena je

Hasil penelitian ini mrmbuktikan (1) Ease of Use ditemukan memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap Satisfaction konsumen Tiket.com di Surabaya yang membeli tiket

Administrative staff for providing better service excellence to the