Kepemimpinan Otoritarianisme pada Film Jobs
1
Audy Chikal, 2Oji Kurniadi
1,2
Bidang Kajian PublicRelations, FakultasIlmuKomunikasi, UniversitasIslam Bandung, Jl. Tamansari No. 1 Bandung 40116
e-mail: 1audy.chikal@gmail.com, 2ziekurnia@yahoo.com
Abstract : This research is entitled Authoritarian Leadership in “Jobs” The Movie (A Qualitative Study
Using John Fiske’s Semiotics Approach on the Representation of Authoritarianism in “Jobs” Movie). Jobs is a biographical movie about the life of Steve Jobs on founding and leading the Apple Company. In this movie, Steve Jobs showed his efforts and ambition to build the company from zero. However, the tough way Steve Jobs conducted the company affected negatively on himself, even though he could rise again from the ashes afterward. Using semiotics method of John Fiske’s Television Signs, the research is aimed at unearthing the portrayal of authoritarian leadership in Jobs on three levels; they are Level of Reality, Level of Representation, and Level of Ideology. Moreover, the film codes used in this research is code of dialogue, code of expression, code of move, and code of camera. The research proves that Steve Jobs possesses the characteristics of authoritarian leadership in Jobs. These are acquired from his conversation with the employees, his unmanageable anger when facing the unexpected situation, to his tendency to take unilateral decisions often times.
Key Word: Movie, Jobs, Semiotics Analysis, John Fiske, Authoritarianism.
Abstrak : Penelitianiniberjudul “KEPEMIMPINAN OTORITARIANISME PADA FILM JOBS (Studi
Kualitatif Menggunakan Pendekatan Semiotika John Fiske Mengenai Representasi Otoritarianisme pada Film Jobs)”. Jobs merupakan film Biografi yang menceritakan perjalanan hidup seorang Steve Jobs dalam
mendirikan dan memimpin perusahaan Apple Company. Pada film ini Steve Jobs menunjukkan usaha dan ambisinya untuk membangun perusahaan yang dia dirikan. Namun Steve Jobs terlihat sangat keras dalam memimpin perusahaannya dan berdampak negative pada dirinya sendiri, walau akhirnya dia kembali dan membangun lagi perusahaan yang didirikannya.Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kepemimpinan otoritarianisme dalam film Jobs. Penelitian ini menggunakan metode semiotika, yaitu suatu ilmu yang mengkaji tentang tanda-tanda. Teori semiotika yang digunakan adalah kode-kode televisi John Fiske. Dalam penelitian ini, peneliti meneliti tiga level dari teori John Fiske, yaitu, Level Realitas, Level Representasi, dan Level Ideologi. Kode-kode film yang digunakan adalah kode dialog, kode ekspresi, kode gerakan, dan kode kamera.Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa kepemimpinan otoritarianisme diperlihatkan Steve Jobs dalam film ini. Mulai dari percakapan yang dia lakukan dengan bawahan, ekspresi Jobs yang sering marah-marah jika keadaan tidak sesuai dengan apa yang dia mau, hingga keputusan sepihak yang seringkali dia lakukan. Sehingga dari kode semiotika yang penulis teliti dia termasuk dalam ciri-ciri pemimpin otoritarianisme
Kata Kunci: Film, Jobs, Analisis Semiotika, John Fiske, Otoritarianisme.
A. Pendahuluan
Film “Jobs”adalah film dramabiografi tahun 2013 yang mengisahkan karier pebisnis Amerika Serikat Steve Jobs sejak 1971 sampai 2011. Garapan sutradara Joshua Michael Stern dan ditulis oleh Matt Whiteley tentang biografi dari seorang Steve Jobs sang CEO dari Apple Corporation.Dalamceritainitampaksepakterjang Steve Jobs dalammemipinperusahaannya, tidak heran jika film ini meraup keuntungan $6,7 juta pada minggu pertama penayangannya.
Gaya kepemimpinan otoritarianisme (Kepemimpinan Otokratis/
Kepemimpinan Diktator) adalah gaya kepemimpinan di mana seorang pemimpin yang memegang kendali di atas segalanya, dan semua bentuk kebijakan, peraturan,
keputusan dapat berubah sesuai dengan kemauan sang pemimpin. Dalam film tersebut Steve Jobs merasa idealisme miliknya dapat merubah dunia, dan semua bawahannya harus menuruti apa yang dia kehendaki.Seperti disebutkan di atas, ia dianggap sebagai otokratis.Kenyataan bahwa begitu banyak individu melaporkan kepadanya secara langsung merupakankeinginan untuk menahan semuanya di tangannya. Total kontrol tentu merupakan dasarkepemimpinan ini.Berangkat dari latar belakang di atas, penulis meneliti lebih lanjut mengenai gaya kepemimpinan otoriter yang ditampilkan dalam film “Jobs” melalui tanda, simbol, atau ikon-ikon tertentu dalam bentuk tulisan. Diharapkan dengan penelitian ini kita bisa lebih mengerti tentang cara memimpin dan dapat menjadi pemimpin yang bijaksana.
B. Landasan Teori.
1. Teknik Pengambilan Gambar
Teknik Pengambilan Gambar Fungsi Extreme Close-Up
Pengambilan gambar sangat dekat sekali, sampai pori-pori kulit pun kelihatan, fungsinya memperlihatkan detail suatu objek secara jelas
Big Close-Up
Pengambilan gambar dari sebatas kepala hingga dagu objek. Fungsinya untuk menonjolkan objek tujuannya untuk menimbulkan ekspresi tertentu.
Close-Up Pengambilan gambar dari pas atas kepala sampai bawah leher. Fungsinya untuk memberi gambaran objek secara jelas.
Medium Close-Up
Yaitu ukuran gambar sebatas dari atas kepala sampai dada. Fungsinya untuk menegaskan 'profil' seseorang sehingga penonton puas.
Waist Shot/Mid
Shot
Yaitu ukuran gambar sebatas dari kepala sampai pinggang, Fungsinya memperlihatkan sosok seseorang dengan 'tampangnya'.
Knee Shot/Medium
Shot
Ukuran gambar sebatas dari atas kepala hingga lutut. Fungsinya memperlihatkan sosok seseorang dengan 'tampangnya'.
FS/Full Shot Pengambilan gambar penuh dari atas kepala hingga kaki. Fungsinya untuk memperlihatkan objek dengan lingkungannya.
LS/Long Shot
Pengambilan gambar melebihi Full Shot. Fungsinya untuk menunjukkan objek dengan latar belakangnya.
1S/One Shot Pengambilan gambar satu objek.Fungsinya Memperlihatkan ‘seseorang' dalam inframe
2S/Two Shot Pengambilan gambar dua orang.Fungsinya untuk memperlihatkan adegan dua orang sedang bercakap
3S/Three Shot
Pengambilan gambar tiga orang.Fungsinya untuk menunjukkan tiga orang yang sedang mengobrol.
GS/Group Shot
Pengambilan gambar sekelompok orang. Fungsinya pada adegan pasukan sedang berbaris atau lainnya
2. Camera Angle
a. Bird Eye View:Merupakan teknik pengambilan gambar yang dilakukan juru
kamera dengan ketinggian kamera diatas ketinggian objek yang direkam. Hasil perekaman teknik ini memperlihatkan lingkungan yang demikian luas dengan benda-benda lain yang tampak di bawah demikian kecil.
b. High Angle :Sudut pengambilan dari atas objek sehingga kesan objek
mengecil. Selain itu teknik pengambilan gambar ini mempunyai kesan dramatis, yakni nilai 'kerdil'.
c. Low Angle :Artinya, sudut pengambilan dari arah bawah objek sehingga
kesan objek jadi membesar. Sama seperti high angle, low anglejuga memperlihatkan kesan dramatis, yakni prominence (keagungan).
d. Eye Level :Artinya, sudut pengambilan gambar sejajar dengan
objek.Hasilnya memperlihatkan tangkapan pandangan mata seseorang yang berdiri atau pandangan mata seseorang yang mempunyai ketinggian tubuh tepat tingginya sama dengan objek.
e. Frog Eye View :Teknik pengambilan gambar yang dilakukan juru kamera
dengan ketinggian kamera sejajar dengan dasar kedudukan objek atau dengan ketinggian yang lebih rendah dari dasarkedudukan objek. Dengan teknik ini dihasilkan satu pemandangan objek yang sangat besar, mengerikan, dan penuh misteri (Baksin, 2007:33-35).
3. Continuity
pengambilan gambar yang akan diinstruksikan pada juru kamera yang mendukung cerita.Ada beberapa teknik pengambilan gambar antara lain:
Backlight Shot Cenderung pada teknik ini objek seolah-olah disembunyikan rupa aslinya. Cocok sekali untuk film-film misteri atau shot, yang objeknya sedang gelisah
atau kesepian.
Point of Views Shot Yakni memperlihatkan shot dalam posisi sedang ngobrol resmi kamera akan bergantian mengambil close up objeknya.
Artificial Framing Shot
Jika juru kamera menempatkan seutas daun tepat di depan kamera hasil shot-nya seolah-olah juru kamera mengambil dari ranting pepohonan.
Jaws Shot Biasanya objek akan tahu jika diambil gambarnya. Namun dalam teknik ini justru seolah-olah objek tidak tahu sehingga ketika kamera menyorot ke
arahnya dia agak kaget, tetapi tetap dalam situasi dramatik.
Framing with Background
Tujuan teknik pengambilan gambar ini sebetulnya memberi efek keindahan. Jadi objek tetap fokus di depan, tetapi latar belakangnya dimunculkan sesuatu
untuk memberi kesan lain terhadap objek tujuan.
The Secret of Foreground Framing Shot
tujuan pengambilan gambar sebetulnya objek yang berada di depan, hanya latar belakang rupanya mempengaruhi sesuatu yang terjadi pada latar depannya
sehingga dia mempunyai andil.
Tripot Transition Pada pengambilan gambar teknik ini, posisi kamera berada di atas tripot dan beralih dari satu objek ke objek lain secara cepat. Efek dari pengambilan gambar ini sebetulnya sederhana, tetapi memperlihatkan kreativitas dari juru
kamera itu sendiri.
Artificial Hairlight Pada teknik ini, rambut objek diberi efek cahaya buatan sehingga mempunyai efek bersinar. Efek ini biasanya dilakukan agar ada nuansa dramatik bagi dua
objek yang sedang dialog.
mobil yang sedang melaju kencang. Kesan yang ditimbulkan tentunya ada pemandangan jalan yang bergerak begitu cepat memperlihatkan efek kecepatan
mobil objek.
Walking Shot Sesuai dengan namanya, teknik ini mengambil gambar pada objek yang sedang berjalan. Kesannya indah karena memperlihatkan seseorang yang sedang jalan
terburu-buru atau kondisi ketika seseorang dikejar sesuatu.
Over Shoulder Shot Jika dua orang sedang terlibat dialog, juru kamera bisa mengambil gambarnya lewat bahu masing-masing orang tersebut. satunya agak membelakangi kamera,
sementara yang lainnya seolah melihat juru kamera (padahal lawan bicaranya).
Profil Shot Jika dua orang sedang berdialog, tetapi pengambilan gambarnya dari samping, kamera satu memperlihatkan orang pertama dengan Loking space-nya. Demikian juga dengan kamera dua akan memperlihatkan hal yang sama (Baksin, 2007:46-53)
4. Kode Televisi John Fiske
Teori yang dikemukakan oleh John Fiske tersebut memiliki level-level kode sosial:
Level Realitas (Reality)Kode sosial yang terdapat di dalamnya adalah
appearance (penampilan), dress (kostum), make-up (riasan), environment
(lingkungan), behavior (kelakuan), speech (dialog), gesture (gerakan), expression (ekspresi).2.Level Representasi (Representation) Kode sosial yang terdapat di dalamnya adalah camera (kamera), lighting (pencahayaan), editing (perevisian), music (musik) dan sound (suara). 3.Level Ideologi (Ideology) Kode sosial yang terdapat di dalamnya adalah individualism (individualisme), patriarchy (patriarki), race (ras),
class (kelas), materialism (materialisme) dan capitalism (kapitalisme). (dalam
Eriyanto, 2011:151)
5. KepemimpinanOtoritarianisme
Dalam Oxford Dictionary, otoriter (authority) didefinisikan sebagai power to
give orders; expert. Dalam dunia politik atau pemerintahan dan bisnis, definisi
pertama yang sering digunakan. Authority menunjukkan sifatnya sedangkan otoriter merupakan pelakunya. Kira-kira seperti itu,Power to give orders bisa berarti kekuasaan tak terbatas (unlimited power) yang membuat orang yang berkuasa tersebut bisa seenaknya saja memberikan (to give) perintah (orders). Singkatnya, seperti yang sudah didefinisikan sebelumnya, memerintah orang lain seenaknya.Pemimpin tipe otoriter ini menganggap kepemimpinannya merupakan hak pribadinya dan berpendapat bahwa ia dapat menentukan apa saja dalam organisasi, tanpa mengadakan konsultasi dengan bawahan-bawahannya yang melaksanakan. Pengawasan dari tipe pemimpin seperti ini sangat tegang pula. Pemimpin tipe ini mungkin bermanfaat pada keadaan darurat, di mana suatu konsultasi dengan bawahan sudah tidak mungkin lagi(Martoyo, 1988:52).
Menurut Sanford danCapaldi kepribadian otoritarian secara umum ditandai oleh ciri-ciri sebagai berikut (dalamMachrus, 2012:4)
1. Konvensionalisme (Conventionalism): ketaatan yang kuat terhadap nilai-nilai konvensional dan nilai-nilai dari kelas menengah.
2. Kepatuhan Otoritarian (Authoritarian Submission): sikap tunduk, patuh dan tidak kritis terhadap otoritas moral yang diidealkan bagi anggota kelompok. 3. Agresi Otoritarian (Authoritarian Agression): kecenderungan untuk mencela,
menghina, dan menghukum orang yang melanggar nilai-nilai konvensional. 4. Anti Intrasepsi (Anti-Intraception): menolak pemikiran subjektif, imajinatif dan
lemah.
5. Ketahayulan dan Stereotipe (Superstition and Stereotype): percaya terhadap determinan yang bersifat mistik atas takdir manusia; kecenderungan untuk berpikir dalam kategori yang kaku.
6. Kekuasaan dan “Kekerasan” (Power and “Toughness”): mengkategorikan dalam batasan dua atau dimensi hal yang berlawanan, seperti kuat-lemah, pemimpin-pengikut; mengidentifikasi dengan figur yang berkuasa.
7. Pengerusakan dan Sinisme (Destructiveness and Cynicism): rasa permusuhan yang digeneralisir, melakukan fitnahan terhadap manusia.
8. Proyektivitas (Projectivity): kecenderungan untuk percaya bahwa berbagai hal yang liar dan berbahaya terjadi di dunia; proyeksi ditujukan atas dorongan emosional tak sadar.
9. Seks (Sex): perhatian yang lebih terhadap tindakan seksual.
C. Hasil Penelitian
Dengan penjelasan diatas maka penelitian mengungkap 4 pertanyaan dalam penelitian ini yakni;
1. Bagaimana level Realitaskepemimpnanotoritarianisme dalam film Jobs? 2. Bagaimana level Representasi kepemimpnanotoritarianisme dalam film Jobs? 3. Bagaimana level Ideologi kepemimpnanotoritarianisme dalam film Jobs?
1. Level Realitas
Pada kode Behaviour (Kelakuan)dapat kita lihat dalam film Avatar terlihat jelas bagaimana para bangsa manusia begitu ambisinya ingin menguasai atau mengeksploitasi sumber daya alam di pandora, pada kode ini juga terlihat bagaiamana gigihnya bangsa Na’Vi dalam mempertahakan apa yang telah menjadi kewajibannya sebagai bangsa pribumi yang harus menjaga lingkungannya dari kerusakan demi terjaganya ketabilitasan alam beserta isinya. Kode yang kedua dari level realitas adalah kode Appearance (Penampilan), bisa dilihat dalam penampilan dalam film ini terjadi perbedaan antara bangsa manusia dengan bangsa Na’Vi yang terlihat sangat kontras, yang dimana bangsa Na’Vi memiliki kulit berwarna biru, dalam kode penampilan ini juga menunjukan strata dalam penokohan dalam film ini, yang dimana peter sebagai pemeimpin perusahaan lebih berpenampilan lebih rapih dan sopan berbeda dengan jake hanya menggunakan kaos biasa seperti para pekerja lainnya.Kode ketiga adalah Expression (Ekspresi) bisa dilihat dari pembahasan diatas, dalam film ini mengungkap beberapa ekspresi mulai dari ekspresi keinginan memiliki hingga ekspresi marah karena hutan pandora akan dirusak kestabilan lingkungannya oleh bangsa manusia. Kode keempat adalah Speech (Dialog) dalam film ini ada beberapa kutipan dialog yang memicu konflik antar dua bangsa yang berseteru ini.
2. Level Representasi
Dalam level ini, peneliti menemukan satu kode sosial yang mucul dalam film Avatar, yaitu kode Camera (kamera).Kode dalam level representasi adalah kode
Camera (kamera), untuk semakin memperkuat jalur cerita dalam film Avatar ini,
teknik kamera sangat berperan penting.Teknik pengambilan gambar pada kamera memiliki pengaruh yang begitu besar dalam menghadirkan pemaknaan tertentu bagi para penonton atas apa yang dilihatnya. Penyesuaian oleh kamera serta framing dan fokus yang dilakukan oleh operator kamera terhadap objek yang ditangkap, dapat memberikan efek tertentu bagi audiens yang melihat. Keberagam untuk memperkuat jalur cerita juga dapat tergambar melalui cara kerja kamera. Dilihat dari teknik
pengambilan gambar dan camera angle yang digunakan dalam film Avatar ini, di antaranya seperti: Close-Up, Medium Close-Up, FS/Full Shot, LS/Long Shot,
GS/Group Shot, The Secret of Foreground Framing Shot, Eye Level, Bird EyeLlevel, High Angle, Low Angle. (Baksin, 2007)
3. Level Ideologi
Pada level ideologi dari keseluruhan adegan yang diteliti dari film Avatar dapat dilihat bahwa dalam film ini memiliki kode-kode yang syarat akan makna, yang berasal dari beberapa level sebelumnya. Peneliti menemukan adanya bentuk kapitalis,Ideologi kapitalisme ini menurut Heilbroner (1991) dalam (Sunarto, 2009:44), merupakan suatu sistem pemikiran dan keyakinan yang dipakai oleh kelas dominan untuk menjelaskan pada diri mereka sendiri bagaimana sistem sosial mereka beroperasi dan apa prinsip-prinsip yang diajukannya. Dalam upayanya ini, mereka melakukan eksploitasi terhadap sumber daya yang ada, apakah itu tenaga manusia (buruh) maupun alam, melalui kegiatan depersonalisasi dan desakralisasi. Rasionalisasi terhadap komersialisasi kehidupan sehari-hari metupakan aspek nyata dari bagaimana kapitalisme sebagai suatu formasi sosial tertentu bekerja secara ideologis di masyarakat.
D. Kesimpulan
1. Pada level Realitas yakni; kode Speech (Dialog) dapat kita lihat dalam flm Jobs terlihat padapercakapan yang dilakukan Jobs padabeberapascene. Pada kode Expression (Ekspresi)yang ditampilkan dalam film Jobs banyak menampilkan ekspresikemarahan, kekesalan, dankeseriusan. Pada kode
Gesture (Gerakan) digambarkan gerakanmenunjuk,mengepalkantangan.
Steve Jobs seringkalimenunjukkankekesalandankemarahannya.
2. Sedangkan dalam level Representasi, peneliti menemukan fakta-fakta adanya unsur kepemimpinanotoritarianisme, yaitupada kode Camera (Kamera). 3. Kemudian dalam level Ideology (Ideologi), peneliti menyimpulkan bahwa
film Jobs berideologi, yang muncul berdasarkan
cirikepemimpinanotoritarianismetersebutadalahIdeologiOtoritarianismeituse ndiri.
Daftar Pustaka
Baksin, Askurifai. 2007. Membuat Film Indie ItuGampang. Bandung. Jasa Grafika Indonesia
Eriyanto. 2011. Analisis Isi: Pengantar Metodologi Untuk Penelitian Ilmu Komunikasi
dan Ilmu-Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: KencanaPrenada Media Group
Fiske, John. 2012. Pengantar Ilmu Komunikasi : PT Rajagrafindo Persada Hartley, John. 2010. Communication, Cultural, & Media Studies. Yogyakarta:
Jalasutra.
Kriyantono, Rachmat. 2006. Metode Penelitian Komunikasi, Bandung: PT Remaja RosdaKarya
Mulyanto, Dede. 2011. Antropologi Marx. Bandung : Ultimus.
Sobur, Alex. 2013. Semiotika Komunikasi, Bandung : PT Remaja RosdaKarya Yulianita, Neni, 2005, Dasar-dasar Public Relations. Bandung: LPPM UNISBA.