• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran dan Faktor-faktor Risiko Kanker Leher Rahim di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta Tahun 2012

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Gambaran dan Faktor-faktor Risiko Kanker Leher Rahim di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta Tahun 2012"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Gambaran dan Faktor-faktor Risiko Kanker Leher Rahim di RSUPN Dr.

Cipto Mangunkusumo Jakarta Tahun 2012

Luthfiyyah Mutsla1*), Yovsyah2*)

1Program Sarjana, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia 2Departemen Epidemiologi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia

*)Email: luthfiyyah.mutsla@ui.ac.id, yopi@ui.ac.id

Abstrak

Adanya transisi epidemiologi menjadikan penyakit tidak menular menjadi masalah baru di dunia kesehatan. Kanker leher rahim merupakan salah satunya. Penelitian Globocan tahun 2008 mengungkapkan bahwa kanker leher rahim merupakan kanker kedua penyebab lebih dari 80% kematian pada perempuan yang hidup di negara-negara berkembang. Di Indonesia dilaporkan terdapat 15.000 kasus baru kanker leher rahim pada tiap tahunnya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran dan faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan kanker leher rahim di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta tahun 2012. Penelitian ini dilakukan dengan mengambil data sekunder di bagian rekam medis RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta menggunakan desain studi kasus kontrol dan sampel sebanyak 100 orang masing-masing pada kelompok kasus dan kelompok kontrol. Faktor-faktor yang diidentifikasi dapat meningkatkan risiko kanker leher rahim adalah umur, tingkat pendidikan, status pekerjaan, usia pertama kali berhubungan seksual, jumlah pasangan seksual, dan paritas. Diketahui bahwa faktor yang paling dominan mempengaruhi kejadian kanker leher rahim di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta tahun 2012 adalah paritas ≥3 anak (OR = 51,8; 95% CI: 14,53 - 184,67) dan berhubungan seksual pertama kali pada usia <16 tahun (OR = 40,91; 95% CI: 8,96 - 186,81). Upaya pelayanan promotif dan preventif deteksi dini kanker leher rahim dan vaksinasi, serta penyuluhan kesehatan masyarakat diharapkan dapat mengurangi kejadian kanker leher rahim ini.

Kata kunci:

Faktor risiko; kanker leher rahim; studi kasus kontrol

Description and Risk Factors of Cervical Cancer in RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta in 2012

Abstract

Transition of epidemiology has made a non-communicable diseases becoming the new health problems in the world. Cervical cancer is one of the problems. Globocan study in 2008 have shown that cervical cancer is the second most common cancer that leading causes more than 80% of deaths in women living in developing countries. In Indonesia there are 15.000 new cases of cervical cancer reported each year. The purpose of this study is to know the prevalence of cervical cancer itself and risk factors that associated with cervical cancer in RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, 2012. The research was conducted by taking secondary data on the medical record of RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta with case-control study and the sample size is 100 subjects in the case group and control group, respectively. Factors that have been identified to increase the risk of cervical cancer are age, education level, employment status, age at first sexual intercourse, number of sexual partners, and parity. It is known that the most dominant factors that affecting the incidence of cervical cancer in RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta in 2012 are high parity (≥3) (OR = 51,8; 95% CI: 14,53 – 184,67) and first sexual intercourse at age <16 years (OR = 40,91; 95% CI: 8,96 - 186,81). Promotive and preventive care for early detection and vaccination of cervical cancer, as well as public health education is expected to reduce the incidence of cervical cancer.

Keywords:

(2)

Pendahuluan

Dewasa ini, masalah kesehatan di dunia, baik di negara maju maupun negara berkembang seperti Indonesia sedang mengalami transisi epidemiologi. Penyakit degeneratif seolah menjadi double burden dalam masalah kesehatan di dunia. Penyakit penyumbang kematian pertama di dunia merupakan penyakit tidak menular yaitu penyakit jantung dan pembuluh darah, sedangkan urutan kedua setelahnya ditempati oleh kanker (WHO, 2010). Saat ini banyak dilakukan perhatian khusus pada kanker-kanker yang sering menyerang perempuan. Salah satunya adalah kanker leher rahim. Banyak ditemukan kasus baru pada jenis kanker ini. Kanker leher rahim atau lebih dikenal dengan kanker serviks adalah kanker yang terjadi pada area leher rahim atau serviks.

Sejak tahun 1990, kanker leher rahim merupakan 10% kanker yang diderita pada perempuan dari total 470.000 kasus kanker di seluruh dunia, serta merupakan urutan ketiga kanker yang paling sering terjadi pada perempuan (Globocan, 2000 dalam Tavassoli & Devilee, 2000). Data Globocan terakhir tahun 2008, menunjukkan bahwa kanker leher rahim merupakan kanker ginekologi urutan kedua yang paling sering terjadi pada perempuan dan ketujuh dari semua jenis kanker di seluruh dunia dengan estimasi 530.000 kasus baru, dan lebih dari 85% terjadi di negara berkembang. Sedangkan rasio kematiannya, diestimasikan terdapat 275.000 perempuan meninggal karena kanker leher rahim dan sekitar 88% terjadi di negara berkembang.

Di Indonesia sendiri, diketahui bahwa prevalensi tumor/kanker lebih tinggi pada perempuan (5,7 per 1000 penduduk) dibandingkan laki-laki (2,9 per 1000 penduduk). Sedangkan untuk insiden kanker leher rahim sendiri diperkirakan terdapat sekitar 15.000 kasus baru tiap tahunnya dan 7.500 lebih di antaranya meninggal dunia (Castellsague et al., 2007). Kemudian pada tahun 2008, dari Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) tercatat 18,4% pasien rawat inap di seluruh rumah sakit di Indonesia menderita kanker payudara dan 10,3% menderita kanker leher rahim. Dari 12 pusat patologi di Indonesia (1997) tercatat bahwa kanker leher rahim menduduki 26,4% dari 10 jenis kanker terbanyak pada perempuan (Depkes, 2008).

Di Jakarta, berdasarkan studi kasus kontrol merujuk dari data rekam medis di Yayasan Kanker Indonesia Jakarta tahun 2006 - 2010, didapatkan dari 13.956 responden yang melakukan papsmear, terdapat 69 responden yang positif menderita lesi prakanker serviks sedangkan sisanya sebanyak 13.883 responden dinyatakan negatif dan 4 responden

(3)

RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo tahun 1998, diketahui bahwa 39,5% penderita kanker adalah kanker leher rahim. Pada tahun 2003 di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo diketahui terdapat penderita kanker leher rahim sebagian besar berada pada stadium IIIB (36,7%), stadium IIB (29,3%), stadium IIA (16%), stadium IB (11,3%), stadium IIIA (3,3%), stadium IVA (2,7%) serta stadium IA (0,7%) (Lendawati, 2005). Selanjutnya, dari hasil penelitian Anggraeni (2010) di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta berdasarkan data rekam medis tahun 2009 diketahui dari total 207 responden, terdapat 67,1% responden menderita kanker leher rahim.

RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta merupakan salah satu rumah sakit di Jakarta dengan kasus kanker leher rahim yang relatif tinggi, dapat dilihat dari adanya peningkatan kasus kanker leher rahim pada tiap tahunnya, tercatat 962 pasien pada tahun 2010 dan 983 pasien pada tahun 2011 yang berobat pada bagian rawat inap maupun rawat jalan RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Rendahnya cakupan skrining kanker leher rahim juga merupakan salah satu penyebab masih tingginya angka morbiditas dan mortalitas kanker leher rahim di Indonesia. RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo merupakan salah satu rumah sakit rujukan terbesar di Jakarta yang bekerja sama dengan Yayasan Kanker Indonesia dalam penyediaan sarana dan prasarana untuk menangani kanker leher rahim. Penulis melakukan penelitian ini untuk mengetahui gambaran kejadian dan faktor-faktor yang berhubungan dengan kanker leher rahim di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta pada tahun 2012.

Tinjauan Teoritis

Kanker leher rahim adalah tumbuhnya sel-sel abnormal pada bagian leher rahim atau serviks. Leher rahim adalah bagian bawah dari uterus (rahim). Oleh sebab itu sering disebut juga kanker serviks uterus. Bagian leher rahim yang paling dekat dengan tubuh uterus disebut endoserviks dan bagian samping vagina disebut eksoserviks (atau ektoserviks). Ada dua jenis sel utama yang melindungi leher rahim yaitu sel skuamosa (pada eksoserviks) dan sel-sel kelenjar (pada endoserviks). Tempat pertemuan kedua sel tersebut disebut zona transformasi. Sebagian besar kanker serviks dimulai pada zona tersebut (ACS, 2012). Sementara itu, lesi prakanker didefinisikan sebagai adanya kelainan pada epitel serviks akibat terjadinya perubahan sel-sel epitel, namun kelainannya belum menembus lapisan basal (membrana basalis) (Depkes, 2008).

(4)

Human papillomavirus merupakan faktor etiologi utama penyebab kanker leher rahim. Bosch et al. (1995) mengelompokkan berbagai genotip virus ini berdasarkan tingkat potensi onkogeniknya. Genotip HPV yang berisiko tinggi menyebabkan kanker leher rahim adalah HPV 16, 18, 31, 33, 35, 39, 45, 51, 52, 56, 58, 59, dan 68. Sedangkan yang termasuk HPV dengan risiko rendah adalah HPV tipe 6, 11, 26, 40, 42, 53, 54, 55, 57, 66, 73, 82, 83, dan 84. Penelitian-penelitian lain mengelompokkan bahwa genotip HPV yang paling dominan berisiko tinggi menyebabkan kanker leher rahim adalah HPV tipe 16 & 18 (Domingo et al., 2008; Illades-Aguiar et al., 2009; Shields et al., 2004; WHO; 2013).

Faktor risiko adalah sesuatu yang dapat mempengaruhi kesempatan seseorang untuk mendapatkan penyakit tertentu. Teori Blum (1974) menyatakan bahwa masalah kesehatan atau kejadian suatu penyakit dipengaruhi oleh 4 faktor, yaitu hereditas, lingkungan, perilaku, dan pelayanan kesehatan. Dari beberapa literatur dan penelitian yang telah dilakukan kejadian penyakit kanker leher rahim ini dipengaruhi oleh faktor-faktor yang meliputi, umur (Illades-Aguiar et al., 2009; Lendawati, 2005; Vinodhini et al., 2012), ras (Cuzick et al., 1989; Shields et al., 2004; Richardson et al., 2005), riwayat keluarga (ACS, 2012), status sosial ekonomi (Domingo et al., 2008; Sriamporn et al., 2004), pendidikan (de Sanjose et al., 1996; Franceschi et al., 2009; Vinodhini et al., 2012), pekerjaan (Lendawati, 2005; Vinodhini et al., 2012), kebiasaan merokok (Daling et al., 1997; Shields et al., 2004; Syafrudin & Hamidah, 2007; T.C. Chen et al., 2005; Trimble et al., 2005), nutrisi (ACS, 2012; Cuzick et al., 1996; Goodman et al., 2001; Shannon et al., 2002; Working group on Diet and Cancer, 1998, dalam Castellsague et al., 2002), penggunaan kontrasepsi oral (ACS, 2012; Daling et al., 1997; de Villiers, 2003; Moreno et al., 2002; Munoz et al., 2002), penggunaan intrauterine device (IUD) (ACS, 2012; Shields et al., 2004), penggunaan obat hormonal Diethylstilbestrol (DES) (ACS, 2012), usia pertama kali menarche (Cuzick et al., 1996; Sriamporn et al., 2004; Vinodhini et al., 2012), usia pertama kali berhubungan seks (Daling et al., 1997; Domingo et al., 2008; Illades-Aguiar et al., 2009; Vinodhini et al., 2012), usia pertama kali hamil/melahirkan (ACS, 2012; Munoz et al., 2002; Sriamporn et al., 2004), riwayat penyakit menular seksual (PMS) (ACS, 2012; Adjorlolo-Johnson et al., 2010; Castellsague et al., 2002; Chichareon et al., 1998; Cuzick et al., 1996; Daling et al., 1997; Domingo et al., 2008; Gravitt & Castle, 2001; Smith et al., 2002 & 2004), kebersihan alat kelamin dan sirkumsisi (Castellsague et al., 2002; Sastrawinata, 1981), jumlah pasangan seksual (Cuzick et al., 1996; Chichareon et al., 1998; Daling et al., 1997; de Boer et al., 2006 dalam Domingo et al., 2008), imunosupresi (ACS, 2012), paritas (Illades-Aguiar et al., 2009; Munoz et al., 2002; Sriamporn

(5)

et al., 2004; Vinodhini et al., 2012), dan skrining kanker leher rahim (ACS, 2012; Depkes, 2008; Shields et al., 2004; WHO, 2013).

Metodologi Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain studi kasus kontrol retrospektif yang dilakukan pada bulan April - Mei 2013 di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang bersumber dari rekam medis pasien yang berkunjung di poliklinik obstetri dan ginekologi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta pada bulan Januari - Desember 2012. Sampel kasus adalah pasien yang berkunjung ke poliklinik onkologi ginekologi yang didiagnosis positif menderita kanker leher rahim (stadium I - IV) dari hasil pemeriksaan histopatologinya, sedangkan sampel kontrol adalah pasien yang berkunjung ke poliklinik obstetri dan ginekologi untuk melakukan pemeriksaan (pemeriksaan pap smear, servisitis, amenor sekunder, dismenor, prolaps uteri) dan dinyatakan negatif menderita kanker leher rahim dari hasil pemeriksaan histopatologinya.

Umur pasien yang boleh dijadikan sampel dalam penelitian ini adalah antara umur 19-70 tahun, dan harus sudah pernah menikah. Kriteria inklusi pada kelompok kasus adalah pasien yang telah mendapatkan hasil pemeriksaan histopatologi yang menunjukkan bahwa pasien positif menderita kanker leher rahim (stadium I-IV), sedangkan kriteria inklusi untuk kelompok kontrol yaitu meliputi; pasien yang berkunjung ke poliklinik obstetri dan ginekologi baik tanpa rujukan ataupun dirujuk oleh dokter untuk melakukan pemeriksaan pap smear sebagai pencegahan, pasien belum pernah melakukan histerektomi, tidak pernah menderita kanker atau tumor, dan hasil histopatologi tidak menunjukkan adanya abnormalitas sel epitel.

Jumlah sampel dihitung menggunakan rumus besar sampel uji hipotesis beda 2 proporsi (Lemeshow, 1997) dan mendapatkan sampel minimal sebesar 96 (perbandingan sampel 1:1). Setelah dilakukan pengambilan data menggunakan simple random sampling diperoleh sampel sebanyak 200 orang (100 kasus dan 100 kontrol). Dilakukan dua analisis data dalam penelitian ini, yaitu analisis univariat untuk melihat distribusi frekuensi variabel-variabel yang diteliti dan analisis bivariat untuk melihat kekuatan hubungan faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian kanker leher rahim. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan aplikasi statistik (software SPSS 13.0 for windows).

(6)

Hasil Penelitian

Berdasarkan data yang telah dikumpulkan di bagian rekam medis RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, diketahui bahwa gambaran dan hubungan faktor-faktor risiko pada kejadian kanker leher rahim di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta tahun 2012 adalah sebagai berikut;

Tabel 1. Gambaran dan Hubungan Faktor-faktor Risiko pada Kejadian Kanker Leher Rahim di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta Tahun 2012

Variabel Kasus Kontrol Total OR P-Value (N=100) (N=100) n % n % N 95% CI Umur • <40 tahun 12 12 64 64 76 1 • ≥40 tahun 88 88 36 36 124 13,04 (6,29 - 27,01) 0,000 Tingkat Pendidikan • Pendidikan Tinggi (Diploma, Sarjana, Akademi Sederajat) 8 8 25 25 33 1 • Pendidikan Menengah (SMP & SMA) 25 25 50 50 75 1,56 (0,62 – 3,96) 0,347 • Pendidikan Dasar (SD) 67 67 25 25 92 8,38 (3,34 – 21) 0,000 Pekerjaan • Bekerja 17 17 44 44 61 1 • Tidak Bekerja 83 83 56 56 139 3,84 (1,99 - 7,38) 0,000

Usia Pertama Kali

Berhubungan Seksual • >20 tahun 22 22 75 75 97 1 • 16-20 tahun 54 54 23 23 77 8 (4,05 – 15,82) 0,000 • <16 tahun 24 24 2 2 26 40,91 (8,96 - 186,81) 0,000 Jumlah Pasangan Seksual • 1 orang 72 72 91 91 163 1 • 2-4 orang 28 28 9 9 37 3,93 (1,75 - 8,86) 0,001 Paritas • 0 3 3 42 42 45 1 • 1-2 anak 23 23 38 38 61 8,47 (2,35 – 30,5) 0,001 • ≥3 anak 74 74 20 20 94 51,8 (14,53 - 184,67) 0,000 Pada tahun 2012 diketahui bahwa di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta terdapat 448 pasien kasus kanker leher rahim. Dari 100 orang yang diambil sebagai sampel kasus dalam

(7)

penelitian ini, diketahui bahwa sebanyak 65 orang menderita kanker leher rahim stadium IIIB (65%), stadium IB (16%), stadium IIB (7%), stadium IIA (6%), serta stadium IIIA, IVA & IVB masing-masing sebanyak 2 orang (2%). Semua faktor risiko yang diteliti dalam penelitian ini memperlihatkan adanya hubungan yang bermakna secara statistik (P-Value = <0,05) terhadap kejadian kanker leher rahim, kecuali pada faktor tingkat pendidikan menegah (SMP & SMA) (P-Value = 0,347), namun jika melihat nilai odds rasio tetap dapat terlihat perbedaan risiko dengan kelompok referensi (pendidikan tinggi).

Dalam penelitian ini, umur dikategorikan menjadi 2 kategori, yaitu <40 tahun dan ≥40 tahun. Terlihat bahwa proporsi kejadian kanker leher rahim pada responden yang berusia ≥40 tahun lebih tinggi daripada responden yang berusia <40 tahun. Berdasarkan nilai odds rasio, didapatkan seberapa besar perbedaan risiko antara dua kelompok usia tersebut, yaitu responden yang berusia ≥40 tahun mempunyai kecenderungan untuk terkena kanker leher rahim 13,04 kali lebih besar daripada responden yang berusia <40 tahun (95% CI: 6,29 - 27,01).

Pendidikan dikategorikan ke dalam 3 kategori, yaitu dasar (SD), menengah (SMP, SMA), dan tinggi (Diploma, Sarjana, dan Akademi sederajat). Dari Tabel 1. di atas dapat dilihat bahwa secara keseluruhan, prevalensi kanker leher rahim meningkat seiring dengan semakin rendahnya tingkat pendidikan seseorang. Perempuan dengan tingkat pendidikan menengah mempunyai kecenderungan untuk mengalami kanker leher rahim sebesar 1,56 kali lebih besar daripada responden dengan tingkat pendidikan tinggi (95% CI: 0,62 – 3,96), sedangkan responden dengan tingkat pendidikan dasar mempunyai kecenderungan untuk mengalami kanker leher rahim sebesar 8,38 kali lebih besar daripada responden dengan tingkat pendidikan tinggi (95% CI: 3,34 – 21).

Untuk faktor pekerjaan diketahui bahwa responden yang tidak bekerja mempunyai kecenderungan untuk terkena kanker leher rahim 3,84 kali lebih besar daripada responden yang bekerja (95% CI: 1,99 - 7,38). Nilai odds rasio pada faktor risiko jumlah pasangan seksual menunjukkan bahwa perempuan dengan pasangan seksual 2-4 orang berisiko 3,93 kali lebih tinggi untuk terkena kanker leher rahim daripada responden dengan pasangan seksual 1 orang (95% CI: 1,75 - 8,86).

Dalam penelitian ini ditemukan bahwa usia pertama kali berhubungan seksual dan paritas merupakan faktor yang paling kuat hubungannya terhadap kejadian kanker leher rahim di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta tahun 2012. Kekuatan hubungan antara usia

(8)

pertama kali perempuan melakukan hubungan seksual dengan kanker leher rahim diperlihatkan oleh meningkatnya proporsi kejadian kanker leher rahim seiring dengan semakin dini seorang perempuan melakukan hubungan seks. Perempuan yang berhubungan seks pertama kali pada usia 16-20 tahun mempunyai kecenderungan untuk mengalami kanker leher rahim sebesar 8 kali lebih besar daripada responden yang berhubungan seks pada usia >20 tahun (95% CI: 4,05 – 15,82) dan risiko meningkat 40,91 kali pada perempuan yang berhubungan seks pertama kali pada usia <16 tahun (95% CI: 8,96 - 186,81).

Berdasarkan tabel di atas, terlihat bahwa proporsi kejadian kanker leher rahim di antara tiga kelompok jumlah partus, paling tinggi terdapat pada kelompok responden dengan paritas ≥3 anak. Secara keseluruhan, prevalensi kanker leher rahim meningkat seiring dengan semakin banyaknya seseorang melahirkan atau mempunyai anak. Kekuatan hubungan terlihat dari nilai odds rasio yang menyatakan bahwa perempuan dengan paritas 1-2 anak mempunyai risiko untuk mengalami kanker leher rahim sebesar 8,47 kali lebih besar daripada responden yang belum pernah melahirkan (95% CI: 2,35 – 30,5) dan risiko meningkat 51,8 kali pada perempuan dengan paritas ≥3 anak (95% CI: 14,53 - 184,67).

Pembahasan

Seperti penelitian pada umumnya, penelitian ini memiliki kekuatan dan keterbatasan. Desain studi kasus kontrol retrospektif yang digunakan dalam penelitian ini rawan terhadap adanya berbagai bias, baik bias seleksi maupun bias informasi (Murti, 1997). Selain itu cara pengambilan sampel yang seharusnya dilakukan dengan metode simpel random sampling yang bertujuan agar setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk dijadikan sampel dalam penelitian, tidak dilakukan dengan langkah yang benar. Asumsi yang dibuat penulis bahwa rekam medis yang diterima sudah melalui proses acak secara natural sehingga pengambilan 100 sampel pada kelompok kasus dan kontrol diambil dari 100 orang urutan pertama dari jumlah rekam medis yang dapat dianalisis, seharusnya tidak boleh dilakukan. Hal yang seharusnya dilakukan adalah melakukan pengacakan kembali dengan menggunakan

software sampling yang tersedia.

Selain keterbatasan, penelitian ini juga mempunyai kelebihan tertentu, yaitu pemilihan kelompok kasus dan kontrol dapat dikatakan valid, karena melalui hasil pemeriksaan laboratorium yang sudah dipastikan akurat oleh para ahli patologi dan anatomi RSUPN Dr.

(9)

Cipto Mangunkusumo Jakarta. Selain itu, desain penelitian kasus kontrol yang digunakan juga cocok untuk meneliti penyakit dengan periode laten yang panjang serta hubungan paparan dengan penyakit itu sendiri, seperti kanker leher rahim (Murti, 1997).

Tingginya penderita kanker leher rahim yang telah mencapai stadium lanjut dalam penelitian ini dimungkinkan karena RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta merupakan rumah sakit rujukan nasional terbesar di Jakarta sehingga kemungkinan pasien kanker leher rahim dengan stadium lanjut yang memerlukan pengobatan/perawatan lebih baik dirujuk ke rumah sakit ini. Selanjutnya, proporsi kanker leher rahim cenderung mengalami peningkatan risiko pada perempuan yang berusia ≥40 tahun. Penelitian yang dilakukan di tempat yang sama oleh Lendawati (2005) memperlihatkan hasil yang sesuai, yaitu kanker leher rahim cenderung berisiko 11,26 kali lebih tinggi pada usia ≥40 tahun dibandingkan usia <40 tahun (95% CI: 6,57 – 19,3).

Peningkatan kejadian kanker leher rahim yang dipengaruhi oleh peningkatan umur dimungkinkan terjadi karena seperti yang telah diketahui secara umum bahwa perjalanan penyakit kanker diperlukan waktu beberapa tahun. Khususnya untuk penyakit kanker leher rahim, diperlukan beberapa waktu dari terpajannya seseorang oleh infeksi HPV sampai dapat menginvasi bagian leher rahim. Menurut Benson et al. pada tahun 2009, 1% - 2% perempuan berumur lebih dari 40 tahun akan mengalami kanker leher rahim dan biasanya umur rata-rata saat ditegakkan diagnosis sering terjadi pada usia 45-47 tahun, tetapi penyakit ini dapat muncul jauh lebih awal. Proses kanker leher rahim biasanya dimulai dengan neoplasia intraepitel serviks (NIS). NIS dapat terjadi segera setelah aktivitas seksual dini. Jika NIS tidak diobati terjadi karsinoma in situ (CIS) pada usia sekitar 30-40 tahun. Diperkirakan perubahan dari CIS menjadi kanker invasif memerlukan waktu kira-kira 7 tahun. Selain itu, seseorang yang berusia ≥40 tahun lebih memungkinkan telah melakukan hubungan seks berisiko, telah melahirkan lebih banyak anak, terpajan dengan asap rokok lebih banyak, dan terpajan faktor-faktor risiko lain yang notabene berhubungan dengan gaya hidup (Green, 1980).

Secara keseluruhan dalam penelitian ini, memperlihatkan bahwa semakin rendah tingkat pendidikan seseorang maka semakin tinggi pula risiko untuk terkena kanker leher rahim. Hasil penelitian tersebut sesuai dengan penelitian Lendawati (2005) yang menunjukkan bahwa perempuan yang berpendidikan ≤SD berisiko 5,8 kali untuk terkena kanker leher rahim. Tingkat pendidikan juga berkaitan erat dengan angka buta huruf di suatu negara, seperti di Tiruchirapalli, Tamil Nadu, India diketahui bahwa buta huruf menjadi salah satu

(10)

faktor risiko kanker leher rahim (OR = 8,28; 95% CI: 5,51-12,43). Dijelaskan bahwa buta huruf menjadikan perempuan India tidak mempunyai pengetahuan yang adekuat mengenai kanker leher rahim dan cara pencegahannya. Diketahui pula bahwa 68,7% dari perempuan yang menderita kanker leher rahim adalah perempuan yang tidak mendapat pendidikan sama sekali (Vinodhini et al., 2012). Dari pemaparan hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa tingkat pendidikan seseorang sering dikaitkan dengan tingkat pengetahuan orang tersebut, dikarenakan lamanya seseorang mendapatkan pendidikan maka informasi yang didapatkan orang tersebut pun semakin banyak. Keterpaparan informasi mengenai kanker leher rahim pun dapat dikatakan menjadi lebih besar, sehingga seseorang lebih mungkin mencegah untuk tidak melakukan hal-hal yang berisiko untuk terinfeksi HPV.

Tidak bekerja menjadi salah satu risiko kanker leher rahim. Hal tersebut dikarenakan perempuan yang tidak bekerja cenderung mempunyai sosial ekonomi yang rendah juga, sehingga penggunaan pelayanan kesehatan untuk deteksi dini kanker leher rahim tidak dapat terpenuhi. Perempuan yang bekerja juga mempunyai kemungkinan lebih besar terpapar oleh informasi mengenai kanker leher rahim (Sarini, 2011). Dalam penelitian ini, pekerjaan yang dimaksud adalah pekerjaan yang tidak berisiko oleh infeksi HPV. Lain halnya jika pekerjaan yang dimaksud adalah jenis pekerjaan berisiko seperti pekerja seks komersial, maka tentunya perbedaan risiko akan menjadi terbalik. Tercatat jenis pekerjaan responden yang paling banyak dalam penelitian ini adalah PNS, kemudian diikuti dengan buruh, pedagang, penjahit, dan petani.

Usia pertama kali berhubungan seksual dalam penelitian ini diasumsikan sama dengan usia pertama kali responden menikah. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa semakin dini seorang perempuan berhubungan seksual maka semakin tinggi risikonya untuk terkena kanker leher rahim. De Boer et al. dalam penelitian kasus kontrolnya di Jakarta, menemukan bahwa menunda usia pertama kali berhubungan seksual sampai ≥20 tahun dapat mengurangi risiko kanker leher rahim (OR = 0,48; 95% CI: 0,28-0,85) (Domingo et al., 2008).

Jumlah pasangan seksual juga merupakan faktor risiko kanker leher rahim. Perempuan yang memiliki pasangan seksual lebih dari satu atau memiliki pasangan laki-laki yang suka berganti-ganti pasangan seksual dapat meningkatkan risiko kanker leher rahim. Sebenarnya bukan hanya berisiko terkena kanker leher rahim saja, tetapi juga meningkatkan kesempatan untuk terkena penyakit lain yang berhubungan dengan alat reproduksi, seperti penyakit menular seksual lainnya. Penelitian di Washington Barat juga menunjukkan bahwa

(11)

perempuan dengan pasangan seksual 2-4 orang mempunyai risiko 3,4 kali terkena kanker leher rahim dibandingkan dengan perempuan yang hanya memiliki 1 pasangan saja (Daling et al., 1997).

Dalam penelitian ini, paritas mempunyai hubungan paling besar pada kejadian kanker leher rahim. IARC menjelaskan paritas menjadi salah satu faktor risiko kanker leher rahim dikarenakan selama kehamilan, konsentrasi estrogen dan progesteron dalam darah diketahui meningkat secara progresif untuk mencapai tingkat tertinggi pada minggu terakhir. Perubahan hormonal tersebut berperan atas perubahan pada persimpangan antara sel skuamosa dan epitel kolumnar (zona transformasi) yang terjadi selama kehamilan. Eversi dari epitel kolumnar ke ektoserviks (ektopi) dimulai pada awal kehamilan dan akan lebih parah selama trimester kedua dan ketiga. Metaplasia skuamosa pada zona transformasi juga meningkat selama kehamilan untuk mencapai maksimal selama trimester ketiga. Prevalensi ektopi serviks menurun sesuai dengan usia dan lebih tinggi terjadi pada perempuan pernah melahirkan (parous) dibandingkan pada perempuan yang tidak pernah melahirkan (nulipara). Selain itu, pada perempuan parous, ektopi serviks akan meningkat seiring dengan jumlah kehamilan. Selanjutnya, zona transformasi eksoserviks akan dipertahankan selama beberapa tahun, yang dapat memfasilitasi pajanan langsung dari HPV dan faktor-faktor risiko lainnya.

Perubahan hormonal yang disebabkan oleh kehamilan juga dapat memodulasi respon sistem kekebalan tubuh terhadap HPV dan mempengaruhi risiko HPV menjadi persisten dan berprogresi. Dijelaskan juga bahwa perkembangan serviks semasa peri-menarche atau pada saat penyembuhan serviks merupakan situasi yang berisiko tinggi terhadap infeksi HPV untuk mencapai lapisan basal dan membentuk infeksi yang persisten. Perempuan yang melahirkan dengan cara caesar menunjukkan penurunan risiko untuk terkena kanker leher rahim dibandingkan dengan perempuan yang melahirkan normal melalui vagina (Muñoz et al., 2002).

Selain itu, robekan kecil-kecil yang selalu terjadi pada persalinan harus diwaspadai. Robekan biasanya terdapat di pinggir samping serviks bahkan kadang-kadang sampai ke segmen bawah rahim dan membuka parametrium. Robekan yang sedemikian dapat membuka pembuluh-pembuluh darah yang besar dan menimbulkan pendarahan yang hebat. Robekan ini jika tidak dijahit, selain menimbulkan pendarahan juga dapat menjadi penyebab servisitis, parametritis, dan mungkin juga terjadi pembesaran karsinoma serviks (Sastrawinata et al., 2004).

(12)

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian kasus kontrol mengenai gambaran dan faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian kanker leher rahim di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta tahun 2012 ini, maka dapat diambil beberapa kesimpulan yang meliputi; bahwa pada tahun 2012, 65% penderita kanker leher rahim di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta adalah penderita kanker leher rahim stadium IIIB. Variabel yang menjadi faktor risiko terhadap kanker leher rahim adalah umur ≥40 tahun (OR = 13,04), tingkat pendidikan [pendidikan menengah (OR = 1,56), pendidikan dasar (OR = 8,38)], tidak bekerja (OR = 3,84), usia pertama kali berhubungan seksual [usia 16-20 tahun (OR = 8), usia <16 tahun (OR = 40,91)], jumlah pasangan seksual 2-4 orang (OR = 3,93), dan paritas [paritas 1-2 anak (OR = 8,47), paritas ≥3 anak (51,8)].

Saran

Untuk mengurangi insiden dan prevalensi kanker leher rahim ini tentunya diperlukan keterlibatan berbagai pihak, yang meliputi;

1. RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, Dinas Kesehatan setempat, dan Departemen Kesehatan RI agar dapat lebih mengutamakan upaya pelayanan promotif dan preventif serta dapat meningkatkan penyediaan sarana, prasarana dan cakupan pelayanan deteksi dini kanker leher rahim di puskesmas-puskesmas wilayah bagian, serta upaya promosi kesehatan yang lebih massal sehingga dapat mencapai semua lapisan masyarakat.

Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa sebagian besar penderita kanker leher rahim adalah perempuan usia ≥40 tahun. Untuk mengurangi risiko pada perempuan usia tersebut dapat dilakukan dengan cara pendidikan kesehatan melalui ibu-ibu muda yang sedang melakukan pemeriksaan kandungan atau pemeriksaan lain di poli kebidanan. Selain untuk melakukan pendidikan kesehatan kepada ibu-ibu muda tersebut, tujuan utama lain pada pendidikan kesehatan ini adalah untuk memastikan pada ibu muda tersebut, bahwa ibu kandung atau kerabat perempuan mereka telah melakukan skrining atau belum. Cara ini dapat digunakan untuk mencapai perempuan-perempuan yang tidak sedang menggunakan pelayanan kesehatan langsung untuk mendapatkan informasi mengenai deteksi dini kanker leher rahim.

(13)

2. Bagi masyarakat, diharapkan setelah mengetahui informasi ini, masyarakat dapat lebih bijak untuk tidak melakukan hubungan seksual pada usia dini atau untuk menikah sesuai dengan usia yang dianjurkan oleh pemerintah Indonesia yaitu, minimal usia 21 tahun pada perempuan, tidak berganti-ganti pasangan seksual dan setia pada satu pasangan saja, merencanakan jumlah anak di dalam keluarga, dan lebih berusaha untuk meningkatkan status sosial ekonominya.

Diharapkan juga untuk perempuan yang telah menikah agar menjalankan tes pap sesuai dengan yang direkomendasikan untuk deteksi dini kanker leher rahim. Sedangkan bagi perempuan yang belum menikah diharapkan dapat melakukan satu rangkaian vaksinasi yang dianjurkan.

3. Untuk peneliti lain, jika ingin melakukan penelitian kasus kontrol, sebaiknya pengumpulan data dilakukan langsung dengan wawancara kepada pasien, tidak dengan data sekunder sehingga lebih banyak variabel independen yang dapat ditemukan dan mengurangi kemungkinan bias informasi (dalam penelitian ini mengenai variabel usia pertama kali menikah yang diasumsikan sebagai usia pertama kali responden berhubungan seksual).

Daftar Referensi

Adjorlolo-Johnson, G., et al. (2010). Assessing the relationship between HIV infection and cervical cancer in cote d'lvoire: a case-control study. BMC Infectious Diseases , 1-8. American Cancer Society. (14 Maret 2012). Cervical cancer: prevention and early detection.

Diperoleh pada tanggal 20 Maret 2013, dari www.cancer.org:

http://www.cancer.org/cancer/cervicalcancer/moreinformation/cervicalcancerpreventi onandearlydetection/cervical-cancer-prevention-and-early-detection-toc

Anggraeni, V. (2010). Kanker leher rahim di poliklinik kebidanan RSUPN Dr. Cipto

Mangunkusumo jakarta tahun 2009. Depok: FKM-UI.

Benson, R.C., & Pernoll, M.L. (2008). Buku saku obstetri dan ginekologi (Edisi 9). Jakarta: EGC.

Bosch, F., et al. (1995). Prevalence of human papillomavirus in cervical cancer-a worldwide perspective. J Natl Cancer Inst , 796-802.

Castellsague, X., et al. (2002). Environmental co-factors in HPV carcinogenesis. Virus

Research , 89, 191-199.

Castellsague, X., et al. (2007). HPV and cervical cancer in the world 2007 report. Vaccine ,

(14)

Chichareon, S., et al. (1998). Risk factors for cervical cancer in thailand: a case-control study.

Journal of the National Cancer Institute , 90, 50-57.

Cuzick, J., et al. (1989). A case-control study of cervix cancer in singapore. The Macmillan

Press , 238-243.

Cuzick. J., Sasieni, P., Singer, A. (1996). Risk factors for invasive cervix cancer in young women. European Journal of Cancer , 32A, 836-841.

Daling, J.R., et al. (1997). The relationship of human papillomavirus-related cervical tumors to cigarette smoking, oral contraceptive ise, and prior herpes simplex-2 infection.

Jakarta International Cancer Conference 1995 (Hlm. 390-400). Jakarta: Indonesian

Society of Oncology.

Domingo, E.J., et al. (2008). Epidemiology and prevention of cervical cancer in indonesia, malaysia, the philippines, thailand and vietnam. Vaccine , 71-79.

de Sanjose, S., et al. (1996). Socioeconomic differences in cervical cancer: two case-control studies in colombia and spain. American Journal of Public Health , 86, 1532-1538. de Villiers, Ethel-Michele. (2003). Relationship between steroid hormone contraceptives and

HPV, cervical intraepithelial neoplasia and cervical carcinoma. International Journal

of Cancer , 103, 705-708.

Ferlay, J., et al. (2010). Estimates of worldwide burden of cancer in 2008: globocan 2008.

International Journal of Cancer , 127, 2893–2917.

Franceschi, S., et al. (2009). Differences in the risk of cervical cancer and human papillomavirus infection by education level. British Journal of Cancer , 101, 865-870. Goodman, M.T., et al. (2001). Association of methylenetetrahydrofolate reductase

polymorphism C677T and dietary folate with the risk of cervical dysplasia. Cancer

Epidemiology, Biomarkers & Prevention , 1275-1280.

Gravitt, P.E., & Castle, P.E. (2001). Chlamydia trachomatis and cervical squamous cell carcinoma. Journal of American Medical Association , 285, 1703-1704.

Illades-Aguiar, B., et al. (2009). Cervical carcinoma in southern mexico: human papillomavirus and cofactors. Cancer Detection and Prevention , 32, 300-307.

Lendawati. (2005). Faktor-faktor yang beruhubungan dengan terjadinya kanker leher rahim

di sub bagian onkologi kebidanan RSUPN Dr. Cipto Mangunkusuma tahun 2003 (analisis data sekunder). Depok: FKM-UI.

Moreno, V., et al. (2002). Effect of oral contraceptives on risk of cervical cancer in women with human papillomavirus infection: the IARC multicentric case-control study. The

Lancet , 359, 1085-1092.

Muñoz, N., et al. (2002). Role of parity and human papillomavirus in cervical cancer: the IARC multicentric case-control study. The Lancet , 359, 1093-1101.

Murti, B. (1997). Prinsip dan metode riset epidemiologi (Edisi 1). Yogyakarta: Gadjah Mada Universtity Press.

(15)

Nuranna, L., et al. (2008). Skrining kanker leher rahim dengan metode inspeksi visual dengan

asam setat (IVA). Diperoleh pada tanggal 27 Februari 2013, dari Departemen

Kesehatan Republik Indonesia:

http://buk.depkes.go.id/index.php?option=com_docman&task=doc_download&gid=2 79&Itemid=142

Richardson, H., et al. (2005). Modifiable risk factors associated with clearance of type-specific cervical human papillomavirus infections in a cohort of university students.

Cancer Epidemiology, Biomarkers & Prevention , 14, 1149-1156.

Sastrawinata, S.R. (1981). Ginekologi. Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran - Bandung.

Sarini, Ni Ketut Manik. (2011). Faktor-faktor yang berhubungan dengan pemeriksaan

papsmear pada wanita usia subur di desa pacung wilayah kerja puskesmas tejakula II kecamatan tejakula kabupaten buleleng bali tahun 2011. Depok: FKM UI.

Shannon, J., et al. (2002). Dietary risk factors for invasive and in-situ cervical carcinoma in bangkok, thailand. Cancer Causes Control , 13, 691-699.

Shields, T.S., et al. (2004). A case-control study of risk factors for invasive cervical cancer among US women exposed to oncogenic types of human papillomavirus. Cancer

Epidemiology, Biomarkers & Prevention , 13, 1574-1582.

Smith, J.S., et al. (2002). Herpes simplex virus-2 as a human papillomavirus cofactor in the etiology of invasive cervical cancer. Journal of the Nattional Cancer Institute , 94, 1604-1613.

Smith, J.S., et al. (2004). Chlamydia trachomatis and invasive cervical cancer: a pooled analysis of the multicentric case-control study. International Journal of Cancer , 111, 431-439.

Sriamporn, S., et al. (2004). Behavioural risk factors for cervical cancer from a prospective study in khon kaen, northeast thailand. Cancer Detection and Prevention , 334-339. Syafitri, Y. (2011). Kejadian lesi prakanker leher rahim pada wanita yang melakukan

papsmear di yayasan kanker indonesia jakarta tahun 2006-2010. Depok: FKM-UI.

Syafrudin & Hamidah. (2009). Kebidanan komunitas. (Editor: M. Ester, & E. Wahyuningsih) Jakarta: EGC.

T.C. Chen, et al. (2005). Relevant factors for cervical cancer among young women in taiwan.

Taiwanese J Obstet Gynecol , 44, 143-147.

Tavasolli, F.A., & Devilee, P. (2003). Tumours of the uterine cervix. In F. A. Tavassoli, & P. Devilee, World health organization classification of tumours: pathology and genetics

of tumours of the breast and female genital organs (pp. 259-187). Lyon: International

Agency for Research on Cancer (IARC) Press.

Trimble, C.L., et al. (2005). Active and passive cigarette smoking and the risk of cervical neoplasia. Obstet Gynecol , 105 (1), 174-181.

(16)

Vinodhini, K., et al. (2012). Prevalence of high-risk HPV and associated risk cactors in cases of cervical carcinoma in tamil nadu, india. International Journal of Gynecology and

Obstetrics , 119, 253-256.

World Health Organization. (2013). WHO guidance note: comprehensive cervical cancer

Gambar

Tabel 1. Gambaran dan Hubungan Faktor-faktor Risiko pada Kejadian Kanker Leher Rahim di RSUPN  Dr

Referensi

Dokumen terkait

[r]

57 Data Sarana dan Prasarana SMA Negeri 1 Tolitoli Utara, (terlampir)... Pembelajaran Pendidikan Agama Islam pada SMA Negeri 1 Tolitoli Utara dalam hal kualifikasi

Berdasarkan uraian di atas maka dapat diketahui bahwa adsorpsi optimum logam timbal terjadi pada 1 gram berat serbuk cangkang telur ayam ras dengan persentase serapan yaitu

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui serta membandingkan antara pengaruh pemberian L-arginin dengan nifedipin terhadap gambaran histopatologi ginjal tikus

Hasil menunjukkan bahwa, pertama terdapat pngaruh kebahagiaan remaja panti asuhan yang diberi layanan konseling kreatif teknik musik-writing, remaja lebih mudah dalam

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Uji

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberdayaan yang dilakukan oleh Dinas Koperasi dan Usaha Mikro Kecil Menengah Kabupaten Jombang dalam mengatasi permasalahan UKM

perkuliahan maupun di luar perkuliahan dapat tersedia dengan baik. 2) Sarana dan prasarana saat berpengaruh terhadap semangat belajar mahasiswa.. 3) Jika semangat belajar telah