• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Magnet

Kata magnet berasal dari Magnesia, nama suatu kota di kawasan Asia. Di kota inilah orang – orang Yunani sekitar tahun 600 SM menemukan sifat magnetik dari mineral magnetik. Secara umum, pengertian magnet adalah kemampuan suatu benda untuk menarik benda – benda lain yang berada disekitarnya. Magnet dapat dibuat dari bahan besi, baja, dan campuran logam lainnya. Hingga saat ini, magnet banyak dimanfaatkan untuk perangkat elektronik, seperti bel listrik, telepon, dan mikrofon. Berdasarkan asalnya, magnet dibagi menjadi dua kelompok, yaitu magnet alam dan magnet buatan. Magnet alam adalah magnet yang ditemukan di alam, sedangkan magnet buatan adalah magnet yang sengaja dibuat oleh manusia. Magnet buatan selanjutnya terbagi lagi menjadi magnet tetap (permanen) dan magnet sementara. Magnet tetap adalah magnet yang sifat kemagnetannya tetap (terjadi dalam waktu yang relatif lama). Sebaliknya, magnet sementara adalah magnet yang sifat kemagnetannya tidak tetap atau sementara. Sebuah magnet terdiri atas magnet – magnet kecil yang mengarah ke arah yang sama. Magnet – magnet kecil ini disebut magnet elementer.

Magnet mempunyai 2 kutub yaitu kutub utara dan kutub selatan. Kutub magnet adalah daerah yang berada pada ujung – ujung magnet dengan kekuatan magnet yang paling besar berada pada kutub – kutubnya. Magnet dapat menarik benda lain, beberapa benda bahkan tertarik lebih kuat dari yang lain, yaitu bahan logam. Namun tidak semua logam mempunyai daya tarik yang sama terhadap magnet. Besi dan baja adalah dua contoh materi yang mempunyai daya tarik yang tinggi oleh magnet. (Julia,2011).

2.2 Bahan Magnetik

Bahan magnetik adalah suatu bahan yang memiliki sifat kemagnetan dalam komponen pembentuknya. Berdasarkan perilaku molekulnya di dalam Medan

(2)

magnetik luar, bahan magnetik terdiri dari: Diamagnetik, Paramagnetik, Feromagnetik, Anti Ferromagnetik dan Ferrimagnetik.

1. Bahan Diamagnetik

Diamagnetik merupakan sifat universal dari atom karena terjadi gerakan elektron pada orbitnya mengelilingi nukleus. Elektron dengan gerakan seperti ini merupakan suatu rangkaian listrik, dan dari hukum Lenz diketahui bahwa gerakan ini diubah oleh medan yang diterapkan sedemikian rupa sehingga menimbulkan gaya tolak. (Smallman,R.E. 2000).

Bahan diamagnetik adalah bahan yang resultan medan magnet atomis masing-masing atom/ molekulya adalah nol, tetapi medan magnet akibat orbit dan spin elektronnya tidak nol (Halliday & Resnick, 1978).

Konstribusi diamagnetik yang berasal dari elektron valensi kecil, tetapi apabila berasal dari kulit tertutup kontribusi sebanding dengan jumlah elektron di dalamnya dan dengan kuadrat radius “orbit”. Pada berbagai logam, efek diamagnetik ini dikalahkan oleh kontribusi paramagnetik yang berasal dari spin elektron. Bahan diamagnetik tidak mempunyai momen dipol magnet permanen. Jika bahan diamagnetik diberi medan magnet luar, maka elektron-elektron dalam atom akan mengubah gerakannya sedemikian rupa sehingga menghasilkan resultan medan magnet atomis yang arahnya berlawanan dengan medan magnet luar tersebut.

Material diamagnetik mempunyai suseptibilitas magnetik negatif kecil, yang berarti akan bersifat lemah terhadap medan magnetik luar yang diberikan. (Matthew,2013).

Sifat diamagnetik bahan ditimbulkan oleh gerak orbital elektron. Karena atom mempunyai elektron orbital, maka semua bahan bersifat diamagnetik. Suatu bahan dapat bersifat magnet apabila susunan atom dalam bahan tersebut mempunyai spin elektron yang tidak berpasangan. Dalam bahan diamagnetik hampir semua spin elektron berpasangan, akibatnya bahan ini tidak menarik garis gaya. Permeabilitas bahan ini: μ< μ0 dengan suseptibilitas magnetik bahan: χm < 0.

Nilai bahan diamagnetik mempunyai orde -10-5m3/kg. Contoh bahan diamagnetik yaitu: bismut, perak, emas, tembaga dan seng.

(3)

2. Bahan Paramagnetik

Bahan paramagnetik adalah bahan yang resultan medan magnet atomis masing-masing atom/ molekulnya tidak nol, tetapi resultan medan magnet atomis total seluruh atom/ molekul dalam bahan nol, hal ini disebabkan karena gerakan atom/ molekul acak, sehingga resultan medan magnet atomis masing-masing atom saling meniadakan (Halliday & Resnick, 1978).

Setiap elektron berperilaku seperti magnet kecil dan dalam medan magnetik memiliki salah satu dari dua orientasi, yaitu searah atau berlawanan dengan arah medan, tergantung pada arah spin elektron tersebut. Oleh karena itu, energi elektron berkurang atau bertambah dan dapat dipaparkan secara mudah dengan teori pita. Jadi, apabila kita menganggap bahwa pita level energi terbelah menjadi dua bagian pada gambar 2.1a, dan masing – masing bagian terdapat elektron dengan spin berlawanan, maka bila terdapat medan, beberapa elektron akan mengubah keterikatan dari pita yang satu ke pita yang lain sampai kedua pita mempunyai level energi Fermi sama. (Smallman,R.E. 2000).

Di bawah pengaruh medan eksternal, mereka mensejajarkan diri karena torsi yang dihasilkan. Sifat paramagnetik ditimbulkan oleh momen magnetik spin yang menjadi terarah oleh medan magnet luar. Sifat paramagnetik ditimbulkan oleh momen magnetik spin yang menjadi terarah oleh medan magnet luar.

Dalam bahan ini hanya sedikit spin elektron yang tidak berpasangan, sehingga bahan ini sedikit menarik garis-garis gaya. Dalam bahan paramagnetik, medan B yang dihasilkan akan lebih besar dibanding dengan nilainya dalam hampa udara. Suseptibilitas magnet dari bahan paramagnetik adalah positif dan berada dalam rentang 10-5 sampai 10-3 m3/Kg, sedangkan permeabilitasnya adalah μ > μ0. Contoh bahan paramagnetik : alumunium, magnesium dan wolfram.

(Nicola,2003).

3. Bahan Ferromagnetik

Bahan ferromagnetik mempunyai resultan medan magnet atomis besar, hal ini disebabkan oleh momen magnetik spin elektron. Pada bahan ini banyak spin elektron yang tidak berpasangan, masing-masing spin elektron yang tidak berpasangan ini akan menimbulkan medan magnetik, sehingga medan magnet

(4)

total yang dihasilkan oleh satu atom menjadi lebih besar (Halliday & Resnick, 1989).

Ferromagnetisme, seperti paramagnetisme, berasal dari spin elektron. Namun, pada material ferromagnetik, dihasilkan magnet permanen dan ini menunjukkan bahwa ada kecenderungan dari spin elektron untuk tidak berubah arah meskipun medan ditiadakan. Mengenai struktur pita, ini berarti bahwa setengah pita terkait dengan satu pin secara otomatis berkurang apabila level kosong di puncak diisi oleh elektron dari puncak lainnya (Gambar 2.1b) dan perubahan energi potensial berkaitan dengan transfer ini disebut energi pertukaran. Jadi, meskipun secera energetik memang dimungkinkan adanya keadaan dimana semua spin berada dalam satu arah, terdapat faktor bertentangan yaitu prinsip pengecualian Pauli, karena apabila spin berada dalam satu arah banyak elektron harus memasuki keadaan kuantum lebih tinggi yang berarti terjadi peningkatan energi kinetik.

Gambar 2.1. Skema (a) nikel paramagnetik dan (b) nikel ferromagnetik (Raynor,1958)

Pada logam ferromagnetik terjadi pengarahan spin elektron secara spontan, karena interaksi yang kuat, meski tidak diterapkan suatu medan. Akan tetapi suatu spesimen besi dapat berada dalam kondisi tanpa magnetisasi karena pengarahan seperti itu terbatas di daerah kecil, atau domain, yang secara statistik saling bertentangan. Domain ini berbeda dengan butir logam polikristalin dan dalam satu butir terdapat beberapa domain. Dengan penerapan medan magnetik, domain dengan orientasi yang diutamakan tumbuh dengan mendifusi domain lain oleh

(5)

migrasi batas domain sehingga seluruh spesimen mengalami magnetisasi. (Smallman,R.E. 2000).

4. Bahan Anti Ferromagnetik

Bahan yang menunjukkan sifat antiferomanetik, momen magnetik atom atau molekul, biasanya terkait dengan spin elektron yang teratur dalam pola yang reguler dengan tetangga spin (pada sublattice berbeda) menunjuk ke arah yang berlawanan. Hal ini seperti ferromagnetik dan ferrimagnetik,suatu bentuk dari keteraturan magnet. Umumnya, keteraturan antiferromagnetik berada pada suhu yang cukup rendah, menghilang pada di atas suhu tertentu. Suhu Neel adalah suhu yang menandai perubahan sifat magnet dari antiferromagnetik ke paramagnetik. Di atas suhu Neel bahan biasanya bersifat paramagnetik.

Pada bahan antiferromagnetik terjadi peristiwa kopling momen magnetik di antara atom-atom atau ion-ion yang berdekatan. Peristiwa kopling tersebut menghasilkan terbentuknya orientasi spin yang anti paralel. Satu set dari ion magnetik secara spontan termagnetisasi di bawah temperatur kritis (dinamakan temperatur Neel). Temperatur menandai perubahan sifat magnet dari antiferromagnetik ke paramagnetik. Susceptibilitas bahan anti ferromagnetik adalah kecil dan bernilai positif. Susceptibilitas bahan ini di atas temperatur Neel juga sama seperti material paramagnetik, tetapi di bawah temperatur Neel, susceptibilitasnya menurun seiring menurunnya temperatur. (Matthew,2013).

5. Bahan Ferrimagnetik

Material Ferrimagnetik seperti ferrit (misalnya Fe3O4) menunjukkan sifat serupa

dengan material ferromagnetik untuk temperatur di bawah harga kritis yang disebut dengan temperatur Curie, TC. Pada temperatur di atas TC maka material

ferrimagnetik berubah menjadi paramagnetik. Ciri khas material ferrimagnetik adalah adalah adanya momen dipol yang besarnya tidak sama dan berlawanan arah. Sifat ini muncul karena atom-atom penyusunnya (A dan B) mempunyai dipole dengan ukuran yang berbeda dan arahnya berlawanan. Material ini dapat mempunyai magnetisasi walau dalam keadaan tanpa medan luar sekalipun. Material ferrimagnetik seperti ferrit biasanya non konduktif dan bebas losses arus.

(6)

Ferimagnetik,material yang memiliki susceptibilitas yang besar tergantung temperatur.

2.3 Domain

Penelitian mikroskopis menunjukkan bahwa magnet sebenarnya terbuat dari daerah-daerah kecil yang disebut domain, yang paling besar memiliki panjang atau lebar 1 mm. Setiap domain berperilaku seperti magnet kecil dengan kutub utara dan kutub selatan. Pada potongan besi yang tidak termagnetisasi, domain-domain ini tersusun acak seperti pada gambar 2.2 (a). Efek – efek magnet domain-domain saling meniadakan, sehingga potongan besi tersebut bukan merupakan magnet. Pada magnet, domain tersusun dalam satu arah. Sebuah magnet dapat dibuat dari potongan besi yang tidak termagnetisasi dengan menempatkannya di medan magnet yang kuat. Magnetisasi domain sebenarnya bisa berotasi sedikit hingga hampir paralel dengan medan eksternal. Atau, lebih umum lagi, batas – batas domain bergerak sehingga domain yang orientasi magnetnya paralel terhadap medan eksternal bertambah besar dengan mengambil tempat domain yang lain. (Giancolli,2001).

Gambar 2.2. (a) Sepotong besi dengan domain – domain yang tersusun acak. (b) Pada magnet, domain –domain acak bisa diubah arahnya dengan proses

magnetisasi. (Giancoli, 2001)

Medan magnet menyebabkan sedikit penyusunan domain pada benda yang tidak termagnetisasi. Keadaan dimana semua spin elektron terarahkan sepenuhnya hanya mungkin terjadi pada temperatur rendah. Apabila temperatur dinaikkan, magnetisasi jenuh berkurang, mula – mula turun perlahan – lahan kemudian bertambah dengan cepat, hingga mencapai temperatur kritis, yang disebut temperatur Curie. Di atas temperatur Tc ini, spesimen tidak bersifat ferromagnetik,

(7)

tetapi berubah menjadi paramagnetik. Kristal ferromagnetik dalam keadaan alami mempunyai struktur domain. (Smallman,R.E. 2000).

2.4 Klasifikasi Magnetik Material

Klasifikasi secara sederhana dari material ferromagnetik berdasarkan koersivitasnya dapat dibedakan menjadi dua yaitu soft magnetik material dan hard magnetik material. Untuk material yang mempunyai nilai koersivitas yang tinggi disebut sebagai hard magnetik material sedangkan untuk material yang mempunyai nilai koersivitas yang rendah disebut sebagai soft magnetik material.

Untuk hard magnetik material adalah material yang mempunyai nilai koersivitas di atas 10 kA/m sedangkan untuk soft magnetik material adalah material yang mempunyai nilai koersivitas di bawah 10 kA/m. (Hasan,2008).

2.4.1 Material Magnet Lunak dan Magnet Keras

Bahan magnet secara umum dibagi menjadi dua macam yaitu: magnet lunak (soft magnetik material) dan magnet keras (hard magnetik material). Magnet lunak banyak digunakan untuk aplikasi pada bahan yang mudah dimagnetisasi dan didemagnetisasi. Sedangkan magnet keras banyak digunakan untuk aplikasi bahan yang membutuhkan sifat magnet yang permanen. Medan magnet dapat dihasilkan secara elektromagnetik, yaitu dengan melewatkan arus listrik pada konduktor seperti gambar 2.3 berikut ini. Kuat medan magnet dapat dinyatakan dengan persamaan:

... 2.1

dengan I arus (ampere), N cacah lilitan, l panjang kumparan (meter) dan H adalah kuat medan magnet (ampere/meter). Kuat medan magnet juga dinyatakan dalam satuan oersteds (Oe), dengan 1 A/m = Oe.

Pada gambar 2.3b ditunjukkan kuat medan magnet yang meningkat dengan adanya inti besi pada solenoid. Peningkatan kuat medan magnet berasal dari medan solenoid ditambah medan magnet luar yang berasal dari magnetisasi besi.

(8)

Gambar 2.3. (a) ilustrasi medan magnet yang timbul di sekitar koil tembaga (solenoid), (b) ilustrasi kuat medan magnet yang meningkat di sekitar solenoid

jika diletakkan inti besi pada bagian dalam solenoid (Taufik, dkk. 2012)

2.5 Histeresis Magnet

Jika arus dialirkan pada suatu kumparan elektromagnetik, maka akan timbul medan magnet di sekitarnya, ketika arus dinaikkan maka medan magnet yang timbul akan meningkat sampai titik konstan. Hal ini menandakan bahwa inti ferromagnetik telah mencapai titik jenuhnya dan kerapatan fluks mencapai maksimal. Jika arus dihentikan fluks magnet tidak sepenuhnya hilang karena bahan inti elektromagnetik masih mempertahankan sifat kemagnetan.

Gambar 2.4. Kurva B-H beberapa bahan inti magnet (Taufik,dkk. 2012)

Kemampuan untuk mempertahankan sifat magnet setelah arus dihentikan disebut retentivity, sedangkan jumlah fluks magnetik yang masih ada disebut Magnetisme Residual. Ketika fluks telah mencapai maksimal (jenuh) dan arus diturunkan maka akan terjadi pelebaran nilai H (Coersive Force). Sifat retentivity , Magnetisme Residual dan Coersive Force dijelaskan pada kurva histeresis yang ditunjukkan pada gambar 2.5.

(9)

Gambar 2.5. Kurva Histeresis (Taufik, dkk. 2012)

Bahan feromagnetik yang memiliki retentivity tinggi (hard magnetik material) sangat baik untuk memproduksi magnet permanen. Sedangkan bahan feromagnetik yang memiliki retentivity rendah (soft magnetik material) ideal untuk digunakan dalam elektromagnet, solenoida atau relay. (Taufik, dkk. 2012). Hal ini lebih jelas digambarkan dengan diagram histerisis atau hysteresis loop sebagai loop.

Gambar 2.6. Histeresis material magnet (a) Material lunak, (b) Material keras (Taufik, dkk.2012)

Diagram histeresis diatas menunjukkan kurva histeresis untuk material magnetik lunak pada gambar 2.6(a) dan material magnetik keras pada gambar 2.6(b). H adalah medan magnetik yang diperlukan untuk menginduksi medan berkekuatan B dalam material. Setelah medan H ditiadakan, dalam specimen tersisa magnetisme residual Br, yang disebut residual remanen, dan diperlukan medan magnet Hc yang disebut gaya koersif, yang harus diterapkan dalam arah

(10)

berlawanan untuk meniadakannya. Magnet lunak mudah dimagnetisasi serta mudah pula mengalami demagnetisasi, seperti tampak pada Gambar 2.6 Nilai H yang rendah sudah memadai untuk menginduksi medan B yang kuat dalam logam, dan diperlukan medan Hc yang kecil untuk menghilangkannya. Magnet keras adalah material yang sulit dimagnetisasi dan sulit di demagnetisasi. Karena hasil kali medan magnet (A/m) dan induksi (V.det/m2) merupakan energi per satuan volume, luas daerah hasil integrasi di dalam loop histerisis adalah sama dengan energi yang diperlukan untuk satu siklus magnetisasi mulai dari 0 sampai +H hingga –H sampai 0. energi yang dibutuhkan magnet lunak dapat diabaikan; medan magnet keras memerlukan energi lebih banyak sehingga pada kondisi-ruang, demagnetisasi dapat diabaikan. Dikatakan, magnetisasi permanen.

2.6 Magnet Permanen

Magnet permanen adalah suatu bahan yang dapat menghasilkan medan magnet yang besarnya tetap tanpa adanya pengaruh dari luar atau disebut magnet alam karena memiliki sifat kemagnetan yang tetap.

Jenis magnet tetap selama ini yang diketahui terdapat pada:

1. Magnet Neodymium, merupakan magnet tetap yang paling kuat. Magnet Neodymium (juga dikenal NdFeB, NIB, atau magnet Neo), merupakan jenis magnet tanah jarang (Rare Earth) terbuat dari campuran logam Neodymium. Tetragonal Nd2Fe14B memiliki struktur kristal yang sangat tinggi uniaksial

anisotropi magnetocrystalline (HA ~ 7 tesla). Senyawa ini memberikan potensi untuk memiliki tinggi koersivitas (yaitu, ketahanan mengalami kerusakan magnetik).

2. Magnet Samarium-Cobalt, salah satu dari dua jenis magnet bumi yang langka, merupakan magnet permanen yang kuat terbuat dari paduan Samarium dan Cobalt. Samarium-kobalt magnet memiliki produk-produk energi maksimum (BH max) yang berkisar dari 16 oersteds megagauss-(MGOe) menjadi 32 MGOe; batas teoretis mereka adalah 34 MGOe. Jenis magnet ini dapat ditemukan di dalam alat-alat elektronik seperti VCD, DVD, VCR Player, Handphone, dan lain-lain.

(11)

3. Magnet keramik, misalnya Barium Hexaferrite. Bahan ini digunakan untuk membuat magnet permanen, seperti core ferit untuk transformator, dan berbagai aplikasi lain. Ferit keras banyak digunakan dalam komponen elektronik, diantaranya motor-motor DC kecil, pengeras suara (loud speaker), meteran air, KWH-meter, telephone receiver ,circulator , dan rice cooker. 4. Plastic Magnets

Fleksibel (Karet) magnet dibuat dengan mencampur ferit atau bubuk Neodymium magnet dan pengikat karet sintetis atau alami. Fleksibel (Karet) magnet dibuat dengan menggulung atau metode ekstrusi. Magnet plastik biasanya diproduksi dalam bentuk lembaran strip atau yang banyak digunakan dalam mikro-motor.

5. Magnet Alnico

Alinco magnet adalah magnet paduan yang mengandung Alumunium (Al), Nikel (Ni), Cobalt (Co). Karena dari tiga unsur tersebut magnet ini sering disebut Alinco. Sebenarnya magnet alinco ini tidak hanya mengandung ketiga unsur saja melainkan ada beberapa unsur mengandung besi dan tembaga, tetapi kandungan besi dan tembaga tersebut relative sedikit. Alinco magnet dikembangkan pada tahun 1930-an dengan metode sintering atau lebih umum disebut metode casting. Jenis magnet ini dapat ditemukan di dalam alat-alat motor (kipas angin, speaker, mesin motor). (Theresya,2014).

Tabel 2.1. Parameter kemagnetan beberapa bahan ferromagnetik Material Remanensi (Br) (Tesla) Koersivitas (Hc) (kA/m) BHmax (kJ/m3) 36Co Steel 0,96 18,25 7,42 Alnico 2 0,7 52 13,5 Alnico 5 1,2 57,6 40 Alnico DG 1,31 56 52 Ba0.6Fe2O3 0,395 192 28 Pt Co 0,645 344 76 SmCo5 0,9 696 160 Nd2Fe14B 1,3 1120 320 (Sumber: Hasan,2008)

(12)

2.6.1 Magnet Permanen NdFeB

Magnet NdFeB adalah jenis magnet permanen rare earth (tanah jarang) yang memiliki sifat magnet yang sangat baik, seperti pada nilai induksi remanen, koersivitas dan energi produk yang lebih tinggi pula apabila dibandingkan dengan magnet permanen lainnya. Dengan memiliki sifat magnetik yang tinggi, dalam aplikasinya magnet NdFeB dapat berukuran lebih kecil. Magnet logam tanah jarang (rare earth) terbentuk dari 2 atom unsur logam tanah jarang yaitu Neodymium, unsur lainnya adalah 14 atom Besi dan 1 atom Boron, sehingga rumus molekul yang terbentuk adalah Nd2Fe14B. (Novrita, 2006).

Magnet permanen Neodymium-Iron-Boron memiliki energi produk yang paling tinggi (mencapai 55 MGOe) dari keseluruhan material magnetik. Magnet NdFeB mempunyai dua proses utama; proses serbuk dan melt quenching. Energi produk yang tinggi dari tipe magnet ini berarti secara signifikan volume material yang dibutuhkan lebih kecil untuk penggunaan yang sama dengan magnet lain dalam jumlah besar yang diproduksi seperti Alnico dan Ferrit. Akan tetapi, NdFeB memiliki kerugian, yaitu memiliki temperatur Curie yang rendah dan sangat rentan terhadap korosi. Temperatur Curie yang rendah (312ᵒC) ini menyebabkan magnet NdFeB tidak mungkin diaplikasikan pada suhu yang tinggi. (Matthew,2013).

2.6.2 Struktur Kristal Magnet NdFeB

Sel satuan NdFeB memiliki struktur kristal tetragonal yang kompleks. Terdiri dari 68 atom. Ada 6 atom besi pada sisi yang berbeda, 2 atom Neodymium pada posisi yang berbeda dan 1 sisi atom Boron. Semua atom Nd dan B bersama dengan 4 atom Fe akan membentuk jaring heksagonal.

Pada setiap lapisan bidang Fe pada atas dan bawah bidang terdapat Nd dan B yang dapat menstabilkan struktur ini. Panjang sumbu a setara dengan 8,8 , sumbu c = 12,19 . Jarak antara tetangga terdekat Fe-Fe antara 2,4 – 2,8 . Jarak antara Boron dengan atom atom tetangga terdekat adalah:

B – Fe (ki) = 2,09 B – Nd (g) = 2,86

(13)

Gambar 2.7. Struktur Kristal Nd2Fe14B (Matthew,2013)

2.6.3 Sifat Fisis Magnet NdFeB

Karakteristik magnet NdFeB adalah seperti tabel berikut ini. Tabel 2.2. Karakteristik magnet NdFeB

Karakteristik Satuan Nilai

Densitas g/cm3 7,5 Vickers Hardness D.P.N 570 Compression Strength N/mm2 780 Resistivitas Elektrik mΩ.cm 150 Tensile Strength Kg.mm2 8 Modulus Young 1011 N/m2 1,6 Temperatur Curie ᵒC 310

Maximum Operating Temperature ᵒC 80 – 200

Saturation Field Strength kOe (kA/m) 30 – 40 (2400 – 3200) Relative Recoil Permeability µrec 1,05

Koefisien Temperatur Br (%/ᵒC) -0,11 Koefisien Temperatur Hci (%/ᵒC) -0,14

(14)

2.6.4 Karakterisasi Magnet NdFeB Terhadap Temperatur

Magnet NdFeB mudah didemagnetisasi pada temperatur tinggi, artinya sifat kemagnetan NdFeB mudah hilang pada temperatur tinggi, tetapi akan meningkat pada temperatur rendah. Beberapa cara yang dapat mempengaruhi agar magnet ini dapat digunakan pada temperatur tinggi yaitu bentuk geometri. Magnet dengan bentuk yang lebih tipis akan lebih mudah didemagnetisasi dibandingkan dengan bentuk yang lebih tebal. Bentuk magnet piring datar lebih direkomendasikan untuk digunakan pada temperatur tinggi. (Novrita,2006).

2.6.5 Proses Fabrikasi Magnet Permanen NdFeB

Magnet NdFeB biasanya dibuat dengan cara teknologi logam serbuk (powder metallurgy). Magnet NdFeB ini dapat dibuat dengan 3 cara (Novrita,2006) yaitu:

1. Teknik sintering, yaitu dengan cara teknologi logam serbuk yaitu dengan cara milling, dicetak, sintering, surface treatment, magnetisasi dan dihasilkan produk akhir. Magnet yang dihasilkan dengan teknik ini menghasilkan energi produk (BHmax) yang paling tinggi.

2. Teknik Compression bonded, yaitu dengan cara mencampurkan serbuk NdFeB dengan suatu binder/pelumas, dikompaksi dan kemudian dipanaskan. Energi produk yang dihasilkan dengan teknik ini lebih rendah bila dibandingkan dengan cara teknik sintering.

3. Teknik Injection Molding, yaitu dengan cara mencampurkan serbuk NdFeB dengan suatu binder/pelumas dan kemudian diinjeksi. Energi produk yang dihasilkan dengan cara teknik ini lebih rendah dibandingkan dengan teknik sintering dan teknik Compression bonded.

2.7 Sifat Magnetik Material 2.7.1 Suseptibilitas magnetik

Apabila logam ditempatkan dalam medan magnetik berkekuatan H, maka medan induksi dalam logam adalah:

(15)

dimana I adalah intensitas magnetisasi. Besaran I merupakan sifat karakteristik logam, dan berkaitan dengan suseptibilitas per satuan volume logam yang didefinisikan sebagai berikut.

⁄ ... (2.3)

Suseptibilitas diukur dengan metode yang berdasarkan pada kenyataan bahwa spesimen logam yang digantung dalam medan magnet melintang yang tidak-seragam mengalami gaya sebanding dengan ⁄ , dimana V adalah volume spesimen dan dH / dx adalah gradien medan yang diukur melintang pada garis gaya. Gaya ini terukur dengan mudah dengan mengikatkan spesimen pada timbangan yang peka, dan lazim digunakan tipe rancangan Sucksmith. Logam yang memiliki negatif, seperti seperti tembaga, perak, emas, dan bismut, ditolak oleh medan dan disebut material diamagnetik. Logam umumnya memiliki nilai positif (berarti mengalami gaya tarik medan), bersifat paramagnetik (jika kecil)atau ferromagnetik (jika sangat besar). Hanya empat logam murni-besi, kobalt, dan nikel dari seri transisi, dan gadolinium dari seri tanah jarang – bersifat ferromagnetik ( = 1000) pada temperatur ruang, tetapi ada beberapa paduan ferromagnetik bahkan beberapa diantaranya tidak mengandung logam yang bersifat ferromagnetik. (Smallman,R.E. 2000).

2.7.2 Magnetisasi

Vektor magnetisasi dengan simbol besaran M di dalam bahan – bahan ferromagnetik didefinisikan sebagai jumlah vektor – vektor momen magnetik dari atom – atom atau molekul – molekul bahan per satuan volume. Harga absolut dari vektor magnetisasi tergantung dari harga suseptibilitas magnetik bahan tersebut. Magnetisasi selain memiliki pengertian suatu besaran fisis dengan satuan A/m dalam sistem satuan standar internasional skala besar (MKS) juga memiliki pengertian suatu proses pengutuban arah – arah momen – momen dipole magnetik dari atom – atom atau molekul – molekul bahan tersebut, khususnya pada bahan ferromagnetik, yang menyebabkan bahan ferromagnetik yang semula bukan magnet setelah dimagnetisasi akan menjadi magnetik dengan kutub utara dan selatan tertentu, sesuai dengan arah besaran vektor intensitas medan magnetik H

(16)

yang melakukan fungsi magnetisasi itu. Vektor intensitas medan magnetik H yang melakukan fungsi magnetisasi itu harus memenuhi syarat harga yang sama atau lebih besar daripada harga jenuh H bahan ferromagnetik, yang dapat diamati dari kurva B-H histeresisnya. Hubungan B, H, dan M ditunjukkan oleh persamaan berikut ini: B = µH = µ0 µr H = µ0 (1+χm) H ... (2.4) Atau = H + χmH = H + M ... (2.5) Vektor magnetisasi: M = χm H ... (2.6)

Dimana χm = suseptibilitas magnetik = (µr – 1), tidak memiliki dimensi, dan µr

adalah permeabilitas relatif bahan (tidak memiliki dimensi). Nilai suseptibilitas magnetik suatu bahan dipengaruhi oleh suhu. Untuk bahan – bahan ferromagnetik, suseptibilitas magnetiknya adalah fungsi temperatur absolut (T Kelvin) yang ditunjukkan oleh persamaan berikut, yang dinamakan juga relasi Curie-Weiss.

... (2.7) Dimana: C = konstanta Curie = µ0 = permeabilitas vakum = 1,257 µ H/m. N0 = konstanta Avogadro. (Rustam Effendi, 2007) 2.8 Mechanical Milling

Mechanical milling atau dipendekkan menjadi milling adalah proses penghalusan atau penghancuran bahan dengan menggunakan energi mekanik dari tumbukan antara bola – bola atau rod – rod milling dengan jar milling.

Dalam mechanical milling serbuk akan di campur dalam suatu chamber (ruangan) dan dikenai energi agar terjadi deformasi yang berulang- ulang sehingga akan terjadi partikel – partikel yang lebih kecil dari sebelumnya. Akibat dari tumbukan pada tiap tipe dari unsur partikel serbuk akan menghasilkan bentuk yang berbeda juga, untuk bahan yang ulet sebelum terjadi fracture akan menjadi

(17)

flat atau pipih terlebih dahulu, sedangkan untuk bahan yang getas akan langsung terjadi fracture dan menjadi partikel serbuk yang lebih kecil. (Khoiriana,et al. 2003).

Ada beberapa variabel yang mempengaruhi proses milling , antara lain:

Gambar 2.8. Faktor yang Mempengaruhi Proses Milling. (Campbell and Kaczmarek, 1996)

2.8.1 Faktor yang Mempengaruhi Proses Mechanical Milling 2.8.1.1 Kecepatan Milling

Besar kecepatan maksimum tiap tipe milling akan berbeda, ketika perputaran ball mill semakin cepat, maka energi yang di hasilkan juga akan semakin besar. Tetapi di samping semua itu, design dari milling ada pembatasan kecepatan yang harus di lakukan. Sebagai contoh pada planetary ball mill, meningkatkan kecepatan akan mengakibatkan bola yang ada di dalam chamber juga akan semakin cepat pergerakannya, tenaga yang di hasikan juga besar. Tetapi jika kecepatan melebihi kecepatan kritis maka akan terjadi pinned pada dinding bagian dalam sehingga bola – bola tidak jatuh sehingga tidak menghasilkan gaya impact. Jadi sebaiknya menggunakan kecepatan di bawah kecepatan kritisnya sehingga bola dapat jatuh dan menghasilkan tenaga impact yang optimal. Hal ini akan berpengaruh ke waktu yang di butuhkan untuk mencapai hasil yang di inginkan. Pada penelitian ini akan digunakan Conventional Milling dengan kecepatan 700 rpm untuk menghaluskan serpihan (flakes) untuk menghasilkan serbuk NdFeB dengan metode dry milling dengan kondisi inert.

(18)

2.8.1.2 Grinding Medium (Ukuran Bola)

Ukuran dari bola juga mempengaruhi efisiensi dari proses milling. Ukuran yang besar dan density yang tinggi pada suatu bola akan menghasilkan energi impact yang besar. Bentuk akhir dari serbuk setelah di lakukan milling juga dipengaruhi oleh ukuran ball mill itu sendiri. Bola yang besar maka kemungkinan adanya kontaminan akan semakin besar, walaupun energi yang akan dihasilkan juga besar tapi bagian bola yang akan menumbuk serbuk akan semakin kecil luasnya. Sedangkan jika menggunakan bola kecil semua maka energi yang dihasilkan juga kecil, tapi proses milling bisa lebih maksimal. Kaloshkin (1997) mengungkapkan bahwa untuk memaksimalkan proses milling salah satunya adalah dengan menggunakan ukuran bola yang berbeda – beda. Tetapi ada batasan dalam mengkombinasi bola tersebut, jika perbedaan (bola besar dan bola yang kecil) terlalu besar maka di khawatirkan bola yang besar akan menghancurkan bola yang kecil.

2.8.1.3 Waktu Milling

Waktu milling merupakan salah satu parameter yang penting untuk proses milling. Pada umumnya waktu dipilih untuk mencapai posisi tepat antara pemisahan dan pengelasan partikel serbuk untuk memudahkan memadukan logam. Variasi waktu yang diperlukan tergantung pada tipe mill yang digunakan, pengaturan milling, intensitas milling, dan temperatur pada milling. Pada umumnya dihitung waktu yang diambil untuk mencapai kondisi yang tepat, yaitu jangka pendek untuk energi milling yang tinggi dan jangka waktu lama ketika dengan energi milling yang rendah. (Khoiriana,et al. 2003).

Namun, tingkat dari kontaminasi akan bertambah karena waktu milling dan beberapa fasa yang tak terduga mungkin terbentuk jika serbuk dimilling terlalu lama. ( P.Balaz, 2008).

2.8.1.4 Milling Atmosfer

Jenis atmosfir juga mempengaruhi fasa akhir yang terbentuk. Pada Cr-Fe serbuk saat di milling menggunakan atmosfir, tidak ada fasa amorphouse yang terbentuk

(19)

dan ketika serbuk dimilling dengan selain argon dan nitrogen atmosfir, terbentuk fasa amorphous sepenuhnya.

2.8.1.5 Temperatur Milling

Temperatur juga merupakan faktor yang cukup penting. Karena dapat mempengaruhi dalam proses milling tersebut. Ada beberapa cara untuk melakukan beberapa variasi temperatur, misalnya dengan menggunakan nitrogen cair untuk menghasilkan temperatur yang dingin dan menggunakan pemanas untuk temperatur yang cukup tinggi.

Temperatur milling mempengaruhi tingkat struktur nanocristalline yang terbentuk. Milling pada temperatur yang lebih rendah dapat menimbulkan cacat yang disebabkan oleh deformasi plastis yang berkaitan dengan thermal recovery, kerapatan dislokasi yang lebih tinggi dan oleh karena itu ukuran butir yang diperoleh dapat lebih halus. (Khoiriana,et al. 2003).

2.8.2 Gas Inert (N2)

Secara keseluruhan gas yang ada di bumi, gas Nitrogen (N2) merupakan gas inert

yang paling umum. Nitrogen tersedia di atmosfir sebesar 78,9% beserta oksigen 20,9%, argon 0,9% dan gas – gas lainnya 0,1%.

2.8.2.1 Produksi Nitrogen

Nitrogen diproduksi terutama melalui proses destilasi fraksional dari udara cair. Udara bebas dikompresi dan didinginkan hingga menjadi cairan. Cairan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam kolom destilasi dan tiga komponen utama akan dipisahkan yaitu: nitrogen, oksigen dan argon. Instalasinya disebut ASUs (Air Separation Units). Hasilnya adalah kemurnian nitrogen yang tinggi dengan volume besar. Adapula metode lain dalam memproduksi nitrogen yaitu metode adsorpsi dan difusi pemisahan, tetapi kualitas nitrogen yang dihasilkan lebih rendah dan tingkat produksi jauh lebih lama.

(20)

Gambar 2.9. Pembuatan Nitrogen Cair pada Temperatur Ruang (Courtesy AGA)

Nitrogen kemudian dipindahkan ke sebuah silinder dengan tekanan gas (150 – 300 bar) atau dalam bentuk cair yang disebut “Dewars” yang sangat terisolasi dalam wadah Stainless Steel.

2.8.2.2 Kegunaan Nitrogen

Nitrogen digunakan terutama sebagai gas inert karena dapat melindungi material yang berpotensi reaktif terhadap oksigen (O2). Meskipun dalam kondisi tertentu

adanya kemungkinan nitrogen dapat bereaksi dengan beberapa material akan tetapi secara umum nitrogen dianggap sebagai gas inert yang efektif dan murah dibandingkan dengan gas inert lainnya seperti argon dan helium yang lebih mahal. Dalam bentuk liquid (pada titik didih) biasanya digunakan sebagai pendingin karena dapat menyerap panas dalam jumlah besar ketika terevaporasi) dan juga pada kegunaan inertnya. (Sumber: www.wilhelmsen.com)

Berikut ini spesifikasi dari Nitrogen adalah sebagai berikut: Tabel 2.3. Spesifikasi gas nitrogen

(21)

2.9 Proses Kompaksi

Kompaksi merupakan proses pemadatan serbuk menjadi sampel dengan bentuk tertentu sesuai dengan cetakannya.

Ada dua macam metode kompaksi, yaitu:

1. Cold compressing, yaitu penekanan dengan temperatur kamar. Metode ini dipakai apabila bahan yang digunakan mudah teroksidasi.

2. Hot compressing, yaitu penekanan dengan temperatur di atas temperatur kamar. Metode ini dipakai apabila bahan yang digunakan tidak mudah teroksidasi.

Pada proses kompaksi, gaya gesek yang terjadi antar partikel yang digunakan dan antar partikel komposit dengan dinding cetakan akan mengakibatkan kerapatan pada daerah tepi dan bagian tengah tidak merata. Dan untuk menghindari terjadinya perbedaan kerapatan, maka pada saat kompaksi digunakan lubricant/pelumas yang bertujuan untuk mengurangi gesekan antara partikel dan dinding cetakan. Dalam penggunaan lubricant/pelumas, dipilih bahan pelumas yang tidak reaktif terhadap campuran serbuk dan yang memiliki titik leleh rendah sehingga pada proses curing, lubricant/ pelumas dapat menguap. Terkait dengan pemberian lubricant/pelumas pada proses kompaksi, maka terdapat dua metode kompaksi, yaitu:

1. Die – wall compressing , yaitu penekanan dengan memberikan lubricant/ pelumas pada dinding cetakan.

2. Internal lubricant compressing, yaitu penekanan dengan mencampurkan lubricant/ pelumas pada material yang ditekan.

Proses kompaksi dapat dilakukan dengan tiga prosedur yang berbeda yaitu: secara axial (medan magnetik paralel terhadap sumbu tekanan/ sumbu y), transversal (medan magnetik tegak lurus terhadap tekanan), atau isostatik (medan magnetik diberikan pertama sebelum serbuk dikompaksi yang kemudian dipress / kompaksi secara isostatik). Rasio orientasi butir lebih baik dilakukan dengan penekanan transversal dan isostatik, induksi remanen yang lebih baik sekitar 0,3 hingga 1,0 kG. Umumnya digunakan pencetak hidraulik dan mekanik.

(22)

2.10 Heat Treatment

Heat treatment adalah proses pemanasan dan pendinginan material yang terkontrol dengan maksud merubah sifat fisik dari material tersebut. Proses Heat Treatment akan menyebabkan perubahan struktur-struktur suatu material yang mulanya masih mengumpul menjadi terurai sehingga menjadi lebih keras, ulet dan tangguh. Secara umum proses Heat Treatment adalah sebagai berikut:

1. Pemanasan material sampai suhu tertentu.

2. Mempertahankan suhu untuk waktu tertentu (holding time) sehingga temperaturnya merata.

3. Pendinginan dengan metode media pendingin (air, oli atau udara).

Proses yang dilakukan dalam keadaan vakum dengan temperatur yang berbeda bertujuan untuk menghilangkan banyak kemungkinan adanya pengotor dari sampel saat proses pembuatan seperti hidrogen, oksigen, karbon, karbon dioksida dan hidrokarbon. Proses ini juga bergantung pada temperatur dan waktu dari semua parameter komposisi dan variabel sebelumnya yang dilakukan saat proses pembuatan sampel. (Tenaud,Ph., et al. 1991).

2.11 Karakterisasi

Untuk mengidentifikasi suatu material, maka harus dilakukan karakterisasi terhadap material tersebut. Sehingga secara fisis material tersebut dapat dibedakan dengan material lainnya. Oleh karena itu maka dilakukan analisa ukuran partikel serbuk NdFeB menggunakan PSA, pengukuran densitas pelet magnet NdFeB dengan menggunakan alat jangka sorong, analisa sifat magnet pelet magnet NdFeB menggunakan Gaussmeter, analisa struktur serbuk magnet NdFeB dengan XRD dan pengamatan mikrostruktur pelet magnet NdFeB menggunakan SEM.

2.11.1 Particle Size Analyzer (PSA)

Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mengetahui ukuran suatu partikel yaitu:

1. Metode Ayakan (Sieve Analysis) 2. Laser Diffractometer (LAS) 3. Metode sedimentasi

(23)

4. Electronical Zone Sensing (EZS) 5. Analisa gambar (Mikrografi) 6. Metode kromatografi

7. Ukuran aerosol submicron dan perhitungan

Sieve Analysis (analisa ayakan) dalam dunia farmasi seringkali digunakan dalam bidang mikromeritik. Yaitu ilmu yang mempelajari tentang ilmu dan teknologi partikel kecil. Metode yang paling umum digunakan adalah analisa gambar (mikrografi). Metode ini meliputi metode mikroskopi dan metode holografi. Alat yang sering digunakan biasanya SEM, TEM, dan AFM. Namun seiring berkembangnya ilmu pengetahuan yang lebih mengarah ke era nanoteknologi, para peneliti mulai menggunakan Laser Diffraction (LAS). Metode ini dinilai lebih akurat bila dibandingkan dengan metode analisa gambar maupun metode ayakan (Sieve Analysis), terutama untuk sampel – sampel dalam orde nanometer maupun submikron. (Lusi,2011).

Contoh alat yang menggunakan metode LAS adalah Particle Size Analyzer (PSA). Metode LAS dapat dibagi ke dalam dua metode:

1. Metode basah : metode ini menggunakan media pendispersi untuk mendispersikan material uji.

2. Metode kering : metode ini memanfaatkan udara atau aliran udara untuk melarutkan partikel dan membawanya ke sensing zone. Metode ini baik digunakan untuk ukuran yang kasar, dimana hubungan antar partikel lemah dan kemungkinan untuk beralgomerasi kecil.

Keunggulan penggunaan Particle Size Analyzer (PSA) untuk mengetahui ukuran partikel :

1. Lebih akurat. Pengukuran partikel dengan menggunakan PSA lebih akurat jika dibandingkan dengan pengukuran partikel dengan alat lain seperti XRD ataupun SEM. Hal ini dikarenakan partikel didispersikan ke dalam media sehingga ukuran partikel yang terukur adalah ukuran dari single particle. 2. Hasil pengukuran dalam bentuk distribusi, sehingga dapat menggambarkan

keseluruhan kondisi sampel.

Pengukuran partikel menggunakan PSA biasanya menggunakan metode basah. Metode ini dinilai lebih akurat jika dibandingkan dengan kering ataupun

(24)

pengukuran partikel dengan metode ayakan dan analisa gambar. Terutama untuk sampel – sampel dalam orde nanometer dan submicron yang biasanya memiliki kecenderungan algomerasi yang tinggi. Hal ini dikarenakan partikel terdispersi ke dalam media sehingga partikel tidak saling beralgomerasi (menggumpal). Dengan demikian ukuran partikel yang terukur adalah ukuran dari single particle. Selain itu hasil pengukuran dalam bentuk distribusi, sehingga hasil pengukuran dapat diasumsikan sudah menggambarkan keseluruhan kondisi sampel. Beberapa analisa yang dilakukan, antara lain:

1. Menganalisa ukuran partikel.

2. Menganalisa nilai zeta potensial dari suatu larutan sampel.

3. Mengukur tegangan permukaan dari partikel clay bagi industri keramik dan sejenisnya. Dimana hal ini akan berpengaruh pada struktur lapisan clay. Struktur lapisan clay ini sangat berpengaruh pada metode slip casting.

4. Mengetahui zeta potensial koagulan untuk proses koagualasi partikel pengotor bagi industri WTP (Water Treatment Plant).

5. Mengetahui ukuran partikel tegangan permukaan dari densitas pada emulsi yang digunakan pada produk – produk industri beverage. (Nanortim, 2010)

2.11.2 Densitas

Salah satu sifat yang penting dari suatu bahan adalah densitas. Densitas didefinisikan sebagai massa per satuan volum. Jika suatu bahan yang materialnya homogen bermassa m memiliki volume v, densitasnya adalah

... (2.8) dengan: = densitas (gr/cm3 ) m = massa sampel (gr) V = volume sampel (cm3)

Secara umum, densitas suatu bahan tergantung pada faktor lingkungan seperti suhu dan tekanan. (Young,D.H. 2002).

(25)

2.11.3 VSM (Vibrating Sample Magnetometer)

Vibrating Sample Magnetometer (VSM) merupakan salah satu jenis peralatan yang digunakan untuk mempelajari sifat magnetik bahan. Dengan alat ini akan dapat diperoleh informasi mengenai besaran – besaran sifat magnetik sebagai akibat perubahan medan magnet luar yang digambarkan dalan kurva histeresis, sifat magnetik bahan sebagai akibat perubahan suhu, dan sifat – sifat magnetik sebagai fungsi sudut pengukuran atau kondisi anisotropik bahan.

Gambar 2.10. Peralatan VSM (Vibrating Sample Magnetometer) (P2F LIPI).

Salah keistimewaan VSM adalah merupakan vibrator elektrodinamik yang dikontrol menggunakan arus balik. Sampel dimagnetisasi dengan medan magnet homogen. Jika sampel bersifat magnetik, maka medan magnet akan memagnetisasi sampel dengan meluruskan domain magnet. Momen dipol magnet sampel akan menciptakan medan magnet di sekitar sampel, yang biasa disebut magnetic stray field. Ketika sampel bergetar, magnetic stray field dapat ditangkap oleh coil. Medan magnet tersebar tersebut akan menginduksi medan listrik dalam coil yang sebanding dengan momen magnetik sampel. Semakin besar momen magnetik, maka akan menginduksi arus yang semakin besar.

Dengan mengukur arus sebagai fungsi medan magnet luar, suhu maupun orientasi sampel, berbagai sifat magnetik bahan dapat dipelajari. Dalam penelitian ini, nilai magnetisasi diukur selain untuk mengetahui kemampuan magnetik nanosfer yang dihasilkan juga untuk mendapatkan informasi komposisi nanosfer. Karakterisasi sifat magnetik dengan VSM, Data yang diperoleh dari karakterisasi sifat magnet berupa kurva histeresis dengan sumbu x merupakan medan magnet

(26)

yang menginduksi sampel dalam satuan Tesla dan sumbu y merupakan magnetisasi sampel dalam satuan emu/gram. (Thresya,2014)

2.11.4 XRD (X-Ray Diffractometer)

X-Ray Diffractometer adalah alat yang dapat memberikan data-data difraksi dan kuantitas intensitas difraksi pada sudut-sudut difraksi (2θ) dari suatu bahan. Tujuan dilakukannya pengujian analisis struktur kristal adalah untuk mengetahui perubahan fase struktur bahan dan mengetahui fase-fase apa saja yang terbentuk selama proses pembuatan sampel uji. Tahap pertama yang dilakukan dalam analisa sinar-X adalah melakukan analisa pemeriksaan terhadap sampel x yang belum diketahui strukturya. Sampel ditempatkan pada titik focus hamburan sinar- X yaitu tepat ditengah-tengah plate yang digunakan sebagai tempat yaitu sebuah plat tipis yang berlubang ditengah berukuran sesuai dengan sampel (pellet) dengan perekat pada sisi baliknya. (Sholihah & Zainuri, 2012).

Difraksi sinar-X digunakan untuk mengidentifikasi struktur kristal suatu padatan dengan membandingkan nilai jarak d (bidang kristal) dan intensitas puncak difraksi dengan data standar. Sinar-X merupakan radiasi elektromagnetik dengan panjang gelombang sekitar 100 pm yang dihasilkan dari penembakkan logam dengan elektron berenergi tinggi. Melalui analisis XRD diketahui dimensi kisi (d = jarak antar bidang ) dalam struktur mineral. Sehingga dapat ditentukan apakah suatu material mempunyai kerapatan yang tinggi atau tidak, dan difraksi sinar-X suatu kristal seperti pada gambar 2.11. Hal ini dapat diketahui dari persamaan Bragg yaitu nilai sudut difraksi θ yang berbanding terbalik dengan nilai jarak d (jarak antar bidang) dalam kristal. Sesuai dengan persamaan Bragg:

... (2.9)

dengan : dhkl = jarak antar bidang

θ = sudut pengukuran (sudut difraksi) = panjang gelombang sinar-X n = orde pembiasan (1,2,3,... )

(27)

Gambar 2.11. Difraksi Sinar X suatu Kristal (www.google.com)

Prinsip dasar dari XRD adalah hamburan elektron yang mengenai permukaan kristal. Bila sinar dilewatkan ke permukaan kristal, sebagian sinar tersebut akan terhamburkan dan sebagian lagi akan diteruskan ke lapisan berikutnya. Sinar yang dihamburkan akan berinterferensi secara konstruktif (menguatkan) dan destruktif (melemahkan). Hamburan sinar yang berinterferensi inilah yang digunakan untuk analisis.Difraksi sinar X hanya akan terjadi pada sudut tertentu sehingga suatu zat akan mempunyai pola difraksi tertentu.

Pengukuran kristalinitas relatif dapat dilakukan dengan membandingkan jumlah tinggi puncak pada sudut-sudut tertentu dengan jumlah tinggi puncak pada sampel standar. Di dalam kisi kristal, tempat kedudukan sederetan ion atau atom disebut bidang kristal. Bidang kristal ini berfungsi sebagai cermin untuk merefleksikan sinar –X yang datang. Posisi dan arah dari bidang kristal ini disebut indeks miller. Setiap kristal memiliki bidang kristal dengan posisi dan arah yang khas, sehingga jika disinari dengan sinar –X pada analisis XRD akan memberikan difraktogram yang khas pula. Dari data XRD yang diperoleh, dilakukan identifikasi puncak – puncak grafik XRD dengan cara mencocokkan puncak yang ada pada grafik tersebut dengan database ICDD. Setelah itu, dilakukan refinement pada data XRD dengan menggunakan metode Analisis Rietveld yang terdapat pada program RIETAN. Melalui refinement tersebut, fase beserta sruktur, space group, dan parameter kisi yang ada pada sampel yang diketahui. Melalui grafik XRD, grain size dari sampel juga dapat diperkirakan.Grain size dihitung dengan menggunakan persamaan Scherrer, yaitu :

(28)

dengan : S = grain size

= panjang gelombang berkas sinar X B = FWHM (Full Width Half Maximum)

θ = besar sudut dari puncak dengan intesitas tinggi

2.11.5 SEM (Scanning Electron Microscopy)

Scanning Electron Microscopy (SEM) merupakan sejenis mikroskop yang menggunakan elektron sebagai pengganti cahaya untuk melihat benda dengan resolusi tinggi. Analisis SEM bermanfaat untuk mengetahui mikrostruktur (termasuk porositas dan bentuk retakan) benda padat. Berkas sinar elektron dihasilkan dari filamen yang dipanaskan, disebut electron gun. Sebuah ruang vakum diperlukan untuk preparasi cuplikan. (Gunawan dan Azhari,2010). Gambar yang dihasilkan oleh SEM memiliki karakteristik penampilan tiga dimensi, dan dapat digunakan untuk menentukan struktur permukaan dari sampel. Hasil gambar dari SEM hanya ditampilkan dalam warna hitam putih. (Marlina,2007).

SEM menerapkan prinsip difraksi elektron, dimana pengukurannya sama seperti mikroskop optik. Prinsipnya adalah elektron yang ditembakkan akan dibelokkan oleh lensa elektromagnetik dalam SEM.

SEM menggunakan suatu sumber elektron berupa pemicu elektron (electron gun) sebagai pengganti sumber cahaya. Elektron – elektron ini akan diemisikan secara termionik (emisi elektron dengan membutuhkan kalor, sehingga dilakukan pada temperatur yang tinggi) dari sumber elektron. Elektron – elektron yang dihasilkan adalah elektron berenergi tinggi, yang biasanya memiliki energi berkisar 20 keV – 200 keV atau sampai 1 MeV. Dalam prinsip pengukuran ini dikenal dua jenis elektron, yaitu elektron primer dan elektron sekunder. Elektron primer adalah elektron berenergi tinggi yang dipancarkan dari katoda (Pt, Ni, W) yang dipanaskan. Katoda yang biasa digunakan adalah tungsten (W) atau Lanthanum hexaboride (LaB6). Tungsten digunakan karena memiliki titik lebur

yang paling tinggi dan tekanan uap yang paling rendah dari semua meta, sehingga memungkinkannya dipanaskan pada temperatur tinggi untuk emisi elektron. Elektron sekunder adalah elektron yang berenergi rendah yang dibebaskan oleh

(29)

atom pada permukaan. Atom akan membebaskan elektron sekunder setelah ditembakkan oleh elektron primer. Elektron sekunder inilah yang akan ditangkap oleh detektor, dan mengubah sinyal tersebut menjadi suatu sinyal gambar.

Proses pemindaian (scanning process) SEM secara singkat dapat dijelaskan sebagai berikut. Sinar elektron, yang biasanya memiliki energi berkisar dari beberapa ribu eV hingga 50 kV, difokuskan oleh satu atau dua lensa kondenser menjadi sebuah sinar dengan spot focal yang sangat baik berukuran 1 nm hingga 5 μm. Sinar tersebut melewati beberapa pasangan gulungan pemindai (scanning coils) di dalam lensa objektif, yang akan membelokkan sinar itu dengan gaya raster di atas area berbentuk persegi dari permukaan sampel. Selagi elektron – elektron primer mengenai permukaan, mereka dipancarkan secara inelastis oleh atom – atom di dalam sampel. Melalui kejadian penghamburan ini, sinar elektron primer menyebar secara efektif dan mengisi volume berbentuk air mata, yang dikenal sebagai volume interaksi, memanjang dari kurang dari 100 nm hingga sekitar 5 nm ke permukaan. Interaksi di dalam wilayah ini mengakibatkan terjadinya emisi elektron sekunder, yang kemudian dideteksi untuk menghasilkan sebuah gambar. Elektron – elektron sekunder akan ditangkap oleh detektor, dan mengubah sinyal tersebut menjadi suatu sinyal gambar. Kekuatan cahaya tergantung pada jumlah elektron – elektron sekunder yang mencapai detektor.

Gambar 2.12. Scanning Electron Microscope (SEM) (www.google.com)

SEM memiliki beberapa keunggulan, seperti kemampuan untuk menggambar area yang besar secara komparatif dari spesimen, kemampuan untuk

(30)

menggambar materi bulk, dan berbagai mode analitikal yang tersedia untuk mengukur komposisi dan sifat dasar dari spesimen. Tergantung dari instrumen, resolusi dapat jatuh di suatu tempat diantara kurang dari 1 nm dan 20 nm. Pembesaran gambar dari resolusi SEM yang tinggi dipengaruhi oleh besarnya energi elektron yang diberikan. Semakin kecil panjang gelombang yang diberikan oleh elektron, energinya semakin besar, sehingga resolusinya juga semakin tinggi.

Preparasi sampel pada SEM harus dilakukan dengan hati – hati karena memanfaatkan kondisi vakum serta menggunakan elektron berenergi tinggi. Sampel yang digunakan harus dalam keadaan kering dan bersifat konduktif (menghantarkan elektron). Bila tidak, sampel harus dibuat konduktif terlebih dahulu oleh pelapisan dengan karbon, emas, atau platina. (Marlina,2007).

2.11.6 EDX (Energy Dispersive X-ray Spectroscopy)

Energy Dispersive X-ray Spectroscopy (EDS atau EDX atau EDAX) adalah salah satu teknik analisis untuk menganalisis unsur atau karakteristik kimia dari spesimen. Karakterisasi ini bergantung pada penelitian dari interaksi beberapa eksitasi sinar X dengan spesimen. Kemampuan untuk mengkarakterisasi sejalan dengan sebagian besar prinsip dasar yang menyatakan bahwa setiap elemen memiliki struktur atom yang unik, dan merupakan ciri khas dari struktur atom suatu unsur, sehingga memungkinkan sinar X untuk mengidentifikasinya. Untuk merangsang emisi karakteristik sinar-X dari sebuah spesimen, sinar energi tinggi yang bermuatan partikel seperti elektron atau proton, atau berkas sinar X, difokuskan ke spesimen yang yang akan diteliti. Selanjutnya sebuah atom dalam spesimen yang mengandung elektron dasar di masing-masing tingkat energi atau kulit elektron terikat pada inti. Sinar yang dihasilkan dapat mengeksitasi elektron di kulit dalam dan mengeluarkannya dari kulit, sehingga terdapat lubang elektron di mana elektron itu berada sebelumnya. Sebuah elektron dari luar kulit yang berenergi lebih tinggi kemudian mengisi lubang, dan perbedaan energi antara kulit yang berenergi lebih tinggi dengan kulit yang berenergi lebih rendah dapat dirilis dalam bentuk sinar X. Jumlah dan energi dari sinar-X yang dipancarkan dari spesimen dapat diukur oleh spektrometer energi-dispersif. Energi dari sinar X yang dihasilkan merupakan karakteristik dari perbedaan energi antara dua kulit,

(31)

dan juga karakteristik struktur atom dari unsur yang terpancar, sehingga memungkinkan komposisi unsur dari spesimen dapat diukur. Pengujian EDX ini dilakukan untuk mengetahui komposisi yang terkandung pada permukaan plat.

Gambar 2.13. Skema EDX (Energy Dispersive X-Ray) (www.wikipedia.com)

2.11.7 Prinsip Kerja SEM – EDX

SEM membentuk suatu gambar dengan menembakkan suatu sinar electron berenergi tinggi, biasanya dengan energi dari 1 hingga 20 keV, melewati sampel dan kemudian mendeteksi Secondary Electron dan Back Scattered Electron yang dikeluarkan. Secondary Electron berasal pada 5-15 nm dari permukaan sampel dan memberikan informasi topografi dan untuk tingkat yang kurang, pada variasi unsur dalam sampel. Back Scattered Electron terlepas dari daerah sampel yang lebih dalam dan memberikan informasi terutama pada jumlah atom rata-rata dari sampel. Peristiwa tumbukan berkas sinar elektron, yaitu ketika memberikan energi pada sampel, dapat menyebabkan emisi dari sinar-X yang merupakan karakteristik dari atom-atom sampel. Energi dari sinar-X digolongkan dalam suatu tebaran energi spektrometer dan dapat digunakan untuk identifikasi unsur-unsur dalam sampel. ( Martinez, 2010 ).

Gambar

Gambar 2.1. Skema (a) nikel paramagnetik dan (b) nikel ferromagnetik  (Raynor,1958)
Gambar 2.3. (a) ilustrasi medan magnet yang timbul di sekitar koil tembaga  (solenoid), (b) ilustrasi kuat medan magnet yang meningkat di sekitar solenoid
Gambar 2.5. Kurva Histeresis (Taufik, dkk. 2012)
Tabel 2.1. Parameter kemagnetan beberapa bahan ferromagnetik   Material  Remanensi (Br)  (Tesla)  Koersivitas (Hc) (kA/m)  BH max(kJ/m3 )  36Co Steel  0,96  18,25  7,42  Alnico 2  0,7  52  13,5  Alnico 5  1,2  57,6  40  Alnico DG  1,31  56  52  Ba 0.6 Fe 2
+7

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena itu, pada penelitian ini menggunakan metode Regresi Logistik Biner dan Classification Tree untuk meng- klasifikasikan data nasabah pemohon kredit sebagai

sahnya jual beli telah terpenuhi, untuk menjual kepada Pihak Kedua, yang --- berjanji dan mengikat diri untuk membeli dari Pihak Pertama: --- Sebidang tanah Hak Guna Bangunan Nomor

Gejala Apa Saja Yang Ada Pada Penyakit Kutil Kelamin atau jengger ayam solusi pengobatan kutil kelamin atau jengger ayam tanpa operasi hanya hubungi kami.. Penyakit

[r]

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, dengan ini menyetujui untuk memberikan ijin kepada pihak Program Studi Sistem Informasi Fakultas Teknik Universitas Muria Kudus

Menurut Indra Lesmana Karim, upaya penanggulangan terhadap pengulangan tindak pidana penyalahgunaan narkotika oleh anak adalah melalui lingkungan yang terkecil

Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah yang selanjutnya disingkat RIPPDA adalah pokok-pokok kebijaksanaan dan pengembangan yang merupakan perwujudan, pemanfaatan

Menurut sumber dan jenisnya, data yang disajikan terdiri dari data dasar yang merupakan data hasil kegiatan Badan Pusat Statistik dan data sektoral yang