TINJAUAN FILOSOFIS DAN SEMIOTIK BATIK KAWUNG
(
Suatu Pendekatan Awal)
Nanang Rizalidipublikasikan pada Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.2 No.1 Maret 2001 Abstrak
Sejak dahulu nenek moyang kita telah mengerjakan hampir semua jenis tekstil, mulai dari yang sederhana hingga yang rumit. Salah satu jenis tekstil tradisional yang berkembang dari daerah sesuai dengan kondisi lingkungan, tradisi dan potensi alamnya adalah batik klasik. Bentuk pola dan ragam hias yang menyatu dengan teknik pembuatan serta latar belakang adat menjadikan batik klasik sebagai identitas budaya bangsa Indonesia. Batik kawung merupakan salah satu wujud kebudayaan nasional yang mempunyai ciri khas, yaitu indah secara visual, dan memiliki nilai filosofis. Pada karya tersebut terdapat tanda¬tanda atau simbol yang tidak bisa difahami secara harafiah. Tetapi di dalamnya terkandung perlambang aspek ketuhanan, falsafah dan konsep keselarasan hidup, yaitu keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat.
Kata Kunci: Batik Kawung, batik klasik, proses batik, teknik cap, teknik printing, pandangan filosofis, pandangan semiotik
Pendahuluan
Kritik Salah satu identitas nasional yang telah dikenal di Indonesia maupun di seluruh dunia adalah batik. Sebagai
salah satu wu jud
kebudayaan nasional, batik klasik khususnya mempunyai ciri khas tersendiri, yaitu tidak hanya indah secara visual, tetapi juga
secara filosofis. Batik merupakan warisan budaya nenek moyang yang turun temurun sejak dahulu sampai beberapa generasi. Dengan demikian dapat diduga bahwa usia batik yang ada di Indonesia sudah lama sekali. Berdasarkan sejarah batik bberkembang dengan pesatnya kirakira pada tahun 1755, yaitu jaman Keraton Surakarta dan
Yogyakarta. Pada waktu itu
masing-masing keraton
mengembangkan gayanya, sehingga kaya akan motif, corak maupun pewarnaannya. Kegiatan membatik bukan hanya menghias kain, tetapi juga sebagai wadah nilai nilai hidup dan kepercayaan. Dalam perkembangannya sampai sekarang telah diciptakan batik modern (kreasi baru). Kehadirannya disebabkan dengan ditemukannya teknik-teknik yang dapat menghasilkan batik lebih cepat, lebih efektif dan efisien, misalnya melalui teknik cap atau printing. Selain adanya perhatian para pengusaha batik terhadap kebutuhan konsumennya yang terus berkembang.
Ditinjau dart pengelompokannya pada desain tekstil, batik tergolong desain permukaan tekstil, yaitu salah satu upaya pemberian rupa dan warna di atas permukaan tekstil setelah tenun. Pada proses batik umumnya terdapat tiga tahapan yang meliputi :
Penggambaran motif di atas
kain mori dengan cara menutup bagian yang tidak dikehendaki warna dengan Jilin (malam), dan dengan alat canting.
Pencelupan dengan zat warna dingin sesuai dengan motif yang diinginkan.
Pelorodan, yaitu
menghilangkan lilin (malam) dengan air mendidih, sehingga akan tampak motif dan warna seperti yang direncanakan.
Dari kondisi inilah seringkali desain tekstil atau batik diartikan sebagai wujud fisik dari penampilan motif dan warnanya saja. Kerancuan pengertian yang sudah umum ini mengakibatkan pengertian desain tekstil atau batik sebagai suatu prosses yang panjang dan rumit menjadi kabur. Oleh karena itu dalam kaftan inilah perlunya mengkaji dan memahami kembali keberadaan hasil karya seni yang bersifat klasik (tradisional). Seperti misalnya batik klasik yang memiliki kadar keindahan yang tinggi,
berkembang pesat dan telah mencapai puncaknya serta tidak pernah luntur sepanjan g masa. Batik klas ik mempunyai maksud tertentu dalam kepentinga n sosial dan dapat menunjukan tanda-tanda bagi seseorang tentang statusnya. Di antara sekian banyak batik klasik yang memiliki makna filosofis dan simbolik adalah batik kawung. Batik Kawung: Pandangan Filosofis dan Semiotik
Berbicara masalah batik maka tidak d a p a t d i p i s a h k a n d e n g a n p erm asalah an motif pada batik. Peranan motif pada batik khususnya batik klasik akan sangat menentukan visualisasi batik secara keseluruhan. Motif pada batik dapat menunjukan l a t a r b e l a k a n g b u d a y a d a n perkembangannya. Beberapa daerah pembatikan di Indonesia mempunyai berbagai macam jenis batik dengan variasi dan
coraknya. Menurut
penggolongannya batik kawung termasuk golongan motif geometris yang ciri khas motifnya mudah disusun, dibagi-bagi menjadi kesatuan motif atau pola yang utuh dan lengkap.
Ditinjau dari pengertian bentuknya motif batik kawung adalah motif batik yang tersusun dari bentuk bundar lonjong atau elips, susunannya memanjang menurut diagonal miring kekiri dan kekanan berseling-seling serta disusun berulan g -ulan g (Susanto, 1973). Disamping itu dapat pula diartikan sebagai motif yang tersusun dari empat buah bulatan pokok yang menghadap kesatu titik ditengahnya, keempat bulatan tersebut disusun secara berulangulang. Umumnya motif kawung berbentuk seperti buah wren yang dinamakan kolang-kaling,
dengan berbagai nama seperti kawung sen, kawung beton, dan kawung semar (lihat gambar 1,2,3).
Gambar 1 :
Batik Kawung Sen : Ragam hias utama berbentuk empat bulatan, lonjong dengan titik (cecek) dua buah.
Disusun membentuk sudut miring atau garis diagonal seolah-oleh tiap-tiap motifnya dibatasi garis silang.
Warna putih krem (putih kekuning-kuningan) dan coklat (sogar), bahannya primissima.
Gambar 2
Batik Kawung Beton Ragam hias utama berbentuk empat bulatan dengan dua buah titik segi empat. Diantara empat bulatan terdapat empat bagian yang seolah-olah dibatasi garis silang. Warna putih, coklat (sogar) dan biru
Gambar 3
Batik Kawung Semar : Ragam hias utama berbentuk empat bulatan
lonjong dengan dua buah bulatan dan garis
lengkung. Diantara empat bulatan terdapat garis berbentuk jajaran genjang dan titik bulatan. Warna putih krem (putih kekuning-kuningan), coklat
(sogar), biru wedelan (kelengan) dengan bahan prima.
1. Tinjauan Filosofis pada Batik Kawung
Jenis batik yang digolongkan
pada motif geometris mempunyai
makna arti perlambangan khusus dari falsafah kejawen dan tata pemerintahan Jawa Kuno. Hal tersebut memberikan arti bagi pandangan hidup orang Jawa dahulu, yaitu konsep keselarasan
hidup antara dunia dan surga, dahulu, yaitu konsep keselarasan hidup antara dunia dan surga, serta bumi yang didasarkan atas suatu kepercayaan bahwa dunia adalah refleksi dan dunia kosmos. Pandangan tersebut sejalan dengan pemikiran filsuf Jasper tentang "keperca yaan f ilosof is" atau "transendensi" (Bartens, 1988 : 146). Makna yang terkandung
pada m o t i f b a t i k k a w u n g a d a l a h penyatuan unsur yang selaras, yaitu penyatuan dalam unsur alam (micro cosmos) dan alam (macro cosmos).
Pandangan lain tentang perlambangan motif batik kawung diartikan sebagai saderek sekawan gangsal pancer (Susanto, 1973 : 5). Empat buah motif yang merupakan lambang dan persaudaraan yang jumlahnya empat, dan satu motif titik ditengah dianggap sebagai pusat kekuasaan alam semesta. Dengan demikian motif batik kawung yang terdiri dan empat bulatan lonjong dengan titik pusatnya ditengah merupakan lambang persatuan seluruh rakyat, al am dan keperca yaan serta menggabungkan semua unsur kedelapan kesatuan tunggal yang selaras. Di samping merupakan tekad rakyat untuk mengabdi kepada raja atau ratunya, karena raja dianggap sebagai
penj elm aan dewa yang merupakan pusat kekuasaan di dunia.
Dalam pewarnaan batik kawung tidak terbatas pada tiga warna (coklat, putih dan hitam atau biru) tetapi didasarkan pada b entuk f ilosof isn ya. Secara khusu s dikaitkan dengan tiap arah mata angin yang mempunyai perlambang warna "sakti" sebagai berikut: W a r n a putih lambang kejujuran (mutmainah) dan arah timur.
Warna hitam lambang angkara murka (lauwamah) dari arah utara.
Warna kuning lambang budi baik (supiah) dari arah barat.
W arna merah lambang pemarah (amarah) dari arah selatan Dalam pengertian lain dijelaskan bahwa warna merah sebagai semangat kerja yang tinggi dan berani. Warna putih sebagai kesucian, bersih dan jujur. Warna hitam sebagai ketenangan, teguh dan damai, serta warna
kuning sebagai penerang.
Keterangan yang diuraikan tersebut di atas berdasarkan pandangan yang bersifat metafisis atau mistis tentang dunia, akan tetapi ucapan m e t a f i s i s b u k a n s a j a d a p a t bermakna. Namun akan benar biarpun baru, serta menjadi ilmiah kalau sudah diuji dan dites, demikian menurut pendirian Popper (dalam Bartens, 1983 : 75). Hal tersebut telah menjadi kepercayaan b a gi ma s ya rak at J a wa p ada umumnya.
2. Tinjauan Semiotik pada Batik Kawung
Semiotik dapat diartikan sebagai Ilmu Tanda atau Bahasa Tanda, sem ua gejala apa saja akan memberikan tanda (Sujiman Zoest, 1992 : 60). Bahkan menurut Jaspers, tanda atau simbol (chipers) yang disajikan oleh kesenian dan mitodologi dapat dimanfaatkan untuk mendekati
"transendesi" (Bartens, 1983: 135). Tanda terdiri dari hubungan segitiga, yaitu : Objek - Media - Interpretasi. Pada Objek terdapat aspek-aspek icon, index dan symbol, pada Media terdapat aspek-aspek quali sign, sinn sign dan legi sign, serta pada Interpretasi terdapat aspek-aspek rhema, disent dan argument. Sebagaimana dijelaskan bahwa batik klasik dapat menunjukan tanda-tanda bagi seseorang tentang statusnya. Pada batik kawung tanda tersebut berupa gambaran motif dan warna yang mengandung arti filosofis. Oleh karena itu untuk mengetahui peranan semiotik pada batik kawung perlu kiranya mengkaji berdasarkan aspek-aspek yang t e r d a p a t p a d a k e t i g a hubungannya, yaitu objek, media dan interpretasi.
Objek, pada batik kawung terdapat aspek symbol, yaitu sistem tanda yang mengarah kepada suatu pengertian yang terkait dalam konvensi tertentu pada waktu
itu. Symbol pada batik kawung dapat diartikan sebagai suatu wujud dari b e n t u k y a n g m e m p u n ya i m a k s u d t e r t e n t u d a l a m menyatakan hal-hal yang tidak nampak. Maksud dan tujuan dari penciptaan motif pada b a t i k k a w u n g a d a l a h
didasarkan adanya
" ra sa nembah" (bersujud), mendidik berbuat sabar, hati-hati, teliti, tekun dan berbuat baik.
M e d i a , p a d a b a t i k k a w u n g terdapat aspek quali-sign, yaitu penampilan kualitas fisik dari bentuk
motif kawung dan
warnanya serta bahan yang digunakan. Pengertian motif pada batik kawung didasari oleh pohon aren yang buahnya disebut "kolang-kaling", dan bunga teratai yang mempunyai
buah bentukn ya
bulatan lonjong sebanyak empat buah d i t a m b a h
s a t u t i t i k ditengahnya sebagai pusat. Warnanya terdiri dari tiga warna, yaitu putih yang berarti kejujuran, coklat berarti sabar d a n b i r u w e d e l b e r a r t i keluhuran. Bahannya terbuat dari mori halus sebagai kain sinjangan yang dalam bahawa Jawa disebut jarit.
Interpretasi, pada batik kawung terdapat aspek disent yang memberikan tanda sebagai arti kepada sesuatu yang boleh dan tidak
boleh. Hal ini
b e r h u b u n g a n
d e n g a n pemakaian batik kawung, yaitu yang berhak mengenakannya a d a l a h p a r a a b d i d a l e m keraton yang kinasih, artinya abdi yang dekat dengan raja atau keluarga raja. Mulai abdi r e n d a h a n ( e m b a n d a n p u n a k a w a n ) s a m p a i y a n g berkedudukan
tumenggung, dan dipakai dalam kegiatan tertentu
seperti upacara ritual dan resepsi perkawinan.
Berdasarkan pembahasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pada batik kawung terdapat simbol-simbol atau tanda yang menunjukan kepada sesuatu yang b e rs i f a t t r a n s e n d e n . S i m b o l tersebut tidak bisa difahami s e c a r a h a r a f i a h , t e t a p i d i d a l a m n y a t e r k a n d u n g perlambangan asp ek ke tu h an an , f a l s a f a h h i d u p d a n k o n s e p keselarasan hidup. Hal tersebut merupakan keselarasan hidup yang lebih baik antara kehidupan d u n i a wi d e n ga n k e h i d u p a n dikemudian hari (akhirat).
Penutup
Batik ka wun g m empunyai dua keindahan, yaitu keindahan secara visual dan keindahan secara jiwa (filosofis).
Keindahan visual, yaitu
rasa indah yang
diperoleh karena harmoni dari susunan bentuk dan warna
melalui penglihatan atau pancaindera.
K e in dah an j i wa at au ra s a keindahan filosofis, yaitu rasa indah yang diperoleh karena susunan arti lambang ornamenornamen yang membuat gambaran sesuai dengan faham yang dapat dimengerti.
Berdasarkan fakta sejarah dan perkembangannya yang ditinjau dan m o t i f , w a r n a , f u n g s i m a u p u n bahannya menunjukan bahwa batik kawung adalah merupakan bagian dari kebudayaan ash Indonesia (Susanto, 1973). Motif batik klasik seperti yang t e r d a p a t p a d a b a t i k k a w u n g mengandung makna simbolik atau perlambangan yang sangat tinggi dan mendalam (a d i lu h u n g ). Hal in i
didasarkan kepada
perlambangan yang ditampilkan memberikan ajaran, bahwa segala mahluk yang ada dijagat raya ini ada yang mengaturNya atau ada yang Berkuasa. Seperti halnya
konsep kekuasaan yang terdapat pada manusia sebagai pemimpin (lchalifah) di dunia, dan juga konsep kekusaan Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu dalam kepercayaan ini manusia menemukan kemungkinan yang agung s e r t a s a d a r a k a n m a k n a kehi d up annya.
Berbagai hasil karya seni tekstil atau batik yang bersifat klasik dan tradisionalIndonesia dapat mencerminkan nilai-nilai budaya lokal, dan mempunyai makna filosofis. Dengan demikian
keberadaannya masih
merupakan salah satu benda budaya yang perlu dipertahankan dan dilestarikan. Sumber cipta tersebut dapat terwujud pada gaya, pola dan motif tekstil adat yang tersebar di daerah di Indonesia. Seperti misalnya kain s as aringan dari Kalimantan Selatan yang dibuat dengan teknik celup ikat, atau kain ulos yang dibuat dengan teknik tenun oleh masyarakat Sumatera Utara
(Tapanuli). Masingmasing
mempunyai ciri khas dan
keindahan sendiri-sendiri,
sehingga dapat dijadikan sebagai
sumber kajian untuk
pengembangannya.
Daftar Pustaka.
Bertens, K & A.A. Nugroho, 1983, Filsafat Barat Abad XX InggrisJerman, Gamedia, Jakarta.
Djayasudarma, Fatimah T, 1983, Semantik , Pengantar ke arah Ilmu Makna, Eresco, Bandung.
H a m z u r i , B a t i k K l a s i k , 1 9 8 1 , Djambatan, Jakarta.
Johnston, Meda Parker & Glen Kauman, 1967, Design On F a b r i c s , V a n N o s t r a n d Reinhold Company, New York. Susanto, Sewan, S.K, 1973, Seni Kerajinan Batik Indonesia,
BPBK, Lembaga Penelitian dan Pendidikan Industri, Depertemen Perindustrian, Yogyakarta.
Sujiman, Panuti & Zoest Aart Van, 1992, Serba-serbi Semiotik, Gramedia, Jakarta.
Van der Wiej, P.A. (Diterjemahkan oleh K. Bertens dan A.A. Nugroho), 1988, Filsuf-filsuf Besar Tentang Manusia, Gramedia, Jakarta.