• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PENGATURAN TERKAIT UNRULY PASSENGER DALAM HUKUM NASIONAL INDONESIA. Jumlah unruly passenger dalam penerbangan bertambah setiap tahun.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III PENGATURAN TERKAIT UNRULY PASSENGER DALAM HUKUM NASIONAL INDONESIA. Jumlah unruly passenger dalam penerbangan bertambah setiap tahun."

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

PENGATURAN TERKAIT UNRULY PASSENGER DALAM HUKUM NASIONAL INDONESIA

3.1. Kasus Unruly Passenger di Indonesia

Jumlah unruly passenger dalam penerbangan bertambah setiap tahun. Keberadaan unruly passenger dapat membahayakan keselamatan dan keamanan penerbangan, mengganggu ketertiban selama penerbangan dan merugikan maskapai. Indonesia merupakan negara kepulauan dan pesawat merupakan salah satu transportasi yang dibutuhkan untuk menghubungkan antar pulau, sehingga kejadian yang berkaitan dengan unruly passenger sangat mungkin terjadi karena bisnis penerbangan yang berkembang pesat.

Pada tanggal 5 Juni 2013 dalam pesawat Sriwijaya Air Penerbangan SJ078 dari Cengkareng menuju Pangkalpinang, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD) Bangka Belitung, Zakaria Umar Hadi, menggunakan

handphone pada saat pramugari memberikan instruksi cara membuka jendela

darurat. Seorang pramugari lain menginstruksikan untuk mematikan handphone. Pada saat pesawat akan mendarat pramugari tersebut melihat Zakaria masih menyalakan handphone-nya, sehingga pramugari tersebut menegurnya kembali. Pada saat pesawat mendarat, Zakaria memukul pramugari yang menegurnya dengan gulungan koran. Zakaria memukulnya lagi ketika pramugari tersebut akan

(2)

memberitahukan kejadian tersebut kepada kapten penerbang. Zakaria ditangkap ketika berlari setelah turun dari pesawat tersebut dan diserahkan kepada polisi.98

Pada tanggal 30 Desember 2009 dalam pesawat Mandala RI103 dari Pekanbaru menuju Batam, beberapa orang penumpang diturunkan dari pesawat karena dianggap melakukan tindakan yang dapat mengganggu penerbangan. Salah satu penumpang bernama Herawati menggunakan handphone-nya sampai saat pesawat akan lepas landas meskipun telah ditegur beberapa kali oleh kru. Herawati bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menuju kokpit, dia menggedor-gedor pintu kokpit dan meminta agar pesawat berhenti karena suaminya tertinggal di bandara. Kapten penerbang pun menghentikan pesawat dan menurunkan paksa Herawati dan keluarganya untuk diserahkan kepada polisi.99

Dalam kasus Virgin Australia pada tanggal 24 April 2014 yang dipaparkan dalam bab I, Lockley juga diturunkan paksa di Bandara Ngurah Rai, Bali, karena mabuk dan menggedor-gedor pintu kokpit. Kapten penerbang pesawat tersebut melakukan pendaratan darurat untuk menyerahkannya kepada pihak berwenang di Bali karena mengira bahwa Lockley akan melakukan hijacking. Kejadian tersebut membuat lalu lintas udara di Bandara Ngurah Rai terhambat dan pesawat lain yang akan mendarat terpaksa dialihkan.100

98 Maria Yuniar, “Kronologi Pemukulan Pramugari Sriwijaya Air,”

(http://www.tempo.co/read/news/2013/06/07/063486506/Kronologi-Pemukulan-Pramugari-Sriwija

ya-Air) 7 Juni 2013, diakses pada tanggal 2 Januari 2015.

99 Banda Harrudin Tanjung, “6 Penumpang Mandala Mengamuk di Pesawat,”

(http://news.okezone.com/read/2009/12/30/340/289504/6-penumpang-mandala-mengamuk-di-pesa

wat) 30 Desember 2009, diakses pada tanggal 2 Januari 2015.

(3)

Dalam pesawat Jetstar Penerbangan JQ35 dari Melbourne ke Bali pada tanggal 28 Mei 2014, seorang pria menyerang 3 (tiga) orang kru pesawat. Semua penumpang Jetstar diturunkan di Bali. Indonesia tidak mengizinkan unruly

passenger tersebut untuk masuk ke Indonesia dan mendeportasinya kembali ke

Australia. Penerbangan kembali dari Bali ke Brisbane dibatalkan. Kru pesawat mengalami luka sehingga tidak dapat melanjutkan pekerjaan dan masa kerja seorang kru telah habis. Pesawat Jetstar tersebut kembali ke Australia tanpa membawa penumpang karena kekurangan kru pesawat. Kejadian tersebut membuat para penumpang terlantar di Bali, sehingga maskapai memberi kompensasi terhadap para penumpang tersebut.101

3.2. Proses Penanganan terhadap Unruly Passenger di Indonesia

Dalam kasus pemukulan pramugari Sriwijaya Air, Zakaria tidak dituntut berdasarkan aturan yang ada di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009. Meskipun Zakaria juga melakukan pelanggaran terhadap keselamatan penerbangan. Kasus tersebut diproses di Pengadilan Negeri Sungailiat dengan nomor registrasi 548/Pid.B/2013/PN.SGT, Zakaria dituntut dengan Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan dengan Subsider 335 KUHP tentang perbuatan tidak

(http://www.dailymail.co.uk/news/article-2870987/Australian-plumber-sparked-international-hijac

k-scare-plane-Bali-suffering-medical-condition.html) 12 Desember 2014, diakses pada tanggal 8

Januari 2015.

101 Travelmail Reporter, “Air rage incident leaves 267 passengers stranded in Bali

overnight after man 'attacks three flight attendants' in mid air,” (http://www.dailymail.co.uk/travel/article-2642459/Air-rage-Jetstar-plane-bound-Bali.html) 29 Mei 2014, diakses pada tanggal 2 Januari 2015.

(4)

menyenangkan.102 Hakim Pengadilan Negeri Sungailiat yang mengadili kasus tersebut memutus 5 (lima) bulan kurungan terhadap Zakaria berdasarkan Pasal 335 KUHP.103 Sementara, di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 terdapat aturan yang berkaitan dengan hal-hal yang dilarang dalam penerbangan dalam Pasal 54 dan juga ketentuan pidananya dalam Pasal 412. Dalam prinsip lex

specialis derogat legi generali,104 jika ada dua undang-undang mengatur hal yang sama, maka peraturan yang lebih khusus mengesampingkan peraturan yang bersifat umum. Berdasarkan prinsip lex specialis derogat legi generali, seharusnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 digunakan untuk menuntut Zakaria. Ketentuan yang berkaitan dengan unruly passenger terdapat dalam Pasal 54, sementara itu ketentuan sanksi pidananya terdapat dalam Pasal 412. Dalam Pasal 54 tertulis:

Setiap orang di dalam pesawat udara selama penerbangan dilarang melakukan: a. perbuatan yang dapat membahayakan keamanan dan keselamatan penerbangan; b. pelanggaran tata tertib dalam penerbangan;

c. pengambilan atau pengrusakan peralatan pesawat udara yang dapat membahayakan keselamatan;

d. perbuatan asusila;

e. perbuatan yang mengganggu ketenteraman; atau

f. pengoperasian peralatan elektronika yang mengganggu navigasi penerbangan.105

102 Servio Maranda, “Pemukul Pramugari Tidak Dikenakan UU Penerbangan,”

(http://www.tempo.co/read/news/2013/06/08/058486756/Pemukul-Pramugari-Tidak-Dikenakan-U

U-Penerbangan) 8 Juni 2013, diakses pada tanggal 2 Januari 2015.

103 Putri Artika R, “Pemukul Pramugari Sriwijaya Air Divonis 5 Bulan Penjara,”

(http://www.merdeka.com/peristiwa/pemukul-pramugari-sriwijaya-air-divonis-5-bulan-penjara.ht

ml) 20 September 2013, diakses pada tanggal 2 Februari 2015.

104 Boleslaw Adam Boczek, Op.Cit., hal. xxi. “lex specialis derogat legi generali: A

specific rule of law prevails over a general law.”

(5)

Dalam kasus pesawat Mandala Penerbangan RI103, para penumpang yang diturunkan karena salah satu dari mereka menggedor pintu kokpit untuk menghentikan pesawat tidak ditahan oleh polisi karena penumpang tersebut telah mengaku bersalah dan meminta maaf. Polisi memberikan kesempatan bagi para penumpang tersebut untuk berdamai dengan maskapai Mandala.106 Maskapai Mandala menganggap bahwa perbuatan tersebut dapat mengganggu penerbangan dan tindakan kapten penerbang tepat. Seharusnya penumpang tersebut dapat diproses secara hukum karena hal tersebut merupakan pelanggaran yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009.

Sementara itu, dalam kasus pesawat Virgin Australia, Indonesia beranggapan tidak memiliki yurisdiksi atas kasus tersebut. Indonesia beralasan bahwa berdasarkan Konvensi Tokyo 1963 negara yang berwenang untuk menangani kasus tersebut adalah negara registrasi pesawat, yakni Australia.107 Kasus tersebut diproses di Pengadilan Brisbane dan Lockley dinyatakan tidak bersalah.108

Dalam kasus Jetstar, pemerintah Indonesia menolak untuk menerima unruly

passenger yang diturunkan di Bali dan mendeportasinya. Pemerintah Indonesia

106 Chaidir Anwar Tanjung, “Herawati Tidak Ditahan Polisi,” (http://news.detik.com/

read/2009/12/30/170642/1268764/10/herawati-tidak-ditahan-polisi) 30 Desember 2009, diakses

pada tanggal 2 Januari 2015.

107 Dewa Wiguna, “Hasil Investigasi Pesawat Virgin Diserahkan ke Australia,”

(http://www.antaranews.com/berita/431320/hasil-investigasi-pesawat-virgin-diserahkan-ke-austra

lia) 26 April 2014, diakses pada tanggal 2 Januari 2015.

108 Australian Associated Press, “Virgin passenger Matt Lockley who sparked terror alert

knocking on cockpit cleared,” (http://www.dailymail.co.uk/news/article-2650270/Man-faces-

court-causing-mid-air-security-alert-mistook-cockpit-toilet-faces-court.html) 12 Desember 2014,

(6)

semestinya bisa menerapkan yurisdiksinya terhadap kedua kasus tersebut jika mengacu kepada Pasal 4 Konvensi Tokyo 1963.

3.3. Implementasi Ketentuan terkait Unruly Passenger dalam Hukum Indonesia

Perlu adanya instrumen hukum yang dapat menjangkau kasus-kasus unruly

passenger. Konvensi Tokyo 1963 dan Protokol Montreal 2014 dibuat agar negara

anggota dapat mengimplementasikan yurisdiksi hukum pidananya terhadap kasus

unruly passenger. Dalam Pasal 1 Konvensi Tokyo 1963, negara peserta konvensi

dapat menerapkan hukum nasionalnya, sehingga adanya hukum nasional yang sejalan dengan Konvensi Tokyo 1963 akan berpengaruh dalam penanganan terhadap unruly passenger.109 Negara memiliki kewajiban untuk menjalankan perjanjian internasional yang diratifikasinya dengan itikad baik (good faith) seperti yang tercantum dalam Pasal 26 Konvensi Wina 1969 dan Pasal 2 (2) Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.110 Indonesia telah meratifikasi Konvensi Tokyo 1963 melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1976, sehingga Indonesia perlu mengimplementasikannya ke dalam hukum nasional.

3.3.1. Pemberlakuan Ketentuan Nasional

Penanganan terhadap unruly passenger di Indonesia didasarkan pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009. Namun demikian, beberapa ketentuan

109 Pasal 1 (1) Konvensi Tokyo 1963.

110 Anthony Aust, Handbook of International Law (Second Edition), Cambridge University

Press, New York, 2010, hal. 8; Pasal 26 Vienna Convention on the Law of Treaties ditandatangani di Wina pada tanggal 23 Mei 1969 (selanjutnya disebut sebagai Konvensi Wina 1969); Pasal 2 (2)

The Charter of the United Nations, ditandatangani di San Fransisco pada tanggal 26 Juni 1945

(7)

terkait juga diatur dalam KUHP, seperti beberapa pasal di dalam KUHP yang telah ditambahkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976. Ketentuan-ketentuan kejahatan penerbangan dimasukkan ke dalam KUHP karena ketentuan hukum pidana pada saat itu belum berlaku dalam pesawat udara yang didaftarkan di Indonesia.111

Di dalam KUHP terdapat prinsip extraterritorial. Hukum pidana Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana di dalam kendaraan air atau pesawat udara Indonesia, termasuk ketika kendaraan air atau pesawat udara Indonesia tersebut berada di luar wilayah Indonesia.112 Ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku terhadap Pasal 479 huruf j tentang penguasaan pesawat udara secara melawan hukum dan Pasal 479 huruf l sampai dengan Pasal 479 huruf o tentang kejahatan yang mengancam keselamatan penerbangan sipil.

3.3.1.1. Ketentuan State of registration dan State of operator

Pesawat harus diregistrasikan dan nasionalitas pesawat dilihat dari negara tempat pesawat diregistrasi dalam Pasal 17 Konvensi Chicago 1944. Pendaftaran pesawat dilakukan agar negara bertanggung jawab atas keselamatan operasi pesawat dan setiap negara harus memastikan bahwa pesawat yang didaftarkan di negaranya mematuhi peraturan yang berlaku dalam penerbangan.113 Dalam Pasal 18 Konvensi Chicago 1944, pesawat tidak dapat didaftarkan di lebih dari satu

111 Menimbang Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976. 112 Penjelasan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976. 113 ICAO Circular 295, hal. 4.

(8)

negara, hal tersebut diatur agar tidak terjadi konflik yurisdiksi.114 Meskipun tidak dapat didaftarkan di lebih dari satu negara, pesawat dapat berganti nasionalitas dengan cara melakukan deregistrasi (mencabut registrasi dari negara asal) dan kemudian melakukan reregistrasi (mendaftarkan ulang) di negara lain.115

State of operator harus mengeluarkan air operator certificate116 untuk

pesawat agar pesawat tersebut dapat terbang ke negara lain. Apabila state of

operator berbeda dengan state of registration, maka state of registration akan

memiliki kesulitan untuk menerapkan hukumnya terhadap pesawat yang dioperasikan di negara lain tersebut.117 Selain itu, state of registration juga akan memiliki kesulitan untuk mengeluarkan certificate of airworthiness118 dan mengeluarkan lisensi untuk kru pesawat asing dalam pesawat yang dioperasikan oleh negara lain.119

Pada tahun 2014, sekitar 40% (empat puluh persen) pesawat dioperasikan di negara yang berbeda dari state of registration dan jumlahnya diprediksikan akan bertambah setiap tahun.120 Jadi, state of registration dan state of operator

114 Ruwantissa Abeyratne, Convention on International Civil Aviation: A Commentary,

Springer, Cham, 2013.

115 Ibid.

116 ICAO Circular 295, hal. 1. “Air operator certificate: … a certificate authorizing an

operator to carry out specified commercial air transport operations.”

117 Ibid, hal. 4.

118 Ibid, hal. 1. “Certify as Airworthy: … to certify that an aircraft or parts thereof comply

with current airworthiness requirements after maintenance has been performed on the aircraft or parts thereof.”

119 Ibid.

(9)

seharusnya dibedakan.121 Pasal 83 bis Konvensi Chicago 1944 membedakan state

of registration dan state of operator, pasal ini merupakan aturan terkait transfer

fungsi dan kewajiban dari state of registration ke state of operator.122 Transfer fungsi tidak langsung terjadi ketika negara meratifikasi Pasal 83 bis Konvensi Chicago 1944, pasal ini hanya memberi dasar bagi negara-negara untuk membuat perjanjian terkait transfer fungsi tersebut.123 Transfer fungsi dilakukan karena

state of operator merupakan negara yang memiliki keterkaitan langsung dengan

maskapai yang mengoperasikan pesawat, sehingga state of operator seharusnya dapat menerapkan hukumnya secara efektif terhadap pesawat tersebut.124 Dengan melakukan transfer fungsi state of registration ke state of operator melalui perjanjian, maka negara tidak perlu melakukan deregistrasi dan reregistrasi terhadap pesawat.

Dalam KUHP, ketentuan state of registration dan state of operator pesawat dibedakan. Hal ini tertulis dalam Pasal 95a: “(1) Yang dimaksud dengan pesawat udara Indonesia adalah pesawat udara yang didaftarkan di Indonesia; (2) Termasuk pula pesawat udara Indonesia adalah pesawat udara asing yang disewa tanpa awak pesawat dan dioperasikan oleh perusahaan penerbangan Indonesia.” Pasal 95a (1) merupakan Indonesia sebagai state of registration dan Pasal 95a (2) merupakan Indonesia sebagai state of operator.

121 Ibid.

122 ICAO Circular 295, hal. 5. 123 Ibid.

(10)

Di dalam Konvensi Tokyo 1963, tidak diatur yurisdiksi state of operator. Indonesia meratifikasi Konvensi Tokyo 1963 bersamaan dengan Konvensi Den Haag 1970125 dan Konvensi Montreal 1971126 melalui Undang-Undang Nomor 2

Tahun 1976. Di dalam kedua konvensi tersebut sudah terdapat yurisdiksi state of

operator. Definisi yang digunakan oleh Indonesia dalam KUHP tersebut sama

dengan definisi state of operator dalam Pasal 4 (1) Konvensi Den Haag 1970 dan Pasal 5 (1) Konvensi Montreal 1971, yakni: “... an aircraft leased without crew to

a lessee who has his principal place of business or, if the lessee has no such place of business, his permanent residence, in that State..”127 Hal ini juga sesuai dengan ketentuan Pasal 83 bis Konvensi Chicago 1944 yang membebankan kewajiban

state of registration kepada state of operator.128

Indonesia telah meratifikasi Pasal 83 bis Konvensi Chicago 1944 melalui Keppres Nomor 21 Tahun 1987.129 Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009, definisi pesawat udara Indonesia adalah: “... pesawat udara yang mempunyai tanda pendaftaran Indonesia dan tanda kebangsaan Indonesia.”130 Ketentuan ini

125 Convention for the Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft, ditandatangani di Den

Haag pada tanggal 16 Desember 1970 (selanjutnya disebut sebagai Konvensi Den Haag 1970).

126 Convention for the Suppression of Unlawful Acts against the Safety of Civil Aviation,

ditandatangani di Montreal pada tanggal 23 September 1971 (selanjutnya disebut sebagai Konvensi Montreal 1971).

127 Pasal 4 (1) Konvensi Den Haag 1970; Pasal 5 (1) Konvensi Montreal 1971. 128 Pasal 83 bis Konvensi Chicago 1944.

129 Keputusan Presiden No. 21 Tahun 1987 tentang Pengesahan Protocol Relating to an

Amendment to the Convention on International Civil Aviation (83 bis) (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 1987 Nomor 26).

(11)

bertentangan dengan Pasal 83 bis Konvensi Chicago 1944 dan Protokol Montreal 2014 karena dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tidak terdapat ketentuan terkait state of operator.

Dalam penerbangan haji, maskapai Indonesia harus menyewa pesawat khusus haji karena pesawat milik Garuda digunakan untuk penerbangan berjadwal reguler.131 Salah satu contoh adalah PT. Garuda Indonesia yang menyewa pesawat yang diregistrasikan di Spanyol. Apabila Indonesia mengimplementasikan Pasal 83 bis terhadap pesawat haji, maka pesawat haji yang disewa untuk sementara waktu tersebut tidak perlu dideregistrasikan dari Spanyol dan direregistrasikan di Indonesia sehingga tidak memakan waktu, namun ketentuan hukum Indonesia sebagai state of operator akan tetap berlaku terhadap pesawat haji tersebut.

Gambar 1: Pesawat haji yang disewa oleh Garuda Indonesia merupakan pesawat yang diregistrasikan di Spayol. (sumber: merdeka.com)

131 Ahmad Rafiq, “Garuda Sewa Pesawat untuk Angkut Jemaah Haji,”

(http://www.tempo.co/read/news/2008/11/05/058144151/Garuda-Sewa-Pesawat-untuk-Angkut-Je

(12)

Apabila dikaitkan dengan definisi pesawat udara Indonesia dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009, maka pesawat yang disewa oleh Garuda Indonesia tersebut bukan merupakan pesawat udara Indonesia. Apabila terdapat

unruly passenger dalam pesawat yang disewa, maka Indonesia sesuai dengan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tidak dapat menerapkan yurisdiksinya terhadap pelanggaran yang terjadi.

3.3.1.2. Definisi In Flight dalam KUHP

Dalam KUHP memiliki definisi in flight yang berlaku ketika terjadi pelanggaran atau kejahatan di dalam pesawat. Definisi tersebut terdapat di dalam Pasal 95b:

Yang dimaksud dalam penerbangan adalah sejak saat pintu luar pesawat udara ditutup setelah naiknya penumpang (embarkasi) sampai saat pintu dibuka untuk penurunan penumpang (disembarkasi).

Dalam hal terjadi pendaratan darurat penerbangan dianggap terus berlangsung sampai saat penguasa yang berwenang mengambil alih tanggung jawab atas pesawat udara dan barang yang ada di dalamnya.

Indonesia tidak menggunakan definisi yang ada di dalam Pasal 1 (3) Konvensi Tokyo 1963. Definisi in flight yang ada di dalam KUHP mengambil definisi in flight bagi kapten penerbang untuk menjalankan kewenangannya di dalam Pasal 5 (2) Konvensi Tokyo 1963 yang sama dengan definisi in flight di dalam Pasal 3 (1) Konvensi Den Haag 1970 dan Pasal 2 Konvensi Montreal 1971.

3.3.2. Pemberlakuan Ketentuan Internasional

Indonesia telah meratifikasi Konvensi Tokyo 1963, tetapi belum meratifikasi Protokol Montreal 2014. Selain itu, Indonesia telah meratifikasi Pasal 83 bis Konvensi Chicago 1944 dengan Keppres Nomor 21 Tahun 1987. Apabila

(13)

Indonesia meratifikasi Protokol Montreal 2014, maka Indonesia perlu mengubah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009, terutama terkait definisi pesawat udara Indonesia dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009. Ketentuan dalam Protokol Montreal 2014 yang telah memberikan yurisdiksi terhadap state of

operator dan state of landing, namun Indonesia belum mengimplementasikan

Pasal 83 bis Chicago Convention 1963 ke dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009.

3.3.2.1. Ketentuan IFSO dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009

Indonesia memiliki ketentuan terkait IFSO yang diterjemahkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 sebagai petugas keamanan dalam penerbangan. Dalam Pasal 340, salah satu tanggung jawab maskapai terhadap keamanan pengoperasian pesawat adalah memberitahukan kapten penerbang apabila terdapat IFSO.132 Penempatan IFSO dalam penerbangan berjadwal asing dari dan ke wilayah Indonesia membutuhkan perjanjian bilateral.133

Indonesia telah memiliki dua Memorandum of Understanding (MOU) terkait IFSO sebelum amandemen Konvensi Tokyo 1963, yakni dengan Singapura dan Australia. Apabila Indonesia meratifikasi Protokol Montreal 2014, maka Indonesia dapat memberi perlindungan terhadap IFSO yang dikirim ke Singapura dan Australia karena Protokol Montreal 2014 memberikan imunitas terhadap IFSO.

132 Pasal 340 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009. 133 Pasal 341 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009.

(14)

3.3.2.2. Perjanjian bilateral IFSO Indonesia dengan Australia

Indonesia dan Australia memiliki perjanjian bilateral terkait IFSO. 134 Perjanjian ini dibuat berdasarkan standar 4.7.5 dalam Annex 17 Konvensi Chicago 1944 dalam Bilateral Air Service Agreement antara Indonesia dan Australia. Dalam Pasal 2 (6), Indonesia dan Australia dapat menerapkan yurisdiksi secara eksklusif selama pesawat dalam penerbangan. IFSO yang ditempatkan dalam penerbangan memiliki kewajiban untuk menjalankan tugas sesuai dengan hukum nasional masing-masing negara. Selain itu, terdapat ketentuan persenjataan yang dapat dibawa oleh IFSO dalam Pasal 3. Dalam Pasal 6 terdapat kewajiban bagi IFSO untuk melakukan penanganan terhadap kejadian dalam penerbangan sesuai dengan Konvensi Tokyo 1963.

Dalam Pasal 2 (3), perjanjian ini hanya berlaku dalam penerbangan pesawat yang didaftarkan di masing-masing negara. ISO (Indonesian In-Flight Security

Officer) hanya dapat ditempatkan dalam pesawat yang didaftarkan di Indonesia

dan ASO (Australian Air Security Officer) hanya dapat ditempatkan dalam pesawat yang didaftarkan di Australia.

134 Memorandum of Understanding between the Government of the Republic of Indonesia

Gambar

Gambar 1: Pesawat haji yang disewa oleh Garuda Indonesia merupakan  pesawat yang diregistrasikan di Spayol

Referensi

Dokumen terkait

Cara yang dilakukan adalah mencari dan mengumpulkan sumber, buku-buku yang berkaitan dengan gerakan anti perang dan gerakan sosial baru yang telah diterbitkan oleh

Berdasrkan tabel 4.7 di atas dapat ditafsirkan bahwa sebagian besar (74%) dosen memberikan silabus mata kuliah di awal perkuliahan semester pendek, hampir setengahnya

Seuraavaksi vuonna 1927 se supistettiin komppaniaksi, joka 1929 nimitettiin Erilliseksi Hyökkäysvaunukomppaniaksi (Er.H.V.K). 23 Alle kymmenessä vuodessa oli

4) Menu : adalah sistem penanganan request melalui URL. 5) Module : Website drupal dapat ditambah dengan modul-modul tertentu sesui keperluan. Modul adalah salah

Oleh karena itu, tujuan dibuatnya sistem perancangan pengadaan barang ini adalah untuk mengatasi masalah-masalah yang saat ini terjadi sekaligus menciptakan suatu inovasi baru

pengetahuan barunya dan bertanggung jawab dalam pembelajaran yang mereka lakukan. f) Melalui pemecahan masalah bisa memperlihatkan kepada siswa bahwa setiap

Kebanyakan mahasiswa menggunakan cognitive strategies dengan rata rata 3,01 sedang rata rata compensate strategi es adalah 2,67.

Berdasarkan pengalaman tim ahli geosains dari PT PGE, data geologi memiliki peranan yang cukup besar yakni sebesar 40%, kemudia untuk data geokimia dan geofisika