• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

5

Ikan nila merah (Oreochromis sp.) adalah ikan hasil hibridisasi antara ikan Oreochromis mossambicus dengan ikan Oreochromis niloticus (Durrant et al. 1995). Ikan nila merah didatangkan pertama kali dari Filipina ke Indonesia pada tahun 1981 oleh badan peneilitian dan pengembangan perikanan. Ikan nila merah sudah tersebar hampir ke seluruh wilayah di indonesia. Berdasarka morfologisnya, ikan nila merah ini sepintas mirip dengan ikan mujair, tetapi tubuhnya lebih panjang dan ramping dengan sisik yang berukuran besar dan terdapat garis vertikal yang jelas di sirip ekor dan sirip punggung (Astutuik 2004). Berikut ini klasifikasi ikan nila merah berdasarkan Saanin (1984) :

Kelas : Osteichthyes Sub-kelas : Acanthoptherigii Ordo : Percomorphii Sub-ordo : Percoidea Famili : Cichlidae Genus : Oreochromis Spesies : Oreochromis sp.

(2)

Ikan nila banyak dipelihara masyarakat Indonesia. Hal ini disebabkan ikan nila mudah dipelihara dan dikembangbiakkan serta responsif juga efisien terhadap pemberian pakan, ikan nila juga adaptif atau mudah menyesuaikan diri dengan perubahan keadaan lingkungan dan tahan terhadap gangguan hama dan penyakit. Ikan nila mempunyai toleransi yang tinggi terhadap lingkungan hidupnya sehingga bisa dipelihara di dataran rendah yang berair payau hingga dataran tinggi yang berair tawar dan mempunyai habitat hidup yang cukup beragam (Khairul dan Khairuman 2003).

Ikan nila merah sama halnya dengan jenis ikan nila lain, jenis ikan nila merah yang masih kecil belum nampak perbedaan yang jelas antara kelamin jantan dan betina. Perbedaannya dapat diamati setelah ikan nila merah berumur 2-3 bulan (bobot badan ± 50 g). Ikan nila merah yang berumur 4-5 bulan (bobot badan ± 100-150 g) sudah mulai kawin dan bertelur. Tanda-tanda ikan nila merah jantan adalah badan lebih ramping dan warna sisiknya lebih gelap dari ikan nila merah betina, alat kelamin berupa papila yang agak runcing yang berfungsi sebagai muara urine dan saluran sperma yang terletak di depan anus (Khairul dan Khairuman 2003), sedangkan tanda – tanda ikan nila merah betina adalah alat kelamin berupa tonjolan di belakang anus, dimana terdapat dua lubang. Lubang yang depan untuk mengeluarkan telur dan lubang yang belakang untuk mengeluarkan air seni dan bila telah mengandung telur yang sudah masak, perutnya akan terlihat membesar dan apabila ditekan akan keluar telur (Suyanto 2003).

Ikan nila merah termasuk ikan yang memelihara telur di dalam mulutnya atau disebut juga mouth breeders. Ikan nila merah siap memijah pada umur 4 bulan (bobot badan ± 200 g). Sepanjang tahun setiap 0,5-1,5 bulan ikan nila merah siap untuk memijah, dimana tiap pemijahan dapat menghasilkan 400-1000 butir telur. Telur yang dikeluarkan oleh ikan nila merah betina dibuahi oleh ikan nila merah jantan, kemudian ikan nila merah betina segera mengambil telur yang telah dibuahi sperma (zygot) untuk diinkubasi hingga beberapa hari setelah menetas dalam mulutnya (Djarijah 2002).

(3)

Penyebaran ikan nila yang sangat cepat didukung dengan kecepatan bereproduksi, menjadikan perkembangan ikan nila menjadi tidak terkontrol. Dampak negatifnya adalah banyak terjadi perkawinan silang dalam satu spesies (inbreeding), yang berakibat pada menurunnya kualitas genetik ikan, selanjutnya akan menyebabkan turunnya performa ikan tersebut baik pertumbuhan, daya tahan terhadap penyakit, maupun kemampuan beradaptasi terhadap perubahan lingkungannya.

2.2 Alih kelamin

Pada ikan perubahan sifat kelamin individual dimungkinkan terjadi, baik secara alamiah maupun rekayasa. Populasi ikan monosex dapat diperoleh dengan teknik pengalihan jenis kelamin (sex reversal) yang dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu maskulinisasi (Fitzpatrick et al. 1999; Gale et al. 1999; Arsenia et al. 2005), feminisasi (Hopkins et al. 1979), ginogenesis dan androgenesis (Shelton et al. 2002). Zairin (2002) menyebutkan bahwa secara harfiah alih kelamin dapat diartikan sebagai suatu teknologi yang membalikkan arah perkembangan kelamin menjadi berlawanan. Dengan penerapan teknologi ini, ikan yang seharusnya berkelamin jantan diarahkan perkembangan gonadnya menjadi betina atau sebaliknya. Aplikasi alih kelamin dapat merubah fenotipe ikan namun genotipenya tidak dapat berubah.

Teknik pengalihan jenis kelamin yang seringkali diterapkan di Indonesia diantaranya teknik maskulinisasi untuk menghasilkan populasi ikan jantan (all male) dan feminisasi untuk menghasilkan populasi ikan betina (all female). Perubahan seks pada ikan tersebut dapat dimanipulasi dengan berbagai cara seperti melalui pemberian makanan (Galvez et al. 1996; Park et al. 2004; Adel et al. 2006), perendaman (Hopkins et al. 1979; Gale et.al. 1999; Arsenia et al. 2005), penyuntikan (Mirza dan Shelton 1988) dan teknik implantasi (Andre 2006). Phelps dan Popma (2000) menyebutkan bahwa perlakuan alih kelamin yang dilakukan melalui metode pemberian makanan dan metode perendaman biasanya menggunakan hormon sintetik, seperti metiltestosteron, 17a-etiniltestosteron, 17 estradiol P (E) dan dietilbesterol (DES), trembolone acetate

(4)

(TBA). Lebih lanjut disebutkan bahwa maskulinisasi dapat dilakukan dengan menggunakan hormon 17a-metiltestosteron sedangkan feminisasi dilakukan dengan menggunakan hormon 17 estradiol P (Hopkins et al. 1979; Kim et al. 2000; Park et al., 2004)), 17a-etinilestradiol, dietilbesterol (Hopkins et al. 1979).

Proses pembentukan jenis kelamin jantan maupun pada betina dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu endogenous hormon, eksogenous hormon dan faktor lingkungan (Massenreng 2007). Lebih lanjut Carman et al. (1998) menyebutkan bahwa secara buatan, teknik alih kelamin dimungkinkan terjadi dikarenakan pada awal perkembangan embrio atau larva belum terjadi diferensiasi kelamin. Metode alih kelamin terdiri dari metode untuk memperoleh populasi monosex yaitu melalui terapi hormon (secara langsung) atupun rekayasa kromosom (cara tidak langsung). Terapi dengan menggunakan hormon digunakan untuk feminisasi dan maskulinisasi secara langsung. Metode secara langsung dapat diterapkan pada semua jenis ikan apapun kromosom seksnya. Kelebihan utamanya adalah sederhana dan dapat meminimalkan kematian walaupun hasil yang didapat nantinya akan sangat beragam. Hal ini disebabkan karena perbandingan kelamin alamiah antara jantan dan betina tidak selalu sama (Zairin 2002). Lebih lanjut disebutkan bahwa budidaya populasi monosex dilakukan untuk mendapatkan ikan dengan pertumbuhan yang cepat, dimana pada beberapa jenis ikan yang memiliki pertumbuhan kelamin jantannya lebih cepat dibandingkan ikan ikan betinanya atau sebaliknya, mencegah terjadinya pemijahan liar yang mendapat menurunkan kualitas benih, untuk mendapat penampilan yang baik serta menunjang genetika ikan yaitu pemurnian ras ikan.

Rothbard et al. (1990) dalam Abucay et al. (1999) menyatakan bahwa larva yang baru menetas, mempunyai hormon endogenous yang tinggi dan tingkatan ini berbeda antar setiap individu ikan. Hal ini dimungkinkan karena pada larva, autosomal seks jantan yang dimiliki dapat dimodifikasi karena mempunyai kandungan endogenous androgen yang tinggi, sehingga selama proses perlakuan hormon untuk alih kelamin dengan eksogenous hormon yang dikombinasikan dengan tingginya level endogenous hormon memungkinkan proses maskulinisasi berjalan dengan mudah.

(5)

2.3 Diferensiasi Kelamin

Fase diferensiasi seks pada ikan meliputi seluruh aktivitas yang berhubungan dengan keberadaan gonad, perpindahan awal sel nutfah, kemunculan bagian tepi gonad dan diferensiasi gonad menjadi testis atau ovari (Piferrer 2001). Phelps dan Popma (2000) menyebutkan bahwa pada ikan, diferensiasi seks gonad merupakan proses yang kompleks tidak seperti pada kebanyakan hewan vertebrata lainnya. Selain faktor genetik dan kromosom seks, terdapat faktor lain yang mempengaruhi hasil dari proses akhir perkembangan gonad dan seks fenotipe yang diperoleh yaitu faktor lingkungan. Mekanisme determinasi seks dikontrol oleh gen spesifik yang hanya mengendalikan "initial decision" dari fenotipe gonad, akan tetapi intruksi khusus yang berhubungan langsung dengan proses diferensiasi seks gonad ini dapat ditolak disebabkan oleh berbagai faktor internal dan faktor eksternal (Hayes 1998).

Masa diferensiasi seks ikan sangat beragam tergantung pada spesiesnya. Pada ikan-ikan golongan Ochlids dan Cyprinodontids, fase diferensiasi seks berlangsung antara 10-30 hari setelah penetasan (Pandian dan Sheela 1995). Informasi lain dalam Varadaraj dan Pandian (1987) menyebutkan bahwa untuk Oreochromis mossambicus 11-19 hari, untuk Oreochromis aureus 18-32 hari, untuk Oreochromis niloticus 25-59 hari, dan dalam penelitian berlanjut, selama 11 hari dari hari ke-10 setelah penetasan merupakan periode kritis untuk Oreochromis mossambicus. Sedangkan masa diferensiasi kelamin pada ikan mas, Cyprinus carpio, L. terjadi antara hari ke- 9-98 setelah penetasan. Keragaman masa diferensiasi ini sangat bergantung pada kondisi periode labil masing-masing spesies ikan, karena efektifitas perlakuan hormon steroid, sangat ditentukan oleh kondisi labil dari masing-masing spesies ikan (Piferrer 2001). Selain itu menurut Pandian dan Sheela (1995) pada beberapa spesies ikan, masa diferensiasi seks dapat dimulai dari periode embrio, larva, juvenil dan bahkan ikan dewasa.

Jenis kelamin individu secara genetik sudah ditetapkan pada saat pembuahan, akan tetapi pada masa embrio, jaringan bakal gonad masih berada dalam masa indifferent. Matty (1985) menyatakan bahwa pada suatu jaringan bakal gonad jantan atau gonad betina, sebenarnya struktur-struktur dari kedua

(6)

kelamin tersebut sudah ada dan tinggal menunggu proses diferensiasi dan penekanan ke arah aspek jantan atau betina. Kirpichnikov (1981) menyebutkan bahwa jenis kelamin dalam suatu individu ditentukan oleh kromosom seks (gonosom) yang mengandung faktor gen-gen jantan dan betina. Gen-gen utama yang berperan dalam menentukan jenis kelamin jantan dan betina terletak pada kromosom X dan Y, sedangkan beberapa gen tambahan yang tidak begitu dominan dalam penentuan jenis kelamin, tersebar pada kromosom lainnya.

Proses pengalihan kelamin pada suatu individu dapat dipengaruhi oleh faktor genetis dan lingkungan, proses tersebut bisa terjadi secara alami maupun buatan. Perubahan kelamin yang disebabkan oleh faktor lingkungan yang tidak disertai adanya perubahan susunan genetik dikategorikan sebagai perubahan kelamin secara alami. Sedangkan perubahan kelamin dengan bantuan manusia untuk mengarahkan perkembangan organ reproduksi dengan menggunakan bahan-bahan tertentu yang dapat mendorong terjadinya perubahan-bahan jenis kelamin disebut dengan perubahan kelamin buatan. Perubahan kelamin buatan ditujukan untuk menghasilkan individu dengan fenotipe kelamin yang berbeda dengan kelamin genotipenya (Chan dan Yeung 1983).

Yamazaki (1983): Hunter dan Donaldson (1983) menyatakan bahwa perubahan jenis kelamin secara buatan dimungkinkan karena pada fase pertumbuhan gonad belum terjadi diferensiasi kelamin dan belum ada pembentukan steroid sehingga pembentukan gonad dapat diarahkan dengan menggunakan hormon steroid sintetis. Hormon tersebut dapat mengatur beberapa fenomena reproduksi misalnya proses diferensiasi gonad, pembentukan garnet, ovulasi, spermiasi, pemijahan. Hormon steroid biasanya diberikan secara langsung ke ikan terutama pada masa perkembangan gonad (diferensiasi seks), cara ini telah berhasil diterapkan pada beberapa jenis ikan seperti ikan nila, koan, mas dan beberapa jenis ikan lainnya.

(7)

2.4 Testis Sapi

Organ reproduksi sapi jantan dapat dibagi menjadi tiga komponen yaitu (a) organ kelamin primer yaitu testis, (b) sekelompok kelenjar-kelenjar kelamin pelengkap yaitu kelenjar vesikulares, prostatan dan cowper dan saluran-saluranyang terdiri epididymis dan vas deferens, (c) alat kelamin atau organ kopulatorisyaitu penis (Toelihere, 1981). Menurut Taylor dan Thomas (2004), organreproduksi sapi terdiri dari testicle, epididymis, scrotum, vasdeferens, accessoryglands dan penis.

Testis sapi berjumlah dua buah, dalam keadaan normal kedua testisberukuran sama besar, terletak pada daerah prepubis, terbungkus dalam kantongscrotum dan digantung oleh funiculus spermaticus yang mengandung unsur-unsuryang terbawa oleh testis dalam perpindahannya dari cavum abdominalis melaluicanalis inguinalis ke dalam scrotum (Toelihere, 1981).Testis sapi berukuran panjang 10-13 cm, lebar 5-6,5 cm dan berat 300 – 400 gr (Bearden, et al., 2004). Menurut Toelihere (1981), berat testis sapi tergantung pada umur, berat badan dan jenis/varietas sapi. Setiap testis banyak mengandung tubuli, di antara tubuli dalam jaringan interstitial mengandung pembuluh darah, lymphe, dan syaraf, terdapat sel-sel datar dan polygonal yang disebut sel-sel interstitial dari leydig, yang menghasilkan androgen (hormon jantan) terutama testosteron.

Testis sebagai organ kelamin primer mempunyai dua fungsi yaitu (1) menghasilkan spermatozoa atau sel-sel kelamin jantan, dan (2) mensekresikan hormon kelamin jantan (testosteron). Spermatozoa dihasilkan di dalam tubuli seminiferi sedangkan hormon androgen (testosteron) diproducer oleh sel-sel interstitial dari Leydig (Toelihere, 1981; Taylor dan Thomas, 2004). Menurut Lindner (1961), kandungan hormon testosteron dalam testis sapi berkisar antara 14-231 μg.hr/testis. Menurut Hay et al (1961) konsentrasi hormon dalam testis sapi berkisar 0-25 mg/100 g. Menurut Hafez (1980), pada sapi kandungan hormon testosteron dalam cairan testis (testicular fluid) sebanyak 2,3 μg/100 ml. Menurut Iskandariah (1996), testis sapi segar mengandung hormon testosteron alami berkisar 2300-27700 pg/g testis dan protein 63,49%. Sedangkan berdasarkan hasil

(8)

penelitian Murni dan Jenny (2001), kandungan hormon testosteron dari tepung testis sapi berkisar 142,8-1204 ng/gram. Menurut Adamu et al (2006), kandungan testosteron dari testis sapi White Fulani berkisar antara 15-18 ng mL-1. Menurut Meyer et al (2008), kandungan hormon testosteron dalam testis sapi segar 18,8 ppm dan kadar hormon testosteron dalam testis kering dapat lebih dari 60 ppm

2.5 Hormon

Hormon merupakan bahan kimia yang disekresikan ke dalam cairan tubuh oleh satu sel atau sekelompok sel dan dapat mempengaruhi fisiologi sel-sel tubuh lainnya. Sebagian besar hormon disekresikan oleh kelenjar endokrin dan selanjutnya diangkut oleh darah ke seluruh tubuh. Murray et al. (2003) menyebutkan bahwa hormon mempunyai peranan yang sangat penting dalam pengaturan fisiologi dan umumnya bekerja sebagai aktivator spesifik atau inhibitor dari enzim. Menurut Sumantadinata dan Carman (1995) pemberian hormon dalam alih kelamin, secara sederhana bertujuan untuk mempengaruhi keseimbangan hormon dalam darah yang pada saat difensiasi kelamin sangat menentukan individu tertentu akan berstatus jantan atau betina dengan cara memasukkannya dari luar tubuh individu. Guyton (1994) menyebutkan bahwa secara kimiawi hormon dapat dibagi dalam 3 tipe dasar, yaitu :

1. Hormon steroid; golongan ini merupakan struktur kimia yang mirip dengan kolesterol dan sebagian besar tipe ini berasal dari kolesterol. Ada bermacam macam hormon steroid yang disekresikan oleh (a) korteks adrenal {kortisol dan aldosterori), (b) ovarium (estrogen dan progesterori), (c) testis (testosteron) dan (d) plasenta (estrogen dan progesteron);

2. Derivat asam amino tirosin; terdapat 2 kelompok hormon yang merupakan derivat asam amino tirosin yaitu tiroksi dan triiodotironin, merupakan bentuk iodinisasi dari derivat tirosin, dan kedua hormon utama yang berasal dari medula adrenal penefrin dan norepinefrin, kedua-duanya merupakan katekolamin yang berasal dari tirosin;

3. Protein atau peptida. Pada dasarnya semua hormon endokrin yang terpenting dapat merupakan derivat protein, peptida atau derivat keduanya. Hormon

(9)

yang disekresikan kelenjar hipofisis anterior dapat merupakan molekul protein atau polipeptida besar; hormon hipofisis posterior, hormon antidiuretik dan oksitosin merupakan peptida asam amino. Insulin, glukagon dan parathormon merupakan polipeptida besar.

Arfah (1997) menyatakan bahwa hormon-hormon yang dapat digunakan untuk proses alih kelamin dapat digolongkan kedalam jenis hormon steroid yang dibagi menjadi dua kelompok, yaitu:

a. Golongan androgen (androstenedion, etiniltestosteron, metiltestosteron dan testosteron propionat), merupakan jenis yang umum digunakan pada proses maskulinisasi;

b. Hormon estrogen (estron, estriol, estradiol dan etinilestradiol) yang digunakan untuk mengarahkan diferensiasi kelamin menjadi betina (feminisasi).

Hormon androgen terbentuk secara alami seperti testosteron, llakotestoteron, dyhidrotestosteron dan yang dapat disintesis seperti 17a -metiltestoteron dan testosteron propionat (Sower et al. 1985). Lebih lanjut Ganong (1995) menyebutkan bahwa hormon ini merupakan salah satu jenis hormon steroid yang dapat dihasilkan oleh testis pada kondisi normal. Selain berfungsi untuk merangsang tahap akhir dalam proses spermatogenesis dan meningkatkan pertumbuhan serta aktivitas eksresi dari organ kelamin pelengkap, hormon androgen juga berperan dalam pemeliharaan dari kelamin sekunder, tingkah laku seksual serta proses penjantanan (maskulinisasi). Androgen juga dibuat oleh korteks anak ginjal dan ovari serta kemungkinan besar juga terdapat pada plasenta (Turner dan Bagnara 1976 dalam Arfah 1997).

Sensitivitas hormon steroid eksogenous terhadap diferensiasi seks sangat tergantung pada perkembangan gonad yang terjadi. Sensitivitas masih belum terlihat pada saat belum terbentuk gonad, akan tetapi begitu formasi gonad telah terbentuk, sensitivitas hormon mulai meningkat sampai mencapai puncak pada fase diferensiasi seks secara fisiologis (Piferrer 2001). Phelps dan Popma (2000) menyebutkan bahwa hormon androgen mempunyai dua aksi fisiologis yaitu aktivitas androgenik; mempengaruhi perkembangan karakteristik seks jantan sedangkan aktivitas anabolik; merangsang biosintesis protein.

(10)

2.5.1 Metode Aplikasi Hormon

Aplikasi pemberian hormon pada ikan dapat dilakukan dengan cara penyuntikan berkala, perendaman atau secara oral dengan media melalui pakan. Keberhasilan penggunaan hormon steroid bergantung kepada beberapa faktor diantaranya jenis dan umur ikan, dosis hormon yang digunakan, lama waktu pemberian dan cara pemberian hormon (Hunter dan Donaldson 1983).

Mirza dan Shelton (1988) menyebutkan bahwa pada umumnya, cara yang terbaik dan mudah dalam metode pemberian hormon adalah melalui bantuan media berupa makanan, namun cara ini terbatas hanya pada ikan yang telah mampu memakan pakan buatan. Meskipun demikian metode pemberian hormon juga dapat dilakukan melalui pakan alami seperti artemia, moina dan Iain -lain (Arfah 1997). Lebih lanjut Carman et al. (1998) menyebutkan bahwa cara oral dan perendaman merupakan metode dalam aplikasi penggunaan hormon. Pada metode perendaman, agar efektif perlu diperhatikan konsentrasi hormon dan lama waktu perendaman. Konsentrasi hormon yang diberikan tidak boleh berlebihan karena dapat menimbulkan tekanan dalam pembentukan gonad, efek paradoxial, pertumbuhan rendah dan tingkat kematian yang tinggi (Wichins dan Lee 2002). Sedangkan lama waktu perendaman akan lebih singkat jika dosis atau konsentrasi hormon yang digunakan juga sangat tinggi (Hunter dan Donaldson 1983).

Yamazaki (1983) menyatakan bahwa agar hormon steroid berpengaruh lebih efektif, maka waktu penggunaannya harus dilakukan ketika gonad belum berdiferensiasi. Hal ini terjadi karena sensitivitas hormon sangat tinggi terjadi saat sebelum diferensiasi kelamin secara fisiologis dan secara histologis. Untuk itu, perlakuan hormon akan memberikan efek pengarahan jenis kelamin tertinggi jika diberikan tepat sebelum tahap diferensiasi kelamin secara fisiologis. Menurut Massenreng (2007) perlakuan masa alih kelamin yang diterapkan pada stadia awal, yaitu stadia larva dengan metode perendaman, diharapkan akan terjadi adanya penyerapan hormon melalui insang atau terjadi difusi, sehingga dapat menghambat proses pembentukan estrogen melalui enzim aromatase dengan menggunakan aromatase inhibitor (imidazole) dengan harapan diperoleh ikan dengan jenis kelamin jantan saja.

(11)

2.6 Mekanisme Maskulinisasi

Hormon testosteron yang diberikan dari luar tubuh ikan akan merangsang hipotalamus untukk mengeluarkan Gonadotrophin Releasing Hormon (GnRH) yang diproduksi oleh sel-sel neurosekretorik hipotalamus yang penting untuk mengatur kadar LH dan FSH (Bagnara 1979; Hadley 1982). GnRH ini akan menstimulir sel-sel basofil pada hipofisa untuk mensekresikan LH yang mengatur sekresi testosteron oleh sel Leydig dan GnRH ini juga akan menstimulir sel-sel basofil pada hipofisa untuk mensekresikan FSH yang berperan penting dalam spermatogenesis. Fungsi FSH secara langsung adalah menigkatan kadar cAMP sel sertoli (sel yang terdapat pada epitel germinativum) untuk mempermudah sintesis ABP (Androgen Binding Protein) dan protein inhibn. Pada sel Leydig testosteron yang berasal dari tubuh akan diubah menjadi 11-ketotestosteron kemudian di dalam tubulus seminiferous testosteron tersebut agar dapat dapat bekerja secara langsung pada sel-sel spermatogenik diubah menjadi bentuk aktif yaitu DHT ( Dehydrotestosterone). Bentuk aktif testosteron ini kemudian diikat oleh ABP yang disintesis oleh sel sertoli. Kompleks ikatan ABP + DHT akan mengisiasi kegiatan spermatogenesis pada sel spermatogenik sehingga memacu pembelahan meiosis pertama sel-sel tersebut dan akhirnya menjadi bentuk spermatosit primer. Spermatosit ini selanjutnya berubah menjadi spermatosit sekunder kemudian menjadi spermatid dan akhirnya menjadi spermatozoa yang merupakan ciri khusus secara mikroskopik dari gonad jantan (Van Tienhoven 1983).

Tandjung (2003) menyebutkan bahwa hormon steroid, salah satunya testosteron akan mempengaruhi sel target seperti gonad dan saluran otak. Hal tersebut karena pada saat sesudah fertilisasi, sel kromosom gonad jantan sudah terbentuk dan apabila diberikan hormon testosteron dari luar, maka hormon ini akan merangsang sel sertoli untuk mensintesis ABP untuk mengikat testosteron, selanjutnya testosteron yang diikat tersebut berperan untuk proses pertumbuhan dan perkembangan gonad secara fungsional.

(12)

2.7 Kualitas Air

Menjaga kualitas air tetap optimal untuk satu species ikan menjadi hal yang harus dilakukan agar kehidupan species ikan tersebut dapat berjalan dengan baik. Adapun kualitas air yang umumnya dimotoring dan dievaluasi adalah suhu, kandungan oksigen terlarut (dissolve oksigen/DO), derajat keasaman (pH), dan kandungan ammonia (NH3).

2.7.1 Suhu

Suhu atau temperatur air sangat berpengaruh terhadap metabolisme dan pertumbuhan organisme serta mempengaruhi jumlah pakan yang dikonsumsi organisme perairan. Suhu juga mempengaruhi oksigen terlarut dalam perairan. Suhu optimal untuk hidup ikan nila pada kisaran 14-38 °C. Secara alami ikan ini dapat memijah pada suhu 22-37 °C namun suhu yang baik untuk perkembangbiakannya berkisar antara 25-30 °C.

2.7.2 pH

Nilai pH merupakan indikator tingkat keasaman perairan . Beberapa faktor yang mempengaruhi pH perairan di antaranya aktivitas fotosintesis, suhu, dan terdapatnya anion dan kation. Nilai pH yang ditoleransi ikan nila berkisar antara 5 hingga 11, tetapi pertumbuhan dan perkembangannya yang optimal adalah pada kisaran pH 7–8 .

2.7.3 Oksigen terlarut (DO)

Oksigen terlarut diperlukan untuk respirasi, proses pembakaran makanan, aktivitas berenang, pertumbuhan, reproduksi dan lain-lain. Sumber oksigen perairan dapat berasal dari difusi oksigen yang terdapat di atmosfer sekitar 35% dan aktivitas fotosintesis oleh tumbuhan air dan fitoplankton. Kadar oksigen terlarut yang optimal bagi pertumbuhan ikan nila adalah lebih dari 5 mg/l.

Gambar

Gambar 1. Ikan Nila Merah (Oreochromis sp.)

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan perhitungan yang telah dipaparkan dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaaan kemampuan pemahaman konsep matematis peserta didik yang diberi strategi

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini yaitu menganalisa daya penyerapan air laut pada Material Komposit serat pelepah sawit per 24 jam selama 9 hari

harga bahan dan upah kerja sesuai dengan kondisi setempat;.. b) Spesifikasi dan cara pengerjaan setiap jenis pekerjaan disesuaikan dengan standar. spesifikasi teknis pekerjaan

[r]

[r]

Jadi dapat disimpulkan pengertian dari Sistem Informasi Akuntansi adalah sistem informasi yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan informasi akan informasi yang terkait

Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini melalui dua cara, yaitu Penelitian Lapangan (Field Research) danPenelitian Kepustakaan (Library

Tugas akhir skripsi ini dibuat dengan judul “Evaluasi Sistem Informasi Akuntansi Penjualan Kredit dan Perancangan Standard Operating Procedure untuk Meningkatkan Pengendalian