1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Substansi pendidikan pada hakikatnya bukan hanya membentuk manusia yang cakap intelegensianya saja, melainkan membentuk satu kesatuan yang sinergi antara pembentukan inteligensia dan pembentukan watak manusia. Perilaku yang dikembangkan dalam pendidikan lebih mengacu kepada perilaku yang berlandaskan tujuan moral spiritual serta pemenuhan hasrat kepribadian untuk membentuk kehidupan manusia yang lebih baik karakternya.
Intelegensi atau kecerdasan selama ini sering diartikan sebagai kemampuan memahami sesuatu dan kemampuan berpendapat, di mana semakin cerdas seseorang maka semakin cepat ia memahami suatu permasalahan dan semakin cepat pula mengambil langkah penyelesaian terhadap permasalahan tersebut.1 Dalam hal ini kecerdasan dipahami sebagai kemampuan intelektual yang lebih menekankan logika dalam memecahkan masalah. Kecerdasan seseorang biasanya diukur melalui tes intelligence quotient (IQ).2 Oleh karena itu, kecerdasan hanya dipandang dari kemampuan seseorang dalam menjawab soal-soal yang merupakan tes standar di ruang kelas.
Hoerr, mengatakan sekalipun tes tersebut dapat diandalkan dan dapat memberikan skor yang sama atau hampir sama sepanjang tahun, namun sebenarnya hanya mengukur kecerdasan secara sempit karena hanya menekankan
1
Mustaqim, Psikologi pendidikan, (Semarang: Fakultas tarbiyah IAIN Walisongo, 2004),hal. 104.
2
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Nuansa-nuansa Psikologi Islam (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), hal. 319.
2 pada kecerdasaan lingustik dan matematis logis (akademis). Walaupun test standar yang terfokus pada kecerdasan akademis tersebut dapat memperkirakan keberhasilan seseorang didunia nyata, karena keberhasilan didunia nyata saat ini mencakup lebih dari sekedar kecakapan linguistik dan matematis logis.3 Padahal menurut Lwin, suatu kajian mengenai para profesional yang berhasil justru menunjukan bahwa sepertiga diantara mereka memiliki IQ yang rendah.4 Oleh karena itu, sesungguhnya ada kecerdasan lain yang mempunyai pengaruh lebih besar terhadap keberhasilan seseorang. Hal ini mendorong para ahli psikologi untuk melakukan penelitian lebih lanjut yang akhirnya menemukan dua kecerdasan lain disamping kecerdasan intelektual, yaitu kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ).
Anggapan berlebihan terhadap kemampuan IQ dalam menentukan keberhasilan seseorang nampaknya masih mendominasi pembelajaran dan pendidikan disekolah. Salah satunya nampak dari metode yang digunakan para guru ketika menyampaikan pelajaran. Menurut Suparno, guru sering kali mengajar dengan pendekatan yang rasional dengan logika matematika yang lebih sesuai dengan kecerdasan matematis-logis dan menjelaskan semua pelajaran dengan model ceramah dan cerita yang lebih sesuai dengan kecerdasan linguistik.5 Metode pembelajaran seperti ini menurut Paul Suparno hanya menguntungkan bagi siswa-siswa yang memiliki kecerdasan matematis-logis dan linguistik saja, sementara siswa yang tidak memiliki kecerdasan-kecerdasan tersebut cenderung
3
Thomas R. Hoerr, Buku Kerja Multiple Intelligences, terj. Ary Nilandari, (Bandung: Mizan pustaka, 2007), hal. 9-10.
4
May Lwin dkk., How to Multiply Your Child’s Intelligence: Cara mengembangkan Berbagai
Komponen Kecerdasan, terj. Cristine Sujana, (Yogyakarta: Indeks, 2008) hal. ix.
5 Paul Suparno, Teori intelegensi Ganda dan Aplikasinya di Sekolah: Cara menerapkan Teori
3 merasa bosan, tidak mengerti, terasing, dan merasa tidak pernah diperhatikan serta diajar oleh gurunya.6 Hal ini menurut Munir Mulkhan karena model pembelajaran disekolah yang menyimpang dan melanggar nilai-nilai dasar kemanusiaan bagi setiap siswa,7 salah satunya adalah penggunaan metode pembelajaran yang tidak sesuai dengan kecerdasan yang menonjol pada siswa.
Hal ini menunjukkan bahwa metode pembelajaran pendidikan hanya mengkoordinir siswa-siswa yang memiliki kecerdasan linguistik dan matematis-logis serta kinestetik badani. Akibatnya, pembelajaran pendidikan menjadi tidak menarik dan tidak bermakna bagi siswa yang kecerdasan linguistik, matematis-logis dan kinestetik badaninya kurang menonjol.
Di dalam pendidikan, tentunya ada interaksi edukatif yakni terjadi proses belajar mengajar antara seorang guru dengan peserta didik. Proses belajar mengajar yang terjadi di dalam kelas tentu tak lepas dari adanya peran guru, peran guru tidak dapat digantikan oleh piranti elektronik semodern apapun. Hal demikian disebabkan bahwa dalam proses belajar mengajar di kelas yang diharapkan bukan hanya menyampaikan bahan belajar, melainkan guru tersebut memiliki peran sebagai pembimbing, pendidik, mediator, dan fasilitator.
Agar tercapai hasil yang lebih optimal, dalam pelaksanaan pembelajaran, maka ada yang perlu diperhatikan, yaitu prinsip pembelajaran. Salah satu prinsip pembelajaran adalah menarik perhatian (gaining attention) yaitu hal yang menimbulkan minat peserta didik dengan mengemukakan sesuatu yang baru,
6
Paul Suparno, Teori intelegensi Ganda dan Aplikasinya di Sekolah: Cara menerapkan Teori
Multiple Intelligences Howard Gardner, (Yogyakarta: Kanisius, 2008), hal. 192
7 Abdul Munir Mulkhan, Nalar Spiritual Pendidikan: Solusi problem Filosofis Pendidikan Islam,
4 aneh, kontradiksi atau komplek. Ada tiga tugas utama seorang pendidik atau guru yaitu: (a) mendidik, berarti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup, (b) mengajar, berarti meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan, dan (c) melatih, berarti mengembangkan keterampilan-keterampilan pada siswa.8
Untuk melaksanakan ketiga tugas tersebut, guru harus mengetahui dan memahami bahwa setiap anak yang dilahirkan ke dunia ini dalam keadaan yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Perbedaan tersebut bisa karena faktor genetik dan ditambah dengan pengaruh lingkungan hidup manusia, baik lingkungan keuarga, masyarakat, teman sepermainan, sekolah maupun lingkungan lainnya. Dengan demikian, kombinasi perbedaan genetik dan pengalaman hidup tersebut mentransformasikan seorang manusia menjadi individu yang memiliki karakter dasar (potensi, minat dan bakat) yang unik. Artinya, tidak ada seorang manusia di dunia ini yang punya karakteristik yang benar-benar sama.9
Manusia secara kodrati dikaruniai tiga potensi, yakni akal (kognisi), indra (afeksi), dan nurani (hati). Hal ini diperjelas dalam Al Quran surat An-Nahl [16]: 78.
8Uzer Usman, Menjadi Guru profesional, (Bandung: remaja Rosdakarya, 2011) hal. 07
9 Munif Chatib, Sekolahnya Manusia: Sekolah Berbasis Multiple Intelligences di Indonesia,
5 Artinya: “ dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam
Keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur”.10
Tiga komponen itulah yang akan mempengaruhi perilaku manusia (psikomotorik). Maka dalam dunia pendidikan ketiga komponen tersebut harus dikembangkan secara seimbang. Apabila pengembangan salah satu komponen tersebut terabaikan, maka seseorang akan tumbuh dan berkembang tidak normal.
Pendidikan yang menekankan pada pengoptimalan kognisi, pengembangan sikap atau afeksi, dan perbaikan nurani atau spiritualitas akan menghasilkan manusia yang shalih tanggap terhadap realitas dan kesenjangan sosial. Nilai-nilai dasar seperti amanah, adil, benar, jujur, toleransi, dan bijaksana merupakan nilai yang mengantarkan manusia pada posisi insan kamil atau manusia yang sempurna. Pendidikan tanpa dikaitkan dengan nilai-nilai spiritual, maka outputnya akan cenderung serakah, tamak, mudah menyalahkan, arogan dan akhirnya merusak amanah dan sistem norma yang berlaku di tengah kehidupan sosial.
Oleh karena itu, pembangunan nilai-nilai yang bersifat fitrah (pendidikan spiritual) mesti dimulai dari pendidikan dalam keluarga, kemudian berkembang di sekolah dan diteruskan dalam masyarakat serta sistem, supaya setiap tahap pendidikan yang berlaku bergerak atas asas saling mengukuhkan dan menguatkan bukannya saling meruntuhkan dan menimbulkan kekeliruan.11
10
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, (Semarang: Karya Toha Putra, 2002), hal. 275
11 Bashori Muchsin, dkk., Pendidikan Islam Humanistik (Alternatif Pendidikan Pembebasan Anak).
6 Tidak berbeda dengan pembelajaran secara umum, dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islampun, menurut siswa, mayorits guru masih memakai sistem pembelajaran yang hanya menuntut kepada peserta didiknya untuk memiliki kecerdasan tunggal yakni kecerdasan intelektual bukan kecerdasan majemuk. Guru sepertinya masih enggan untuk menghilangkan pembelajaran klasik yang cenderung menekankan pada metode hafalan dan ceramah, dalam arti mewariskan sejumlah materi agama yang diyakini benar untuk disampaikan kepada peserta didik tanpa memberikan kesempatan agar disikapi secara kritis.12 Bahkan, metode pembelajaran pendidikan pada jenjang sekolah dasarpun kebanyakan masih diisi dengan muatan hafalan, praktik-praktik ibadah ritual dan ilmu pengetahuan alam dogmatisme agama maupun umum dan selanjutnya. Sedangkan aspek afeksi dan psikomotorik terabaikan, sehingga dapat kita saksikan pula hasil atau output dari sistem pendidikan di Indonesia masih jauh dari yang diharapkan. Kalau dulu kenakalan remaja yang mendominasi degradasi moral pelajar, sekarang lebih mengerikan lagi dengan lahirnya kenakalan yang lebih dini yaitu kenakalan anak-anak yang sudah menjurus ketindak kriminalitas dan kejahatan yang tidak wajar dilakukan oleh anak-anak seusianya. Masih sering kita saksikan kasus tawuran antar pelajar, narkoba, sampai pada pembunuhan yang dilakukan oleh anak. Contoh kasus, beberapa waktu lalu ada seorang anak yang membunuh temannya sendiri karena sering diejek.
12
Hujair AH. Sisway, Paradigma Pendidikan Islam: Membangun Masyarakat Madani Indonesia, (Yogyakarta: Insania, 2003) hal. 192
7 Fenomena di atas, menunjukkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia belum mampu menjadi solusi bagi keterbelakangan sosial dan moral masyarakatnya.
Adapun ditinjau dari Pendidikan Islam, dalam hal ini nilai-nilai religius belum mampu terinternalisasikan dalam diri peserta didik. Dalam arti Pendidikan Agama masih sebatas kognisi (knowing) belum sampai pada ranah afeksi, psikomotor dan spiritual. Hal ini menjadi problem besar bagi seluruh stakeholder pendidikan dan para orang tua, untuk segera mencari solusi yang efektif.
Secara aksiologis, pendidikan Islam mempunyai nilai pragmatis, etika dan estetika. Tetapi hal ini dipangkas oleh pendidikan Barat, yaitu pendidikan hanya memiliki nilai pragmatis saja. Pendidikan itu untuk mendapat nilai yang tinggi, ijazah lalu untuk mendapat kerja dan kemudian mencari kekayaan. Tiba-tiba kunci sukses pendidikan ada pada nilai materialis dan hedonis. Padahal, dalam pendidikan Islam, pendidikan adalah untuk meraih kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat.13 Hal ini mengisyaratkan bahwa selain pengembangan kecerdasan tunggal yakni kecerdasan intelektual ada hal lain yang harus dikembangkan yaitu ahlak sebagai dimensi spiritual dalam proses pendidikan.
Dari berbagai paparan yang telah dikemukakan, maka diperlukan model pendidikan yang tepat, untuk dapat mengembangkan berbagai potensi kecerdasan manusia guna meraih tujuan pendidikan sesuai yang diamanatkan oleh undang-undang yang tentunya harus selaras dengan nilai-nilai Islam.
13 Munif Chatib,”Belajar Pendidikan dengan Syed Haidar Nashir”, (Surabaya: 04 April 2014
8 Sebagai solusi dari permasalahan mengenai model dan metode dalam mengembangkan berbagai kecerdasan, sudah banyak para pendidik yang menggunakan model atau metode pembelajaran khususnya dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam yang mengadopsi konsep-konsep model pembelajaran yang digagas oleh para pemikir Barat, tanpa mengkaji relevansi dan urgensinya dengan prinsip-prinsip pembelajaran dalam pendidikn Islam. Ini dipandang perlu mengingat semua model atau metode pembelajran akan lebih bermakna apabila terdapat relevansi dan sinergi dengan prinsip pendidikan itu sendiri.
Di antara tokoh kontemporer yang konsen dalam mengkaji pengembangan kecerdasan adalah “Howard Gardner”, seorang pencetus teori
multiple intelligences (kecerdasan majemuk). Penulis merasa perlu untuk
mengkaji dan menganalisis model pengembangan kecerdasan majemuk (multiple
intelligences) dan Implementasinya dalam pembelajaran pendidikan Agama Islam
yang sudah banyak dipakai oleh guru Pendidikan Agama Islam khusunya, yang menawarkan model pembelajaran yang berasaskan kecerdasan majemuk sebagai solusi dari persoalan pendidikan di Indonesia.
Penulis memilih teori Howard Gardner sebagai acuan dalam proses penerapan multiple intelligences di sekolah karena beliau merupakan pencetus MI dan karena konsep pembelajarannya selama ini dianggap mampu untuk mengembangkan potensi yang dimiliki oleh peserta didik yang dimulai dari satuan organisasi pendidikan dari yang terkecil yaitu dunia kelas.
Berdasarkan studi pendahulauan, perlu dikaji dari degradasi moral yang terjadi pada peserta didik dewasa ini lebih karena selama ini pendidikan hanya
9 menekankan pada pengembangan kecerdasan tunggal saja, yakni kecerdasan intelektual, bukan kecerdasan majemuk. Konsep pembelajaran Multiple
Intelligence Howard Gardner saat ini dianggap mampu untuk mengembangkan
berbagai potensi kecerdasan yang dimiliki oleh peserta didik termasuk dalam dunia pendidikan Islam. Sehubungan dengan kenyataan yang ada, membuat penulis tertarik untuk menganalisis lebih dekat dan lebih jelas konsep kecerdasan majemuk (Multiple Intelligences) yang digagas Howard Gardner dalam perspektif pendidikan Islam, yang selanjutnya mengkaji relevansinya dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam, guna mengembangkan konsep kecerdasan majemuk (multiple intelligences) Howard Gardner dalam konteks pembelajaran Pendidikan Agama Islam.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka pokok permasalahan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Potret Kehidupan Intelektual, Corak Pemikiran dan Karya Howard Gardner?
2. Bagaimana Konsep Kecerdasan Majemuk (Multiple Intelligences) Howard Gardner dalam Perspektif Pendidikan Islam?
3. Bagaimana Relevansi Konsep Kecerdasan Majemuk (Multiple Intelligences) Howard Gardner dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam?
10
C. Tujuan dan Keguanaan Penelitian
1. Tujuan penelitian:
a. Mendeskripsikan Potret Kehidupan Intelektual, Corak Pemikiran dan Karya Howard Gardner.
b. Mendeskripsikan Konsep Kecerdasan Majemuk (Multiple Intelligences) Howard Gardner dalam Perspektif Pendidikan Islam.
c. Mendeskripsikan Relevansi Konsep Kecerdasan Majemuk (Multiple
Intelligences) Howard Gardner dalam Pembelajaran Pendidikan Agama
Islam.
2. Kegunaan penelitian: a. Secara teoritis
1. Memberikan informasi mengenai kehidupan intelektual, corak pemikiran dan karya Howard Gardner.
2. Memberikan kontribusi pemikiran dalam Pengembangan berbagai potensi kecerdasan (multiple intelligence) berdasarkan perspektif Pendidikan Islam.
3. Meberikan informasi mengenai relevansi Konsep Kecerdasan Majemuk (Multiple Intelligences) Howard Gardner dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam.
4. Menambah khazanah ilmu pengetahuan dalam bidang Pendidikan Islam. 5. Memberikan inspirasi bagi pendidik untuk menggunakan berbagai
11 mampu mengembangkan multiple intelligences (kecerdasan majemuk) siswa sesuai dengan nilai-nilai Islam.
b. Manfaat Praktis
1. Memberikan gambaran kontekstual dalam upaya pengembangan multiple
intelligences siswa, yang sesuai dengan nilai-nilai Islam dalam
mengembangkan Strategi dan Metode Pendidikan Agama Islam.
2. Memberikan masukan dan menjadi bahan pertimbangan bagi pola Pendidikan Islam dalam mengembangkan potensi yang dimiliki peserta didik sesuai dengan bakat dan minat.
D. Hasil Penelitian yang Relevan
Berdasarkan pengamatan dan penelusuran, penulis tidak menemukan penelitian yang membahas tentang “Analisis Konsep Multiple Intelligences
Howard Gardner dalam Perspektrif Pendidikan Islam dan Implementasinya dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam”. Namun telah ada penelitian yang
berkaiatan dengan tema pembahasan kecerdasan majemuk (multiple
intelligences). Diantaranya adalah Penelitian yang dilakukan oleh Eni Purwati
(Program Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2011) dengan judul “Pendidikan Islam Berbasis Multiple Intelligences System (MIS)”. Hasil penelitian tersebut menyatakan pengelolaan input, proses dan output Pendidikan Islam berbasis Multiple Intelligences System (MIS) di SMP YIMI dan MTs YIMA Bondowoso Jawa Timur adalah sebagai berikut: (1) input Siswa; tanpa tes, jumlah yang diterima berdasarkan daya tampung kelas yang
12 disediakann untuk anak normal dan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), kemudian diadakan tes Multiple Intelligences Research (MIR). Input guru; syarat utama adalah bersedia terus belajar dan komitmen, dilaksanakan dengan tes tulis, praktek (microteaching) dan wawancara. (2) proses pembelajaran; guru menyusun
lessonplan berdasarkan hasil MIR dan SOP, melaksanakan pembelajaran dengan
menggunakan strategi multiple intelligences berbasis cara kerja otak, dan mengevaluasi/menilai kompetensi siwa didampimgi oleh konsultan “guardian angel”. (3) Out put siswa; kompetensi siswa meliputi kognitif, afektif dan psikomotorik yang dinilai berdasarkan penilaian otentik dengan konsep
ipsativ-discovery ability. Out put guru; kompetensi guru dinilai berdasarkan empat
komponen yaitu hasil belajar siswa, lessonplan, kreativitas dan perilaku guru. Setiap semester guru dan siswa menerima raport. Raport guru berfungsi sebagai penentu prestasi yang berkonsekuensi pada kenaikan pangkat dan gaji.
Penelitian pada tahun 2009 yang dilakukan oleh Miftahul Jannah (Tesis, IAIN Sunan Ampel Surabaya) yang berjudul tentang: “Implementasi Multiple
Intelligences System Pada Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Di SMP Yayasan Islam Malik Ibrahim (YIMI) Full Day School Gresik Jawa Timur”
menjelaskan bahwa:
1. Pengelolaan pembelajaran PAI di SMP YIMI Gresik dibuat dengan berdasarkan Multiple Intelligences System. Akan tetapi, tidak seluruhnya dilakukan secara sempurna dan mandiri karena SMP YIMI Gresik, dalam beberapa hal, harus mengikuti ketentuan dari Departemen Pendidikan Nasional (Diknas), seperti kurikulum dan sistem evaluasi (penilaian)
13 peserta didik. Secara umum, pengelolaan pembelajaran PAI sudah berlangsung dengan baik. Hal ini didasarkan pada pola pemikiran yang komprehensif dalam mengelola pembelajaran sehingga lebih efektif dalam pencapaian tujuan pembelajaran. Hal tersebut tampak dari penyusunan rencana pembelajaran/Lesson Plan, penyusunan materi, metode/media, guru, penilaian, dan pelaksanaan pembelajaran di kelas.
2. Kelebihan penerapan Multiple Intelligences System pada pembelajaran PAI antara lain: memudahkan pencapaian tujuan pembelajaran, terciptanya
joyfull learning, dan menjadikan guru lebih kreatif. Adapun
kekurangannya adalah bahwa penilaian sebagaimana dikonsepkan dalam strategi Multiple Intelligences System, yaitu penilaian autentik, belum bisa dilaksanakan disebabkan terkendala kebijaksanaan Diknas, dan pelaksanaan MIR yang seharusnya setiap kenaikan kelas, hanya dapat dilaksanakan pada tahun pertama.
Berdasarkan hasil penelitian-penelitian yang sudah dilakukan terlebih dahulu apabila dikaji secara ilmiah, maka penulis dapat mengambil sebuah kesimpulan bahwa penelitian tersebut hanya menjelaskan tentang berbagai jenis pembelajaran berbasis multiple intelligences yang kini belum ada yang menulis sebuah karya ilmiah sampai pada tulisan yang mengkaji tentang analisis konsep kecerdasan majemuk (multiple intelligence) dalam perspektip pendidikan Islam dan relevansinya dalam Pembelajaran pendidikan Agama Islam dalam perspektif kajian tokoh.
14 Penelitian ini memiliki kesamaan dalam hal pemilihan objek penelitian yaitu dalam hal model pendidikan berbasis kecerdasan majemuk. Namun penelitian ini memiliki perbedaan dengan penelitian sebelumnya yaitu pada objek penelitiannya, disini peneliti lebih memfokuskan pada konsep multiple
intelligence Howard Gardner yang dianalisis dalam perspektif Pendidikan Islam,
dan relevansinya dalam pemebelajaran Pendidikan Agama Islam, sehingga tentu hasil penelitian ini akan berbeda dengan berbagai penelitian sebelumnya.
E. Tinjauan Pustaka
1. Kecerdasan
Berbicara tentang kecerdasan, menurut Efendi, para ahli termasuk para psikolog, tidak sepakat dalam mendefinisikan apa itu kecerdasan. Hal ini selain dikarenakan definisi kecerdasan itu senantiasa mengalami perkembangan sejalan dengan perkembangan ilmiah menyangkut studi kecerdasan dan sains-sains yang berkaiatan dengan otak manusia, seperti
neurologi natau neurosains, juga karena penekanan kecerdasan itu sendiri
sangat bergantung pada dua hal, yaitu: pertama, pandangan dunia, filsafat manusia, dan filsafat ilmu yang mendasarinhya; Kedua, teori kecerdasan itu sendiri, seperti teori kecerdasan IQ berbeda dengan teori kecerdasan EQ dan SQ dalam mendefinisikan kecerdasan.14
Danah Zohar dan Ian Marshall, dalam bukunya SQ: Kecerdasan Spiritual memberikan definisi bagi tiga kecerdasan, yaitu IQ didefinisikan
14
Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21: Kritik MI, EI, SQ, AQ, dan Successful Intelegencee
15 sebagai kecerdasan yang digunakan untuk memecahkan masalah logika maupun strategis dan kecerdasan sering diukur dengan menggunakan tes-tes IQ, semakin tinggi hasil tes IQ seseorang maka semakin cerdas orang tersebut; EQ didefinisikan sebagai kemampuan untuk mengenali perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain yang memberikan rasa empati, cinta, motivasi dan kemampuan untuk menanggapi kesedihan atau kegembiraan secara tepat, sedangkan SQ didefinisikan sebagai kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, serta kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain.15
Sementara itu Agustian dalam bukunya ESQ: Emotional Spiritual
Quotient menyatakan bahwa kecerdasan adalah konsep universal yang mampu
menghantarkan seseorang pada predikat “memuaskan” bagi dirinya sendiri juga bagi sesamanya serta kemampuan untuk menghambat segala hal yang kontraproduktif terhadap kemajuan umat manusia.16
Terkait dengan pengertian kecerdasan, Piaget, sebagaimana dikutip oleh Agus Efendi, mengatakan bahwa “Intelligences is what you use when you
don’t know what to do” (Kecerdasan adalah apa yang kita gunakan pada saat
kita tidak tahu apa yang harus dilakukan).17
15 Danah Zohar, SQ: Kecerdasan Spiritual, terj. Rahmani Astuti, (Bandung: Mizan Pustaka, 2007),
hal. 3-4.
16
Ary Ginanjar Agustian, ESQ: rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual, (Jakarta: Arga, 2005), hal. 83
17
Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21: Kritik MI, EI, SQ, AQ, dan Successful Intelegencee
16 Howard Gardner mendefinisiskan kecerdasan sebagai “the ability to
solve problems, or to fashion products, that are valued in one or more cultural or community setting,”18 yaitu kemampuan untuk menyelesaikan
maslah-masalah, atau produk mode yang merupakan konsekuensi dalam suatu atau lebih latar budaya atau masyarakat tertntu.
2. Intelegensi
Komponen intelegensi manusia menurut teori sternberg, terorganisasikan atas metocomponents, komponen perpormasi (performance
components), dan komponen penerimaan pengetahuan (knowledge-acguistion components). Metakomponen merupakan proses kendali tingkat tinggi yang
digunakan dalam perencanaan pelaksanaan (bersifat eksekutif) atau pemantauan dan evalusi terhadap performansi seseorang dalam mengerjakan suatu tugas.
Berkenaan dengan teori kecerdasan majemuk (multiple intelleginces) menurut Asri Budiningsih, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam teori ini, yaitu:
1) Setiap orang memiliki semua kecerdasan itu
2) Banyak orang dapat mengembangkan masing-masing kecerdasannya sampai ke tingkat yang optimal
3) Kecerdasan biasanya bekerja bersama-sama dengan cara yang unik, dan 4) Ada banyak cara untuk menjadi cerdas.19
18
Howard Gardner, Multiple Intelleginces, Theory dalam Praktek, (Batam: Interaksara, 2003), hal. 7
19
17 Selain itu, menurut Baharuddin dan Nur Wahyuni, perlu diperhatikan juga walaupun semua kecerdasan tersebut ada pada setiap individu, namun untuk orang-orang tertentu kadang suatu kecerdasan lebih menonjol dari pada kecerdasan yang lain dan inilah yang menimbulkan perbedaan pada setiap individu.20 Oleh karena itu, guru (pendidik) perlu mengunakan metode-metode tertentu dalam proses pembelajaran agar kecerdasan-kecerdasan siswa bisa berkembang secara optimal.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Kecerdasan
Kecerdasan yang dimiliki seseorang dapat berkembang sampai tingkat kemampuan yang disebut mumpuni. Pada tingkat ini, kemampuan seseorang di bidang tertentu, yang berkaitan dengan kecerdasan itu, akan terlihat sangat menonjol. Menurut Amstrong (1994) berkembang tidaknya suatu kecerdasan bergantung pada tiga faktor penting berikut:
1) Faktor biologis (biological endowment), termasuk didalamnya faktor keturunan atau genetis dan luka atau cedera otak sebelum, selama, dan setelah kelahiran.
2) Sejarah hidup pribadi, termasuk didalamnya adalah pengalaman-pengalaman (bersosialisasi) dan hidup dengan orang tua, guru, teman sebaya, atau orang lain, baik yang membangkitkan maupun yang menghambat perkembangan kecerdasan.
20
Baharuddin dan Nur Wahyuni, Teori Belajar dan Pembelajaran, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), hal. 152.
18 3) Latar belakang kultural dan historis, termasuk waktu dan tempat seseorang dilahirkan dan dibesarkan serta sifat dan kondisi perkembangan historis atau kultural di tempat yang berbeda.
Seorang siswa akan berkembang dalam kecerdasan tertentu apabila ia memperoleh cukup fasilitas, cukup dukungan spiritual dan material, memperoleh dukungan alam, tidak terlibat konflik keinginan, dan memperoleh cukup kesempatan untuk mempergunakan kecerdasan tersebut dalam praktik. Oleh karena itu, kecerdasan majemuk merekomendasikan program yang memungkinkan siswa belajar dengan kekuatan masing-masing.21
4. Kecerdasan Majemuk (Multiple Intelligences)
Multiple Intelligences adalah sebuah teori kecerdasan yang
dimunculkan oleh Dr. Howard Gardner, seorang psikolog dari Project Zero Havard university pada tahun 1983. Hal yang menarik pada teori kecerdasan ini adalah terdapt usaha untuk melakukan redefinisi kecerdasan. Sebelum muncul teori multiple intelligences, teori kecerdasan cenderung diartikan secara sempit. Kecerdasan seseorang lebih banyak ditentukan oleh kemampuannya menyelesaikan serangkaian tes psikologi; kemudian hasil tes itu diubah menjadi angka standar kecerdasan. Daniel Muijs dan David Reynolds dalam bukunya berjudul Efective Teaching mengatakan bahwa Gardner berhasil mendobrak dominasi teori dan tes IQ yang sejak tahu 1905 banyak digunakan oleh para psikolog di seluruh dunia.
21
19 Kita dengan mudah dapat membedakan definisi kecerdasan yang dibuat Gardner dengan definisi kecerdasan yang telah berlaku sebelumnya. Dalam bukunya Frame of Mind, Gardner mengatakan bahwa “Intelligences is
the ability to find and solve problems and create products of value I one’s own culture.” Menurut Gardner kecerdasan seseorang tiba-tiba tidak diukur dari
hasil tes psikologis standar, namun dapat dilihat dari kebiasaan seseorang terhadap dua hal. Pertama, kebiasaan seseorang menyelesaikan masalah sendiri (problem solving). Kedua, kebiasaan seseorang menciptakan produk-produk baru yang memiliki nilai budaya (creativity). Betapa seringnya, kita sebagai orang tua dan guru tanpa sadar membunuh dua sumber kecerdasan tersebut, yaitu creativity dan problem solving.22
Saat ini teori multiple intelligences (MI) mencakup sembilan kecerdasan. Teori Howard Gardner ini mempunyai karakteristik yang berbeda dengan teori kecerdasan lain.
1. Menurut teori MI, setiap orang memiliki semua kecerdasan yang dicetuskan Gardner. Teori MI adalah teori fungsi kognitif. Teori ini menerangkan bahwa setiap orang mempunyai semua kapasitas kecerdasan. Hanya saja, semua kecerdasan tersebut bekerja dengan cara yang berbeda-beda, tetapi bersama-sama berfungsi secara khas dalam diri seseorang.
2. Pada umumnya, orang dapat mengembangkan setiap kecerdasan sampai pada tingkat penguasaan yang memadai.
3. Kecerdasan selalu berinteraksi satu dengan yang lain.
22
Thomas Armstrong, Sekolah Para Juara: Menerapkan Multiple Intelligences di Dunia Pendidikan, terj. Yudhi Murtanto, (Bandung: Kaifa, 2004), hal. 132.
20 4. Ada berbagai macam cara untuk menjadi cerdas dalam setiap kategori. Tidak ada seperangkat ciri standar yang mesti dimiliki untuk disebut cerdas seseorang tetap disebut cerdas linguistik karena kemahirannya bercerita, meskipun ia tidak lancar membaca.
5. Macam Kecerdasan Majemuk (Multiple Intelligences)
Dalam penelitian awalnya, Hoawd Gardner menyimpulkan ada tujuh kecerdasan yang dimiliki oleh manusia yaitu kecerdasan linguistik, kecerdasan matematis-logis, kecerdasan ruang visual (spasial), kecerdasan kinestetik badani, kecerdasan musikal, kecerdasan antar pribadi, dan kecerdasan intra pribadi.23 Kemudian dalam bukunya Intelligence Reframed, Ia menambahkan lagi dua kecerdasan, yaitu kecerdasan naturalis dan kecerdasan eksistensial.24
Pitza Ragam Kecerdasa
Howard Gardner
23
Tadkiroatun Musfiroh, Cerdas Melalui Bermain, (Jakarta: Grasindo, 2008), hal.36-46
24 Howard Gardner, Intelligences Reframed: “Multiple Intelligences for the 21 st Century”, hal.
21 1) Kecerdasan linguistik (verbal) adalah kemampuan untuk menggunakan dan
mengolah kata-kata secara efektif, baik secara oral maupun tertulis.
2) Kecerdasan matematis-logis adalah kemampuan untuk menangani bilangan dan perhitungan, pola dan pemikiran logis dan ilmiah.
3) Kecerdasan ruang (spasial) adalah kemampuan untuk menangkap dunia ruang-visual secara tepat.
4) Kecerdasan musikal (irama musik) adalah kemampuan untuk mengembangkan, mengekspresikan, dan menikmati bentuk-bentuk musik dan suara.
5) Kecerdasan kinestetik badani adalah kecerdasan yang mecakup kemampuan menggunakan tubuh atau gerak tubuh untuk mengekspresikan gagasan atau perasaan.
6) Kecerdasan antarpribadi (interpersonal) adalah kemampuan untuk mengerti dan peka terhadap perasaan, intensi, motivasi, watak, dan temperamen orang lain.
7) Kecerdasan antarpribadi (intrapersonal) adalah kemampuan yang berkaitan dengan pengetahuan akan diri sendiri dan kemampuan untuk bertindak secara adaptif berdasar pengenalan diri itu.
8) Kecerdasan naturalis (lingkungan) adalah kemampuan untuk mengerti flora fauna dengan baik, dapat membuat distingsi konsekuensi lain dalam alam natural, kemampuan untuk memahami dan menikmati alam, dan menggunakan kemampuan tersebut secara produktif.
22 9) Kecerdasan eksistensial adalah kepekaan atau kemampuan untuk menjawab
persoalan-persoalan terdalam eksistensi manusia.25
Berkenaan dengan teori kecerdasan majemuk (multiple intelligence) menurut Asri Budiningsih, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam teori ini, yaitu: (1) Setiap orang memiliki semua kecerdasan itu, (2) Banyak orang dapat mengembangkan masing-masing kecerdasannya sampai ketingkat yang optimal, (3) kecerdasan biasanya bekerja bersama-sama dengan cara yang unik, dan (4) Ada banyak cara untuk menjadi cerdas.26
Pendekatam multiple intelligence dalam pembelajran erat kaitannya dengan modalitas belajar peserta didik. Modalitas belajar adalah cara informasi masuk ke dalam otak melalui indra yang kita miliki. Pada saat informasi tersebut akan ditangkap oleh indra, maka bagaimana informasi tersebut disampaikan (modalitas) berpengaruh pada kecepatan otak menangkap informasi terebut dalam ingatan atau memori. Adapun tiga modalitas belajar dalam pembelajaran berbasis multiple intelligences adalah:27
1. Visual : modalitas ini mengakses citra visual, warna, gambar, catatan, tabel, diagram, grafik, peta pikiran, dan hal lain yang terkait.
2. Auditorial : modalitas ini mengakses segala jenis bunyi, suara, nada, musik, iarama, cerita, dialog, dan pemahaman materi pelajaran dengan menjawab atau mendengarkan cerita, lagu, syair, dan hal-hal lain yang terkait.
25
Paul Suparno, Teori Intellegensi Ganda dan Aplikasinya di Sekolah, (Yogyakarta: Kanisius, 2008), hal. 26-44
26
Asri Budiningsih, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: Rieneka Ciptya, 2005)hal. 119.
27 Munif Chatib, Sekolahnya Manusia: Sekolah Berbasis Multiple Intelligences di Indonesia,
23 5% Lecture 10% Reading 20% Audio Visual 30% Demonstration 50% Group Discussion 75% Practice 90% Teaching Others
3. Kinestetis : modalitas ini mengakses segala jenis gerak, aktivitas tubuh, emosi, koordinasi, dan hal lain yang terkait.
Menurut penelitian Dr. Venon Magnesen dari Texas University, otak manusia lebih cepat menangkap informasi yang berasal dari modalitas visual yang bergerak. Berikut adalah detail penelitiannya:
Average Learning Pyramid
Untuk merancang strategi pembelajaran terbaik adalah dengan menggunakan modalitas belajar yang tertinggi, yaitu dengan modalitas kinestetis dan visual dengan akses informasi melihat, mengucapkan, dan melakukan.
Penulis menyimpulkan bahwa setiap orang pasti memiliki kecenderungan jenis kecerdasan tertentu. Tinggal bagaimana menemukan kecerdasan seorang anak tentunya dibantu oleh sosio kultural (lingkungan), baik orang tua, guru, sekolah maupun dalam sebuah sistem pendidikan yang diterapkan disuatu negara.
Passive Teaching Methods
Participatory Teaching Methods
24 6. Multiple Intelegences Sebagai Sebuah Metode Pembelajaran
Metode merupakan suatu istilah yang memiliki banyak arti. Menurut ramayulis, metode adalah seperangkat cara, jalan dan teknik yang digunakan oleh guru dalam proses pembelajaran agar siswa mampu mencapai tujuan pembelajaran atau kompetensi tertentu yang dirumuskan dalam silabi mata pelajaran.28 Definisi senada juga diungkapkan oleh Wina Sanjaya. Beliau mendefinisikan metode sebagai cara yang digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam kegiatan nyata agar tujuan yang telah disusun tercapai secara optimal.29
Sementara itu, Hasan Langgulung memakai metode sebagai cara atau jalan yang dilalui untuk mencapai tujuan pendidikan.30 Sedangkan Abdurrahman Ghunaimah sebagai mana dikutip oleh Ramayulis, mengatakan bahwa metode adalah cara-cara praktis dalam mencapai tujuan pengajaran.31
Dari beberapa pengertian diatas, maka metode dalam penelitian ini diartikan sebagai cara, jalan, dan teknik praktis yang digunakan oleh guru untuk mengimplementasikan rencana pembelajaran yang telah disusun dalam silabi mata pelajaran sehingga kompetensi yang diharapkan bisa tercapai secara optimal. Sedangkan pembelajaran adalah usaha sistematis yang memungkinkan terciptanya pendidikan untuk internalisasi pengetahuan sebagai proses pengalaman khusus dan bertujuan untuk menciptakan perubahan secara terus
28
Ramayulis, Metodologi pendidikan, (Jakarta: Kalam Mulia, 2005), hal. 4.
29
Wina sanjaya, Strategi Pembelajaran berorientasi Standar proses pendidikan, (Jakarta: Kencana prenada media Group, 2006) hal. 147.
30
Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan: Suatu Analisa Psikologi, Falsafah dan Pendidikan, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1986), hal. 39.
31
25 menerus dalam prilaku dan pemikiran manusia.32 Sementara itu, metode pendidikan didefinisikan sebagai upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, mengimani, berahlak mulia, dan mengamalkan ajaran agama Islam dari sumber utama yaitu Al-Qura’an dan hadits.
Berdasarkan kajian teoritis mengenai kecerdasan (intelligence) dari para tokoh diatas, khususnya tentang kecerdasan majamuk yang digagas oleh Howard Gardner, penulis akan mencoba melakukan analisis tentang konsep kecerdasan majemuk (multiple intelligence) Howard Gardner dengan terlebih dahulu mengkaji potret kehidupan intelektual, corak pemikiran dan karya-karyanya, kemudian menganalisis konsep kecerdasan majemuk (multiple intelligence) dalam perspektif Pendidikan Islam dan relevansinya dengan pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Kemudian mencari cara yang efektif untuk mengaktualisasikan pembelajaran Pendidikan Agama Islam berbasis kecerdasan majemuk.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian normatif yang dapat dikategorikan sebagai penelitian pustaka (library reseach), yaitu jenis penelitian yang dilakukan melalui penelaahan terhadap buku-buku dan sumber-seumber lain
32
Kelvin Seifert, Manajemen Pembelajaran dan Instruksi pendidikan: Manajemen Mutu Psikologi
26 yang berkaiatan dengan penelitian yang dilakukan.33 Pengumpulan datanya dilakukan dengan cara menghimpun data dari berbagai literatur baik sumber rujukan yang primer maupun sekunder. Penelitian ini mengacu pada paradigma penelitian deskriptif kualitatif yang berusaha mengungkap suatu masalah atau peristiwa apa adanya.
2. Pendekatan penelitian
Pendekatan yang penulis pakai dalam penelitian ini adalah pendekatan
paedagogis psikologis, yaitu pendekatan yang membahas tentang tingkah laku
dan proses mental seorang siswa. Pedagogik merupakan bagian dari teori pendidikan, jadi pendekatan pedagogik mencoba menjelaskan tentang seluk beluk model pendidikan.34 Disamping itu bahwa dalam uraian penelitian ini, khususnya pada bagian analisis, penulis banyak menggunakan teori-teori psikologi.
Penulis memilih untuk menggunakan pendekatan paedagogis psikologi, karena pendekatan ini lebih fokus mengarah pada tujuan penelitian. 3. Teknik Pengumpulan Data
Berdasarkan jenis penelitian yang penulis gunakan, yaitu penelitian kepustakaan, maka pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode dokumentasi yang dilakukan dengan cara mencari, memilih, menyajikan dan
33
Mukhtar, Bimbingan Skripsi tesis, dan Artikel ilmiah: Panduan Berbasis Penelitian Lapangan dan
perpustakaan, (Ciputat: Gaung Persada Press, 2010), hal. 193.
34
27 menganalisis data-data dari literatur atau sumber-sumber yang berkaitan dengan permasalah yang diteliti.35
4. Data dan Sumber Data Penelitian
Sumber yang digunakan dalam penyusunan penelitian tesis ini adalah:
a. Sumber primer, yaitu sumber yang berhubungan langsung dengan subjek yang sedang diteliti. Adapun sumber primer penelitian ini adalah Buku karya Howard Gardner yang berjudul Multiple inteeligences: Frames Of
Mind The Theory of Multiple Intelligences.36
b. Sumber Sekunder, yaitu karaya orang lain yang berkenaan dengan pemikiran tokoh tersebut dan sumber lain yang berkaiatan dengan penelitian ini. Diantara sumber yang berkaitan dengan penelitian ini anatara lain: 1. Teori Inteligensi Ganda dan Aplikasinya di Sekolah: Cara Menerapkan
Teori Multiple Intelligences Howard Gardner. 37
2. Multiple Intelligences for Islamic Teaching: Panduan Melejitkan Kecerdasan Majemuk Siswa Melalui Pengajaran Islam.38
3. Sekolah Para Juara (Sekolah Manusia yang Berbasis Multiple
Intelligences) di Dunia Pendidikan.39
35
Arif Furchan dan Agus Maimun, Studi Tokoh: Metode Penelitian mengenai tokoh, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal.55.
36
Howard Gardner, Frames Of Mind The Theory of Multiple Intelligence. (New York. Member of the Perseus Books Group, 1993).
37
Paul suparno, Teori Inteligensi Ganda dan Aplikasinya di Sekolah: Cara Menerapkan Teori
Multiple Intelligences Howard Gardner, (Yogyakarta: Kanisius, 2005).
38
Ariani Syurfah, Multiple Intelligences for Islamic Teaching, (Bandung: Syamil Cipta Media, 2007)
39 Thomas Amstrong, munif Chatib Sekolah Para Juara: Menerapkan Multiple Intetelligence di
28 4. 7 Kinds of smart: Menemukan dan Meningkatkan Kecerdasan Anda
Berdasarkan teori Multiple Intelligences.40
5. How to Multiply Your Child’s Intelligences: Cara mengembangkan Berbagai Komponen kecerdasan.41
6. Sekolahnya Manusia: Sekolah Berbasis Multiple Intelligences di Indonesia.42
7. Gurunya Manusia: Menjadikan Semua Anak Istimewa dan Semua Anak Juara.43
8. Orangtuanya Manusia: Melejitkan Potensi dan Kecerdasan dengan Menghargai Fitrah Setiap Anak.44
5. Analisis Data
Untuk menganalisis data, penulis menggunakan alalisis
deskriptif-analitik. Deskriptif berarti menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu
individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan penyebaran suatu gejala, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat. Dengan kata laian deskriptif berarti menggambarkan fenomena-fenomena yang ada baik fenomena yang bersifat alamiah ataupun rekayasa manusia guna memahami bentuk, aktivitas,
40
Thomas Amstrong, 7 Kind of smart: Menemukan dan meningkatkan Kecerdasan Anda
Berdasarkan Teori Multiple Intelegence, terj. T. Hermaya, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008).
41
May Lwin, dkk., How to Multiply Yotur Child’s Intelegence: Cara Mengembangkan berbagai
Kecerdasan, terj. Cristine Sujana, (Yogyakarta: Indeks, 2008)
42
Munif Chatib, Sekolahnya Manusia: Sekolah Berbasis Multiple Intelligence di Indonesia, (Bandung: Kaifa, 2009)
43
Munif Chatib, Gurunya Manusia: Menjadikan Semua Anak Istimewa dan Semua Anak Juara, (Bandung: Kaifa, 2011)
44
Munif Chatib, Orangtuanya Manusia: Melejitkan Potensi dan Kecerdasan dengan Menghargai
29 karakteristik, peruabahan, hubungan kesamaan dan perbedaannya dengan fenomena lain.45
Sedangkan analitik atau analisis adalah jalan atau cara yang dipakai untuk mendapatkan ilmu pengetahuan ilmiah dengan mengadakan pemerincian terhadap objek yang diteliti dengan jalan memilih-milih antara suatu pengertian dengan pengertian yang lain sekedar untuk memperoleh kejelasan mengenai objek tersebut.46
G. Sistematika Pembahasan
Penyusunan tesis ini dibagi dalam lima bab, dengan gambaran tiap bab sebagai berikut:
Bab pertama, yaitu pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, kerangka pemikiran, metodologi penelitian, dan sitematika pembahasan. Hal ini bertujuan untuk mengarahkan pembaca kepada esensi dari penelitian ini.
Bab Dua, membahas tentang potret kehidupan intelektual, corak
pemikiran dan karya Howard Gardner. Dalam bab ini dibahas tentang sekilas pandang kehidupan Howard Gardner untuk memahami latar belakang intelektual dan corak pemikirannya, yang kemudian memetakan karya-karyanya berdasarkan corak pemikiran tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman awal kepada pembaca tentang latar belakang kehidupan dan keilmuan tokoh yang sedang dikaji.
45
Nana Syaodih Sukmadinata, Metode penelitian Pendidikan, (Bandung: remaja Rosdakarya, 2010), hal. 72.
46
30
Bab Tiga, yaitu pemaparan tentang konsep kecerdasan majemuk
(multiple intelligence) dalam perspektif pendidikan Islam. Bab ini membahas tetang kajian teoritik mengenai konsep kecerdasan majemuk (multiple
intelligence) yang digagas Howard Gardner dalam perspektif pendidikan Islam.
Dalam bab ini terdapat penjelasan mengenai latar belakang lahirnya teori kecerdasan majemuk (multiple intelligence), macam-macam kecerdasan majemuk (multiple Intelligence), dan konsep kecerdasan majemuk (multiple intelligence) dalam perspektif pendidikan Islam. Hal ini dikemukakan untuk lebih mepertajam analisis mengenai bagaimana konsep kecerdasan multiple intelligence dalam perspektif pendidikan Islam. Sehingga pembaca mampu menganalisis teori
multiple intelligence dari sudut pandang pendidikan Islam.
Bab empat, yaitu paparan mengenai relevansi konsep kecerdasan
majemuk (multiple intelligece) Howard Gardner dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam dan aktualisasinya dalam proses pembelajaran. Pembahasan ini dilakukan sebagai langkah awal untuk menganalisis relevansi konsep kecerdasan majemuk (multiple intelligence) dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam dan kemudian langkah selanjutnya yaitu memberikan gambaran aktivitas dalam proses pembelajaran Pendidikan Agama Islam, guna menghasilkan pembelajaran yang dapat mengoptimalkan peningkatan kecerdasan peserta didik.
Bab lima, yaitu penutup yang berisi kesimpulan, saran-saran guna