5.1. Analisa Data
5.1.1. Kependudukan (Kuisioner, Observasi dan Wawancara)
Data diperoleh melalui wawancara, observasi dan pembagian kuisioner
terhadap responden (warga RW 16 Kelurahan Wirogunan) dengan jumlah responden sebanyak 35 KK. Metode yang digunakan adalah disproportionate
stratified random sampling. Dari pencarian data diperoleh hasil berupa data sosial
kemasyarakatan seperti jumlah anggota keluarga, pekerjaan, pendapatan, tingkat
pendidikan, dan sebagainya. Untuk selanjutnya dalam bab ini akan disajikan analisa data tersebut untuk memperoleh suatu kesimpulan yang mana dalam hal
ini untuk mengetahui jawaban dari tujuan penelitian yaitu mengetahui kondisi dan masalah yang timbul dalam sistem pengelolaan. Analisis data dilakukan dengan metode analisa deskriptif dimana data disajikan dalam bentuk tabel kemudian
dilanjutkan dengan grafik. Untuk selanjutnya akan dijelaskan sebagai berikut:
5.1.1.1. Jumlah anggota keluarga
Jumlah anggota keluarga mempunyai pengaruh dalam jumlah limbah cair yang dihasilkan oleh suatu rumah tangga. Banyaknya jumlah anggota keluarga responden dapat dilihat pada gambar 5.1.
Dari gambar 5.1 dapat diketahui bahwa jumlah anggota keluarga
untuk tiap-tiap responden berbeda-beda. Dari 35 responden diketahui
untuk keluarga dengan jumlah anggota 2 orang sebanyak 3 KK atau
8,57 %. Untuk keluarga dengan jumlah anggota 3 orang ada 6 KK atau
17,14 %, sedangkan keluarga dengan jumlah anggota 4 orang ada 11 KK atau 31,43 %, kemudian untuk keluarga dengan jumlah anggota 5 orang
sebanyak 8 KK atau 22,86 %, dan keluarga denga anggota lebih dari 5 orang sebanyak 7 KK atau 20 %.
35 n 31,43 **n - •| ?<? -
^M
22 86
* 20 20,00 i ^H ^H•
SKK1 15-
•
I
•
•
• %•
"•
•
•
10 - 8,57•
r l
s l _
-•
«6I
£^^^1 I—'—;^^^HXm
5-r'M
Ft
\^|jjjjjjj -^H—- t
0 -2 3 4 5 1 -^B—! >5Jml Anjigota Keluarga
Gambar 5.1 Kelompok responden menurut jumlah anggota keluarga
Berdasarkan data pada gambar 5.1, maka dapat diketahui bahwa
rata-rata jumlah anggota keluarga dalam satu KK sebanyak 4 orang
5.1.1.2. Pekerjaan
Pekerjaan dari responden mempengaruhi dalam tingkat ekonomi/kesejahteraan keluarga. Jenis pekerjaan dari responden dapat dilihat dalam gambar 5.2.
34,29 -HVt4-(B,00 30 • Jumlah • % 11,43 4fl 5,71
* / / / ' " /
Jenis PekerjaanGambar 5.2 Kelompok responden menurut pekerjaan
Dari gambar 5.2 dapat dilihat bahwa sebagian besar penduduk RW 16 mempunyai pekerjaan sebagai wiraswasta sebanyak 12 KK atau 34,29 %, sedangkan PNS ada 4 KK atau 11,43 %, bekerja sebagai karyawan 6 KK atau 17,14 %, kemudian yang bekerja sebagai buruh sebanyak 7 KK atau 20 %, pensiunan sebanyak 4 KK atau 11,43 % dan yang tidak bekerja
ada 2 KK atau 5,71%.
5.1.1.3. Pendapatan
Pendapatan merupakan tolok ukur yang digunakan oleh seseorang untuk mengetahui tingkat ekonomi. Pendapatan sangat tergantung dari pekerjaan seseorang, hal ini berhubungan dengan jumlah limbah yang
dihasilkan. Tingkat pendapatan dari responden sangat bervariasi, untuk lebih jelasnya dapat diketahui dari gambar 5.3.
< Rp Rp Rp Rp > 1000.000 100.000 100.000- 300.000- 500.000-Rp Rp Rp 300.000 500.000 1000.000 Pendapatan ,i i Jurnlah J i% I
Gambar 5.3 Kelompok responden menurut tingkat pendapatan
Dari gambar 5.3 dapat dilihat bahwa tingkat pendapatan dari responden cukup bervariasi. Kebanyakan dari responden berpenghasilan antara Rp 100.000-Rp 300.000 yaitu sebanyak 11 KK atau 31,43 %, yang
berpenghasilan kurang dari Rp 100.000 sebanyak 6 KK atau 17,14 %,
sedangkan yang berpendapatan antara Rp 300.000-Rp 500.000 sebanyak 7 KK atau 20 %, kemudian untuk yang berpendapatan antara Rp 500.000-Rp 1.000.000 sebanyak 7 KK atau 20 % dan responden dengan tingkat
pendapatan lebih dari Rp 1.000.000 hanya 4 KK atau 11,43 %. Dari data
tersebut diperoleh ratarata penghasilan responden adalah Rp 300.000
5.1.1.4. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan seseorang besar pengaruhnya terhadap wawasan/pengetahuan orang tersebut. Semakin tinggi pendidikan seseorang makin tinggi pula pengetahuannya. Dengan demikian semakin kritis orang tersebut terhadap suatu masalah. Oleh karena itu tingkat pendidikan diperlukan untuk mengetahui sejauh mana pengetahuan responden mengenai IPAL dan pengelolaan air limbah di wilayahnya. Tingkat pendidikan dari responden dapat dilihat pada gambar 5.4.
35 -, 30 -25 -, 20 J 15 i 10 H 0 -34,29 y 22,86 * 17.14 17,14 E ^
12l
8,57 M8H—
c l 1M! 1
n f l HW J> 4- <§> *jk ^# j r A Pendidikan B Jumlah • %Gambar 5.4 Kelompok responden menurut tingkat pendidikan
Dari gambar 5.4 dapat diketahui tingkatan pendidikan dari responden. Untuk responden yang tidak dapat mengenyam pendidikan adalah sebanyak 3 KK atau 8,57 %, jumlah responden dengan tingkat pendidikan hingga tamat SD sebanyak 6 KK atau 17,14 %, sedangkan responden dengan pendidikan terakhir SMP sebanyak 8 KK atau 22,86 %, kemudian yang berpendidikan terakhir setingkat SMU ada 12 KK atau
34,29 %, dan ada juga responden dengan pendidikan terakhir di perguruan
tingkat pendidikan yang terbanyak dari responden adalah pendidikan setara SMU. Dengan demikian, ditinjau dari tingkat pendidikan wilayah
penelitian merupakan daerah dengan tingkat pendidikan yang cukup
tinggi.
5.1.1.5. Tingkat Pemakaian Air Bersih
Tingkat pemakaian air bersih dapat digunakan untuk mengetahui
besaraya debit air buangan yang dihasilkan oleh warga di lokasi penelitian. Sumber air bersih warga berasal dari air PDAM untuk sabagian kecil (11
KK), sedangkan sebagian besar warga (24 KK) menggunakan air sumur
untuk memenuhi kebutuhan air bersih. Perbedaan kapasitas pemakaian air
bersih dari responden dapat dilihat pada gambar 5.5.
<50 50-100 100- 150- >200 Lt/hr Lt/hr 150 Lt/hr 200 Lt/hr Lt/hr
Debit Air
Tidak tahu
Gambar 5.5 Kelompok responden menurut tingkat konsumsi air bersih Dari gambar 5.5 jelas terlihat bahwa tingkat pemakaian air terbanyak adalah kurang dari 50 Lt/hr yaitu sebanyak 12 KK atau 34,29 %, sedangkan yang paling sedikit tingkat penggunaan airnya adalah antara
150 - 200 Lt/hr yaitu sebanyak 4 KK atau 11,43 %. Untuk tingkat pemakaian air antara 50 - 100 Lt/hr sebanyak 6 KK atau 17,14 %,
demikian juga untuk tingkat pemakaian antara 100 - 150 Lt/hr dan yang
lebih dari 200 Lt/hr. Dari perhitungan (lampiran 2), diperoleh rata-rata penggunaan air bersih untuk tiap KK sebanyak 100-150 Lt/hr.
5.1.1.6. Jenis Limbah Cair yang Masuk Dalam Saluran Air Limbah
Jenis air limbah yang masuk dalam saluran air buangan diperlukan
untuk mengetahui karakteristik air limbah yang dihasilkan oleh warga di
lokasi penelitian. Untuk lebih jelasnya, limbah apa saja yang masuk dalam
saluran air limbah dapt dilihat dalam gambar 5.6.
1; 3% 27; 77% 5: 14% 2; 6% 0; 0% jmKamar mandi|
j.WC
|
|a Air dapur jjd Tempat cuci j
id Campur j i fa Tidak tahuGambar 5.6 Jenis air limbah yang masuk dalam saluran air limbah Dari gambar 5.6 sangat terlihat jelas bahwa air limbah yang masuk dalam saluran air buangan adalah semua jenis air limbah yang berasal dari rumah tangga yang diindikasikan dengan jenis air limbah "campur".
sedangkan yang menjawab dari kamar mandi sebanyak 5 KK ataul4,29 %
dan rumah tangga yang hanya membuang jenis air limbah dari WC sebanyak 2 KK atau 5,71 %. Dari sini dapat disimpulkan bahwa kandungan air limbah yang dihasilkan dari rumah tangga adalah campuran dari berbagai kegiatan rumah tangga.
5.1.1.7. Pengetahuan Responden Tentang Adanya IPAL
Responden merupakan subyek yang menggunakan IPAL sebagi sarana sanitasi. Pengetahuan tentang adanya IPAL diperlukan bagi responden untuk menumbuhkan kesadaran tentang pentingnya sarana sanitasi, sehingga responden/warga merasa ikut memiliki sarana yang ada. Dengan demikian warga akan berpartisipasi aktif dalam usaha pengelolaan air buangan dari rumah tangga. Pengetahuan responden tentang adanya
IPAL secara deskriptif dapat dilihat pada gambar 5.7.
74,29 Tahu Tidak Pengetahuan Kosong i Jumlah i%
Dari gambar 5.7 dapat dilihat bahwa sebanyak 28 KK atau 74,29 % responden mengetahui adanya IPAL komunal di daerahnya dan hanya
8 KK yang tidak mengetahui adanya IPAL serta satu KK tidak menjawab. Dengan demikian jelas jika kebanyakan dari responden telah mengetahui
adanya sarana sanitasi berupa IPAL komunal di daerahnya.
5.1.1.8. Pengetahuan Responden Tentang Adanya Masalah dengan IPAL
Data ini diperlukan untuk mengetahui kondisi sarana sanitasi yang ada, baik sistem penyaluran maupun pengolahannya. Data dapat juga digunakan untuk mengetahui berbagai macam permasalahan dalam sarana
sanitasi yang ada, sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk analisis lebih lanjut. Tingkat pengetahuan responden tentang adanya
masalah pada IPAL dapat dilihat pada gambar 5.8.
Ada masalah Tidak ada masalah
Pengetahuan
Tidak tahu
Dari gambar 5.8 dapat diketahui bahwa jawaban dari responden tentang adanya masalah pada IPAL terlihat adanya kesamaan dalam kuantitas antara yang menjawab ada masalah dengan yang menjawab tidak
ada masalah. Setelah dilihat dari jarak responden dengan lokasi IPAL dapat diketahui bahwa kebanyakan yang menjawab tidak ada masalah adalah responden yang berdomisili agak jauh dari lokasi IPAL, sedangkan responden yang dekat dengan IPAL menjawab adanya masalah pada IPAL. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa memang terdapat masalah
pada IPAL komunal di daerah tersebut.
Berdasarkan hasil wawancara dengan salah seorang narasumber, diketahui bahwa permasalahan yang terjadi adalah :
a. Saluran buntu yang disebabkan oleh kurangnya kesadaran dari warga sehingga membuang benda padat ke dalam saluran, selain itu juga karena adanya padatan pasir dan tanah yang menyumbat saluran. b. Manhole atau bak kontrol yang penuh hingga ke permukaan yang
disebabkan karena tidak mengalirnya air dari manhole satu ke manhole
berikutnya. Hal ini disebabkan karena pelaksana proyek kurang
memperhatikan faktor elevasi tanah sehingga kecepatan aliran kurang terpenuhi. Selain itu juga adanya air hujan yang masuk dalam saluran
air limbah
c. Tidak berfungsinya instalasi pengolahan yang berupa UASB (Upflow
Anaerobic Sludge Blanket), yang disebabkan karena adanya rembesan
air. Rembesan ini disebabkan karena konstruksi bangunan yang kurang
baik.
d. Permasalahan pada screen. Screen sering tersumbat sehingga air limbah tidak dapat masuk ke dalam reaktor dan mengakibatkan air
pada manhole meluap.
5.1.1.9. Pengetahuan Responden Tentang Letak Saluran Air Buangan
Pengetahuan tentang letak saluran air limbah diperlukan untuk mengetahui tata letak jaringan pipa air limbah. Pengetahuan masyarakat
selaku responden dapat diketahui dari gambar 5.9.
Tahu, di Tahu, di Tahu, di Tahu Tidak Kosong
tengah pinggir tengah tahu
jalan jalan dan pinggir
jalan
Pengetahuan
Gambar 5.9 Pengetahuan Responden Tentang Letak Saluran Air Buangan Dari data dalam gambar 5.9 dapat diketahui bahwa sebanyak 15 KK mengetahui letak saluran air limbah yaitu berada di tengah jalan kampung. Responden yang mengetahui letak saluran air limbah yang
berada di pinggir jalan sebanyak 7 KK atau 20 %, demikian juga untuk
responden yang mengetahui letak saluran air limbah yang sebagian ada
yang terletak di tengah jalan dan ada juga sebagian yang terletak di pinggir jalan. Ada juga responden yang mengetahui letak saluran dengan
menjawab di dekat rumah sebanyak 1 KK, sedangkan yang tidak mengetahui letak saluran air limbah sebanyak 1 KK atau 2,86 % serta ada
4 KK atau 11,43 % dari responden yang tidak memberikan jawaban.
Dari keterangan data di atas dapat diketahui bahwa letak saluran air
limbah bervariasi, ada yang diletakkan di tengah jalan dan ada juga yang diletakkan di pinggir jalan. Penempatan saluran ini disesuaikan dengan situasi dan kondisi wilayah yang ada, dimana daerah tersebut merupakan
daerah dengan kepadatan penduduk yang tinggi sehingga hampir tidak ada
lahan kosong yang dapat dilalui oleh saluran air limbah kecuali dengan memanfaatkan badan jalan setapak yang ada di daerah tersebut.
5.1.1.10. Keberadaan Bak Penangkap Lemak (BPL) dalam Rumah
Tangga
Adanya bak penangkap dalam rumah tangga sangat berperan untuk mengurahi potensi penyumbatan pada saluran air limbah. Lemak yang
dihasilkan dari sisa makanan dan kegiatan dapur dalam suhu dingin akan
membeku sehingga akan menjadi padatan yang dapat menyumbat saluran
air limbah. Ada tidaknya bak penangkap lemak dalam rumah tangga dapat
60 51,43 50 * 30 E - > 20 34,29 ^H • Jumlah • %
•
18 ^H12 ^H
i '' ^^^^B 14,29 10 i » ' - ^5 ^H
0 "-.V^^^fli^^H
' Ada Tidak Keberadaan BPL Tidak TahuGambar 5.10 Keberadaan Bak Penangkap Lemak (BPL) dalam Rumah Tangga
Dari gambar 5.10 terlihat bahwa sebanyak 12 KK atau 34,29 %
responden telah mempunyai bak penangkap lemak, sedangkan sebanyak
18 KK atau 51,43 % responden tidak memiliki bak penangkap lemak serta 5 KK atau 14,29 % tidak mengetahui adanya bak penangkap lemak di
dalam rumah tangganya.
Dari uraian di atas diketahui bahwa belum semua responden
mempunyai bak penangkap lemak di dalam rumah tangganya. Hal ini
merupakan salah satu penyebab timbulnya potensi penyumbatan yang
diakibatkan oleh pembekuan lemak dalam saluran air limbah.
5.1.2. Data Primer (Sampel Air Limbah)
Sampel air limbah diambil dari dua titik lokasi sampling yaitu inlet dan
outlet bangunan pengolahan air limbah domestik di wilayah Wirogunan RW 16
Mergangsan Jogjakarta. Sampel air limbah dianalisis di laboratorium kualitas air
teknik lingkungan UII sesuai dengan SNI M-70-1990-03 untuk parameter COD,
SNI 06-6989.3-2004 untuk parameter TSS dan SNI M - 48 - 1990 - 03 untuk
parameter amonium.
Dari analisa laboratorium diperoleh data konsentrasi tiap parameter
dengan merata-ratakan dua data yang terdekat. Hasil perhitungan rata-rata dapat
dilihat pada tabel 5.1.
Tabel 5.1. Hasil Pengujian Air Limbah
JAM
KONSENTRASI
COD TSS Amonium
INLET OUTLET INLET OUTLET INLET OUTLET 06.00 507,3152 251,0482 312 534 3,9580 5,1520 07.00 208,2662 225,6898 274 380 2,8860 3,0930 08.00 154,8646 268,7990 254 149 1,7100 2,0080 09.00 69,4221 365,1610 121 115 3,9430 3,9410 10.00 112,1384 316,9800 223 209 0,8870 3,2000 11.00 579,4074 263,7274 421 285 2,7710 2,1860 12.00 483,2845 278,9424 160 476 3,5730 2,3070 13.00 624,7987 348,5559 334 272 7,6690 5,3030 14.00 582,0774 374,8602 101 178 5,7770 6,8640 15.00 294,1574 245,2994 266 297 4,8510 6,4600 16.00 281,4782 301,9008 582 194 4,2510 6,4320 17.00 177,5088 314,4800 587 655 3,4040 3,7310 Rata-rata 339,5599 296,2870 303 312 3,8067 4,2231
Sumber: data primer
Berdasarkan tabel di atas, perbedaan tingkat konsentrasi pencemar dapat
dengan jelas dilihat pada gambar 5.11 untuk parameter COD, gambar 5.12 untuk
o <n c o 700,0000 600,0000 500,0000 400,0000 300,0000 200,0000 100,0000 0,0000 <$>• <£* #• <#* N* NK vV # # <$> , # .<$> „<$>♦ ' N*? <T Waktu
-♦—Konsentrasi COD Inlet Konsentrasi COD Outlet
Gambar 5.11 Perbandingan Konsentrasi Inlet dan Outlet COD
# # # # # # # # <$ rf> <£ #
c£*
<$• <^>*
<#•
»$>•
nv
<y
v>
nv
&
&
>$
Waktu
-♦—Konsentrasi TSS Inlet Konsentrasi TSS Outlet
9,0000 -, 8,0000 _ 7, €9 D,
1 5,
3 4, § 3, * 2, 0000 0000 0000 0000 0000 0000 0000 0000#
<£' <§>'
<P* »$>'
NN"
NV #'
N*"
** ^
^
<£> Waktu-♦—Konsentrasi Amonium Inlet - Konsentrasi Amonium Outlet
Gambar 5.13 Perbandingan Konsentrasi Inlet dan Outlet Amonium
5.2. Pembahasan
5.2.1. Sistem Pengaliran
Berdasarkan analisa data kuisioner, observasi dan wawancara, diketahui
bahwa air limbah yang berasal dari sumbemya (aktivitas rumah tangga) dialirkan
secara gravitasi dengan menggunakan pipa PVC berukuran 150 mm melewati
beberapa bak kontrol. Untuk mengalirkan air limbah dari sumbemya digunakan
beberapa komponen diantaranya:
a. Sambungan rumah
b. Bak kontrol
c. Jaringan pipa
d. Instalasi pengolahan air limbah
Keberadaan dan kondisi dari masing-masing komponen akan dijelaskan sebagai
a. Sambungan rumah
Seluruh air limbah dari masing-masing mmah tangga dikumpulkan ke
jaringan pipa melalui bak kontrol yang berfungsi sebagai sarana pemeliharaan
dan juga berfungsi sebagai bak penangkap lemak. Untuk pemasangan yang
bam, tiap mmah tangga tidak menggunakan bak kontrol, akan tetapi air
limbah dari sumbemya langsung dialirkan menuju pipa pengangkut melalui
bak kontrol. Bak kontrol di sisi bukan bak kontrol untuk tiap rumah, tetapi
adalah bak kontrol pada pipa pengangkut. Pipa yang digunakan sebagai
sambungan mmah adalah pipa PVC dengan diameter 100 mm. Dalam sistem
ini tidak terdapat pipa ventilasi. Salah satu contoh bak kontrol pada
sambungan mmah dapat dilihat pada gambar 5.14.
Sumber: dokumen pribadi Gambar 5.14 Bak Kontrol pada Sambungan Rumah
b. Bak kontrol
Berdasarkan hasil obervasi yang dilakukan diketahui bahwa bak kontrol
dipasang secara teratur di sepanjang saluran. Rata-rata pemasangan bak
kontrol berada pada jarak ± 8,5 m untuk yang berada di jalan kampung dan
tiga buah bak kontrol yang dipasang pada jarak 25 m dan 33,4 m. Bak kontrol yang dipasang digunakan sebagai peralatan pemeliharaan saluran. Bak kontrol
di sini juga berfungsi sebagai penggabungan dari beberapa pipa yang akan
masuk dalam pipa berikutnya. Kedalaman bak kontrol yang ada cukup bervariasi sesuai dengan kondisi yang diperlukan. Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa kedalaman bak kontrol adalah 0,6 m (satu buah
buis beton) dengan diameter 0,8 m dan ada juga yang menggunakan dua buah buis beton. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 5.15.
jm&^m^
Si*-* "i
Sumber: dokumen pribadi
Gambar 5.15 Bak Kontrol
c. Jaringan pipa
Jaringan pipa yang digunakan adalah pipa PVC dengan diameter 150 mm
yang dipasang pada kedalaman antara 0,4 m - 1 m sesuai dengan kondisi
lahan yang ada. Hal ini dilakukan untuk menghindari kemsakan yang
mungkin terjadi. Untuk jaringan pipa pada jalan setapak dipasang pada kedalaman 0,4 m karena di lokasi terssebut tidak terlalu banyak gangguan seperti lalu lintas yang padat.
Berdasarkan hasil analisa kuisioner dan observasi di lapangan, diketahui
bahwa penempatan jaringan pipa sudah disesuaikan dengan kondisi/tata letak pemukiman. Jaringan pipa untuk pemukiman padat dimana lahan yang ada
hanyalah jalan setapak, maka jaringan pipa diletakkan di tengah jalan
sekaligus manholenya (gambar 5.16).
Sumber: dokumen pribadi
Gambar 5.16 Lokasi Penempatan Pipa dan Manhole
Sedangkan pada jalan kampung, jaringan pipa diletakkan di pinggir jalan untuk menghindari gangguan lalu lintas yang relatif padat. Permasalahan berat yang dihadapi mengenai jaringan pipa belum ada, hanya saja jika musim hujan tiba manhole akan meluap, hal ini mungkin terjadi karena adanya kebocoran
pada manhole, sehingga air hujan yang mengalir di jalan akan masuk melalui
sela-sela penutup manhole dan menyebabkan manhole meluap.
d. Instalasi pengolahan air limbah
Sistem yang didesain di lokasi penelitian pada awalnya bertujuan untuk
mengalirkan air limbah langsung menuju bangunan instalasi pengolahan air
Sludge Blanket) yang dibangun di tengah-tengah jalan kampung. Akan tetapi
untuk kondisi sekarang reaktor UASB sudah tidak berfungsi. Keadaan seperti ini memunculkan inisiatif bagi warga untuk membuat saluran by pass untuk mengalirkan air limbah dari sumbemya langsung menuju badan air (Sungai Code). Kondisi sekarang yang ada adalah saluran air limbah yang semula
berada di sebelah timur saluran irigasi dipindah di sebelah barat saluran
irigasi. Air limbah yang mengalir dalam saluran ini tidak melewati reaktor UASB tetapi dialirkan secara langsung menuju badan air (sungai Code)
sehingga air limbah tidak mengalami pengolahan. Tidak berfungsinya reaktor
UASB disebabkan karena:
d.l. Saluran buntu yang disebabkan oleh kurangnya kesadaran dari warga
sehingga membuang benda padat ke dalam saluran, selain itu juga
karena adanya padatan pasir dan tanah yang menyumbat saluran.
d.2. Manhole atau bak kontrol yang penuh air hingga ke permukaan yang disebabkan karena tidak mengalimya air dari manhole satu ke manhole
berikutnya. Hal ini disebabkan karena pelaksana proyek kurang
memperhatikan faktor elevasi tanah sehingga kecepatan aliran kurang
terpenuhi. Selain itu juga adanya air hujan yang masuk dalam saluran air
limbah
d.3. Tidak berfungsinya instalasi pengolahan yang bempa UASB (Upflow Anaerobic Sludge Blanket), yang disebabkan karena adanya rembesan
air. Rembesan ini disebabkan karena konstruksi bangunan yang kurang
baik.
d.4. Permasalahan pada screen. Screen sering tersumbat sehingga air limbah tidak dapat masuk ke dalam reaktor dan mengakibatkan air pada
manhole meluap.
d.5. Terjadi endapan pada dasar reaktor, sehingga endapan ini lama kelamaan akan semakin tinggi dan menyumbat pipa inlet yang ada di dasar reaktor.
Permasalahan yang terjadi pada reaktor tidak mutlak disebabkan oleh warga,
karena ada faktor teknis pelaksanaan proyek yang kurang baik sehingga terjadi lengkungan saluran yang menyebabkan air tidak mengalir. Permasalahan lain karena teknis pelaksanaan proyek yaitu kualitas beton yang kurang baik pada
manhole UASB sehingga menyebabkan kebocoran pada manhole. Keadaan
sekarang yang ada menhole pada UASB penuh air sehingga petugas
pengontrol tidak dapat masuk ke dalam manhole. Selain itu, reaktor telah penuh dengan endapan lumpur yang mengakibatkan reaktor tidak berfungsi.
Adanya endapan ini disebabkan karena kurang mtinnya pemeliharaan yang dilakukan oleh warga. Untuk penyedotan lumpur menurut keterangan dari YUDP hams dilakukan setiap 6 bulan sekali, akan tetapi karena faktor fmansial penyedotan tidak dilakukan. Selain itu juga karena kurangnya pengetahuan dan kesadaran warga sehingga warga membuang benda padat ke dalam saluran yang menyebabkan saluran tersumbat. Adapun mengenai kondisi UASB sekarang ini dapat dilihat pada gambar 5.17, 5.18, 5.19 dan
Sumber: dokumen pribadi
Gambar 5.17 Kondisi Screen
Gambar 5.18 Bak Pembagi
Sumber: dokumen pribadi
Gambar 5.19 Saluran Outlet
Sumber: dokumen pribadi
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa sistem pengaliran yang
digunakan lebih cendemng menggunakan shallow sewer. Sistem ini digunakan
pada daerah dimana sistem on site tidak dapat diterapkan. Shallow sewer
biasanya paling ekonomis dari selumh pembuangan air limbah secara offsite
sehingga sistem ini sangat tepat jika diterapkan di wilayah penelitian.
5.2.2. Konsentrasi COD
COD (Chemical Oxygen Demand) adalah jumlah oksigen yang diperlukan
untuk mengoksidasi bahan organik dalam air secara kimia. Berdasarkan hasil
analisa pada tabel 5.1 dan gambar 5.11 dapat diketahui secara jelas bahwa terjadi
fluktuasi konsentrasi COD untuk tiap-tiap jam. Meskipun terjadi fluktuasi, tapi
berdasarkan pada uji Anova satu jalur dapat diketahui bahwa tidak ada perbedaan
yang signifikan antara kadar rata-rata COD inlet dengan kadar rata-rata COD
outlet.
Kenaikan konsentrasi COD terjadi pada jam 07.00, 08.00, 09.00, 10.00,
16.00 dan 17.00, sedangkan untuk penurunan konsentrasi COD terjadi pada jam
06.00, 11.00, 12.00, 13.00, 14.00 dan 15.00.
Berdasarkan pada tabel 5.2, kenaikan konsentrasi COD terbesar terjadi
pada jam 09.00 dengan kenaikan sebesar 295,7389 mg/1. Sedangkan penumnan
konsentrasi COD terbesar terjadi pada jam 11.00 sebesar 315,6800 mg/1. Jika
semua data untuk inlet dan outlet dirata-ratakan, maka diperoleh konsentrasi inlet
sebesar 339,5599 mg/1 dan outlet sebesar 296,287 mg/1, sehingga secara rata-rata
diperoleh penumnan konsentrasi COD sebesar 43,2729 mg/1 atau 12,74 %.
Tabel 5.2 Penurunan Kadar COD Waktu Penurunan Kadar COD 06.00 256,2670 07.00 -17,4236 08.00 -113,9344 09.00 -295,7389 10.00 -204,8416 11.00 315,6800 12.00 204,3412 13.00 276,2428 14.00 207,2172 15.00 48,8580 16.00 -20,4226 17.00 -136,9712
Keterangan : + Terjadi penurunan kadar COD
- Terjadi kenaikan kadar COD
Fluktuasi konsentrasi COD yang signifikan terjadi padainlet dengan kadar
terendah 69,4221 mg/1 pada jam 09.00 dan kadar terbesar 624,7987 mg/1 pada jam
13.00. Akan tetapi meskipun terjadi fluktuasi pada inlet, kadar COD pada outlet
cukup stabil yaitu berkisar antara 200 - 400 mg/1. Hal ini terjadi karena adanya
pencampuran antara berbagai jenis air limbah yang masuk dalam saluran sehingga
dalam perjalanannya hingga sampai di outlet terjadi proses stabilisasi untuk
membuat campuran air limbahmenjadi homogen.
Kenaikan kadar COD terjadi karena tidak adanya pengolahan air limbah,
sehingga reaksi reduksi atau oksidasi hanya terjadi pada saluran air limbah saja.
Tidak adanya pengolahan disebabkan karena tidak berfungsinya reaktor UASB
menuju badan air atau dalam hal ini adalah Sungai Code. Kenaikan kadar COD ini
juga terjadi karena adanya berbagai macam buangan mmah tangga yang dapat
menimbulkan gangguan terhadap mikroorganisme pada manhole dan saluran air
buangan, sehingga pendegradasian oleh mikroorganisme tidak terjadi karena
proses yang terjadi dalam saluran air buangan sendiri terdapat beberapa fase
reaksi yaitu aerobik, anaerobik dan anoksik (Hari, 2005). Dilihat dari faktor
lingkungan yang selalu berubah-ubah, ketiga fase tersebut dapat terjadi kapan saja
sesuai dengan kondisi lingkungan yang sesuai. Selain itu, tidak terjadinya proses
oksidasi disebabkan karena kondisi limbahnya dalam keadaan relatif basa sebab
menurut Mara (1976) COD dapat mengoksidasikan semua zat organis menjadi
C02 dan H20 hampir sebesar 85 % pada suasana asam. Kenaikan kadar COD ini
akan mengakibatkan berkurangnya kadar oksigen terlarut sehingga proses
oksidasi oleh mikroorganisme juga terganggu. Selain mengganggu kinerja
mikroorganisme, kadar COD yang tinggi akan mengganggu kehidupan biota air.
Dilihat dari tabel 5.2 dapat diketahui terjadinya penumnan kadar COD,
walaupun tidak terlalu signifikan. Rata-rata penumnan kadar COD antara inlet dan
outlet sebesar 43,2729 mg/1 atau 12,74 %. Walaupun reaktor UASB tidak
berfungsi, penurunan dapat terjadi karena adanya jarak antara inlet dan outlet
yaitu sepanjang 120,3 meter, sehingga waktu kontak antara limbah dengan
mikroorganisme dalam saluran lebih lama. Dengan demikian penguraian bahan
organik yang terkandung dalam air secara biologi oleh mikroorganisme dapat
berlangsung secara alamiah. Selain itu, penurunan kadar COD terjadi karena
adanya manhole-manhole diantara saluran air limbah antara inlet dan outlet yang
berjumlah 8 buah (gambar 5.21). Dalam manhole ini terjadi proses aerasi yaitu
penambahan kandungan oksigen yang terlamt dalam air sehingga oksigen terlamt
akan dimanfaatkan oleh mikroorganisme aerobik untuk mengoksidasi
bahan-bahan organik yang terdapat pada air limbah. Kenaikan dan penumnan kadar
COD juga sangat dipengaruhi oleh variasi aktivitas rumah tangga.
Inlet
O
11,5 m s-^. 8,7 m /-*. 14,8 m ^-^ 8,7 m ^o — o ^ ^ - o — c
x3L
8,2 m8m \-J
2 m 25 m 33,4 m •^\J4
U(
L
J
•
:IPAL Outlet o : manholeGambar 5.21 Jarak Inlet - Outlet
5.2.3. Konsentrasi TSS
TSS (Total Suspended Solid) adalah padatanyang melayang-layang dalam
air dan tidak dapat mengendap secara alamiah. Berdasarkan hasil analisa pada
tabel 5.1 dan gambar 5.12 dapat diketahui bahwa terjadi fluktuasi konsentrasi TSS untuk tiap-tiap jam meskipun tidak terlalu signifikan. Kenaikan konsentrasi TSS terjadi pada jam 06.00, 07.00, 12.00, 14.00, 15.00 dan 17.00, sedangkan untuk
penumnan konsentrasi TSS terjadi pada jam 08.00, 09.00, 10.00, 11.00, 13.00 dan
Hasil uji Anova menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan
antara rata-rata inlet dan rata-rata outlet. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
hampir tidak ada perubahan yang berarti antara inlet dan outlet untuk konsentrasi
TSS.
Tabel 5.3 Penurunan Kadar TSS
Waktu Penurunan Kadar TSS 06.00 -222 07.00 -106 08.00 105 09.00 6 10.00 14 11.00 136 12.00 -316 13.00 62 14.00 -77 15.00 -31 16.00 388 17.00 -68
Keterangan : + Terjadi penurunan kadar TSS - Terjadi kenaikan kadar TSS
Berdasarkan pada tabel 5.3, dapat dilihat adanya kenaikan dan penurunan
kadar TSS. Kenaikan konsentrasi TSS terbesar terjadi pada jam 12.00 dengan
kenaikan sebesar 316 mg/1. Sedangkan penumnan konsentrasi TSS terbesar terjadi
pada jam 16.00 sebesar 388 mg/1. Jika semua data untuk inlet dan outlet
dirata-ratakan, maka diperoleh konsentrasi inlet sebesar 303 mg/1 dan outlet sebesar 312
mg/1, sehingga secara rata-rata tidak terjadi penumnan konsentrasi TSS, akan
tetapi terjadi kenaikan kadar TSS sebesar 9 mg/1 atau 3 %.
Kenaikan kadar TSS yang tidak teratur dalam air limbah terjadi karena
reaktor UASB yang ada di lokasi penelitian tidak berfungsi, sehingga air limbah
rumah tangga dialirkan melewati pipa air buangan dengan melalui 8 buah
manhole hingga sampai ke badan air (Sungai Code). Keadaan seperti ini sangat
tidak memungkinkan bagi partikel/padatan dalam air limbah untuk mengendap
karena kecepatan horisontal lebih besar daripada kecepatan mengendap secara
vertikal. Sedangkan untuk penumnan kadar TSS dapat terjadi pada saat partikel
berada dalam manhole sehingga walaupun tidak terlalu lama, terdapat waktu bagi
partikel untuk mengendap karena pengamh gaya berat.
TSS (Total Suspended Solid) adalah zat padat tersuspensi yang
menyebabkan kekemhan pada air. Zat padat tersuspensi dapat diklasifikasikan
menjadi zat padat tersuspensi organis dan inorganis. Zat padat tersuspensi sendiri
dapat diklasifikasikan sekali lagi menjadi zat padat terapung yang selalu bersifat
organis dan zat padat terendap yang dapat bersifat organis dan inorganis. Zat
padat terendap adalah zat padat dalam suspensi yang dalam keadaan tenang dapat
mengendap setelah waktu tertentu karena pengamh gaya beratnya. Zat padat
tersuspensi yang bersifat inorganis contohnya tanah liat, kwarts dan yang organis contohnya protein, sisa makanan, ganggang, bakteri. Air limbah mmah tangga banyak mengandung sisa makanan sehingga tergolong dalam sifat organis. Padatan tersuspensi dapat mengurangi penetrasi sinar cahaya kedalam air. Padahal sinar matahari sangat diperlukan oleh mikroorganisme untuk melakukan proses fotosintasis. Karena tidak ada sinar matahari yang masuk, maka proses
fotosintesis tidak dapat berlangsung. Akibatnya kehidupan mikroorganisme
menjadi terganggu dan mempengamhi regenerasi oksigen secara fotosintesis.
5.2.4. Konsentrasi Amonium
Keberadaan Nitrogen, seperti halnya amonium (NH/) mempakan
parameter yang penting untuk mencermati kualitas air limbah. Amoniak dapat
larut dengan cepat di air. Gas amoniak bereaksi dengan air membenruk amonium
hidroksida dengan melepaskan panas yang tinggi. Perubahan amoniak menjadi
amonium dan ion hidroksida berlangsung dengan cepat dan cendemng menaikkan
pH lamtan (limbah).
Berdasarkan hasil analisa pada tabel 5.1 dan gambar 5.13 dapat diketahui
bahwa terjadi kenaikan dan penurunan konsentrasi Amonium untuk
masing-masing waktu. Kenaikan konsentrasi Amonium terjadi pada jam 06.00, 07.00,
08.00, 10.00, 14.00, 15.00, 16.00 dan 17.00, sedangkan untuk penumnan
konsentrasi TSS terjadi pada jam 09.00, 11.00, 12.00 dan 13.00. Kenaikan dan
penurunan kadar Amonium dapat dilihat pada tabel 5.4.
Dari hasil uji Anova dapat diketahui bahwa konsentrasi rata-rata inlet dan
outlet untuk parameter Amonium tidak menunjukkan adanya perubahan yang
signifikan.
Berdasarkan tabel 5.4 kenaikan kadar Amonium maksimum adalah sebesar
2,3130 mg/1 pada jam 10.00 dan penurunan maksimum sebesar 2,3660 mg/1 pada
jam 13.00. Jika semua data untuk inlet dan outlet dirata-ratakan, maka diperoleh
secara rata-rata terjadi kenaikan konsentrasi Amonium sebesar 0,4164 mg/1 atau
9,86 %.
Tabel 5.4 Penurunan Kadar Amonium
Waktu Penurunan Kadar Amonium 06.00 -1,1940 07.00 -0,2070 08.00 -0,2980 09.00 0,0020 10.00 -2,3130 11.00 0,5850 12.00 1,2660 13.00 2,3660 14.00 -1,0870 15.00 -1,6090 16.00 -2,1810 17.00 -0,3270
Keterangan : + Terjadi penurunan kadar Amonium
- Terjadi kenaikan kadar Amonium
Kenaikan kadar Amonium disebabkan karena gas amoniak (NH3) yang berasal dari urin, tinja dan proses oksidasi zat organik secara mikrobiologis mengalami keterlamtan dalam air sehingga gas amoniak bereaksi dengan air membentuk amonium hidroksida dengan melepaskan panas. Perubahan amoniak menjadi amonium dan ion hidroksida berlangsung dengan cepat dan cenderung menaikkan pH air limbah. Proses ini dapat ditunjukkan dengan persamaan 5.1.
Sedangkan penurunan kadar Amonium dapat terjadi karena adanya oksigen dalam
air. Dengan adanya oksigen dalam air, maka amonium (NH/) akan bereaksi
dengan oksigen (02) membentuk nitrit (N02). Proses ini sesuai dengan reaksi
pada persamaan 5.2.
NH/ + 202
«
»
N02 + 2H20
(persamaan 5.2)
Dalam hal ini oksigen yang digunakan untuk oksidasi berasal dari proses aerasi
yang terjadi pada saluran dan manhole. Air limbah yang masuk ke dalam manhole
mengalir seperti terjunan sehingga air limbah akan mengalami kontak dengan
udara sehingga proses ini akan meningkatkan kadar oksigen terlamt dalam air
yang akhimya akan bereaksi dengan amonium hingga terbentuk nitrat. Dengan
terbentuknya nitrat, maka kandungan amonium akan menurun dengan sendirinya.
Amoniak dalam air permukaan berasal dari air seni (urine), tinja (feces)
dan juga dari oksidasi zat organis (HaObCcNd) secara mikrobiologis yang berasal
dari alam atau air buangan penduduk (Alaerts, 1984). Sesuai reaksi sebagai
berikut:
5.2.5. Perbandingan Konsentrasi COD, TSS, Amonium dengan Standar
Baku Mutu
Berdasarkan Keputusan KepMenLH 112/2003 tentang pedoman penetapan Baku Mutu Limbah Domestik, baku mutu air limbah domestik dalam keputusan ini hanya berlaku untuk perumahan yang diolah secara individu. untuk parameter BOD batas maksimum yang diperbolehkan tidak boleh dari 100 mg/L, sedangkan perbandingan antara BOD/COD adalah 0,4-0,6 (Metode Penelitian Air) maka untuk parameter COD batas maksimum yang diperbolehkan tidak boleh lebih dari 200 mg/1 (BOD/COD=0,5) dan batas maksimum pH yang diperbolehkan berkisar antara 6-9, untuk parameter TSS batas maksimum yang diperbolehkan tidak boleh lebih dari 100 mg/L. Berdasarkan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa
Yogyakarta Nomor 214/KPTS/1991 tentang Baku Mutu Limbah Cair, untuk
parameter amonium batas maksimum yang diperbolehkan adalah 1 mg/L.
Hasil pengukuran rata-rata kadar COD sebesar 296,2870 mg/L (tabel 5.1) dengan efisiensi penurunan sebesar 12,74 %. Dengan mengacu pada baku mutu air limbah domestik sesuai KepMenLH 112/2003 maka untuk kadar COD dalam
air limbah tersebut belum memenuhi standar yang diperbolehkan untuk dapat
dibuang ke sungai. Adanya indikasi kenaikan kadar COD di outlet pada jam-jam tertentu dikarenakan lebih banyak senyawa-senyawa dalam air buangan domestik yang dapat dioksidasi secara kimia dari pada biologis. Untuk lebih jelasnya perbandingan mengenai tingkat konsentrasi COD pada masing-masing waktu dengan standar baku mutu dapat dilihat pada gambar 5.22.
Berdasarkan hasil analisa di laboratorium didapatkan rata-rata kadar TSS dalam
air limbah domestik sebesar 312 mg/L (tabel 5.1) dengan efisiensi penumnan
sebesar -3 %, dengan demikian kadar TSS yang dihasilkan masih melebihi
baku mutu sehingga belum layak untuk dibuang langsung ke sungai. Untuk lebih
jelasnya perbandingan mengenai tingkat konsentrasi TSS pada masing-masing
waktu dengan standar baku mutu dapat dilihat pada gambar 5.23.
700,0000 600,0000 'I 500,0000
I 400,0000
8 300,0000I 200,0000
100,0000 0,0000(#$<$><$> ^ \N <v <v >&• &• &• <y
Waktu
-♦—Kons. COD Inlet • Kons. COD Outlet Baku Mutu COD
Gambar 5.22
Perbandingan Konsentrasi COD terhadap StandarBaku Mutu COD
700 600 500 400 300 200 100 0
<b^ V^ «? o^ c^ ^
o^ ^
J$> «# «# A<$>
? ^ (f i? ^ nv * ^' N*- kJ3- &• <y-+— Kons. TSS Inlet Kons. TSS Outlet Baku Mutu TSS
Gambar 5.23
Dari hasil pengukuran laboratorium didapatkan rata-rata kadar Amonium
sebesar 4,2231 mg/L (tabel 5.1) dengan tingkat efisiensi penumnan sebesar
-9,86 %. Dengan demikian untuk kadar Amonium yang dihasilkan belum
memenuhi standar baku mutu sehingga belum layak untuk dibuang langsung ke
sungai. Untuk lebih jelasnya perbandingan mengenai tingkat konsentrasi
Amonium pada masing-masing waktu dengan standar baku mutu dapat dilihat
pada gambar 5.24. 9,0000 8,0000 7,0000 6,0000 5,0000 4,0000 3,0000 2,0000 1,0000 0,0000 06.00 07.00 08.00 09.00 10.00 11.00 12.00 13.00 14.00 15.00 16.00 17.00
- Kons. Amonium Inlet -*- Kons. Amonium Outlet BakuMutu Amonium
Gambar 5.24
Perbandingan Konsentrasi Amonium terhadap Standar Baku Mutu Amonium
5.2.6. Kemungkinan Penggabungan Antara Sistem komunal dengan Sewer
Kota
Sesuai dengan rumusan masalah pada bab I maka akan dibahas mengenai
kemungkinan penggabungan antara sistem komunal dengan sistem sewer kota
Jogjakarta. Pada dasamya secara teknis penggabungan antara sistem komunal
dengan sewer kota dapat dilakukan, akan tetapi untuk pelaksanaannya diperlukan
berbagai macam pertimbangan. Pertimbangan yang utama adalah masalah
ekonomi, kondisi lahan dan topografi.
Dengan melihat keadaan yang ada pada lokasi penelitian, lokasi reaktor
berada pada elevasi -6,307 m(data sekunder) dan saluran sewer kota berada di
jalan Tamansiswa dengan elevasi -0,901 m(data sekunder). Dengan demikian
untuk penggabungan diperlukan berbagai komponen, diantaranya jaringan pipa
dan stasiun pompa. Jaringan pipa diperlukan untuk mengangkut air limbah dari
outlet air buangan menuju sewer kota yang terdekat yaitu di jalan Tamansiswa.
Sedangkan stasiun pompa digunakan untuk menaikkan air limbah dari outlet
saluran dengan elevasi -6,307 menuju sewer kota dengan elevasi -0,901. Dengan
adanya komponen ini maka secara otomatis akan berpengamh terhadap
perekonomian masyarakat. Sedangkan untuk penempatan jaringan pipa diperlukan
tempat untuk menempatkan jalur pipa, padahal area yang ada adalah jalan
kampung yang telah dilalui pipa air limbah dan saluran drainase menuju ke
sungai, sehingga pipa untuk menaikkan air limbah dari bawah tidak mendapatkan
tempat. Dari keterangan di ata maka penggabungan antara sistem komunal dengan
sewer kota sangat sulit untuk dilakukan mengingat berbagai pertimbangan yang
ada.
Dengan adanya data elevasi dan jarak antara outlet saluran sampai dengan
pipa sewer kota terdekat (Jalan Tamansiswa), diameter pipa dan debit aliran, maka
head (H) pompa dapat diketahui. Dari perhitungan pada lampiran 6 diperoleh
Untuk lebih jelasnya mengenai jarak dan elevasi pipa penggabungan dapat dilihat
pada gambar 5.25. -a - 3 - 4 - 5 - 6 -7ELEVASI MUKA TANAH <n> JARAK <n)
1
-0,901
53,10
-0,884 -8,]?5 -3,572 4,044-4,758-6,307
I 33,50 [ 85,40 |i5,OUB,qq| 18,Cio' |lO,9o'|glia7^
Jalur Pipo Penggabungan
[ ) J Ponpa I w ! IPAL