• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsensus POP - Edit

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Konsensus POP - Edit"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Panduan

Penatalaksanaan Prolaps

Organ Panggul

Editor:

Prof. dr. Junizaf, SpOG(K)

Dr.dr Budi Iman Santoso, SpOG(K)

(3)

Panduan

Penatalaksanaan Prolaps Organ Panggul

@2013 Himpunan Uroginekologi – POGI vii + 23 halaman

14,8 x 21 cm ISBN No.

1. Hak Cipta dipegang oleh para penyusun dan dilindungi oleh undang-undang 2. Dilarang memperbanyak, mencetak dan menerbitkan sebagian ataupun seluruh isi

(4)

 

DAFTAR ISI

 

KATA PENGANTAR KETUA PB HUGI ... v

Pendahuluan ... 1

Epidemiologi ... 1

Etiologi dan Faktor Risiko ... 2

Diagnosis ... 3

a. Anamnesis ... 3

c. Pemeriksaan Penunjang ... 4

d. Klasifikasi ... 5

Penatalaksanaan ... 7

a. Konservatif ... 7

b. Operatif ... 10

Ringkasan Rekomendasi dan Kesimpulan ... 17

Daftar Pustaka ... 19

 

(5)
(6)

Pendahuluan

Prolaps organ panggul (POP) adalah turun atau menonjolnya dinding vagina ke dalam liang vagina atau keluar introitus vagina yang diikuti oleh organ-organ pelvik (uterus, kandung kemih, usus atau rektum).1

Menurut Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia tahun 2007 (SDKI 2007), usia harapan hidup wanita di dunia dan Indonesia pada khususnya terus meningkat. Untuk itu, diperlukan adanya usaha untuk menjaga kualitas hidup wanita yang dapat menurun akibat morbiditas jangka panjang yang disebabkan oleh persalinan. Selain menyebabkan ketidaknyamanan, POP juga memberikan dampak negatif pada fungsi seksual, penampilan, dan kualitas hidup. Karena alasan kualitas hidup, operasi POP menjadi salah satu indikasi yang sering untuk operasi ginekologi.1,2Namun penatalaksanaan

konservatif dan perubahan gaya hidup tetap memiliki peran pada penatalaksanaan POP derajat ringan, pasien yang masih ingin memiliki anak, atau yang tidak menginginkan operasi.3 Selain pengobatan, upaya pencegahan melalui pemahaman berbasis bukti terhadap faktor risiko terjadinya POP juga perlu diprioritaskan. Untuk itu, diperlukan suatu panduan formal dalam bentuk konsensus dengan tujuan untuk memberikan pelayanan komprehensif berdasarkan bukti ilmiah yang ada yang didukung oleh kesepakatan bersama untuk meningkatkan kualitas layanan penanganan POP4.

Epidemiologi

POP terjadi pada hampir setengah dari seluruh wanita. Walaupun hampir setengah dari wanita yang pernah melahirkan ditemukan memiliki POP melalui pemeriksaan fisik, namun hanya 5-20% yang simtomatik. 1,5-7. Prevalensi POP meningkat sekitar 40% tiap penambahan 1 dekade usia seorang wanita.8 Derajat POP yang berat ditemukan pada wanita dengan usia

yang lebih tua, yaitu, 28%-32,3% derajat 1, 35%-65,5% derajat 2, dan 2-6% derajat 3.8

Saat ini, sebanyak 11-19% wanita di negara maju menjalani operasi POP5, dan usia rata-rata wanita yang menjalani operasi POP adalah 60 tahun.9 Di

Amerika Serikat sebanyak 200.000 operasi POP dilakukan per tahun dengan angka rekurensi yang membutuhkan operasi ulang mencapai 30%. 10

(7)

Etiologi dan Faktor Risiko

Etiologi POP bersifat multi-faktorial. Faktor risiko yang telah diteliti antara lain adalah kehamilan, persalinan per vaginam, menopause, defisiensi estrogen, peningkatan tekanan intra abdomen jangka waktu panjang (konstipasi, mengangkat barang-barang berat, penyakit paru obstruktif kronik, mengedan), ras, indeks massa tubuh (IMT)8,11,12, faktor genetik13,14, faktor anatomi15, biokimiawi dan metabolisme jaringan penunjang,16 dan riwayat pembedahan (histerektomi dan kolposuspensi Burch).10

Persalinan per vaginam diduga sebagai penyebab utama POP, melalui mekanisme kerusakan otot levator ani, nervus pudenda, dan fasia penyokong organ panggul17. Risiko POP meningkat 1,2 kali pada setiap penambahan jumlah persalinan per vaginam. Risiko relatif terjadinya prolaps berdasarkan jumlah persalinan terdapat pada tabel 1.

Tabel 1. Risiko relatif terjadinya prolaps berdasarkan jumlah persalinan8 Jumlah Persalinan Risiko Relatof (RR) Interval Kepercayaan

95% (IK 95%)

1 2,48 0,69 - 9,38

2 4,58 1,64 -13,77

3 8,4 2,84 - 26,44

4 11,75 3,84 - 38,48

POP terjadi pada 20-40% kehamilan, dan semakin berat dengan meningkatnya gravida, paritas, jumlah persalinan per vaginam dan dengan adanya kala II memanjang, persalinan dengan bantuan forsep dan berat bayi lahir per vaginam lebih dari 4000 gram.8

Pada wanita yang telah menjalani histerektomi, prolaps puncak vagina lebih sering terjadi secara signifikan terutama pada wanita yang memiliki riwayat persalinan per vaginam yang banyak, persalinan lama, kerja fisik yang berat, penyakit neurologis, histerektomi sebelumnya karena indikasi POP, dan riwayat keluarga yang memiliki POP.18

(8)

Diagnosis

a. Anamnesis

Gejala yang ditimbulkan oleh POP terdiri atas gejala vagina, berkemih, buang air besar (BAB), dan seksual. (lihat tabel 2)

Tabel 2. Gejala prolaps1,7,19

Gejala sesuai kompartemen Gejala Gejala Vagina (semua

kompartemen)

Terasa benjolan

Rasa tertarik di perineum Tekanan pada panggul Rasa tidak nyaman

Duh tubuh atau keluar darah dari ulkus dekubitus

Gejala Berkemih (kompartemen anterior)

Sulit memulai berkemih Berkemih tidak lampias Inkontinensia urin Urgensi

ISK berulang Gejala BAB (kompartemen

posterior)

Benjolan pada liang vagina saat mengedan

BAB tidak lampias Inkontinensia alvi

Perlunya penekanan pada perineum atau vagina posterior untuk membantu BAB

Gejala seksual (semua kompartemen

Menurunnya sensasi vagina Dispareunia

Menghindari hubungan seksual Beberapa hal yang menjadi catatan untuk gejala POP adalah:

• Gejala benjolan dipengaruhi oleh gravitasi sehingga makin berat pada posisi berdiri.1

• Semakin lama, benjolan akan terasa semakin menonjol terutama setelah adanya aktifitas fisik berat jangka panjang seperti mengangkat benda berat atau berdiri.1

• Derajat prolaps tidak berhubungan dengan gejala urgensi, frekuensi atau inkontinensia urin. 1

• Pada studi yang menilai korelasi antara gejala dengan lokasi dan derajat prolaps, ditemukan bahwa korelasi antara gejala BAB dan prolaps posterior lebih kuat dibandingkan korelasi antara gejala berkemih dengan prolaps anterior.7

• Gejala seperti rasa tekanan, ketidaknyamanan, benjolan yang terlihat dan gangguan seksual tidak spesifik untuk kompartemen tertentu. 7

• Klinisi perlu memberikan pertanyaan secara spesifik, karena

kebanyakan pasien tidak akan secara sukarela memberikan informasi mengenai gejala yang dirasakannya. 1

(9)

Untuk menilai dampak gangguan dasar panggul terhadap kualitas hidup maka digunakan 2 kuesioner yang telah divalidasi yaitu Pelvic Floor

Distress Inventpry (PFDI) dan Pelvic Floor Impact Questionnaires (PFIQ).20

b. Pemeriksaan Fisik1,21-23

• Pasien dalam posisi terlentang pada meja ginekologi dengan posisi litotomi.

• Pemeriksaan ginekologi umum untuk menilai kondisi patologis lain • Inspeksi vulva dan vagina, untuk menilai:

o Erosi atau ulserasi pada epitel vagina.

o Ulkus yang dicurigai sebagai kanker harus dibiopsi segera, ulkus yang bukan kanker diobservasi dan dibiopsi bila tidak ada reaksi pada terapi.

o Perlu diperiksa ada tidaknya prolaps uteri dan penting untuk mengetahui derajat prolaps uteri dengan inspeksi terlebih dahulu sebelum dimasukkan inspekulum.

• Manuver Valsava.

o Derajat maksimum penurunan organ panggul dapat dilihat dengan melakukan pemeriksaan fisik sambil meminta pasien melakukan manuver Valsava.

o Setiap kompartemen termasuk uretra proksimal, dinding anterior vagina, serviks, apeks, cul-de-sac, dinding posterior vagina, dan perineum perlu dievaluasi secara sistematis dan terpisah.

o Apabila tidak terlihat, pasien dapat diminta untuk mengedan pada posisi berdiri di atas meja periksa.

o Tes valsava dan cough stress testing (uji stres) dapat dilakukan untuk menentukan risiko inkontinensia tipe stres pasca operasi prolaps.

• Pemeriksaan vagina dengan jari untuk mengetahui kontraksi dan kekuatan otot levator ani

• Pemeriksaan rektovagina

o untuk memastikan adanya rektokel yang menyertai prolaps uteri.

c. Pemeriksaan Penunjang

• Urin residu pasca berkemih 1

o Kemampuan pengosongan kandung kemih perlu dinilai dengan mengukur volume berkemih pada saat pasien merasakan kandung kemih yang penuh, kemudian diikuti dengan pengukuran volume urin residu pasca berkemih dengan kateterisasi atau ultrasonografi.

• Skrining infeksi saluran kemih7

(10)

• Pemeriksaan Ultrasonografi

o Ultrasonografi dasar panggul dinilai sebagai modalitas yang relatif mudah dikerjakan, cost-effective, banyak tersedia dan memberikan informasi real-time. 24,25

o Pencitraan akan membuat klinisi lebih mudah dalam memeriksa pasien secara klinis.25

o Pada pasien POP ditemukan hubungan yang bermakna antara persalinan, dimensi hiatus levator, avulsi levator ani dengan risiko terjadinya prolaps.26-29 Namun belum

ditemukan manfaat secara klinis penggunaan pencitraan dasar panggul.29

d. Klasifikasi

Untuk mengklasifikasikan POP telah dikembangkan beberapa sistem. Untuk keperluan praktik klinis, sistem Baden-Walker telah digunakan secara luas, sementara sistem Pelvic Organ Prolapse Quantification (POP-Q) mulai banyak digunakan untuk keperluan praktik klinik dan penelitian. Beberapa ahli berpendapat 9 poin yang dinilai pada sistem POP-Q lebiih cocok untuk keperluan penelitian. Sistem Baden-Walker cukup adekuat digunakan dalam praktik klinik selama penurunan atau protrusi dari semua kompartemen panggul (anterior, apikal, dan posterior) diperiksa. 1

(11)

Tabel 3. Perbedaan sistem POP Q dan Baden-Walker1

Sistem POP-Q Sistem Baden-Walker

Sangat detil untuk keperluan praktik klinik

Adekuat untuk keperluan praktik klinik, asalkan seluruh kompartemen dinilai

Adekuat untuk kepentingan penelitian Mengukur penurunan relatif terhadap himen

Sangat baik untuk menilai perubahan derajat POP

Derajat didasarkan pada penurunan maksimal dari prolaps relatif terhadap himen, pada 1 atau lebih kompartemen Stadium prolaps uteri dibagi menjadi 5 stadium, yaitu:

• Stadium 0: tidak tampak prolaps uteri. Titik Aa, Ap, Ba, dan Bp semuanya -3 cm dan titik C atau D terletak di antara –TVL (total vaginal length) dan – (TVL-2)cm.

• Stadium I: kriteria untuk stadium 0 tidak ditemukan, tapi bagian distal prolaps > 1cm di atas level hymen. • Stadium II: bagian paling distal

prolaps uteri ≤ 1 cm proksimal atau distal hymen.

• Stadium III: bagian paling distal prolaps uteri > 1 cm di bawah hymen tetapi tidak menurun lebih dari 2 cm dari TVL.

• Stadium IV: eversi komplit total panjang traktur genitalia bawah. Bagian distal prolaps uteri menurun sampai (TVL-2)cm.

Stadium prolaps uteri dibagi menjadi 5 bagian berdasarkan turunnya bagian terbawah organ

• Stadium 0: Posisi normal untuk tiap lokasi

• Stadium 1 : Penurunan sampai dengan setengah jarak (halfway) menuju himen

• Stadium 2: Turun sampai dengan himen

• Stadium 3: Turun setengah jarak

(halfway) melewati himen

• Stadium 4: Penurunan maksimum untuk tiap lokasi

(12)

Penatalaksanaan

a. Konservatif

Pilihan penatalaksanaan non-bedah perlu didiskusikan dengan semua wanita yang memiliki prolaps.1,30 Walaupun pesarium merupakan

penatalaksanaan non-bedah yang spesifik, rehabilitasi otot dasar panggul dan symtom-directed therapy perlu dilakukan, walaupun data pendukungnya untuk mencegah progresi prolaps masih belum mencukupi.1

Symtom-directed therapy dengan observasi prolaps (watchful waiting)

dapat direkomendasikan pada wanita dengan prolaps derajat rendah (derajat 1 dan derajat 2, khususnya untuk penurunan yang masih di atas himen) dan gejala non-spesifik. Wanita yang memiliki prolaps asimtomatik atau simtomaik ringan dapat diobservasi pada interval reguler, misalnya pada pemeriksaan rutin tahunan. 1

Pesarium

Pesarium dapat dipasang pada hampir seluruh wanita dengan prolaps tanpa melihat stadium ataupun lokasi dari prolaps. Alat ini digunakan oleh 75%-77% ahli ginekologi sebagai penatalaksanaan lini pertama prolaps.1,31 Pesarium tersedia dalam berbagai bentuk dan ukuran, serta

dapat dikategorikan menjadi suportif (seperti pesarium ring) atau desak-ruang (seperti pesarium donat). Pesarium yang biasa digunakan pada prolaps adalah pesarium ring (dengan dan tanpa penyokong), Gellhorn, donat, dan pesarium cube. Tipe pesarium yang bisa dipasang berhubugan dengan derajat prolaps (Lihat Tabel 4).

Gambar 1. Tabel 3x3 deskripsi pencatatan kuantitatif dukungan organ pelvis (kiri) dan gambaran sistem klasifikasi Baden-Walker (kanan)

(13)

Tabel 4. Ringakasan tipe, mekanisme kerja, dan indikasi berbagai tipe pesarium.32

Tipe Mekanisme

Kerja

Indikasi Keterangan

Ring Suportif Sistokel, penurunan uterus ringan

Ketebalan, ukuran, dan rigiditas bervariasi

Donut Suportif Semua prolaps kecuali defek posterior berat

Lever Suportif Sistokel, penurunan uterus ringan

Mengikuti kurvatura vagina

Dish Suportif Prosidensia berat Stem Suportif Sistokel, Prosidensia

ringan Cube Mengisi

ruang

Semua prolaps Perlu dilepaskan setiap hari

Inflatable Mengisi Ruang

Semua Prolaps Perlu dilepaskan setiap hari

Pesarium ring berhasil digunakan pada prolaps derajat 2 (100%) dan derajat 3 (71%). Untuk derajat 4 lebih banyak berhasil bila menggunakan pesarium Gellhorn (64%). 1 Namun demikian berdasarkan

Review Cochrane mengenai uji klinis yang membandingkan penggunaan

pesarium tipe ring dan Gellhorn, tidak didapatkan perbedaan yang signifikan dalam skor gejala (PFDI dan PFQI) antara kedua jenis pesarium. Pada studi ini didapatkan pula pesarium memberikan manfaat pada 60% subjek penelitian.31 Sebagai tambahan, pesarium dapat digunakan sebelum pembedahan pada wanita dengan prolaps yang simomatik. 1

Komplikasi tersering dari pemasangan pesarium adalah iritasi dari mukosa vagina yang bersifat hipoestrogen sehingga menimbulkan duh tubuh, bau busuk, ulserasi atau perdarahan.32

(14)

Tabel 5. Langkah-langkah pemasangan pesarium pada prolaps32

No Langkah

1 Diskusikan mengenai penggunaan pesarium dengan pasien

2 Lakukan pemeriksaan vagina untuk menentukan derajat prolaps dan estimasi ukuran pesarium

3 Lubrikasi ujung pesarium dan introitus vagina

4 Memasukkan pesarium secara perlahan dengan cara menjauhi uretra

5 Memeriksa ekspulsi pesarium dengan meminta pasien untuk mengedan atau batuk

6 Apabila tidak terjadi ekspulsi, selipkan jari di antara pesarium dan dinding vagina untuk memastikan pemasangan tidak terlalu ketat 7 Apabila ukuran pesarium cukup, berikan instruksi pada pasien

untuk mengedan seperti pada saat BAB

8 Minta pasien untuk berjalan selama beberapa menit

9 Apabila tidak ada keluhan, minta pasien datang untuk kontrol 2 minggu kemudian

10 Apabila pasien mampu untuk mengurus dirinya sendiri berikan instruksi yang jelas dan minta pasien untuk kembali bila mengalami rasa nyeri, kesulitan berkemih, atau kesulitan BAB. 11 Periksa kembali setalah 1 bulan apakah terpasang dengan baik 12 Apabila pasien tidak mampu mengurus dirinya sendiri, minta

pasien untuk kontrol 3-6 bulan. 13 Kemudian periksa setiap tahun

Symtom-directed therapy1

• Penurunan berat badan dan olah raga

o Latihan aerobik atau senam dasar panggul

o Belum terbukti secara signifikan untuk mencegah prolaps, namun bermanfaat untuk kondisi kesehatan secara umum

• Terapi perilaku

o BAB terjadwal untuk pasien yang mengalami gangguan defekasi, seperti BAB tidak lampias atau mengedan dapat dilakukan

o BAK terjadwal untuk pasien dengan keluhan inkontinensia urin

• Modfikasi diet

o Peningkatan kadar serat pada makanan atau pemberian suplemen serat sesuai kebutuhan untuk pasien dengan gangguan defekasi.

• Pembatasan cairan • Laksatif atau enema

(15)

• Latihan otot dasar panggul • Obat-obatan sesuai indikasi.

Rehabilitasi Otot Dasar Panggul

• Pada sebuah telaah sistematik disebutkan bahwa latihan dasar panggul memberikan efek relatif terhadap kualitas hidup pada wanita yang memiliki prolaps.33

• Pada telaah sistematik sebelumnya disebutkan bahwa tidak ada bukti yang kuat untuk mendukung pelaksanaan otot dasar panggul pada tatalaksana konservatif POP.7

• Sehingga disimpulkan, latihan dasar panggul tidak mengobati dan mencegah POP, namun direkomendasikan sebagai terapi tambahan pada wanita yang memiliki prolaps dan gejala terkait (inkontinensia urin dan fekal), bersamaan dengan

symtom-directed therapy. 7,33

Estrogen

• Estrogen diduga dapat mencegah atau membantu penatalaksanaan POP bila dikombinasikan dengan intervensi lainnya melalui mekanisme penguatan struktur penunjang dan mencegah penipisan jaringan vagina dan panggul. 34

• Penggunaan estrogen lokal bersamaan dengan latihan otot dasar panggul sebelum operasi dapat menurunkan insidensi sistitis pasca-operasi dalam 4 jam pasca operasi. 34

• Raloxifen oral dapat menurunkan kejadian operasi POP pada wanita di atas 60 tahun, namun hal ini belum dapat dijadikan dasar rekomendasi praktik. 34

b. Operatif

Berdasarkan sebuah telaah sistematis dan meta analisis terbaru mengenai penatalaksanaan POP disebutkan bahwa pembedahan pada wanita yang memiliki prolaps dapat meningkatkan kualitas hidup wanita.33

Prolaps uteri atau puncak vagina

• Pada saat melakukan histerektomi pada prolaps uteri, perlu dilakukan penggantungan puncak vagina.1

• Pada sebuah studi kohort yang dilakukan pada 80 orang wanita yang menjalani berbagai jenis operasi POP didapatkan efektifitas operasi transvaginal sebesar 29% dan treans abdominal 58%. Sedangkan angka re-operasi 33% pada kelompok vagina dan 16% pada kelompok abdomen.35

• Pilihan pembedahan pada pasien dengan prolaps puncak vagina (terjadi apabila telah dilakukan histerektomi sebelumnya) adalah Colpopexy sakral abdominal dan suspensi transvaginal untuk fiksasi ligamen sakrpspinosus, ligamen uterosakral, dan otot atau fasia

(16)

• Angka kegagalan pada prosedur prolaps puncak vagina berkisar antara 0-20% untuk tiap tipe prosedur. 1

• Baik colpopexy sakral per abdominal maupun colpopexy sakrospinosus per vaginal sangat efektif dalam penatalaksanaan prolaps puncak vagina. Keduanya juga secara signifikan meningkatkan kualitas hidup pasien. (Tabel 6) 36

Tabel 6. Ringkasan pendekatan penatalaksanaan prolaps puncak vagina

Luaran Colpopexy sakral (per adominal) Colpopexy sakrospinosis (per vaginal)

Keberhasilan subjektif (keluhan prolaps pasien)

94% 91%

Keberhasilan objektif (pemeriksaan fisik)

76% 69%

Durasi Operasi 106 ± 37 76 ± 42 Kembalinya aktifitas sehari-hari 34 ± 12.1 25 ± 9.7

• Pada studi lain, colpopexy sakral abdominal memiliki angka kegagalan, dispareunia pasca operasi, dan inkontinensia tipe stres yang lebih rendah dibandingkan dengan fiksasi ligamen sakrospinosus transvaginal, namun memiliki risiko komplikasi yang lebih tinggi. Durasi operasi dan pemulihan pasien ditemukan lebih lama pada colpopexy. Selain itu komplikasi berupa adesi intraabdomen, obstruksi usus juga lebih sering ditemukan pada colpopexy. Untuk itu diperlukan pertimbangan risiko komplikasi pasien dan potensi terjadinya rekurensi prolaps. 1

• Belum ada uji klinis yang membandingkan superioritas antara suspensi ligamen sakrospinosus dengan uterosakral. Pada suspensi ligamen uretrosakral ditemukan cedera uretra sebanyak 11%. Sistoskopi intra-operatif dapat dilakukan untuk memeriksa cedera uretra atau kandung kemih yang berisiko terkena cedera. 1

• Angka keberhasilan suspensi ligamen sakrospinosus cukup baik, yaitu berkisar antara 67% sampai 97%. Komplikasi hematoma ditemukan sebanyak 2,3%, infeksi pasca-operasi 4,1%, masalah urologi 2,9%, dan cedera organ pelvis 0,8%. Selain itu dapat terjadi perdarahan akibat cedera pembuluh darah pudenda yang mengancam dan cukup sulit ditangani. Nyeri pada bokong (nyeri isiadika) juga sesekali dapat terjadi (1,8%) dan biasanya hilang dengan sendirinya. Nyeri kronik atau persisten juga dapat terjadi (2%), dan bila terjadi mungkin diperlukan reoperasi untuk pengangkatan jahitan. 1

• Pada sebuah uji klinis terandomisasi yang membandingkan efektifitas high levator myorrhaphy (HLM) dengan suspensi ligamen uterosakral (SLU) untuk fiksasi puncak vagina, didapatkan prolaps apeks yang terkoreksi pada kelompok HLM sebanyak 96,5 % dan 98,3% pada kelompok SLU. Prolaps dinding anterior ditemukan

(17)

sebanyak 29,2% pada kelompok HLM dan 35,4% pada kelompok SLU. Pada kedua kelompok didapatkan perbaikan kualitas hidup, namun pada kelompok SLU ditemukan indisensi komplikasi oklusi ureter intra operatif yang lebih tinggi.37

• Rekurensi pada suspensi ligamen uterosakral dapat terjadi pada 4-18% pasien setelah follow up jangka pendek (4 tahun). Sebanyak 6,5% terjadi pada periode follow up 6 bulan sampai dengan 3 tahun. Pada studi lain dilaporkan 15,3% mengalami prolaps simtomatik stadium 2 atau lebih pada periode follow up 5,1 tahun (rentang 3,5-7,5 tahun). 1

• Penggantungan ligamen sakrospinosus atau fasia iliokoksigeus dapat dilakukan apabila ligamen uterosakral sulit diakses atau tidak adekuat untuk digunakan sebagai penggantung. 1

• Penatalaksanaan puncak vagina dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan operasi (tabel 7). Namun, proses konseling harus dilakukan untuk mendapatkan masukan dari pasien mengenai mengenai rute operasi, manfaat histerektomi, penggunaan sling,

graft, dan kemampuan hubungan seksual pasien setelah operasi.21

Tabel 7. Ringkasan rekomendasi penggunaan teknik operasi untuk prolaps puncak vagina21

Jenis teknik operasi Profil teknik operasi

Penggunaan materi tandur

(graft)

Meningkatkan angka kesembuhan Memiliki risiko komplikasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan operasi tanpa mesh

Penggunaan sling Menurunkan inkontinensia pasca operasi

Pendekatan transvaginal Untuk pasien yang masih menginginkan aktifitas seksual Untuk pasien lanjut usia

Untuk pasien dengan prolaps ringan/primer

Untuk pasien dengan risiko komplikasi tinggi

Pendekatan transabdominal (kolpopexy sakral dengan menggunakan polypropylene mesh)

Untuk wanita usia lebih muda Untuk prolaps rekurens setelah pembedahan vagina

Untuk wanita dengan prolaps yang memiliki vagina pendek Operasi obliterasi Untuk wanita usia lanjut, tidak

menginginkan aktifitas seksual, prolaps derajat berat

(18)

Tatalaksana pada pasien yang tidak layak operasi dan pasien yang memiliki eversi komplit vagina dengan atau tanpa uterus.

• Pada wanita yang memiliko risiko komplikasi operasi atau anestesi yang dikontraindikasikan untuk operasi, maka penatalaksanaan non-bedah menjadi pilihan utama.1

• Berdasarkan studi retrospektif pada 267 wanita berusia di atas 75 tahun, ditemukan bawha faktor risiko independen untuk terjadinya komplikasi operasi adalah durasi operasi, penyakit jantung koroner, dan penyakit vaskular perifer.38

• Komplikasi perioperatif yang paling banyak terjadi adalah transfusi darah atau perdarahan, edema paru dan gagal jantung kongestif pasca operasi. 38

• Risiko mortalitas dan komplikasi meningkat berdasarkan usia pada wanita yang menjalani operasi uroginekologi (tabel 8). 39

Tabel 8. Mortalitas dan Komplikasi Operasi Uroginekologi Wanita Usia Lanjut39

Usia Mortalitas per 1000

wanita Komplikasi per 1000 wanita < 60 tahun 0,1 140 60-69 tahun 0,5 130 70-79 tahun 0,9 160 > 80 tahun 2,8 200

• Kolpokleisis (Kolpektomi) dapat ditawarkan pada wanita yang memiliki risiko tinggi komplikasi dan tidak menginginkan hubungan seksual. Pada sebuah seri retrospektif, dilaporkan kolpokleisis memiliki angka keberhasilan mendekati 100%.1 Pada studi lain

disebutkan bahwa kolpokleisis meningkatkan kualitas hidup secara signifikan tanpa morbiditas yang signifikan40,41Pada sebuah studi prosepektif yang melibatkan 87 orang wanita yang menjalani kolpokleisis didapatkan bahwa kolpokleisis memperbaiki penampilan tubuh dan keluhan dasar panggul.42

(19)

Penatalaksanaan pada wanita yang tidak menginginkan histerektomi1

• Pada wanita yang memilih penatalaksanaan bedah dan menginginkan preservai uterus dapat dilakukan prosedur fiksasi ligamen sakrospinosus atau uterosakral, atau dilakukan histeropexy per abdominal tanpa dilakukan histerektomi.

• Idealnya seorang wanita tidak lagi melahirkan apabila memilih pembedahan prolaps untuk mencegah terjadinya rekurensi pasca hamil atau persalinan. Apabila seorang wanita hamil setelah pembedahan prolaps, maka cara persalinan ditentukan kasus per kasus.

Histeropexy1

• Rekurensi prolaps setelah histeropexy sakral atau colpopexy sakral berkisar antara 6,5% sampai dengan 23,5%, dan mencapai 30% pada histeropexy sakrospinosus.

• Komplikasi yang dapat terjadi mencakup perdarahan, hematoma, infeksi luka operasi, obstruksi usus halus, hernia insisional dan erosi tandur.

• Histeropexy tidak boleah dilakukan dengan menggunakan dinding abdomen ventral sebagai penyokoong karena berisiko tinggi untuk terjadinya prolaps rekurens, terutama enterokel.

Suspensi Ligamentum Rotundum1

• Penggantungan ligamentum rotundum tidak efektif dalam menangani prolaps uteri atau vagina. Pada sebuah studi dilaporkan bahwa sebanyak 90% pasien mengalami prolaps rekurens dalam waktu 3 bulan pasca operatif.

Kolpokleisis1

• Pada wanita yang tidak menginginkan fungsi vagina (aktifitas seksual dan memiliki anak) yang tidak menginginkan histerektomi kolpokleisis merupakan pilihan.

Prolaps anterior

• Sistokel dapat ditatalaksana dengan kolporafi anterior tradisonal dengan atau tanpa menambahan jaring sintetik (mesh) atau materi tandur (graft)1

• Selain itu dapat pula ditatalaksana dengan menggunakan pendekatan paravaginal per vaginam atau retropubis dengan menggunakan akses laproskopi terbuka (open-laparoscopy). Angka rekurensinya dari beberapa laporan mencapai 15-37% dalam durasi follow up 3 tahun. • Pada sebuah uji klinis yang dilakukan pada 83 pasien yang menjalani

kolporafi anterior dengan durasi follow-up rerata selama 23,2 bulan, ditemukan teknik standar, teknik standar plus mesh dan teknik ultralateral kolporafi anterior memiliki kesembuhan anatomis dan

(20)

resolusi gejala yang tidak berbeda bermakna, masing-masing adalah 30%, 42%, dan 46%. 43

• Prosedur site-specific juga dapat dilakukan apabila defek spesifik pada tunika muskularis vagina atau adventisia dapat dilihat dan diperbaiki. Angka rekuensinya lebih tinggi (33%) dibandingkan dengan teknik plikasi garis tengah (midline) dalam waktu 1 tahun follow up. Dispareunia tetap menjadi masalah pasca-operatif yang sering terjadi, walaupun penyempitan introitus tidak dilakukan. • Pendekatan abdominal dan laparoskopi juga dapat dilakukan

bersamaan dengan colpopexy sakral, dimana mesh dipasang disepanjang vagina posterior, bahkan terkadang sampai ke badan perineum (sakral kolpoperineopexy). 1

Prolaps Posterior

• Prolaps posterior ditatalaksana dengan menggunakan kolporafi posterior, dengan plikasi garis tengah (mid-line) jaringan vagina subepitel.1

• Apabila dibandingkan dengan pendekatan transanal, pendekatan transvaginal lebih efektif untuk mengurangi gejala subjektif dan rekurensi prolaps posterior (rektokel dan enterokel). 1,44

• Berdasarkan hasil defekografi, pendekatan transvaginal berhubungan dengan rerata kedalaman rektokel dan kejadian enterokel pasca operasi yang lebih kecil dibandingkan dengan pendekatan transvaginal. Sehingga kolporafi posterior transvaginal lebih direkomendasikan dibandingkan dengan transanal.1

Jaring sintetik (mesh) dan materi tandur (graft)

• Bukti klinis menunjukkan bahwa penggunaan vaginal mesh memberikan keberhasilan yang lebih baik, namun juga mendatangkan risiko komplikasi yang lebih besar.45 Angka kegagalan

(erosi/exposure) mesh non-absorbable sintetik berkisar antara 10-20%.46 Tingkat operasi ulang penggunaan mesh berkisar 10% dibandingkan pembedahan konvensional yang dapat mencapai 30%.

45

• Sebuah uji klinik yang dilakukan oleh Nguyen dkk menyatakan bahwa penggunaan mesh dapat meningkatkan kualitas hidup pasien.45

Meskipun demikian, Cochrane Review menyatakan bahwa penggunaan mesh dalam bedah rekonstruksi panggul tidak didukung oleh bukti klinis tingkat pertama (no level evidence to support). • Pada tahun 2011, United States Food and Drugs Administration

(FDA) mengeluarkan peringatan mengenai komplikasi penggunaan

vaginal mesh pada bedah POP. FDA menyatakan: (1) komplikasi

penggunaan mesh pada pembedahan POP tidaklah jarang (not rare). (2) Pemakaian mesh pada pembedahan POP belum jelas apakah lebih efektif dibandingkan dengan pembedahan tradisional non-mesh. 46

(21)

• FDA tersebut menyatakan bahwa komplikasi yang paling sering terjadi meliputi erosi mesh yang menjadi penyebab utama terjadinya keluhan perdarahan, nyeri panggul, dispareunia atau apareunia. 46 Pada sebuah uji klinis ditemukan tingkat erosi pada 3 bulan pemakaian mesh polypropylene untuk pembedahan prolaps cukup tinggi, yaitu 15,6%. 47

• Beberapa telaah literatur yang disimpulkan oleh FDA adalah (1)

Mesh yang digunakan untuk pembedahan POP transvaginal dapat

menimbulkan komplikasi yang tidak muncul pada pembedahan

non-mesh, (2) penggunaan mesh transabdominal memiliko komplikasi

yang lebih sedikit dibandingkan dengan transvaginal, (3) tidak ada bukti yang menyatakan pembedahan transvaginal dengan menggunakan mesh untuk perbaikan apeks dan posterior lebih baik dibandingkan dengan pembdahan tradisional, (4) pembedahan transvaginal untuk perbaikan anterior dengan penggunaan mesh ditemukan lebih baik secara anatomis dibandingkan dengan pembedahan tradisional, namun belum tentu lebih baik dalam hal simtomatik. 46

• Komplikasi ini antara lain dipengaruhi oleh: karakteristik jaring yang dipakai (berat, ukuran pori, kekuatan regang dan elastisitas), teknik pembedahan yang dipakai, pengalaman operator dan riwayat histerektomi sebelumnya.48

• Berdasarkan sebuah telaah sistematik mengenai pemilihan graft untuk pembedahan POP transvaginal disimpulkan belum ada data yang adekuat untuk menentukan efektifitas penggunaan graft untuk kompartemen posterior dan apeks, maupun penggunaan graft sintetik dan biologis untuk kompartemen anterior. 49

Pencegahan inkontinensia urin pasca operasi POP

• Wanita yang mengalami prolaps derajat berat, terutama prolaps anterior, biasanya tidak memiliki gejala inkontinensia tipe stres akibat mekanisme sfingter uretra yang kompeten atau karena prolaps derajat berat menyebabkan obstruksi (kinking) pada uretra.

• Sebanyak 8-60% wanita stress-continent yang memiliki hasil uji stres positif (prolaps tereduksi) dapat mengalami inkontinesia tipe stress pasca operasi prolaps, bila tidak dilakukan prosedur anti inkontinnsia. • Pada sebuah uji klinis yang dilakukan pada 50 wanita dengan uji stres positif dan median follow up selama 2 tahun didapatkan kelompok yang dilakukan tension-free vaginal tape (TVT) pada operasi prolaps akan memiliki inkontinensia tipe stress yang lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak dilakukan TVT (keluhan subjektif: 96% VS 64%;keluhan objektif: 92% VS 56%). Sling TVT miduretra memberikan pencegahan inkontinensia tipe stres pasca operasi prolaps.

• Pada uji klinis lain (Colpopexy and Urinary Reduction Efforts/CARE

Trial) yang dilakukan pada 332 wanita yang menjalani kolpopexy

(22)

didapatkan inkontinensia tipe stress lebih sedikit (23,8%) pada subjek yang dilakukan prosedur Burch dibandingkan dengan yang tidak dilakukan (44,1%).

• Pada wanita dengan uji stres negatif, kelompok yang dilakukan prosedur Burch memiliki 20,8% gejala inkontinensia tipe stres dan 32,8% pada wanita yang tidak menjalani prosedur Burch. 1

Ringkasan Rekomendasi dan Kesimpulan

• Rekomendasi yang didasarkan pada buki ilmiah yang baik dan

konsisten (Tingkat A):

1. Satu-satunya gejala yang spesifik untuk prolaps adalah adanya

benjolan atau penonjolan pada vagina. Sedangkan perbaikan keluhan panggul lainnya setelah dilakukan penatalaksanaan prolaps belum dapat dibuktikan.

2. Pesarium dapat dipasang pada kebanyakan wanita yang memiliki

prolaps, tanpa memperhatikan derajat ataupun lokasi dari prolaps

3. Tidak didapatkan perbedaan yang signifikan dalam skor gejala (PFDI

dan PFQI) antara penggunaan pesarium tipe ring dan Gellhorn.

4. Latihan dasar panggul tidak mengobati dan mencegah POP, namun

direkomendasikan sebagai terapi tambahan pada wanita yang memiliki prolaps dan gejala terkait (inkontinensia urin dan fekal), bersamaan dengan symtom-directed therapy.

5. Berdasarkan sebuah telaah sistematis dan meta analisis terbaru

mengenai penatalaksanaan POP disebutkan bahwa pembedahan pada wanita yang memiliki prolaps dapa meningkatkan kualitas hidup wanita.

6. Fasia kadaverik tidak dapat digunakan sebagai material tandur (graft)

untuk kolpopexy sacral per abdominal karena lebih tingginya risiko rekurensi prolaps bila dibandingkan dengan jaring sintetik.

7. Pemakaian mesh pada pembedahan POP belum jelas apakah lebih

efektif dibandingkan dengan pembedahan tradisional non-mesh.

8. Wanita stres-kontinens yang memiliki hasil uji stress positif (prolaps

berkurang) memiliki risiko tinggi untuk mengalami inkontinensia tipe stres pasca operasi prolaps bila dibandingkan dengan wanita yang memiliki hasil uji stres negatif.

9. Untuk wanita stres-kontinens yang akan menjalani colpopexy sakral,

tanpa memandang hasil uji stres pre-operatif, prosedur Burch akan menurunkan kecendrungan terjadnya inkontinensia tipe stress pasca-operasi tanpa meningkatkan gejala urgensi atau obstruksi.

10. Pada wanita dengan uji stres positif yang akan menjalani operasi

prolaps vagina, sling TVT miduretra (dibandingkan dengan plikasi fasia suburetra) memberikan pencegahan yang lebih baik terhadap inkontinensia tipe stres pasca operasi

• Rekomendasi yang didasarkan pada buki ilmiah yang terbatas

(23)

1. Klinisi harus mendiskusikan pilihan untuk pemasangan pesarium

pada seluruh wanita yang memiliki prolaps sebagai penatalaksanaan berdasarkan gejala. Sebagai tambahan, pesarium dapat digunakan sebelum pembedahan pada wanita yang memiliki prolaps simtomatik.

2. Operasi alternatif untuk preservasi uterus pada wanita yang memiliki

prolaps antara lain adalah fiksasi ligamen sakrospinosus atau uterosakral per vaginam, atau histeropexy sacrum per abdominal.

3. Histerospexy tidak boleh dilakukan dengan menggunakan dinding

abdomen ventral sebagai pendukung karena berisiko tinggi untuk terjadinya prolaps rekurensi, terutama enterokel.

4. Penggantungan Ligamentum rotundum tidak efektif dalam

peatalaksanaan prolaps vagina atau uteri.

5. Colpopexy sakral abdominal memiliki angka kegagalan untuk puncak

vagina, dispareunia pasca-operatif, dan inkontinensia tipe stress yang lebih rendah dibandingkan dengan fiksasi ligamen sakrospinosus vaginal, namun memiliki komplikasi yang lebih banyak.

6. Kolporafi posterior transvaginal direkomendasikan untuk prolaps

vagina posterior dibandingkan dengan pendekatan transnasal.

• Rekomendasi yang didasarkan pada konsensus dan pendapat

ahli (Tingkat C):

1. Klinisi perlu mendiskusikan pada pasien mengenai potensi risiko dan manfaat yang akan didiapatkan pada prosesur anti inkontinensia profilaktik pada operasi prolaps.

2. Pada wanita dengan prolaps asimtomatik atau simtomatik ringan

dapat dilakukan observasi pada interval reguler kecuali bila didapatkan gejala yang baru muncul.

3. Pada pasien POP ditemukan hubungan yang bermakna antara

persalinan, dimensi hiatus levator, avulsi levator ani dan risiko terjadinya prolaps. Namun belum ditemukan manfaat secara klinis penggunaan pencitraan dasar panggul.

4. Pada wanita yang memiliki risiko tinggi komplikasi prosedur

rekonstruksi dan tidak membutuhkan hubungan seksual, prosedur kolpokleisis dapat ditawarkan.

5. Sitoskopi intraoperatif perlu dilakukan untuk memeriksa kerusakan

uretra atau kandung kemih setelah semua prosedur prolaps dan inkontinensa selama kandung kemih dan ureter beriksiko untuk mengalami gejala.

(24)

Daftar Pustaka

1. Bulletins--Gynecology ACoP. ACOG Practice Bulletin No. 85: Pelvic organ prolapse. Obstetrics &amp; Gynecology. Vol 1102007:717-729.

2. Lowder JL, Ghetti C, Nikolajski C, Oliphant SS, Zyczynski HM. Body image perceptions in women with pelvic organ prolapse: a qualitative study. YMOB. Jun 01 2011;204(5):441.e441-441.e445.

3. Hagen S, Thakar R. Conservative management of pelvic organ prolapse. Obstetrics,

Gynaecology &amp; Reproductive Medicine. Jun 01 2012;22(5):118-122.

4. Rycroft-Malone J. Formal consensus: the development of a national clinical guideline. Quality in health care : QHC. Dec 2001;10(4):238-244.

5. Gyhagen M, Bullarbo M, Nielsen T, Milsom I. Prevalence and risk factors for pelvic organ prolapse 20 years after childbirth: a national cohort study in singleton primiparae after vaginal or caesarean delivery. BJOG : an international journal of

obstetrics and gynaecology. Nov 02 2012;120(2):152-160.

6. Ahmed F, Sotelo T. Management of pelvic organ prolapse. The Canadian journal of

urology. Dec 2011;18(6):6050-6053.

7. Kovoor E, Hooper P. Assessment and management of pelvic organ prolapse.

Obstetrics, Gynaecology &amp; Reproductive Medicine. Sep 2008;18(9):241-246.

8. Tsikouras P, Dafopoulos A, Vrachnis N, et al. Uterine prolapse in pregnancy: risk factors, complications and management. Journal of Maternal-Fetal and Neonatal

Medicine. Jul 09 2013:1-6.

9. Glazener C, Elders A, MacArthur C, et al. Childbirth and prolapse: long-term associations with the symptoms and objective measurement of pelvic organ prolapse.

BJOG : an international journal of obstetrics and gynaecology. Nov 27

2012;120(2):161-168.

10. Dietz HP. The aetiology of prolapse. International Urogynecology Journal. Aug 02 2008;19(10):1323-1329.

11. Slieker-ten Hove MCP, Bloembergen H, Vierhout ME, Schoenmaker G. Distribution of pelvic organ prolapse (POP) in the general population. International Congress

Series. May 2005;1279:383-386.

12. Hove MCPS-t, Pool-Goudzwaard AL, Eijkemans MJC, Steegers-Theunissen RPM, Burger CW, Vierhout ME. Symptomatic pelvic organ prolapse and possible risk factors in a general population. YMOB. Mar 01 2008;200(2):184-185.

13. Altman D, Forsman M, Falconer C, Lichtenstein P. Genetic Influence on Stress Urinary Incontinence and Pelvic Organ Prolapse. European Urology. Oct 2008;54(4):918-923.

14. Lemack GE. Editorial Comment on: Genetic Influence on Stress Urinary Incontinence and Pelvic Organ Prolapse. European Urology. Oct 2008;54(4):923. 15. Odell K, Morse A. It’s Not All About Birth: Biomechanics Applied to Pelvic Organ

Prolapse Prevention. Journal of Midwifery &amp; Women&apos;s Health. Feb 2008;53(1):28-36.

16. Goepel C, Kantelhardt EJ, Karbe I, Stoerer S, Dittmer J. Changes of glycoprotein and collagen immunolocalization in the uterine artery wall of postmenopausal women with and without pelvic organ prolapse. Acta histochemica. Jun 01 2011;113(3):375-381.

17. Dietz HP, Wilson PD. Childbirth and pelvic floor trauma. Best Practice &amp;

Research Clinical Obstetrics &amp; Gynaecology. Dec 2005;19(6):913-924.

18. Lukanovič A, Dražič K. Risk factors for vaginal prolapse after hysterectomy.

International Journal of Gynecology and Obstetrics. Jul 01 2010;110(1):27-30.

19. Reid F. Assessment of pelvic organ prolapse. Obstetrics, Gynaecology &amp;

(25)

20. Barber MD, Chen Z, Lukacz E, et al. Further validation of the short form versions of the pelvic floor Distress Inventory (PFDI) and pelvic floor impact questionnaire (PFIQ). Neurourology and Urodynamics. Mar 22 2011;30(4):541-546.

21. Walters MD, Ridgeway BM. Surgical treatment of vaginal apex prolapse. Obstetrics

&amp; Gynecology. Mar 2013;121(2 Pt 1):354-374.

22. Barber MD, Lambers A, Visco AG, Bump RC. Effect of patient position on clinical evaluation of pelvic organ prolapse. Obstetrics &amp; Gynecology. Jul 2000;96(1):18-22.

23. Ghoniem G, Stanford E, Kenton K, et al. Evaluation and outcome measures in the treatment of female urinary stress incontinence: International Urogynecological Association (IUGA) guidelines for research and clinical practice. International

Urogynecology Journal. Nov 17 2007;19(1):5-33.

24. Santoro GA, Wieczorek AP, Dietz HP, et al. State of the art: an integrated approach to pelvic floor ultrasonography. Ultrasound in Obstetrics &amp; Gynecology. Apr 23 2011;37(4):381-396.

25. Dietz HP. Pelvic floor ultrasound in prolapse: what’s in it for the surgeon?

International Urogynecology Journal. Jul 09 2011;22(10):1221-1232.

26. Abdool Z, Shek KL, Dietz HP. The effect of levator avulsion on hiatal dimension and function. YMOB. Jul 01 2009;201(1):89.e81-89.e85.

27. Model AN, Shek KL, Dietz HP. Levator defects are associated with prolapse after pelvic floor surgery. European Journal of Obstetrics and Gynecology. Dec 01 2010;153(2):220-223.

28. Lone F, Thakar R, Sultan AH, Stankiewicz A. Prospective evaluation of change in levator hiatus dimensions using 3D endovaginal ultrasound before and 1 year after treatment for female pelvic organ prolapse. International Urogynecology Journal. Sep 28 2012.

29. Tubaro A, Koelbl H, Laterza R, Khullar V, de Nunzio C. Ultrasound imaging of the pelvic floor: Where are we going? Neurourology and Urodynamics. Jul 09 2011;30(5):729-734.

30. Culligan PJ. Nonsurgical Management of Pelvic Organ Prolapse. Obstetrics &amp;

Gynecology. May 2012;119(4):852-860.

31. Bugge C AEGDRF. Pessaries \(mechanical devices\) for pelvic organ prolapse in women. Feb 01 2013:1-28.

32. Vierhout ME. The use of pessaries in vaginal prolapse. European Journal of

Obstetrics and Gynecology. Nov 10 2004;117(1):4-9.

33. Doaee M, Moradi-Lakeh M, Nourmohammadi A, Razavi-Ratki SK, Nojomi M. Management of pelvic organ prolapse and quality of life: a systematic review and meta-analysis. International Urogynecology Journal. Jul 20 2013.

34. Ismail SI BCHS. Oestrogens for treatment or prevention of pelvic organ prolapse in postmenopausal women. Feb 01 2013:1-35.

35. Benson JT, Lucente V, McClellan E. Vaginal versus abdominal reconstructive surgery for the treatment of pelvic support defects: a prospective randomized study with long-term outcome evaluation. YMOB. Dec 1996;175(6):1418-1421; discussion 1421-1412.

36. Maher CF, Qatawneh AM, Dwyer PL, Carey MP, Cornish A, Schluter PJ. Abdominal sacral colpopexy or vaginal sacrospinous colpopexy for vaginal vault prolapse: A prospective randomized study. American Journal of Obstetrics and Gynecology. Feb 2004;190(1):20-26.

37. Natale F, La Penna C, Padoa A, Agostini M, Panei M, Cervigni M. High levator myorraphy versus uterosacral ligament suspension for vaginal vault fixation: a prospective, randomized study. International Urogynecology Journal. Jun 2010;21(5):515-522.

38. Stepp KJ, Barber MD, Yoo E-H, Whiteside JL, Paraiso MFR, Walters MD. Incidence of perioperative complications of urogynecologic surgery in elderly women. YMOB.

(26)

39. Sung VW, Weitzen S, Sokol ER, Rardin CR, Myers DL. Effect of patient age on increasing morbidity and mortality following urogynecologic surgery. American

Journal of Obstetrics and Gynecology. Jun 2006;194(5):1411-1417.

40. Yeniel AÖ, Ergenoglu AM, Askar N, Itil İM, Meseri R. Quality of life scores improve in women undergoing colpocleisis: a pilot study. European Journal of

Obstetrics and Gynecology. Aug 01 2012;163(2):230-233.

41. Wheeler TL, Richter HE, Burgio KL, et al. Regret, satisfaction, and symptom improvement: analysis of the impact of partial colpocleisis for the management of severe pelvic organ prolapse. American Journal of Obstetrics and Gynecology. Dec 2005;193(6):2067-2070.

42. Crisp CC, Book NM, Smith AL, et al. Body image, regret, and satisfaction following colpocleisis. YMOB. Jul 14 2013:1-7.

43. Weber A. Anterior colporrhaphy: A randomized trial of three surgical techniques.

American Journal of Obstetrics and Gynecology. Dec 2001;185(6):1299-1306.

44. Nieminen K, Hiltunen K-M, Laitinen J, Oksala J, Heinonen PK. Transanal or Vaginal Approach to Rectocele Repair: A Prospective, Randomized Pilot Study. Diseases of

the colon and rectum. Oct 2004;47(10):1636-1642.

45. Swift S. To mesh or not to mesh? That is the question. International Urogynecology

Journal. May 02 2011;22(5):505-506.

46. Haylen BT, Freeman RM, Swift SE, et al. An international urogynecological association (IUGA)/international continence society (ICS) joint terminology and classification of the complications related directly to the insertion of prostheses (meshes, implants, tapes) and grafts in female pelvic flo. Neurourology and

Urodynamics. Dec 22 2010;30(1):2-12.

47. Iglesia CB, Sokol AI, Sokol ER, et al. Vaginal mesh for prolapse: a randomized controlled trial. Obstetrics &amp; Gynecology. Aug 2010;116(2 Pt 1):293-303. 48. de Tayrac R, Boileau L, Fara J-F, Monneins F, Raini C, Costa P. Bilateral anterior

sacrospinous ligament suspension associated with a paravaginal repair with mesh: short-term clinical results of a pilot study. International Urogynecology Journal. Apr 2010;21(3):293-298.

49. Sung VW, Rogers RG, Schaffer JI, et al. Graft use in transvaginal pelvic organ prolapse repair: a systematic review. Obstetrics &amp; Gynecology. Nov 2008;112(5):1131-1142.

50. Ramm O, Gleason JL, Segal S, Antosh DD, Kenton KS. Utility of preoperative endometrial assessment in asymptomatic women undergoing hysterectomy for pelvic floor dysfunction. International Urogynecology Journal. Apr 08 2012;23(7):913-917.

(27)

Gambar

Tabel 1. Risiko relatif terjadinya prolaps berdasarkan jumlah persalinan 8 Jumlah Persalinan  Risiko Relatof (RR)  Interval  Kepercayaan
Tabel 2. Gejala prolaps 1,7,19
Gambar 1. Tabel 3x3 deskripsi pencatatan kuantitatif dukungan organ  pelvis (kiri) dan gambaran sistem klasifikasi Baden-Walker (kanan)
Tabel  4.  Ringakasan  tipe,  mekanisme  kerja,  dan  indikasi  berbagai  tipe  pesarium
+4

Referensi

Dokumen terkait

Terdapat hubungan bermakna antara status gizi dengan derajat pneumonia pada anak balita di

Kewajiban muslim terhadap orang sakit SGD Ketepatan dalam penyelesaian masalah yang diberikan 7% 6 Setelah mengikuti perkuliahan ini, diharapkan mahasiswa mampu

20-03-1980 Wanita III/a SMP NEGERI 3 PAKENJENG GOLONGAN III NO NAMA NIP TEMPAT TANGGAL LAHIR JENIS KELAMIN PESERTA PEMERIKSAAN

Oleh karena itu perlu adanya sistem pengendalian secara otomatis yang dapat dikendalikan secara jarak jauh, aman dan efisien pada proses powder coating sehingga operator

Hasil penelitian menunjukkan bahwa : kombinasi jenis mikoriza (Glomus sp. + Acaulospora sp.) merupakan kombinasi terbaik terhadap pertumbuhan dan produksi genotipe kedelai,

Selanjutnya, tujuan dari penelitian ini adalah (1) mana yang mempunyai hasil belajar matematika lebih baik, model pembelajaran investigasi kelompok atau pembelajaran langsung, (2)

Sedangkan menurut pendapat ulama lain, hak ulil amri untuk menjatuhkan hukuman yang berkaitan dengan hak jama‟ah (berkaitan dengan masyarakat umum), baik sebelum pengajuan

Dengan asumsi model biaya dampak pasar linear, konstruksi suatu strategi efisien portofolio optimal dapat dilakukan dengan menyelesaikan masalah optimisasi