PRESENTASI KASUS BESAR PRESENTASI KASUS BESAR
Tumor Marker Tumor Marker
Pembimbing: Pembimbing:
dr. Wahyu Djatmiko, Sp. PD, FINASIM dr. Wahyu Djatmiko, Sp. PD, FINASIM
Disusun oleh: Disusun oleh: Sufiya
Sufiya Lisnawati Lisnawati G4A016097G4A016097
SMF ILMU PENYAKIT DALAM SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO PURWOKERTO
2017 2017
LEMBAR PENGESAHAN
PRESENTASI KASUS BESAR TUMOR MARKER
Diajukan sebagai salah satu syarat mengikuti ujian pada Program Profesi Dokter Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo.
Disusun oleh:
Sufiya Lisnawati G4A016097
Pada tanggal, 17 Mei 2017 Mengetahui,
Pembimbing,
TUMOR MARKER
Tumor Marker atau penanda tumor adalah zat yang dihasilkan oleh sel kanker atau sel-sel tubuh lainnya dalam merespon adanya kanker atau kondisi tertentu (bukan kanker). Penanda tumor dapat dibuat oleh sel-sel normal maupun oleh sel-sel kanker. Namun , pada kondisi adanya kanker diproduksi pada tingkat yang jauh lebih tinggi. Penanda Tumor dapat ditemukan dalam cairan tubuh (ekstrasel) dan sel/jaringan tumor penderita kanker. Penanda tumor umumnya adalah protein (antigen). Beberapa penanda tumor dapat berhubungan dengan hanya satu jenis kanker, tetapi ada pula yang berhubungan dengan dua atau lebih jenis kanker. Kadang-kadang kondisi non kanker dapat pula menyebabkan tingkat penanda tumor tertentu meningkat. Meskipun tingkat yang lebih tinggi dari penanda tumor dapat menunjukkan adanya kanker, ini saja tidak cukup untuk mendiagnosa kanker. Oleh karena itu, pengukuran penanda tumor biasanya dikombinasikan dengan tes lain, seperti biopsi, untuk mendiagnosa kanker (Setiaputri, 2016).
Penanda tumor yang idealn adalah PT yang sangat spesifik arti nya dia hanya CAmendeteksi tumor pada kondisi pra kanker. Akan tetapi sampai saat ini belum ada satupun PT yang ideal. Berdasarkan aspek klinisnya maka PT dapat dibedakan menjadi screening, prognosis, predictive, dan monitoring markers (Bakta dan Suega, 2009).
1. Penanda Tumor Payudara
CA 15-3 (Cancer Antigen 15-3)
Cancer Antigen 15-3 pertama kali digunakan pada kanker payudara. Kadarnya hanya meningkat kurang lebih 10% pada kasus yang dini tapi akan meningkat sampai 75% pada kanker yang sudah lanjut. Kadar normal serum CA 15-3 adalah kurang dari 30 U/ml. Batas rentang normal bervariasi, tergantung pada laboratorium dan kit yang digunakan untuk pengujian (Suega dan Bakta, 2009). Nilai yang diperoleh dengan alat pengujian, metode, atau laboratorium yang berbeda tidak dapat digunakan secara bergantian untuk memonitor perkembangan penyakit (Thaker, 2014).
a. Penggunaan CA 15-3 untuk skrining, diagnosis, dan menentukan stadium kanker payudara.
Saat ini belum ada data yang merekomendasikan pengukuran CA 15-3 digunakan untuk skrining, diagnosis, dan penentuan stadium kanker payudara. Kadar CA 15-3 jarang meningkat pada kanker payudara stadium awal, sehingga akan sulit untuk mendeteksi adanya perkembangan dini dari suatu kanker. Selain itu, kadar CA 15-3 juga dapat tidak terdeteksi sama sekali pada beberapa jenis kasus kanker payudara, karena beberapa tumor tidak mengekspresikan antigen ini. Maka marker ini tidak memiliki nilai klinis pada kanker payudara yang tidak mengekspresikan CA 15-3 (Harris et al ., 2007)
Beberapa penelitian melaporkan nilai prognostik CA 15-3 pada tahap awal kanker payudara. Ditemukannya marker CA 15-3 pada tahap awal kanker payudara dapat memprediksi hasil yang lebih buruk, namun implikasi pada pengelolaan kanker payudara stadium awal masih belum jelas. CA 15-3 juga dapat meningkat pada beberapa kondisi benign (jinak) maupun
malignant (keganasan) (Ebeling et al ., 2002).
b. Penggunaan CA 13-5 untuk mendeteksi adanya rekurensi setelah pengobatan kanker payudara primer.
Saat ini belum ada data yang memadai untuk merekomendasikan pengukuran CA 15-3 untuk memantau kekambuhan kanker payudara setelah pengobatan primer dan atau adjuvant pada kanker payudara primer. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa peningkatan kadar CA 15-3 dapat memprediksi kekambuhan sekitar 5-6 bulan sebelum onset tanda dan gejala, dan hasil positif dari beberapa pemeriksaan penunjang lainnya. Namun, belum ada uji klinis teracak yang menunjukkan bahwa deteksi dini dan pengobatan pada pasien asimptomatik dapat meningkatkan kelangsungan dan kualitas hidup pasien. Selain itu, efektivitas biaya dan peningkatan dampak toksisitas pengobatan dengan adanya deteksi dini masih belum jelas (Thaker, 2014).
c. Penggunaan CA 15-3 untuk pengelolaan klinis kanker payudara yang telah bermetastase.
CA 15-3 memiliki sensitifitas dan spesifitas yang rendah untuk semua jenis kanker payudara. Namun, sensitifitas dan spesifitasnya meningkat pada keadaan metastatik dan terjadinya rekurensi. Suatu penelitian menunjukkan bahwa kadar CA 15-3 meningkat pada tumor yang berukuran lebih besar dan pada kanker dengan stadium lanjut (Duffy et al ., 2000). Pengukuran CA 15-3 yang dilakukan bersamaan dengan temuan riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan pencitraan diagnostik, dapat digunakan untuk memantau respon kanker terhadap terapi aktif. Pengukuran CA 15-3 tidak boleh digunakan sendiri untuk memantau respon pengobatan (Harris et al .,
2007).
2. Penanda Tumor serviks
SCC-Ag (Squamous Cell Carcinoma Antigen)
Pada wanita yang tampak sehat, dapat ditemukan SCC-Ag dalam sirkulasi darah dengan konsentrasi 1,9 µg/L. Beberapa penelitian telah menentukan cutt off point antara 2,0 dan 2,5 µg/L masih dianggap normal. SCC-Ag bukanlah penanda spesifik adanya seuatu keganasan di serviks, karena peningkatan konsentrasi SCC-Ag juga dapat ditemukan pada pasien dengan
karsinoma vulva, vagina, esophagus, dan paru-paru, bahkan pada pasien yang mengalami lesi jinak pada kulit seperti psoriasis. Tingginya kadar SCC-Ag (mencapai 18 µg/L) juga ditemukan pada pasien dengan gagal ginjal dan penyakit paru (Sturgeon dan Diamandis, 2010).
a. Kegunaan klinis SCC-Ag pada skrining dan diagnosis kanker serviks.
SCC-Ag tidak cukup sensitif (terutama pada tahap awal penyakit) dan tidak spesifik untuk skrining kanker serviks. Diagnosis adanya kanker serviks didasarkan dengan temuan histopatologi. Peningkatan konsentrasi serum SCCA pada tahap awal diagnosis ditemukan pada 60% pasien kanker serviks. Kadar SCC-Ag serum meningkat pada 24-53% pasien dengan stadium IB atau IA, dan kadarnya semakin meningkat pada 75-90% pasien stadium lanjut (FIGO IIB dan stadium yang lebih tinggi). Konsentrasi
SCC-Ag serum berkorelasi secara signifikan dengan stadium tumor dan ukuran tumor (Sturgeon dan Diamandis, 2010).
b. Kegunaan Klinis SCC-Ag untuk memprediksi adanya metastase tumor ke limfe nodi dan untuk perencanaan perawatan/terapi.
Pada pasien kanker serviks stadium IB atau IIA yang belum mendapatkan terapi, SCC-Ag memiliki sensitivitas sebesar 60-87% dan spesifitas 41-91% untuk mendeteksi adanya metastase ke kelenjar getah bening. Penelitian pada 414 pasien kanker serviks stadium awal menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi SCC-Ag dan besarnya ukuran tumor menjadi faktor risiko independen adanya metastasis ke li mfe nodi (Du et al ., 1997). Pada penelitian lain (401 pasien), hanya SCC-Ag dengan konsentrasi yang sangat tinggi (>10 µg/L) berkorelasi dengan pembesaran kelenjar getah bening yang ditunjukkan menggunakan CT scan (Hong et al ., 1998).
Konsentrasi SCC-Ag pretreatment dapat digunakan untuk mengidentifikasi pasien yang membutuhkan perencanaan terpai intensif atau tambahan. Frekuensi pemberian radioterapi adjuvant post operasi dapat ditentukan berdasarkan stadium FIGO, ukuran tumor, dan kadar SCC-Ag pre-operasi. Frekuensi pemberian radioterapi adjuvant berbanding lurus dengan semakin tingginya kadar SCC-Ag pre operasi (Sturgeon dan Diamandis, 2010).
c. Kegunaan Klinis SCC-Ag berkaitan dengan prognosis kanker serviks
Berbagai studi menyebutkan bahwa peningkatan kadar SCC-Ag menjadi faktor risiko independen untuk prognosis buruk.
d. Kegunaan Klinis SCC-Ag dalam memonitor respon terapi dan deteksi dini terjadinya rekurensi (kekambuhan).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kadar SCC-Ag dapat digunakan untuk memonitoring perkembangan kanker serviks setelah dilakukan terapi primer. Kenaikan dan tingginya kadar SCC-Ag yang persisten setelah pemberian terapi menunjukkan perkembangan penyakit
yang semakin progresif. Sebuah penelitian membuktikan bahwa konsentrasi SCC-Ag yang diukur setelah 1 bulan pengobatan primer dengan kemoradiasi
lebih baik dibandingkan konsentrasi SCC-Ag pretreatment dalam memprediksi outcome klinis. Konsentrasi SCC-Ag yang normal pada 1 bulan setelah terapi berkorelasi dengan remisi lengkap dalam 3 bulan. Penelitian lain menyatakan bahwa konsentrasi SCC-Ag yang meningkat terus menerus pada 2-3 bulan setelah radioterapi berhubungan secara signifikan dengan peningkatan kejadian kegagalan terapi. Pasien yang tidak respon terhadap kemoterapi secara signifikan memiliki konsentrasi SCC-Ag yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang menunjukkan respon terapi lengkap maupun parsial (Sturgeon dan Diamandis, 2010).
SCC-Ag memiliki sensitivitas sebesar 56%-86% dan spesifitas 83-100% untuk mendeteksi adanya rekurensi (kekambuhan) kanker serviks. Meskipun SCC-Ag dapat digunakan untuk memonitor perjalanan penyakit kanker serviks dan berkolerasi kuat dengan outcome klinisnya, namun belum diketahui apakah dengan mendeteksi secara dini adanya rekurensi akan memengaruhi hasil terapi dan prognosis. Paling banyak hanya 10% pasien dengan penyakit rekuren dapat disembuhkan (Sturgeon dan Diamandis, 2010).
3. Penanda Tumor Ovarium
CA 125 (Cancer Antigen 125)
Tumor marker yang diterima secara klinis untuk kanker epithelial ovarium adalah CA-125 (Cancer Antigen-125), yang ditemukan meningkat pada hampir semua kasus kanker ovarium (80%), tetapi hanya meningkat pada 50% kasus stadium I, 70% kasus stadium II, 90% pada stadium III, dan > 95% pada stadium IV. Walaupun secara keseluruhan CA-125 memiliki sensitivitas yang tinggi, tetapi diikuti juga dengan spesifisitas yang rendah, karena sering ditemukan meningkat pada berbagai macam kondisi, terutama pada kelompok premenopause (endometriosis, kehamilan, infeksi, dan mioma uteri)
(Mulawardhana et al., 2011).
CA-125 atau disebut juga Cancer Antigen 125 atau Carbohydrate Antigen 125 pertama kali ditemukan oleh Bast dkk pada tahun 1981. CA-125
terdapat pada semua jaringan yang berasal dari derivat sel mesotel dan epitel coelomik, diantaranya pleura, perikardium, peritoneum, tuba, endometrium dan
endoserviks. CA-125 digunakan secara rutin sampai saat ini untuk diagnosis preoperatif dan monitoring pasien kanker epithelial ovarium. Kadar normal CA
125 yang banyak dianut adalah 0-35 unit/mL (kU/L) (Aggarwal, 2010; Suega dan Bakta, 2009).
a. CA-125 untuk Deteksi Dini Kanker Ovarium
Tingginya angka mortalitas kanker ovarium disebabkan oleh kurang efektifnya strategi untuk deteksi dini penyakit tersebut, padahal jika ditemukan pada stadium awal angka harapan hidup penderita kanker ovarium akan jauh meningkat. Belum adanya tes diagnosis yang efektif menjadi permasalahan utama untuk deteksi dini kanker ovarium. Saat ini CA-125 secara luas telah digunakan untuk skrining kanker ovarium, namun CA-125 belum dianggap sebagai marker yang ideal karena rendahnya spesitifitas
akibat tingginya angka positif palsu (Winata, 2014).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Rarung (2008) angka sensitifitas CA-125 untuk diagnosis kanker ovarium adalah sebesar 78,3% dan spesitifitas 82% dengan menggunakan nilai batas kadar CA-125 sebesar 35U/mL. Pada kanker ovarium stadium II, III, dan IV CA-125 meningkat pada 90% kasus, namun hanya 50% dari kanker ovarium stadium I yang
mengalami peningkatan kadar CA-125.
CA-125 tidak direkomendasikan untuk skrining kanker ovarium pada populasi umum, karena biaya pemeriksaan yang cukup mahal,. Namun, pada beberapa kelompok dengan risiko tinggi terkena kanker ovarium seperti dengan riwayat adanya keluarga menderita kanker ovarium, CA-125 dapat berguna untuk deteksi dini. Karena rendahnya angka spesitifitas CA-125
untuk marker deteksi dini kanker ovarium, maka peneliti mengkombinasikan CA-125 dengan pemeriksaan lain, seperti USG, HE4, dan marker lainnya namun sampai saat ini belum didapatkan hasil yang memuaskan dari kombinasi pemeriksaan tersebut (Winata, 2014).
b. CA-125 untuk Diagnosis Kanker Ovarium
Untuk membedakan apakan kanker ovarium merupakan kanker yang berasal dari ovarium atau akibat dari metastasis ke ovarium saat ini masih
bermetastasis ke ovarium adalah kanker kolorektal. Yedema dkk meneliti kombinasi CA-125 dan CEA untuk membedakan apakah kanker berasal dari ovarium atau dari kolorektal untuk menegakkan diagnosis sebelum dilakukannya terapi operatif. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa sensitifitas dan spesitifitas untuk diagnosis kanker ovarium meningkat pada pasien dengan kadar CA-125 diatas 35U/mL serta kadar CEA < 5ng/mL. Lebih lanjut perbandingan kadar CA-125/CEA diatas 25 memiliki sensitifitas 91% dan spesitifitas 100% untuk diagnosis kanker ovarium. Penelitian lain yang dilakukan oleh Sorensen dan Mosgaard juga mendukung penggunaan kombinasi CA-125 dan CEA untuk diagnosis kanker ovarium. Pada pasien dengan kadar CEA > 5ng/mL 68% ditemukan keganasan diluar ovarium. Dari hasil penelitian-penelitian tersebut dapat dipertimbangkan penggunaan kadar CA-125 dan CEA untuk mendiagnosis kanker ovarium primer (Winata, 2014).
c. CA-125 untuk Monitoring Terapi Kanker Ovarium
Salah satu fungsi CA-125 yang sering digunakan adalah untuk memonitor respon terhadap terapi pada kanker ovarium. Pada pasien dengan kanker ovarium yang telah dilakukan terapi operatif, Zivanovic et al. (2009) menemukan adanya penurunan kadar CA-125 setelah operasi. Besarnya penurunan kadar CA-125 ini berhubungan dengan volume tumor yang tersisa setelah operasi dan kadar CA-125 sebelum operasi. Pasien dengan volume residu tumor minimal setelah operasi memiliki penurunan kadar CA-125 yang lebih signifikan dibandingkan dengan pasien dengan operasi debulking suboptimal, sehingga dapat dikatakan bahwa kadar CA-125 setelah operasi mencerminkan besarnya residu penyakit tersebut.
d. CA-125 untuk Monitoring Rekurensi Kanker Ovarium
US Food and Drug administration (FDA) hanya mengindikasikan CA-125 sebagai marker untuk memonitor rekurensi kanker ovarium. Nilai kadar CA-125 dapat menjadi faktor prognosis untuk terjadinya rekurensi kanker ovarium karena adanya peningkatan CA-125 meskipun hanya sedikit dapat menunjukkan terjadinya rekurensi (Bristow, 2013). Peningkatan kadar CA-125 ditemukan pada 56-94% kasus kanker ovarium yang mengalami
rekurensi. Waktu rata-rata terjadinya tanda dan gejala kanker ovarium setelah ditemukannya peningkatan kadar CA-125 saat follow up adalah 3-5 bulan. Sebaliknya, pada 50% pasien dengan nilai kadar CA-125 yang normal setelah dilakukan kemoterapi ternyata ditemukan kanker ovarium persisten dalam jumlah yang sedikit setelah dilakukan second look surgery (Pignata, 2011).
4. Penanda Tumor Prostat
PSA (Prostat Spesific Antigen)
Dalam kondisi normal kadar PSA <3ng/ml pada laki-laki dewasa. PSA diproduksi di sel prostat dan kadar diatas 4ng/ml ditemukan pada penyakit prostat baik kasus malignant maupun kasus jinak seperti pada benign prostat hyperplasia. Walaupun diagnosis pasti dari kanker adalah biopsy tapi dengan melihat kadar PSA akan memberikan informasi penting tentang kondisi pasien. PSA adalah petanda tumor yang sudah diakui sebagai alat skrining untuk kanker prostat. Pemeriksaan PSA terdiri dari PSA free dan PSA act yang merupakan kompleks Antara PSA dengan alpha antichymotriypsin. PSA act merupakan rasio Antara total PSA dengan PSA free, dan digunakan untuk membedakan Antara kasus jinak seperti BPH dengan kanker prostat. Kadar dibawah 4 ng/mL menunjukkan tidak adanya lesi malignan sedangkan kadar diatas 10 ng/ml menandakan lesi kanker, dan nilai Antara 4-10 ng/ml metupakan area abu-abu yang masih memerlukan pemeriksaan tambahan atau serial PSA. Disini dapat dimintakan pemeriksaan PSA free. Kadar PSA free yang meningkat jarang diikuti oleh adanya kanker, dan kadar PSA free lebih besar 25% dari total PSA umumnya merupakan lesi jinak. Dibawah 15% kemungkinan suatu kanker meningkat diatas 20%, dan apabila <10% maka kemungkinan kanker meningkat menjadi sekitar 30-60%. Umumnya kadar diatas 4 ng/ml mengharuskan tindakan biopsy prostat dan kadar >20 ng/ml menunjukkan kanker sudah menyebar dan biasanya tidak bias disembuhkan (Suega dan Bakta, 2009).
Banyak faktor lain yang memengaruhi kadar PSA yaitu umur tua akan cenderung mempunyai kadar lebih tinggi. Demikian pula pada pasien BPH. Kadar PSA berkorelasi linier dengan pertumbuhan tumor, makin besar
jaringan tumor makin tinggi peningkatan kadar PSA. Terapi hormonal juga dapat memengaruhi sekresi PSA dan hal ini ditentukan oleh aktivitas androgen. Pada pasien kanker prostat yang sudah mendapatkan terapi bedah atau radioterapi menunjukkan peningkatan kadar PSA merupakan tanda adanya rekurensi. Kadar PSA seharusnya menurun setelah pasien mendapat terapi yang efektif dan kadarnya meningkat apabila tumornya tetap berkembang (Suega dan Bakta, 2009).
5. Penanda Tumor Paru
NSE (Neuron Specific Enolase), CYFRA 21.1
NSE merupakan glycolytic cytoplasmic enzyme yang berfungsi sebagai katalisator 2-fosfogliserat menjadi 2- fosfoenolpyruvate. NSE diproduksi di neuron pusat dan perifer dan tumor malignan di neuroektodermal. Selain di tempat tersebut NSE juga muncul di eritrosit, sel plasma dan platelet. NSE banyak digunakan secara luas sebagai marker pada kanker paru. Menurut penelitian Ilievska et al . (2004) Serum NSE secara klinis meningkat dan terjadi pada 47.8% orang yang menderita kanker paru. Sensibilitas NSE yaitu pada small cell lung carcinoma sebesar 69% dengan cut off point 12 ng/mL. NSE meruapakan marker spesifik sistem neuroendokrin dan tumor lainnya yang berhubungan dengan neuroendokrin.
Pada kanker paru, NSE digunakan sebagai pembantu penegak diagnosis. Diagnosis utama dan terapi kanker paru dilihat berdasarkan investigasi klinis, medical imaging , endoskopi, dan temuan intraoperatif. NSE merupakan marker yang diketahui dari serum yang dapat membantu menegakan diagnosis small cell lung cancer . NSE tidak digunakan sebagai skrining dan alasan diagnosis utama pada kanker paru. NSE marker muncul pada kasus kanker paru tipe small cell lung cancer dan berikutnya tipe non small cell lung cancer (Mumbarkar et al ., 2006). CYFRA 21.1 meningkat pada kanker paru juga dan kanker paru disertai efusi pleura. NSE lebih banyak terkena pada kanker paru tipe SCLC dan CYFRA 21.1 lebih banyak pada NSCLC (Dangfan et al ., 2013).
Marker untuk monitoring terapi sangat penting. Kebanyakan pada pasien dengan post operative pertama, kadarnya akan menurun dan
berpengaruh pada waktu paruhnya (NSE 1 hari). Pada follow up, peningkatan tumor marker bisa sebagai tanda awal terjadinya serangan/penyakit berulang pada kanker paru. Peningkatan NSE marker serum dapat terjadi antara kisaran 12 bulan sebelum terjadi tanda dan gejala klinis. Kisaran waktu tersebut sangat membantu untuk melakukan inisiasi imaging dan intervensi sekunder. NSE memiliki kapasitas diagnosis tinggi untuk kanker paru. Prognosis penyakit kanker paru dapat kita ketahui dengan marker serum CYFRA 21-1
dan TPS (Mumbarkar et al ., 2006).
Tabel 1.2. Tumor marker pada kanker paru.
Histology Before therapy Post therapy follow up
1. Unknown CYFRA21.1
NSE
Setalah operatif: lihat histologinya
Tidak operatif lihat marker serum
2. Adenocarcinoma CYFRA 21.1 CYFRA 21.1 3. Squamous cell carcinoma CYFRA 21.1 CYFRA 21.1 4. Small cell carcinoma NSE
CYFRA 21.1
NSE
CYFRA 21.1 5. Large cell carcinoma CYFRA 21.1 CYFRA 21.1 6. Penanda Tumor Kolorektal
CEA (Carcino Embryonic Antigen)
Penanda tumor kolorektal yang direkomendasikan oleh EGTM tahun 2007 yaitu CEA. Penggunaan CEA sebagai marker pada carcinoma colorecty di EGTM guideline 2007 dikarenakan beberapa hal sebagai berikut:
a. Sensitvitas dan spesifisitas CEA untuk mendeteksi awal terjadinya carcinoma colorecty.
b. CEA pre operatif menyediakan determinasi subsekuen dan bisa sebagai informasi prognostik yang tidak bergantung pada apapun.
c. Pasien dengan CRC stage II dan III menjadi kandidat untuk terkena metastasis liver, CEA dapat diperiksa setiap 2-3 bulan, selama kurang lebih 3 tahun setelah didiagnosis.
d. Monitoring terapi CRC, CEA dapat diukur setiap 2-3 bulan dan menjadi faktor keberhasilan terapi.
Faktor yang menyebabkan peningkatan serum CEA pada pasien kolorektal karsinoma adalah,
a. Tumor stage b. Tumor grade
c. Liver status
d. Ada atau tidak ada bowel obstruction e. Merokok
CEA memiliki sensitivitas sebesar 36% dan spesifisitas 87% untuk skrining tumor kolorekti derajat Dukes A dan B. CEA untuk diagnosis memiliki sensitivitas 30-80%. CEA untuk monitoring kemoterapi merupakan marker yang potensial. Peningkatan CEA serum pada pasien yang menerima kemoterapi menunjukan progresivitas pen yakit. Pada faktor prognosis kemoterapi, CEA diperiksa setiap 2-3 bulan saat sedang aktif pengobatan kemoterapi (Duffy, 2001).
Daftar Pustaka
Aggarwal, P., dan Kehoe, S. 2010. Serum tumour markers in gynaecological cancers. Maturitas, Vol. 67 (1): 46-53
Bristow, R. 2013. Ovarian cancer biomarkers as diagnostic triage tests. Current Biomarker Findings. Vol. 3: 35-42
Dangfan Y, Kaiqi D, Taifeng L, dan Goujun C. 2013. Prognostic value of tumor markers NSE, CA125, and SCC in operable NSLCL patients. International journal of molecular sciences. Vol. 14: 11145-11156
Duffy, M. J., Shering, S., Sherry, F., McDermott, E., dan O'higgins, N. 2000. CA 15-3: a prognostic marker in breast cancer. The International journal of biological markers. Vol. 15(4): 330-333
Duffy, MJ. 2001. Carcinoembryonic Antigen as a marker for colorectal cancer: Is It Clinically Useful?. Clinical chemistry. Vol. 47 (4): 624-630
Duk, J. M., Groenier, K. H., De Bruijn, H. W., Hollema, H., ten Hoor, K. A., Van Der Zee, A. G., et al ., 1996. Pretreatment serum squamous cell carcinoma antigen: a newly identified prognostic factor in early-stage cervical carcinoma. Journal of clinical oncology. Vol. 14(1): 111-118
Ebeling, F. G., Stieber, P., Untch, M., Nagel, D., Konecny, G. E., Schmitt, U. M., et al . 2002. Serum CEA and CA 15-3 as prognostic factors in primary breast cancer. British Journal of Cancer . Vol. 86 (8): 1217-1222
Harris, L., Fritsche, H., Mennel, R., Norton, L., Ravdin, P., Taube, S., et al . 2007. American Society of Clinical Oncology 2007 update of recommendations for the use of tumor markers in breast cancer. Journal of clinical oncology. Vol. 25(33): 5287-5312
Hong, J. H., Tsai, C. S., Chang, J. T., Wang, C. C., Lai, C. H., Lee, S. P., et al . 1998. The prognostic significance of pre-and posttreatment SCC levels in patients with squamous cell carcinoma of the cervix treated by radiotherapy. International Journal of Radiation Oncology* Biology* Physics. Vol. 41(4): 823-830
Ilievska B, Spirovski M, Trajkov D, Stefanovski T, Atanasova S, dan Metodieva M. 2004. Neuron specific enolase- selective marker for small cell lung cancer. Radiol Oncol . Vol. 38(1): 21-26
Mulawardhana, P., Askandar, B., dan Soeharto. 2011. Perbandingan Antara HE4, CA-125, dan kombinasi HE4 dan CA -125 sebagai Tumor Marker pada Pasien Kanker Ovarium Tipe Epitel. Majalah Obstetri dan Ginekologi. Vol. 19(2): 81-87
Mumbarkar, P.P, Raste, A.S, dan Ghadge, M.S. 2006. Significance of tumor markers in lung cancer. Indian Journal of Clinical Biochemistry. Vol. 21(1): 173-176
Pignata, S., Cannella, L., Leopardo, D., Bruni, G. S., Facchini, G., dan Pisano, C. 2011. Follow-up with CA125 after primary therapy of advanced ovarian cancer: in favor of continuing to prescribe CA125 during follow-up. Annals of oncology. Vol. 22(Suppl 8): viii40-viii44
Rarung, M. 2010. Sensitifitas dan Spesifisitas Petanda Tumor CA 125 sebagai Prediksi Keganasan Ovarium. Jurnal Kedokteran Maranatha. Vol. 8(1) Setiaputri, I. 2016. Peran Serologi Penanda Tumorpada Kanker Paru. RS.
Rotinsulu
Sturgeon, C. M., dan Diamandis, E. P. 2010. Use of tumor markers in liver, bladder, cervical, and gastric cancers. Laboratory medicine practice guidelines. Washington: National Academy of Clinical Biochemistry
Suega, K., dan Bakta, I. M. 2009 Penanda Tumor dan Aplikasi Klinik dalam Buku Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V . Jakarta: InternaPublishing
Thaker, N. G. 2014. CA 15-3. http://emedicine.medscape.com/ (diakses 04 Mei 2017)
Winata, G. A. 2014. Peran Klinis CA-125 Pada Kanker Ovarium. Artikel Ilmiah. Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
Zivanovic, O., Sima, C. S., Iasonos, A., Bell-McGuinn, K. M., Sabbatini, P. J., Leitao, M. M., et al . 2009. Exploratory analysis of serum CA-125 response to surgery and the risk of relapse in patients with FIGO stage IIIC ovarian cancer. Gynecologic oncology. Vol. 115(2): 209-214