• Tidak ada hasil yang ditemukan

Schizophyllum commune Fr. SEBAGAI JAMUR UJI KETAHANAN KAYU STANDAR NASIONAL INDONESIA PADA EMPAT JENIS KAYU RAKYAT: SENGON, KARET, TUSAM, DAN MANGIUM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Schizophyllum commune Fr. SEBAGAI JAMUR UJI KETAHANAN KAYU STANDAR NASIONAL INDONESIA PADA EMPAT JENIS KAYU RAKYAT: SENGON, KARET, TUSAM, DAN MANGIUM"

Copied!
68
0
0

Teks penuh

(1)

Schizophyllum commune Fr. SEBAGAI JAMUR UJI

KETAHANAN KAYU STANDAR NASIONAL INDONESIA

PADA EMPAT JENIS KAYU RAKYAT: SENGON, KARET,

TUSAM, DAN MANGIUM

LAILA FITHRI MARYAM

DEPARTEMEN SILVIKULTUR

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

RINGKASAN

LAILA FITHRI MARYAM. E44062717. Schizophyllum commune Fr. Sebagai Jamur Uji Ketahanan Kayu Standar Nasional Indonesia pada Empat Jenis Kayu Rakyat: Sengon, Karet, Tusam, dan Mangium. Di bawah bimbingan Dr. Ir. Elis Nina Herliyana, M.Si dan Prof. Dr. Ir. Yusuf Sudo Hadi, M.Agr

Schizophyllum commune Fr. merupakan jamur pelapuk kayu yang cukup

ganas karena dalam beberapa kasus dapat menyebabkan kehilangan berat sampai 70 %. Jamur ini dapat menyerang berbagai jenis kayu (lebih dari 25 spesies kayu), telah tersebar luas terutama di daerah tropis, serta mudah tumbuh dan berkembang pada berbagai kondisi.

Jamur pelapuk kayu mempunyai kemampuan menguraikan komponen-komponen sel kayu melalui proses enzimatik dari bentuk yang kompleks menjadi lebih sederhana. Ketahanan kayu sangat dipengaruhi oleh kandungan zat ekstraktifnya meskipun tidak semua zat ekstraktif bersifat racun bagi organisme perusak kayu. Berdasarkan sifat ketahanannya, sebagian besar kayu rakyat memiliki kelas ketahanan yang rendah (kelas III, IV, dan V). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat ketahanan empat jenis kayu rakyat yaitu kayu sengon (P. falcataria), karet (H. brasiliensis), tusam (P. merkusii), dan mangium (A. mangium) terhadap serangan jamur pelapuk S. commune berdasarkan SNI 01.7202-2006.

Parameter ketahanan kayu terhadap serangan jamur S. commune dilihat dari nilai kehilangan bobot contoh uji. Berdasarkan hasil pengujian diketahui bahwa kayu sengon termasuk ke dalam kelas ketahanan IV-V (tidak tahan sampai sangat tidak tahan terhadap serangan jamur) dengan nilai kehilangan bobot sengon longitudinal dan sengon cross berturut-turut adalah 32.2 dan 15.5 %. Kayu karet termasuk ke dalam kelas ketahanan IV (tidak tahan terhadap serangan jamur) dengan nilai kehilangan bobot karet longitudinal dan karet cross berturut-turut adalah 13.8 dan 12.0 %. Kayu tusam dan mangium termasuk ke dalam kelas ketahanan III (agak tahan). Nilai kehilangan bobot tusam longitudinal dan tusam cross berturut-turut adalah 8.0 dan 9.3 %. Sedangkan nilai kehilangan bobot mangium longitudinal dan mangium cross berturut-turut adalah 6.3 dan 6.3 %.

Dengan demikian, jenis kayu yang dianjurkan untuk menjadi kayu kontrol dalam pengujian ketahanan kayu terhadap jamur S. commune adalah kayu sengon dengan arah serat longitudinal. Jamur S. commune dapat digunakan sebagai standar dan direkomendasikan menjadi jamur untuk pengujian ketahanan alami kayu karena dapat menyebabkan kehilangan bobot hingga 32.2 % pada kayu sengon dengan arah serat longitudinal.

Kata kunci: ketahanan kayu, kayu sengon, kayu karet, kayu tusam, kayu

(3)

SUMMARY

LAILA FITHRI MARYAM. E44062717. Schizophyllum commune Fr. As Indonesian National Standard Wood Resistance Test Fungi on Four Kinds of Community Wood: Sengon, Rubber, Tusam, and Mangium. Under Guidances: Dr. Ir. Elis Nina Herliyana, M.Si and Prof. Dr. Ir. Yusuf Sudo Hadi, M.Agr

Schizophyllum commune Fr. is a vicious wood decaying fungi that in

several cases could cause to 70 % weight loss. These fungi could attack various kind of woods (more than 25 wood species). It has been widely distributed especially in tropical area, and could easily grow in many conditions.

This wood decaying fungi has an ability to decompose cell components of the woods through enzymatic processes from a complex to simpler form. Resistance of wood is strongly influenced by the content of extractive substances, although not all of these extractive substances are nocuous to wood destroying organisms. Based on the resistance, most common community woods have a low grade of resistance (grade III, IV, and V). This study aimed to determine the resistance of the four kind community woods which are sengon wood (P.

falcataria), rubber (H. brasiliensis), tusam (P. merkusii), and mangium (A. mangium) against S. commune based on SNI 01.7202-2006.

Parameters of the wood resistance against S. commune attack could be seen from the sample of weight loss. Based on the results of testing, it was known that sengon wood resistance was classified to a class IV-V (weak to extremely weak resistance to fungal attack) with the weight loss of longitudinal sengon and cross sengon respectively 32.2 and 15.7 %. Rubber wood resistance was classified to a class IV (weak resistance) with the weight loss value of longitudinal rubber and cross rubber respectively 13.8 and 12.0 %. Tusam and mangium wood’s resistance was clasified to a class III (moderate resistance) with the weight loss value of longitudinal tusam and cross tusam respectively 8.0 and 9.3 %. As for the mangium, the weight loss of longitudinal mangium and cross mangium respectively 6.3 and 6.3 %.

Thus, the recommended wood as the control for the test of resistance against S.commune attack was sengon wood with the longitudinal direction of fiber. Fungi S. communne could use as the standard and was a recommended fungi for the the resistance test of the wood as it could cause the weight loss up to 3.2 % on sengon wood with the longitudinal direction of fiber.

Key words: wood resistance, sengon wood, rubber wood, tusam wood, mangium

(4)

Schizophyllum commune Fr. SEBAGAI JAMUR UJI

KETAHANAN KAYU STANDAR NASIONAL INDONESIA

PADA EMPAT JENIS KAYU RAKYAT: SENGON, KARET,

TUSAM, DAN MANGIUM

Skripsi

Karya Ilmiah Sebagai Salah Satu Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kehutanan pada

Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

LAILA FITHRI MARYAM

E44062717

DEPARTEMEN SILVIKULTUR

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Schizophyllum commune Fr. Sebagai Jamur Uji Ketahanan Kayu Standar Nasional Indonesia pada Empat Jenis Kayu Rakyat: Sengon, Karet, Tusam, dan Mangium adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, November 2011

Laila Fithri Maryam NRP. E44062717

(6)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Skripsi : Schizophyllum commune Fr. Sebagai Jamur Uji Ketahanan Kayu Standar Nasional Indonesia pada Empat Jenis Kayu Rakyat: Sengon, Karet, Tusam, dan Mangium Nama mahasiswa : Laila Fithri Maryam

Nomor Pokok : E44062717

Menyetujui : Dosen Pembimbing,

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr. Ir. Elis Nina Herliyana, M.Si Prof. Dr. Ir. Yusuf Sudo Hadi, M.Agr NIP. 19670421 199103 2 001 NIP. 19521113 197803 1 002

Mengetahui :

Ketua Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB,

Prof. Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS NIP. 19601024 198403 1 009

(7)

i

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan berkah, rahmat, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul Schizophyllum commune Fr. Sebagai Jamur Uji Ketahanan Kayu Standar Nasional Indonesia pada Empat Jenis Kayu Rakyat: Sengon, Karet, Tusam, dan Mangium.

Penelitian dilakukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat ketahanan empat jenis kayu rakyat yaitu kayu Sengon (P. falcataria), kayu Karet (H. brasiliensis), kayu Tusam (P. merkusii), dan kayu Mangium (A. mangium) terhadap serangan jamur pelapuk S. commune berdasarkan SNI 01.7202 serta mengetahui kelayakan jamur pelapuk S. commune sebagai jamur uji ketahanan kayu melalui pengujian di laboratorium (laboratory test).

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Yusuf Sudo Hadi, M.Agr dan Dr. Ir. Elis Nina Herliyana, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada kedua orangtua tercinta dan segenap keluarga besar penulis atas segala doa, cinta, kasih sayang, dan dukungan yang telah diberikan. Selain itu, terima kasih juga penulis sampaikan kepada pihak-pihak dan rekan-rekan yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari sepenuhnya akan keterbatasan dan kekurangan dalam penyusunan skripsi ini, maka dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini, khususnya kepada pihak-pihak yang berkompeten dengan skripsi ini. Mudah-mudahan uraian ini dapat bermanfaat serta menjadi pemicu semangat bagi penulis untuk mengkaji lebih luas dan menggali lebih dalam pengetahuan yang telah didapat.

Bogor, November 2011

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Bogor, Jawa Barat pada tanggal 17 Mei 1988 sebagai anak pertama dari enam bersaudara pasangan Bapak Mastur Thoyib Kesi dan Ibu N.A Rumiasih.

Jenjang pendidikan formal yang telah dilalui penulis antara lain di Sekolah Dasar Negeri Sukadamai 3 Bogor tahun 1994-1996, Madrasah Ibtidaiyah Pesantren Darunnajah Cipining Bogor tahun 1996-1999, Sekolah Dasar Negeri Cibadak Bogor tahun 1999-2000, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di SLTP Negeri 11 Bogor tahun 2000-2001 dan SLTP Negeri 5 Bogor tahun 2001-2003, dan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 2 Bogor tahun 2003- 2006. Pada tahun 2006 penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB).

Penulis telah mengikuti beberapa kegiatan praktek lapang antara lain Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) pada bulan Juli 2008 di Cilacap-Baturraden, Jawa Tengah. Kemudian pada bulan Juli – Agustus 2009 penulis melakukan Praktek Pengelolaan Hutan (P2H) di Gunung Walat dan pada bulan Juni – Agustus 2010 penulis melakukan Praktek Kerja Profesi (PKP) di Hutan Rakyat, Kabupaten Bogor.

Kegiatan kemahasiswaan yang pernah diikuti penulis yaitu Himpunan Profesi Departemen Silvikultur (Tree Grower community atau TGC) tahun 2007 sampai 2009, DKM Ibadurrahman Fahutan tahun 2007, peserta BCR tahun 2007, panitia pengenalan Departemen Silvikultur tahun 2008, dan panitia usaha budidaya jamur tiram tahun 2009 dan 2010.

Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul: Schizophyllum commune Fr. Sebagai Jamur Uji Ketahanan Kayu Standar Nasional Indonesia pada Empat Jenis Kayu Rakyat: Sengon, Karet, Tusam, dan Mangium dibawah bimbingan Dr. Ir. Elis Nina Herliyana, M.Si dan Prof. Dr. Ir. Yusuf Sudo Hadi, M.Agr.

(9)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan berkah, rahmat, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Semua ini tentunya tidak lepas dari dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya terutama kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Yusuf Sudo Hadi, M.Agr dan Dr. Ir. Elis Nina Herliyana, M.Si selaku dosen pembimbing atas kesabaran dan keikhlasannya dalam memberikan bimbingan ilmu, nasehat, dan motivasi kepada penulis.

2. Orangtua tercinta (Bapak Mastur Thoyib Kesi dan Ibu N.A Rumiasih) atas kasih sayang, cinta, doa, dan dukungan yang telah diberikan baik moril maupun spiritual. Kelima adik penulis (Muhammad Hizbullah, Hikmatul Aliyah, Masithoh Nur Baiti, Hana Roihana, dan Umar Al-Mukhtar) atas segala pengertiannya.

3. Dr. Ir. Agus Priyono K. M.Si selaku dosen penguji ujian komprehensif atas arahan dan masukan yang diberikan kepada penulis.

4. Ir. Iwan Hilwan, MS selaku moderator seminar hasil skripsi dan juga sebagai ketua sidang komprehensif atas arahan dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis.

5. Prof. Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS selaku Ketua Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

6. Dr. Ir. Noor Farikhah Haneda, M.Sc selaku Plh. Ketua Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

7. Ibu Tutin selaku Laboran di Laboratorium Patologi Hutan, Teh Ai Rosah, dan Mas Jenal atas segala perhatian, arahan, bimbingan, dan bantuannya kepada penulis selama ini.

8. Seluruh Staf Tata Usaha Departemen Silvikultur atas bantuannya selama ini. 9. Teman-teman mahasiswa Lab. Pathologi Hutan: Dewi Arna Natalia, Nana,

Nanan, Kak Kemal, Nifa, Ucik, dan Dian. Terima kasih untuk semangat, doa, bantuan, dan kesabarannya selama melakukan penelitian bersama.

(10)

10. Rekan-rekan mahasiswa Departemen Silvikultur angkatan 43 dan mahasiswa Fahutan angkatan 43 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu terimakasih atas kebersamaan dan dukungan yang selalu kalian berikan.

11. Sahabat-sahabat tercinta (Ega, Sandra, Nova, Tutu, Rara, Dita, Ati, Jatil, Zizi, Wiwin, Ayu, dan Betti) atas persahabatan yang berarti bagi penulis.

12. Sahabat-sahabat setia sejak menginjakkan kaki di IPB hingga saat ini (Kristiana, Nurika Naulie Faizah, dan Firsty Rahmatia) atas persaudaraan yang mendalam dan semua hal yang telah diberikan dan dilalui bersama.

13. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu kelancaran studi penulis, baik selama kuliah maupun dalam penyelesaian skripsi ini.

Harapan terbesar penulis adalah semoga hasil dari penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi banyak pihak, terutama bagi yang memerlukan.

Bogor, November 2011

Penulis

(11)

v

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 2

1.3 Manfaat Penelitian ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jamur Pelapuk Kayu Schizophyllum commune Fries ... 4

2.2 Sengon ... 5

2.3 Karet ... 6

2.4 Tusam ... 8

2.5 Mangium ... 9

2.6 Komposisi Kimia Kayu ... 10

2.7 Siklus dan Proses Pelapukan Kayu oleh Jamur Pelapuk ... 12

2.8 Ketahanan Kayu terhadap Jamur Pelapuk S. commune ... 13

III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat ... 16

3.2 Alat dan Bahan ... 16

3.3 Metode Penelitian ... 17

3.3.1 Persiapan Bahan ... 17

3.3.2 Pengambilan Contoh Uji ... 17

(12)

3.3.4 Prosedur Pengujian ... 19

3.3.5 Perhitungan Kehilangan Bobot ... 19

3.4 Rancangan Percobaan dan Analisis Data ... 20

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengujian Kayu Rakyat berdasarkan Kehilangan Bobot ... 23

4.2 Sidik Ragam ... 24

4.3 Nilai Rata-rata Kehilangan Bobot (Uji Duncan) ... 25

4.4 Pengamatan Visual Kayu ... 29

4.5 Ketahanan Alami ... 31

4.6 Ketahanan Kayu terhadap Jamur Pelapuk S. commune ... 32

V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 36

5.2 Saran ... 37

DAFTAR PUSTAKA ... 38

(13)

vii

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Komposisi Kimia Kayu Sengon ... 6

2. Komposisi Kimia Kayu Karet ... 7

3. Analisis Kimia Kayu Karet Berdasarkan Umur ... 7

4. Komposisi Kimia Kayu Tusam ... 8

5. Komposisi Kimia Kayu Mangium ... 10

6. Dua macam komponen kimia kayu berdasarkan bobot molekul ... 11

7. Kelas Ketahanan Kayu terhadap Jamur Pelapuk Kayu S. commune ... 14

8. Hasil pengujian Empat Jenis Kayu Rakyat berdasarkan Persentase kehilangan bobot ... 23

9. Analisis Ragam Kehilangan Bobot Pada Uji Ketahanan Kayu ... 24

10. Nilai Rata-rata Kehilangan Bobot berdasarkan Jenis Kayu ... 26

11. Nilai Rata-rata Kehilangan Bobot berdasarkan Arah Serat ... 26

12. Nilai Rata-rata Kehilangan Bobot (Uji Duncan) ... 27

13. Perbandingan Kelas Awet Kayu Berdasarkan Literatur dan Hasil Uji Laboratorium ... 23

14. Hasil Pengujian Ketahanan Kayu pada Kayu Sengon Arah Serat Longitudinal ... 47

15. Hasil Pengujian Ketahanan Kayu pada Kayu Sengon Arah Serat Cross Section ... 47

16. Hasil Pengujian Ketahanan Kayu pada Kayu Karet Arah Serat Longitudinal ... 48

17. Hasil Pengujian Ketahanan Kayu pada Kayu karet Arah Serat Cross Section ... 48

18. Hasil Uji Ketahanan Kayu pada Kayu Tusam Longitudinal... 49

19. Hasil Uji Ketahanan Kayu pada Kayu Tusam Cross Section ... 49

20. Hasil Uji Ketahanan Kayu pada Kayu Mangium Longitudinal ... 50

(14)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Tubuh buah Schizophyllum commune Fr . ... 5

2. Isolat jamur S. commune koleksi Lab. Penyakit Hutan ... 16

3. Contoh Uji Kayu arah serat longitudinal dan cross section ... 17

4. Tahapan Pemotongan kayu dengan dua macam arah serat ... 18

5. Persentase kehilangan bobot metode SNI 01.7207-2006 ... 24

6. Kayu Sengon arah serat longitudinal dan cross section ... 29

7. Kayu Karet arah serat longitudinal dan cross section ... 30

8. Kayu Tusam arah serat longitudinal dan cross section ... 30

(15)

ix

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1. Dokumen Asli Standar Pengujian SNI 01.7202-2006 ... 41

2. Dokumen Asli Standar Pengujian JIS K 1571- 2004 ... 44

3. Hasil Pengujian Ketahanan Empat Jenis Kayu Rakyat ... 47

(16)

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hutan merupakan kekayaan alam Indonesia dengan berbagai keanekaragaman hayati. Salah satu bentuk keanekaragaman tersebut adalah jamur yang diketahui tumbuh secara liar di alam. Jamur biasanya banyak ditemukan pada awal musim hujan dan dapat hidup di tanah ataupun kayu pada suhu udara yang cukup lembab. Potensi jamur sebagai salah satu sumber hayati belum dimanfaatkan secara optimal. Jamur Schizophyllum commune Fr. merupakan salah satu jenis jamur pelapuk kayu yang sangat potensial dan dapat tumbuh secara alami pada batang pohon maupun pada limbah kayu hasil hutan.

Di sisi lain, kayu adalah satu di antara hasil hutan yang sampai saat ini masih dianggap paling tinggi nilai ekonominya. Dalam upaya untuk memenuhi permintaan akan kayu, ditemui berbagai kendala, salah satunya yaitu adanya gangguan dari mikroorganisme penyebab kerusakan kayu. Secara umum semua jenis kayu dari berbagai bentuk dan ukuran mempunyai kemungkinan untuk diserang oleh mikroorganisme. Akan tetapi ada juga beberapa jenis kayu yang tahan terhadap serangan jamur. Hal ini disebabkan karena adanya zat ekstraktif di dalam kayu yang bersifat anti jamur (fungisida) alami. Meskipun tidak semua ekstraktif beracun bagi organisme perusak kayu, umumnya terdapat kecenderungan bahwa semakin tinggi kadar ekstraktif, ketahanan alami kayu cenderung meningkat pula.

Jamur merupakan kelompok mikroorganisme yang paling umum menyebabkan kerusakan kayu dibandingkan dengan kelompok mikroorganisme yang lain seperti bakteri, virus, dan nematoda (Hadi 1984, 1991 dalam Herliyana 1994). Jamur S. commune merupakan jamur pelapuk kayu yang cukup ganas karena dalam beberapa kasus dapat menyebabkan kehilangan berat sampai 70 % (Martawijaya 1965 dalam Herliyana 1994). Pertumbuhannya pun relatif mudah dan cepat. Jamur pelapuk kayu merupakan golongan jamur yang dapat merombak selulosa dan lignin sehingga kayu menjadi lapuk, kekuatan serat elastisitasnya turun dengan cepat.

(17)

2

Jamur adalah tumbuhan tingkat rendah yang tidak mempunyai zat hijau daun (chlorofil). Untuk kelangsungan hidupnya mereka hidup sebagai parasit atau saprofit. Jamur perusak kayu hidup dari komponen-komponen kayu, seperti selulosa, hemiselulosa, dan lignin yang dirombak secara biokimia dengan bantuan enzim. Karena perombakan inilah maka sifat-sifat kayu berubah (Nandika 1986).

Sementara itu, keberadaan kayu rakyat telah diketahui secara luas sangat potensial. Namun berdasarkan sifat ketahanannya, sebagian besar kayu rakyat memiliki kelas awet yang rendah (kelas awet III, VI, dan V). Pengujian ketahanan kayu sudah lama dilakukan. Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kelas awet kayu terhadap organisme perusak terutama yang disebabkan oleh jamur.

SNI 01.7202-2006 merupakan standar pengujian kayu yang terbaru di Indonesia. Namun masih terdapat banyak kekurangan dan bersifat terlalu umum. Ada beberapa hal yang membingungkan pada standar SNI 01.7207-2006, yaitu prosedur atau tahapan kerja yang kurang sesuai dan adanya kesalahan pada persamaan atau rumus yang digunakan untuk menghitung besarnya persentase kehilangan bobot contoh uji kayu. Sebagai pembanding adalah JIS K 1571-2004, dimana standar ini memiliki prosedur yang sangat mudah dilaksanakan. Melalui penelitian ini, kami ingin menguji kembali SNI 01.7202-2006 melalui pengujian laboratorium (laboratory test) terhadap kelas awet berbagai kayu rakyat.

1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui tingkat ketahanan empat jenis kayu rakyat yaitu kayu Sengon (P.

falcataria), kayu Karet (H. brasiliensis), kayu Tusam (P. merkusii), dan kayu

Mangium (A. mangium) terhadap serangan jamur pelapuk S. commune berdasarkan SNI 01.7202-2006 dan membandingkannya dengan literatur. 2. Mengetahui kelayakan jamur pelapuk S. commune sebagai jamur uji ketahanan

kayu melalui pengujian di laboratorium (laboratory test).

3. Mengetahui arah serat kayu yang sebaiknya digunakan dalam pengujian ketahanan kayu SNI 01.7207-2006 terhadap jamur pelapuk S. commune.

(18)

1.3 Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat:

1. Memberikan informasi mengenai teknis pengujian ketahanan kayu berdasarkan SNI 01.7207-2006.

2. Memberikan informasi mengenai kelas awet dari empat jenis kayu rakyat (sengon, karet, tusam, dan mangium) berdasarkan hasil pengujian di laboratorium.

3. Memberikan saran-saran yang diharapkan dapat memperbaiki kualitas standar pengujian ketahanan kayu yang dimiliki oleh Indonesia (SNI 01.7207-2006).

(19)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Jamur pelapuk kayu Schizophyllum commune Fries

Jamur pelapuk kayu Schizophyllum commune Fr. termasuk dalam kelas Basidiomycetes, famili Schizophyllaceae. S. commune diketahui telah tersebar di seluruh dunia (kosmopolit) dan dapat menimbulkan kerusakan yang berarti terutama di daerah tropika. Jamur ini mempunyai pertumbuhan yang relatif mudah dan cepat. Selain itu, S. commune merupakan jamur pelapuk kayu yang cukup ganas karena dalam beberapa kasus dapat menyebabkan kehilangan berat sampai 70 % (Martawijaya 1965 dalam Herliyana 1994).

Menurut Alexopoulus dan Mims (1979) dalam Herliyana (1994), S.

commune secara lengkap diklasifikasikan sebagai berikut:

Regnum : Myceteae Divisi : Amastigomycota Sub-Divisi : Basidiomycotina Kelas : Basidiomycetes Sub-Kelas : Holobasidiomycetidae I Seri : Hymenomycetes I Ordo : Aphyllophorales Famili : Schizophyllaceae Genus : Schizophyllum

Spesies : Schizophyllum commune

Menurut Alexopoulus dan Mims (1979) dalam Herliyana (1994), S.

commune memiliki ciri-ciri yang khas yaitu tubuh buah berwarna abu-abu,

berbentuk seperti kipas dengan diameter antara 1 sampai 4 cm, tubuh berdempetan secara lateral dan tidak bertangkai. Lapisan hymeniumnya terdiri dari lamella tebal yang robek (split) memanjang dengan kedua tepinya melipat ke dalam.

Sementara itu menurut Buller (1909) dalam Herliyana (1994), S. commune memiliki ciri-ciri antara lain tubuh buah yang biasanya berdempetan secara lateral dengan lebar mencapai 3 cm, tubuh buah ini dapat terbentuk secara tunggal dan seringkali dalam kelompok. Lamela jamur ini terdiri dari fasciculi, dimana antara

(20)

fasciculi yang lebih panjang dipisahkan oleh 3 sampai 5 fasciculi yang lebih pendek.

Menurut Buller (1931) dalam Herliyana (1994), jamur ini digolongkan sebagai heterotalik hymenomicetes, dimana micelia “monoporous” yang berbeda sifat sexnya bersatu dan intinya berkonyugasi, sebelum dapat membentuk tubuh buah yang diploid. Basidium jamur ini menghasilkan 4 macam spora yang haploid yaitu AB, Ab, aB, dan ab dan berwarna putih. Gaumann dan Dodge (1928) dalam Herliyana (1994) menambahkan bahwa miselium S. commune dilengkapi dengan sambungan apit (clamp connections) dan berinti dua.

S. commune Fr. merupakan jamur pelapuk putih (white rot) yang

merombak lignin dan selulosa. Jamur ini dapat menghasilkan selobiase dan enzim ekstrakurikuler endo-beta-1,3 (4)-glukase (Tambunan & Nandika 1989 dalam Fitriyani 2010). Jamur pelapuk kayu S. commune merupakan jamur yang menyebabkan pelapukan atau pewarnaan kayu dan bahan-bahan selulosa lain. Hal ini dikarenakan jamur merupakan tumbuh-tumbuhan sederhana yang tidak mengandung klorofil sehingga tidak dapat memproduksi makanannya sendiri. Dengan demikian, jamur harus memperoleh energinya dari bahan-bahan organik lain (Haygreen & Bowyer 1989 dalam Fitriyani 2010).

Sumber Foto : Laila F

Gambar 1. Tubuh buah S. commune Fr.

2.2 Sengon (Paraserianthes falcataria L. Nielsen)

Sengon tergolong dalam famili Leguminoceae, merupakan jenis tanaman yang cepat tumbuh, tidak membutuhkan kesuburan tanah yang tinggi, dapat tumbuh pada tanah-tanah kering, tanah lembab, dan bahkan tanah-tanah yang

(21)

6

mengandung garam serta dapat bertahan terhadap kekurangan oksigen (Pamoengkas 1992 dalam Syafitri 2008).

Sengon memiliki ciri-ciri umum antara lain yaitu warna kayu teras dan kayu gubalnya sulit dibedakan, warnanya putih abu-abu kecoklatan atau putih merah kecoklatan pucat. Teksturnya agak kasar sampai kasar, dengan arah serat terpadu atau kadang-kadang lurus, dan sedikit bercorak. Tingkat kekerasannya yaitu agak lunak dan beratnya ringan (Pandit dan Ramdan 2002).

Sengon tergolong kayu ringan dengan berat jenis rata-rata yaitu 0,33 (0,24-0,49), dengan kelas awet IV-V dan kelas kuat IV-V (Mandang dan Pandit 1997). Daya tahan sengon terhadap rayap kayu kering termasuk kelas III, sedangkan terhadap jamur pelapuk kayu termasuk kelas II-IV. Tingkat ketahanan kayu Sengon termasuk kelas sedang (Martawijaya et al. 1989 dalam Syafitri 2008). Kegunaannya adalah sebagai bahan bangunan perumahan terutama di pedesaan, peti, papan partikel, papan serat, papan wool semen, kelom, dan barang kerajinan lainnya. Nama lain dari Sengon yaitu jeunjing (Jawa Barat), sengon laut (Jawa Tengah dan Jawa Timur), sengon sabrang, sika, dan wahagom (Pandit dan Ramdan 2002).

Tabel 1. Komposisi kimia kayu sengon

Analisis Kimia Kadar

Lignin 26,8%

Selulosa 49,4%

Zat ekstraktif (larut alkohol- benzene) 3,4%

Pentosan 15,6%

Abu 0,6%

Silika 0,2%

Sumber: Martawijaya 1989

2.3 Karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg)

Karet termasuk ke dalam famili Euphorbiaceae yang banyak ditemukan pada perkebunan besar maupun perkebunan rakyat di Jawa, Sumatra, dan Kalimantan (Komariyah et al. 1995 dalam Safitri 2003).

(22)

Ciri-ciri umum kayu karet antara lain memiliki bagian teras berwarna putih kekuning-kuningan pucat, terkadang agak merah jambu jika segar dan lambat laun berubah menjadi kuning jerami atau coklat pucat, namun tidak tegas batasnya dengan gubal. Kayu karet memiliki berat jenis rata-rata 0,61 (0,55-0,70) dengan kelas awet V dan termasuk dalam kelas kuat II-III. Kayu karet banyak digunakan untuk perabot rumah tangga, untuk kayu bentukan misalnya panel dinding, bingkai gambar atau lukisan, lantai parket, inti papan blok, palet, peti wadah, peti jenazah, vinir, kayu lamina untuk tangga, serta kerangga pintu dan jendela (Mandang dan Pandit 1997).

Tabel 2. Komposisi kimia kayu karet

Komponen Kimia Kadar (%)

Selulosa total 60,0-68,0

Alpha selulosa 39,0-45,0

Pentosan 19,0-22,0

Lignin 19,0-24,0

Abu 0,65-1,30

Sumber: Boerhendy dan Agustina 2006

Tabel 3. Analisis kimia kayu karet berdasarkan umur

Sumber: Pari 1996

Analisis kimia Umur

10 Tahun 20 Tahun Holocellulose, % 69,40 66,46 Cellulose, % 47,81 48,64 Lignin, % 30,60 33,54 Pentosan, % 17,80 16,81 Silica, % 0,30 0,52

Kadar abu (Ash content), % 1,21 1,25

Kadar air (Moisture content), % 5,58 4,21 Kelarutan dalam (Solubility in), %:

Air dingin (Cold water) 3,87 3,92

Air panas (Hot water) 5,01 4,36

Alcohol: Benzene 4,18 4,43

(23)

8

2.4 Tusam/Pinus (Pinus merkusii Jungh et de Vries)

Pinus termasuk dalam famili Pinaceae dan spesies Pinus merkusii dan satu-satunya yang tumbuh di selatan khatulistiwa (Suheti et al. 1998 dalam Forlendiana 2005). Pinus memiliki ciri-ciri umum antara lain yaitu warna kayu teras dengan gubalnya sukar dibedakan kecuali pada pohon berumur tua, kayu teras berwarna kuning kemerahan sedangkan kayu gubal berwarna putih krem. Pada permukaan radial dan tangensialnya mempunyai corak yang disebabkan perbedaan struktur kayu awal dan kayu akhirnya sehingga terkesan ada pola dekoratif. Riap tumbuh agak jelas terutama pada pohon-pohon yang berumur tua, pada penampang melintang kelihatan seperti lingkaran-lingkaran memusat. Pinus bertekstur agak kasar dan serat lurus yang tidak rata dengan kekerasan yang agak keras dan berat agak ringan sampai agak berat (Pandit dan Ramdan 2002).

Sjostrom (1981) menambahkan bahwa kayu teras pada pinus secara khas mengandung ekstraktif jauh lebih banyak daripada kayu gubal. Kandungan zat ekstraktif ini berguna untuk melindungi kayu dari kerusakan secara mikrobiologi atau serangan serangga. Pinus memiliki berat jenis rata-rata sebesar 0,55 (0,40-0,75) dengan kelas awet IV dan kelas kuat III. Kegunaannya yaitu sebagai bahan papan partikel, pulp dan kertas, vinir, perabot rumah tangga, korek api, pensil, kotak, kerangka pintu dan jendela, dan mainan anak-anak. Nama lain dari pinus yaitu damar batu, damar bunga, huyam, uyam, dan sala (Pandit dan Ramdan 2002).

Tabel 4. Komposisi kimia kayu tusam

Analisis Kimia Kadar

Lignin 24,3%

Selulosa 54,9%

Zat ekstraktif (larut alkohol- benzene) 6,3%

Pentosan 1,4%

Abu 1,1%

Silika 0,2%

(24)

2.5 Mangium (Acacia mangium Willd.)

A. mangium Willd. merupakan salah satu dari 1100 spesies tanaman yang

termasuk famili Leguminosae, sub-famili Mimosoideae, dan ordo Rosales (Anonymous 1983 dalam Forlendiana 2005). Klasifikasi secara lengkap A.

mangium Willd. menurut National Research Council (1983) dalam Syafitri (2008)

yaitu termasuk ke dalam:

Sub-Kingdom : Embryophyta Filum : Tracheophyta Sub-filum : Pteropsida Kelas : Angiospermae Sub-kelas : Dycotyledone Famili : Fabaceae Sub-famili : Mimosaideae

Spesies : Acacia mangium Willd.

Tanaman A. mangium memiliki beberapa keunggulan, antara lain: merupakan jenis yang cepat tumbuh (fast growing species) dan mudah tumbuh (adaptive) pada kondisi lahan yang kurang subur. Jenis ini juga tidak memerlukan persyaratan tumbuh yang tinggi. Dapat tumbuh pada lahan dengan pH rendah, tanah berbatu, serta tanah yang telah mengalami erosi. Karena kelebihan yang dimilikinya tersebut, jenis ini banyak digunakan dalam kegiatan HTI, rehabilitasi hutan dan lahan Indonesia (PPPBPH 2003 dalam Syafitri 2008). Keunggulan lainnya adalah A. mangium sebagai kayu keras mempunyai kandungan lignin lebih rendah dan terutama lebih mudah didelignifikasi daripada kayu lunak (Fengel dan Wegener 1995).

Ciri umum dari A. mangium adalah memiliki teras berwarna coklat tua, coklat zaitun sampai coklat kelabu, batasnya tegas dengan gubal berwarna kuning pucat sampai kuning jerami. Coraknya polos atau berjalur-jalur berwarna gelap dan terang bergantian pada bidang radial. Teksturnya halus sampai agak kasar dan merata. Arah seratnya halus, kadang-kadang berpadu. Permukaannya agak mengkilap dan memiliki kesan raba yang licin. Kekerasannya agak keras sampai keras. A. mangium memiliki berat jenis rata-rata 0,61 (0,43-0,66), dengan kelas awet III dan kelas kuat II-III (Mandang dan Pandit 1997).

(25)

10

Kegunaannya adalah sebagai bahan konstruksi ringan sampai berat, rangka pintu dan jendela, perabot rumah tangga (a.l lemari), lantai, papan dinding, tiang, tiang pancang, gerobak dan rodanya, pemeras minyak, gagang alat, alat pertanian, kotak dan batang korek api, papan partikel, papan serat, vinir dan kayu lapis, pulp dan kertas; selain itu baik juga untuk kayu bakar (Mandang dan Pandit 1997).

Tabel 5. Komposisi kimia kayu mangium

Kimia kayu Deptan, 1976 Siagian et al. (1999)

Whitemore Organization (1984)

dalam Silitonga (1993)

Lignin lignin sedang (18–32 %)

lignin sedang (19,7%) Lignin 19,7% Selulosa selolusa sedang

(40–44 %) selulosa tinggi (44,0%-69,4%) Holo-sellulosa 69,4 Alfa-sellulosa 44,0 Zat ekstraktif

zat ekstraktif (larut alkohol-benzene) tinggi

ektraktif tinggi Kelarutan: - Alk. Benzen 5,6 - Air panas 9,8 - NaOH 1 % 14,8 Pentosan termasuk rendah - Pentosan 16,0

Abu Rendah - Abu 0,68

silika Rendah - -

Sumber: Malik et al.

2.6 Komponen Kimia Kayu

Berdasarkan bobot molekul atau tingkat polimernya, terdapat dua macam komponen kimia kayu yaitu komponen yang bobot molekulnya rendah dan komponen yang bobot molekulnya tinggi. Komponen dengan bobot molekul rendah antara lain bahan organik dan anorganik. Komponen yang mempunyai bobot molekul tinggi terdiri atas polisakarida (holoselulosa) dan lignin (Herliyana 1997).

Komponen utama kayu terdiri dari selulosa, hemiselulosa, lignin, zat ekstraktif dan abu. Selulosa merupakan bagian terbesar yang terdapat dalam kayu, yaitu berkisar antara 39-55%, kemudian lignin 18-33%, pentosan 21-24%, zat

(26)

ekstraktif 2-6% dan abu 0,2-2%. (Martawijaya et al. 1981). Malik et al. menambahkan bahwa perbedaan umur pohon memberikan pengaruh yang berbeda terhadap komposisi kimia kayu

Selulosa. Struktur selulosa pada kayu daun jarum (softwood) sama dengan pada kayu daun lebar (hardwood), tapi DP-nya (derajat polimer) berbeda. Selulosa pada kayu daun lebar mempunyai DP yang lebih kecil (serat pendek), sedang pada kayu daun jarum mempunyai DP yang lebih besar (serat panjang).

Hemiselulosa. Hemiselulosa disusun oleh berbagai jenis monomer yang disebut heteropolisakarida. Hemiselulosa pada kayu daun lebar terdiri dari unit xilosa dan asetil (glukoronoxylan), sedang pada kayu daun jarum berupa unit mannosa, glukosa, dan galaktosa (galactoglukomannnan).

Lignin. Lignin pada kayu daun lebar berbeda dibandingkan dengan pada kayu daun jarum, baik susunan amupun kadarnya. Susunan dan kadar lignin berpengaruh terhadap sifat-sifat seperti ketahanan kayu terhadap mikroorganisme, degradasi dan juga dalam teknologi pengolahan dan sebagainya. Lignin pada kayu daun jarum hanya disusun oleh koniferil alkohol dan sangat sedikit sinafil alkohol, sedang lignin pada kayu daun lebar disusun oleh, dengan suatu perbandingan tertentu tergantung pada faktor tempat tumbuh dan spesies. (Fengel & Wegener 1984).

Tabel 6. Dua macam komponen kimia kayu berdasarkan bobot molekul

Bobot molekul/ tingkat polimer

Komponen kimia kayu

Kandungan bahan kimia/ Satuan-satuan penyusun

Ket.

komponen yang bobot molekulnya

rendah

Bahan organik zat ekstraktif, (yang sampai puluhan

ribu jenisnya) Komponen

dengan BM rendah sekitar 1 sampai 10% Bahan

anorganik

abu/mineral: silica, magnesium, mangan, kalsium, kalium, fosfor

komponen yang bobot molekulnya

tinggi

Polisakarida (holoselulosa)

Selulosa dan hemiselulosa Komponen dengan BM

tinggi mencapai

90% Lignin Fenilpropana, gualasilpropana,

siringilpropana Sumber: Herliyana 1997

(27)

12

2.7 Siklus dan Proses Pelapukan Kayu oleh Jamur Pelapuk Siklus Pelapukan Kayu

Menurut Tambunan dan Nandika dalam Herliyana (1994), secara umum siklus pelapukan oleh jamur pelapuk kayu dari kelas Basidiomycetes adalah sebagai berikut. Pertama basidiospora menempel pada permukaan kayu karena terbawa udara, air, serangga atau bahan-bahan yang mudah terkena infeksi. Apabila keadaan lingkungan sesuai, basidiospora tersebut akan berkecambah menjadi hifa atau miselium yang berinti satu yang haploid (miselium primer).

Buller (1924) dalam Herliyana (1994) menambahkan bahwa dua hifa miselium primer yang kompatibel akan mengadakan somatogami sehingga terjadi dikarionasi (terjadinya hifa baru dengan tetap berinti dua), sehingga terbentuk miselium sekunder yang selanjutnya berinti dua yang masing-masing haploid. Miselium sekunder ini berkembang secara khusus, yaitu tiap inti membelah diri dan hasil belahan tiap pasangan baru tanpa mengadakan kariogami dalam sel baru, sehingga miselium sekunder tiap sel selalu berinti dua. Pembelahan tiap-tiap inti diikuti dengan terbentuknya suatu kait yang mengakibatkan terjadinya suatu struktur pada tiap antar dua sel yang lama dan baru yang biasa disebut sambungan apit (clamp connection). Setelah terbentuk miselium sekunder yang sel ke sel pada kayu melalui lubang pengeboran yang dibuatnya di tempat-tempat pertemuan antara hifa itu dengan dinding sel atau noktah-noktah dan dinding sel kayu. Proses Pelapukan Kayu

Cartwright dan Findlay (1958) dalam Herliyana (1994) mendefinisikan pelapukan kayu sebagai berkurangnya kepadatan kayu, disebabkan karena terjadinya penguraian bahan dasar kayu oleh jamur. Karena jamur tidak mempunyai kemampuan untuk membentuk bahan organik sendiri, maka bahan-bahan organik kompleks yang ada dalam kayu dirombak untuk dijadikan sebagai sumber energi. Hasil dari proses respirasi oleh jamur tersebut berupa karbondioksida sesuai dengan yang dikemukakan seperti di bawah ini.

C₆H₁₀O₅ + 6O₂  5H₂O + 6CO₂

Jamur pelapuk kayu dapat berkembang dalam kondisi lingkungan yang cocok melalui perkecambahan spora atau pertumbuhan segmentasi hifa (mycelium) yang berasal dari sumber-sumber yang terinfeksi di sekitarnya. Hifa

(28)

tumbuh sepanjang permukaan kayu dan melakukan penetrasi untuk pertama kalinya melalui dinding sel kayu atau lubang yang dibuat oleh hifa itu sendiri. Kejadian tersebut merupakan awal dari proses pelapukan.

Kemampuan hifa menyerang sel-sel kayu ditentukan oleh kenormalan aktivitas pertumbuhan sel hifa, yang dikenal sebagai zona sub-apikal hifa. Sel-sel pada ujung hifa selain dapat mengadakan proses biokimia juga dapat menghasilkan enzim yang diperlukan untuk mempercepat (katalisator) proses biokimia dalam rangka menembus dinding sel kayu serta perolehan zat makanan yang diperoleh hifa. Pelapukan kayu oleh jamur dapat dibagi ke dalam dua tahap, yaitu tahap awal dan tahap lanjutan.

Tahap Pelapukan Awal

Pada tingkat permulaan, yaitu terjadinya kontak antara hifa dan dinding sel kayu, proses biokimia sudah mulai terjadi sehingga hifa dapat menembus dinding sel kayu dan kemudian mencapai dinding sel berikutnya. Tahap ini ditandai oleh munculnya perubahan warna kayu, bahan kayu dapat mengeras atau kaku. Tahap permulaan pelapukan oleh jamur mengakibatkan perubahan penampilan struktur dan berkurangnya kekuatan kayu.

Tahap Pelapukan Lanjutan

Pada tahap selanjutnya, warna maupun sifat fisik kayu akan berubah, secara sebagian atau keseluruhan. Tahap ini ditandai oleh mudahnya kayu dihancurkan dengan penekanan. Kerusakan berlanjut hingga kayu teras rusak berat dan terbentuk lubang-lubang di dalam kayu. Kadangkala hanya lapisan tipis kayu gubal yang tertinggal sebagai penahan (Herliyana 1994).

2.8 Ketahanan Kayu terhadap Jamur Pelapuk S. commune

Ketahanan terhadap pelapukan dan dengan demikian ketahanan kayu ditentukan oleh kandungan bahan fenolik yang terbentuk dalam kayu. Kandungan bahan kimia dalam kayu mempengaruhi ketahanan kayu terhadap pelapukan. Kandungan zat ekstraktif yang bersifat racun bagi jamur pelapuk menyebabkan kayu lebih tahan terhadap jamur tersebut. Zat-zat ekstraktif yang dikenal menghambat pelapukan adalah senyawa-senyawa fenolik.

(29)

14

Pada prinsipnya semua jenis kayu dengan berbagai bentuk dan ukuran dapat diserang oleh jamur. Akan tetapi ada juga beberapa jenis kayu yang tahan terhadap serangan jamur. Hal ini disebabkan karena adanya zat ekstraktif di dalam kayu yang bersifat anti jamur (fungisida) alami.

Berbagai faktor yang mempengaruhi ketahanan kayu terhadap pelapukan, beberapa di antaranya menyangkut sifat kayunya sendiri dan lainnya adalah kondisi dimana kayu digunakan. Yang menyangkut sifat kayunya sendiri seperti kandungan kimia dan berat jenis (specific gravity) dari kayu, sedang yang termasuk faktor luar adalah kelembaban, temperatur, dan tersedianya oksigen. Kayu yang ditebang pada musim pertumbuhan lebih peka terhadap pelapukan daripada yang ditebang pada periode dorman. Sementara perbedaan arah serat kayu tidak mempengaruhi kepekaan kayu terhadap serangan kayu.

Faktor lain yang mempengaruhi ketahanan kayu adalah umur pohon. Menurut Tim ELSSPAT (1997) dalam Fitriyani (2010), umur pohon memiliki hubungan yang positif dengan ketahanan kayu. Jika pohon ditebang dalam umur yang tua, pada umumnya lebih awet daripada jika ditebang ketika muda karena semakin lama pohon tersebut hidup maka semakin banyak zat ekstraktif yang dibentuk.

Kayu teras umumnya lebih awet dibandingkan dengan kayu gubal, karena strukturnya yang lebih padat, mengandung air dan oksigen yang lebih rendah serta memiliki zat-zat ekstraktif yang bersifat racun terhadap jamur atau mengandung zat resin yang bersifat mengurangi penyerapan air.

Berdasarkan kehilangan berat kayu oleh jamur pelapuk, kayu dibagi ke dalam beberapa kelas awet.

Tabel 7. Kelas Ketahanan Kayu terhadap Jamur

Kelas Ketahanan Kehilangan Berat (%)

I Sangat tahan < 1

II Tahan 1-5

III Agak tahan 5-10

IV Tidak tahan 10-30

V Sangat tidak tahan >30

(30)

Menurut Findly dan Martawijaya (1977) dalam Pratiwi (2009), terdapat lima kelas awet kayu. Mulai dari kelas awet I (yang paling awet) sampai kelas awet V (yang paling tidak awet). Martawijaya (1977) dalam Pratiwi (2009) menyatakan bahwa kelas awet kayu didasarkan atas ketahanan kayu teras karena bagaimana pun awetnya suatu jenis kayu, bagian gubalnya selalu mempunyai ketahanan yang terendah (kelas awet V). Hal ini disebabkan karena pada bagian kayu gubal tidak terbentuk zat-zat ekstraktif seperti phenol, tannin, alkaloide,

saponine, chinon, dan dammar. Zat-zat tersebut memiliki daya racun terhadap

(31)

III. METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Patologi Hutan, Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Penelitian berlangsung selama enam bulan yaitu dari bulan Agustus 2010 sampai dengan bulan Februari 2011.

3.2 Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini dengan menggunakan metode SNI 01-7207-2006 antara lain autoclave, oven, laminar air flow, timbangan analitik, desikator, cawan petri, jarum ooce, pisau, erlenmeyer, toples kaca, alat tulis, dan kamera.

Adapun bahan-bahan yang digunakan untuk pengujian SNI 01-7207-2006 antara lain yaitu isolat jamur S. commune koleksi Laboratorium Penyakit Hutan, empat jenis kayu rakyat yaitu kayu Sengon (P. falcataria), kayu Karet (H.

brasiliensis), kayu Tusam (P. merkusii), dan kayu Mangium (A. mangium),

ukuran masing-masing kayu contoh uji yaitu 5 cm x 2,5 cm x 1,5 cm dengan arah serat cross dan longitudinal, media Potatoes Dextrose Agar (PDA), alkohol, aquades, alumunium foil, kapas, dan plastik wrape.

(32)

Gambar 3. Contoh Uji Kayu dengan arah serat longitudinal (a.) dan Contoh Uji Kayu dengan arah serat cross section (b.)

3.3 Metode Penelitian

Penelitian ini terdiri dari beberapa tahap, dimulai dari persiapan bahan, pengambilan contoh uji kayu, penyediaan biakan jamur, tahap pengujian selama 90 hari hingga pengamatan tingkat degradasi secara mikroskopis.

3.3.1 Persiapan Bahan

Kegiatan ini meliputi pembuatan media PDA dan perbanyakan isolat jamur S. commune. Kegiatan ini dilakukan di dalam laminar air flow dengan kondisi steril. Biakan isolat S. commune diperbanyak di dalam cawan petri berisi media MEA yang telah disterilkan di dalam autoclave.

3.3.2 Pengambilan Contoh Uji

Kayu contoh uji yang digunakan dalam pengujian SNI 01-7207-2006 yaitu berukuran 5 cm x 2,5 cm x 1,5 cm. Contoh uji ditimbang berat awalnya (BA dalam satuan gram) dan dioven sampai mencapai kondisi kering tanur. Kemudian contoh uji ditimbang berat kering ovennya (BK oven dalam satuan gram) untuk mengetahui kadar air kayu sebelum pengujian.

Metode Pengambilan Contoh Uji Kayu. Contoh uji kayu yang digunakan terdiri dari dua macam arah serat yaitu longitudinal dan cross section. Kedua macam arah serat tersebut berbeda dalam hal teknik (cara) pemotongan kayu namun dengan ukuran yang sama (sesuai dengan SNI 01.7207-2006) yaitu 5 cm x 2,5 cm x 1,5 cm.

(b.) (a.)

(33)

18

Sumber: Laila F

Gambar 4. Tahapan Pemotongan kayu dengan dua macam arah serat longitudinal dan cross section

(34)

3.3.3 Penyediaan Biakan Jamur

Pengujian SNI 01.7207-2006. Pengujian ketahanan kayu terhadap jamur harus dibuat dalam kondisi lembab dengan menyediakan biakan jamur di dalam toples yang steril. Media biakan jamur yang digunakan adalah Potatoes Dextrose

Agar (PDA). Media biakan jamur dibuat dengan mencampur 25 gram ekstrak malt

dengan 15 gram agar dalam 500 ml aquades. Sebanyak 40 cc campuran tersebut dimasukkan ke dalam toples pengujian, kemudian ditutup. Toples tertutup yang telah berisi media biakan jamur disterilkan di dalam autoclave selama 30 menit pada tekanan 15 psi. Setelah steril, toples tersebut diletakkan mendatar sehingga biakan berada di bagian bawah leher toples. Jamur penguji dapat diinokulasikan segera setelah media biakan jamur mengeras. Biakan jamur siap digunakan setelah berumur 7 – 10 hari.

3.3.4 Prosedur Pengujian

Pengujian SNI 01.7207-2006. Contoh uji yang telah steril dan telah dihitung berat awal maupun berat keringnya dimasukkan ke dalam toples yang sudah berisi biakan jamur S. commune. Sebelumnya diperiksa terlebih dahulu untuk mengetahui apakah biakan jamur penguji terkontaminasi atau tidak. Pengamatan dilakukan setelah 12 minggu. Contoh uji dibersihkan dari miselium dan diamati secara visual menurut kerusakan yang terjadi. Klasifikasi kerusakan dapat dilihat berdasarkan perubahan warna, besarnya kehilangan bobot kayu contoh uji, dan lain-lain sesuai keperluan. Contoh uji ditimbang berat basahnya dan dioven pada suhu ± C selama 24 jam. Kemudian contoh uji ditimbang berat kering ovennya untuk mengetahui kadar air kayu setelah pengujian. Persentase kehilangan berat dihitung berdasarkan selisih berat contoh uji sebelum dan sesudah diserang jamur.

3.3.5 Perhitungan Kehilangan Bobot

Setelah pengumpanan selesai yaitu setelah 12 minggu pengamatan, kayu-kayu contoh uji dapat dikeluarkan dari toples pengujian dan dibersihkan dari miselium-miselium jamur yang tumbuh di sekitar permukaan kayu contoh uji tersebut. Setelah itu, kayu-kayu tersebut ditimbang untuk mengetahui bobot basah

(35)

20

setelah pengujian serta dikeringkan dengan oven pada suhu ± C selama 24 jam untuk mengetahui bobot kering tanurnya.

Presentase kehilangan bobot dihitung untuk menentukan besarnya serangan jamur terhadap ketahanan kayu yang dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Rumus:

P = W₁ - W₂ x 100 % W₁

Keterangan: P = Persentase kehilangan bobot (%)

W₁ = Bobot kering tanur contoh uji sebelum pengujian (gram) W₂ = Bobot kering tanur contoh uji setelah pengujian (gram)

3.4 Rancangan Percobaan dan Analisis Data

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan pola faktorial yang terdiri dari 2 faktor yaitu: 1). Jenis kayu (sengon, karet, tusam, dan mangium); dan 2). Arah serat (longitudinal dan cross section).

Faktor pertama dalam pengujian ini adalah empat kayu rakyat dengan jenis yang berbeda yaitu:

S = Sengon K = Karet T = Tusam M = Mangium

Faktor kedua adalah arah serat kayu yaitu: L = Longitudinal

C = Cross section

Dengan demikian terdapat 8 kombinasi perlakuan yaitu interaksi antara jenis kayu dengan arah serat (4x2) antara lain:

SL = Sengon Longitudinal SC = Sengon Cross KL = Karet Longitudinal

(36)

KC = Karet Cross

TL = Tusam Longitudinal TC = Tusam Cross

ML = Mangium Longitudinal MC = Mangium Cross

Ulangan dilakukan sebanyak 10 kali pada setiap jenis kombinasi perlakuan. Dengan demikian, jumlah total sampel uji yang digunakan adalah 80 contoh uji kayu.

Model rancangan Faktorial RAL dalam penelitian ini sebagai berikut. yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij +

Keterangan:

yijk = Respon (tingkat pelapukan) pada kayu ke-i, arah serat ke-j

µ = Rataan umum

αi = Pengaruh faktor A (jenis kayu) taraf ke-i

βj = Pengaruh faktor B (arah serat) taraf ke-j

(αβ)ij = Pengaruh interaksi antara perlakuan faktor A (jenis kayu) taraf ke-i dengan faktor B (arah serat) taraf ke-j

= Pengaruh acak

i = Jenis kayu (Sengon, Karet, Tusam, Mangium)

j = Arah serat (Longitudinal, Cross)

k = Ulangan 1,2,3, ..., dan 10

Data hasil pengujian dianalisis dengan menggunakan analisis sidik ragam melalui uji Faktorial RAL dengan menggunakan program SPSS 17.0. Untuk mengetahui pengaruh perlakuan yang diberikan terhadap peubah yang diamati dengan menggunakan hipotesis sebagai berikut:

H0 = Perlakuan (jenis kayu dan arah serat) tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat kehilangan bobot.

(37)

22

H1 = Perlakuan (jenis kayu dan arah serat) berpengaruh nyata terhadap tingkat kehilangan bobot.

Sedangkan kriteria pengambilan keputusan dari hipotesis yang diuji adalah:

1. Apabila F-hitung > F-tabel, maka perlakuan jenis kayu dan arah serat memberikan pengaruh nyata terhadap kehilangan bobot (weight loss) pada selang kepercayaan 95% (tolak H0).

2. Apabila F-hitung < F-tabel, maka perlakuan jenis kayu dan arah serat memberikan pengaruh tidak nyata terhadap kehilangan bobot (weight loss) pada selang kepercayaan 95% (terima H0).

Apabila hasil analisis menunjukkan perbedaaan yang nyata berdasarkan model dan hipotesis faktorial RAL di atas yaitu tolak H0, maka dilanjutkan dengan uji lanjut untuk mengetahui beda rata-rata antar perlakuan dengan menggunakan uji Duncan.

(38)

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Pengujian Empat Jenis Kayu Rakyat berdasarkan Persentase Kehilangan Bobot Kayu

Nilai rata-rata kehilangan bobot (weight loss) pada contoh uji kayu sengon, karet, tusam, dan mangium hasil pengujian laboratorium terhadap serangan jamur pelapuk kayu S. commune berdasarkan arah serat longitudinal dan

cross section seperti terlihat pada tabel 8 di bawah ini.

Tabel 8. Nilai Rataan Persentase kehilangan bobot (% P) pada pengujian empat jenis kayu rakyat oleh jamur pelapuk S. commune dengan metode SNI

Jenis Kayu dan Arah

Serat BA₁ BK₁ KA₁ BA₂ BK₂ KA₂ P (%)

Sengon Longitudinal 13,13 8,49 34,11 10,26 5,62 45,09 32,18 Sengon Cross section 11,23 6,86 35,23 9,73 5,79 40,19 15,47 Karet Longitudinal 12,33 10,39 15,75 15,75 8,96 42,92 13,80 Karet Cross section 13,31 11,07 16,71 17,58 9,75 44,48 11,96 Tusam Longitudinal 14,99 13,92 7,10 17,02 12,80 24,73 8,03 Tusam Cross section 15,78 14,99 4,97 18,74 13,59 27,24 9,33 Mangium Longitudinal 12,42 11,39 8,29 16,33 10,67 34,45 6,28 Mangium Cross section 11,08 10,14 8,47 14,97 9,50 36,42 6,33

Ket : BA₁ = Bobot awal contoh uji kayu sebelum pengujian (gram) BK₁ = Bobot kering tanur contoh uji kayu sebelum pengujian (gram) KA₁ = Kadar air contoh uji kayu sebelum pengujian (%)

BA₂ = Bobot awal contoh uji kayu setelah pengujian (gram) BK₂ = Bobot kering tanur contoh uji kayu setelah pengujian (gram) KA₂ = Kadar air contoh uji kayu setelah pengujian (%)

P = Persentase kehilangan bobot (%)

Parameter ketahanan kayu terhadap jamur pelapuk S. commune dilihat dari nilai kehilangan bobot contoh uji (weight loss) yang diperoleh dari hasil uji laboratorium (laboratory test). Kehilangan bobot merupakan nilai pengurangan bobot kayu akibat perlakuan uji laboratorium selama kurang lebih 90 hari yang mengakibatkan bobot kayu berkurang. Standar pengujian yang digunakan pada penelitian ini adalah SNI 01.7207-2006. Standar ini digunakan untuk menguji

(39)

24

empat jenis kayu rakyat, antara lain: kayu sengon, kayu karet, kayu tusam, dan kayu mangium. Keempat jenis kayu rakyat ini memiliki ukuran yang telah terstandarisasi yaitu 5 cm x 2,5 cm x 1,5 cm.

Gambar 5. Persentase kehilangan bobot pada pengujian empat jenis kayu rakyat dengan arah serat longitudinal dan cross section oleh jamur pelapuk S.

commune dengan metode SNI

4.2 Sidik ragam

Tabel 9. Hasil sidik ragam kehilangan bobot terhadap jenis kayu, arah serat, serta interaksi antara jenis kayu dan arah serat

Sumber Keragaman db Jk KT Fhit

Jenis kayu 3 3614,52 1204,84 66,87*

Arah serat 1 369,63 369,63 20,52*

Interaksi 3 1050,72 350,24 19,44*

Galat/error 72

Total 79

Keterangan : * berbeda nyata pada uji F taraf 0,05

Hasil Analisa Statistik dengan menggunakan sidik ragam pada tabel 9 dengan selang kepercayaan yang digunakan adalah 95%, dapat diketahui bahwa terjadi perbedaan yang nyata antarperlakuan jenis kayu (sengon x karet x tusam x mangium), maupun antarperlakuan arah serat (longitudinal x cross section), serta

32,18 13,8 8,03 6,28 15,47 11,96 9,33 6,33 0 5 10 15 20 25 30 35

Sengon Karet Tusam Mangium

Pe nur una n Bobot (da lam %) Long Cross

(40)

interaksi antara perlakuan jenis kayu dan arah serat (jenis kayu x arah serat) terhadap kehilangan bobot kayu, hal ini ditandai dengan nilai Pr > F untuk setiap perlakuan adalah < 0,05.

Hasil sidik ragam menyatakan bahwa interaksi antara jenis kayu dan arah serat memiliki pengaruh nyata terhadap persentase kehilangan bobot contoh uji pada α = 0,05. Artinya keempat jenis kayu rakyat menghasilkan kehilangan bobot yang berbeda-beda baik menggunakan arah serat longitudinal maupun cross

section. Berdasarkan pada grafik 1 juga terlihat bahwa interaksi antara jenis kayu

dan arah serat memiliki pengaruh nyata dimana nilai kehilangan bobot pada kayu sengon dan karet, arah serat longitudinal lebih tinggi daripada arah serat cross

section. Sedangkan, nilai kehilangan bobot pada kayu tusam dan mangium arah

serat longitudinal lebih rendah daripada cross section namun dengan selisih yang lebih kecil.

4.3 Nilai Rata-rata Kehilangan Bobot Berdasarkan Uji Duncan Tabel 10. Nilai rata-rata kehilangan bobot berdasarkan perbedaan jenis kayu

Jenis Kayu Rata-rata

Sengon Karet Tusam Mangium

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan perlakuan tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95 %

Berdasarkan tabel 10 di atas, apabila dilihat dari perbedaan jenis kayu, kayu sengon memiliki nilai rata-rata tertinggi sebesar 23,826%. Hasil dari uji Duncan menyatakan bahwa kayu sengon memberikan pengaruh nyata dalam hal ini berbeda nyata dengan kayu karet dengan rata-rata kehilangan bobot sebesar 12,878% serta berbeda nyata dengan kayu tusam dan kayu mangium. Sedangkan kayu tusam dengan rata-rata kehilangan bobot sebesar 8,680% tidak berbeda nyata dengan kayu magium dengan kehilangan bobot sebesar 6,301%. Dengan demikian perlakuan dengan jenis kayu sengon dapat digunakan sebagai kayu kontrol dalam pengujian ketahanan kayu terhadap serangan jamur S. commune.

(41)

26

Tabel 11. Nilai rata-rata kehilangan bobot berdasarkan perbedaan arah serat kayu

Arah Serat Rata-rata

Longitudinal Cross section

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan perlakuan tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95 %

Berdasarkan uji Duncan pada tabel 11 di atas menunjukkan bahwa nilai rata-rata kehilangan bobot arah serat longitudinal sebesar 15,0708 % berbeda nyata dengan arah serat cross section sebesar 10,7718 %. Hal ini sesuai dengan grafik tingkat degradasi rata-rata pada gambar 5 bahwa nilai kehilangan bobot contoh uji kayu sengon dan karet berdasarkan arah serat menunjukkan nilai persentase arah serat longitudinal lebih besar dibandingkan dengan arah serat

cross section (berbeda nyata). Sedangkan untuk contoh uji kayu tusam dan

mangium berdasarkan gambar 5 menunjukkan hal sebaliknya yaitu bahwa nilai persentase arah serat longitudinal lebih kecil dibandingkan dengan arah serat

cross section namun dengan selisih yang kecil sehingga dapat diasumsikan tidak

berbeda nyata. Dengan demikian perlakuan dengan arah serat longitudinal dapat digunakan sebagai standar pengujian ketahanan kayu terhadap serangan jamur pelapuk S. commune.

Tabel 12. Nilai rata-rata kehilangan bobot dari hasil akhir uji Duncan

Interaksi Jenis Kayu & Arah Serat Rata-rata

Sengon Longitudinal Sengon Cross Karet Longitudinal Karet Cross Tusam Longitudinal Tusam Cross Mangium Longitudinal Mangium Cross

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan perlakuan tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95 %

(42)

Pengaruh dari perbedaaan jenis kayu dan arah serat terhadap persentase kehilangan bobot kayu contoh uji menunjukkan bahwa sengon longitudinal memberikan pengaruh yang nyata dalam hal ini berbeda nyata dengan sengon

cross dan perlakuan lainnya (lihat tabel 12). Pengaruh nyata ini terlihat pada

persentase kehilangan bobot sengon longitudinal sebesar 32,177 % terhadap sengon cross dengan rata-rata kehilangan bobot sebesar 15,475 %.

Sementara untuk beberapa perlakuan menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata. Hal ini seperti pada karet longitudinal dengan persentase kehilangan bobot sebesar 13,801 % tidak berbeda nyata dengan sengon cross dengan rata-rata kehilangan bobot sebesar 15,475 %. Antara tusam longitudinal dengan rata-rata kehilangan bobot sebesar 8,028 % tidak berbeda nyata dengan tusam cross dengan rata-rata kehilangan bobot sebesar 9,331 %. Hal yang sama juga terjadi antara mangium longitudinal dengan rata-rata kehilangan bobot sebesar 6,227 % tidak berbeda nyata dengan mangium cross dengan rata-rata kehilangan bobot sebesar 6,326 %.

Sementara itu, pada perlakuan karet cross dengan rata-rata kehilangan bobot sebesar 11,955% tidak berbeda nyata dengan sengon cross 15,475%, karet

longitudinal 13,801%, tusam longitudinal 8,028%, tusam cross 9,331%.

Tabel 13. Perbandingan Kelas Awet Kayu Berdasarkan Literatur dan Hasil Uji Laboratorium

Jenis Kayu Kehilangan bobot Kelas Awet (penelitian) Kelas Awet (literatur)

Long Cross Long Cross

Sengon 32,18% 15,47% V IV IV-V *) dan II-IV **)

Karet 13,8% 11,96% IV IV V *)

Tusam 8,03% 9,33% III III IV ***)

Mangium 6,28% 6,33% III III III *)

Keterangan: *) Mandang dan Pandit 1997 **) Martawijaya et al. 1989 ***) Pandit dan Ramdan 2002

Dari hasil pengujian seperti terlihat pada tabel 13 di atas, dapat diketahui bahwa nilai rata-rata kehilangan bobot sengon dengan arah serat longitudinal (32,18 %) dan arah serat cross section (15,47 %). Berdasarkan SNI 01.7207-2006,

(43)

28

nilai kehilangan bobot kayu sengon dengan arah serat longitudinal dan cross

section termasuk dalam kategori tidak tahan sampai sangat tidak tahan atau masuk

dalam kelas awet IV-V dengan persentase kehilangan bobot berkisar antara 10% sampai dengan 30% dan bahkan lebih dari 30%. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mandang dan Pandit (1997) bahwa kayu sengon termasuk kelas awet IV-V yang berarti memiliki ketahanan yang sangat rendah terhadap serangan jamur pelapuk

S. commune. Martawijaya et al. menambahkan bahwa kayu sengon termasuk ke

dalam kelas awet II-IV (tahan sampai tidak tahan). Dengan demikian, sengon dapat direkomendasikan sebagai kayu kontrol pengujian ketahanan kayu alami.

Sementara, kehilangan bobot untuk kayu karet dengan arah serat

longitudinal (13,8%) dan arah serat cross section (11,96%). Berdasarkan SNI

01.7207-2006, nilai kehilangan bobot kayu sengon dengan arah serat longitudinal dan cross section termasuk dalam kategori tidak tahan atau masuk dalam kelas awet IV dengan persentase kehilangan bobot berkisar antara 10% sampai dengan 30%. Hal ini menunjukkan bahwa jamur S. commune pada kayu karet tidak cocok dijadikan kontrol dalam uji ketahanan kayu terhadap jamur. Hal ini memang tidak sesuai dengan pernyataan Mandang dan Pandit (1997) bahwa sifat ketahanan kayu karet termasuk dalam kelas awet V yang berarti memiliki ketahanan yang sangat rendah (sangat tidak tahan).

Kehilangan bobot untuk kayu tusam arah serat longitudinal (8,03%), dan arah serat cross section (9,33%). Berdasarkan standar pengujian SNI 01.7207-2006, tingkat katahanan kayu pinus terhadap jamur pelapuk S. commune masuk dalam kategori agak tahan atau masuk dalam kelas awet III dengan skor kehilangan bobot berkisar antara 5% sampai dengan 10%. Hal ini menunjukkan bahwa jamur S. commune pada kayu tusam tidak cocok digunakan sebagai kontrol dalam uji ketahanan kayu terhadap jamur. Hal ini juga tidak sesuai dengan pernyataan Pandit dan Ramdan (2002) bahwa sifat ketahanan kayu pinus/tusam termasuk ke dalam kelas awet IV.

Kehilangan bobot untuk kayu mangium arah serat longitudinal (6,28%), dan arah serat cross section (6,33%). Berdasarkan standar pengujian SNI 01.7207-2006, tingkat katahanan kayu akasia terhadap jamur pelapuk S. commune masuk dalam kategori agak tahan atau masuk dalam kelas awet III dengan skor

(44)

kehilangan bobot berkisar antara 5% sampai dengan 10%. Hal ini menunjukkan bahwa jamur S. commune pada kayu mangium tidak cocok digunakan sebagai kontrol dalam uji ketahanan kayu terhadap jamur. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mandang dan Pandit (1997) bahwa sifat ketahanan kayu A. mangium termasuk ke dalam kelas awet III.

4.4 Tingkat Kerusakan Berdasarkan Pengamatan Visual Kayu

Pengamatan visual kayu merupakan pengamatan yang dilakukan untuk melihat pengaruh serangan jamur pelapuk S. commune secara kasat mata terhadap contoh uji kayu yang diumpankan selama kurang lebih 90 hari. Secara umum, terlihat bahwa kolonisasi miselium menyebar mulai dari sisi dinding sel kayu menuju ke bagian tengah permukaan kayu, serta semakin menebal dan merata di seluruh permukaan kayu seiring dengan bertambahnya lama inkubasi. Dari pengamatan yang dilakukan, terlihat bahwa contoh uji kayu yang telah diserang oleh jamur pelapuk S. commune mengalami perubahan warna, yaitu menjadi lebih terang (cokelat muda atau kemerahan) dan rapuh, seperti terlihat pada keempat jenis kayu rakyat yang diujikan berikut ini. (Gambar 6, 7,8, dan 9)

Sengon arah serat longitudinal dan cross section

(Sumber foto : Laila F.)

Gambar 6. Contoh Uji Kayu Sengon arah serat longitudinal dan cross section (a.) CU kayu sengon sebelum pengumpanan; (b.) CU kayu sengon setelah pengumapanan yang masih diselimuti oleh jamur; (c.) CU kayu sengon setelah pengumpanan selama 90 hari berwarna lebih gelap dan lebih lunak dibandingkan dengan sebelum pengumpanan.

(c.) (b.)

(45)

30

Karet arah serat longitudinal dan cross section

(Sumber foto : Laila F.)

Gambar 7. (a.) Miselium pada Contoh Uji Kayu Karet arah serat longitudinal mengeluarkan bakal buah; (b.) Kayu karet cross section yang masih diselimuti jamur; (c.) Kayu Karet arah cross section setelah pengumpanan selama 90 hari berwarna lebih coklat dan gelap dibandingkan sebelum pengumpanan.

Tusam arah serat longitudinal dan section

(Sumber foto : Laila F.)

Gambar 8. (a.) Kayu Tusam sebelum pengumpanan; (b.) Miselium pada Kayu Tusam arah serat longitudinal; (c.) Miselium pada Kayu Tusam arah serat cross section; dan (d.) Kayu tusam arah serat longitudinal setelah pengumpanan selama 90 hari berwarna lebih coklat dan gelap dibandingkan sebelum pengumpanan.

(c.) (b.) (a.) (b.) (a.) (d.) (c.)

Gambar

Gambar 1. Tubuh buah S. commune Fr.
Tabel 1. Komposisi kimia kayu sengon
Tabel 2. Komposisi kimia kayu karet
Tabel 4. Komposisi kimia kayu tusam
+7

Referensi

Dokumen terkait

Demikian untuk mengatasi masalah pendidikan di daerah kecamatan Nanggung, pihak perusahaan melalui program Corporate Social Responsibility (CSR) telah memberikan

Ada beberapa hal yang bisa kita analisis terhadap prinsip maskulinitas yang terinternalisir dalam diri feminisme dominan, diantaranya; feminisme liberal

Dalam kasus anak penderita autisme, komunikasi antarpribadi digunakan sebagai alat untuk membantu agar anak-anak dengan gangguan spektrum autisme secara perlahan-lahan

Tanaman cabai merupakan salah satu jenis tanaman yang masuk dalam sub- class Asteridae (berbunga bintang) sehingga pada umumnya menemukan tanaman cabai yang memiliki bunga

Kantung udara (saccus pneumaticus) terdiri dari air sac/saccus: abdominalis (aa/terdapat diantara lipatan intestinum), thoracalis anterior  (ata/terletak pada dinding sisi

Hasil belajar adalah proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku, sebagai hasil dari pengalaman individu dalam interaksi

Finansial secara simultan terhadap Perilaku Kerja Karyawan mempunyai tingkat pengaruh dan determinasi yang lebih signifikan dibandingkan dengan pengaruh variabel

Audit Tahun Sebelumnya, Leverage Dan Pertumbuhan Perusahaan Tehradap Penerimaan Opini Audit Going Concern (Studi Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar di BEI