• Tidak ada hasil yang ditemukan

Schizophyllum commune Fr. Sebagai Jamur Uji Ketahanan Kayu Standar Nasional Indonesia pada Empat Jenis Kayu Rakyat: Sengon, Karet, Tusam, dan Mangium

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Schizophyllum commune Fr. Sebagai Jamur Uji Ketahanan Kayu Standar Nasional Indonesia pada Empat Jenis Kayu Rakyat: Sengon, Karet, Tusam, dan Mangium"

Copied!
123
0
0

Teks penuh

(1)

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hutan merupakan kekayaan alam Indonesia dengan berbagai

keanekaragaman hayati. Salah satu bentuk keanekaragaman tersebut adalah jamur

yang diketahui tumbuh secara liar di alam. Jamur biasanya banyak ditemukan

pada awal musim hujan dan dapat hidup di tanah ataupun kayu pada suhu udara

yang cukup lembab. Potensi jamur sebagai salah satu sumber hayati belum

dimanfaatkan secara optimal. Jamur Schizophyllum commune Fr. merupakan salah

satu jenis jamur pelapuk kayu yang sangat potensial dan dapat tumbuh secara

alami pada batang pohon maupun pada limbah kayu hasil hutan.

Di sisi lain, kayu adalah satu di antara hasil hutan yang sampai saat ini

masih dianggap paling tinggi nilai ekonominya. Dalam upaya untuk memenuhi

permintaan akan kayu, ditemui berbagai kendala, salah satunya yaitu adanya

gangguan dari mikroorganisme penyebab kerusakan kayu. Secara umum semua

jenis kayu dari berbagai bentuk dan ukuran mempunyai kemungkinan untuk

diserang oleh mikroorganisme. Akan tetapi ada juga beberapa jenis kayu yang

tahan terhadap serangan jamur. Hal ini disebabkan karena adanya zat ekstraktif di

dalam kayu yang bersifat anti jamur (fungisida) alami. Meskipun tidak semua

ekstraktif beracun bagi organisme perusak kayu, umumnya terdapat

kecenderungan bahwa semakin tinggi kadar ekstraktif, ketahanan alami kayu

cenderung meningkat pula.

Jamur merupakan kelompok mikroorganisme yang paling umum

menyebabkan kerusakan kayu dibandingkan dengan kelompok mikroorganisme

yang lain seperti bakteri, virus, dan nematoda (Hadi 1984, 1991 dalam Herliyana

1994). Jamur S. commune merupakan jamur pelapuk kayu yang cukup ganas

karena dalam beberapa kasus dapat menyebabkan kehilangan berat sampai 70 %

(Martawijaya 1965 dalam Herliyana 1994). Pertumbuhannya pun relatif mudah

dan cepat. Jamur pelapuk kayu merupakan golongan jamur yang dapat merombak

selulosa dan lignin sehingga kayu menjadi lapuk, kekuatan serat elastisitasnya

(2)

Jamur adalah tumbuhan tingkat rendah yang tidak mempunyai zat hijau

daun (chlorofil). Untuk kelangsungan hidupnya mereka hidup sebagai parasit atau

saprofit. Jamur perusak kayu hidup dari komponen-komponen kayu, seperti

selulosa, hemiselulosa, dan lignin yang dirombak secara biokimia dengan bantuan

enzim. Karena perombakan inilah maka sifat-sifat kayu berubah (Nandika 1986).

Sementara itu, keberadaan kayu rakyat telah diketahui secara luas sangat

potensial. Namun berdasarkan sifat ketahanannya, sebagian besar kayu rakyat

memiliki kelas awet yang rendah (kelas awet III, VI, dan V). Pengujian ketahanan

kayu sudah lama dilakukan. Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui tingkat

kelas awet kayu terhadap organisme perusak terutama yang disebabkan oleh

jamur.

SNI 01.7202-2006 merupakan standar pengujian kayu yang terbaru di

Indonesia. Namun masih terdapat banyak kekurangan dan bersifat terlalu umum.

Ada beberapa hal yang membingungkan pada standar SNI 01.7207-2006, yaitu

prosedur atau tahapan kerja yang kurang sesuai dan adanya kesalahan pada

persamaan atau rumus yang digunakan untuk menghitung besarnya persentase

kehilangan bobot contoh uji kayu. Sebagai pembanding adalah JIS K 1571-2004,

dimana standar ini memiliki prosedur yang sangat mudah dilaksanakan. Melalui

penelitian ini, kami ingin menguji kembali SNI 01.7202-2006 melalui pengujian

laboratorium (laboratory test) terhadap kelas awet berbagai kayu rakyat.

1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui tingkat ketahanan empat jenis kayu rakyat yaitu kayu Sengon (P.

falcataria), kayu Karet (H. brasiliensis), kayu Tusam (P. merkusii), dan kayu

Mangium (A. mangium) terhadap serangan jamur pelapuk S. commune

berdasarkan SNI 01.7202-2006 dan membandingkannya dengan literatur.

2. Mengetahui kelayakan jamur pelapuk S. commune sebagai jamur uji ketahanan

kayu melalui pengujian di laboratorium (laboratory test).

3. Mengetahui arah serat kayu yang sebaiknya digunakan dalam pengujian

(3)

1.3 Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat:

1. Memberikan informasi mengenai teknis pengujian ketahanan kayu berdasarkan

SNI 01.7207-2006.

2. Memberikan informasi mengenai kelas awet dari empat jenis kayu rakyat

(sengon, karet, tusam, dan mangium) berdasarkan hasil pengujian di

laboratorium.

3. Memberikan saran-saran yang diharapkan dapat memperbaiki kualitas standar

(4)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Jamur pelapuk kayu Schizophyllum commune Fries

Jamur pelapuk kayu Schizophyllum commune Fr. termasuk dalam kelas

Basidiomycetes, famili Schizophyllaceae. S. commune diketahui telah tersebar di

seluruh dunia (kosmopolit) dan dapat menimbulkan kerusakan yang berarti

terutama di daerah tropika. Jamur ini mempunyai pertumbuhan yang relatif mudah

dan cepat. Selain itu, S. commune merupakan jamur pelapuk kayu yang cukup

ganas karena dalam beberapa kasus dapat menyebabkan kehilangan berat sampai

70 % (Martawijaya 1965 dalam Herliyana 1994).

Menurut Alexopoulus dan Mims (1979) dalam Herliyana (1994), S.

commune secara lengkap diklasifikasikan sebagai berikut:

Regnum : Myceteae

Divisi : Amastigomycota

Sub-Divisi : Basidiomycotina

Kelas : Basidiomycetes

Sub-Kelas : Holobasidiomycetidae I

Seri : Hymenomycetes I

Ordo : Aphyllophorales

Famili : Schizophyllaceae

Genus : Schizophyllum

Spesies : Schizophyllum commune

Menurut Alexopoulus dan Mims (1979) dalam Herliyana (1994), S.

commune memiliki ciri-ciri yang khas yaitu tubuh buah berwarna abu-abu,

berbentuk seperti kipas dengan diameter antara 1 sampai 4 cm, tubuh

berdempetan secara lateral dan tidak bertangkai. Lapisan hymeniumnya terdiri

dari lamella tebal yang robek (split) memanjang dengan kedua tepinya melipat ke

dalam.

Sementara itu menurut Buller (1909) dalam Herliyana (1994), S. commune

memiliki ciri-ciri antara lain tubuh buah yang biasanya berdempetan secara lateral

dengan lebar mencapai 3 cm, tubuh buah ini dapat terbentuk secara tunggal dan

(5)

fasciculi yang lebih panjang dipisahkan oleh 3 sampai 5 fasciculi yang lebih

pendek.

Menurut Buller (1931) dalam Herliyana (1994), jamur ini digolongkan sebagai heterotalik hymenomicetes, dimana micelia “monoporous” yang berbeda sifat sexnya bersatu dan intinya berkonyugasi, sebelum dapat membentuk tubuh

buah yang diploid. Basidium jamur ini menghasilkan 4 macam spora yang haploid

yaitu AB, Ab, aB, dan ab dan berwarna putih. Gaumann dan Dodge (1928) dalam

Herliyana (1994) menambahkan bahwa miselium S. commune dilengkapi dengan

sambungan apit (clamp connections) dan berinti dua.

S. commune Fr. merupakan jamur pelapuk putih (white rot) yang

merombak lignin dan selulosa. Jamur ini dapat menghasilkan selobiase dan enzim

ekstrakurikuler endo-beta-1,3 (4)-glukase (Tambunan & Nandika 1989 dalam

Fitriyani 2010). Jamur pelapuk kayu S. commune merupakan jamur yang

menyebabkan pelapukan atau pewarnaan kayu dan bahan-bahan selulosa lain. Hal

ini dikarenakan jamur merupakan tumbuh-tumbuhan sederhana yang tidak

mengandung klorofil sehingga tidak dapat memproduksi makanannya sendiri.

Dengan demikian, jamur harus memperoleh energinya dari bahan-bahan organik

lain (Haygreen & Bowyer 1989 dalam Fitriyani 2010).

Sumber Foto : Laila F

Gambar 1. Tubuh buah S. commune Fr.

2.2 Sengon (Paraserianthes falcataria L. Nielsen)

Sengon tergolong dalam famili Leguminoceae, merupakan jenis tanaman

yang cepat tumbuh, tidak membutuhkan kesuburan tanah yang tinggi, dapat

(6)

mengandung garam serta dapat bertahan terhadap kekurangan oksigen

(Pamoengkas 1992 dalam Syafitri 2008).

Sengon memiliki ciri-ciri umum antara lain yaitu warna kayu teras dan

kayu gubalnya sulit dibedakan, warnanya putih abu-abu kecoklatan atau putih

merah kecoklatan pucat. Teksturnya agak kasar sampai kasar, dengan arah serat

terpadu atau kadang-kadang lurus, dan sedikit bercorak. Tingkat kekerasannya

yaitu agak lunak dan beratnya ringan (Pandit dan Ramdan 2002).

Sengon tergolong kayu ringan dengan berat jenis rata-rata yaitu 0,33

(0,24-0,49), dengan kelas awet IV-V dan kelas kuat IV-V (Mandang dan Pandit

1997). Daya tahan sengon terhadap rayap kayu kering termasuk kelas III,

sedangkan terhadap jamur pelapuk kayu termasuk kelas II-IV. Tingkat ketahanan

kayu Sengon termasuk kelas sedang (Martawijaya et al. 1989 dalam Syafitri

2008). Kegunaannya adalah sebagai bahan bangunan perumahan terutama di

pedesaan, peti, papan partikel, papan serat, papan wool semen, kelom, dan barang

kerajinan lainnya. Nama lain dari Sengon yaitu jeunjing (Jawa Barat), sengon laut

(Jawa Tengah dan Jawa Timur), sengon sabrang, sika, dan wahagom (Pandit dan

Ramdan 2002).

Tabel 1. Komposisi kimia kayu sengon

Analisis Kimia Kadar

Lignin 26,8%

Selulosa 49,4%

Zat ekstraktif (larut alkohol- benzene) 3,4%

Pentosan 15,6%

Abu 0,6%

Silika 0,2%

Sumber: Martawijaya 1989

2.3 Karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg)

Karet termasuk ke dalam famili Euphorbiaceae yang banyak ditemukan

pada perkebunan besar maupun perkebunan rakyat di Jawa, Sumatra, dan

(7)

Ciri-ciri umum kayu karet antara lain memiliki bagian teras berwarna

putih kekuning-kuningan pucat, terkadang agak merah jambu jika segar dan

lambat laun berubah menjadi kuning jerami atau coklat pucat, namun tidak tegas

batasnya dengan gubal. Kayu karet memiliki berat jenis rata-rata 0,61 (0,55-0,70)

dengan kelas awet V dan termasuk dalam kelas kuat II-III. Kayu karet banyak

digunakan untuk perabot rumah tangga, untuk kayu bentukan misalnya panel

dinding, bingkai gambar atau lukisan, lantai parket, inti papan blok, palet, peti

wadah, peti jenazah, vinir, kayu lamina untuk tangga, serta kerangga pintu dan

jendela (Mandang dan Pandit 1997).

Tabel 2. Komposisi kimia kayu karet

Komponen Kimia Kadar (%)

Selulosa total 60,0-68,0

Alpha selulosa 39,0-45,0

Pentosan 19,0-22,0

Lignin 19,0-24,0

Abu 0,65-1,30

Sumber: Boerhendy dan Agustina 2006

Tabel 3. Analisis kimia kayu karet berdasarkan umur

Sumber: Pari 1996

Analisis kimia Umur

10 Tahun 20 Tahun

Holocellulose, % 69,40 66,46

Cellulose, % 47,81 48,64

Lignin, % 30,60 33,54

Pentosan, % 17,80 16,81

Silica, % 0,30 0,52

Kadar abu (Ash content), % 1,21 1,25

Kadar air (Moisture content), % 5,58 4,21

Kelarutan dalam (Solubility in), %:

Air dingin (Cold water) 3,87 3,92

Air panas (Hot water) 5,01 4,36

Alcohol: Benzene 4,18 4,43

(8)

2.4 Tusam/Pinus (Pinus merkusii Jungh et de Vries)

Pinus termasuk dalam famili Pinaceae dan spesies Pinus merkusii dan

satu-satunya yang tumbuh di selatan khatulistiwa (Suheti et al. 1998 dalam

Forlendiana 2005). Pinus memiliki ciri-ciri umum antara lain yaitu warna kayu

teras dengan gubalnya sukar dibedakan kecuali pada pohon berumur tua, kayu

teras berwarna kuning kemerahan sedangkan kayu gubal berwarna putih krem.

Pada permukaan radial dan tangensialnya mempunyai corak yang disebabkan

perbedaan struktur kayu awal dan kayu akhirnya sehingga terkesan ada pola

dekoratif. Riap tumbuh agak jelas terutama pada pohon-pohon yang berumur tua,

pada penampang melintang kelihatan seperti lingkaran-lingkaran memusat. Pinus

bertekstur agak kasar dan serat lurus yang tidak rata dengan kekerasan yang agak

keras dan berat agak ringan sampai agak berat (Pandit dan Ramdan 2002).

Sjostrom (1981) menambahkan bahwa kayu teras pada pinus secara khas

mengandung ekstraktif jauh lebih banyak daripada kayu gubal. Kandungan zat

ekstraktif ini berguna untuk melindungi kayu dari kerusakan secara mikrobiologi

atau serangan serangga. Pinus memiliki berat jenis rata-rata sebesar 0,55

(0,40-0,75) dengan kelas awet IV dan kelas kuat III. Kegunaannya yaitu sebagai bahan

papan partikel, pulp dan kertas, vinir, perabot rumah tangga, korek api, pensil,

kotak, kerangka pintu dan jendela, dan mainan anak-anak. Nama lain dari pinus

yaitu damar batu, damar bunga, huyam, uyam, dan sala (Pandit dan Ramdan

2002).

Tabel 4. Komposisi kimia kayu tusam

Analisis Kimia Kadar

Lignin 24,3%

Selulosa 54,9%

Zat ekstraktif (larut alkohol- benzene) 6,3%

Pentosan 1,4%

Abu 1,1%

Silika 0,2%

(9)

2.5 Mangium (Acacia mangium Willd.)

A. mangium Willd. merupakan salah satu dari 1100 spesies tanaman yang

termasuk famili Leguminosae, sub-famili Mimosoideae, dan ordo Rosales

(Anonymous 1983 dalam Forlendiana 2005). Klasifikasi secara lengkap A.

mangium Willd. menurut National Research Council (1983) dalam Syafitri (2008)

yaitu termasuk ke dalam:

Sub-Kingdom : Embryophyta

Filum : Tracheophyta

Sub-filum : Pteropsida

Kelas : Angiospermae

Sub-kelas : Dycotyledone

Famili : Fabaceae

Sub-famili : Mimosaideae

Spesies : Acacia mangium Willd.

Tanaman A. mangium memiliki beberapa keunggulan, antara lain:

merupakan jenis yang cepat tumbuh (fast growing species) dan mudah tumbuh

(adaptive) pada kondisi lahan yang kurang subur. Jenis ini juga tidak memerlukan

persyaratan tumbuh yang tinggi. Dapat tumbuh pada lahan dengan pH rendah,

tanah berbatu, serta tanah yang telah mengalami erosi. Karena kelebihan yang

dimilikinya tersebut, jenis ini banyak digunakan dalam kegiatan HTI, rehabilitasi

hutan dan lahan Indonesia (PPPBPH 2003 dalam Syafitri 2008). Keunggulan

lainnya adalah A. mangium sebagai kayu keras mempunyai kandungan lignin

lebih rendah dan terutama lebih mudah didelignifikasi daripada kayu lunak

(Fengel dan Wegener 1995).

Ciri umum dari A. mangium adalah memiliki teras berwarna coklat tua,

coklat zaitun sampai coklat kelabu, batasnya tegas dengan gubal berwarna kuning

pucat sampai kuning jerami. Coraknya polos atau berjalur-jalur berwarna gelap

dan terang bergantian pada bidang radial. Teksturnya halus sampai agak kasar dan

merata. Arah seratnya halus, kadang-kadang berpadu. Permukaannya agak

mengkilap dan memiliki kesan raba yang licin. Kekerasannya agak keras sampai

keras. A. mangium memiliki berat jenis rata-rata 0,61 (0,43-0,66), dengan kelas

(10)

Kegunaannya adalah sebagai bahan konstruksi ringan sampai berat, rangka

pintu dan jendela, perabot rumah tangga (a.l lemari), lantai, papan dinding, tiang,

tiang pancang, gerobak dan rodanya, pemeras minyak, gagang alat, alat pertanian,

kotak dan batang korek api, papan partikel, papan serat, vinir dan kayu lapis, pulp

dan kertas; selain itu baik juga untuk kayu bakar (Mandang dan Pandit 1997).

Tabel 5. Komposisi kimia kayu mangium

Kimia kayu Deptan, 1976 Siagian et al. (1999)

Whitemore Organization (1984) dalam Silitonga (1993)

Lignin lignin sedang

(18–32 %)

lignin sedang (19,7%) Lignin 19,7%

Selulosa selolusa sedang

(40–44 %)

selulosa tinggi (44,0%-69,4%) Holo-sellulosa 69,4 Alfa-sellulosa 44,0 Zat ekstraktif

zat ekstraktif (larut alkohol-benzene) tinggi

ektraktif tinggi Kelarutan:

- Alk. Benzen 5,6

- Air panas 9,8

- NaOH 1 % 14,8

Pentosan termasuk

rendah

- Pentosan 16,0

Abu Rendah - Abu 0,68

silika Rendah - -

Sumber: Malik et al.

2.6 Komponen Kimia Kayu

Berdasarkan bobot molekul atau tingkat polimernya, terdapat dua macam

komponen kimia kayu yaitu komponen yang bobot molekulnya rendah dan

komponen yang bobot molekulnya tinggi. Komponen dengan bobot molekul

rendah antara lain bahan organik dan anorganik. Komponen yang mempunyai

bobot molekul tinggi terdiri atas polisakarida (holoselulosa) dan lignin (Herliyana

1997).

Komponen utama kayu terdiri dari selulosa, hemiselulosa, lignin, zat

ekstraktif dan abu. Selulosa merupakan bagian terbesar yang terdapat dalam kayu,

(11)

ekstraktif 2-6% dan abu 0,2-2%. (Martawijaya et al. 1981). Malik et al.

menambahkan bahwa perbedaan umur pohon memberikan pengaruh yang berbeda

terhadap komposisi kimia kayu

Selulosa. Struktur selulosa pada kayu daun jarum (softwood) sama dengan pada kayu daun lebar (hardwood), tapi DP-nya (derajat polimer) berbeda.

Selulosa pada kayu daun lebar mempunyai DP yang lebih kecil (serat pendek),

sedang pada kayu daun jarum mempunyai DP yang lebih besar (serat panjang).

Hemiselulosa. Hemiselulosa disusun oleh berbagai jenis monomer yang disebut heteropolisakarida. Hemiselulosa pada kayu daun lebar terdiri dari unit

xilosa dan asetil (glukoronoxylan), sedang pada kayu daun jarum berupa unit

mannosa, glukosa, dan galaktosa (galactoglukomannnan).

Lignin. Lignin pada kayu daun lebar berbeda dibandingkan dengan pada kayu daun jarum, baik susunan amupun kadarnya. Susunan dan kadar lignin

berpengaruh terhadap sifat-sifat seperti ketahanan kayu terhadap mikroorganisme,

degradasi dan juga dalam teknologi pengolahan dan sebagainya. Lignin pada kayu

daun jarum hanya disusun oleh koniferil alkohol dan sangat sedikit sinafil alkohol,

sedang lignin pada kayu daun lebar disusun oleh, dengan suatu perbandingan

tertentu tergantung pada faktor tempat tumbuh dan spesies. (Fengel & Wegener

1984).

Tabel 6. Dua macam komponen kimia kayu berdasarkan bobot molekul

Bobot molekul/ tingkat polimer

Komponen kimia kayu

Kandungan bahan kimia/ Satuan-satuan penyusun

Ket.

komponen yang bobot molekulnya

rendah

Bahan organik zat ekstraktif, (yang sampai puluhan

ribu jenisnya) Komponen

dengan BM rendah sekitar 1 sampai 10% Bahan

anorganik

abu/mineral: silica, magnesium, mangan, kalsium, kalium, fosfor

komponen yang bobot molekulnya

tinggi

Polisakarida (holoselulosa)

Selulosa dan hemiselulosa Komponen dengan BM

tinggi mencapai

90% Lignin Fenilpropana, gualasilpropana,

siringilpropana

(12)

2.7 Siklus dan Proses Pelapukan Kayu oleh Jamur Pelapuk Siklus Pelapukan Kayu

Menurut Tambunan dan Nandika dalam Herliyana (1994), secara umum

siklus pelapukan oleh jamur pelapuk kayu dari kelas Basidiomycetes adalah

sebagai berikut. Pertama basidiospora menempel pada permukaan kayu karena

terbawa udara, air, serangga atau bahan-bahan yang mudah terkena infeksi.

Apabila keadaan lingkungan sesuai, basidiospora tersebut akan berkecambah

menjadi hifa atau miselium yang berinti satu yang haploid (miselium primer).

Buller (1924) dalam Herliyana (1994) menambahkan bahwa dua hifa

miselium primer yang kompatibel akan mengadakan somatogami sehingga terjadi

dikarionasi (terjadinya hifa baru dengan tetap berinti dua), sehingga terbentuk

miselium sekunder yang selanjutnya berinti dua yang masing-masing haploid.

Miselium sekunder ini berkembang secara khusus, yaitu tiap inti membelah diri

dan hasil belahan tiap pasangan baru tanpa mengadakan kariogami dalam sel baru,

sehingga miselium sekunder tiap sel selalu berinti dua. Pembelahan tiap-tiap inti

diikuti dengan terbentuknya suatu kait yang mengakibatkan terjadinya suatu

struktur pada tiap antar dua sel yang lama dan baru yang biasa disebut sambungan

apit (clamp connection). Setelah terbentuk miselium sekunder yang sel ke sel pada

kayu melalui lubang pengeboran yang dibuatnya di tempat-tempat pertemuan

antara hifa itu dengan dinding sel atau noktah-noktah dan dinding sel kayu.

Proses Pelapukan Kayu

Cartwright dan Findlay (1958) dalam Herliyana (1994) mendefinisikan

pelapukan kayu sebagai berkurangnya kepadatan kayu, disebabkan karena

terjadinya penguraian bahan dasar kayu oleh jamur. Karena jamur tidak

mempunyai kemampuan untuk membentuk bahan organik sendiri, maka

bahan-bahan organik kompleks yang ada dalam kayu dirombak untuk dijadikan sebagai

sumber energi. Hasil dari proses respirasi oleh jamur tersebut berupa

karbondioksida sesuai dengan yang dikemukakan seperti di bawah ini.

CЋHІЅOЊ + 6OЇ 5HЇO + 6COЇ

Jamur pelapuk kayu dapat berkembang dalam kondisi lingkungan yang

cocok melalui perkecambahan spora atau pertumbuhan segmentasi hifa

(13)

tumbuh sepanjang permukaan kayu dan melakukan penetrasi untuk pertama

kalinya melalui dinding sel kayu atau lubang yang dibuat oleh hifa itu sendiri.

Kejadian tersebut merupakan awal dari proses pelapukan.

Kemampuan hifa menyerang sel-sel kayu ditentukan oleh kenormalan

aktivitas pertumbuhan sel hifa, yang dikenal sebagai zona sub-apikal hifa. Sel-sel

pada ujung hifa selain dapat mengadakan proses biokimia juga dapat

menghasilkan enzim yang diperlukan untuk mempercepat (katalisator) proses

biokimia dalam rangka menembus dinding sel kayu serta perolehan zat makanan

yang diperoleh hifa. Pelapukan kayu oleh jamur dapat dibagi ke dalam dua tahap,

yaitu tahap awal dan tahap lanjutan.

Tahap Pelapukan Awal

Pada tingkat permulaan, yaitu terjadinya kontak antara hifa dan dinding sel

kayu, proses biokimia sudah mulai terjadi sehingga hifa dapat menembus dinding

sel kayu dan kemudian mencapai dinding sel berikutnya. Tahap ini ditandai oleh

munculnya perubahan warna kayu, bahan kayu dapat mengeras atau kaku. Tahap

permulaan pelapukan oleh jamur mengakibatkan perubahan penampilan struktur

dan berkurangnya kekuatan kayu.

Tahap Pelapukan Lanjutan

Pada tahap selanjutnya, warna maupun sifat fisik kayu akan berubah,

secara sebagian atau keseluruhan. Tahap ini ditandai oleh mudahnya kayu

dihancurkan dengan penekanan. Kerusakan berlanjut hingga kayu teras rusak

berat dan terbentuk lubang-lubang di dalam kayu. Kadangkala hanya lapisan tipis

kayu gubal yang tertinggal sebagai penahan (Herliyana 1994).

2.8 Ketahanan Kayu terhadap Jamur Pelapuk S. commune

Ketahanan terhadap pelapukan dan dengan demikian ketahanan kayu

ditentukan oleh kandungan bahan fenolik yang terbentuk dalam kayu. Kandungan

bahan kimia dalam kayu mempengaruhi ketahanan kayu terhadap pelapukan.

Kandungan zat ekstraktif yang bersifat racun bagi jamur pelapuk menyebabkan

kayu lebih tahan terhadap jamur tersebut. Zat-zat ekstraktif yang dikenal

(14)

Pada prinsipnya semua jenis kayu dengan berbagai bentuk dan ukuran

dapat diserang oleh jamur. Akan tetapi ada juga beberapa jenis kayu yang tahan

terhadap serangan jamur. Hal ini disebabkan karena adanya zat ekstraktif di dalam

kayu yang bersifat anti jamur (fungisida) alami.

Berbagai faktor yang mempengaruhi ketahanan kayu terhadap pelapukan,

beberapa di antaranya menyangkut sifat kayunya sendiri dan lainnya adalah

kondisi dimana kayu digunakan. Yang menyangkut sifat kayunya sendiri seperti

kandungan kimia dan berat jenis (specific gravity) dari kayu, sedang yang

termasuk faktor luar adalah kelembaban, temperatur, dan tersedianya oksigen.

Kayu yang ditebang pada musim pertumbuhan lebih peka terhadap pelapukan

daripada yang ditebang pada periode dorman. Sementara perbedaan arah serat

kayu tidak mempengaruhi kepekaan kayu terhadap serangan kayu.

Faktor lain yang mempengaruhi ketahanan kayu adalah umur pohon.

Menurut Tim ELSSPAT (1997) dalam Fitriyani (2010), umur pohon memiliki

hubungan yang positif dengan ketahanan kayu. Jika pohon ditebang dalam umur

yang tua, pada umumnya lebih awet daripada jika ditebang ketika muda karena

semakin lama pohon tersebut hidup maka semakin banyak zat ekstraktif yang

dibentuk.

Kayu teras umumnya lebih awet dibandingkan dengan kayu gubal, karena

strukturnya yang lebih padat, mengandung air dan oksigen yang lebih rendah serta

memiliki zat-zat ekstraktif yang bersifat racun terhadap jamur atau mengandung

zat resin yang bersifat mengurangi penyerapan air.

Berdasarkan kehilangan berat kayu oleh jamur pelapuk, kayu dibagi ke

dalam beberapa kelas awet.

Tabel 7. Kelas Ketahanan Kayu terhadap Jamur

Kelas Ketahanan Kehilangan Berat (%)

I Sangat tahan < 1

II Tahan 1-5

III Agak tahan 5-10

IV Tidak tahan 10-30

V Sangat tidak tahan >30

(15)

Menurut Findly dan Martawijaya (1977) dalam Pratiwi (2009), terdapat

lima kelas awet kayu. Mulai dari kelas awet I (yang paling awet) sampai kelas

awet V (yang paling tidak awet). Martawijaya (1977) dalam Pratiwi (2009)

menyatakan bahwa kelas awet kayu didasarkan atas ketahanan kayu teras karena

bagaimana pun awetnya suatu jenis kayu, bagian gubalnya selalu mempunyai

ketahanan yang terendah (kelas awet V). Hal ini disebabkan karena pada bagian

kayu gubal tidak terbentuk zat-zat ekstraktif seperti phenol, tannin, alkaloide,

saponine, chinon, dan dammar. Zat-zat tersebut memiliki daya racun terhadap

(16)

III.

METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Patologi Hutan, Departemen

Silvikultur, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Penelitian berlangsung

selama enam bulan yaitu dari bulan Agustus 2010 sampai dengan bulan Februari

2011.

3.2 Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini dengan menggunakan

metode SNI 01-7207-2006 antara lain autoclave, oven, laminar air flow,

timbangan analitik, desikator, cawan petri, jarum ooce, pisau, erlenmeyer, toples

kaca, alat tulis, dan kamera.

Adapun bahan-bahan yang digunakan untuk pengujian SNI 01-7207-2006

antara lain yaitu isolat jamur S. commune koleksi Laboratorium Penyakit Hutan,

empat jenis kayu rakyat yaitu kayu Sengon (P. falcataria), kayu Karet (H.

brasiliensis), kayu Tusam (P. merkusii), dan kayu Mangium (A. mangium),

ukuran masing-masing kayu contoh uji yaitu 5 cm x 2,5 cm x 1,5 cm dengan arah

serat cross dan longitudinal, media Potatoes Dextrose Agar (PDA), alkohol,

aquades, alumunium foil, kapas, dan plastik wrape.

(17)

Gambar 3. Contoh Uji Kayu dengan arah serat longitudinal (a.) dan Contoh Uji

Kayu dengan arah serat cross section (b.)

3.3 Metode Penelitian

Penelitian ini terdiri dari beberapa tahap, dimulai dari persiapan bahan,

pengambilan contoh uji kayu, penyediaan biakan jamur, tahap pengujian selama

90 hari hingga pengamatan tingkat degradasi secara mikroskopis.

3.3.1 Persiapan Bahan

Kegiatan ini meliputi pembuatan media PDA dan perbanyakan isolat

jamur S. commune. Kegiatan ini dilakukan di dalam laminar air flow dengan

kondisi steril. Biakan isolat S. commune diperbanyak di dalam cawan petri berisi

media MEA yang telah disterilkan di dalam autoclave.

3.3.2 Pengambilan Contoh Uji

Kayu contoh uji yang digunakan dalam pengujian SNI 01-7207-2006 yaitu

berukuran 5 cm x 2,5 cm x 1,5 cm. Contoh uji ditimbang berat awalnya (BA

dalam satuan gram) dan dioven sampai mencapai kondisi kering tanur. Kemudian

contoh uji ditimbang berat kering ovennya (BK oven dalam satuan gram) untuk

mengetahui kadar air kayu sebelum pengujian.

Metode Pengambilan Contoh Uji Kayu. Contoh uji kayu yang digunakan terdiri dari dua macam arah serat yaitu longitudinal dan cross section.

Kedua macam arah serat tersebut berbeda dalam hal teknik (cara) pemotongan

kayu namun dengan ukuran yang sama (sesuai dengan SNI 01.7207-2006) yaitu

5 cm x 2,5 cm x 1,5 cm.

(18)

Sumber: Laila F

(19)

3.3.3 Penyediaan Biakan Jamur

Pengujian SNI 01.7207-2006. Pengujian ketahanan kayu terhadap jamur harus dibuat dalam kondisi lembab dengan menyediakan biakan jamur di dalam

toples yang steril. Media biakan jamur yang digunakan adalah Potatoes Dextrose

Agar (PDA). Media biakan jamur dibuat dengan mencampur 25 gram ekstrak malt

dengan 15 gram agar dalam 500 ml aquades. Sebanyak 40 cc campuran tersebut

dimasukkan ke dalam toples pengujian, kemudian ditutup. Toples tertutup yang

telah berisi media biakan jamur disterilkan di dalam autoclave selama 30 menit

pada tekanan 15 psi. Setelah steril, toples tersebut diletakkan mendatar sehingga

biakan berada di bagian bawah leher toples. Jamur penguji dapat diinokulasikan

segera setelah media biakan jamur mengeras. Biakan jamur siap digunakan setelah

berumur 7 – 10 hari.

3.3.4 Prosedur Pengujian

Pengujian SNI 01.7207-2006. Contoh uji yang telah steril dan telah dihitung berat awal maupun berat keringnya dimasukkan ke dalam toples yang

sudah berisi biakan jamur S. commune. Sebelumnya diperiksa terlebih dahulu

untuk mengetahui apakah biakan jamur penguji terkontaminasi atau tidak.

Pengamatan dilakukan setelah 12 minggu. Contoh uji dibersihkan dari miselium

dan diamati secara visual menurut kerusakan yang terjadi. Klasifikasi kerusakan

dapat dilihat berdasarkan perubahan warna, besarnya kehilangan bobot kayu

contoh uji, dan lain-lain sesuai keperluan. Contoh uji ditimbang berat basahnya

dan dioven pada suhu ± C selama 24 jam. Kemudian contoh uji ditimbang

berat kering ovennya untuk mengetahui kadar air kayu setelah pengujian.

Persentase kehilangan berat dihitung berdasarkan selisih berat contoh uji sebelum

dan sesudah diserang jamur.

3.3.5 Perhitungan Kehilangan Bobot

Setelah pengumpanan selesai yaitu setelah 12 minggu pengamatan,

kayu-kayu contoh uji dapat dikeluarkan dari toples pengujian dan dibersihkan dari

miselium-miselium jamur yang tumbuh di sekitar permukaan kayu contoh uji

(20)

setelah pengujian serta dikeringkan dengan oven pada suhu ± C selama 24

jam untuk mengetahui bobot kering tanurnya.

Presentase kehilangan bobot dihitung untuk menentukan besarnya

serangan jamur terhadap ketahanan kayu yang dapat dihitung dengan

menggunakan rumus sebagai berikut:

Rumus:

P = WІ - WЇ x 100 %

Keterangan: P = Persentase kehilangan bobot (%)

WІ = Bobot kering tanur contoh uji sebelum pengujian (gram)

WЇ = Bobot kering tanur contoh uji setelah pengujian (gram)

3.4 Rancangan Percobaan dan Analisis Data

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan pola

faktorial yang terdiri dari 2 faktor yaitu: 1). Jenis kayu (sengon, karet, tusam, dan

mangium); dan 2). Arah serat (longitudinal dan cross section).

Faktor pertama dalam pengujian ini adalah empat kayu rakyat dengan jenis

yang berbeda yaitu:

S = Sengon

K = Karet

T = Tusam

M = Mangium

Faktor kedua adalah arah serat kayu yaitu:

L = Longitudinal

C = Cross section

Dengan demikian terdapat 8 kombinasi perlakuan yaitu interaksi antara jenis kayu

dengan arah serat (4x2) antara lain:

SL = Sengon Longitudinal

SC = Sengon Cross

(21)

KC = Karet Cross

TL = Tusam Longitudinal

TC = Tusam Cross

ML = Mangium Longitudinal

MC = Mangium Cross

Ulangan dilakukan sebanyak 10 kali pada setiap jenis kombinasi

perlakuan. Dengan demikian, jumlah total sampel uji yang digunakan adalah 80

contoh uji kayu.

Model rancangan Faktorial RAL dalam penelitian ini sebagai berikut.

yijk = µ + αi+ βj+ (αβ)ij +

Keterangan:

yijk = Respon (tingkat pelapukan) pada kayu ke-i, arah serat ke-j

µ = Rataan umum

αi = Pengaruh faktor A (jenis kayu) taraf ke-i

βj = Pengaruh faktor B (arah serat) taraf ke-j

(αβ)ij = Pengaruh interaksi antara perlakuan faktor A (jenis kayu) taraf ke-i

dengan faktor B (arah serat) taraf ke-j

= Pengaruh acak

i = Jenis kayu (Sengon, Karet, Tusam, Mangium)

j = Arah serat (Longitudinal, Cross)

k = Ulangan 1,2,3, ..., dan 10

Data hasil pengujian dianalisis dengan menggunakan analisis sidik ragam

melalui uji Faktorial RAL dengan menggunakan program SPSS 17.0. Untuk

mengetahui pengaruh perlakuan yang diberikan terhadap peubah yang diamati

dengan menggunakan hipotesis sebagai berikut:

H0 = Perlakuan (jenis kayu dan arah serat) tidak berpengaruh nyata terhadap

(22)

H1 = Perlakuan (jenis kayu dan arah serat) berpengaruh nyata terhadap tingkat

kehilangan bobot.

Sedangkan kriteria pengambilan keputusan dari hipotesis yang diuji adalah:

1. Apabila F-hitung > F-tabel, maka perlakuan jenis kayu dan arah serat

memberikan pengaruh nyata terhadap kehilangan bobot (weight loss) pada

selang kepercayaan 95% (tolak H0).

2. Apabila F-hitung < F-tabel, maka perlakuan jenis kayu dan arah serat

memberikan pengaruh tidak nyata terhadap kehilangan bobot (weight loss)

pada selang kepercayaan 95% (terima H0).

Apabila hasil analisis menunjukkan perbedaaan yang nyata berdasarkan

model dan hipotesis faktorial RAL di atas yaitu tolak H0, maka dilanjutkan

dengan uji lanjut untuk mengetahui beda rata-rata antar perlakuan dengan

(23)

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Pengujian Empat Jenis Kayu Rakyat berdasarkan Persentase Kehilangan Bobot Kayu

Nilai rata-rata kehilangan bobot (weight loss) pada contoh uji kayu

sengon, karet, tusam, dan mangium hasil pengujian laboratorium terhadap

serangan jamur pelapuk kayu S. commune berdasarkan arah serat longitudinal dan

cross section seperti terlihat pada tabel 8 di bawah ini.

Tabel 8. Nilai Rataan Persentase kehilangan bobot (% P) pada pengujian empat jenis kayu rakyat oleh jamur pelapuk S. commune dengan metode SNI

Jenis Kayu dan Arah

Serat BAІ BKІ KAІ BAЇ BKЇ KAЇ P (%)

Sengon Longitudinal 13,13 8,49 34,11 10,26 5,62 45,09 32,18 Sengon Cross section 11,23 6,86 35,23 9,73 5,79 40,19 15,47 Karet Longitudinal 12,33 10,39 15,75 15,75 8,96 42,92 13,80 Karet Cross section 13,31 11,07 16,71 17,58 9,75 44,48 11,96 Tusam Longitudinal 14,99 13,92 7,10 17,02 12,80 24,73 8,03 Tusam Cross section 15,78 14,99 4,97 18,74 13,59 27,24 9,33 Mangium Longitudinal 12,42 11,39 8,29 16,33 10,67 34,45 6,28 Mangium Cross section 11,08 10,14 8,47 14,97 9,50 36,42 6,33

Ket : BAІ = Bobot awal contoh uji kayu sebelum pengujian (gram) BKІ = Bobot kering tanur contoh uji kayu sebelum pengujian (gram) KAІ = Kadar air contoh uji kayu sebelum pengujian (%)

BAЇ = Bobot awal contoh uji kayu setelah pengujian (gram) BKЇ = Bobot kering tanur contoh uji kayu setelah pengujian (gram) KAЇ = Kadar air contoh uji kayu setelah pengujian (%)

P = Persentase kehilangan bobot (%)

Parameter ketahanan kayu terhadap jamur pelapuk S. commune dilihat dari

nilai kehilangan bobot contoh uji (weight loss) yang diperoleh dari hasil uji

laboratorium (laboratory test). Kehilangan bobot merupakan nilai pengurangan

bobot kayu akibat perlakuan uji laboratorium selama kurang lebih 90 hari yang

mengakibatkan bobot kayu berkurang. Standar pengujian yang digunakan pada

(24)

empat jenis kayu rakyat, antara lain: kayu sengon, kayu karet, kayu tusam, dan

kayu mangium. Keempat jenis kayu rakyat ini memiliki ukuran yang telah

terstandarisasi yaitu 5 cm x 2,5 cm x 1,5 cm.

Gambar 5. Persentase kehilangan bobot pada pengujian empat jenis kayu rakyat dengan arah serat longitudinal dan cross section oleh jamur pelapuk S. commune dengan metode SNI

4.2 Sidik ragam

Tabel 9. Hasil sidik ragam kehilangan bobot terhadap jenis kayu, arah serat, serta interaksi antara jenis kayu dan arah serat

Sumber Keragaman db Jk KT Fhit

Jenis kayu 3 3614,52 1204,84 66,87*

Arah serat 1 369,63 369,63 20,52*

Interaksi 3 1050,72 350,24 19,44*

Galat/error 72

Total 79

Keterangan : * berbeda nyata pada uji F taraf 0,05

Hasil Analisa Statistik dengan menggunakan sidik ragam pada tabel 9

dengan selang kepercayaan yang digunakan adalah 95%, dapat diketahui bahwa

terjadi perbedaan yang nyata antarperlakuan jenis kayu (sengon x karet x tusam x

mangium), maupun antarperlakuan arah serat (longitudinal x cross section), serta

32,18 13,8 8,03 6,28 15,47 11,96 9,33 6,33 0 5 10 15 20 25 30 35

Sengon Karet Tusam Mangium

(25)

interaksi antara perlakuan jenis kayu dan arah serat (jenis kayu x arah serat)

terhadap kehilangan bobot kayu, hal ini ditandai dengan nilai Pr > F untuk setiap

perlakuan adalah < 0,05.

Hasil sidik ragam menyatakan bahwa interaksi antara jenis kayu dan arah

serat memiliki pengaruh nyata terhadap persentase kehilangan bobot contoh uji pada α = 0,05. Artinya keempat jenis kayu rakyat menghasilkan kehilangan bobot yang berbeda-beda baik menggunakan arah serat longitudinal maupun cross

section. Berdasarkan pada grafik 1 juga terlihat bahwa interaksi antara jenis kayu

dan arah serat memiliki pengaruh nyata dimana nilai kehilangan bobot pada kayu

sengon dan karet, arah serat longitudinal lebih tinggi daripada arah serat cross

section. Sedangkan, nilai kehilangan bobot pada kayu tusam dan mangium arah

serat longitudinal lebih rendah daripada cross section namun dengan selisih yang

lebih kecil.

4.3 Nilai Rata-rata Kehilangan Bobot Berdasarkan Uji Duncan

Tabel 10. Nilai rata-rata kehilangan bobot berdasarkan perbedaan jenis kayu

Jenis Kayu Rata-rata

Sengon Karet Tusam Mangium

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan perlakuan tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95 %

Berdasarkan tabel 10 di atas, apabila dilihat dari perbedaan jenis kayu,

kayu sengon memiliki nilai rata-rata tertinggi sebesar 23,826%. Hasil dari uji

Duncan menyatakan bahwa kayu sengon memberikan pengaruh nyata dalam hal

ini berbeda nyata dengan kayu karet dengan rata-rata kehilangan bobot sebesar

12,878% serta berbeda nyata dengan kayu tusam dan kayu mangium. Sedangkan

kayu tusam dengan rata-rata kehilangan bobot sebesar 8,680% tidak berbeda nyata

dengan kayu magium dengan kehilangan bobot sebesar 6,301%. Dengan demikian

perlakuan dengan jenis kayu sengon dapat digunakan sebagai kayu kontrol dalam

(26)

Tabel 11. Nilai rata-rata kehilangan bobot berdasarkan perbedaan arah serat kayu

Arah Serat Rata-rata

Longitudinal Cross section

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan perlakuan tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95 %

Berdasarkan uji Duncan pada tabel 11 di atas menunjukkan bahwa nilai

rata-rata kehilangan bobot arah serat longitudinal sebesar 15,0708 % berbeda

nyata dengan arah serat cross section sebesar 10,7718 %. Hal ini sesuai dengan

grafik tingkat degradasi rata-rata pada gambar 5 bahwa nilai kehilangan bobot

contoh uji kayu sengon dan karet berdasarkan arah serat menunjukkan nilai

persentase arah serat longitudinal lebih besar dibandingkan dengan arah serat

cross section (berbeda nyata). Sedangkan untuk contoh uji kayu tusam dan

mangium berdasarkan gambar 5 menunjukkan hal sebaliknya yaitu bahwa nilai

persentase arah serat longitudinal lebih kecil dibandingkan dengan arah serat

cross section namun dengan selisih yang kecil sehingga dapat diasumsikan tidak

berbeda nyata. Dengan demikian perlakuan dengan arah serat longitudinal dapat

digunakan sebagai standar pengujian ketahanan kayu terhadap serangan jamur

pelapuk S. commune.

Tabel 12. Nilai rata-rata kehilangan bobot dari hasil akhir uji Duncan

Interaksi Jenis Kayu & Arah Serat Rata-rata

Sengon Longitudinal Sengon Cross Karet Longitudinal Karet Cross Tusam Longitudinal Tusam Cross

Mangium Longitudinal Mangium Cross

(27)

Pengaruh dari perbedaaan jenis kayu dan arah serat terhadap persentase

kehilangan bobot kayu contoh uji menunjukkan bahwa sengon longitudinal

memberikan pengaruh yang nyata dalam hal ini berbeda nyata dengan sengon

cross dan perlakuan lainnya (lihat tabel 12). Pengaruh nyata ini terlihat pada

persentase kehilangan bobot sengon longitudinal sebesar 32,177 % terhadap

sengon cross dengan rata-rata kehilangan bobot sebesar 15,475 %.

Sementara untuk beberapa perlakuan menunjukkan pengaruh yang tidak

berbeda nyata. Hal ini seperti pada karet longitudinal dengan persentase

kehilangan bobot sebesar 13,801 % tidak berbeda nyata dengan sengon cross

dengan rata-rata kehilangan bobot sebesar 15,475 %. Antara tusam longitudinal

dengan rata-rata kehilangan bobot sebesar 8,028 % tidak berbeda nyata dengan

tusam cross dengan rata-rata kehilangan bobot sebesar 9,331 %. Hal yang sama

juga terjadi antara mangium longitudinal dengan rata-rata kehilangan bobot

sebesar 6,227 % tidak berbeda nyata dengan mangium cross dengan rata-rata

kehilangan bobot sebesar 6,326 %.

Sementara itu, pada perlakuan karet cross dengan rata-rata kehilangan

bobot sebesar 11,955% tidak berbeda nyata dengan sengon cross 15,475%, karet

longitudinal 13,801%, tusam longitudinal 8,028%, tusam cross 9,331%.

Tabel 13. Perbandingan Kelas Awet Kayu Berdasarkan Literatur dan Hasil Uji

Laboratorium

Jenis Kayu Kehilangan bobot Kelas Awet (penelitian) Kelas Awet (literatur)

Long Cross Long Cross

Sengon 32,18% 15,47% V IV IV-V *) dan II-IV **)

Karet 13,8% 11,96% IV IV V *)

Tusam 8,03% 9,33% III III IV ***) Mangium 6,28% 6,33% III III III *)

Keterangan: *) Mandang dan Pandit 1997 **) Martawijaya et al. 1989 ***) Pandit dan Ramdan 2002

Dari hasil pengujian seperti terlihat pada tabel 13 di atas, dapat diketahui

bahwa nilai rata-rata kehilangan bobot sengon dengan arah serat longitudinal

(28)

nilai kehilangan bobot kayu sengon dengan arah serat longitudinal dan cross

section termasuk dalam kategori tidak tahan sampai sangat tidak tahan atau masuk

dalam kelas awet IV-V dengan persentase kehilangan bobot berkisar antara 10%

sampai dengan 30% dan bahkan lebih dari 30%. Hal ini sesuai dengan pernyataan

Mandang dan Pandit (1997) bahwa kayu sengon termasuk kelas awet IV-V yang

berarti memiliki ketahanan yang sangat rendah terhadap serangan jamur pelapuk

S. commune. Martawijaya et al. menambahkan bahwa kayu sengon termasuk ke

dalam kelas awet II-IV (tahan sampai tidak tahan). Dengan demikian, sengon

dapat direkomendasikan sebagai kayu kontrol pengujian ketahanan kayu alami.

Sementara, kehilangan bobot untuk kayu karet dengan arah serat

longitudinal (13,8%) dan arah serat cross section (11,96%). Berdasarkan SNI

01.7207-2006, nilai kehilangan bobot kayu sengon dengan arah serat longitudinal

dan cross section termasuk dalam kategori tidak tahan atau masuk dalam kelas

awet IV dengan persentase kehilangan bobot berkisar antara 10% sampai dengan

30%. Hal ini menunjukkan bahwa jamur S. commune pada kayu karet tidak cocok

dijadikan kontrol dalam uji ketahanan kayu terhadap jamur. Hal ini memang tidak

sesuai dengan pernyataan Mandang dan Pandit (1997) bahwa sifat ketahanan kayu

karet termasuk dalam kelas awet V yang berarti memiliki ketahanan yang sangat

rendah (sangat tidak tahan).

Kehilangan bobot untuk kayu tusam arah serat longitudinal (8,03%), dan

arah serat cross section (9,33%). Berdasarkan standar pengujian SNI

01.7207-2006, tingkat katahanan kayu pinus terhadap jamur pelapuk S. commune masuk

dalam kategori agak tahan atau masuk dalam kelas awet III dengan skor

kehilangan bobot berkisar antara 5% sampai dengan 10%. Hal ini menunjukkan

bahwa jamur S. commune pada kayu tusam tidak cocok digunakan sebagai

kontrol dalam uji ketahanan kayu terhadap jamur. Hal ini juga tidak sesuai dengan

pernyataan Pandit dan Ramdan (2002) bahwa sifat ketahanan kayu pinus/tusam

termasuk ke dalam kelas awet IV.

Kehilangan bobot untuk kayu mangium arah serat longitudinal (6,28%),

dan arah serat cross section (6,33%). Berdasarkan standar pengujian SNI

01.7207-2006, tingkat katahanan kayu akasia terhadap jamur pelapuk S. commune masuk

(29)

kehilangan bobot berkisar antara 5% sampai dengan 10%. Hal ini menunjukkan

bahwa jamur S. commune pada kayu mangium tidak cocok digunakan sebagai

kontrol dalam uji ketahanan kayu terhadap jamur. Hal ini sesuai dengan

pernyataan Mandang dan Pandit (1997) bahwa sifat ketahanan kayu A. mangium

termasuk ke dalam kelas awet III.

4.4 Tingkat Kerusakan Berdasarkan Pengamatan Visual Kayu

Pengamatan visual kayu merupakan pengamatan yang dilakukan untuk

melihat pengaruh serangan jamur pelapuk S. commune secara kasat mata terhadap

contoh uji kayu yang diumpankan selama kurang lebih 90 hari. Secara umum,

terlihat bahwa kolonisasi miselium menyebar mulai dari sisi dinding sel kayu

menuju ke bagian tengah permukaan kayu, serta semakin menebal dan merata di

seluruh permukaan kayu seiring dengan bertambahnya lama inkubasi. Dari

pengamatan yang dilakukan, terlihat bahwa contoh uji kayu yang telah diserang

oleh jamur pelapuk S. commune mengalami perubahan warna, yaitu menjadi lebih

terang (cokelat muda atau kemerahan) dan rapuh, seperti terlihat pada keempat

jenis kayu rakyat yang diujikan berikut ini. (Gambar 6, 7,8, dan 9)

Sengon arah serat longitudinal dan cross section

(Sumber foto : Laila F.)

Gambar 6. Contoh Uji Kayu Sengon arah serat longitudinal dan cross section

(a.) CU kayu sengon sebelum pengumpanan; (b.) CU kayu sengon

setelah pengumapanan yang masih diselimuti oleh jamur; (c.) CU kayu

sengon setelah pengumpanan selama 90 hari berwarna lebih gelap dan

lebih lunak dibandingkan dengan sebelum pengumpanan.

(c.) (b.)

(30)

Karet arah serat longitudinal dan cross section

(Sumber foto : Laila F.)

Gambar 7. (a.) Miselium pada Contoh Uji Kayu Karet arah serat longitudinal

mengeluarkan bakal buah; (b.) Kayu karet cross section yang masih

diselimuti jamur; (c.) Kayu Karet arah cross section setelah

pengumpanan selama 90 hari berwarna lebih coklat dan gelap

dibandingkan sebelum pengumpanan.

Tusam arah serat longitudinal dan section

(Sumber foto : Laila F.)

Gambar 8. (a.) Kayu Tusam sebelum pengumpanan; (b.) Miselium pada Kayu

Tusam arah serat longitudinal; (c.) Miselium pada Kayu Tusam arah

serat cross section; dan (d.) Kayu tusam arah serat longitudinal

setelah pengumpanan selama 90 hari berwarna lebih coklat dan gelap

dibandingkan sebelum pengumpanan.

(c.) (b.)

(a.)

(b.) (a.)

[image:30.595.100.491.58.824.2] [image:30.595.116.464.361.618.2]
(31)

Mangium arah serat longitudinal dan cross section

Gambar 9. (a.) Contoh Uji Kayu mangium longitudinal sebelum pengumpanan;

(b.) Miselium pada Kayu mangium arah serat cross section; (c.) Kayu

mangium arah serat cross section setelah pengumpanan selama 90 hari

berwarna lebih coklat dan gelap dibandingkan sebelum pengumpanan.

4.5 Ketahanan Alami Kayu

Menurut Tobing (1977), ketahanan alami kayu adalah daya tahan suatu

jenis kayu terhadap organisme perusak kayu, berupa serangga, jamur, dan

binatang laut penggerek. Ketahanan kayu dipengaruhi oleh kandungan zat

ekstraktif, umur pohon, bagian kayu dalam batang (teras atau gubal), kecepatan

tumbuh, dan tempat dimana kayu digunakan. Wistara (2002) dalam Pratiwi

(2009) menambahkan bahwa ketahanan alami kayu terutama dipengaruhi oleh

kadar ekstraktifnya. Meskipun tidak semua ekstraktif beracun bagi organisme

perusak kayu, umumnya terdapat kecenderungan bahwa semakin tinggi kadar

ekstraktif, ketahanan alami kayu cenderung meningkat pula. Brown dan Panshin

(1949) dalam Ediningtyas (1993) menyatakan bahwa beberapa zat ekstraktif

seperti tannin dan senyawa-senyawa phenolik memiliki sifat racun dan dalam

jumlah yang yang cukup, dapat mencegah kerusakan kayu oleh faktor perusak.

Zat ekstraktif berperan dalam melawan serangan jamur pelapuk. Jadi, semakin

tinggi kandungan ekstraktif yang terdapat dalam kayu maka kehilangan berat kayu

tersebut akan semakin rendah.

Zat ekstraktif merupakan bagian kecil dari suatu pohon dan bukan

merupakan penyusun struktur kayu, namun zat ini cukup esensial dan berpengaruh

terhadap sifat-sifat kayu termasuk ketahanan terhadap serangan serangga dan

organisme pelapuk lainnya karena bersifat racun (Ediningtyas 1993). Kandungan

(Sumber foto : Laila F.)

(32)

zat ekstraktif di dalam kayu memang sangat kecil dibandingkan dengan

kandungan selulosa, hemiselulosa maupun lignin akan tetapi pengaruhnya cukup

besar terhadap sifat kayu dan sifat pengolahannya, antara lain yang sangat penting

adalah pengaruhnya terhadap sifat ketahanan alami kayu (Ramadhani 2006).

Pada dasarnya semua bagian kayu dapat dimanfaatkan oleh mikro

organisme tertentu. Holoselulosa (selulosa dan hemiselulosa) dan lignin yang

secara bersama menyusun bagian terbesar kayu, akan dipecahkan oleh

enzim-enzim yang dikeluarkan oleh cendawan dan bakteri menjadi persenyawaan-

persenyawaan yang sederhana, seperti gula, yang dapat diabsobsi dan dicerna oleh

organisme-organisme perusak kayu (Scheffer 1973 dalam Pratiwi 2009).

Ketahanan alami ditentukan oleh zat ekstraktif yang bersifat racun

terhadap faktor perusak kayu, sehingga dengan sendirinya ketahanan alami ini

akan bervariasi sesuai dengan variasi jumlah serta jenis zat ekstraktifnya. Hal ini

menyebabkan ketahanan alami berbeda-beda menurut jenis kayu, dalam jenis

kayu yang sama maupun dalam pohon yang sama. Variasi ketahanan dalam pohon

yang sama terjadi antara kayu gubal dengan kayu teras. Kayu gubal mempunyai

ketahanan yang rendah karena gubal tidak mengandung zat ekstraktif. Inilah

sebabnya penggolongan ketahanan kayu didasarkan pada ketahanan kayu

terasnya. Variasi ketahanan juga terdapat di dalam kayu teras, dimana kayu teras

bagian luar lebih awet dibanding kayu teras bagian dalam (Tobing 1977).

4.6 Ketahanan Kayu Terhadap Jamur Pelapuk S. commune Fr.

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat ketahanan kayu dari

serangan faktor perusak kayu yaitu faktor luar dan faktor dalam. Faktor luar

berkaitan dengan kondisi lingkungan dimana kayu tersebut digunakan, sedangkan

faktor dalam adalah pengaruh komponen kimia dari kayu yang bersangkutan.

S. commune Fr. merupakan jamur pelapuk putih (white rot) yang

merombak lignin dan selulosa. Jamur pelapuk kayu mampu merusak selulosa dan

lignin penyusun kayu dengan cara menguraikan kayu melalui proses enzimatik

dari bentuk yang kompleks menjadi lebih sederhana. Hal ini menyebabkan bobot

(33)

serangan jamur dalam waktu tertentu menunjukkan tingkat penyerangan jamur

terhadap kayu tersebut (Tambunan & Nandika 1989 dalam Fitriyani 2010).

Hasil Analisa Statistik menyatakan bahwa persentase kehilangan bobot

berbeda nyata pada taraf uji α = 0,05. Artinya keempat jenis kayu rakyat

menghasilkan kehilangan bobot yang berbeda-beda baik menggunakan arah serat

longitudinal maupun cross section. Nilai rataan kehilangan bobot pada kayu

sengon nyata lebih tinggi dibanding ketiga jenis kayu rakyat lainnya (kayu karet,

tusam, dan mangium). Hal ini diduga karena jumlah selulosa dan lignin yang

terkandung pada kayu sengon lebih tinggi dibanding ketiga kayu lainnya.

Martawijaya et al. (1989) dalam Atlas Kayu Jilid 2 menyatakan bahwa kadar

selulosa kayu sengon tergolong tinggi (49,4%), sedangkan kandungan ligninnya

termasuk sedang (26,8%).

Menurut Pari (1996), kandungan selulosa kayu karet tergolong tinggi

(47,81-48,64%). Boerhendy dan Agustina (2006) dalam Fitriyani (2010)

menambahkan bahwa kandungan selulosa pada kayu karet mencapai 45%,

sedangkan kandungan ligninnya tergolong sedang yaitu 19,0-24,0%. Sementara,

menurut Deptan (1999) dalam Malik et al. bahwa kandungan selulosa pada kayu

mangium tergolong sedang yaitu sebesar 40-44%, sedangkan menurut Siagian et

al. (1999) kandungan ligninnya sebesar 19,7%.

Pelapukan kayu merupakan proses berkurangnya kepadatan kayu yang

dikarenakan terjadinya kerusakan bahan dasar kayu oleh jamur untuk proses

respirasi yang menghasilkan sejumlah CO2 dan H2O. Dikatakan bahwa kayu pada

tingkat pelapukan yang sudah lanjut dapat berubah, terutama warna kayu sebagai

akibat perombakan bahan dasar oleh jamur (Cartwright dan Findlay 1958 dalam

Rosyadi 1992). Mekanisme pelapukan kayu oleh jamur dibagi menjadi dua tipe,

yaitu tipe prefensi dan tipe simultan. Jamur tipe prefensi akan mendegradasi lignin

terlebih dahulu sebelum menguraikan hemiselulosa dan selulosa. Sedangkan

jamur tipe simultan mampu merombak selulosa, hemiselulosa, dan lignin pada

waktu dan kecepatan yang sama (Irawati 2006).

Serangan jamur perusak kayu (wood destroying fungi) bersifat

menghancurkan dan membusukkan bahan organik kayu karena sebagian dari masa

(34)

dilihat dengan adanya perubahan sifat fisik dan sifat kimia dari kayu. Perubahan

tersebut sangat berpengaruh terhadap kemungkinan pemakaian kayu. Pada

prinsipnya semua jenis kayu dengan berbagai bentuk dan ukuran dapat diserang

oleh jamur. Akan tetapi ada juga beberapa kayu yang tahan terhadap serangan

jamur. Hal ini disebabkan adanya zat ekstraktif di dalam kayu yang bersifat

sebagai anti jamur alami (Nandika 1986).

Persentase kehilangan bobot kayu mangium adalah yang terendah yaitu

sebesar 6,28% (arah serat longitudinal) dan 6,33% (arah serat cross section). Hal

ini dapat juga dikatakan bahwa kayu mangium merupakan kayu yang paling tahan

terhadap serangan jamur pelapuk kayu S. commune dibandingkan ketiga kayu

lainnya (sengon, karet, dan tusam). Hal ini diduga karena jumlah zat ekstraktif

yang terkandung pada kayu mangium lebih tinggi dibanding ketiga kayu lainnya.

Zat ekstraktif berperan dalam melawan serangan jamur pelapuk. Jadi, semakin

tinggi kandungan ekstraktif yang terdapat dalam kayu maka kehilangan berat kayu

tersebut akan semakin rendah. Meskipun tidak semua ekstraktif beracun bagi

organisme perusak kayu, umumnya terdapat kecenderungan bahwa semakin tinggi

kadar ekstraktif, ketahanan alami kayu cenderung meningkat pula.

Menurut Malik et al., kandungan zat ekstraktif kayu mangium tergolong

tinggi sebesar 5,6% sampai 14,8%. Sementara, menurut Martawijaya et al. (1989)

kandungan zat ekstraktif kayu sengon termasuk rendah yaitu sebesar 3,4%. Pari

(1996) menambahkan kandungan zat ekstraktif kayu karet sebesar 4,18-4,43%.

Kandungan dan komposisi zat ekstraktif berubah-ubah di antara spesies kayu, dan

bahkan terdapat juga variasi dalam satu spesies yang sama tergantung pada tapak

geografi dan musim. Sejumlah kayu mengandung senyawa-senyawa yang dapat

diekstraksi yang bersifat racun atau mencegah bakteri, jamur, dan rayap (Fengel &

Wegener, 1995).

Jika dilihat dari jenisnya, kayu sengon, karet, dan mangium tergolong ke

dalam kayu daun lebar (Hardwood), sedangkan kayu pinus/tusam tergolong ke

dalam kayu daun jarum (Softwood). Kandungan selulosa dan lignin pada kayu

daun lebar (Hardwood) lebih tinggi dibandingkan dengan kayu daun jarum

(Softwood) (Pari 1996). Fengel & Wegener (1984) menambahkan bahwasannya

(35)

lebar (hardwood), tetapi selulosa pada kayu daun lebar mempunyai serat yang

pendek, sedangkan pada kayu daun jarum mempunyai serat panjang. Lignin pada

kayu daun lebar berbeda dibandingkan dengan pada kayu daun jarum, baik

susunan maupun kadarnya. Susunan dan kadar lignin berpengaruh terhadap

sifat-sifat seperti ketahanan kayu terhadap mikroorganisme, degradasi dan juga dalam

teknologi pengolahan dan sebagainya. Sementara itu, kandungan zat ekstraktif

pada kayu daun lebar (Hardwood) lebih rendah dibandingkan kayu daun jarum

(Softwood). Karena zat ekstraktif berperan dalam melawan serangan jamur

pelapuk. Jadi semakin tinggi kandungan ekstraktif yang terdapat dalam kayu maka

nilai kehilangan bobot kayu tersebut akan semakin rendah.

Tahapan persiapan contoh uji yang tertulis pada metode SNI

01.7207-2006 masih kurang lengkap, karena pada tahapan ini tidak ada perintah untuk

menimbang dan mengoven contoh uji kayu sebelum diumpankan pada jamur.

Sebelum pengumpanan sebaiknya menimbang dahulu bobot awal dan mengoven

contoh uji untuk selanjutnya ditimbang bobot kering tanurnya (W1). Data W1

dibutuhkan untuk menghitung persen kehilangan bobot contoh uji sesuai dengan

persamaan atau rumus yang terdapat pada poin 3.3.5 (perhitungan kehilangan

bobot). Nilai kehilangan bobot contoh uji kayu berdasarkan metode SNI

01.7207-2006 merupakan selisih antara berat contoh uji kayu sebelum dan sesudah

pengujian (W1-W2 atau ΔW) dibagi dengan bobot contoh uji kayu sesudah

pengujian (W2) dikalikan seratus persen.

Jika menggunakan rumus kehilangan bobot yang tertulis dalam SNI

01.7207-2006 berdasarkan hasil perhitungan dari data-data yang diperoleh, maka

didapat nilai yang tidak sesuai standar. Namun jika dihitung menggunakan rumus

yang tertulis dalam JIS K 1571-2004, maka nilai kehilangan bobot contoh uji kayu

sesuai dengan nilai yang ada pada standar. Hal ini menunjukkan bahwa rumus

perhitungan persen kehilangan bobot kayu yang tertulis pada standar SNI kurang

tepat. Untuk memperbaiki kualitas pernyataan hasil standar SNI, maka sebaiknya

standar SNI mengacu pada rumus kehilangan bobot contoh uji kayu yang tertulis

(36)

V.

KESIMPULAN

5.1 Kesimpulan

1. Kayu sengon termasuk ke dalam kelas awet IV-V (tidak tahan sampai sangat

tidak tahan terhadap serangan jamur) dengan nilai kehilangan bobot sebesar

32,18% (arah serat longitudinal) dan 15,47% (arah serat cross section). Kayu

karet termasuk ke dalam kelas awet IV dengan nilai kehilangan bobot 13,8%

(arah serat longitudinal) dan 11,96% (arah serat cross section). Kayu tusam

termasuk ke dalam kelas awet III dengan nilai kehilangan bobot sebesar

8,03% (arah serat longitudinal) dan 9,33% (arah serat cross section). Kayu

mangium termasuk ke dalam kelas awet III (agak tahan) dengan nilai

kehilangan bobot sebesar 6,28% (arah serat longitudinal) dan 6,33% (arah

serat cross section). Pada kayu sengon dan mangium, kelas awet hasil

pengujian sesuai dengan literatur. Sedangkan untuk kayu karet dan tusam,

kelas awet hasil pengujian tidak sesuai dengan literatur yang ada. Dengan

demikian, kayu sengon dan mangium dianjurkan untuk menjadi kayu kontrol

dalam pengujian ketahanan kayu terhadap serangan jamur S. commune.

2. Jamur S. commune dapat digunakan sebagai standar dan direkomendasikan

menjadi jamur untuk pengujian ketahanan alami kayu karena dapat

menyebabkan kehilangan bobot hingga 32,18% pada kayu sengon.

3. Berdasarkan nilai rata-rata kehilangan bobot kayu, metode SNI 01.7207-2006

arah serat yang digunakan sebaiknya arah serat longitudinal.

4. Hasil Analisis Statistik dengan selang kepercayaan 95% diketahui bahwa

terjadi perbedaan yang nyata, baik antarperlakuan jenis kayu (sengon x karet

x tusam x mangium), maupun antarperlakuan arah serat (longitudinal x cross

section), serta interaksi antara perlakuan jenis kayu dan arah serat (jenis kayu

x arah serat) juga berbeda nyata terhadap kehilangan bobot kayu.

5.2 Saran

1. Pada tahap persiapan contoh uji kayu perlu dilakukan pengovenan dan

penimbangan contoh uji kayu untuk mendapatkan nilai bobot kering contoh

(37)

2. Perhitungan persen kehilangan bobot dengan standar SNI kurang tepat maka

sebaiknya standar SNI mengacu pada rumus yang tertulis dalam standar JIS.

3. Bagian kayu yang digunakan dalam pengujian sebaiknya kayu teras. Hal ini

karena kelas awet kayu didasarkan atas ketahanan kayu terasnya dan

bagaimana pun awetnya suatu jenis kayu, bagian gubalnya selalu mempunyai

(38)

Schizophyllum commune

Fr. SEBAGAI JAMUR UJI

KETAHANAN KAYU STANDAR NASIONAL INDONESIA

PADA EMPAT JENIS KAYU RAKYAT: SENGON, KARET,

TUSAM, DAN MANGIUM

LAILA FITHRI MARYAM

DEPARTEMEN SILVIKULTUR

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(39)

DAFTAR PUSTAKA

Boerhendhy I, Agustina DS. 2006. Potensi Pemanfaatan Kayu Rakyat Untuk Mendukung Peremajaan Perkebunan Karet Rakyat. Palembang: Balai Penelitian Sembawa, Pusat Penelitian Karet, J. Litbang Pertanian, 25(2).

Edinintyas D. 1993. Zat Ekstraktif Tiga Jenis Kayu Awet Indonesia dan Efikasinya Terhadap Rayap Kayu Kering Cryptotermes cynocephalus Light. [Skripsi]. Jurusan Teknologi Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

Fengel D, Wegener G. 1995. Kayu: Kimia, Ultrastruktur, Reaksi-reaksi. Sastrohamidjojo H, penerjemah. Prawirohatmodjo S, editor. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: Wood: Chemistry, Ultrastructure, Reactions.

Fitriyani I. 2010. Pengujian Ketahanan Alami Kayu Karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) dan Sugi (Cryptomeria japonica (L. f) D. Don) terhadap Jamur Pelapuk Kayu Schizophyllum commune Fr. [Skripsi]. Bogor: Departemen Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan IPB.

Herliyana EN. 1994. Bioekologi Jamur Pelapuk Schizophyllum commune Fr. dan Siklus Pelapukannya. Bogor: Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Herliyana EN. 1997. Potensi Schizophyllum commune dan Phanerochaete chrysosporium untuk Pemutihan Pulp Kayu Acacia mangium dan Pinus merkusii. [Thesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

Irawati, D. 2006. Pemanfaatan Serbuk Kayu untuk Produksi Etanol. [Thesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

[JIS] Japan Industrial Standard. 2004. Test Methods for Determining The Effectiveness of Wood Preservativeness of Wood Preservatives and Their Performance Requirement. JIS K 1571-2004.

Malik J, Santoso A, Rachman O. Tanpa tahun. Sari Penelitian Mangium (Acacia mangium Willd.). Pusat Penelitian Hasil Hutan Bogor.

Mandang YI, Pandit IKN. 1997. Pedoman Identifikasi Jenis Kayu di Lapangan. Bogor: Yayasan Prosea Bogor.

Martawijaya A, Kartasujana I, Kadir K, Prawira SA. 1981. Atlas Kayu Indonesia, Jilid 1. Balai Penelitian Hasil Hutan. Bogor.

(40)

Nandika D. 1986. Kerusakan Kayu oleh Jasad Hidup Selain Rayap. Disampaikan pada Penataran Supervisor/Teknisi. Pest Control DKI Jakarta. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.

Pandit IKN, Ramdan H. 2002. Anatomi Kayu, Pengantar Sifat Kayu sebagai Bahan Baku. Bogor: yayasan penerbit Fakultas Kehutanan, IPB.

Pari G. 1996. Analisis Komponen Kimia dari Kayu Sengon dan Kayu Karet pada Beberapa Macam Umur. Bogor: Buletin Penelitian Hasil Hutan, 14(8): 321-327.

Partini. 2003. Daya Tahan Papan Partikel dari Limbah Serbuk Kayu Sengon (P. falcataria) dan Plastik Polypropilene Daur Ulang terhadap Serangan Jamur S. commune. [Skripsi]. Jurusan Teknologi Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

Pratiwi GA. 2009. Sifat Ketahanan dan Pengawetan Beberapa Jenis Kayu Rakyat. [Skripsi]. Bogor: Departemen Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan IPB.

Ramadhani J. 2006. Peningkatan Ketahanan Kayu Gmelina arborea Roxb. dari Serangan Jamur Pelapuk dengan Bahan Pengawet Alami. [Skripsi]. Bogor: Departemen Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan IPB.

Rosyadi A.1992. Pengaruh Perlakuan Pendahuluan dan Umur Pohon Sengon terhadap Daya Tahan Papan Partikel dari Serangan Jamu Pelapuk Kayu (Schizophyllum commune). [Skripsi]. Bogor: Departemen Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan IPB.

Safitri ES. 2003. Analisis Komponen Kimia dan Dimensi Serat Kayu Karet (Hevea brasliensis Muell. Arg.) Hasil Klon. [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, IPB.

Seng OD. 1990. Berat Jenis Kayu-kayu Indonesia dan Pengertian dari Berat Kayu Untuk Keperluan Praktek. Bogor: Pengumuman No.13. Lembaga Penelitian Hasil Hutan.

Sjostrom E. 1981. Kimia Kayu, Dasar-dasar dan Penggunaannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

[SNI] Standar Nasional Indonesia. 2006. Uji Ketahanan Kayu dan Produk Kayu Terhadap Organisme Perusak Kayu. Badan Standarisasi Nasional. SNI 01.7207-2006. Jakarta .

Tobing TL. 1977. Pengawetan Kayu. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.

(41)

Schizophyllum commune

Fr. SEBAGAI JAMUR UJI

KETAHANAN KAYU STANDAR NASIONAL INDONESIA

PADA EMPAT JENIS KAYU RAKYAT: SENGON, KARET,

TUSAM, DAN MANGIUM

LAILA FITHRI MARYAM

DEPARTEMEN SILVIKULTUR

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(42)

RINGKASAN

LAILA FITHRI MARYAM. E44062717. Schizophyllum commune Fr. Sebagai Jamur Uji Ketahanan Kayu Standar Nasional Indonesia pada Empat Jenis Kayu Rakyat: Sengon, Karet, Tus

Gambar

Gambar 7. (a.) Miselium pada Contoh Uji Kayu Karet arah serat longitudinal
Tabel 1. Komposisi kimia kayu sengon
Tabel 2. Komposisi kimia kayu karet
Tabel 4. Komposisi kimia kayu tusam
+7

Referensi

Dokumen terkait

Ada beberapa hal yang bisa kita analisis terhadap prinsip maskulinitas yang terinternalisir dalam diri feminisme dominan, diantaranya; feminisme liberal

Kantung udara (saccus pneumaticus) terdiri dari air sac/saccus: abdominalis (aa/terdapat diantara lipatan intestinum), thoracalis anterior  (ata/terletak pada dinding sisi

Faktor terjadinya retinopati diabetikum: lamanya menderita diabetes, umur penderita, kontrol guladarah, faktor sistematik (hipertensi, kehamilan). Nefropati diabetikum yang

Finansial secara simultan terhadap Perilaku Kerja Karyawan mempunyai tingkat pengaruh dan determinasi yang lebih signifikan dibandingkan dengan pengaruh variabel

Dalam kasus anak penderita autisme, komunikasi antarpribadi digunakan sebagai alat untuk membantu agar anak-anak dengan gangguan spektrum autisme secara perlahan-lahan

Tanaman cabai merupakan salah satu jenis tanaman yang masuk dalam sub- class Asteridae (berbunga bintang) sehingga pada umumnya menemukan tanaman cabai yang memiliki bunga

Penjelesan Sistem flowchart diatas yaitu Perancangan aplikasi atau software pada sistem kontrol ini dipasang atau diinstal pada smartphone android 4.2. ketika software dibuka

Audit Tahun Sebelumnya, Leverage Dan Pertumbuhan Perusahaan Tehradap Penerimaan Opini Audit Going Concern (Studi Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar di BEI