• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. dijangkau dan berada dekat dengan tempat tinggalnya (Sharer and Ashmore,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. dijangkau dan berada dekat dengan tempat tinggalnya (Sharer and Ashmore,"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

Perilaku konsumsi suatu komunitas ditunjukkan dengan adanya eksploitasi manusia terhadap sumber daya alam di sekitarnya (Waselkov, 1987: 90). Eksploitasi dilakukan dengan memanfaatkan sumber daya alam yang mudah dijangkau dan berada dekat dengan tempat tinggalnya (Sharer and Ashmore, 1993; Kirana, 2013: 2). Oleh karena itu, lingkungan menjadi salah satu faktor penting dalam menentukan perilaku konsumsi suatu komunitas.

Menurut Wiradnyana (2011) komunitas yang tinggal di wilayah pegunungan dan daratan, sebagian besar memanfaatkan sumber daya pangan yang berhabitat darat, sedangkan mereka yang bertempat tinggal di sekitar pantai, melakukan eksploitasi sumber daya laut yang melimpah di sekitarnya (Wiradnyana, 2011: 63). Meskipun sebenarnya, eksploitasi yang dilakukan oleh kedua komunitas mungkin memanfaatkan kedua sumber tersebut, tergantung ketersediaan sumber makanan yang paling dekat dan mudah didapatkan. Walaupun demikian, komunitas yang tinggal di sekitar pantai, sebagian besar tetap memanfaatkan sumber daya laut yang melimpah. Selain itu, eksploitasi sumber daya laut dilakukan sebagai usaha untuk memenuhi kebutuhan kalori dan protein (Erlandson, 2001: 299).

Eksploitasi sumber daya laut sudah dilakukan sejak masa Mesolitik atau pada kala Pasca Plestosen, dibuktikan dengan temuan tertua di Situs Olduvai

(2)

Gorge, Tanzania dengan temuan ikan air tawar, buaya, kura-kura, amfibi, dan moluska dengan pertanggalan 1.8-1.1 M BP (Leakley, 1971; Stewart, 1994; Erlandson, 2001: 306); Situs Kao Pah Nam, Thailand dengan timbunan temuan moluska jenis oyster yang berasosiasi dengan bekas pembakaran, dengan pertanggalan 700.000 BP (Pope, 1989; Fagan, 1990: 120; Erlandson, 2001: 306); Situs tertua lainnya yaitu yang ditemukan di Afrika Selatan, dengan temuan berupa Shell midden, dengan pertanggalan 130.000-30.000 BP (Volman, 1978; Brink and Deacon, 1982; Shacleton, 1982: 199; Waselkov, 1987: 98), eksploitasi kerang yang dilakukan di Jepang pada periode Joomon dengan pertanggalan14.000-500 BC dan intensif dilakukan pada 8.000-7000 BC (Habu, 2011).

Berdasarkan temuan di atas diketahui bahwa pada umumnya sumber daya laut yang dieksploitasi terdiri atas kerang-kerangan, ikan, unggas air, burung yang hidup di sekitar laut, amfibi, tanam-tanaman laut, dan lain sebagainya (Erlandson, 2001: 292). Kerang yang dijadikan sebagai bahan pangan ditemukan pada situs-situs di atas merupakan salah satu data ekofak. Kajian terhadap ekofak kerang dapat memberikan informasi tentang rekonstruksi kehidupan manusia dan lingkungannya, meliputi: 1) diet (pemenuhan nutrisi, berat daging, proporsi vetebrata); 2) perubahan musim; 3) rekonstruksi lingkungan purba; 4) variasi temuan kerang; 5) pola pemukiman para pencari kerang dan proses transformasi (Classen, 1998: 7).

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh sejumlah ahli, pemanfaatan kerang di Asia-Pasifik dilakukan khususnya di wilayah Wallacea

(3)

(Scazebo dan Amesbury, 2011: 15). Hasil penelitian beberapa situs di Timor Leste antara lain: (1) Gua Lene Hara, dengan pertanggalan 35 ka BP, menghasilkan temuan artefak batu, kerang laut, tulang ular, kura-kura, kadal, dan kepiting (O’Connor dkk. 2002; O'Connor, 2007: 525); (2) Situs Matja Kuru 2, dengan pertanggalan 32 ka BP dibuktikan dengan adanya temuan kerang (Veth dkk, 2005; Scazebo dan Amesbury, 2011: 12), serta Situs Leang Burung, Sulawesi dengan temuan moluska air tawar, dengan pertanggalan 31-19 ka BP (Glover, 1981; Erlandson, 2001: 308). Selain wilayah Timur Leste dan Sulawesi, eksploitasi terhadap sumber daya kerang intensif dilakukan di kepulauan Maluku dan Nusa Tenggara Timur.

Gambar 1. Peta Wilayah Nusa tenggara Timur dan Maluku Barat daya. Sumber gambar: Anderson, 2013 dalam Kaharudin, 2016: 8.

Hasil penelitian di bawah ini menunjukkan adanya eksploitasi kerang. Temuan kerang ada di beberapa situs, antara lain:

(4)

1. Situs Mata Menge, Flores dengan temuan buaya, bebek, angsa, dan juga timbunan moluska air tawar, dengan pertanggalan 800.000 BP (Van Den Bregh dkk, 2009a; Brumm dkk, 2016; O’Connor dkk, 2016: 13).

2. Situs Pia Hudale dengan temuan kerang darat, air tawar dan laut tetapi yang dimanfaatkan untuk dikonsumsi adalah kerang air tawar dan kerang laut, dengan pertanggalan 13 ka BP dan Situs Lua Manggetek dengan pertanggalan 16 ka BP (Mahirta, 2004: 64).

3. Kepulauan Maluku khususnya di Kepulauan Talaud yang dilakukan oleh Tanudirjo di Situs Leang Sarru (Salebabu, Kepulauan Talaud), dengan pertanggalan 30 ka BP, menunjukkan adanya eksploitasi kerang yang berasosiasi dengan artefak batu (Tanudirjo, 2001, 2005; Ono dkk, 2010; Scazebo dan Amesbury, 2011: 12 ).

4. Penelitian di Gua Tron Bon Lei, Alor, dengan pertanggalan 21 ka BP, menghasilkan temuan yang didominasi oleh sumberdaya laut berupa kerang dan ikan (Samper Carro dkk, 2015: 5).

5. Penelitian terbaru yang dilakukan pada 2015 di Kepulauan Maluku, hasil ekskavasi di Gua Here Sorot Entapa (HSE) Pulau Kisar menghasilkan temuan antara lain kerang, kepiting, echinodermata, tulang fauna, tulang manusia, arang, biji-bijian, sisa tumbuhan, gerabah, batu, oker, koral, dan kaca.

(5)

Gambar 2. Gua Here Sorot Entapa, Pulau Kisar, Maluku. Dokumentasi oleh Yuni Suniarti, 2015.

Berdasarkan hasil pertanggalan yang didapatkan dari Situs Gua HSE dapat diketahui bahwa gua dihuni sejak 15.091-15.338 BP Plestosen akhir sampai 1.707-1.828 BP Holosen akhir. Ekskavasi dilakukan dengan membuka dua kotak uji yaitu kotak A dengan kedalaman 133,9 cm dan Kotak B dengan kedalaman 125 cm.

Hasil temuan Situs HSE yang didominasi ekofak kerang menunjukkan adanya perilaku konsumsi oleh komunitas pendukungnya. Perilaku konsumsi adalah cara seseorang atau sekelompok orang untuk memilih dan mengonsumsi jenis makanan tertentu sebagai tanggapan yang mencerminkan aspek fisiologi, psikologi, budaya dan sosial. Keempat aspek ini mempengaruhi cara manusia memilih makanan, memperoleh, menyimpan, serta mengonsumsinya (Geissler&Powers, 2005 dalam Sebayang, 2012: 6).

(6)

Penelitian-penelitian tentang pemanfaatan kerang sebagai bahan pangan di situs-situs Arkeologi di Wallacea yang telah dijelaskan di atas tidak menjelaskan mengenai perilaku konsumsi kerang secara spesifik. Mahirta (2004) menyebutkan bahwa jenis-jenis kerang yang dieksploitasi di Situs Pia Hudale dan Lua Manggetek dan kaitannya dengan perubahan lingkungan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa belum ada pembahasan tentang perilaku konsumsi kerang di beberapa situs di Wallacea.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Hasil ekskavasi kotak A di Situs Gua HSE pada tahun 2015 oleh tim gabungan UGM dan ANU menunjukkan bahwa terdapat konsentrasi temuan ekofak kerang didukung banyaknya temuan lain di spit 4 yang mewakili masa Holosen dan 16 yang mewakili masa Plestosen sehingga keberadannya sangat menarik untuk diteliti.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka masalah penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut;

1. Apa saja jenis kerang yang dikonsumsi oleh komunitas penghuni Gua HSE, Pulau Kisar, Maluku?

2. Bagaimana perilaku konsumsi kerang komunitas Here Sorot Entapa pada masa Plestosen dan Holosen?

1.3 TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

Berdasarkan rumusan masalah yang disampaikan, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis dan tingkat kedewasaan kerang yang dieksploitasi pada Situs Gua HSE dan perbedaan perilaku konsumsi pada masa

(7)

Plestosen yang diwakili oleh temuan kerang di spit 16 dan masa Holosen yang diwakili oleh temuan kerang di spit 4. Perilaku konsumsi kerang melingkupi teknik pengumpulan dan pengolahan kerang yang dilakukan sebelum mengonsumsi kerang. Selain itu, Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai acuan untuk penelitian lain yang sejenis.

1.4 RUANG LINGKUP PENELITIAN

Perilaku merupakan cara yang dilakukan untuk memenuhi keperluan hidup dan pengonsumsian diartikan sebagai proses, cara, perbuatan mengonsumsi. Perilaku konsumsi yang dimaksud dalam penelitian ini berhubungan dengan perilaku manusia dalam memenuhi bahan pangan yang melingkupi jenis makanan yang dipilih, cara perolehan, dan cara pengolahan. Oleh karena itu, temuan cangkang kerang di Situs Here Sorot dapat menunjukkan perilaku manusia pendukungnya sebagai gambaran adaptasi manusia prasejarah di Pulau Kisar.

Penelitian ini difokuskan pada cangkang kerang hasil ekskavasi kotak A di Situs Gua HSE yang dilakukan pada bulan Oktober 2015 oleh tim gabungan yang terdiri atas peneliti dari Departemen Arkeologi, Universitas Gadjah Mada dan Departement of Archaeology and Natural History, Australian National University. Tema besar penelitian adalah “Human Adaptation and Exploitation Marine Resource in Wallacea” yang diketuai oleh Prof. Sue O’Connor. Dalam penelitian tersebut, penulis merupakan anggota yang bertugas untuk menggali dan memilah temuan selama penelitian berlangsung.

(8)

1.5 TINJAUAN PUSTAKA

Penelitian untuk mengetahui konsumsi kerang pernah dilakukan dan dipublikasikan oleh Luebbers (1978) dengan judul “Meal and Menu: a study of change in prehistory coastal settlement in South Australia”. Penelitian tersebut menjelaskan eksploitasi sumber daya laut oleh masyarakat Aborigin untuk melihat perubahan yang terjadi terhadap pola konsumsi yang disebabkan oleh perubahan musim. Perlu pula diketahui bahwa setiap musim menyediakan sumber daya yang berbeda. Kajian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara jumlah sumber daya laut, lama okupasi atau masa hunian, serta jumlah individu manusia pendukungnya.

Dalam melakukan kajiannya, Luebbers menggunakan data etnografi dari Suku Buandik untuk menginterpretasikan hasil survei dan ekskavasi yang dilakukan di wilayah Australia Selatan. Hasil studi etnografis tersebut digunakan untuk melakukan analisis terhadap teknologi subsistensi yang dipakai, perubahan musim yang terjadi dan pengaruhnya terhadap sumber daya laut.

Luebbers menyimpulkan bahwa terdapat dua fase hunian yaitu hunian awal dan hunian akhir. Kedua hunian ini dapat diketahui berdasarkan jumlah temuan, perkembangan teknologi yang digunakan serta jenis makanan yang dieksploitasi antara lain, kerang. Luebbers menggunakan sampel kerang sebagai data untuk mengetahui protein yang dikonsumsi berdasarkan hasil timbangan daging kerang dan komposisi protein serta kalorinya, cara perolehannya baik yang dilakukan oleh perseorangan ataupun kelompok, serta habitat kerang untuk melihat jarak tempuh masyarakat.

(9)

Penelitian tentang pemanfaatan kerang sebagai bahan pangan telah dilakukan pula oleh Gregory A. Waselkov (1987) dengan judul “Shellfish Gathering and Shell Midden Archaeology”.Waselkov menjelaskan bahwa kerang yang dijadikan sebagai bahan pangan menunjukkan strategi adaptasi manusia yang tinggal di area dekat pantai dan sungai. Strategi ini dilakukan berdasarkan kelimpahan sumber daya laut yang berada di sekitarnya. Dalam bukunya Waselkov menyebutkan beberapa contoh kasus perilaku konsumsi kerang yang dilakukan di wilayah Eropa, Amerika, Australia, dan Afrika berdasarkan kajian etnografis yang telah dilakukan oleh masing-masing peneliti.

Waselkov juga menjelaskan tentang proses pengambilan kerang yang dilakukan hanya menggunakan tangan kosong dan menggunakan alat, jarak tempuh yang masyarakat di berbagai tempat yang mencapai 1-10 km, serta cara pengolahan yang dilakukan dengan cara dibakar, direbus dan merusak cangkangnya untuk mengeluarkan daging.

Classen (1998) menjelaskan bahwa kerang merupakan bagian penting dalam Arkeologi. Classen menjelaskan peran kerang dalam Arkeologi, perbedaan antara temuan kerang yang bersifat natural dan hasil budaya, proses tafonomi, pembagian taksonomi kerang, metode perhitungan (MNI, NISP, berat), dan pengukuran terhadap cangkang kerang jenis Gastropoda dan Bivalvia. Kerang yang dimanfaatkan sebagai bahan pangan dilihat berdasarkan konteks temuan dan kajian etnografi sebagai bentuk analogi terhadap masyarakat yang masih mengonsumsi kerang sampai saat ini. Classen menyebutkan pula bahwa data

(10)

kerang yang dijadikan bahan pangan menunjukkan perilaku suatu komunitas (Classen, 1998: 179).

Penelitian lain ialah yang dilakukan oleh Budiman (2003) tentang “Pemanfaatan Moluska di Song (Gua) Terus, Kecamatan Punung, Kabupaten Pacitan Jawa Timur”. Hasil penelitian tersebut menjelaskan bahwa moluska dimanfaatkan baik sebagai artefak maupun bahan makanan. Pemanfaatan moluska sebagai bahan pangan dilakukan dengan melihat jenis kerusakan pada cangkang moluska yang menunjukkan teknik untuk mengeluarkan daging dari cangkangnya sebelum dikonsumsi.

Katherine Szabó dan Judith R. Amesbury (2011) dalam tulisannya yang berjudul “Molluscs in a world of islands: The use of shellfish as a food resource in the tropical island Asia-Pacific regio”, menjelaskan tentang berbagai kerang yang dijadikan sebagai makanan di Asia-Pasifik. Lebih lanjut dijelaskan pula jenis kerang yang dieksploitasi pada umumnya kerang laut dan kerang darat dan pemanfaatan kerang oleh manusia pendukungnya. Hasilnya menunjukkan bahwa eksploitasi kerang di wilayah Asia Tenggara dimulai sejak ekspansi Homo sapiens pada 40 ka BP.

Penelitian tentang eksploitasi kerang tidak terlepas dari kondisi kerang yang mengalami proses pra dan pasca-deposisi pada deposit kerang (Peacock, 2000: 193). Kedua proses tersebut merupakan bagian dari transformasi data yang termasuk dalam kajian tafonomi. Transformasi data arkeologi dipengaruhi oleh faktor alam dan faktor budaya (Schiffer, 1983: 676).

(11)

erosi, sinar matahari, oksidasi dan gangguan hewan (White & Folkens, 2005 dalam Prastiningtyas, 2012: 45). Transformasi ini dapat ditunjukkan dengan kerusakan pada cangkang kerang berupa bekas cakaran, gigitan hewan dan juga cuaca yang menyebabkan data rusak, lapuk dan mengelupasnya kulit atau memudarnya warna cangkang kerang (Schiffer, 1987: 271-278), sedangkan faktor budaya dipengaruhi oleh keberadaan cangkang kerang dalam deposit arkeologi yang disebabkan oleh perilaku manusia (Schiffer, 1983: 691). Perilaku manusia dapat menyebabkan kerusakan terhadap cangkang kerang dalam mengonsumsi kerang sebelum cangkang kerang terkubur dan terdeposisi dan proses ekskavasi yang dilakukan pasca-deposisi (Prastiningtyas, 2012: 45). Oleh karena itu, transformasi data harus dipertimbangkan karena data Arkeologi telah terkubur dalam waktu lama sebelum ditemukan kembali oleh para peneliti saat ini.

Perilaku konsumsi kerang tidak terlepas dari pengetahuan adanya gejala alam berupa pasang surut air laut yang berpengaruh pada cara perolehan kerang-kerang tersebut. Fenomena pasang surut merupakan gejala naik turunnya muka air laut secara berkala yang terjadi di seluruh belahan bumi akibat adanya gaya pembangkit pasang surut yang disebabkan terutama oleh matahari dan bulan (Doughlas, 2001; Dharmawan, 2014: 21). Fenomena ini dipengaruhi pula oleh adanya kombinasai gaya gravitasi dan gaya tarik menarik dari benda-benda astronomi terutama matahari dan bulan (Anthoni, 2000; Dharmawan, 2014: 23).

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa penelitian perilaku konsumsi kerang di Situs Gua HSE belum pernah dilakukan. Perilaku konsumsi kerang yang dimaksud dalam penelitian ini berupa jenis kerang yang dieksploitasi dan cara

(12)

pengolahan kerang sebelum dikonsumsi.

1.6 LANDASAN TEORI

Adaptasi manusia terhadap lingkungan di sekitar pantai dapat dilakukan melalui eksploitasi terhadap sumber daya laut, sebagai strategi adaptasi yang dilakukan oleh komunitas pesisir (e.g. Verhaegen dkk, 2007; Szabo and Amesbury, 2011: 11). Dalam hal ini eksploitasi kerang biasanya dilakukan oleh komunitas yang bertempat tinggal di zona pinggir pantai melakukan eksploitasi kerang yang hidup di area intertidal dan subtidal. Hal ini menunjukkan, bahwa lingkungan merupakan faktor penting yang mempengaruhi pemilihan sumber daya (Waselkov, 1987: 95).

Pemanfaatan kerang sebagai bahan pangan dapat dilakukan dengan cara diolah dahulu sebelum dikonsumsi. Koentjaraningrat (1987) menyebutkan bahwa makanan manusia dapat digolongkan ke dalam tiga jenis, yaitu (1) makanan yang melalui proses pemasakan, (2) melaui proses pengawetan makanan, dan (3) makanan yang dimakan secara mentah (1987:212-213). Menurut Waselkov terdapat 4 cara pengolahan kerang yaitu, dengan cara dibakar, direbus atau dimakan mentah dengan merusak dan melubangi cangkang menggunakan alat untuk mengeluarkan daging (1987: 100).

1.7 METODE PENELITIAN A. Tahap pengumpulan data

Pengumpulan data dilakukan dengan metode ekskavasi dengan membuka dua kotak uji yaitu kotak A dan Kotak B. Kotak A sampai kedalaman 133,9 cm

(13)

dan B dengan kedalaman 125 cm. Data yang dijadikan sebagai bahan analisis adalah temuan di Kotak A berupa data ekofak kerang. Data cangkang kerang yang dijadikan sebagai sampel berasal dari 2 spit, yaitu spit A4 dan Spit A16 dengan kondisi berupa cangkang utuh dan fragmen cangkang yang masih dapat diidentifikasi. Kedua spit ini dijadikan sebagai sampel karena mewakili dua masa hunian yang berbeda. Alasan dipilihnya kotak A karena penulis melakukan ekskavasi di kotak tersebut dan juga mengikuti jalannya ekskavasi di kotak tersebut, sehingga dapat mengetahui kondisi kotak selama ekskavasi berlangsung.

Data ekofak kerang yang dijadikan sebagai data utama ialah kerang yang dijadikan sebagai bahan makanan yang dikonsumsi dan diidentifikasi berdasarkan kerusakan kultural yang ditandai oleh wilayah pukul, jejak pukul, jejak pemotongan dan jejak hangus terbakar (Budiman, 2003: 101). Maka dari itu, untuk melihat bagaimana kerusakan yang terjadi pada cangkang kerang oleh manusia untuk mengambil daging kerang dapat diketahui dengan melakukan eksperimen atau percobaan yang dilakukan oleh peneliti untuk mengidentifikasi teknologi yang dipakai (dErrico dkk, 2008: 267).

Selain itu, untuk mengetahui pola konsumsi komunitas gua dilakukan pula analogi terhadap perilaku konsumsi kerang yang masih dilakukan oleh komunitas penghuni pantai saat ini di Kisar dan di Alor. Menurut Yalman (2005) analogi dilakukan terhadap masyarakat yang memiliki lingkungan dan memiliki peralatan yang relatif sama (Yalman, 2005: 16) yang digunakan untuk mencari makanan di sekitar pantai.

(14)

Pengumpulan data dilakukan menggunakan dua metode yaitu pengumpulan data di lapangan dan pengumpulan informasi etnografis tentang perilaku konsumsi kerang yang masih dilakukan oleh masyarakat pesisir saat ini. Pengumpulan data di lapangan dilakukan melalui ekskavasi, dilanjutkan pengayakan dan proses pemilahan temuan. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara terhadap narasumber, dan observasi partisipasi (Stanislawski, 1978: 226, Yalman. 2005: 20). Pengumpulan informasi etnografi dilakukan dengan melakukan survei, observasi partisipasif, dan wawancara terhadap masyarakat Desa Halmin, Pulau Alor, NTT.

a. Ekskavasi

Ekskavasi dilakukan dengan membuka dua kotak uji A dan B kotak uji (test pit) 1x1 meter menggunakan teknik spit dengan ketebalan per-spit 5 cm. Ekskavasi dilakukan di kotak A dari permukaan atas sampai bed rock atau lapisan yang sudah tidak mungkin digali dan tidak ditemukan lapisan budaya. Ekskavasi dilakukan secara hati-hati menggunakan sekop kecil (trowel).

(15)

b. Pengayakan kering dan basah

Tanah hasil ekskavasi kemudian diayak menggunakan saringan berdiameter 0.1 mm. Pengayakan ini dilakukan untuk memisahkan data Arkeologi dengan sedimen. Setelah itu, hasil ayakan kering diayak kembali di air yang bertujuan untuk membersihkan temuan sehingga dapat dengan mudah diketahui jenis data yang ditemukan. Setelah bersih, kemudian dilakukan penjemuran hingga temuan kering.

Gambar 4. Proses pengayakan basah (kiri), jemur temuan (kanan) Dokumentasi oleh Gendro Keling, 2016.

c. Pemilahan Temuan (Sorting)

Setelah kedua proses tersebut selesai, kemudian dilakukan sorting atau memisahkan masing-masing temuan berdasarkan jenisnya. Pemisahan temuan berdasarkan kategori data antara lain: artefak berupa artefak batu, artefak kerang, manik-manik. Ekofak berupa tulang manusia, tulang hewan, echinodermata, sisa tumbuhan, batu karang, dan cangkang kerang. Data yang sudah terkumpul kemudian dimasukan ke dalam plastik dan diberi label (Nama Situs_Nama Kotak_Nomor Spit_Jenis Temuan) contohnya HSE A1 Shell (Kerang).

Cangkang kerang yang sudah dipilah dipisahkan kembali dan diklasifikasikan berdasarkan taksonomi meliputi genus dan spesiesnya. Proses

(16)

pemilahan cangkang kerang dilakukan terhadap kerang utuh dan pecahan cangkang yang masih dapat diidentifikasi. Identifikasi taksonomi dilakukan berdasarkan pada bentuk, warna, dan ornamen cangkang yang sama.

Gambar 5. Proses pemilahan temuan (Sorting) di situs (Kiri). Dokumentasi oleh Wilibrous Gana, 2015. Sorting berdasarkan genus dan spesies. Dokumentasi oleh

Yuni Suniarti, 2015.

2.1 Survei

Survei dan obeservasi dilakukan di daerah pesisir yang memiliki sumber daya kerang yang sama atau menyerupai temuan kerang di Pulau Kisar. Lanskap Pantai Wosi (nama pantai sekitar Situs HSE) merupakan tebing curam. Terumbu karang yang tertutupi air laut saat ini, kemungkinan besar merupakan terumbu karang yang tampak sebelum level air laut naik pada 13 ka BP. Terumbu karang tersebut menyediakan jenis kerang sama dengan yang ditemukan pada ekskavasi Gua HSE tahun 2015.

Tempat yang dijadikan sebagai lokasi survei dan observasi ialah Pantai Halmin, Alor, Nusa Tenggara Timur memiliki landskap ekologi pantai yang menyediakan sumber daya kerang yang sama dengan pantai di Pulau Kisar. Hal ini berdasarkan beberapa jenis kerang yang ditemukan selama survei yang dilakukan oleh penulis seperti Haliotidae, Chitonidae, Muricidae, Turbinidae,

(17)

Littorinidae, Lotiidae, Tridacnidae, Archidae, dan Veneridae. Selain habitat kerang, landskap antara pantai di Pulau Kisar dan pantai di Desa Halmin merupakan jenis pantai karst yang terbentuk dari pengangkatan terumbu karang dari dasar laut. Di beberapa bagian pantai di Desa Halmin berupa tebing curam seperti Pantai Wosi, Pulau Kisar.

Gambar 6. Pantai dengan tebing curam di sebelah selatan Desa Halmin, Pulau Alor, NTT. Dokumentasi oleh Yuni Suniarti, 2016.

2.2 Wawancara dan Observasi partisipasi

Wawancara dilakukan dengan masyarakat Desa Halmin, Pulau Alor, NTT meliputi cara pemilihan jenis, cara perolehan serta cara pengolahan yang dilakukan oleh masyarakat saat ini. Wawancara dilakukan terhadap ibu rumah tangga yang berusia < 50 tahun dan berusia > 50 tahun, dan satu remaja. Selain itu, dilakukan pula observasi partisipasi terhadap dua orang narasumber dengan melakukan pengambilan, pengolahan secara langsung untuk melihat perilaku

(18)

masyarakat dalam mengonsumsi dan memanfaatkan kerang sebagai bahan makanan.

Gambar 7. Observasi partisipasi yang dilakukan penulis terhadap masyarakat Halmin (kiri). Dokumentasi oleh Yuni Suniarti, 2016 dan juga wawancara

(kanan). Dokumentasi oleh Widya Nayati, 2016. B. Tahap pengolahan data

Tahap pengolahan data meliputi:

a. Identifikasi taksonomi berdasarkan famili, genus dan spesiesnya. Identifikasi ini dilakukan untuk mengetahui habitat kerang.

b. Weight yaitu Proses menimbang kerang per-taxa atau sesuai dengan genus atau spesies kerang. Penimbangan memakai timbangan dua digit di belakang koma (0,00 gr).

c. Perhitungan MNI atau Minimun Number of Individual merupakan pengelompokkan kerang berdasarkan jenis kerang kemudian dilakukan perhitungan berdasarkan fragmen atau bagian kerang yang ditentukan oleh peneliti. Rincian cara perhitungan Mni pada masing-masing kelas sebagai berikut (Lihat tabel 1):

(19)

2) Bivalvia dihitung bagian Umbo atau ensel yang ditentukan berdasarkan bagian kanan/kiri umbo.

3) Gastropoda yang dihitung bagian kemuncak (apex), bagian bibir (apertures), apices, spires, dan umbilici.

Perhitungan MNI dapat dikalkulasikan berdasarkan frekuensi atau jumlah berdasarkan ukuran cangkang (Harris dkk, 2015).

(20)

20 Tabel 1. Metode perhitungan MNI (Harris dkk, 2015)

Metode yang digunakan untuk menghitung MNI

berdasarkan PS (Posterior Hinge) dan

juga Aams (Anterior adductor muscle scar). Perhitungan ini berlaku untuk semua Family

Bivalvia, antara lai: Veneridae, Archidae,

Tridacnidae dan Oysteridae.

Metode yang digunakan untuk menghitung MNI berdasarkan bagian apex. Perhitungan ini berlaku untuk family: Buccinidae, Strombidae, Thais Armigera, Cypraea, Cassidae,

Littorinidae, Haliotidae, Pattelidiae, Lotiidae, Turbinidae, Bullidae, Fasciolariidae, Camaenidae.

Metode yang digunakan untuk menghitung MNI

berdasarkan bagian Aperture. Perhitungan ini berlaku untuk jenis family: Neritidae, Thais,

Trochidae, Purpura persica

Metode yang digunakan untuk menghitung MNI jenis Chitonidae berdasarkan bagian anterior (valve) yang

(21)

d. Analisis tafonomi terhadap kerang, dilakukan dengan menghitung banyaknya pecahan kerang di setiap spit. Perhitungan ini dilakukan pada setiap bagian pecahan kerang yang dapat diidentifikasi atau NISP (Number of identified specimen) (Stinel dkk, 2013: 384). NISP atau number of identified specimen yaitu perhitungan terhadap semua pecahan kerang (Classen, 1998)

Setelah itu, kerang yang telah diklasifikasikan berdasarkan taxa kemudian dipisahkan antara kerang yang dijadikan sebagai bahan konsumsi dan kerang yang tidak termasuk bahan konsumsi. Kerang yang dijadikan bahan konsumsi dapat dilihat berdasarkan pola pecahan kerang didukung dengan panduan FAO untuk beberapa jenis kerang tertentu, serta informasi etnografis yang diperoleh oleh penulis. Setelah pengklasifikasian selesai, dilakukan pula pengukuran cangkang kerang untuk mengetahui tingkat kedewasaan kerang. Tingkat kedewasaan kerang diklasifikasikan berdasarkan tingkatan umurnya yaitu juvenile, mature, dan senile.

Perhitungan tingkat kedewasaan ini ditentukan berdasarkan pengukuran terhadap ukuran kerang secara umum dan ukuran maksimal kerang, untuk menentukan variabel ukuran maksimal dilakukan berdasarkan panduan FAO (1998) dan referensi internet lain. Selain itu, penentuan tingkat kedewasaan dapat dilakukan pula dengan melihat ciri-ciri khusus yang dimiliki oleh jenisnya. Kerang jenis Gastropoda dapat dihitung berdasarkan tingkatan yang terdapat di kemuncak kerang, bagian lipatan kerang. Pengukuran terhadap panjang/lebar maksimum serta kemunculan garis radial yang semakin jelas (FAO “Gastropoda: Turbinidae-turban shells”). Tingkat kedewasaan kerang Bivalvia dapat diketahui

(22)

berdasarkan garis radial pada cangkang kerang (FAO “Bivalvia: Venus Clams”).

C. Tahap analisis

Data yang didapatkan setelah dilakukan pengelompokkan kerang berdasarkan taksonomi yang dijadikan sebagai bahan pangan dan telah dilakukan pengukuran terhadap cangkang kerang pada 5 variabel yaitu Aperture Width, Aperture Height, Shell Height, Apex Length, Height Width (Gastropoda) dan Hinge Width, Valve Length, Valve Height, Hinge Length, Anterior Scar Height (Bivalvia) (Classen. 1998: 109-110), akan tetapi perhitungan yang digunakan oleh penulis hanya berdasarkan panjang dan lebar maksimum cangkang (Gambar 1.3 dan 1.4).

Gambar 8. Pengukuran yang dilakukan untuk mengetahui tingkat kedewasaan kerang berupa panjang dan lebar. Panjang kerang jenis Gastropoda diukur dari bagian anterior (apex) sampai posterior (ujung siphonal canal), sedangkan lebar

diukur di bagian lateral dari kiri ke kanan.

Gambar 9. Pengukuran kerang jenis Bivalvia juga berupa panjang dan lebar. Kriteria panjangnya, yaitu dari ujung bagian posterior (umbo) sampai dengan ujung bagian anterior, sedangkan lebarnya meliputi ujung bagian samping atau

(23)

Pengukuran ini bertujuan untuk melihat ukuran cangkang baik yang utuh maupun yang hanya fragmen. Jika temuan banyak berupa fragmen maka metode yang dilakukan yaitu berdasarkan ciri-ciri lain yang masih dapat dikenali. Setelah itu, angka pengukuran dimasukkan dalam tabel excel yang terlebih dahulu ditentukan kriteria ukuran minimum dan maksimum kerang berdasarkan panduan FAO (1998) dan kemudian dilakukan pengolahan data menggunakan rumus V-Look (Wibowo, 2009) untuk menentukan tingkat kedewasaan. Rumus V-V-Look yang digunakan yaitu; =IF(ukuran cangkang<=ukuran cangkang minimum, “JUVENILE”, IF(ukuran cangkang>=ukuran cangkang minimum,”MATURE”, IF(ukuran cangkang>=ukuran cangkang maksimum,”SENILE”))).

Hasil dari pengolahan excel ini berupa klasifikasi angka yang menunjukkan tingkat kedewasaan kerang. Selain itu, untuk mengkalkulasikan nilai rata-rata, ditunjukkan dengan grafik boxplot yang kemudian dapat memberikan gambaran jenis serta panjang/lebar rata-rata ukuran kerang yang dikonsumsi.

Analisis ini dilakukan untuk memperoleh gambaran tentang kecenderungan konsumsi kerang serta perubahan pola konsumsi terhadap jenis dan tingkat kedewasaan kerang. Cara perolehan dan cara pengolahan kerang dapat dilihat berdasarkan kerusakan cangkang dan percobaan yang dilakukan oleh peneliti. Selain jenisnya, penulis juga melakukan analisis terhadap jarak perolehan sumber daya kerang yang dilihat berdasarkan habitat dan hasil observasi partisipasi penulis dengan masyarakat di Pulau Alor, serta percobaan konsumsi secara langsung oleh penulis.

(24)

Selain itu, dilakukan pula analisis cangkang kerang temuan Arkeologi dapat disebabkan oleh dua faktor yaitu, keruskan alam dan keruskan kultural. Adi Sukadana (1977) dalam Budiman (2003) membagi temuan fragmen cangkang menjadi 8 jenis kerusakan (Budiman, 2003: 119-122), diantaranya:

1. Fragmen cangkang dengan bagian apex rusak

2. Fragmen cangkang dengan kerusakan di seluruh bagian spiral

3. Fragmen cangkang dengan kerusakan di bagian aperture

4. Fragmen cangkang dengan bagian aperture dan apex rusak

5. Fragmen cangkang dengan kerusakan di seluruh bagian spiral dan aperture

6. Fragmen cangkang hanya bagian spiral

7. Fragmen cangkang hanya bagian badan

8. Cangkang kerang yang masih utuh

Pola Pecah palecypoda dibagi menjadi 14 pola pecah (Budiman, 2003: 146-151).

(25)

1. Pecahan yang memiliki bagian ventral margin cangkang.

2. Pecahan yang hanya bagian tubuh cangkang.

3. Pecahan bagian yang memiliki bagian anterior margin atau posterior margin.

4. Pecahan yang memiliki bagian ventral margin, anterior margin atau posterior margin.

5. Pecahan yang memiliki bagian ventral margin, anterior margin dan posterior margin.

6. Pecahan yang memiliki bagian posterior dorsal margin atau anterior dorsal margin.

7. Pecahan yang memliki bagian posterior atau anterior dorsal margin anterior atau posterior margin.

8. Pecahan yang memiliki bagian posterior atau anterior dorsal margin dan ventral margin.

(26)

9. Pecahan yang memiliki bagian umbo dan posterior atau anterior dorsal margin.

10. Pecahan bagian umbo, posterior atau anterior dorsal margin dan posterior atau anterior margin.

11. Pecahan terdiri dari bagian umbo, posterior atau anterior dorsal margin atau dan ventral margin.

12. Pecahan terdiri dari bagian umbo, posterior dan anterior dorsal margin.

13. Pecahan yang terdiri dari bagian umbo, posterior dorsal margin, anterior dorsal margin dan posterior atau anterior margin.

14. Pecahan yang terdiri dari umbo, posterior dorsal margin, anterior dorsal margin, posterior atau interior margin dan ventral margin.

Selain analisis pola pecah cangkang kerang, dilakukan pula analisis data stratigrafi yang dijadikan acuan untuk melihat transformasi data semenjak ditinggalkan sampai ditemukan kembali. Hal ini bertujuan untuk melihat

(27)

kerusakan pada cangkang kerang saat ini apakah disebabkan oleh proses alam atau proses budaya.

D. Tahap Interpretasi

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui perilaku konsumsi berdasarkan jenis dan tingkat kedewasaan kerang, mengetahui cara yang dilakukan dalam memperoleh kerang, dan teknik yang dilakukan untuk mengonsumsi kerang. Perilaku konsumsi meliputi cara perolehan dapat ditunjukkan dengan hasil wawancara terhadap masyarakat yang masih mengonsumsi kerang dewasa ini.

Eksperimen yang dilakukan oleh penulis berupa percobaan perilaku konsumsi kerang secara langsung di Desa Halmin untuk mengetahui proses pemilihan, pengambilan, dan pengolahannya. Proses pemilihan kerang dipengaruhi oleh habitat kerang sesuai dengan daya jangkau manusia (Catchement area). Proses pengambilan dan pengolahan kerang dipengaruhi oleh teknologi masyarakat berupa peralatan yang dibutuhkan untuk mengambil kerang dan yang dibutuhkan untuk mengolah kerang sebelum dikonsumsi.

Teknik konsumsi kerang dapat dijawab pula dengan mengamati kerusakan cangkang kerang yang disebabkan oleh aktivitas manusia dalam mengeluarkan isi daging kerang. Teknik konsumsi dapat diketahui dengan data stratigrafi berupa lapisan tanah yang menunjukkan adanya bekas pembakaran. Bekas pembakaran ini menunjukkan adanya aktifitas pemanfaatan api oleh manusia pendukungnya sehingga memungkinkan komunitas Gua HSE telah mengenal teknologi yang lebih maju.

Gambar

Gambar 1. Peta Wilayah Nusa tenggara Timur dan Maluku Barat daya. Sumber  gambar: Anderson, 2013 dalam Kaharudin, 2016: 8
Gambar 2. Gua Here Sorot Entapa, Pulau Kisar, Maluku. Dokumentasi oleh Yuni  Suniarti, 2015
Gambar 3. Proses ekskavasi. Dokumentasi oleh Yuni Suniarti, 2015.
Gambar 4. Proses pengayakan basah (kiri), jemur temuan (kanan)  Dokumentasi oleh Gendro Keling, 2016
+5

Referensi

Dokumen terkait

Aderi Che Noh (2006) dalam Hasnida Ibrahim menunjukkan bahawa kelemahan dalam pengajaran Pendidikan Islam menyebabkan timbulnya masalah penguasaan pelajar dalam

Puji syukur kepada Allah Subhanahu Wata’ala, atas segala nikmat hidup dan kesempatan memperoleh ilmu, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

1) Pengaruh debt default terhadap penerimaan opini audit going concern. Dari hasil pengujian terhadap variabel debt default yang ditunjukan pada tabel IV.10 dapat dilihat

Tumbuhan asing yang ditemukan di kawasan hutan TNGGP juga berasal dari kawasan yang berbatasan atau berdekatan dengan kawasan ini, namun diduga ada beberapa spesies yang berasal

Koefisien Determinasi (R²) dalam penelitian ini akan digunakan untuk mencari berapa besarnya pengaruh variabel independen yaitu brand image, brand trust, dan

Untuk melakukan analisis klaster pada variabel laten dan indikator dari variabel kemiskinan memiliki skala ukur kategori maka dalam penelitian ini dilakukan pengelompokan

Lakukan langkah yang sama dengan cara pengisian formulir lapangan survai, kecuali penulisan jumlah kendaraan setiap golongan ditulis dalam kolom sesuai jumlah kendaraan setiap

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah sel goblet duodenum mengalami peningkatan yang tidak signifikan setelah diinduksi Ovalbumin, pemberian ekstrak Citrullus lanatus dosis