• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III RIDDAH PADA MASA ABU BAKAR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III RIDDAH PADA MASA ABU BAKAR"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

23

A. Pemerintahan Islam Pada Masa Abu Bakar

Dalam mewujudkan sebuah tuntunan moral yang baru dan menyeluruh, Muhammad telah menyusun kembali sebagian unsur-unsur sistem Mekkah dari kaum Quraisy di dalam sebuah sistem yang baru dan lebih luas tetapi yang tetap mempertahankan dan memperluas kemandirian Quraisy yang netral baik pada tuntunan politik maupun relegius. Namun pekerjaan sosial ini telah menjadi personal bagi dirinya sendiri. al Qur’an telah sedemikian rupa menopang aspek sosiaal dari karyanya ini, namun penekanannya tetap pada tuntunan yang lebih individual. Secara tipikal, al Qur’an tidak mengurus kemungkinan-kemungkinan politik (political cotigencies) pada hari kematian Nabi.

Pertanyaan pertama yang muncul setelah wafatnya Nabi Muhammad adalah apakah memang perlu ada negara yang harus melestarikannya. Ketika Rosullulah SAW wafat. Beliau tidak menunjuk siapa yang akan menggantikan posisi sepeninggalannya dalam memimpin umatnya yang baru terbentuk. Memang wafat beliau mengejutkan, tetapi sesungguhnya dalam sakitnya yang terakhir ketika beliau mengalami gangguan kesehatan sekurang-kurangnya selama tiga bulan, Muhammad telah merasakan bahwa ajalnya akan segera tiba.1

Masalah suksesi mengakibatkan suasana politik umat Islam menjadi sangat tegang. Padahal semasa hidupnya, Nabi bersusah payah dan berhasil membina persaudaraan sejati yang kokoh diantara sesama pengikutnya, yaitu kaum Muhajirin dan Anshor. Dilambatkannya pemakaman jenazah beliau menggambarkan betapa gawatnya krisis suksesi itu. Ada tiga golongan yang

1

Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 45

(2)

bersaing keras dalam perebutan kepemimpinan itu, Anshor, Muhajirin, dan keluarga Hasyim.2

Dalam pertemuan di bulan pertama Bani Saidah di Madinah kaum Anshor mencalonkan Sa’ad bin Ubadah, pemuka Khazraj, sebagai pemimpin umat. Sedangkan Muhajirin mendesak Abu Bakar sebagai calon mereka karena ia dipandang yang paling lanyak untuk menggantikan Nabi. Di pihak lain terdapat kelompok orang yang menghendaki Ali bin Abi Tholib, karena Nabi telah menunjuk secara terang-terangan sebagai penggantinya, disamping itu Ali adalah menantu dan kerabat Nabi.

Situasi itu demikian kritis, pedang hampir saja terhunus dari sarungnya. Masing-masing golongan merasa paling berhak menjadi penerus Nabi, namun berkat tindakan tegas dari tiga orang, yaitu Abu Bakar, Umar bin Khotob dan Abu Ubaidah ibnu Jarrah yang dengan semacam kup (coup dietat) terhadap kelompok, memaksa Abu Bakar sendiri sebagai pengganti Nabi3. Besar kemungkinan, tanpa interversi mereka persatuan umat yang menjadi modal utama bagi hari depan komunitas muslim yang masih muda itu berada dalam tanda tanya besar. Dengan semangat ukhuwah Islami, terpilihlah Abu Bakar. Dia adalah orang Quraisy yang merupakan pilihan ideal karena sejak mula pertama menjadi pendamping Nabi, dialah shahabat yang paling memahami risalah Muhammad.4

Sebagai pimpinan umat Islam setelah pasca Nabi, Abu Bakar bergelar “Kholifah Rosulillah” atau kholifah saja (secara harfiah artinya orang yang mengikuti, penggati kedudukan Rosul). Meskipun dalam hal ini perlu di jelaskan bahwa kedudukan Nabi sesungguhnya tidak akan pernah tergantikan

2

Ibid.

3

Bernard Lewis, Bangsa Arab Dalam Lintasan Sejarah, (Jakarta: Pedoman Ilmu, 1988), hlm. 38

4

M.A. Shaban, Sejarah Islam (Penafsiran Baru)(terj. Mahnun Husein), (Jakarta: P.T Raja Grafindo Persada, 1993), hlm. 25

(3)

karena tidak ada seorangpun yang menerima ajaran Tuhan sesudah Muhammad. Sebagai salinan wahyu yang diturunkan dan sebagai utusan Tuhan tidak dapat diambil alih seseorang. Menggantikan Rosul (kholifah) hayalah berarti memiliki kekuasaan yang diperlukan untuk meneruskan perjuangannya Nabi.

Pada tahun pertama jabatan Abu Bakar, kepemimpinannya langsung diuji, yaitu menghadapi ancaman yang timbul dari kalangan umat Islam sendiri. Ancaman ini dapat menghancurkan bangunan Islam dan tatanan kehidupan umat Islam yang di bangun oleh Nabi dengan susah payah. Karena tidak lama setelah wafat dan Abu Bakar tepilih jadi kholifah, muncul kelompok-kelompok umat Islam di berbagai daerah menentang kepemipinannya. Yaitu mereka yang murtad dari agama Islam dan kembali kepada agama mereka semula, mereka yang ingkar membayar zakat (Mani’ul-zakat). Orang-orang yang mengaku Nabi dan pengikutnya (Mutanabi) dan beberapa kabilah yang memberontak. Di samping ancaman-ancaman dari dalam ancaman dari luar cukup rawan yaitu dari Kaisar Romawi Hiraclius, yang menguasai Syiria dan Palistina, dan Kisra Kerajaan Persia yang menguasai Irak. Dua kerajaan besar ini selalu bersekongkol dengan musuh-musuh Islam untuk menghancurkan Islam.

Oleh karena itu, kholifah dengan tegas melancarkan operasi pembersihan terhadap mereka. Mula-mula hal itu dimaksudkan sebagai tekanan untuk mengajak kembali ke jalan yang benar lalu berkembang menjadi perang merebut kemenangan. Tindakan pembersihan juga dilakukan untuk menumpas nabi-nabi palsu dan orang-orang yang enggan membayar zakat.

Bukan rahasia lagi selama tahun-tahun terakhir kehidupan Nabi Muhammad SAW telah muncul nabi-nabi palsu di wilayah Arab bagian selatan dan tengah. Yang pertama mengaku dirinya memegang peran kenabian muncul di Yaman, yang bernama Aswad Ansi. Berikutnya ialah Musaylamah si pendusta yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad telah mengangkat dirinya

(4)

sebagai mitra (patner) di dalam kenabian. Penganggap lainya adalah Thulaihah dan Sajjah ibnu Harist, seorang wanita dari Arabiah tengah.5

Sebagaimana telah di singgung, di atas kedudukan Nabi yang digantikan oleh Abu Bakar sebagai kholifah adalah kepemimpinan temporal belia. Maka, sebagaimana Nabi, Abu Bakar pun selalu melaksanakan musyawarah dengan para shahabat dan tokoh-tokoh Madinah sebelum mengambil keputusan mengenai sesuatu yang berfungsi sebagai lembaga legeslatif pemerintahanya. Masalah petama yang dibicarakan oleh Abu Bakar bersama para pemuka shahabat, setelah beliau diangkat jadi kholifah, adalah masalah tentara yang berkekuatan 7000 orang di bawah pimimpinan Usamah bin Zaid. Pasukan ini dipersiapkan Nabi diakhir hayatnya untuk dikirim ke Syiria menghadapi tentara Romawi. Keberangkatan tentara ini tertunda karena wafatnya Nabi. Para pemuka shahabat menyampaikan usul kepada kholifah Abu Bakar agar pasukan tersebut di tangguhkan pengirimanya. Keberadaan mereka untuk mendampingi umat Islam di Madinah sangat di butuhkan mengingat munculnya kelompok-kelompok muslim yang memberontak. Usul kedua datang pula dari sebagian umat Islam melalui Umar bin Khotob agar pemimpin pasukan diganti dengan orang yang lebih tua dari Usamah. Kedua usul ini ditolak oleh Abu Bakar, Ia tidak menunda ekspidisi pasukan tersebut dan panglima pasukan tetap dipegang oleh Usamah bin Zaid. Maka para shahabat akhirnya dapat memahami keputusan itu. Pasukan itu diberi waktu selama 40 hari untuk melaksanakan tugasnya dan kembali ke Madinah. Teryata pasukan tersebut dapat menyelesaikan tugasnya tepat waktu dan memperoleh kemenangan.

Sebelum pasukan diberangkatkan Abu Bakar menyampaikan nasehat atau kode etik militer di medan peperangan Ia bertitah:

“ Jangan melakukan penghianatan, jaga melakukan pelanggaran, jangan ingkar pada atasan, jangan melampohi batas, jangan membunuh orang

5

(5)

tua, para wanita dan anak-anak, jangan menebang pohon dan membakarnya, jangan menebang pohon yang berbuah, jangan membunuh hewan kecuali untuk dimakan. Hendaklah kamu biarkan mereka yang berada di Gereja-gereja dan menghormati para Pendeta-pendeta mereka. Ingatlah Allah atas karunia-Nya kepada kamu. Bertempurlah dengan pedang. Wahai Usamah lakukanlah apa yang telah di perintahkan Nabi dan jangan pengurangi perintahnya”6.

Selesai urusan itu kemudian Abu Bakar menghadapi krisis yang lebih rawan, yaitu kelompok-kelompok pemberontak yang disebut diatas. Untuk itu pun Abu Bakar mengajak para shahabat bermusyawarah untuk menentukan sikap dan tindakan apa atas mereka. Dalam musyawarah itu muncul dua pendapat yang berbeda. Abu Bakar, yang dikenal berhati lemah lembut, berpendapat bahwa mereka semua tanpa kecuali termasuk yang ingkar membayar zakat harus diperangi sebagaimana mereka yang murtad. Pendapat kedua mengatakan mereka harus diperangi kecuali mereka yang ingkar membayar zakat, sebab mereka masih tetap beriman. Umar, yang dikenal berwatak keras, berada di pihak kedua. Ia berkata: “Wahai Abu Bakar, bagaimana engkau memerangi mereka, padahal Rosul telah bersabda: “Saya di perbolehkan memerangi manusia sampai mereka mangatakan kalimah ‘La Illaha Illa’allah’. Maka barang siapa yang telah mengatakannya, maka harta dan jiwanya aman dari tindakan saya, kalau dengan hak, dan perhitungannya terserah kepada Allah”. Abu bakar menjawab: “Demi Allah, saya akan memerangi mereka yang memisahkan sholat dan zakat. Karena sesungguhnya zakat adalah hak harta”. Akhirnya Umar membenarkan pendapat Abu Bakar, dan para shahabat pun mendukung keputusanya7.

Untuk melaksanakan keputusan tersebut, Abu Bakar membentuk sebuah pasukan dan menunjuk pimpinan masing-masing.1) Kholid bin Walid bertugas

6

Lihat J. Sayuthi Pulungan, Fiqih Siyasah: Agama, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: P.T Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 109-110

7

(6)

memerangi Thulaikhah bin khuwalid (seorang Nabi palsu) di Buzakhah, dan Malik bin Nuwairoh (seorang kepala pemberontak) di Buthak. 2) Ikrimah bin Abi Jahil ditugaskan menumpas Musaylamah al-Kahzzab (seorang nabi palsu) di Yamamah. 3) Syarahbil bin Hasanah ditugaskan membantu Ikrimah dan Qudha’ah. 4) Al muhajir bin Abi Umayah memerangi Aswad Al-Anssi (seorang nabi palsu) di San’a, Yaman. 5) Khuzaifah bin Mihsan ditugaskan ke Oma. 6) Ar Fajah bin Hursimah ke Mihrah. 7) Suwaid bin Mudarin ke Tihamah, Yaman. 8) Al-ulabin Al- Hadrami ke Bahrain. 9) Thuraifah bin Hajiz ke daerah bani Salim dan Hawazzin. 10) Amr bin al-Ash ke Qudha’ah. 11) Kholid bin Said ke daerah Syam8.

Walaupun Abu Bakar telah mengambil keputusan untuk memerangi pemberontakan dari pembangkang tersebut dan pasukan telah di berangkatkan, namun Ia masih menunjukan kearifannya. Ia mengirim surat pengantar kepada mereka agar kembali ke jalan yang benar dan masuk kembali ke barisan Islam. Para pemimpin pasukan juga Ia surati dengan pesan agar mereka tidak memerangi orang-orang yang mau tunduk kembali kepada Islam, kecuali mereka yang membangkan. Surat pengantar itu tidak digubris oleh kaum murtad, pembangkang dan pemberotak. Karena serangan itu dilaksanakan sesuai dengan perintah kholifah, dan berakhir dengan sukses. Mereka berhasil dilumpuhkan untuk selamanya dan ada sebagian yang kembali kepada Islam.

Tetapi pasukan Islam yang bertempur di Frot Yamamah melawan Musaylamah al Kadzab menderita kerugian besar. Para shahabat yang hafal al Qur’an banyak yang gugur dalam pertempuran itu. Kejadian itu mengilhami Umar bin Khotob untuk mengumpulkan al Qur’an yang masih berserakan menjadi satu mushab. Ketika hal ini disampaikan kepada kholifah Abu Bakar, semula Ia tidak menyetujuinya Ia mengatakan: ”Bagaimana saya melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulullah?. Umar menjawab bahwa

8

(7)

pekerjaan itu sungguh baik. Tapi setelah keduanya tukar pikiran secara tajam, akhirnya Abu Bakar menerima gagasan Umar itu. Kemudian Ia menyampaikan gagasan itu kepada Zaid bin Tsabit, sekretaris Nabi dan penulis wahyu di masa Nabi. Zaid mengatakan seperti apa yang dikatakan Abu Bakar kepada Umar. Abu Bakar menjawab sepeti jawaban Umar kepadanya. Tapi akhirnya, Zaid mendukung usaha pengumpulan ayat-ayat al Qur’an menjadi satu mushab dan bertindak sebagai pelaksannya dan didampingi oleh Umar.9

Setelah pergolakan dalam negri berhasil dipadamkan, kholifah Abu Bakar harus menghadapi kekuatan Persia dan Romawi yang setiap saat berkeinginan menghancurkan eksitensi Islam. Untuk menghadapi Persia, Abu Bakar mengirim tentara Islam dibawah pimpinan Kholid bin Walid dan Mutsanna bin Haristah dan berhasil merebut beberapa daerah penting Iraq dari kekuasaan Persia. Sedangkan untuk menghadapi Romawi, Abu Bakar mengirim empat panglima Islam untuk memimpin beribu-ribu pasukan di empat front, yaitu Amr bin Ash di Front Palistina, Yazid bin Abi Sufyan di Front Damaskus, Abu Ubaidah di Front Hims, dan Syurah-bil bin Hasanah di Front Yordania. Empat pasukan ini kemudian di Bantu Kholid bin Walid yang bertempur di Front Syiria. Perjuangan pasukan-pasukan tersebut dan ekspidensi militer berikutnya untuk membebaskan Jazirah Arab dari penguasa Romawi dan golongan Persia, dan tuntas pada masa pemerintahan Umar bin Khottob.

Keputusan-keputusan yang dibuat oleh kholifah Abu Bakar untuk membentuk beberapa pasukan tersebut, dari segi tata negara, menunjukkan bahwa Ia juga memegangi jabatan panglima tertinggi tentara Islam. Hal seperti itu juga berlaku dijaman modern dimana seorang kepala negara atau president juga sekaligus panglima tertinggi angkatan bersenjata.

9

(8)

Disisi lain, fakta histories tersebut menunjukkan pula bahwa kepeminpinannya telah lulus ujian menghadapi berbagai macam timbul, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar. Artinya ia telah sukses besar menegakkan pranata social politik dan pertahanan keamanan pemerintahanya. Dengan kata lain Ia berhasil memobilisir segala kekuatan yang ada untuk menciptakan pertahanan dan keamanan negara Madinah, menggalang persatuan umat Islam, mewujudkan keutuhan dan keberlangsungan negara Madinah dan Islam, menghimpun ayat-ayat al Qur’an yang masih berserakan menjadi satu mushaf. Keberhasilan ini tentu karena adanya kedisiplinan, kepercayaan dan ketaatan yang tinggi dari rakyat terhadap integritas kepribadian dan kepemimpinannya.

B. Riddah Pada Masa Abu Bakar

Abu Bakar memangku jabatan kholifah selama dua tahun lebih sedikit (11-13 H/632-634), yang dihabiskanya terutama untuk mengatasi berbagai masalah dalam negeri yang muncul akibat wafatnya Nabi. Terpilihnya Abu Bakar telah membangun kembali kesadaran dan tekat umat untuk bersatu melanjutkan tugas mulia Nabi. Menyadari bahwa kekuatan kepemimpinanya bertumpu komonitas yang bersatu ini, yang menjadi perhatian kholifah pertama kali adalah merealisasikan keinginan Nabi yang hampir tidak terlaksana, yaitu mengirimkan ekspedisi ke perbatasan Suriah dibawah pimpinan Usamah untuk membalas pembunuhaan Ayahnya, Zaid dan kerugian yang diderita oleh umat Islam dalam perang Mu’tah. Sebagian shahabat menentang keras rencana ini, tetapi kholifah tidak peduli. Nyatanya ekspedisi itu sukses dan membawa pengaruh positif bagi umat Islam, khususnya didalam membangkitkan kepercayaan diri mereka yang nyaris pudar10.

10

(9)

Akibat lain dari wafatnya Nabi ialah membangkangnya beberapa orang Arab dari ikatan Islam. Mereka melepaskan kesetiaan dengan menolak memberikan bai’at kepada Kholifah yang baru dan bahkan menentang agama Islam, karena mereka menganggap bahwa perjanjian-perjanjian yang dibuat bersama Muhammad dengan sendirinya batal disebabkan kematian Nabi Islam itu. Fakta yang dapat membuka kesimpulan kepada kita bahwa, diwaktu Nabi wafat, agama Islam belum mendalam meresapi sanubari penduduk Jazirah Arab. Diantaranya mereka ada yang tetap menyatakan masuk Islam, tetapi belum mempelajari agama Islam itu. Jadi mereka menyatakan Islam tanpa keimanan. Ada pula masuk agama Islam guna menghindari peperangan melawan kaum muslimin, karena mereka tiada mengetahui bahwa kaum muslimin berperang adalah semata-mata untuk membela diri bukan untuk menyerang. Ada pula diantara mereka yang masuk Islam karena ingin mendapat nama dan kedudukan.

Sesungguhnya tidaklah mengherankan dengan banyaknya suku Arab yang melepaskan diri dari ikatan agama Islam. Mereka adalah orang-orang yang baru memasuki Islam. Belum cukup waktu Nabi dan para shahabatnya untuk mengajari mereka prinsip-prinsip keimanan dan ajaran Islam. Memang suku-suku Arabia dari padang pasir yang jauh itu terus datang kepada Nabi dan mendapat kesan yang mendalam tentang Islam, tetapi mereka hayalah setitik air di samudra. Didalam waktu beberapa bulan tidaklah mungkin bagi Nabi dapat mengatur pendidikan atau latihan yang efektif untuk masyarakat yang terpencar di wilayah-wilayah yang amat luas dengan sarana komunikasi yang sangat minim saat itu.

Gerakan melepas kesetiaan tersebut dinamakan “Riddah ”riddah berarti murtad, beralih agama Islam ke kepercayaan semula, secara politis merupakan

(10)

pembangkangan (Distortion) terhadap lembaga kholifah11. Sikap mereka adalah perbuatan makar yang melawan agama dan pemerintahan sekaligus.

Referensi paling awal tentang perbuatan riddah dalam Islam berkaitan dengan pelanggaran persetujuan antara para penguasa Islam di Madinah dari sejumlah suku Arab, menyusul wafatnya Nabi, dalam hal ini ada alasan kuat yang mendasarkan terjadinya Precedent riddah yaitu setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW pada tahun 632 M/ 11H, dimana masyarakat Islam yang masih relatif baru mengalami masa-masa sulit dan bahaya. Abu Bakar yang menggantikan Nabi sebagai pemimpin masyarakat, diancam dengan keretakan anggota-anggota masyarakat yang tertentu, disatu pihak, dan munculnya sejumlah suku Arab yang menentang sentualisasi otoritas politik di Madinah, di pihak lain.

Beberapa suku Arab yang mengalami Islam selama masa kenabian harus membanyar zakat, dalam jumlah yang biasanya ditentukan melalui kesepakatan dengan Nabi. Adalah logis untuk mengatakan atas dasar sumber-sumber yang sangat awal, sifat zakat pada masa Nabi sebenarnya tidak begitu jelas Ia lebih banyak menggambarkan sebagai beban yang dituntut oleh wakil pemerintahan Madinah daripada agama Islam. Dengan kata lain, beberapa suku memahaminya sebagai suatu beban politik murni bukan agama. Atas dasar alasan ini, setelah wafatnya Nabi, beberapa suku Arab menolak untuk meneruskan membanyar zakat, karena mereka berpikir bahwa kesepakatan mereka dengan pemerintah Madinah batal dengan sendirinya dengan wafatnya Nabi. Sebaliknya Abu Bakar dalam banyak kesempatan berbicara komunitasnya dengan suku-suku itu menekankan bahwa mereka harus tetap melaksanakan apa yang pernah mereka janjikan (pembayaran zakat) karena kesepakatan mereka itu bukan hanya dengan Nabi, makhluk yang tidak kekal,

11

(11)

tetapi dengan Tuhan, saat Muhammad berperan sebagai Rasulnya, Abu Bakar adalah sebagai pengganti Muhammad sebagai pemimpin Madinah12.

Atas dasar kondisi-kondisi itu, Abu Bakar dengan marah menolak tuntutan suku-suku Arab yang meminta di bebaskan dari membayar beban zakat, dan memerintahkan tentaranya untuk bersiaga melawan mereka. Setelah terjadi banyak pertumpahan darah, pemberontakan-pemberontakan itu dipadamkan, dan suku-suku dimasukan lagi dibawah kekuasaan Madinah. Peristiwa awal dalam pemerintahan Abu Bakar ini memberi Precedent fundamental terhadap hukum riddah dalam Islam13.

Oleh karena itu, kholifah Abu Bakar dengan tegas melancarkan operasi pembersihan terhadap mereka. Mula-mula hal ini di maksudkan sebagai tekanan untuk mengajak mereka kembali ke jalan yang benar, lalu berkembang menjadi perang merebut kemenangan. Tindakan pembersihan juga dilakukan untuk menumpas nabi-nabi palsu dan orang-orang yang enggan membayar zakat.

Dalam penumpasan terhadap orang-orang murtad dan para pembangkan tersebut terutama setelah mendapat dukungan dari suku Gatafan yang kuat teryata banyak menyita konsentrasi kholifah baik secara moral maupun politik. Situasi keamanan negara Madinah menjadi kacau, sehingga banyak shahabat, tidak terkecuali Umar yang dikenal keras mengajukan bahwa dalam keadaan yang begitu kritis lebih baik kalau mengikuti kebijakan yang lunak. Terhadap ini kholifah menjawab dengan marah:” Kalian begitu keras di masa Jahiliyah, tetapi sekarang setelah Islam, kamu menjadi lemas. Wahyu-wahyu Allah telah berhenti dan agama kita telah memperoleh kesempurnaan. Kini haruskah Islam dibiarkan rusak dalam masa hidupku? Demi Allah, seandainya mereka menahan

12

David Litle, John Kelsay, dan Abdul Aziz A. Sachedina, Kajian Lintas Kultural Islam-Barat:Kebebasan Agama dan Hak-Hak Asasi Manusia, (terj. Riyanto), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 144-145

13

(12)

sehelai benang pun (dari zakat) saya akan memerintahkan untuk memerangi mereka”14.

Selama peperangan riddah, banyak dari (penghafal al Qur’an) yang tewas. Karena orang-orang ini merupakan bagian dari al Qur’an, Umar cemas jika bertambah lagi angka kematian itu, yang berarti beberpa bagian al Qur’an akan musnah. Karena itu Umar menasehati Abu Bakar untuk membuat suatu “kumpulan” al Qur’an. Mulanya kholifah agak ragu untuk melakukan tugas ini karena tidak menerima otoritas dari Nabi, tetapi kemudian ia memberikan persetujuan dan menugaskan Zaid bin Tsabit. Para pencatat sejarah menyebutkan bahwa pengumpulan al Qur’an ini termasuk salah satu jasa besar dari kholifah Abu Bakar15.

14

Ibnu Atsir, Al-Kamil Fil Al-Tharikh, Jilid II, (Beirut: Darul Al-Shadir, 1965), hlm. 340. dan lihat juga Masdar F Mas’udi, Islam Agama Keadilan, ( Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991), hlm. 164

15

Referensi

Dokumen terkait

Konotasi soal Batara Windu Sakti Buwana yang familiar di kalangan masyarakat di kaki Gunung Kumbang dan Sagara mengalami pribumisasi istilah dari bahasa Sansekerta

Penelitian berjudul Pemanfaatan gas buang terproduksi untuk menaikkan temperatur di Rantau bais Gathering station menggunakan variasi tekanan dan temperatur dari uap panas yang

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data disimpulkan bahwa media pembelajaran menggunakan macromedia flash profesional 8 materi sistem gerak pada manusiaada pengaruh

The pleasant garden of great Italy, and by my father’s love and leave am armed with his good will and thy good company.. Here let us breathe and haply institute a course

Sequence diagram dari use case Menulis HL7 Message bertipe ORU dapat digambarkan seperti pada lampiran 23.. 3.5.15 Sequence Diagram

Penelitian terdahulu yang digunakan sebagai acuan pada penelitian ini dilakukan oleh Melmusi (2016) mengenai pengaruh pajak, mekanisme bonus, kepemilikan asing dan

Pengaruh Efisiensi Modal Kerja Dan Likuiditas Terhadap Profitabilitas Pada Perusahaan Industri Otomotif Dan Komponen Yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

Model Sistem Penelusuran Dwelling Time Terminal Petikemas Makassar PT Pelabuhan Indonesia IV (Persero) dirancang dalam dua tampilan antar muka yaitu tampilan untuk