• Tidak ada hasil yang ditemukan

ETIKA DAN MORAL DALAM ILMU PENGETAHUAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ETIKA DAN MORAL DALAM ILMU PENGETAHUAN"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

0

ETIKA DAN MORAL DALAM ILMU PENGETAHUAN

Disusun oleh :

S y u k u r

NIM.12010150049

Makalah

Disusun guna melengkapi tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu

Dosen Pengampu Bapak Dr. Adang Kuswaya

PROGRAM PASCASARJANA SUPERVISI PAI

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA

(2)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam memandang perbuatan dan mengatakan bahwa seseorang seolah mengukur suatu perbuatan itu sesuai dengan norma atau prinsip moral. Jika perbuatan itu sesuai dengan prinsip bersangkutan, kita menyebutkan baik, adil, jujur dan sebagainnya, akan tetapi jika tidak sesuai kita menyebutkan buruk, tidak adil, tidak jujur dan sebagainya. Disamping itu ada cara penilaian etis lain lagi yang tidak begitu memandang perbuatan, melainkan sebenarnya keadaan pelaku itu sendiri. Selain itu juga dapat menunjukan sifat watak atau akhlak yang dimiliki orang itu atau yang dimilikinya sehingga kalau kita berbicara tentang bobot moral orang itu sendiri dan bukan tentang bobot moral salah satu perbuatannnya.

Sedangkan kajian mengenai etika pada awal sejarah filsafat Yunani Sokrates, Plato, dan Aristoteles telah meletakan dasar bagi etika dikembangan terus dalam bentuk murni di zaman modern.1 Adapun dalam Ilmu pengetahuan berupaya mengungkapkan realitas sebagaimana adanya, etika dan moral pada dasarnya adalah petunjuk tentang apa yang seharusnya dilakukan manusia. Ilmu pengetahuan merupakan seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan, dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia. Segi-segi ini dibatasi agar dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti. Ilmu memberikan kepastian dengan membatasi lingkup pandangannya, dan kepastian ilmu-ilmu diperoleh dari keterbatasannya. Ilmu bukan sekedar pengetahuan (knowledge), tetapi merangkum sekumpulan pengetahuan berdasarkan teori-teori yang disepakati dan dapat secara sistematik diuji dengan seperangkat metode yang diakui dalam bidang ilmu tertentu.

Dipandang dari sudut filsafat, ilmu terbentuk karena manusia berusaha berfikir lebih jauh mengenai pengetahuan yang dimilikinya. Ilmu pengetahuan adalah produk dari epistemologi yang dewasa ini ilmu sudah berada diambang kemajuan yang mempengaruhi reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri. Ilmu

1K. Bertens, Etika, Seri Filsafat Atmajaya 15, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993, hlm.

(3)

2

bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri. Sebenarnya sejak saat pertumbuhannya ilmu sudah terkait dengan masalah-masalah moral namun dalam perspektif atau pandangan yang berbeda.2

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimana hakikat etika dan moral

2. Bagaimana hakikat moral dengan ilmu pengetahuan

C. Tujuan

Sebagaimana rumusan masalah diatas bahwa tujuan penulisan makalah ini untuk mengetahui :

1. Hakikat etika dan moral

2. Hakikat etika dan moral dengan ilmu pengetahuan

2Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan,

(4)

3

BAB II PEMBAHASAN

A. Hakikat Etika dan Moral

Menurut K. Bertens (2001), dalam filsafat Yunani etika dipakai untuk menunjukan filsafat moral seperti yang acap ditemukan dalam konsep filsuf besar Aristoteles. Etika berarti ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan.3 Dengan memakai istilan modern, dapat dikatakan juga bahwa

membahas tentang konvensi sosial yang ditemukan dalam masyarakat.

Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,. etika diartikan sebagai : (1) ilmu pengetahuan apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak); (2) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; dan (3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.4

Sebagaimana etika dalam pergaulan hidup bermasyarakat, bernegara, hingga pergaulan hidup tingkat internasional, diperlukan suatu sistem yang mengatur bagaimana seharusnya manusia bergaul. Sistem pengaturan pergaulan itu menjadi saling menghormati dan dikenal dengan sebutan sopan santun, tata karma, protokoler, dan lain-lain. Maksud pedoman pergaulan tidak lain untuk menjaga kepentingan masing-masing yang terlibat agar mereka senang, tenang tentram, terlindung tanpa merugikan kepentingannya serta terjamin agar perbuatan yang tengah dijalankan sesuai dengan adat kebiasannya yang berlaku dan tidak bertentangan dengan hak-hak asasi umumnya. Hal itulah yang mendasari tumbuh kembangnya etika di masyarakat kita.

Adapun penjelasan mengenai moral itu sendiri menurut K. Bertens (2011), secara etimologis kata moral sama dengan etika, meskipun kata asalnya beda. Pada tataran lain, jika kata moral dipakai sebagai kata sifatnya artinya sama dengan etis, jika dipakai sebagai kata benda artinya sama dengan etika. Moral yaitu nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau sesuatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Ada lagi istilah moralitas yang mempunyai arti

3K. Bertens, Etika, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001, hlm. 39.

4Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Pusat Bahasa, 2008,

(5)

4

sama dengan norma (dari sifat Latin moralis), artinya suatu perbuatan atau baik buruknya. Moralitas yaitu sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk. Secara etimologis, kata moral berasal dari kata

mos dalam bahasa Latin, bentuk jamaknya mores, yang artinya tata cara atau adat

istiadat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, moral artinya sebagai akhlak, budi pekerti, atau susila. Secara terminologis, terdapat berbagai rumusan pengertian moral yang dari segi substantif materialnya tidak ada perbedaan, akan tetapi bentuk formalnya berbeda. Widjaja menyatakan, bahwa moral adalah ajaran baik dan buruk tentang perbuatan dan kelakuan.5 Al-Ghazali mengemukakan pengertian akhlak, sebagai padanan kata moral, sebagai perangai (watak, tabiat) yang menetap kuat dalam jiwa manusia dan merupakan sumber timbulnya perbuatan tertentu dari dirinya secara mudah dan ringan, tanpa perlu dipikirkan dan direncanakan sebelumnya. Sementara Wila Huky dalam Bambang Daroeso, merumuskan pengertian moral secara lebih komperehensif rumusan formalnya sebagai berikut: 1. Moral sebagai perangkat ide tentang tingkah laku hidup, dengan warna dasar

tertentu yang dipegang oleh sekelompok manusia di dalam lingkungan tertentu. 2. Moral itu ajaran laku hidup yang baik berdasarkan pandangan hidup atau agama

tertentu.

3. Moral sebagai tingkah laku hidup manusia, yang mendasarkan pada kesadaran, bahwa ia terikat oleh keharusan untuk mencapai yang baik, sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam lingkungannya.6

Agar diperoleh pemahaman yang jelas, perlu diberikan ulasan bahwa substansi materi dari ketiga batasan tersebut tidak berbeda, yaitu tentang tingkah laku. Akan tetapi bentuk formal ketiga batasan tersebut berbada. Batasan pertama dan kedua hampir sama, yaitu seperangkat ide tentang tingkah laku dan ajaran tentang tingkah laku. Adapun batasan moral belum terwujud tingkah laku, melainkan masih merupakan acuan dari tingkah laku. Pada batasan pertama, moral dapat dipahami sebagai nilai-nilai moral dan norma-norma moral. Adapun batasan ketiga, moral dapat dipahami sebagai tingkah laku, perbuatan, atau sikap moral. Namun demikian,

5Widjaja, AW. Kesadaran Hukum Manusia dan Masyarakat Pancasila. Jakarta: Era Swasta, 1985,

hlm. 97.

6Daroeso, Bambang. Dasar dan Konsep Pendidikan Moral Pancasila. Semarang : Aneka Ilmu,

(6)

5

semua batasan tersebut tidak salah, sebab dalam pembicaraan sehari-hari, moral sering dimaksudkan masih sebagai seperangkat ide, nilai, ajaran, prinsip, atau norma. Akan tetapi lebih konkret dari itu, moral juga sering dimaksudkan sudah berupa tingkah laku, perbuatan, sikap atau karakter yang didasarkan pada ajaran, nilai, prinsip, atau norma. Kata moral juga sering disinonimkan dengan etika, yang berasal dari kata ethos dalam bahasa Yunani Kuno, yang berarti kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, atau cara berpikir.

B. Hakikat Etika dan Moral Dengan Ilmu Pengetahuan

Ilmu dalam bahasa Yunani yaitu scientia, atau dalam bahasa Arab dari kata “ilm”. Ilmu atau sains adalah pengkajian sejumlah pernyataan yang terbukti dengan fakta dan ditinjau yang disusun secara sistematis dan terbentuk menjadi hukum umum. Ilmu akan melahirkan kaidah umum yang dapat diterima oleh semua pihak.7

Dari definisi diatas, kita bisa memahami bahwa ilmu adalah pengetahuan yang dirumuskan secara sistematis, dapat diterima oleh akal melalui pembuktian empiris. Istilah empiris memang sering memunculkan persoalan, yaitu harus didasarkan fakta yang dapat dilihat. Empiris tentu tidak harus demikian, sebab banyak faktor keilmuan yang tidak dapat dilihat, tetapi ada.

Keberadaan ilmu timbul karena adanya penelitian pada objek yang sifatnya empiris berbeda halnya dengan ilmu yang lahir dan timbul dari penelaah objek yang abstrak. Landasan dasar yang dipakai dalam pseudo-ilmu yaitu keyakinan atau kepercayaan. Hal semacam ini sering memunculkan pandangan metafisika dalam filsafat ilmu. Perbedaan keduanya dapat diketahui dari penampakan yang menjadi objek penelitian masing-masing bidang. Atau dengan kata lain, perbedaan itu ada pada sisi epistemologisnya dan perbedaan juga dapat dilihat dari aspek fungsinya.

Di dalam etika, nilai kebaikan dari tingkah laku manusia menjadi sentral persoalan. Etika itu sejajar artinya dengan moral karena etika keilmuan merupakan etika yang normatif yang merumuskan prinsip-prinsip etis yang dapat dipertanggung jawabkan secara rasional dan dapat diterapkan dalam ilmu pengetahuan. Tujuan etika keilmuan yaitu yang baik dan yang menghindarkan dari yang buruk ke dalam perilaku keilmuannya.

7Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu: Mengurai Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Pengetahuan.

(7)

6

Pokok persoalan dalam etika keilmuan selalu mengacu kepada “elemen” kaidah moral, yaitu hati nurani kebebasan dan bertanggung jawab nilai dan norma yang bersifat utilitaristik (kegunaan). Hati nurani di sini yaitu penghayatan tentang yang baik dan yang buruk yang dihubungkan dengan perilaku manusia.8

Nilai dan norma yang harus berada pada etika keilmuan yaitu nilai dan norma nilai. Kemudian yang menjadi kriteria pada nilai dan norma moral itu tidak berdiri sendiri, tetapi ketika ia berada pada atau menjadi seseorang, ia akan bergabung dengan nilai yang ada seperti nilai agama, hukum, dan budaya; yang paling utama dalam nilai moral yang berkaitan dengan tanggung jawab seseorang. Norma moral menentukan apakah seseorang berlaku baik ataukah buruk dari sudut pandang etis.

Dibidang ilmu dan moral tidak lepas dari tanggung jawab aplikasi ilmu yang dikembangkan. Bahwa ilmu tersebut harus diaplikasikan untuk hal-hal yang benar, bukan untuk merusak umat manusia. Moral hanya merupakan sebagian dari kebudayaan, bahwa kebudayaan itu berkembang karena pengetahuan manusia dan pengetahuan itu sendiri berkembang karena kebudayaan manusia.9

Tentang tujuan ilmu pengetahuan, ada beberapa perbedaan pendapat antara filsuf dan para ulama. Sebagian berpendapat bahwa pengetahuan sendiri merupakan tujuan pokok bagi orang yang menekuninya, dan mereka ungkapkan hal ini dengan ungkapan ilmu pengetahuan untuk ilmu pengetahuan, seni untuk seni, sastra untuk sastra, dan lain sebagainya. Teknologi jelas sangat dibutuhkan oleh manusia untuk mengatasi berbagai masalah, seperti kebutuhan sandang, pangan, energi, dan kesehatan. Adapun pendapat yang lainnya cenderung menjadikan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk meningkatkan dan kemajuan umat manusia secara keseluruhan.

Perkembangan ilmu tidak pernah lepas dari ketersinggunganya dengan berbagai masalah moral. Baik atau buruknya ilmu sangat dipengaruhi oleh kebaikan atau keburukan moral para penggunannya “aksiologi”. Peledakan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki oleh Amerika Serikat, merupakan suatu contoh penyalahgunaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sudah maju pada zamannya.

8JujunS. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,

2009, hlm. 57.

9Soetrisno dan SRDm Rita Hanafie, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian, Yogyakarta: Andi,

(8)

7

Pada dasarnya masalah moral, tidak bisa dilepaskan dari tekad manusia untuk menemukan dan mempertahankan kebenaran. Moral sangat berkaitan dengan nilai-nilai, serta cara terhadap suatu hal. Pada awal masa perkembangannya, ilmu sering kali berbenturan dengan nilai moral yang diyakini oleh masyarakat. Oleh karena itu, sangat banyak ilmuwan atau ahli filsafat yang dianggap gila atau bahkan dihukum mati oleh penguasa pada saat itu, seperti Nicholas Copernicus, Socrates, John Huss dan Galileo Galilei.10

Dalam perspektif sejarah hukum, juga dikenal nama Hugo de Groot (Grotius) orang yang pertama memakai hukum alam atau hukum kodrat yang berasal dari pikiran hal-hal kenegaraan, dia mengemas teorinya sebagai berikut : Pertama, pada dasarnya manusia mempunyai sifat mau berbuat baik kepada sesama manusia,

Kedua, manusia mempunyai “appetitus societies” yang dimaknai hasrat

kemasyarakatan. Atas dasar appetitus societaties ini manusia bersedia mengorbankan jiwa dan raganya untuk kepentingan orang lain, golongan, dan masyarakat.11 Ada empat macam hidup dalam masyarakat menurut teori hukum kodrat ; Abstinentia alieni (hindarkan diri dri milik orang lain), Ablagatio

implendorum promissorum (penuhilah janji), Dammi culpa dati reparation

(bayarlah kerugian yang disebabkan kesalahan sendiri) dan, Poenae inter humanies

meratum (berilah hukum yang setimpal).

Di negara-negara Anglo-Saxon berkembang suatu konsep negara hukum yang semula dipelopori A.V. Dicey dengan sebutan “Rule of Law,” yang menekankan pada tiga tolok ukur atau unsur utama dalam teori hukum, yaitu :

1. Supremasi hukum atau supremacy of low.

2. Persamaan dihadapan hukum atau equality before the law.

3. Konstitusi yang didasarkan pada hak-hak perorangan atau the constitution based

on individual rights.12

Menurut Aristoteles, negara hukum itu berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi tercapainya kebahagiaan hidup untuk warga negaranya, dan sebagai dasar daripada keadilan itu

10Mukhtar Latif, “Orientasi Ke Arah Pemahaman Filsafat Ilmu” Jakarta: Prenada Media Group,

2014, hlm. 92.

11Alma Manuputy, et.al., Hukum Internasional :Makassar, 2008, hlm. 2.

(9)

8

perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar ia menjadi warga negara yang baik. Bagi Aristoteles, yang memerintah dalam negara bukanlah manusia yang sebenarnya melainkan pikiran yang adil, sedangkan penguasa sebenarnya hanya pemegang hukum dan keseimbangan.

Berdasarkan teori negara hukum (rechstaas) tersebut, berarti dalam penerapan perlindungan hukum harus senantiasa sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun pembentukan hukum positif itu haruslah berangkat dari hak-hak yang dimiliki oleh setiap individu, khususnya atas hak-hak ekonomi pencipta terhadap karya yang telah diciptakannya.

Sejalan dengan itu dalam konsep walfer state atau lazim disebut sebagai negara sejahtera yang menjungjung kebebasan individu merupakan gagasan ideal bagaimana suatu negara melaksanakan tugasnya dalam rangka untuk melayani warga negara menuju tatanan kehidupan yang harmonis dan sejahtera. Dalam hal ini hukum harus dilihat sebagai lembaga yang berfungsi memenuhi kebutuhan sosial dan dapat dijalankan pada penerapannya di dalam masyarakat, jadi hukum bukan sekedar “law in a books” melainkan juga “law in action.”

Hukum sebagai landasan etika moral ilmuwan haruslah dijabarkan dan diimplementasikna dalam realitas kemasyarakatan dan sistem kenegaraan. Terlebih ditengah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi seperti saat ini, semua orang bebas mengembangkan atau menikmati teknologi dengan tanpa memeprhatikan etika moral keilmuan, dan hanya mengedepankan aspek atau financial, atau untuk kepentingan pribadi saja. Jadi, etika moral harus mengikat para pihak, baik ilmuwan, pemakai atau pengguna, maupun produsen atau pihak dunia industri yang menghasilkan produk ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini sangat penting, karena ilmu pengetahuan dan teknologi harus maslahat bagi kehidupan manusia, bukan justru untuk kemudaratan dan memusnahkan budaya, peradaban, dan kehidupan manusia.

(10)

9

BAB III SIMPULAN

Dari uraian makalah diatas dapat disimpulkan bahwa etika dan moral dalam ilmu pengetahuan merupakan komponen dalam kajian disiplin pengetahuan yang integral-holistik dan antar variabel etika-moral-ilmu pengetahuan memiliki peran dan batasan-batasan fungsi sentral kontrol yang saling mendukung dan disisi lain sebagai barometer layaknya etika memiliki pandangan etis, moral memilkiki pandangan baik-buruk, dan ilmu pengetahuan subjektif-objektif.

DAFTAR PUSTAKA

Bertens, K. 1993. Etika, Seri Filsafat Atmajaya 15, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.

________, 2001. Etika, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Daroeso, Bambang, 1986, Dasar dan Konsep Pendidikan Moral Pancasila. Semarang : Aneka Ilmu.

Departemen Pendidikan Nasional, 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Pusat Bahasa.

Latif, Mukhtar. 2014. Orientasi Ke Arah Pemahaman Filsafat Ilmu, Jakarta: Prenada Media Group.

Manuputy, et.al. Alma. 2008. Hukum Internasional, Makassar.

Suriasumantri, Jujun S. 2000. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.

________, 2009, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Soetrisno dan SRDm Rita Hanafie, 2007. Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian, Yogyakarta: Andi.

Tafsir, Ahmad. 2010. Filsafat Ilmu: Mengurai Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi

Pengetahuan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Widjaja, AW. 1985, Kesadaran Hukum Manusia dan Masyarakat Pancasila. Jakarta: Era Swasta.

(11)

10 KATA PENGANTAR

Puji syukur dan do’a kehadhirat Allah SWT yang telah menganugerahkan hidayahNya sehingga penulis dapat menyusun makalah yang sederhana dengan judul “Etika dan Moral dalam Ilmu Pengetahuan” sebagai salah satu syarat guna memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Ilmu.

Tujuan dalam penyusunan makalah ini sebagai pengembangan kajian Filsafat Ilmu dalam Program Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri Salatiga.

Demikian sekiranya menjadi suatu kearifan jika pembaca berkenan memberikan kritik maupun saran yang dapat menyempurnakan kekurangan terhadap isi maupun redaksi. Akhirnya semoga aktivitas ini menjadi amal ibadah yang diterima Allah SWT.

Salatiga, 22 Desember 2015 Penulis,

(12)

11 DAFTAR ISI

... Hlm.

Halaman Judul ... i

Kata Pengantar ... ii

Daftar Isi ... iii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 2

C. Tujuan ... 2

BAB II PEMBAHASAN A. Hakikat Etika dan Moral ... 3

B. Hakikat Etika dan Moral Dengan Ilmu Pengetahuan ... 5

BAB III SIMPULAN ... 9

DAFTAR PUSTAKA ... 9

Referensi

Dokumen terkait

Akan tetapi lebih kongkrit dari itu , moral juga sering dimaksudkan sudah berupa tingkah laku, perbuatan, sikap atau karakter yang didasarkan pada ajaran, nilai, prinsip, atau

Norma-norma yang merupakan ungkapan dari nilai itu menentukan tingkah laku manusia dalam masyarakat, tetapi sebaliknya tingkah laku manusia dalam masyarakat itu,

Seseorang yang mempelajari nilai hidup tertentu, dan moral dan kemudian berhasil memiliki sikap dan tingkah laku sebagai pencerminan nilai hidup itu umumnya adalah seseorang

Bilamana nilai instrumental tersebut berkaitan dengan tingkah laku manusia dalma kehidupan sehari-hari maka hal itu akan merupakan suatu norma moral, namun jikalau nilai

Konsep dan pengertian moral Contoh tingkah laku bermoral Perbandingan antara tingkah laku. baik, benar

Dalam konteks ini, kandungan program latihan mengenai etika, moral dan integriti mestilah mengandungi komponen-komponen seperti konsep etika, etika kemuliaan, tingkah laku

Akan tetapi lebih kongkrit dari itu , moral juga sering dimaksudkan sudah berupa tingkah laku, perbuatan, sikap atau karakter yang didasarkan pada ajaran, nilai, prinsip, atau

kebiasaan yang mengandung nilai-nilai hidup dan hukum atau norma-norma yang mengatur tingkah laku manusia yang dianggap baik” (Kumorotomo, 1996:7). b) Lebih lanjut