Perusahaan Listrik Negara (PLN) adalah suatu perusahaan negara yang pengelolaannya Perusahaan Listrik Negara (PLN) adalah suatu perusahaan negara yang pengelolaannya ditujukan untuk melayani masyarakat. Sebagai perusahaan pemerintah, PLN dapat dikategorikan ditujukan untuk melayani masyarakat. Sebagai perusahaan pemerintah, PLN dapat dikategorikan sebagai perusahaan jasa kelistrikan yang mengandalkan kualitas pelayanan jasa yang diberikan sebagai perusahaan jasa kelistrikan yang mengandalkan kualitas pelayanan jasa yang diberikan pada masyarakat. PLN juga merupakan perusahaan yang memproduksi listrik melalui Unit-unit pada masyarakat. PLN juga merupakan perusahaan yang memproduksi listrik melalui Unit-unit pembangkitnya.
pembangkitnya.
Sebagaimana sebuah perusahaan negara, PLN banyak mendapatkan sorotan dari berbagai Sebagaimana sebuah perusahaan negara, PLN banyak mendapatkan sorotan dari berbagai pihak mengenai efektivitas kerja dalam organisasi dan kualitas layanan yang diberikan. Oleh karena pihak mengenai efektivitas kerja dalam organisasi dan kualitas layanan yang diberikan. Oleh karena itu peningkatan kualitas dan efektivitas kerja menjadi sangat penting. Hal ini dapat dilihat dari itu peningkatan kualitas dan efektivitas kerja menjadi sangat penting. Hal ini dapat dilihat dari seberapa besar tingkat efektivitas organisasi dalam melaksanakan fungsinya. Sebuah organisasi seberapa besar tingkat efektivitas organisasi dalam melaksanakan fungsinya. Sebuah organisasi akan dapat bertahan hidup dan akan dapat
akan dapat bertahan hidup dan akan dapat berkembang apabila mampu beroperasi secara efektif.berkembang apabila mampu beroperasi secara efektif. Tuntutan yang dihadapi PT. PLN (persero) sebagai salah satu BUMN adalah tekanan untuk Tuntutan yang dihadapi PT. PLN (persero) sebagai salah satu BUMN adalah tekanan untuk meningkatkan kesejahteraan
meningkatkan kesejahteraan stakeholder stakeholder -nya, baik itu pemerintah, manajemen, kustomer, supplier,-nya, baik itu pemerintah, manajemen, kustomer, supplier, distributor dan sebagainya. Bentuk kongkritnya adalah
distributor dan sebagainya. Bentuk kongkritnya adalah regulation & political pressureregulation & political pressure, PT. PLN, PT. PLN (Persero) dituntut memberikan pelayanan terbaik dengan biaya atau subsidi yang seminimal (Persero) dituntut memberikan pelayanan terbaik dengan biaya atau subsidi yang seminimal mungkin.
mungkin. Social pressure,Social pressure, PT. PLN (Persero) menghadapi tekanan yang semakin besar bagiPT. PLN (Persero) menghadapi tekanan yang semakin besar bagi masyarakat untuk menghasilkan produk yang sangat murah dan berkualitas tinggi. Untuk itu masyarakat untuk menghasilkan produk yang sangat murah dan berkualitas tinggi. Untuk itu mekanisme penetapan harga dan subsidi
mekanisme penetapan harga dan subsidi sangsangat pentinat pentin g.g.
Secara internal PT. PLN (Persero) dituntut untuk ekonomis dan efisien agar menjadi entitas Secara internal PT. PLN (Persero) dituntut untuk ekonomis dan efisien agar menjadi entitas bisnis yang tangguh dan profesional sehingga memiliki daya saing secara global. Fokus yang harus bisnis yang tangguh dan profesional sehingga memiliki daya saing secara global. Fokus yang harus diperhatikan oleh PT. PLN (Persero) adalah
diperhatikan oleh PT. PLN (Persero) adalah economy, efficiency, effectiveness, equity and economy, efficiency, effectiveness, equity and performance.
performance. Dengan kondisi seperti ini, peranan PT.PLN (Persero) dapat berfungsi sebagai pemacuDengan kondisi seperti ini, peranan PT.PLN (Persero) dapat berfungsi sebagai pemacu utama pertumbuhan dan pengembanan ekonomi daerah (
utama pertumbuhan dan pengembanan ekonomi daerah ( engine of growthengine of growth dan sebagaidan sebagai center of center of economic activity
economic activity ).).
Budaya organisasi merupakan pemegang peran penting dalam pencapaian target Budaya organisasi merupakan pemegang peran penting dalam pencapaian target perusahaan. Budaya baru yang dikembangkan perusahaan telah ditetapkan PT. PLN (Persero) perusahaan. Budaya baru yang dikembangkan perusahaan telah ditetapkan PT. PLN (Persero) melalui pedoman perilaku
melalui pedoman perilaku (code of conduct)(code of conduct) menjelaskan bagaimana hubungan yang seharusnyamenjelaskan bagaimana hubungan yang seharusnya terjadi antara
terjadi antara atasan terhadap bawahan, bawahan terhadap atasan dan juga hubungan dengan rekanatasan terhadap bawahan, bawahan terhadap atasan dan juga hubungan dengan rekan kerja. Didalam buku yang ditetapkan oleh Kantor Pusat PT. PLN (Persero) tersebut juga sudah kerja. Didalam buku yang ditetapkan oleh Kantor Pusat PT. PLN (Persero) tersebut juga sudah menerangkan Visi PT. PLN (Persero) yaitu diakui sebagai perusahaan kelas dunia yang bertumbuh menerangkan Visi PT. PLN (Persero) yaitu diakui sebagai perusahaan kelas dunia yang bertumbuh kembang, ungul dan terpercaya dengan bertumbuh pada potensi insani. Dari pengertian visi ini dapat kembang, ungul dan terpercaya dengan bertumbuh pada potensi insani. Dari pengertian visi ini dapat
dilihat adanya kebutuhan akan pengembangan potensi yang harus dimiliki oleh setiap karyawan, dilihat adanya kebutuhan akan pengembangan potensi yang harus dimiliki oleh setiap karyawan, sehingga karyawan dapat membawa perusahaan terus berkembang juga unggul dalam bidangnya. sehingga karyawan dapat membawa perusahaan terus berkembang juga unggul dalam bidangnya. Pengembangan potensi individu ini sangat bergantung kepada bagaimana perusahaan membentuk Pengembangan potensi individu ini sangat bergantung kepada bagaimana perusahaan membentuk pengembangan karir pegawai, dan hal ini sangat berpengaruh pada budaya perusahaan. Didalam pengembangan karir pegawai, dan hal ini sangat berpengaruh pada budaya perusahaan. Didalam buku
buku code of conduct code of conduct tersebut juga dijelaskan nilai-nilai yang seharusnya menjadi dasar terbentuknyatersebut juga dijelaskan nilai-nilai yang seharusnya menjadi dasar terbentuknya budaya perusahaan. Nilai-nilai tersebut antara lain adalah saling percaya, integritas, peduli dan budaya perusahaan. Nilai-nilai tersebut antara lain adalah saling percaya, integritas, peduli dan pembelajar. Jika nilai-nilai tersebut dapat diterapkan dengan baik dalam perusahaan maka pembelajar. Jika nilai-nilai tersebut dapat diterapkan dengan baik dalam perusahaan maka pengembangan potensi individu tersebut akan menjadi lebih baik. Nilai saling percaya mendorong pengembangan potensi individu tersebut akan menjadi lebih baik. Nilai saling percaya mendorong suasana kerja yang kondusif antara atasan dan bawahan. Nilai integritas akan membawa kerjasama suasana kerja yang kondusif antara atasan dan bawahan. Nilai integritas akan membawa kerjasama dalam suasana kompetisi yang baik. Sedangkan nilai kepedulian akan membawa semua karyawan, dalam suasana kompetisi yang baik. Sedangkan nilai kepedulian akan membawa semua karyawan, baik itu bawahan ataupun atasan untuk saling peduli. Dimana bawahan peduli akan rencana dan baik itu bawahan ataupun atasan untuk saling peduli. Dimana bawahan peduli akan rencana dan target yang dimiliki oleh atasan dan atasan juga peduli terhadap kebutuhan bawahan, antara lain target yang dimiliki oleh atasan dan atasan juga peduli terhadap kebutuhan bawahan, antara lain terhadap pengembangan karir mereka. Nilai pembelajar merupakan nilai yang sangat berpengaruh terhadap pengembangan karir mereka. Nilai pembelajar merupakan nilai yang sangat berpengaruh secara siginifikan terhadap pengembangan potensi individu. Jika karyawan memiliki tingkat nilai secara siginifikan terhadap pengembangan potensi individu. Jika karyawan memiliki tingkat nilai pembelajar yang tinggi
pembelajar yang tinggi maka akan semakin mudah untuk meningkatkan kemampuan mereka. Tingkatmaka akan semakin mudah untuk meningkatkan kemampuan mereka. Tingkat nilai pembelajar ini juga sangat berpengaruh terhadap pengembangan karir mereka, dimana setiap nilai pembelajar ini juga sangat berpengaruh terhadap pengembangan karir mereka, dimana setiap karyawan akan menilai dan meningkatkan potensi dirinya sebelum menentukan rencana karir karyawan akan menilai dan meningkatkan potensi dirinya sebelum menentukan rencana karir mereka.
mereka.
Budaya yang ada dalam buku
Budaya yang ada dalam buku code of conduct code of conduct merupakan budaya dominan yang merupakanmerupakan budaya dominan yang merupakan panduan perilaku dari para karyawan sehari-harinya. Budaya dominan merupakan kepribadian panduan perilaku dari para karyawan sehari-harinya. Budaya dominan merupakan kepribadian organisasi secara keseluruhan yang membedakan PT.PLN (Persero) terhadap perusahaan lainnya. organisasi secara keseluruhan yang membedakan PT.PLN (Persero) terhadap perusahaan lainnya. Budaya dominant ini akan dipengaruhi oleh kultur-kultur lain yang tumbuh didalam organisasi, yang Budaya dominant ini akan dipengaruhi oleh kultur-kultur lain yang tumbuh didalam organisasi, yang secara spesifik ditumbuhkan oleh perbedaaan geografis dimana unit-unit PT. PLN (Persero) berada. secara spesifik ditumbuhkan oleh perbedaaan geografis dimana unit-unit PT. PLN (Persero) berada. Budaya yang telah dipengaruhi ini akan membentuk suatu budaya lemah (
Budaya yang telah dipengaruhi ini akan membentuk suatu budaya lemah ( weak culture)weak culture) yang menjadiyang menjadi suatu sub budaya baru
suatu sub budaya baru .. Pengaruh sub budaya ini justru lebih sering dipengaruhi budaya lama yangPengaruh sub budaya ini justru lebih sering dipengaruhi budaya lama yang sudah ada sebelumnya pada unit-unit perusahaan tersebut berada. PT. PLN (Persero) Sektor Tello. sudah ada sebelumnya pada unit-unit perusahaan tersebut berada. PT. PLN (Persero) Sektor Tello. Sektor Tello merupakan sub unit yang berada di Makassar, dimana pengaruh budaya lokal juga Sektor Tello merupakan sub unit yang berada di Makassar, dimana pengaruh budaya lokal juga mempengaruhi
mempengaruhi Dominant CultureDominant Culture yang telah dibuat oleh Kantor Pusat PT. PLN (Persero) danyang telah dibuat oleh Kantor Pusat PT. PLN (Persero) dan membentuk suatu
membentuk suatu subculturesubculture. Pengaruh budaya ini antara lain adalah masih terlihat dengan jelas. Pengaruh budaya ini antara lain adalah masih terlihat dengan jelas bagaimana keterikatan keluarga yang masih kental. Pengaruh sub budaya ini juga sangat bagaimana keterikatan keluarga yang masih kental. Pengaruh sub budaya ini juga sangat
mempengaruhi pembentukan pengembangan karir karyawan. Dimana kedekatan akan karyawan yang memiliki hubungan keluarga dekat lebih diperhatikan dibandingkan yang tidak memiliki hubungan sama sekali. Pembentukan sub budaya ini semakin kuat ketika agen perubahan budaya (top management ) unit juga masih menggunakan budaya setempat. Pembahasan thesis ini akan menganalisa budaya dominan perusahaan yang telah dipengaruhi sub budaya di Sektor Tello, dimana dilihat bagaimana budaya organisasi yang terbentuk tersebut mempengaruhi pengembangan karir.
Sumber daya yang terpenting pada organisasi adalah sumber daya manusia, karena bagaimanapun baiknya organisasi, lengkap sarana dan fasilitas kerja, semuanya tidak akan mempunyai arti penting tanpa manusia yang mengatur, menggunakan dan memeliharanya. Oleh karena pentingnya kedudukan sumber daya manusia dalam mendukung keberhasilan perusahaan ataupun organisasi dalam mencapai tujuannya, maka pengeluaran perusahaan untuk menarik, mengembagkan dan mempertahankan karyawan bukan l agi dianggap sebagai biaya, tetapi investasi. Karyawan adalah asset perusaaan yang harus selalu ditingkatkan kualitasnya, yang nantinya akan berpengaruh pada produktivitas dan profibilitas perusahaan j angka panjang.
Dalam pemikiran bahwa sumber daya manusia memiliki kedudukan yang semakin penting maka pengelolaan sumber daya ini memerlukan perhatian khusus agar organisasi dapat mencapai tujuannya terutama dalam menghadapi lingkungan bisnis yang semakin kompetitif. PT. PLN (Persero) sebagai salah satu BUMN harus meningkatkan kualitas sumber daya manusianya untuk meningkatkan efesiensi, efektivitas dan performance-nya. Perubahan yang terjadi dalam tubuh PT. PLN (Persero) mendorong pencapaian visi PT. PLN (Persero) yaitu diakui sebagai perusahaan kelas dunia yang bertumbuh kembang, unggul dan terpercaya dengan bertumbuh pada potensi insani. Nilai-nilai yang muncul dan diakui sebagai pedoman dalam perilaku karyawan PT. PLN (Persero) adalah saling, percaya, integritas, peduli dan pembelajar. Melalui nilai-nilai tersebut maka diharapkan PT. PLN (Persero) dapat memberikan pelayanan jasa ketenagalistrikan yang terbaik dan memenuhi standart ketenaga listrikan yang dapat diterima dunia internasional dan mewujudkan hal itu dengan bertumpu pada kapabilitas seluruh warganya. Nilai-nilai yang diakui tersebut menjadi akar dari budaya organisasi PT. PLN (Persero) Sektor Tello. Pada dasarnya Indikator yang menjadi karakterisitik adanya budaya organisasi adalah: insiatif individual, toleransi terhadap resiko, arah integrasi, dukungan manajemen, kontrol, identitas, sistem imbalan, toleransi terhadap konflik dan
pola-pola komunikasi. Budaya organisasi melalui indikator-indikator tersebut yang akan menunjukkan apakah budaya organisasi tersebut memberi pengaruh terhadap motivasi kerja karyawan melalui metode pengembangan karir karyawan. Penelitian ini akan menganalisa hubungan antara budaya yang terjadi terhadap pengembangan karir karyawan.
A. Budaya Organisasi
Banyaknya definisi tentang budaya organisasi diajukan oleh para pakar seperti halnya Robbins (1996) yang telah mendefi nisikan budaya organisasi sebagai suatu "Persepsi bersama yang dianut oleh anggota-anggota organisasi itu dan menjadi suatu sistem dari makna bersama." Sementara itu, Schein (1991) memilih definisi yang dapat menjelaskan bagaimana budaya berkembang, bagaimana budaya itu menjadi seperti sekarang ini, atau bagaimana budaya dapat diubah jika kelangsungan hidup organisasi sedang dipertaruhkan. Untuk itu diperlukan definisi yang dapat membantu memahami kekuatan-kekuatan evolusi dinamik yang mempengaruhi suatu budaya berkembang dan berubah. Schein akhirnya memberikan definisi yang lebih dapat diterima oleh berbagai pihak yaitu bahwa budaya organisasi merupakan :
" A pattern of basic assumptions that a given group has invented, discovered, or developed in learning
to cope with its problems of external adaptation and internal integration, and that have worked well enough to be considered valid, and therefore, to perceive, think, and feel in relation to those problems."
Terdapat beberapa teori utama budaya organisasi yang telah meluas dikenal di kalangan teoritisi dan praktisi organisasi. Pertama adalah teori yang dikemukakan oleh Kluckhon-Strodtbeck (dalam Robbins 1996) yang mengemukakan enam dimensi budaya dasar. Masing-masing dimensi ini memiliki variasi yang membedakan antara budaya yang satu dengan budaya l ainnya.
Dimensi pertama adalah hubungan dengan lingkungan yang memiliki variasi dominasi terhadap lingkungan, harmoni dengan lingkungan, dan tunduk atau didominasi oleh lingkungan. Dimensi kedua adalah orientasi waktu yang memiliki variasi tentang orientasi pada masa lalu, masa kini, dan masa depan. Dimensi ketiga adalah kodrat atau sifat dasar manusia yang bervariasi tentang pandangan bahwa pada dasarnya manusia itu baik, atau buruk, atau campuran antara baik dan buruk. Dimensi keempat adalah orientasi kegiatan yang memiliki variasi adanya penekanan untuk melakukan tindakan, penekanan untuk menjadi atau mengalami sesuatu, dan penekanan pada upaya
mengendalikan kegiatan. Dimensi kelima ialah fokus tanggung jawab yang mempunyai variasi individualistis, kelompok, atau hierarkis. Dimensi terakhir yaitu konsep ruang yang tumpuan variasinya terletak pada kepemilikan ruang yang terbagi pada variasi pribadi, publik atau umum, dan campuran antara keduanya.
Teori berikutnya diungkapkan oleh Hofstede (1980 dan 1984) setelah mempelajari budaya organisasi i berbagai negara yang akhirnya melahirkan empat dimensi budaya, yaitu: individualisme, jarak kekuasaan, penghindaran ketidak-pastian, dan tingkat maskulinitas. Individualisme berarti
kecenderungan akan kerangka sosial yang terajut longgar dalam masyarakat dimana individu dianjurkan untuk menjaga diri mereka sendiri dan keluarga dekatnya. Kolektivisme berarti kecenderungan akan kerangka sosial yang terajut ketat dimana individu dapat mengharapkan kerabat, suku, atau kelompok lainnya melindungi mereka sebagai ganti atas loyalitas mutlak. Isu utama dalam dimensi ini adalah derajat kesaling-tergantungan suatu masyarakat diantara anggota-anggotanya. Hal ini berkait dengan konsep diri masyarakat : "saya" atau "kami".
Jarak kekuasaan merupakan suatu ukuran dimana anggota dari suatu masyarakat menerima bahwa kekuasaan dalam lembaga atau organisasi tidak didistribusikan secara merata. Hal i ni mempengaruhi perilaku anggota masyarakat yang kurang berkuasa dan yang berkuasa. Orang-orang dalam masyarakat yang memiliki jarak kekuasaan besar menerima tatanan hirarkis dimana setiap orang mempunyai suatu tempat yang tidak lagi memerlukan justifikasi. Orang-orang dalam masyarakat yang berjarak kekuasaan kecil menginginkan persamaan kekuasaan dan menuntut justifikasi atas perbedaan kekuasaan.
Isu utama atas dimensi ini adalah bagaimana suatu masyarakat menangani perbedaan diantara penduduk ketika hal tersebut terjadi. Hal ini mempunyai konsekuensi jelas terhadap cara orang-orang membangun lembaga dan organisasi mereka (Hof stede 1983).
Penghindaran ketidakpastian merupakan tingkatan dimana anggota masyarakat merasa tak nyaman dengan ketidakpastian dan ambiguitas. Perasaan ini mengarahkan mereka untuk mempercayai kepastian yang menjanjikan dan untuk memelihara lembaga-lembaga yang melindungi penyesuaian. Masyarakat yang memiliki penghindaran ketidakpastian yang kuat menjaga kepercayaan dan perilaku yang ketat dan tidak toleran terhadap orang dan ide yang menyimpang. Masyarakat yang mempunyai penghindaran ketidakpastian yang lemah menjaga suasana yang lebih santai dimana praktek dianggap lebih dari prinsip dan penyimpangan lebih dapat ditoleransi. Isu
utama dalam dimensi i ni adalah bagaimana suatu masyarakat bereaksi atas fakta yang datang hanya sekali dan masa depan yang tidak diketahui. Apakah ia mencoba mengendalikan masa depan atau membiarkannya berlalu. Seperti halnya jarak kekuasaan, penghindaran ketidakpastian memiliki konsekuensi akan cara orang-orang mengembangkan lembaga dan organisasi mereka.
Maskulinitas berarti kecenderungan dalam masyarakat akan prestasi, kepahlawanan, ketegasan, dan keberhasilan material. lawannya, feminitas berarti kecenderungan akan hubungan, kesederhanaan, perhatian pada yang lemah, dan kualitas hidup. Isu utama pada dimensi ini adalah cara masyarakat mengalokasikan peran sosial atas perbedaan jenis kelamin. Semangat penelitian Hofstede (dalam Gibson & Ivanicevich & Donnely 1996) ini mengundang perkembangan telaah budaya organisasi yang semakin meluas di kalangan teoritisi organisasi dan manajemen. Namun demikian beberapa kritik tetap dilontarkan berkaitan dengan keterbatasan penelitian tersebut untuk digeneralisasikan, serta keraguan akan validitas dan reliabilitas instrumen penelitian yang dipergunakan. Selain itu, kritik terutama tertuju pada kemampuan empat dimensi tersebut menjelaskan budaya yang sesungguhnya sehingga dianggap kurang mampu menj elaskan fenomena budaya yang jauh lebih kompleks.
Hofstede juga mengasilkan suatu metodologi yang dapat mengidentifikasikan tiga tingkatan budaya:
Artifacts, yaitu struktur atau proses organisasional yang dapat diamati tetapi sulit untuk di tafsirkan. E spoused Values, Suatu tingkatan budaya yang sudah menjadi tujuan, strategi atau f ilsafat.
Basic Uderlaying Assumptions, Suatu tingkatan budaya yang sduah menjadi suatu kepercayaan,
presepsi, perasaan dan sebagainya, yang menjadi sumber nilai dan tindakan.
Schein (dalam Hatch 1997) juga mengungkapkan bahwa budaya organisasi dapat ditemukan dalam tiga tingkatan. Tingkat pertama adalah artifak ( artifacts) dimana budaya bersifat kasat mata tetapi seringkali tidak dapat diartikan. Tingkat kedua adalah nilai ( values) yang memiliki tingkat kesadaran yang lebih tinggi daripada artifak. Tingkat ketiga adalah asumsi dasar dimana budaya diterima begitu saja ( taken for granted ), tidak kasat mata, dan tidak disadari. Tingkat analisis artifak bersifat kasat mata yang dapat dilihat dari lingkungan fisik organisasi, arsitektur, teknologi, tata letak kantor, cara berpakaian, pola perilaku yang dapat dilihat atau didengar, serta dokumen-dokumen publik seperti anggaran dasar, materi orientasi karyawan, dan cerita. Analisis pada tingkat ini cukup rumit karena data mudah didapat tetapi sulit ditafsirkan. Dengan analisis ini dapat diuraikan
bagaimana suatu kelompok menyusun lingkungannya dan apa pola perilaku yang dapat dilihat dari kalangan anggotanya, tetapi seringkali analisis ini tidak dapat memahami logika yang mendasarinya, mengapa suatu kelompok berperilaku seperti yang mereka l akukan.
Untuk menganalisis mengapa anggota berperilaku seperti yang mereka perlihatkan maka perlu diketahui nilai-nilai yang mengarahkan perilaku. Namun nilai sulit diamati secara langsung, oleh karena itu seringkali perlu untuk menyimpulkan mereka melalui wawancara dengan anggota-anggota kunci organisasi atau menganalisis kandungan artifak seperti dokumen dan anggaran dasar. Tetapi dalam mengidentifikasi nilai-nilai tersebut biasanya mereka menggambarkan secara akurat nilai-nilai yang didukung dalam budaya tersebut. Artinya, mereka difokuskan pada apa yang dikatakan orang sebagai alasan perilaku mereka. Apa yang secara i deal mereka harapkan merupakan alasan perilaku tersebut, dan yang seringkali merupakan rasionalisasi (baca : pembenaran) bagi perilaku mereka. Namun alasan mendasar bagi perilaku mereka tetap saja tersembunyi atau tidak disadari.
Untuk benar-benar memahami suatu budaya dan untuk lebih memastikan secara lengkap nilai-nilai dan perilaku nyata dari suatu kelompok, perlu diselidiki asumsi yang mendasarinya, yang biasanya tidak disadari, tetapi secara aktual menentukan bagaimana para anggota kelompok berpersepsi, berpikir, dan merasakan. Asumsi seperti ini dengan sendirinya merupakan reaksi yang dipelajari yang bermula sebagai nilai-nilai yang didukung ( espoused value). Tetapi ketika nilai menyebabkan perilaku dan ketika perilaku tersebut mulai memecahkan masalah, maka nilai itu ditransformasi menjadi asumsi dasar tentang bagaimana sesuatu itu sesungguhnya. Bila asumsi telah diterima begitu saja, maka kesadaran menjadi tersisih. Dengan kata lain perbedaan antara asumsi dengan nilai terletak pada apakah nilai -nilai tersebut masih diperdebatkan atau tidak. Bila nilai tersebut diterima apa adanya ( taken for granted ) maka ia disebut sebagai asumsi, namun bila ia masih bersifat terbuka dan dapat diperdebatkan maka istilah nilai lebih sesuai (Sc hein 1991).
Mengacu kepada tingkatan asumsi dasar untuk memahami budaya organisasi, Schein memberikan beberapa asumsi dasar yang membentuk budaya organisasi. Asumsi dasar ini dapat dipergunakan sebagai alat untuk menilai budaya suatu organisasi.
Beberapa dimensi asumsi dasar tersebut adalah :
1. Keterkaitan lingkungan organisasi. Aspek ini mengamati asumsi yang lebih mendasar tentang hubungan manusia dengan alam dan lingkungan. Dapat dinilai dengan bagaimana anggota-anggota kunci organisasi memandang hubungan tersebut. Terdapat tiga dimensi dari aspek ini. Pertama,
tentang bagaimana mereka memandang peran organisasi dalam masyarakat yang mana hal ini dapat dilihat melalui jenis produk yang dihasilkan atau cara pelayanan yang diberikan, atau dimana pasar utamanya, atau segmentasi pelanggan yang dibidik. Kedua, tentang apa pandangan mereka terhadap lingkungan yang relevan dengan organisasi, apakah lingkungan ekonomi, politik, teknologi, sosial-budaya, atau yang lainnya. Ketiga, bagaimana pandangan mereka tentang posisi organisasi terhadap lingkungan, apakah organisasi mendominasi, atau didominasi oleh, atau seimbang dengan lingkungannya tersebut.
2 . Hakikat realitas dan kebenaran. Aspek ini menyangkut pandangan anggota-anggota
organisasi tentang kaidah-kaidah linguistik dan keperilakuan yang menetapkan mana yang riil dan mana yang tidak, mana yang fakta, bagaimana kebenaran akhirnya ditentukan, dan apakah kebenaran diungkapkan atau ditemukan. Terdapat empat dimensi dari aspek ini. Pertama, realitas fisik yang menyangkut persoalan criteria obyektif atas fakta. Kedua, realitas sosial yang mempersoalkan konsensus atas opini, kebiasaan, dogma, dan prinsip. Ketiga, realitas subyektif yang mempersoalkan pengalaman subyektif atas pendapat, kecenderungan, dan cita rasa pribadi. Keempat, Mengenai kriteria kebenaran yang berarti bagaimana kebenaran itu seharusnya ditentukan, apakah oleh tradisi, dogma, moral atau agama, pendapat orang-orang bijak atau orang-orang yang berwenang, proses hukum, resolusi konflik, uji coba, atau pengujian ilmiah.
3. Hakikat sifat manusia. Aspek ini menyangkut pandangan segenap anggota organisasi tentang apa yang dimaksud dengan manusia dan apa atribut-atribut yang dianggap intrinsik atau puncak? Terdapat dua dimensi dari aspek ini. Pertama, tentang sifat dasar manusia yaitu apakah manusia pada dasarnya bersifat baik, buruk, atau netral ? Kedua, mengenai perubahan sifat tersebut yaitu apakah sifat manusia itu tetap (tidak dapat berubah) ataukah dapat berubah dan disempurnakan ? Mana yang lebih baik misalnya antara teori X atau teori Y ?
4. Hakikat kegiatan manusia. Aspek ini menyangkut pandangan semua anggota organisasi tentang hal-hal benar apa yang perlu dikerjakan oleh manusia atas dasar asumsi mengenai realitas, lingkungan, dan sifat manusia diatas, apakah ia harus aktif, pasif, pengembangan pribadi, fatalistik, atau yang lainnya? Apa yang dimaksud dengan kerja dan apa yang dimaksud dengan main? Dimensi utama dari aspek ini adalah sikap mental manusia terhadap lingkungan, yaitu apakah proaktif, reaktif, ataukah harmoni?
5 . Hakikat hubungan antar manusia. Aspek ini menyangkut pandangan manusia tentang apa
yang dipandang sebagai cara yang benar bagi manusia untuk saling berhubungan, untuk mendistribusikan kekuasaan atau cinta? Apakah hidup ini kooperatif atau kompetitif; individualistik, kolaboratif kelompok atau komunal ? Yang jelas terdapat dua dimensi dari aspek ini. Pertama, struktur hubungan manusiawi yang memiliki alternatif linealitas, kolateralitas, atau individualitas. Kedua, struktur hubungan organisasi yang mempunyai variasi otokrasi, paternalisme, konsultasi, partisipasi, delegasi, kolegialitas.
Selanjutnya Schein menambahkan pula dua asumsi dasar lagi dalam karyanya tersebut sebagai sub dimensi hakikat realitas dan kebenaran. Dua asumsi t ambahan ini adalah :
6. Hakikat waktu. Aspek ini berkaitan dengan pandangan anggota organisasi tentang orientasi dasar waktu. Terdapat tiga dimensi dari aspek ini. Pertama, arahan focus yang menyangkut masa lalu, kini, dan masa mendatang. Kedua, konsep dasar waktu tentang apakah waktu itu bersifat linear (monokronik), atau polikronik, atau siklikal. Ketiga, tentang apakah ukuran waktu yang relevan yang berlaku dalam organisasi tersebut, yaitu apakah mempergunakan satuan detik, menit, jam, hari, minggu, bukan, tahun, dan seterusnya.
7. Hakikat Ruang. Aspek ini berkait an dengan pandangan anggota organisasi mengenai konsep ruang. Terdapat tiga dimensi dalam aspek ini. Pertama, ketersediaan ruang yang menyangkut apakah ruang itu tersedia, ataukah tersedia namun terbatas, ataukah terbatas dalam pandangan orang-orang tersebut. Kedua, penggunaan ruang sebagai simbol yang berkenaan dengan pandangan apakah ruang itu berfungsi sebagai status dan kekuasaan, atau untuk keakraban, atau berfungsi sangat pribadi. Ketiga, fungsi ruang sebagai norma 'jarak', yaitu jarak antara formal-informal , dan jarak antara sahabat-teman, serta jarak dalam pertemuan dan hubungan dengan orang luar.
Ada tiga pendekatan dalam organisasi yaitu: pendekatan klasik, Neoklasik, dan modern. Sedangkan budaya organisasi merupakan bagian dari pendekatan modern, dimana aspek l ingkungan akan membawa pengaruh dari budaya organisasi. Pada lingkungan yang sederhana akan terlihat budaya organisasi yang sederhana pula. Organisasi memiliki suatu kepribadian seperti halnya individu. Kepribadian organisasi sama dengan budaya organisasi. Budaya organisasi adalah suatu sistem pengertian yang diterima secara bersama sedangkan karekteristik utamanya adalah inisiatif
individual, tolerasni terhadap resiko, arah, integrasi, dukungan manajemen, kontrol, identitas, sistem imbalan, toleransi kepada konflik dan pola-pola komunikasi.
Hal tersebut disampaikan oleh Robbins, (1994:480) yang mengungkapkan bahwa budaya organisasi merupakan suatu perangkat nilai yang dianut bersama dan bersifat dominan dan koheren yang terungkap dalam bentuk simbolik, seperti cerita, mitos, legenda, slogan, lelucon dan dogeng. Defisini lain menegaskan, budaya organisasi merupakan pola dari asumsi dasar bentukkan, penemuan atau pengembangan oleh suatu kelompok dalam proses mengatasi masalah-masalah external dan internal, artinya bahwa persoalan-persoalan dapatasi dan survival bersifat external sedangkan persoalan-persoalan organisasi bersif at internal.
Jadi budaya organisasi merupakan solusi yang secara konsisten dapat berjalan dengan baik bagi sebuah organisasi dalam persoalan-persoalan external dan internal sehingga menjadi pelajaran bagi setiap individu dalam organisasi sebagai suatu cara berfikir dan merasakan dalam hubungannya dengan masalah external survival. Yaitu bagaimana memahami misi dan startegi organisasi, tujuan organisasi dan sasaran-sasaran untuk memantau kemajuan organisasi melalui jaringan informasi. Juga masalah internal integrasi, yaitu bagaimana menggunakan bahasa yang sama, norma-norma yang berlaku, cara mendelegasikan wewenag, pemberian penghargaan dan imbalan, serta cara-cara mengatasi persoalan yang ti dak diramalkan sebelumnya.
Budaya organisasi menurut Denison (1990:2) mengartikan sebagai berikut: Budaya organisasi menunjukkan nilai-nilai kepercayaan dan prinsip-prinsip yang mendasari suatu sisitem manajemen organisasi sebagiamana halnya praktek-praktek menajemen dan perilaku yang mempertegas dan memperkuat prinsip-prinsip dasar tersebut.
Berbagai pengertian tersebut menyiratkan beberapa hal, pertama budaya organisasi berkaitan dengan nilai yang dianut oleh warga organisasi. Nilai-nilai tersebut menginspirasikan individu untuk menetukan tindakan dan perilaku yang dapat diterima. Kedua, nilai yang membentuk budaya oleh budaya organisasi sering sekali diterima begitu saja, tidak tertulis tapi merupakan hasil suatu kompromi bersama para individu organisasi. Ketiga, adanya atribut sebagai bahasa komunikasi untuk mentransfer nilai-nilai budaya. Atribut yang digunakan organisasi mengandung pesan atau makna yang dapat dipahami segenap anggota organisasi.
Uraian tersebut diatas, menggambarkan bahwa budaya organisasi merupakan solusi yang secara konsisten dapat berjalan dengan baik bagi sebuah organisasi dalam menghadapi
persoalan-persoalan external dan internal sehingga menjadi pelajaran bagi setiap inidvidu dalam organisasi sebagai suatu cara berfikir dan merasakan hubungannya dalam masalah external. Selanjutnya bagaimana memahami misi dan strategi, tujuan organisasi, proses pengambilan keputusan, pengembangan struktur organisasi dan sarana-sarana untuk memantau kemaj uan organisasi melalui jaringan informasi. Juga masalah internal integrasi, yaitu bagaimana menggunakan bahasa yang
sama, norma-norma yang berlaku, cara-cara mengatasi persoalan yang tidak diramalkan sebelumnya.
Selanjutnya Simamora (1997:511) mengemukakan tiga tahap pegawai memasuki suatu organisasi yaitu:
Tahap pertama, selama tahap memasuki (getting in phase) karyawan mencoba mendapatkan
gambaran realistik mengenai organisasi. Tahap kedua, selama tahap berlatih (breaking in phase)
karyawan menjalin hubungan dengan rekan sejawat, menunjukan kompetensi dan menentukan peran dan kariernya. Tahap ketiga, yaitu tahap mengatur (setting in phase) karyawan menyelesaikan
konflik-konflik didalam dan diluar pekerjaan. Disini akan dituntut menjernihkan pekerjaan, keluarga dan memprioritaskan tanggung jawab dan aktifitas pekerjaan.
Faktor Budaya Organisasi terhadap manajemen Karir
Pada dasarnya faktor-faktor situasional dalam organisasi yang sangat berpengaruh terhadap pengembangan karir. Faktor-faktor situasional menurut Robbins (1994:50) menyebutkan antara lain: sebuah krisis yang dramatis, adanya pergantian kepemimpinan yang menerapkan nilai-nilai baru, umur organisasi yang bersangkutan, tahap dana ulang, ukuran organisasi, bersangkutan, ukuran organisasi, kekuatan dari budaya yang berlaku serta tidak ada sub budaya.
Budaya organisasi yang kuat akan dipengaruhi pada tingkat manajemen, yang akan menggerakan organisasi kearah yang baru. Ditempat-tempat yang subbudayanya kuat, penggunaan rotasi pekerjaan yang eksternal akan membantu untuk mengubah budaya tersebut. Reorganisasi jika dikombinasikan dengan penggantian atau pemindahan orang-orang pada posisi penting dapat digunakan untuk meningkatkan kekuatan dalam perubahan organisasi. Pengelolaan manajemen perlu mengganti proses seleksi dan sosialisasi serta sistem evakuasi dan imbalan untuk membantu para pegawai yang mendukung nilai-nilai baru. Dalam kompetisi global dan perubahan-perubahan
kondisi ekonomi menyebabkan banyak organisasi dari bermacam-macam ukuran dan budaya melakukan langkah restrukturisasi. Perubahan-perubahan ini berarti bahwa organisasi dewasa ini mesti mengetahui cara terbaik untuk mendayakan karyawan-karyawan pada semua jenjang karir dalam organisasi.
Schein (1997:31) menyimpulkan bahwa seorang pegawai untuk menjadi pemimpin yang akan datang harus memiliki presepsi pembelajaran. Pr esepsi itu memerlukan:
1. Tingkat presepsi yang baru dan realitas dalam dunia nyata terhadap dirinya sendiri. 2. Tingkat extraordionary motivasi untuk menanggapi belajar dan perubahan.
3. Penekanan emosi untuk membawa dirinya dan rekan kerja lainnya untuk belajar dan berubah menjdai lebih baik.
4. Keahlian baru untuk menganalisa dan merubah asumsi budaya.
5. Perasaan memiliki dan kemampuan untuk menginvolve terhadap partisipasi yang bersangkutan.
6. Kemampuan untuk belajar terhadap asumsi budaya organisasi.
KULTUR BUDAYA
Kategori nilai yang dapat diwujudkan atas pertimbangan kebutuhan, logika
dan moral menyebabkan budaya tersebut dikatakan an sich (tidak bisa disebut buruk
atau baik). Berdasakan kebutuhan ada pihak yang mengatakan sesuatu itu
merupakan hal yang penting, namun ada pihak lain yang mengatakan hal tersebut
tidak penting. Sedangkan secara logika hal tersebut sangat subjective dimana ada
yang mengatakan suatu hal salah dan ada yang menyatakan hal tersebut justru
benar. Dengan demikian pertimbangan moral terkadang berada pada posisi baik
menurut satu pihak, tapi buruk menurut pihak lain. Nilai-nilai yang tercantum dalam
buku code of conduct PT.PLN (persero) antara lain adalah saling percaya, integritas,
peduli dan pembelajar.
Dari nilai-nilai tersebut nilai pembelajaran mengalami ketertinggalan nilai dan
organiasasi yang terletak pada indikator nomor 3, yaitu pertanyaan µSaya melihat
perusahaan lebih berorientasi kepada keberhasilan masa lalu tanpa melihat
tantangan kedepan¶ mendapatkan point rata-rata sebesar 3,5 (nilai berada pada
posisi antara ragu-ragu dan setuju). Nilai pembelajaran mengalami ketertinggalan
nilai karena nilai tersebut tidak melekat pada setiap individu dalam organisasi,
artinya cipta tertinggal ketimbang karsa yang ada didalam diri setiap karyawan.
Sedangkan nilai pembelajaran mengalami keterhilangan nilai karena nilai-nilai
tersebut semakin terkikis akan keberhasilan yang diraih di masa lalu.
Namun jika ditinjau secara individu nilai pembelajaran ini telah dimiliki oleh
setiap individu (variabel 4). Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas pegawai dan sifat
dasar pegawai karyawan PT.PLN (Sektor Tello) cukup baik, dimana para pegawai
cenderung memacu diri, meningkatkan aktualitas diri serta cenderung untuk
meningkatkan suasana kerja yang kondusif untuk bekerja.
Nilai peduli yang diwakili oleh variabel pertama memiliki point dibawah 3,5. Ini
berarti pegawai PT.PLN (Persero) Sektor Tello cenderung apatis terhadap pekerjaan
lain diluar tanggung jawabnya, dan pegawai melihat masih terdapat eksklusifitas
dalam tubuh organisasi yang diciptakan oleh kelompok tertentu. Nilai peduli ini
mengalami kekosongan nilai, artinya menunjukkan ketidak serasian atau
keterpaduan nilai sebagai muatan dengan budaya sebagai sarana muatan tersebut.
Nilai saling percaya yang diwakili indikator unfavorable nomor 14 yaitu
µLingkungan pekerjaan saya melihat bahwa pengalaman kerja senior lebih
dipertimbangkan dan lebih dihargai dibandingkan usulan junior untuk menghasilkan
suatu keputusan¶ menunjukkan bahwa ketiga indikator memiliki nilai point dibawah
Nilai percaya tersebut tidak melekat pada diri karyawan senior dan nilai percaya itu
semakin hilang karena semakin disingkirkan dan dibuang oleh karyawan senior.
Nilai-nilai tersebut merupakan nilai yang ada dalam budaya dominan PT.PLN
(Persero). Namun yang masih terbentuk pada unit-unit perusahaan adalah justru
budaya sub dominan, dimana budaya ini berpengaruh terhadap lingkungan internal
maupun eksternal didaerah dimana unit tersebut berada. Lingkungan internal yang
mempengaruhi subdominan budaya dibentuk dari suatu sistem dimana budaya
sebagai output. Budaya sebagai output yang dimaksud adalah budaya yang
terbentuk merupakan suatu learning process, dimana budaya diproses secara sadar
menurut proses belajar, belajar dari pengalaman, belajar dari keberhasilan dan
belajar dari kegagalan. Pembelajaran yang dialami oleh unit tersebut akan
membentuk suatu budaya sendiri. Sebelum budaya yang ada dalam code of conduct
yang dikeluarkan oleh PT. PLN (Persero) Kantor Pusat, PLN sektor Tello telah
memiliki budaya out put ini. Dan budaya in masih berada pada level artifact , dimana
budaya ini belum dinyatakan secara jelas, baik dalam tujuan ,strategi ataupun visi
misi. Budaya yang terbentuk telah masuk kedalam individual level of mental
programing dan collective level of mental programing. Sebelum masuk pada
espoused value level , budaya ini mengalami suatu proses asimilasi dimana budaya
yang sudah ada pada unit perusahaan akan menyatu dengan budaya dominant
yang ditetapkan (dalam code of conduct) oleh induk perusahaan (PT. PLN (persero)
Kantor Pusat). Identitias masing-masing budaya relatif ada yang berubah, tetap,
menyatu ataupun hilang.
Asimilasi budaya ini akan berjalan dengan baik jika proses sosialisasi,
internalisasi, kontrol dan pertahanan terhadap budaya dijalankan dengan baik.
mungkin (aspek kuantitafif) dan mencapai sedalam mungkin lubuk hati (aspek
kualitatif) seluruh karyawan. PT. PLN (persero) Kantor Pusat telah melakukan
sosialisasi budaya dominan tersebut tetapi baru pada tahap aspek kuantitatif saja
(penyebaran buku code of conduct ), tetapi aspek kualititatif belum dilaksanakan.
Bahan yang disosialisasikan atau diajarkan kepada semua karyawan harus meliputi
berbagai sistem nilai. Proses internalisasi adalah proses menanamkan dan
menumbuh kembangkan suatu nilai atau budaya menjadi bagian diri orang yang
bersangkutan. PT. PLN (persero) Kantor Pusat seharusnya melakukan berbagai
penddikan, pengajaran, pengarahan, indoktrinisasi, brain washing, dan lain
sebagainya. Kontrol budaya yang dimaksud adalah pada saat budaya tersebut dapat
dan mau mengendalikan perilaku karyawan. Setiap kegiatan atau aktivitas pegawai
PT.PLN (persero) Sektor Tello harus terkontrol oleh budaya yang telah
disosialisasikan tersebut. Pertahanan budaya adalah proses mempertahankan
eksistensi dan kepribadian organisasi. Pertahanan budaya ini terbagi atas dua hal
yaitu insisiting dimana hal yang menyangkut identitas dan eksistensi karyawan PT.
PLN (persero) Sektor Tello harus dipertahankan, dan hal yang kedua reinventing,
yaitu jika hal yang menyangkut perubahan lingkungan.
Organisasi PT. PLN (persero) Sektor Tello mengalami benturan budaya
(bukan konflik budaya) dimana benturan ini terjadi antara nilai lama (budaya sebagai
out put) dengan nilai baru (budaya sebagai input). Dalam proses kontak budaya,
perbedaan budaya secara obektif dapat menimbulkan benturan budaya. Budaya
dominan yang ditetapkan PT. PLN (persero) Kantor Pusat pada saat hendak
dikomunikasikan ke Unit lain (PT. PLN Sekor Tello) sedikit banyak pada level
tertentu harus diubah agar dapat diaplikasikan kedalam lingkungan budaya lain yang
Menurut presepctive subjectif, karir terdiri dari perubahan-perubahan nilai,
sikap dan motivasi yang terjadi karena orang semakin tua. Hal ini menganggap ada
beberapa tingkat pengendalian terhadap nasib setiap individu sehingga
memaksimalkan keberhasilan dan kepuasan yang berasal dari karir mereka.
Prespektif tersebut lebih jauh menganggap setiap aktivitas-aktivitas management
sumber daya manusia dalam suatu organisasi harus mengenali tahap karir dan
membantu karyawan dengan tugas-tugas pengembangan yang mereka hadapi pada
setiap karir.
Pada penelitian ini terlihat pegawai telah memiliki perencanaan karir dan
cenderung berusaha mencari peluang dengan mengembangkan keahlian mereka
untuk mencapai prestasi yang diinginkan. Namu pegawai belum merasa yakin jika
perusahaan telah memiliki sistem penghargaan yang jelas dalam menilai prestasi
kerja pegawai. Hal ini menunjukkan pegawai belum mengerti kriteria yang
dipertimbangkan oleh perusahaan sebagai prestasi kerja yang memuaskan dan
pegawai juga belum mengetahui prestasi kerja minimum yang dapat diterima
perusahaan.
Dalam keadaan ideal hubungan antara pegawai dan organisasi adalah saling
menguntungkan sehingga dapat mencapai produktivitas kerja yang tinggi. Saling
menguntungkan disini diartikan bahwa bagi pegawai, organisasi merupakan tempat
atau wadah dimana pegawai tersebut berpijak dan bergantung mencari karirnya.
Sedangkan bagi organisasi, pegawai merupakan alat yang dapat mengembangkan
dan membesarkan organisasi. Jadi maju dan mundurnya organisasi bergantung
pada kemampuan pegawai dalam pengelolaannya.
Dalam hasil penelitian terlihat adanya hubungan antara budaya yang
diantara organisasi dan pegawai tidak ada keharmonisan dalam menjalin hubungan
kerjasamanya. Pegawai yang sudah bekerja dengan baik tetapi prestasinya tidak
mendapat penghargaan yang sewajarnya dari organisasi. Ketidakharmonisan antara
pegawai dan organisasi akan mempengaruhi proses manajemen karir pegawai.
Proses pengembangan karir pun akan terhambat yang disebabkan ketidakpedulian
organisasi. Manajemen karir pegawai akan tersendat dan bahkan mati apabila ada
intrik-intrik, hubungan antar teman, nepotisme, feodalisme yang mempengaruhi karir
seorang pegawai dari pada pengakuan prestasi kerjanya. Jadi politik yang parah
dalam organisasi mengakibatkan perencanaan karir menjadi rusak. Sehingga tidak
ada lagi pegawai yang bekerja secara profesioal.
Sistem penghargaan yang jelas akan mempengaruhi prestasi kerja pegawai,
sehingga akan jelas pula sistem pengembangan karir pegawai. Pegawai yang
memiliki pendidikan tingkat tinggi dan diklat yang cukup serta memiliki prestasi kerja
yang baik harus diberikan penghargaan yang sesuai disamping gaji dan insentif
yang memadai yaitu berupa promosi jabatan.
Pengembangan karir pegawai terkadang memuculkan suatu konflik baru
diantara pegawai. Konflik timbul jika seseorang menghambat orang lain yang
berkepentingan sama atas dan untuk memperoleh alat pemenuh kebutuhan yang
sama. Konflik dapat dicegah dan diubah menjadi kondisi kompetetif jika semua pihak
bersedia mentaati aturan main yang ditetapi bersama. Kondisi dominatif terbentuk
jika aturan main tidak diindahkan oeh satu pihak yang menggangap dirinya kuat dan
memaksakan kehendaknya terhadap pihak lain yang lemah. Pihak yang
menganggap dirinya kuat ini biasanya merupakan salah satu anggota kelompok
yang mempunyai kepentingan lain (seperti ideologi, kesukuan atau kepentingan
memiliki pengaruh yang dominan terhadap kontrol dari aturan main tersebut.
Perencanaan karir individu terkadang terbentur oleh manajemen karir yang
terpengaruh oleh kondisi dominatif dari salah satu pihak.
BAB VI
PENU
TUP
A.
Kesimpulan
1. Berdasakan penelitian diketahui bahwa budaya organisasi mempunyai pengaruh
terhadap pengembangan karir karyawan. Hal ini dapat dilihat dengan menggunakan
parameter-parameter berupa asumsi-asumsi dasar yang dapat dipergunakan
sebagai alat untuk menilai budaya suatu organisasi.
2. Hakikat universalise/partikularisme yang berkaitan dengan bagaimana memandang
atau memperlakukan karyawan dengan kriteria sama atau berbeda merupakan
variabel yang dominan terhadap pengambangan karir karyawan PT. PLN (Persero)
Sektor Tello Jika hakikat ini cenderung universalime maka pengembangan karir
karyawan akan berjalan dengan baik.
B.
Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas maka terdapat beberapa saran bagi pihak PT.PLN
(persero) Sektor Tello serta pihak lain yang terkait :
1.
Manajemen PT.PLN (Persero) Sektor Tello dipandang perlu untuk lebih
perusahaan (code of conduct) oleh PT. PLN (Persero) Kantor Pusat, sehingga
budaya sub dominan tidak membawa distorsi yang signifkan terhadap pola
manajemen perusahaan.
2. Komponen hakikat universalisme/pluralisme harus diperhatikan manajemen PT.PLN
(Persero) Sektor Tello, dimana semua karyawan dinilai dengan kriteria atau ukuran
yang sama dalam manajemen karir karyawan. Sehingga pola manajemen yang
cenderung kaku, tersentralisir, tertutup, dan tidak demokratis dapat dihindarkan.
Pegawai-pegawai yang sebenarnya pekerja keras, cerdas dan jujur diharapkan
dapat berhasil meniti karir dengan baik.
Kepuasan kerja akan meningkat apabila budaya organisasi diperkuat. Hasil ini memberikan
implikasi untuk meletakkan satu bentuk budaya organisasi yang kuat pada perusahaan.
Tinjauan terhadap indikator penyusun variabel budaya organisasi menunjukkan bahwa
profesionalisme yang ada pada PT. PLN APJ Semarang memiliki skor penilaian yang relatif
paling rendah. Hasil ini menunjukkan perlunya upaya perusahaan untuk menjadi sebuah
organisasi yang menjunjung tinggi profesionalisme. Langkah yang perlu dilakukan untuk
mendapatkan perusahaan dengan profesional antara lain de ngan menciptakan sumber daya
manusia yang profesional yang dapat diperoleh dengan pelatihan maupun
perekrutanperekrutan
baru dengan latar belakang pendidikan yang sesuai.
2. Kepuasan kerja akan meningkat apabila gaya kepemimpinan diperkuat. Hasil ini
memberikan
implikasi untuk memperinci jenis gaya kepemimpinan yang sesuai dengan kondisi
perusahaan. Tinjauan terhadap indikator penyusun variabel gaya kepemimpinan otoriter
memiliki skor penilaian yang relatif paling rendah. Hasil ini menunjukkan perlunya adanya
bentuk kesimbangan gaya kepemimpinan dalam beberapa unit kerja.
3. Peningkatan kepuasan kerja akan meningkatkan komitmen organisasi. Hasil ini
memberikan
implikasi akan perlunya menciptakan kepuasan kerja bagi setiap karyawan. Hasil empiris
menunjukkan bahwa kepuasan akan kesempatan promosi masih menempati hasil yang relatif
paling rendah. Untuk itu untuk memberikan hak setiap karyawan untuk mendapatkan
promosi pangkat yang lebih tinggi, perusahaan perlu memberikan syarat-syarat yang
96
transparan dan jelas bagi karyawan untuk pemenuhan kriteria yang berhak mendapatkan
promosi.
4. Kinerja karyawan akan meningkat apabila budaya organisasi diperkuat. Hasil ini
memberikan implikasi akan perlunya untuk lebih menanamkan budaya organisasi kepada
para karyawan PT. PLN (Persero) APJ S emarang. Tinjauan terhadap indikator penyusun
variabel budaya organisasi yaitu integritas memiliki skor penilaian yang relatif paling rendah.
Hasil ini menunjukkan perlunya meningkatkan integritas para karyawan PT. PLN (Persero)
APJ Semarang di seluruh unit kerjanya.
Daftar Pustaka
y
Robbins, Stephen P. (1994) Teori Organisasi, Struktur, Desain dan Aplikasi
Alih Bahasa : Yusuf Udaya, Jakarta. Penerbit Arcan.
M