I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Prostatitis adalah suatu kondisi medis yang ditandai dengan peradangan pada kelenjar prostat. Kelenjar prostat adalah organ berbentuk seperti kenari yang merupakan bagian dari sistem reproduksi pria dan terletak tepat di bawah kandung kemih. Prostat merupakan suatu struktur dengan dua lobus yang mengelilingi uretra (suatu saluran yang menyalurkan urin dari kandung kemih keluar tubuh melalui penis) dan menghasilkan paling banyak cairan yang terkandung di dalam air mani. Air mani adalah cairan yang berwarna seperti susu yang mengandung protein dan nutrisi yang memelihara dan mengangkut sperma keluar dari penis sewaktu ejakulasi (Nickel, 2013).
Pada prostatitis, pembengkakan kelenjar prostat akibat peradangan menyebabkan rasa nyeri dan kesulitan berkemih. Kebanyakan pria juga menunjukkan gejala nyeri pada saat ejakulasi sewaktu melakukan hubungan seksual. Prostatitis Bakterialis Akut adalah bentuk yang jarang terjadi tetapi merupakan bentuk yang paling berat yang disebabkan karena infeksi bakteri yang tiba-tiba. Hal ini mudah untuk dikenali melalui awitan gejala yang timbul secara tiba-tiba, seperti nyeri saat berkemih, nyeri punggung bagian bawah, demam dan menggigil. Prostatitis Bakterialis Kronis yang juga disebabkan oleh infeksi bakteri tetapi gejalanya timbul secara bertahap dan bertahan selama lebih dari 3 bulan (Sudoyo, 2009).
Prostatitis Kronis adalah bentuk paling sering dari prostatitis dan tidak disebabkan oleh infeksi bakteri. Penyebab pastinya biasanya tidak diketahui. Gejala yang sama dengan prostatitis bakterialis akut tetapi tanpa disertai demam. Prostatitis Inflamatori Asimtomatik tidak menimbulkan gejala apapun dan biasanya ditemukan secara tidak sengaja ketika melakukan tes untuk masalah lain. Prostatitis yang disebabkan oleh bakteri dapat ditangani dengan menggunakan antibiotik. Penghilang rasa nyeri juga dapat digunakan untuk mengendalikan gejala. Penderita kondisi ini tidak memiliki risiko tinggi untuk terkena kanker prostat (Campeggi et al., 2014).
B. Tujuan
1. Mengetahui seluk beluk mulai dari definisi hingga prognosis tentang prostatitis.
2. Mengetahui tindakan preventif bagi penderita atau masyarakat awam mengenai prostatitis.
3. Mengetahui bentuk penanganan medis baik tindakan preventif maupun kuratif secara klinis bagi tenaga medis.
A. Definisi
Prostatitis bukanlah suatu kondisi tunggal tetapi merupakan sekelompok gangguan dengan gejala terkait, yaitu istilah umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu keadaan radang prostat. Peradangan kelenjar prostat ini terjadi pada pria, dimana reaksi inflamasi atau peradangan ini dapat disebabkan oleh bakteri maupun non bakteri. Prostatitis dikatakan akut karena terjadi secara mendadak dan berlangsung lebih singkat. Sementara jika prostatitis berlangsung lama atau persisten maka disebut dengan prostatitis kronis. Prostatitis akut termasuk pada prostatitis yang bersifat infektif. Artinya peradangan pada kelenjar prostat terjadi karena terinfeksi bakteri (Nickel, 2013).
B. Etiologi
Etiologi atau penyebab dari prostatitis antara lain sebagai berikut : 1. Idiopatik
Beberapa kejadian prostatitis terkadang terjadi begitu saja tanpa diketahui penyebabnya, baik ditelusuri dari anamnesis kepada penderita ataupun setelah dilakukan pemeriksaan (Nickel, 2013).
2. Agent infeksius (bakteri,fungi, mikoplasma)
Infeksi bisa terjadi akibat dari bakteri yang berasal dari usus atau melalui aliran darah yang telah menempuh perjalanan dari infeksi lain di dalam tubuh. Hal yang dapat memicu terjadinya infeksi adalah kerusakan pada prostat itu sendiri, misalnya adanya luka setelah operasi prostat dilakukan. Transmisi hubungan seksual tidak berpengaruh pada penyakit prostatitis akut (Campeggi et al., 2014).
3. Striktur uretra
Striktur uretra merupakan kondisi medis yang ditandai oleh penyempitan abnormal uretra, saluran yang mengalirkan urin dari kandung kemih keluar dari tubuh. Penyempitan saluran uretra ini dapat memicu terjadinya refluks urin ataupun penumpukan urin pada saluran uretra, sehingga dapat menyebabkan peradangan pada organ sekitar uretra seperti pada prostat akan terjadi prostatitis (Sudoyo, 2009).
4. Hyperplasia prestatik
Terjadinya hiperplasia pada kelenjar prostat akan menginduksi terjadinya inflamasi pada kelenjar prostat, sehingga dapat memicu terjadinya prostatitis (Campeggi et al., 2014).
C. Epidemiologi
Prevalensi prostatitis bervariasi di berbagai belahan dunia : 4 % di Belanda, 14 % di Finlandia, 8 % di Malaysia, 6,6 % di Kanada, dan 2,7 % di Singapura . Diperkirakan kalau separuh dari seluruh laki-laki yang ada di dunia akan mengalami gejala prostatitis sepanjang hidupnya. Pada awal tahun 1990-an di USA jumlah kunjung1990-an penderita deng1990-an prostatitis seb1990-anyak 2 juta per tahun, menandingi jumlah kunjungan penderita dengan Benign Prostatic Hiperthropy (BPH) pada tahun yang sama (Naber, 2011).
Umur penderita yang paling sering menderita prostatitis adalah kurang dari 50 tahun. Studi epidemiologis dari prostatitis dibatasi oleh pasien atau ingatan dokter kondisi dan oleh dokter kekeliruan dalam membuat diagnosis. Karena prostatitis disebabkan oleh bakteri, dan prostatitis abakterial terutama kronis, dapat hadir dengan berbagai gejala, sulit untuk memberikan angka yang tepat mengenai kejadian subtipe individual penyakit (Naber, 2011).
D. Faktor Resiko
Beberapa peneliti berpendapat prostatitis adalah penyakit non infeksius yang disebabkan oleh berbagai hal. Pertama, problem psikologis seperti stres dan depresi, keadaan psikologis yang umum dijumpai pada penderita prosatatitis. Sulit ditentukan apakah problem psikologis menyebabkan prosatatitis atau prosatatitis justru merupakan penyebab gangguan psikologis. Kedua, penyakit autoimun atau seperti sindrom Reiter sebagai penyebab prosatatitis. Hal tersebut berdasarkan beberapa kasus yang diasumsikan bakteri penyebab telah dieliminasi setelah terapi antibakteri teryata respons imun atau inflamasi prostat tetap ada. Ketiga, penyebab organik seperti disfungsi neuromusknlar leher kandung kemih, spasme uretra dan mialgia akibat menegangnya otot dasar panggul. Kempat, inflamasi yang diinduksi oleh bahan kimiawi. Akibat refluks urin ke dalam duktus prostatikus, dapat menyebabkan prostat terpajan bahan kimiawi dalam urin, seperti asam urat yang selanjutnya memicu reaksi inflamasi. Kelima, pasien prostatitis sebenarnya menderita sistitis interstisial sedangkan gejala prostatitis yang dialami hanyalah gejala ikutan dari sistitis interstisial (Krieger JN, 2012).
Sebagaimana penyakit infeksi dan proses inflamasi lainnya, gejala prostatitis berupa pembengkakan dan nyeri. Terjadi penyempitan saluran uretra sehingga menyumbat leher kandung kemih. Gejala PNB biasanya tidak terlalu jelas dan cenderung ringan sehingga sering diabaikan. Kumpulan gejalanya berupa nyeri, gangguan berkemih, dan gangguan fungsi seksual. Nyeri terbanyak dirasakan pada panggul atau pinggang belakang (Cariani, 2012).
Gangguan berkemih berupa disuria, urgensi dan rasa tidak lampias. Gangguan fungsi seksual berupa disfungsi ereksi, disfungsi ejakulasi, dan infertilitas. Semua gejala itu dapat menurunkan kualitas hidup penderita pada derajat yang sama dengan penyakit jantung koroner atau penyakit Crohn. Prostatitis juga mengakibatkan gangguan kesehatan mental penderita yang serupa dengan penderita diabetes melitus atau penyakit gagal jantung kongestif (Cariani, 2012).
F. Penegakan diagnosis 1. Anamnesis
Pasien sering merasa malu dengan masalah genitalia mereka. Oleh karena itu pertanyaan yang harus diajukan dengan hati-hati (Theodorou, 2012). Menurut Whitfield (2013) Anamnesis dari prostatitis harus mencakup pertanyaan-pertanyaan berikut :
a. Apakah ada disuria?
b. Apakah ada frekuensi berkemih? c. Apakah ada nokturia apapun?
d. Apakah ada dribbling terminal berkemih? e. Apakah ada keraguan berkemih?
f. Bagaimana penuh adalah aliran kemih?
g. Telah gejala berkembang secara bertahap atau tiba-tiba?
h. Apakah ada inkontinensia atau urgensi berkemih? Mungkin ada inkontinensia stres, ketidakstabilan detrusor, detrusor underactivity atau obstruksi uretra.
Kelainan berkemih pada pria paling sering disebabkan oleh prostatism. Hal ini menyebabkan keraguan, mengurangi kekuatan aliran urin dan dribbling terminal. Gejala prostatism dapat dinilai dengan menggunakan Skor Internasional Gejala Prostat (I- PSS) tetapi ini tidak memberikan
indikasi dari tingkat ukuran prostat atau sifat patologi yang mendasari. Obstruksi lengkap dapat menyebabkan ketidakmampuan lengkap untuk buang air atau meluap inkontinensia (Whitfield, 2013).
2. Pemeriksaan fisik
Mula-mula pasien diperiksa dalam keadaan terlentang dengan abdomen dan genetalia terbuka penuh (Theodorou, 2012).
a. Inspeksi
Inspeksi harus mencakup abdomen (massa, distensi kandung kemih) dan lipat paha (hernia, kelenjar limfe), serta penis dan skrotum. Sering kali, penyakit yang dikeluhkan dapat dilihat dengan mudah. Pada remaja dan dewasa, prepusium harus ditarik untuk memastikan tidak ada fimosis atau kelainan lain. Bila fimosis menghambat penarikan preputium, dianjurkan dilakukan sirkumsisi (Theodorou, 2012).
b. Palpasi
Pada palpasi penis dapat diidentifikasi adanya fibrosis dibatang penis pada penyakit Peyronie, tetapi umumnya tidak banyak bermanfaat. Palpasi isi skrotum ditujukan untuk mengidentifikasi struktur normal dan hubungan kelainan dengan struktur-struktur tersebut. Dengan menggunakan kedua tangan, tiap-tiap testis dipegang bergantian. Testis sangat sensitif sehingga harus dipegang dengan hati-hati. Konsistensinya harus seragam dan kenyal tanpa benjolan diskret atau indurasi yang mungkin mengisyaratkan tumor. Pembesaran difusi dan nyeri tekan hebat pada testis pria berumur mengisyaratkan orkitis, sedangkan testis yang sangat nyeri, tertarik kearah pangkal skrotum, terletak melintang pada remaja kemungkinan besar mengalami torsio (Theodorou, 2012).
Kelanjar limfe inguinal harus selalu di palpasi sebagai bagian dari pemeriksaan genitalia pria. Biasanya satu dari 2 kelenjar limfe yang menyerupai “untaian mutiara” dapat teraba di tiap-tiap lipat paha, tetapi pembesaran yang lebih generalisata dapat terjadi pada penyakit peradangan dan karsinoma penis. Tumor testis bermetastasis ke kelenjar aorto-iliaka, bukan ke lipat paha, sehingga abdomen harus dipalpasi bila dicurigai ada metastasis. Pemeriksaan prostat per rektum diindikasikan bila pasien memperlihatkan gejala obstruksi aliran kandung kemih (Theodorou, 2012).
a. Persiapan Posien dan Pengumpulan Spesimen
Untuk pemeriksaan mikroskopis dan kultur bakteri kuantitatif urin dan sekret prostat, spesimen didapatkan dengan menggunakan metode spesimen empat porsi menurut Meares-Stamey yang diperkenalkan sejak tahun 1968. Kini teknik itu jarang dilakukan tetapi pemeriksaan tersebut tetap dianggap sebagai baku emas. Pengambilan spesimen harus dilakukan dalam keadaan kandung kemih penuh. Sebelumnya harus dijelaskan pada pasien mengenai prosedur yang akan dilakukan dan menandatangani persetujuan tindakan (informed consent). Harus dilakukan tindakan aseptik pada glans penis dengan menggunakan larutan antiseptik. Bagi laki-laki yang tidak disunat maka prepusium harus ditarik ke belakang meniauhi glans penis. Kemudian dilakukan tindakan aseptik dan prepusium tetap ditahan selama berkemih dan saat pengeluaran sekret prostat. Urin dan sekret prostat penderita ditampung dalam empat wadah yang berbeda. Wadah tersebut harus steril, bermulut lebar, bertutup, ditulis identifikasi dan porsi yang ditampungnya sebagai voided bladder (YBI, VB2, dan YB3) atau expressed prostatic secretion (EPS). Penderita berkemih dan urin petama sebanyak 5-10 m1 ditampung pada wadah pertama (\tsl). Pancaran selanjutnya ditampung pada wadah kedua (VB2) sebanyak 5-10 ml. Setelah itu dilakukan pemijatan kelenjar prostat. Selama pemijatan, penderita harus menahan kencing dalam keadaan relaks dan tidak boleh mengencangkan sphincter ani atau otot-otot dasar panggul supaya diperoleh sekret prostat dalam jumlah cukup. Sekret prostat yang keluar ditampung pada wadah ketiga (EPS). Kemudian penderita berkemih lagi dan urin sebanyak 5-10 ml ditampung pada wadah keempat (VB3). Urin dan sekret prostat segar kurang dari I jam harus segera diperiksa mikroskopis dan di kultur (Domingue DJ, 2011).
b. Pemeriksaan Mikroskopis
Pemeriksaan mikroskopis pada EPS dapat membantu mengidentifikasi proses inflamasi. Jika ditemukan lekosit dalam jumlah bermakna maka disimpulkan telah terjadi respon terhadap proses inflamasi pada prostat. Berbagai kriteria angka diajukan untuk
menentukan batas jumlah lekosit dalam EPS. Sebagian besar penelitian menggunakan jumlah >20 lekosit/lapangan pandang besar. Belakangan ini banyak yang menggunakan jumlah l0 lekosit/LPB atau 1000 lekosit tanpa piuria, untuk menyatakan apakah terjadi proses inflamasi pada prostat atau tidak. Apabila EPS tidak didapatkan maka VB 1 dan \ts2 10x lebih kecil daripada VB3 digunakan untuk konfirmasi inflamasi kelenjar prostat. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Caliatli et al pemeriksaan mikroskopis pada spesimen VB3 menunjukkan sensitivitas yang lebih tinggi dibandingkan kultur yang berasal dari swab uretra. Juga lebih mampu laksana dibandingkan pemeriksaan mikroskopis pada EPS untuk menentukan apakah terjadi inflamasi atau tidak pada jaringan prostat (Domingue DJ, 2011).
c. Pemeriksaan Kultur
Kultur bakteri digunakan untuk memastikan apakah sindrom prostatitis disebabkan oleh bakteri (prostatitis bakterial akut atau prostatitis nonbakterial). Umumnya kultur yang dilakukan adalah kultur rutin pada agar darah dan agar MacConkey. Mikroorganisme yang diduga penyebab Prostatitis tumbuh pada media khusus. Hal itu yang diperkirakan mengapa bakteri penyebab Prostatitis tidak dapat tumbuh, sehingga memberi kesan seolah tidak dinfeksi bakterial (Domingue DJ, 2011).
d. Pemeriksaan Serologi dan Imunologi
Pemeriksaan Serologi dan Imunologi Antibodi terhadap C. trachomatis dapat dideteksi dengan uji fiksi komplemen Uji mikroimunofluoresefis lebih sensitif untuk mendeteksi antibodi terhadap C. trachomatis. Pemeriksaan pada infeksi U. urealyticurr dilakukan dengan metode imunologi secara enzyme-immunoassay (EIA). Selain itu dapat juga digunakan teknik western immunoblat. Pemeriksaan pada infeksi jamur menggunakan antibodi monoklonal spesies spesifik secara serologik. Antibodi imunoglobulin (Ig) M dapat dideteksi kira-kira dua minggu setelah terinfeksi jamur dan akan betahan kurang dari enam bulan. Setelah terbentuk IgM menyusul IgG dibentuk dan mencapai puncaknya 6-12 minggu serta bertahan sampai beberapa bulan. Reaksi serologik spesies spesifik pada tipe 1 : 32 mengindikasikan infeksi jamur.
Secara umum pemeriksaan serologi dan imunologi pada infeksi virus bertujuan untuk mendeteksi antigen virus yang terlarut atau terbentuknya antibodi sebagai respons imunitas ELISA, solid-phase radio immunoassay (SPRIA), radioimmunoassay (RIA), dan imunofluoresens (Domingue DJ, 2011).
G. Patogenesis
Sebagian besar infeksi pada duktus urogenital dan organ kelamin asesoris disebabkan oleh organisme yang berjalan asenden melalui uretra. Sehingga faktor mekanis seperti panjang uretra, buang air kecil, dan ejakulasi akan memberi sebagian proteksi terhadap infeksi, meskipun seberapa penting mekanisme pertahanan ini masih belum jelas. Perjalanan sebagian duktus prostatika dan duktus ejakulatorik secara oblik juga dikatakan merupakan mekanisme pertahanan mekanis. Sekresi prostat mengandung sejumlah substansi yang bersifat aktif terhadap berbagai spektrum mikroorganisme (Kriege JN, 2012).
Polipeptida mengandung zinc, yang disebut juga sebagai faktor antibakteri prostat, adalah substansi antimikroba penting yang disekresi oleh prostat. Prostat memiliki kandungan Prostat memiliki kandungan zinc lebih tinggi dibanding semua organ lain, dan sekresi prostat pada pria normal mengandung zinc dalam kadar yang tinggi. Aktivitas bakterisid dari sekresi prostat terhadap berbagai organisme gram negatif dan gram positif merupakan peran kadar zinc secara langsung. Pria yang telah terdiagnosis menderita prostatitis kronis memiliki kadar zinc di dalam cairan prostat yang signifikan lebih rendah, namun kadar zinc ini masih di dalam batas normal. Suplemen zinc oral tidak dapat meningkatkan kadar zinc di dalam sekresi prostat pria penderita prostatitis bakteri (Kriege JN, 2012).
Respons imun lokal prostat teraktivasi setelah kontak dengan patogen terutama pada parenkim prostat. Kemudian dengan segera terjadi infiltrasi limfosit pada stromaprostat. Infiltrasi sel inflamasi yang terdiri netrofil, limfosit, dan makrofag, hanya terbatas pada lapisan epitel dan zona duktus prostatikus. Terjadi akumulasi sekret prostat di sekitar lapisan epitel sehingga akan membentuk semacam gelembung yang akan menimbulkan obstruksi
kelenjar prostat. Kalkuli prosat juga turut berperan pada proses inflamasi dengan menimbulkan obstruksi di pusat duktus prostatikus. Hal tersebut menghalangi pengeluaran sekret prostat bahkan dapat menjadi tempat bersarangnya patogen bakteri sehingga mikroorganisrne dapat terhindar dari respons imun tubuh pejamu atau antibiotik (Nickel, 2013).
Bakteri patogen terakumulasi di organ genitalia eksterna ↓
Berjalan asendens di uretra pars spongios ahingga uretra pars prostatika ↓
Bakteri berjalan oblik di duktus ejakulatorius ↓
Prostat keluarkan zinc bersifat bakterisidal
↙ ↘
Bakteri tereliminasi sempurna bakteri tidak tereliminasi
↓ ↓
Pasien sembuh aktivasi respon imun lokal di prostat ↓
infiltrasi sel-sel imun inflamatorik (makrofag, neutrophil, eosinophil, basophil)
↓
Terjadi reaksi inflamasi terbatas di zona epitel duktus prostat
↓
Akumulasi sekret prostat menimbulkan gelembung
↓
Obstruksi di pusat duktus prostatikus Bagan 2.1 Patogenesis Prostatitis (Nickel, 2013).
H. Patofisiologi
Patofisiologi prostatitis masih belumjelas seluruhnya, namun diduga mekanismenya hampir serupa dengan prostatitis bakterial kronis. Pada individu normal, laki-laki maupun perempuan urin selalu steril karena dipertahankan jumlah dan frekuensi kencing. Uretro distal merupakan tempat kolonisasi mikroorganisme non-pathogenic fastidious gram positif dan gram negatif. Hampir semua ISK disebabkan invasi mikroorganisme asending dari uretra ke dalam saluran kemih yang lebih distal, misalnya kandung kemih. Pada beberapa pasien tertentu invasi mikroorganisme dapat mencapai ginjal. Proses ini dipermudah refluks vesikoureter. Proses invasi mikroorganisme hematogen sangat jarang ditemukan di klinik, mungkin akibat lanjut dari bakteriemia. Ginjal diduga merupakan lokasi infeksi sebagai akibat lanjut septikemi atau endokarditis akibat S. Aureus (Samirah, 2009).
Prostatitis secara umum digambarkan sebagai proses fokal baik akut maupun kronis. Area inflamasi sangatberdekatan dengan zona periferal, kemudian meluas ke zona periuretral. Zona periferal prostat tersusun atas sistem duktus yang drainasenya kurang baik. Jika prostat mengalami pembesaran akan mengakibatkan obstruksi uretra. Selanjutnya akan menyebabkan refluks urin ke dalam duktus prostatikus. Apabila urin yang
terkontaminasi mikroorganisme misalnya kuman penyebab PMS mengalami refluks, maka akan mengakibafkan infeksi aseending dan dimulainya proses inflamasi (Coyle et al., 2010).
Sebagaimana penyakit infeksi dan proses inflamasi lainnya, gejala prostatitis berupa pembengkakan dan nyeri. Terjadi penyempitan saluran uretra sehingga menyumbat leher kandung kemih. Gejala prostatitis biasanya tidak terlalujelas dan cenderung ringan sehingga sering diabaikan. Kumpulan gejalanya berupa nyeri, gangguan berkemih, dan gangguan fungsi seksual. Nyeri terbanyak dirasakan pada panggul atau pinggang belakang. Gangguan berkemih berupa disuria, urgensi dan rasa tidak lampias. Gangguan fungsi seksual berupa disfungsi ereksi, disfungsi ejakulasi, dan infertilitas. Semua gejala itu dapat menurunkan kualitas hidup penderita pada derajat yang sama dengan penyakit jantung koroner atau penyakit Crohn. Prostatitis juga mengakibatkan gangguan kesehatan mental penderita yang serupa dengan penderita diabetes melitus atau penyakit gagal jantung kongestif (Coyle et al., 2010).
I. Gambaran Histopatologi
Dalam prostatitis bakteri, penularan bakteri adalah umum, tetapi hematogen, limfatik, dan penyebaran bersebelahan infeksi dari organ sekitarnya juga harus diperhatikan. Meskipun berbagai rute telah didalilkan, tidak ada telah tegas dibuktikan (Krieger et al., 2011).
Sebuah riwayat penyakit menular seksual dikaitkan dengan peningkatan risiko untuk gejala prostatitis. Adanya sel inflamasi akut pada epitel kelenjar dan lumen prostat, dengan sel-sel inflamasi kronis pada jaringan periglandular, ciri prostatitis (lihat gambar di bawah). Namun, kehadiran dan kuantitas sel-sel inflamasi dalam urin atau prostat sekresi tidak berkorelasi dengan keparahan gejala klinis (Krieger et al., 2011).
Gambar 2.1 Sebuah infiltrat inflamasi campuran spesifik yang terdiri dari limfosit, sel plasma, dan histiosit khas di prostatitis bakteri kronis (Krieger et al.,
2011).
J. Penatalaksanaan 1. Terapi lama
Selain itu, terus menerapkan obat obat mengurangi peradangan dan mencegah perkembangan berbagai komplikasi. Perawatan unutk acute bacterial prostatitis adalah peresepan antibiotik-antibiotik oral, biasanya ciprofloxacin (Cipro) atau tetracycline (Achromycin). Perawatan rumah termasuk minum cairan-cairan yang banyak, obat-obat pengontrol nyeri, dan istirahat. Jika pasiennya sakit secara akut atau mempunyai sistim imun yang dikonmpromiskan (contoh, sedang mengambil kemoterapi atau obat-obat penekan imun atau mempunyai HIV/AIDS), perawatan di rumah sakit untuk antibiotik-antibiotik intravena dan perawatan mungkin diperlukan (Brede, 2011).
Selain pemberian obat obatan antibiotik, pasien mungkin juga harus diberikan paracetamol dan ibuprofen. Pemberian obat-obatan pereda sakit semacam ini diberika untuk menurunkan panas jika pasien mengalami
demam. Dalam beberapa kasus, terkadang pasien perlu diberikan obat obatan pereda sakit yang lebih kuat lagi (Brede, 2011).
2. Terapi baru
Metode yang paling modern - elektroforesis, laser dan terapi suara (pengobatan dengan lintah), perawatan spa lumpur suite. Jangan menolak untuk dokter dan metode pengobatan tradisional - pijat prostat, fisioterapi, akupuntur (Brede, 2011) :
a. Fisioterapi perawatan
Penggunaan teknologi baru sangat populer seperti metode kompleks pengobatan prostatitis kronis, yang terdiri dari terapi medis dan fisik.
b. Efek magnetik
Metode atas dasar medan magnet. Tindakan ini dilaksanakan pada tingkat molekuler, dan di bawah pengaruh perbaikan sel listrik, mempercepat proses menghilangkan produk-produk limbah. Hasil dampak tersebut menjadi normalisasi metabolisme, penghentian proses inflamasi, pemulihan jaringan yang sakit. Pasukan medan magnet untuk bekerja pertahanan tubuh tanpa menggunakan obat - pil dan suntikan. c. Efek termal
Selain yang diuraikan di atas metode hari prostatitis diperlakukan oleh proses termal. Efek perlakuan panas pada tingkat jaringan. Panas mengaktifkan metabolisme protein, blok transmisi nyeri (maka efek analgesik). Kapiler membesar, meningkatkan sirkulasi darah, yang menyebabkan metabolisme lebih cepat dan mobilisasi sumber daya tubuh pasien. Kedua metode ini perawatan magnetik dan termal -meningkatkan pengaruh obat dengan mengorbankan sifat-sifatnya.
d. Obat modern
Farmakologi saat ini terus mencari obat baru - yang aman dan terjangkau. Salah satunya adalah patch khusus, diciptakan oleh apoteker Cina. Patch ini memecahkan masalah kesehatan pria, mudah digunakan dan efektif dalam pengobatan prostatitis akut. Namun, tidak ada efek negatif pada perut, hati, ginjal, tidak disediakan.
K. Komplikasi
1. Postatitis Bakteri Kronis a. Definisi
Prostatitis Bakteri Kronis Prostatitis bakteri kronis merupakan penyebab penting menetapnya bakteri di dalam saluran kencing bagian bawah pada pria. Prostatitis bakteri kronis dapat menyebabkan disfungsi sekresi kelenjar prostat. Perubahan yang terjadi berupa peningkatan pH sekresi prostat, perubahan rasio isozymes lactic dehydrogenase (LDH), dan peningkatan kadar immunoglobulin. Perubahan yang lain adalah penurunan berat jenis spesifik sekresi prostat, faktor antibakteri prostat, kadar kation ( zinc, magnesium, dan kalsium), asam sitrat, spermine, kolesterol, acid phosphatase, dan lysozyme. Temuan ini menunjukkan kalau prostatitis bakteri berhubungan dengan disfungsi sekresi kelenjar prostat secara menyeluruh (Ivo, 2011).
b. Tanda dan Gejala
Gejala yang khas adanya infeksi saluran kencing yang rekuren. Angka kejadiannya diperkirakan 5–10% dari seluruh penderita prostatitis. erita prostatitis. Tanda bervariasi dimulai dari disuri atau kadang tidak ada gejala sama sekali, bisa juga nyeri waktu ejakulasi, hemospermia atau nyeri pelvic. Kadang penderita tidak menunjukkan gejala sama sekali (Ivo, 2011).
c. Etiologi
Agen penyebabnya sama dengan prostatitis bakteri akut. Kuman batang gram negatif, termasuk enterrobakteria dan pseudomonas merupakan kuman pathogen paling penting. Kuman kokus gram positif, seperti Streptococcus faecalis atau Stapfilococcus saprophiticus merupakan penyebab pada sebagian kasus (Ivo, 2011).
d. Penegakkan diagnosis
Pemeriksaan saluran kencing selama serangan bakteriuria kandung kemih tidak akan bermanfaat, penderita dievaluasi jika urine pencar tengah telah steril. Kadang perlu menghilangkan kuman yang ada di dalam urine kandung kemih dan uretra dengan memberi obat, seperti penisilin G atau nitrofurantoin agar didapatkan pemeriksaan diagnostik (Shukla, 2011).
Penderita prostatitis bakteri kronis yang dilakukan pemeriksaan patologi dilakukan pemeriksaan magnetic resonance (MR) imaging menunjukkan metabolik yang abnormal menunjukkan false-positive diagnosis kanker. Paling umum MR imaging pada penderita prostatitis
didapatkan signal intensity (SI) fokal yang rendah dan ini tidak menunjukkan spesifik untuk kanker (Shukla, 2011).
e. Tata laksana
Terapi antimikroba untuk infeksi bakteri lokal sangat tergantung pada kadar obat mencukupi yang sampai ke tempat infeksi. Namun banyak obat Namun banyak obat memiliki daya penetrasi yang jelek ke parenkim prostat. Sementara antimikroba lain yang mampu mencapai level memadai di jaringan, seperti eritromisin, namun memiliki spektrum yang kurang memadai untuk kuman pathogen di prostat. Trimethoprim – sulfamethoxazole telah menjadi “baku emas”. Trimethoprim memiliki 2 sifat yang bermanfaat: mampu mencapai parenkim prostat dengan kadar yang memadai, dan efektif terhadap sebagian besar pathogen yang umum dijumpai di prostat. Terapi jangka panjang trimethoprim (80 mg) ditambah sulfamethoxazole (400 mg) per oral 2 kali sehari selama 4–16 minggu ternyata lebih baik untuk memperpendek masa terapi (Ivo, 2011). 2. Inflammatory Chronic Pelvic Pain Syndrome
a. Definisi
Inflammatory Chronic Pelvic Pain Syndrome secara khas tidak menyebabkan disuria seperti cystitis. Disertai dengan gejala yang paling menonjol berupa nyeri pelvis yang kronis (perineal, testikular, penis, perut bawah dan ejakulasi).Penderita merasa tidak nyaman pada pelvis biasanya berlangsung kurang dari 3 bulan. Diperkirakan angka kejadiannya 40–65% dari seluruh penderita prostatitis (Dimitrakov, et al, 2012).
b. Etiologi
Penyebabnya tidak diketahui, mungkin infeksi dengan Chlamydia trachomatis, Mycoplasma hominis, Trichomonas vaginalis atau virus. Diagnosis banding yaitu sistitis interstitial dan karsinoma in situ kandung kemih (Dimitrakov, et al, 2012).
c. Tanda dan Gejala
Gejala dan tanda sistemik tidak ada. Pemeriksaan genital tidak begitu bermakna, dan prostat masih dalam batas normal saat dilakukan pemeriksaan rektum (Shukla, 2011).
d. Penegakkan Diagnosis
Penyakit ini dapat disertai gejala iritasi saluran kencing bagian bawah. Sehingga untuk penderita tertentu perlu dilakukan pemeriksaan
sitologi dan pemeriksaan endoskopik dengan cermat, dan mengambil spesimen kandung kemih yang adekuat untuk pemeriksaan biopsi (Shukla, 2011).
e. Tata laksana
Tabel 2.1 Pilihan pengobatan oral untuk prostatitis kronik sindroma nyeri pelvis kronik (Capodice JL, et al, 2010).
Terapi ternyata memberi hasil yang tidak memuaskan bagi sebagian besar penderita. Obat antimikroba dianggap sebagai terapi pilihan pertama (tabel 5). Penderita yang telah diketahui ada uropatogen akan memberi respon terhadap terapi spesifik, namun sebagian kecil penderita diagnosis harus ditegakkan dengan akurat terlebih dulu karena diagnosis organisme secara selektif terbukti sulit diterapkan secara klinis. Bagi pria yang tidak menunjukkan bukti infeksi kuman patogen tertentu, terapi antimikroba sering kali membuahkan kesembuhan sementara. Namun gejala seringkali kambuh kembali setelah terapi dihentikan. Penderita dan dokter yang merawat sering kali kebingungan setelah memberi berulang kali terapi empiris namun mengalami kegagalan (Dimitrakov et al., 2012).
3. Non-inflammatory Chronic Pain Syndrome a. Etiologi
Penyebabnya tidak diketahui, diduga penjelasan untuk sindroma ini termasuk tidak sinerginya antara baldder detrusor dan otot spinkter internal ( stress prostatitis), atau pelvic floor tension myalgia (Dimitrakov et al., 2012).
b. Tanda dan Gejala
Gejalanya ditandai dengan keluhan nyeri pelvis yang kronis (perineal, testikular, penis, perut bagian bawah dan ejakulasi). Menyebabkan disuria tidak seperti pada cystitis, hesitancy urine, buang air kecil yang menetes, dan pancaran yang lemah. Pada penderita ini sekresi prostat nampak normal tanpa disertai peradangan. Gejala juga mungkin karena eksaserbasi aktivitas seksual. Pemeriksaan fisik urogenital umumnya tidak bermanfaat. Rasa tidak nyaman atau nyeri di daerah pelvis berlangsung 3 bulan. Diperkirakan kejadiannya 20–40% dari semua kasus prostatitis sindroma (Dimitrakov et al., 2012).
c. Tata laksana
Terapi yang sekarang diberikan hasilnya kurang memuaskan. Terapi yang direkomendasikan Terapi yang direkomendasikan mencakup masase prostat, obat anti-inflamasi, obat antikolinergik, pelemas otot, reseksi prostat transuretra, mandi duduk, diatermi, olah raga, fisioterapi, dan psikoterapi. Sebagian dokter merekomendasikan agar memperbanyak frekuensi ejakulasi untuk mengurangi “kongesti”, sementara sebagian yang lain merekomendasikan agar tidak melakukan ejakulasi, menghindari alkohol, kopi, teh, makanan pedas, dan sebagainya. Bukti objektif yang menunjukkan bahwa tindakan ini dapat berdampak pada perjalanan penyakit hanya sedikit. Terapi non-antimikroba adalah dengan pemberian obat pemblok alfa-adrenergik untuk mengobati disfungsi neuromuskuler yang oleh sebagian ahli dianggap sebagai penyebab. Sejumlah kecil penelitian menunjukkan bahwa penderita akan mendapat manfaat dari obat pemblok alfa-adrenergik seperti fenoksibenzamin, fentolamin, atau terazosin (Dimitrakov et al., 2012).
Prognosis pada pasien dengan kejadian pertama dari prostatitis bakteri akut baik, dengan terapi antibiotik yang agresif dan kepatuhan pasien yang baik. Pada pasien dengan prostatitis kronis berulang yang mungkin hadir dengan eksaserbasi akut, faktor yang mendasari penyebab mempengaruhi hasil (Krieger et al., 2011).
Prostatitis dapat menyebabkan urosepsis dengan kematian yang terkait signifikan pada pasien dengan diabetes mellitus, pasien dialisis untuk gagal ginjal kronis, pasien yang immunocompromised, dan pasien pasca operasi yang telah instrumentasi uretra. Prostatitis kronis dan tanpa gejala prostatitis inflamasi belum definitif terkait dengan perkembangan kanker prostat (Krieger et al., 2011).
III. KESIMPULAN
1. Prostatitis merupakan keadaan radang atau terjadinya inflamasi pada kelenjar prostat, baik disebabkan oleh bakteri ataupun tidak.
2. Penyebab prostatitis ada dari beberapa faktor, secara medis seperti higiene penderita yang buruk, striktur uretra, sampai hiperplasia kelenjar prostat. Sedangkan prostatitis juga dapat disebabkan faktor lain seperti psikologis. 3. Tanda gejala yang muncul pada prostatitis seperti nyeri saat berkemih,
membesarnya prostat, nyeri dalam melakukan hubungan seksual, dapat dijadikan pedoman untuk menegakkan diagnosis.
4. Penatalaksanaan pada prostatitis akut dapat diberikan terapi antibiotik sesuai kebutuhan penderita, sehingga prognosisnya masih baik terkecuali terjadi infeksi kronis yang berulang.
DAFTAR PUSTAKA
Brede CM, Shoskes DA. 2011. The etiology and management of acute prostatitis. Nat Rev Urol. 8(4):207-12.
Campeggi, A., Ouzaid, I., Xylinas, E., Lesprit, P., Hoznek, A., Vordos, D., & Taille, A. (2014). Acute bacterial prostatitis after transrectal ultrasound‐ guided prostate biopsy: Epidemiological, bacteria and treatment patterns from a 4‐year prospective study. International Journal of Urology, 21(2), 152-155.
Capodice JL, et al. 2010. Complementary and Alternative Medicine for Chronic Prostatitis/Chronic Pelvic Pain Syndrome, 2(4): 495-501, Oxford Journals. (http://ecam. oxfordjournals.org/cgi/content/full/2/4/49 5).
Cariani, Trinchieri A.Magt V Bonamore R, Restelli A, Garla"schi MC, et al. Prevalenco of sexual dysfunction in men with chronic prostatitis/chronic pelvic pain syndrome. Arch Ital Urol Androl. 2012;'19:67-'70.
Coyle EA, Prince RA. 2010. Urinary Tract Infection and Prostatitis In: Dipiro JT, ed. Pharmacotherapy : A Pathophysiologic Approach. USA: The Mc Graw Hill Medical’v.
Dimitrakov J, MD, et al. 2012. Management of Chronic Prostatitis/Chronic Pelvic Pain Syndrome: an evidencebased approach, In: Journal of Urology, 67(5): 881–8. (http://www.pubmedcentral.nih.gov/ articlerender. fcgi?
tool=pubmed&pubmedid=16698346).
Domingue DJ, Hellstrom WJG. Prostatitis. Clin Microbiol Rev.; 2011II:604-13. Ivo Tarfusser, MD. 2011. Treatment, In: Chronic Prostatitis,
(http://www.prostatitis.org/tarf/p5.ht m.).
Krieger JN, Dobrindt U, Riley DE, Oswald E. 2011. Acute Escherichia coli prostatitis in previously health young men: bacterial virulence factors, antimicrobial resistance, and clinical outcomes. Urology. 77(6):1420-5. Krieger JN. Prostatitis syndrome. In: Holmes KK, Mardh B Sparling PF, Lemon
SM, Stamm WE, Piot P, et al-, editors. Sexually transmitted diseases. 3rd ed. New York: McGraw-Hill; 2012.p.859-71.
Naber KG, Weidner W. Chronic Prostatitis an infectious diseases. J of Antimier Chemister 2011; 46(2): 157–61
Nickel JC.Prostatitis. In: Wein AJ, Kavoussi LR, Novick AC, Partin AW, Peters CA, editors. Campbell-Walsh Urology. 9ih ed. Philadelphia: Saunders-Elseviet; 2013.p.7 54-72.
Nickel, J. C. (2013). Understanding chronic prostatitis/chronic pelvic pain syndrome (CP/CPPS). World journal of urology, 31(4), 709-710.
Samirah, Darwati, Windarwati, et al. 2009. Pola dan Sensitivitas Kuman di Penderita Infeksi Saluran Kemih. Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory;12:110-3.
Shukla-Dave, et al. 2011. Chronic Prostatitis: MR Imaging and 1H MR Spectroscopic Imaging Findings—Initial Observations. In: Radiology; Journal prostatitis syndrome. 231(3): 717–24. ( http://radiology. rsnjnls.org /cgi/content/full/231/3/717?ck=nc k.).
Sudoyo, Aru W. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi V jilid 3. Jakarta:Interna Publishing.
Theodorou C, Becopoulos T. Prostatitis. Prostate Cancer and Prostatic Diseses.l"t ed. Athens: Macmillan Publishers Ltd; 2012.p.234-4O.
Whitfield HN; ABC of urology: Urological evaluation. BMJ. 2013 Aug 26;333(7565):432-5.