• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN PENELITIAN PENELITIAN DASAR UNGGULAN PERGURUAN TINGGI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAPORAN PENELITIAN PENELITIAN DASAR UNGGULAN PERGURUAN TINGGI"

Copied!
69
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN PENELITIAN

PENELITIAN DASAR UNGGULAN PERGURUAN TINGGI

MODAL SOSIAL ETNIK BANJAR DALAM MENGEMBANGKAN KEARIFAN LOKAL DI LAHAN BASAH

Tahun ke- 1 dari rencana 1 tahun

Ketua Dr. Bambang Subiyakto, M.Hum : 0009025606 Anggota Dr. Nina Permata Sari, S.Psi, M.Pd. : 0002078005 Anggota Mutiani, S.Pd., M.Pd : 0007098902

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN IPS BANJARMASIN, OKTOBER 2020

(2)

ii

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Pelaksana : Modal Sosial Etnik Banjar Dalam Mengembangkan

Kearifan Lokal Di Lahan Basah Nama Lengkap : Dr. Bambang Subiyakto, M.Hum

NIDN : 0009025606

Jabatan Fungsional : Lektor Kepala / IVa Program Studi : Pendidikan IPS

Nomor HP : +62 853-1574-8169

Alamat surel (e-mail)

: bambangsb@ulm.ac.id Anggota (1)

Nama Lengkap : Dr. Nina Permata Sari, S.Psi, M.Pd.

NIDN : 0002078005

Perguruan Tinggi : Universitas Lambung Mangkurat Anggota (2)

Nama Lengkap : Mutiani, S.Pd., M.Pd

NIDN : 0007098902

Perguruan Tinggi : Universitas Lambung Mangkurat Tahun Pelaksanaan Tahun ke- 1 dari rencana 1 tahun Biaya Tahun

Berjalan

Rp 27.500.000 Biaya Keseluruhan Rp 27.500.000

Mengetahui, Banjarmasin, 3 Desember 2020

Dekan FKIP, Ketua Pelaksana,

Dr. Chairil Faif Pasani, M.Si. Dr. Bambang Subiyakto, M.Hum.

NIP. 19650808 199303 1 003 NIP. 19560209 198811 1 001 Menyetujui,

Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat,

Prof. Dr. Ir. Danang Biyatmoko, M.Si NIP. 19680507 199303 1 020

(3)

iii RINGKASAN

Etnik Banjar dikenal dijuluki masyarakat air (the water people). Hal ini dikarenakan sungai menjadi urat nadi kehidupan masyarakat. Namun, dalam pendekatan modal sosial, etnik Banjar tidak dilihat sebagai entitas tunggal. Melainkan etnik Banjar sebagai sistem entitas yang saling terikat satu sama lain di kehidupan. Modal sosial sebagai bagian dari relasi sosial mengembangan pola “bridging social capital” (menjembatani modal sosial). Modal sosial menjadi pembentukan ikatan sosial dan hubungan baru untuk memperluas jaringan yang memberikan sumber daya ide untuk mengembangkan kearifan lokal sebagai identitas.

(4)

iv PRAKATA

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya peneliti mendapat kekuatan, semangat, pikiran sehingga dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “Modal Sosial Etnik Banjar Dalam Mengembangkan Kearifan Lokal Di Lahan Basah”. Penelitian ini berisi deskripsi modal sosial etnik Banjar yang dikhususkan pada tiga kelurahan; Kuin, Sungai Bilu, dan Sungai Jingah. Demikian yang dapat saya sampaikan sebagai pengantar dalam penelitian ini, semoga apa yang menjadi harapan dan tujuan dapat tercapai. Saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi penyempurnaan penelitian.

Banjarmasin, Desember 2020

(5)

v DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN ... ii RINGKASAN ... iii PRAKATA ... iv DAFTAR ISI ... v DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 3

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 4

A. Konsepsi Modal Sosial ... 4

B. Kajian Etnik Banjar dalam Persfektif Kearifan lokal ... 6

C. Kearifan Lokal dalam Persfektif Lahan Basah... 9

BAB III ... 13

A. Tujuan Penelitian... 13

B. Manfaat Penelitian... 13

BAB IV METODE PENELITIAN ... 14

A. Desain Penelitian ... 14

B. Lokasi Penelitian ... 15

C. Waktu Penelitian ... 15

D. Penentuan Subjek penelitian ... 15

E. Sumber Data ... 16

F. Teknik Pengumpulan Data ... 16

G. Observasi ... 17

H. Wawancara ... 17

I. Studi Dokumentasi ... 19

J. Instrumen Penelitian... 19

K. Teknik Analisis Data ... 20

L. Uji Keabsahan Data ... 21

BAB V HASIL LUARAN YANG DICAPAI ... 25

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 25

B. Kelurahan Sungai Jingah ... 25

C. Kelurahan Sungai Bilu ... 28

D. Kelurahan Kuin Utara ... 31

E. Wujud Modal sosial etnik Banjar di Banjarmasin ... 33

F. Kearifan lokal di lahan basah oleh Etnik Banjar di Banjarmasin... 45

G. Luaran yang Dicapai ... 55

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ... 57

A. Simpulan ... 57

B. Saran ... 58

(6)

vi

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Sumber Data ...16

Tabel 2. Daftar Nama Narasumber ...18

Tabel 3. Bentuk Aktivitas Sosial Gotong Royong...40

(7)

vii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Kelurahan Sungai Jingah ...28

Gambar 2. Peta Kelurahan Sungai Bilu ...30

Gambar 3. Bonding, Bridging dan Linking Social Capital ...38

(8)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Modal sosial merupakan satu konsepsi yang ramah dalam kajian ekonomi. Modal sosial berperan mengembangkan potensi individu. Modal sosial diimplementasikan sebagai bagian dari konsep kepercayaan serta hubungan timbal-balik yang inheren dalam jaringan sosial (Fukuyama, 2001). Modal sosial sebagai bagian dari relasi sosial mengembangan pola “bridging social capital” (menjembatani modal sosial). Modal sosial menjadi pembentukan ikatan sosial dan hubungan baru untuk memperluas jaringan yang memberikan sumber daya ide-ide maupun informasi baru pula. Kedua bentuk relasi yang dijelaskan bermuara pada medium distribusi sumber daya informasi.

Modal sosial terus dilengkapi dalam pendekatan teori neo-modal sosial (neo-social capital theory). Hal ini digunakan untuk melengkapi analisis hubungan timbal-balik masyarakat. Pada pendekatan positivis memaparkan bahwa modal sosial merupakan jejaring sosial yang terkandung hubungan timbal balik sebagai komponen pembangun kepercayaan dalam kelompok. Individu mampu membangung hubungan sosial sebagai sumber daya guna mencapai tujuan kolektif (Fukuyama, 2008). Oleh karena itu, modal sosial dipahami sebagai konsepsi aset kelompok dalam bermasyarakat. Dalam konteks kedearahan, modal sosial sejatinya muncul dalam bentuk perilaku masyarakat. Secara khusus di Banjarmasin. Etnis yang mendiami wilayah Kalimantan Selatan disebut etnik Banjar. Etnik Banjar dalam persfektif sosial merupakan etnik yang mendiami wilayah Kalimantan Selatan. Dikenal bahwa etnik Banjar melekat identitas Islam.

(9)

2 Secara umum etnik Banjar dibagi menjadi dua diealek Bahasa, antara lain: dialek Banjar Hulu dan Kuala (Ideham, Sejarah Banjar, 2007).

Berdasarkan letak ke wilayahan etnik Banjar dikenal dijuluki masyarakat air (the water people). Hal ini dikarenakan sungai menjadi urat nadi kehidupan masyarakat. Namun, dalam pendekatan modal sosial, etnik Banjar tidak dilihat sebagai entitas tunggal. Melainkan etnik Banjar sebagai sistem entitas yang saling terikat satu sama lain di kehidupan. Sebagai contoh perihal entitas politik, etnik Banjar terbagi menjadi tiga kelompok besar. Ketiga kelompok dilihat berdasar pada batasan territorial dan unsur pembentukan suku dalam persfektif kultural dan genetik (Ideham, 2005; Coleman J. , 1990).

Pertama, percampuran penduduk pendatang. Percampuran penduduk pendatang dan Dayak dikenal dengan Grup Banjar Pahuluan (memiliki unsur Dayak Meratus/Bukit). Kedua, dikenal dengan sebutan Grup Banjar Batang Banyu yang merupakan pencampuran masyarakat Pahuluan (Melayu-Hindu/Buddha, Keling-Gujarat, Dayak Maanyan, Dayak Lawangan, serta Jawa-Hindu Majapahit). Ketiga, Grup Banjar Kuala yakni pencampuran masyarakat di wilayah Kuin, Batang Banyu, Dayak Ngaju (Berangas, Bakumpai), Kampung Melayu, Kampung Bugis-Makassar, Kampung Jawa, Kampung Arab, dan sebagian orang Cina Parit (etnis Cina masuk Islam) (Ideham, 2005).

Luasnya wilayah Kalimantan Selatan menjadikan penelitian memberikan fokus pada wilayah Kota Banjarmasin sebagai bentuk limitasi penelitian. Pembatasan ini lazim terjadi karena Kota Banjarmasin mendeskripsikan kompleksitas kehidupan masyarakat di tengah gerusan globalisasi. Ketiga etnik

(10)

3 Banjar bisa ditemui di pemukiman Kota Banjarmasin. Tiap kelompok tentunya mencirikan perbedaan modal sosial setiap kelompok terlebih pada kajian pengembangan kearifan lokal di Lahan Basah. Bentuk pengembangan kearifan lokal lahan basah dapat direkam melalui aktivitas pariwisata, pertanian, sistem kepercayaan, hingga kesenian.

B. Rumusan Masalah

Sehubungan dengan paparan latar belakang di atas fokus penelitian dibatasi di Banjarmasin, dirumuskan menjadi tiga pertanyaan operasional, antara lain:

1. Bagaimana wujud modal sosial etnik Banjar di Banjarmasin?

(11)

4 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Konsepsi Modal Sosial

Diskusi mengenai konsep modal sosial seringkali dikaitkan dengan konsepsi yang dikaji oleh ekonomi. Terdapat beberapa tokoh pengembang modal sosial. Namun pada bahasan ini definisi modal sosial diarahkan pada pendapat Bourdiue, Coleman, Putnam, dan Fukuyama. Modal sosial merupakan kumpulan sumberdaya yang dimiliki setiap keanggotaan dalam suatu kelompok yang digunakan secara bersama (Bourdieu, 1984). Adapun definisi modal sosial yang dimaksud berkenaan dengan adanya jaringan sosial serta masyarakat sehingga membantu peningkatan produktivitas dan ekonomi melalui koneksi sosial. Berbeda dengan definisi tersebut Coleman (1990) menyederhanakan definisi modal sosial berdasarkan fungsi. Modal sosial dikenal bukan sebagai entitas tunggal. Namun modal sosial dapat dikenal sebagai entitas yang berdiri pada dua elemen yang terdiri dari aspek struktur sosial dan tindakan perilaku (Coleman J. , 1990).

Modal sosial dapat mempengaruhi pelaku dengan du acara utama yakni struktural dan kognitif. Dipahami aspek struktural, terdapat interkoneksi antar pelaku sehingga dapat membuat jejaring sosial. Jaringan sosial kenudian dijadikan sebagai media pengembangan masyarakat dengan menjadi medium aliran segala informasi, ide, produk dari pelaku. Akan tetapi, secara kognitif interkoneksi menjadi medium meningkatkan komitmen untuk realisasi dari penguatan norma sosial yang diselenggarakan bersama masyarakat. Sehingga modal sosial mengikat

(12)

5 pelaku untuk menjaga hubungan timbal balik secara struktural maupun kogniti. Modal sosial lebih familiar dipahami sebagai segala sumber daya intrinsic dari hubungan sosial hingga kepercayaan (Putnam, The Prosperous Community: Social Capita and Public Life, 1993).

Modal sosial dapat diukur. Dalam persfektif kuantitatif komponen dominan modal sosial mencakup tiga indikator, yaitu; kejujuran (truth), jejaring sosial (social network), dan norma (norm). Ketiga komponen tersebut memiliki fungsi sebagai penjaga kualitas hidup individu. Modal sosial dalam pola hubungan sosial menjaga harmonisasi peningkatan kualitas hidup masyarakat. Hal ini dimaksudkan untuk masyarakat dapat menjaga dan mengakses keberagaman dalam tataran normatif. Logika ini sejalan dengan pendapat Portes (1998) yang menyatakan bahwa modal sosial adalah inheren fungsional yang memungkinkan seseorang bertindak; bukan mekanisme, sesuatu atau hasil, tetapi sekaligus serangkaian dari itu (Lawang, 2004).

Modal sosial acapkali berubah sebagai bagian dari fitur organisasi sosial seperti jaringan, norma dan kepercayaan dimana memberikan garis koorfinasi agar mendapat keuntungan yang sama. Putnam memfokuskan pengembangan konsep modal sosial sejalan dengan paparan Coleman. Gagasan utama terkait dengan bagaimana setiap komponen masyarakat memiliki nilai per individu dalam aktivitas jaringan sosial. Sebagai contoh; modal fisik dan manusia, modal kontrak sosial terhadap produktivitas individu dan kelompok. Konsep modal sosial dalam konteks kontemporer dipaparkan oleh Fukuyama (2008). Modal sosial dijabarkan sebagai kapabilitas yang muncul dari kepercayaan umum di masyarakat. Konsep ini memandang modal seosial sebagai rangkaian nilai yang abstrak pada norma

(13)

6 informal. Bagi beberapa pihak nilai informal menjadi jembatan atas terjadinya kerjasama antar individu. Di samping itu, membantu memfasilitasi morma lain dalam menjaga hubungan sosial sehingga masyarakat mampu hidup secara bersama (Fukuyama, 2008).

Berdasarkan tiga tipe ikatan hubungan (type of networks) modal sosial berwujud, seperti: Pertama, disebut dengan modal kekerabatan (bonding capital); sebagaimana dipahami yakni ikatan hubungan kekerabatan (emosional) yang cenderung tinggi: hubungan anggota keluarga, lingkungan sosial (tetangga, teman sejawat). Kedua, disebut dengan modal pergaulan (bridging capital); memiliki tingkatan kekerabatan relatif jauh: teman kerja, dan kolega. Ketiga, hubungan kelembagaan (linking capital); merupakan ikatan hubungan cenderung lebih renggang jika dibandingkan dengan ikatan di atas. Demikian, modal sosial berkontribusi pada upaya peningkatan keakraban serta kebersamaan kehidupan masyarakat (Bourdieu, 2010; Bourdieu, 1984; Putnam, The Prosperous Community: Social Capita and Public Life, 1993; Coleman J. , 1990; Fukuyama, 1995).

B. Kajian Etnik Banjar dalam Persfektif Kearifan lokal

Pada umumnya, setiap golongan etnik mempunyai sebuah “tanah asal”. Bagi Indonesia yang terdiri dari puluhan bahkan mungkin ratusan suku yang tersebar dari ujung Sabang hingga Merauke. Hal tersebut merupakan sebuah anugerah tersendiri kekayaan khazanah budaya. Perbedaan latar belakang kultur di Indonesia tidak jarang memunculkan sebuah konflik internal. Problematika melunturnya karakter sebagai sebuah bangsa dapat kita lihat melalui berbagai konflik yang mencerminkan

(14)

7 tiadanya loyalitas dan integritas yang masih kehidupan bersama sebagai sebuah bangsa yang utuh.

Satu hal yang sering dilupakan oleh masyarakat, bahwa tiap daerah memiliki local wisdom. Kata local wisdom harus dimaknai dalam lingkup yang luas. Cakupan tersebut antara lain: norma, nilai budaya, implikasi teknologi, penanganan kesehatan, hingga estetika. Dengan pemahaman tersebut, maka local wisdom selain ungkapan, pribahasa, maupun segala ungkapan kebahasaan yang lain merupakan bagian dari tindakan dan hasil materil kebudayan (tangible dan intangible) warisan hingga kini (Syam, 2007).

Kearifan lokal atau dalam bahasa asing local wisdom dikonsepsikan sebagai kebijakan atau pengetahuan setempat “local knowledge” atau kecerdasan setempat “local genious”. Menurut Rahyono (2009), kearifan lokal merupakan kecerdasan manusia yang dimiliki oleh kelompok etnis tertentu yang diperoleh melalui pengalaman masyarakat. Menurut Ahimsa Putera (2008:12), kearifan lokal adalah: ”perangkat pengetahuan dan praktik-praktik baik yang berasal dari generasi-generasi sebelumnya maupun dari pengalaman berhubungan dengan lingkungan dan masyarakat lainnya milik suatu komunitas di suatu tempat, yang digunakan untuk menyelesaikan secara baik dan benar berbagai persaoalan dan/atau kesulitan yang dihadapi”.

Kearifan lokal dapat dipraktikkan dalam bentuk yang sederhana yaitu kearifan terhadap lingkungan. Kearifan terhadap lingkungan dapat dilihat dari bagaimana perlakuan kita terhadap benda-benda, tumbuhan, hewan, dan apapun yang ada di sekitar kita. Perlakuan ini melibatkan penggunaan akal budi kita sehingga dari perlakuan-perlakuan tersebut dapat tergambar hasil dari aktivitas budi kita. Dalam buku “Urang Banjar dan Kebudayaannya” dijelaskan bahwa:

(15)

8 ”Masyarakat Banjar beranggapan segala makhluk ciptaan Tuhan ada manfaatnya bagi manusia. Tumbuhan dan binatang disekitar lingkungan memberikan pertanda atau isyarat tertentu untuk mengetahui gejala alam dalam hubungannya dengan usaha bercocok tanam. Salah satu contohnya adalah Jika kalambuai (gondang) bermunculan dalam jumlah yang banyak, maka musim hujan akan datang (Ideham, 2007)”.

Sikap menaruh perhatian terhadap kesadaran keberadaan lingkungan telah lama dimiliki masyarakat Banjar. Kesadaraan ini dapat menanamkan pola hidup serasi dengan keadaan lingkungan. Sadar atas keterbatasan kemampuan alam dan pandangan bahwa setiap makhluk di muka bumi bermanfaat, maka kelestarian lingkungan relatif bisa terpelihara dengan baik.

Kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat Banjar dalam juga bisa ditemui pada ungkapan dan semboyan, seperti: jangan becakut pepadaan, kada ingat burit kapala, jangan katuju anjur atar, gawi sabumi, haram manyarah waja sampai kaputing, kayuh baimbai, dan lain-lain. Ungkapan dan semboyan tersebut memiliki nilai intrinsik bagi kita semua. Salah satu contoh ungkapan jangan becakut pepadaan mengajarkan kita bahwa sesama masyarakat Banjar diikat sebuah hubungan kekeluargaan. Dalam hubungan kekeluargaan, tidak sepatutnya kita saling menghina dan menjatuhkan.

Pembentukan karakter melalui local wisdom tidak dimaksudkan untuk memberikan perbandingan antara budaya daerah satu dan lainnya. Akan tetapi, melalui local wisdom kita diajarkan bahwa kebudayaan bukanlah hal yang statis, melainkan dinamis. Karakter seseorang terbentuk melalui pengaruh lingkungan keluarga maupun masyarakat. Oleh karena itu, pembentukan karakter manusia tidak bisa dipaksakan dalam bentuk penyetaraan.

(16)

9 Kehidupan urban dan hubungan intra sosial yang cepat mampu merubah pola kesederhanaan gaya hidup menjadi lebih kompleks. Seluruh unsur gagasan dan ide yang tertuang di local wisdom memberikan implikasi positif bagi kehidupan kita. Pengajaran nilai “moral atau etika”, hingga pemanfaatan lingkungan dapat kita ciptakan melalui local wisdom. Hal ini dikarenakan local wisdom mampu menciptakan sebuah hubungan yang harmonis di kehidupan sehari-hari tanpa kita sadari.

C. Kearifan Lokal dalam Persfektif Lahan Basah

Kearifan lokal atau yang lebih familiar dikenal sebagai Local Wisdom terdiri dua rangkaian kata yakni: Local dan Wisdom. Kedua kata tersebut berasal dari bahasa Inggris. Pengertian local berarti tempat (setempat), sedangkan wisdom adalah kebijaksanaan. Ketika kedua kata Local Wisdom disatukan menjadi satu, maka secara umum dapat diartikan sebagai kebijaksanaa (kearifan) setempat.

Kearifan lokal memfokuskan diri pada kajian kekayaan budaya yang tumbuh serta berkembang dalam masyarakat di wilayah tertentu. Tentunya budaya yang dimaksud dikenal, dipercayai, dan diakui sebagai elemen kohesi sosial (Haba, 2007). Kearifan lokal bertransformasi sebagai nilai baik dan benar sehingga dapat bertahan dalam waktu yang lama dan bahkan melembaga. Kearifan lokal acapkali berwujud sebagai bagian tradisi yang mengakar dan agama. Namun, lazimnya di kehidupan masyarakat, kearifan lokal disisipkan dalam nyayian, pepatah, sasanti, petuah, semboyan, dan kitab-kitab kuno yang melekat dalam perilaku sehari-hari.

Bagi masyarakat, kearifan lokal tercermin pada perilaku masyarakat yang berlangsung lama di keseharian. Perihal ini menyatakan bagaimana

(17)

10 keberlangsungan kearifan lokal mencerminkan nilai kelompok yang berlaku di komunitas tertentu. Faktual, nilai kelompok dijadikan pedoman hidup masyarakat yang tidak terpisahkan satu sama lain. Oleh karena itu, nilai ini menjadi batasan normatif masyarakat dalam bersikap dan berperilaku sehari-hari. Kadang kala, kearifan lokal muncul sebagai analisis kritik manusia terhadap lingkungan sekitar. Kearifan lokal dimaksudkan untuk menjelaskan entitas penentu harkat dan martabat manusia. Oleh karena itu, pada dimensi yang berbeda kearifan lokal berisikan unsur kecerdasan akan kreativitas serta pengetahuan local genius dalam membangun peradaban. Dirumuskan oleh kearifan lokal dengan istilah local genius. Quaritch Wales menjelaskan bahwa local genius sebagai jumlah karakteristik budaya yang dimiliki oleh sebagian besar masyarakat sebagai hasil dari pengalaman kehidupan. Adapun Pokok pikiran terkandung pada makna tersebut berkenaan 1) karakter budaya, 2) kelompok kepemilikan budaya, dan 3) pengalaman hidup yang tumbuh dari karakter budaya (Abdullah, 2008).

Kearifan lokal dalam komunitas tertentu merupakan tanggapan bagaimana bersikap, bertindak dan merespon perubahan lingkungan fisik serta budaya. Di samping itu, kearifan lokal dikenal dengan gagasan konseptual yang diyakini tumbuh berkembangan secara dinamis dalam balutan dimensi kehidupan yang sakral. Sifat ini berlaku dalam keseharian tidak terbatas ruang dan waktu. Kearifan lokal menjadi kebijaksanaan pola hidup masyarakat bagi seluruh anggota masyarakat.

Kearifan lokal dalam persfektif umum kajian budaya adalah batasan mekanisme kontrol perilaku kehidupan. Secara menyeluruh persfektif ini membawa

(18)

11 bentuk keseluruhan pengetahuan yang dimiliki oleh manusia sebagai makhluk sosial. Pemahaman ini digunakan untuk memberikan interpretasi lingkungan serta pengalaman hidup. Oleh karena itu, perihal ini dijadikan sebagai landasan bagi kerangka pemikiran guna terdorongnya wujuda dari tabiat manusia (Keraf, 2010). Berdasarkan paparan di atas, dipahami bahwa kearifan lokal dalam persfektif kebudayaan merupakan cerminan nilai kehidupan. Perihal nilai yang membawa harga bersifat abstrak berkembang pada pemikiran di suatu masyarakat berkenaan dengan nilai penting di kehidupan. Oleh karena itu, sebagai suatu sistem memberikan limtasi yang tegas oleh masyarakat.

Secara khusus sikap individu terhadap kearifan lokal ditentukan oleh tiga unsur utama. Ketiga unsur itu adalah jiwa, norma-norma, dan konsep nilai budaya. Dengan demikian, dapat dijelaskan bahwa nilai budaya adalah suatu konsep yang abstrak (dirumuskan tanpa rasional), tetapi sering mendarah daging pada pemikiran manusia. Jika kita simpulkan bahwa nilai budaya merupakan sebuah pengarah bagi kelakuan manusia, maka sebagai pedoman nyata adalah norma-norma, hukum, aturan yang bersikap tegas dan konkrit.

Kearifan lokal dipastikan muncul di kondisi masyarakat manapun juga tanpa terkecuali di lahan basah. Lahan basah (dikenal wetland) merupakan pernyataan yang ditujukan pada wilayah (lahan) di mana kondisi tersebut menggenangi keseluruhan atau sebagai lapisan air yang dangkal. Lahan basah acapkali dikenal sebagai wilayah perairan payau, rawa, gambut, ataupun perairan alami yang temporer hingga permanen. Lahan basah dalam pandangan ekosistem adalah wilayah yang dibentuk akibat perilaku manusia baik sengaja maupun tidak. Faktual,

(19)

12 lahan basah yang dibuat karena disengaja ditujukan untuk pemenuhan kepentingan tertentu; misalnya meningkatkan produktivitas lahan di bagian; pertanian, perikanan, pembangkit listrik, sumber air, hingga pariwisata. Namun, jika lahan basah terbentuk karena ketidaksengajaan dideskripsikan bahwa tidak memiliki kejelasan fungsi; genangan air yang bisa saja muncul karena aktivitas tambang. Lahan basah buatan mengalami suksesi mengalami perubahan yang mempengaruhi pada perlakukan ekosistem (Wibowo et al., 1996).

Secara fisik keberadaan lahan basah dapat memberikan pengaruh positif maupun negatif bagi lingkungan sekitar. Akan tetapi dalam konteks budaya tentunya dalam kajian lingkungan non fisik lahan basah memberikan pengaruh adaptasi masyarakat. Masyarakat yang hidup di wilayah lahan basah memiliki ciri khusus dalam melakukan keseimbangan pola kehidupan antara lingkungan fisik dan budaya. Sebagai bentuk perbandingan adalah hasil penelitian yang dilakukan oleh Bambang Subiyakto dan Mutiani yang berjudul “Internalisasi Nilai Pendidikan Melalui Aktivitas Masyarakat Desa Sungai Rangas Ulu Kabupaten Banjar Sebagai Sumber Belajar IPS” mendeskripsikan kehidupan masyarakat di bantaran sungai yang merupakan bagian dari konsepsi lahan basah memiliki kriteria tertentu. Sungai tidak hanya bagian dari pemenuhan kebutuhan fisik tetapi sungai menjadi sumber kearifan lokal masyarakat.

(20)

13 BAB III

TUJUAN DAN MANFAT PENELITIAN

A. Tujuan Penelitian

Penelitian ini pada dasarnya bertujuan untuk mendapatkan gambaran tentang modal sosial etnik Banjar dalam mengembangkan kearifan lokal khususnya di lahan basah. Berkenaan dengan hal tersebut tujuan penelitian dijabarkan sebagai berikut:

1. Untuk mendeskripsikan wujud modal sosial etnik Banjar di Banjarmasin. 2. Untuk mendeskripsikan kearifan lokal di lahan basah oleh etnik Banjar di

Banjarmasin.

B. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ditujukan untuk memberikan masukan keilmuan khususnya di bidang kajian penelitian sosial, yang deskripsikan sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Dalam konteks manfaat teoritis, hasil penelitian diharapkan memberi sumbangan, pengembangan kajian kehidupan etnik Banjar, pada aspek modal sosial dan kearifan lokal.

2. Manfaat Praktis

Manfaat praktis dari penelitian ini adalah sebagai bahan masukan bagi pihak terkait dalam penelitan ini, seperti; Balitbangda Provinsi Kalimantan Selatan, pemerintah Kota Banjarmasin, Kecamatan, serta keluruhan dimana penelitian ini dilakukan

(21)

14 BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Pendekatan dipilih menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif dipahami sebagai prosedur terstruktur di mana data yang dihasilkan berupa data deskriptif. Rangkaian data deskriptif berupa kata lisan maupun tertulis berupa subjek maupun perilaku diamati. Adapun karakteristik yang melekat pada pendekatan kualitatif adalah latar alamiah (natural setting). Latar alamiah berupa sumber langsung serta dipahami bahwa proses lebih dipentingkan dibandingkan hasil. Adapun analisis dipaparkan cenderung merujuk kepada analisis induktif dengan makna yang esensial (Moleong, 2004).

Pendekatan kualitatif mengenal objek penelitian yang apa adanya, tidak dimanipulasi berdasarkan flexibiltas masalah penelitian. Demikian diartikan bahwa objek relatif tidak berubah (Ibrahim, 2015). Pendekatan kualitatif didasari dengan keselarasan terhadap makna yang dicari untuk modal sosial etnik Banjar dalam mengembangkan potensi kearifan lokal lahan basah. Modal sosial etnik Banjar erat kaitannya dengan pola perilaku masyarakat yang muncul setiap harinya. Perilaku ini tidak terbatas ruang dan waktu. Oleh karena itu, pendekatan sejarah juga dimanfaatkan dalam penelitian. Demikian paparan deskriptif berkenaan permasalahan mendalam dan terstruktur.

(22)

15

B. Lokasi Penelitian

Etnik Banjar disebut dengan Urang Banjar (orang Banjar) adalah sebutan penduduk yang mendiami daerah yang sekarang menjadi Provinsi Kalimantan Selatan. Akan tetapi, penduduk Kalimantan Selatan bukan hanya etnik Banjar asli, terdapat etnik lain, seperti; Dayak, Jawa, Madura, Bugis (Usman, 1989). Namun, patut dipahami bahwa etnik Banjar dijadikan fokus subjek penelitian. Oleh karena itu, pemilihan lokasi difokuskan di Banjarmasin. Pemilihan lokasi didasari oleh pengamatan adaptasi etnik Banjar dalam di Lahan Basah. Hal ini dikarenakan Banjarmasin dilatari sebagai kota dengan kriteria urban. Namun, hidup dengan vitalitas sungai yang cenderung berubah fungsinya. Lokasi penelitian ditetapkan pada tiga kelurahan antara lain: Kelurahan Sungai Jingah, Kelurahan Sungai Bilu, dan Kelurahan Kuin Utara

C. Waktu Penelitian

Pelaksanaan penelitian dilaksanakan terhitung sejak penyusunan perencanaan yakni saat penyusunan proposal penelitian. Pelaksanaan penelitian dimulai Juli sampai dengan Oktober 2020.

D. Penentuan Subjek penelitian

Subjek dalam penelitian dalam kualitatif ditujukan sebagai informan. Etnik Banjar di Banjarmasin tersebar di tiga kelurahan yang berbeda. Oleh karena itu, diterapkan teknik penentuan sampel yakni purposive sampling. Purposive sampling merupakan penentuan sampel berdasarkan kesesuaian tujuan penelitian. Purposive sampling dikenal sebagai satu teknik penentuan sampling dengan mekanisme random sampling ialah mekanisme penentuan pengambilan sampel dengan

(23)

16 menetapkan ciri khusus berdasarkan tujuan penelitian, maka diharapkan menjawab permasalahan. Berkenaan dengan hal tersebut maka informan yang dipilih adalah informan yang memiliki sumber data valid berkenaan bagaimana modal sosial etnik Banjar dalam mengembangkan kearifan lokal di lahan basah. Penentuan sampel tidak difokuskan pada jumlah melainkan kualitas data yang didapat (Mulyana, 2001; Usman, 1989).

E. Sumber Data

Persfektif penelitian, data didapat dari sumber primer dan sekunder. Sumber primer data yang ditafsirkan langsung dari sumber utama (giving first hand information). Oleh karena itu, data primer merujuk kepada hasil wawancara informan utama, hasil observasi. Sumber sekunder berkenaan dengan hasil dokumentasi terkait data penunjang penelitian. Kemudian sumber sekunder diistilahkan sebagai second hand information (Satori, 2011; Moleong, 2004). Jenis sumber data lisan dan tertulis dijabarkan sebagai berikut:

Tabel 1. Sumber Data

No Kriteria Keterangan

1 Deskripsi Kota Banjarmasin Batasan locus penelitian 2 Etnik Banjar yang berdiam di Kota

Banjarmasin Informan

2 Pedoman Wawancara

dokumen 3 Kumpulan dokumentasi

F. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data berkenaan bagaimana data diperlukan dan dikumpulkan sehingga hasil dari penelitian mampu menyajikan informasi valid dan reliabel (Bungin, 2008). Dalam metode penelitian merupakan ragam cara yang digunakan

(24)

17 oleh penelitia untuk mengumpulkan penelitian melalui tiga aktivitas utama, antara lain:

G. Observasi

Observasi merupakan aktivitas pengumpulan data sesuai sifat penelitian. Observasi merupakan pengamatan langsung. Pengamatan langsung dimaknai sebagai pengamatan peneliti yang terlibat dalam penelitian. Oleh karena itu, peneliti harus mencari data sendiri dengan terjun langsung atau mengamati dan mencari langsung ke beberapa informan yang telah ditentukan sebagai sumber data. Pada penelitian ini jenis observasi non partisipatif dipilih karena peneliti mengamati aktivitas yang terjadi di masyarakat tanpa mengikuti pada situasi tertentu. Observasi non partisipatif dipilih dikarenakan waktu pelaksanaan observasi yang bersifat random (acak) sehingga data yang didapat beragam.

H. Wawancara

Wawancara merupakan aktivitas menghimpun keterangan dilakukan menggunakan tanyajawab khususnya secara lisan sepihak serta bertatap muka. Guna memberikan arahan wawancara digunakan pedoman wawancara agar pertanyaan mengerucut kepada permasalahan penelitian. Dengan kata lain, perihal ini dikenal dengan istilah wawancara terstruktur. Teknik pengumpulan data melalui wawancara memiliki kelebihan karena peneliti dapat melihat kontekstual peristiwa yang terjadi selama penelitian. Teknik wawancara menggunakan in-depth interview diaplikasi saat penelitian sehingga peneliti dengan leluasa mendapatkan sumber lisan yang bermakna (Moleong, 2004). Berdasarkan hasil wawancara yang didapat, berikut data dari narsumber penelitian:

(25)

18 Tabel 2. Daftar Nama Narasumber

No Nama Usia Keterangan

1 Desy Anwar 19 Tahun

Kelurahan Sungai Jingah

2 Khairun Ni’mah 19 Tahun

3 Randewi 39 Tahun

4 M. Khaidir 21 Tahun

5 Ambani 60 Tahun

6 Fadillah Rahman 20 Tahun

7 Bahrani 50 Tahun 8 Abidin 47 Tahun 9 Isna 51 Tahun 10 Jumatul 48 Tahun 11 Hanafi 49 Tahun 12 H. Nasrun 61 Tahun

Kelurahan Sungai Bilu

13 Hj. Mastiah 57 Tahun

14 Ati 45 Tahun

15 Abdul Karim 50 Tahun

16 Hamdallah 53 Tahun

17 Normansyah 27 Tahun

18 Aswan 59 Tahun

19 Iwan Ardiansyah 16 Tahun

20 H. Mahyuni 56 Tahun

Kelurahan Kuin Utara

21 H. Mukandar 53 Tahun

22 Ahmad Dafii Firmansyah 38 Tahun 23 Abdul Qodir Zailani 50 Tahun

24 Jumri 61 Tahun

25 Mukhsar 56 Tahun

26 Mulyadi Ahmad 22 Tahun

27 Zain Wirta Surya 16 Tahun

28 Siti Murjiah 42 Tahun

29 Siti Jaleha 55 Tahun

30 Marhamah 31 Tahun

(26)

19

I. Studi Dokumentasi

Studi dokumentasi dimaknai sebagai teknik pencarian data berupa catatan, transkrip, buku, laporan, data kependudukan, notulen, dan sebagainya. Studi dokumentasi dipahami sebagai pengumpulan data berkenaan dengan peninggalan tertulis khususnya arsip seperti; buku ataupun hasil penelitian yang dapat menunjang permasalahan penyelidikan. Dokumentasi yang dikumpulkan pada penelitian ini adalah dokumen profil tiga kelurahan, hasil foto (dokumentasi aktivitas), dan transkrip wawancara (Satori, 2011; Burhan, 2001).

J. Instrumen Penelitian

Dalam tradisi penelitian kualitatif, instrumen penelitian adalah peneliti itu sendiri. Istilah ini kemudian dikenal dengan “human instrument”. Sebelum ke lapangan, peneliti mampu membekali diri dengan penguasaan teori. Hal ini dimaksudkan agar peneliti mampu melihat permasalahan dalam kacamata yang objektif. Di samping itu, sebagai human instrumen peneliti membuat pedoman wawancara sebagai acuan data yang didapat, kecakapan dalam berdialog, pencatatan data berupa tingkahlaku atau penyajian sumber data. Hal ini dikarenakan data dicatat tanpa memasukkan unsur tafsiran baik; pendapat dan pandangannya.

Peneliti berfungsi sebagai perencana, pengumpulan data, analisis, penafsir serta penyusun hasil penelitiannya. Makna instrumen atau alat penelitian dimaksudkan untuk keseluruhan aktivitas penelitian. Instrumen penelitian dimaksudkan sebagai alat pengumpul data (Moleong, 2004). Adapun ciri umum peneliti sebagai human instrument melingkupi aspek responsif, yakni mampu

(27)

20 menyesuaikan, mendasarkan diri terhadap pengetahuan serta keutuhan proses serta manfaat yang tidak lazim idiosinkratik.

K. Teknik Analisis Data

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Penelitian ini berisikan sifat uraian hasil observasi, wawancara, dan studi dokumentasi. Teknik analisis data digunakan model interaktif Miles dan Hubermen. Analisis dimaksudkan sebagai proses pengaturan urutan data. Urutan data diorganisasikan ke dalam pola, kategori dan uraian dasar (Mulyana, 2001). Definisi ini memberikan deskripsi berkenaan pentinya kedudukan analsis data berdasar tujuan penelitian. Adapun prinsip dasar penelitian kualitatif untuk menemukan teori dari data. Adapun tahalan analisis data dipaparkan sebagai berikut:

1. Reduksi Data (Data Reduction)

Reduksi data, diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Reduksi dilakukan sejak pengumpulan data dimulai dengan membuat ringkasan, mengkode, menelusur tema, membuat gugus-gugus, menulis memo dan sebagainya dengan maksud menyisihkan data/informasi yang tidak relevan. Proses reduksi data didominasi oleh hasil wawancara. Perihal ini dikarenakan ditemukan hasil wawancara yang tidak fokus dan melebar dari masalah penelitian. Sehinga untuk memberikan fokus peneliti langsung mengurangi data tersebut.

(28)

21 2. Penyajian Data (Data Display)

Display data adalah pendeskripsian sekumpulan informasi tersusun yang memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian data kualitatif disajikan dalam bentuk teks naratif. Penyajiannya juga dapat berbentuk matrik, diagram, tabel, bagan, dan foto.

3. Verifikasi (Conclution Drawing and Verification)

Merupakan kegiatan akhir dari analisis data. Penarikan kesimpulan berupa kegiatan interpretasi, yaitu menemukan makna data yang telah disajikan. Antara display data dan penarikan kesimpulan terdapat aktivitas analisis data yang ada. Dalam pengertian ini analisis data kualitatif merupakan upaya berlanjut, berulang dan terus-menerus. Berdasarkan keterangan di atas, maka setiap tahap dalam proses tersebut dilakukan untuk mendapatkan keabsahan data dengan menelaah seluruh data yang ada dari berbagai sumber yang telah didapat dari lapangan dan dokumen pribadi, dokumen resmi, gambar, foto dan sebagainya melalui metode wawancara yang didukung dengan studi dokumentasi (Moleong, 2004).

L. Uji Keabsahan Data

Tujuan pengujian keabsahan data penelitian adalah memberikan keajegan dan kejenuhan data penelitian. Oleh karena itu, uji keabsahan data penelitian digunakan uji kredibilitas data (validitas internal) sebagai berikut:

1. Triangulasi

Triangulasi diartikan sebagai pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara, dan berbagai waktu. Triangulasi terbagi menjadi tiga yaitu triangulasi sumber, triangulasi teknik pengumpulan data, dan waktu. Triangulasi sumber,

(29)

22 artinya untuk mengkaji kredibilitas data dilakukan dengan cara mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber (Ibrahim, 2015). Data tersebut dideskripsikan, dikategorisasikan, mana pandangan yang sama, yang berbeda, dan mana spesifik dari tiga sumber data tersebut. Data yang telah dianalisis oleh peneliti sehingga menghasilkan suatu kesimpulan selanjutnya dimintakan kesepakatan (member check) dengan tiga sumber data tersebut.

Triangulasi sumber yang dilakukan oleh peneliti adalah pengecekan data temuannya dengan data informan atau narasumber yang berbeda namun dengan data sumber yang sama yaitu pedoman wawancara seperti informan pertama, kedua ketiga dan keempat diberi pertanyaan yang sama. Triangulasi teknik, artinya untuk mengkaji kredibilitas data dilakukan dengan cara mengecek data kepada sumber yang sama dengan teknik yang berbeda. Misalnya data diperoleh dengan wawancara, lalu dicek dengan observasi, dokumentasi. Bila tiga teknik pengujian kredibilitas data tersebut, menghasilkan data yang berbeda-beda, maka peneliti melakukan diskusi lebih lanjut kepada sumber data yang bersangkutan atau yang lain, untuk memastikan data mana yang dianggap benar. Atau mungkin semuanya benar, karena sudut pandangnya berbeda-beda.

Triangulasi waktu, artinya waktu juga sering mempengaruhi kredibilitas data. Dalam rangka pengujian kredibilitas data dapat dilakukan dengan cara melakukan pengecekan dengan wawancara, observasi atau teknik lain dalam waktu atau situasi yang berbeda. Bila hasil uji menghasilkan data yang berbeda, maka dilakukan secara berulang-ulang sehingga sampai ditemukan kepastian datanya. Triangulasi

(30)

23 juga dapat dilakukan dengan cara mengecek hasil penelitian, dari tim peneliti lain yang diberi tugas melakukan pengumpulan data.

2. Member Check

Member Check merupakan proses pengumpulan data yang diperoleh dari pemberi data, berarti data tersebut valid, sehingga semakin kredibel atau dipercaya, tetapi apabila data yang ditemukan peneliti dengan penafsiran tidak disepakati oleh pemberi data maka peneliti harus melakukan diskusi dengan pemberi data. Apabila perbedaanya cukup tajammaka peneliti harus merubah temuannya. Dan menyesuaikan dengan apa yng diberikan dengan pemberi data. Tujuan member check adalah untuk mengetahui seberapa jauh data yang diperoleh sesuai dengan apa yang diberikan oleh peemberi data, atau informasi yang diperoleh dan akan digunakan dalam penulisan laporan sesuai dengan apa yang dimaksud sumber data atau informan, bukan saja keterampilan teknis peenggunaan kutipan-kutipan dan catatan-catatan, tetapi yang terutama penggunaan pikiram-pikiran kritis dan analisisnya karena pada akhirnya ia hasrus menghasilkan suatu sintesis dari seluruh hasil penelitiannya atau penemuannya itu di dalam penulisan yang utuh.

3. Perpanjangan Pengamatan

Perpanjangan pengamatan berarti peneliti kembali kelapangan melakukan pengamatan wawancara lagi dengan sumber data yang ditemui maupun pernah yang baru. Hubungan peneliti dengan narasumber akan seakin terbentuk rapport, semakin akrab, semakin terbuka, saling mempercayai sehingga tidak ada informasi yang disembunyikan lagi. Bila terbentuk rapport, maka telah terjadi kewajaran dalam penelitian, dimana kehadiran peneliti tidak lagi menggangu perilaku yang ditwliti.

(31)

24 Selama melakukan penelitian, peneliti akan berusaha untuk mengikuti aktivitas yang dilakukan warga dalam aktivitas kesehariannya. Observasi awal dilakukan pada 06 s.d 12 Juli 2020. Namun, peneliti melakukan perpanjangan pengamatan pada 28 Agustus s.d 09 September 2020.

(32)

25 BAB V

HASIL LUARAN YANG DICAPAI

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Kota Banjarmasin. Kota Banjarmasin terletak pada 3°15' sampai 3°22' Lintang Selatan dan 114°32' Bujur Timur, ketinggian tanah asli berada pada 0,16 m di bawah permukaan laut dan hampir seluruh wilayah digenangi air pada saat pasang. Kota Banjarmasin berlokasi daerah kuala sungai Martapura yang bermuara pada sisi timur Sungai Barito. Letak Kota Banjarmasin nyaris di tengah-tengah Indonesia. Kota ini terletak di tepian timur sungai Barito dan dibelah oleh Sungai Martapura yang berhulu di Pegunungan Meratus. Kota Banjarmasin dipengaruhi oleh pasang surut air laut Jawa, sehingga berpengaruh kepada drainase kota dan memberikan ciri khas tersendiri terhadap kehidupan masyarakat, terutama pemanfaatan sungai sebagai salah satu prasarana transportasi air, pariwisata, perikanan dan perdagangan. Secara khusus penelitian difokuskan pada tiga Kelurahan yang merupakan representasi pemukiman bantaran sungai. Berikut deskripsi gambaran umum tiap kelurahan:

B. Kelurahan Sungai Jingah

Kelurahan Sungai Jingah merupakan salah satu kelurahan yang ada di Kecamatan Banjarmasin Utara yang berada di pinggiran kota Banjarmasin, merupakan lahan pemukiman yang sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda dimana dahulunya dikenal dengan sebutan “Afdelling Sungai Jingah” atau areal

(33)

26 perkebunan kelapa yang meliputi beberapa kampung yaitu Kampung Kenanga, Kampung Parodan, Kampung Sungai Andai dan Kampung Sungai Jingah.

Kampung Kenanga dinamakan demikian karena dahulunya banyak kembang kenanga yang dikebunkan oleh masyarakat yang lahannya mayoritas dimiliki oleh warga Pangambangan sehingga dikenal sebagai kampung penghasil kembang.Namun seiring perkembangan Pembangunan Kampung tersebut tidak lagi menghasilkan mata pencaharian kembang tersebut dan sekarang berubah menjadi rumah penduduk. Kampung Parodan berasal dari “Parutan Kelapa” karena pada umumnya sebagian besar masyarakat di sana mata pencahariannya sebagai tukang parut kelapa dan merupakan sentra pengolahan minyak kelapa.Juga sekarang sudah beralih pungsi sebaga perumahan namun kampung tersebut masih d abadikan dengan nama tersebut

Kampung Sungai Jingah sendiri diambil dari nama anak sungai Martapura yang dulunya banyak ditumbuhi oleh pohon jingah. Setelah kemerdekaan Kampung Sungai Jingah masih berupa kampung tradisional yang memanjang di bantaran sungai Martapura dari sungai Kuin (Antasan Kecil Timur) sampai ke muara sungai Awang. Seiring dengan pesatnya perkembangan Kota Banjarmasin, dimulai dengan perkembangan pembangunan SD-SD Inpres sekitar tahun 1975-1976 disusul dengan dibuatnya jalan pintas dari Kampung Kenanga ke jalan Mesjid yang sekarang menjadi Jalan Jahri Saleh dan menjadi cikal bakal jalan Tembus SMA 5 atau sekarang disebut jalan Sultan Adam, menjadikan Sungai Jingah tidak lagi sebagai daerah yang terisolir.

(34)

27 Pada tahun 1979 dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, atau waktu tepatnya pada tanggal 22 Desember 1980 terbit Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor : 140-502 tentang Penetapan Kampung/Desa menjadi Kelurahan, maka Kampung Sungai Jingah berubah menjadi Kelurahan dan dimekarkan menjadi 2 (dua) yaitu:

1. Kelurahan Sungai Jingah 2. Kelurahan Surgi Mufti

Kedua Kelurahan tersebut dipisahkan oleh batas alam berupa anak sungai Martapura yang dinamakan “Sungai Jingah”. Dengan terbukanya isolasi Kampung Kenanga karena adanya jalan tembus, maka terjadilah peralihan di wilayah Kelurahan Sungai Jingah. Perkebunan kelapa yang tidak lagi produktif yang semula dimiliki oleh tuan-tuan tanah, oleh ahli warisnya dijual kepada para pengembang perumahan. Dimulai dengan tumbuhnya Komplek H. Andir, disusul Komplek Perumahan H. Iyus, Komplek Surya Acit (sekarang Komplek Mahligai) dan pada tahun 1994 oleh Pemerintah Kotamadya Banjarmasin dilakukan pembangunan Perumahan Kotamadya sebagai penampungan karyawan Pemko di jalan Kamboja, disusul dengan pemindahan warga jalan Pos, pindahan warga Pasar Rambai, Komplek Veteran Republik Indonesia dan pada tahun 1996 dilakukan pemindahan bagi warga yang tergusur di jalan Jafri Zam-zam.

Melihat tingkat perkembangan penduduk yang cukup tinggi, maka pada tahun 2010 kembali Kelurahan Sungai Jingah dimekarkan menjadi 2 (dua) Kelurahan yakni Kelurahan Sungai Jingah itu sendiri dan Kelurahan Sungai Andai. Pemekaran wilayah tersebut ditetapkan dengan Perda Nomor 01 Tahun 2010 Tentang

(35)

28 Pemekaran, Perubahan, dan Pembentukan Kelurahan Dalam Daerah Kota Banjarmasin yang efektif berlaku terhitung tanggal 1 Agustus 2010. Dengan jumalah RT sekarang menjadi 28 Rt dan 2 RW. Berikut peta wilayah Kelurahan Sungai Jingah:

Gambar 1. Kelurahan Sungai Jingah

Sumber: Profil Kelurahan Sungai Jingah (2018)

C. Kelurahan Sungai Bilu

Kelurahan Sungai Bilu merupakan bagian wilayah Kecamatan Banjarmasin Timur yang mempunyai luas wilayah 0,55 Km2, dengan jumlah penduduk sampai dengan akhir tahun 2006 tercatat 9.956 jiwa dan 2.921 Kepala Keluarga, yang terdiri dari 5.061 jiwa laki-laki dan 4.895 jiwa perempuan. Sedangkan kalau dilihat

(36)

29 dari tingkat pendidikan masyarakat, lebih di dominasi olah lulusan SLTP dan SLTA/Sederajat. Sementara dari klasifikasi usia, terbanyak berada pada usia produktif antara 22 hingga 59 tahun atau 55,76 % dari jumlah penduduk keseluruhan, dengan mata pencaharian terdiri dari Petani, Pedagang, PNS, Buruh, Nelayan, Pengusaha, dan Pekerjaan Lainnya dan kurang lebih 3000-an lagi yang masih belum memilki pekerjaan tetap dan pengangguran. Aspek kemasyarakatan, di Kelurahan Sungai Bilu terdiri dari bermacam-macam etnis, suku bangsa dan penganut agama, dengan mayoritas pemeluk agama Islam yang mencapai 9.696 jiwa atau 97,38 %. Namun dalam hubungan antar umat beragama dapat berjalan dengan baik dan harmonis, karena adanya rasa toleransi yang tinggi antar pemeluk agama, suku bangsa, dengan dilandasi semangat kekeluargaan dan kegotong-royongan yang sudah terjalin sejak lama. Di Kelurahan Sungai Bilu keadaan suku bangsa dapat diperkirakan menurut klasifikasinya sebagai berikut:

a. Suku Banjar 7.016 Jiwa ( 70,47 % )

b. Suku Jawa 1.200 Jiwa ( 12,05 % )

c. Madura 540 Jiwa ( 5,42 % )

d. Suku Lainnya 1.200 Jiwa ( 12,05 % ) (Suku Dayak, Bugis, Batak, Keturunan Arab dsbnya).

(37)

30 Gambar 2. Peta Kelurahan Sungai Bilu

Sumber: Profil Kelurahan Sungai Bilu (2019)

Sesuai dengan undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.Bahwa daerah diberikan kewenangan untuk mengatur rumah tangganya sendiri sesuai dengan potensi yang ada di daerah tersebut. Hal ini merupakan landasan bagi daerah untuk membuat suatu aturan-aturan guna melakukan upaya-upaya penggalian dalam rangka meningkatkan sumber pendapatan asli daerahnya untuk membiaya pembangunan baik pembangunan di bidang fisik, sosial ekonomi, politik, budaya maupun pembangunan di bidang kehidupan masyarakat lainnya yang bertujuan untuk meningkatkan kehidupan yang layak berdasarkan keadilan dan pemerataan pembangunan.

Penyelenggaraan kebijakan pemerintahan daerah juga secara langsung berdampak terhadap pemerintahan yang terbawah dalam penyelenggaraan

(38)

31 Pemerintahan Kelurahan dengan segala kompleksitas yang ada dalam masyarakat sebagai ujung tombak dari penyelengaraan Pemerintahan Daerah Kota Banjarmasin serta mengacu pada pengertian literature tentang Visi yang mengandung arti sebagai cara pandang jauh kedepan, dalam kontek instansi pemerintah adalah gambaran tentang keadaan ideal organisasi dimasa depan yang didasarkan pada pemahaman yang tepat tentang makna realitas dan situasi yang ada dilingkungan masyarakat. Dalam pelaksanaannya visi Pemerintahan Kelurahan Sungai Bilu mengacu pada pola dasar Pembangunan Daerah Kota Banjarmasin.

D. Kelurahan Kuin Utara

Nama Kuin dalam beberapa pustaka kadang ditulis Kuwin atau Kuyin mengingatkan kita pada tradisi atau istilah Barat mengacu pada kata “Queen“ yang berarti ratu atau raja, yaitu penguasa tertinggi dalam sistem pemerintahan monarki atau kerajaan. Hal ini tidak dipungkiri sebagai kenyataan sejarah bahwa di sinilah pusat Kerajaan Banjar didirikan dan pernah eksis sebelum dijajah oleh Belanda pada tahun 1612 M. Dengan peristiwa tersebut kota Kuin dahulu untuk sementara ditinggalkan dan pusat pemerintahan berpindah di sekitar Martapura. Pada saat pusat pemerintahan kesultanan di Kuin pengaruh kekuasaannya meliputi daerah yang sangat luas, Kalimantan bagian Selatan, Kalimantan bagian Tengah, antara lain: Kapuas, Kotawaringin, Lamandau, sebagian Kalimantan bagian Timur hingga Pasir, Berau dan sebagian Kalimantan bagian Barat.

Penyebaran agama Islam dimulai di Kuin. Perihal ini ditandai oleh pemelukan agama Islam oleh raja Banjar pertama Pangeran Samudera yang kemudian bergelar Sultan Suriansyah yang diikuti yang dikuti oleh rakyatnya, yang mana proses

(39)

32 pengislaman itu dipimpin oleh Khatib Dayyan dari Kesultanan Demak.Keberadaan Kerajaan Banjar pada saat berada di Kuin digambarkan berada di sekitar lima sungai kecil, yaitu; sungai Sugaling, Keramat, Pangeran (Pageran), Jagabaya dan Pandai. Kelima sungai ini bertemu dan membuat danau kecil bersimpang lima, dan daerah inilah yang dahulunya menjadi ibu kota Kerajaan Banjar. Oleh karena itu, kampung ini disebut dengan Kampung Raja karena pernah menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Banjar.

Pada tahun 1979 dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, atau waktu tepatnya pada tanggal 22 Desember 1980 terbit Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor: 140-502 tentang Penetapan Kampung/Desa menjadi Kelurahan, maka Kampung Kuin berubah menjadi Kelurahan.

Dimulai dari banyaknya pembangunan perumahan di Kelurahan Kuin Utara sehingga penduduk Kelurahan Kuin Utara terus bertambah dan pada saat itu Kelurahan kuin Utara terdiri dari 32 RT dan 4 RW Kemudian pada tahun 2011, tepatnya sejak tanggal 01 Oktober 2011 jumlah RT yang ada di Kelurahan Kuin Utara berkurang, yaitu hanya tinggal 24 RT dan 2 RW, karena adanya Regrouping RT se Kota Banjarmasin. Sehubungan dengan telah diundangkannya Perda No. 23 Tahun 2011 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Lembaga Kemasyarakatan Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) di Wilayah Kota Banjarmasin.

Kelurahan Kuin Utara merupakan salah satu salah satu dari sepuluh Kelurahan yang berada di wilayah Kecamatan Banjarmasin Utara Kota Banjarmasin Provinsi Kalimantan Selatan, letak Kelurahan Kuin Utara termasuk

(40)

33 Daerah Aliran Sungai (DAS) yang sebagian besar wilayah Kelurahan Kuin Utara dilalui oleh salah satu sungai besar di Banjarmasin yaitu sungai Kuin. Kelurahan Kuin Utara ada umumnya merupakan dataran rendah yakni 0,16 m dibawah permukaan laut dengan kondisi daerah berpaya-paya dan relative datar sehingga pada waktu air laut pasang ada beberapa bagian di Wilayah itu digenangi air dengan curah hujan rata-rata 2000 hingga 3000 mm pertahun. Kelurahan Kuin Utara semula merupakan bagian dari Desa Kuin yang lebih luas, kemudian hari dimekarkan meliputi empat Kelurahan yaitu Kelurahan Kuin Utara, Kelurahan Pangeran termasuk dalam Wilayah Kecamatan Banjarmasin Utara dan Kelurahan Kuin Selatan, dan Kelurahan Kuin Cerucuk masuk dalam Wilayah Kecamatan Banjarmasin Barat.

Kelurahan Kuin Utara berbatasan dengan:

a. Sebelah Utara : Kelurahan Alalak Selatan b. Sebelah Timur : Kelurahan Pangeran

c. Sebelah Selatan : Sungai Kuin-Kecamatan Banjarmasin Barat d. Sebelah Barat : Sungai Barito

E. Wujud Modal sosial etnik Banjar di Banjarmasin

Dilihat dari segi sumber daya yang terendap di dalamnya, modal dapat dikategorikan menjadi beberapa bentuk: modal finansial, modal fisik, modal manusia dan modal sosial. Masing-masing bentuk modal tersebut memiliki perbedaan dalam pola atau proses investasi untuk memperoleh keuntungan ekonomi (economic gain) dan manfaat sosial (social benefit) (Usman, 2008). Modal sosial saat ini banyak dipakai oleh para akademisi maupun praktisi dalam berbagai kajian. Modal sosial terutama hadir sebagai alternatif bentuk modalitas lain seperti modal

(41)

34 ekonomi, modal budaya dan modal manusia. Pierre Bourdieu (1986) memperkenalkan konsep modal sosial dalam konteks perdebatan bentuk-bentuk modalitas tersebut. Bourdieu (1986) memperdebatkannya dengan melihat peluangnya untuk dikonversikan. Menurut Bourdieu, bukan hanya modal ekonomi yang mudah dikonversikan ke dalam bentuk uang, melainkan modal budaya yang pada situasi tertentu, dapat dikonversikan menjadi modal yang memiliki nilai ekonomi. Usman menjelaskan (2018):

Modal ekonomi atau finansial dihubungkan dengan upaya mengelola, meingkatkan, mengalokasikan dan menggunakan dana yang dimiliki sebagai sumber daya moneter untuk memperoleh keuntungan ekonomi atau manfaat sosial melalui kegiatan produktif. Modal fisik lebih dihubungkan kepada faktor produksi barang atau jasa yang dalam konteks ini adalah bahan baku serta infrastruktur untuk mengolahnya. Modal manusia lazim dikaitkan dengan upaya mendayagunakan kepandaian, keterampilan (skill), tingkat dan keragaman pendidikan serta pengalaman individual.

Modal sosial memfokuskan pada upaya mendayagunakan relasi-relasi sosial. Modal sosial tidak menjunjung tinggi properti utama teori modal klasik dan, karenanya, tidak memenuhi syarat sebagai modal, yang lain mempertahankan bahwa sebagian besar sifat modal sosial mirip dengan teori modal klasik. Pengetahuan tentang teori modal klasik adalah prasyarat untuk berkontribusi pada perdebatan modal sosial (Bhandari dan Ysinoubu, 2009). Namun demikian, ada keyakinan bahwa modal sosial menyorot relasi atau hubungan sosial sedangkan bentuk-bentuk lain dari modal terutama terletak pada individu saja (Robison et al, 2002 dalam Bhandari dan Ysinoubu, 2009). Konsep modal sosial sebenarnya muncul dari pemikiran bahwa anggota masyarakat tidak mungkin dapat secara individu mengatasi berbagai masalah yang dihadapi. Diperlukan adanya kebersamaan dan kerjasama yang baik dari segenap anggota masyarakat yang

(42)

35 berkepentingan untuk mengatasi hal tersebut (Syahra, 2003). Syahra (2003) mengemukakan:

Pemikiran seperti inilah yang pada awal abad ke 20 mengilhami seorang pendidik di Amerika Serikat bernama Lyda Judson Hanifan untuk memperkenalkan konsep modal sosial pertama kalinya. Dalam tulisannya berjudul ‘The Rural School Community Centre' (Hanifan, 1916:130). Hanifan mengatakan modal sosial bukanlah modal dalam arti biasa seperti harta kekayaan atau uang, tetapi lebih mengandung arti kiasan, namun merupakan aset atau modal nyata yang penting dalam hidup bermasyarakat

Modal sosial bukan semata-mata dilihat sebagai sebuah hasil melainkan lebih kepada proses. Modal sosial mengalami pembentukan terus-menerus dan senantiasa mengakumulasi dirinya. Berbeda dengan bentuk modalitas lain, modal sosial tidak pernah habis ketika dipakai. Kualitas modal sosial justru semakin baik apabila sering dimanfaatkan. Berkenaan dengan hal tersebut, beberapa faktor umum yang mempengaruhi pembentukan modal adalah: kebiasaan, kedudukan (peranan aktor), pendidikan, kelas sosial ekonomi dan nilai-nilai personal. Modal sosial terutama berakar pada gagasan kepercayaan, norma, dan jaringan informal dan percaya bahwa relasi sosial adalah sumber daya yang berharga (Bhandari dan Yasinoubu, 2009).

Ketiga hal tersebut, yaitu norma sosial, jaringan sosial dan kepercayaan merupakan indikator atau unsur modal sosial. Ketiganya merupakan hubungan saling berkelanjutan. Pada prinsipnya, modal sosial berbicara mengenai ikatan atau kohesi sosial. Gagasan sentral modal sosial tentang ikatan sosial adalah bahwa jaringan merupakan aset yang sangat bernilai – dasar bagi kohesi sosial karena mendorong iklim kerjasama untuk memperoleh manfaat (Field, 2010).

Pada kenyataannya, menggunakan hubungan untuk bekerjasama membantu orang memperbaiki kehidupan mereka. Relasi-relasi sosial tersebut dapat

(43)

36 diberdayakan sebagai modal untuk mendapat bukan hanya keuntungan ekonomi tetapi manfaat sosial. Pertanyaannya kemudian, seperti diajukan oleh Usman (2018) adalah bagaimana orang mendayagunakan relasi-relasi sosial sehingga menjadi sumber daya yang dapat dinvestasikan untuk tujuan memperoleh keuntungan ekonomi atau manfaat sosial? Untuk dapat menjawab pertanyaan tersebut adalah dengan menelisik efek atau dampak dari relasi-relasi sosial. Pertama, relasi sosial memfasilitasi aliran informasi tentang berbagai macam kebutuhan lingkungan.

Penguasaan informasi memiliki peran penting dalam memprediksi kebutuhan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Kedua, relasi sosial berkorelasi positif dengan pengaruh yang mampu menjadi kekuatan memobilisasi dukungan. Ketiga, relasi sosial adalah media menanamkan dan menebarkan trust sehingga orang dapat mengembangkan hubungan yang saling menguntungkan satu-sama lain. Keempat, relasi sosial adalah media mempertegas identitas sehingga orang mudah mengembangkan hubungan yang saling menghargai. Hubungan saling menghargai tersbeut menciptakan kondisi kondusif untuk berbagi kepentingan dan sumber daya. Hubungan semacam ini bukan hanya memberikan rasa aman tetapi juga memberi jaminan keberlangsungan kegiatan (Koput, 2010: 4-6 dalam Usman, 2018: 5).

Unsur modal sosial selanjutnya adalah jaringan sosial. Definisi jaringan sebagai unsur modal sosial adalah sekelompok orang yang memiliki norma-norma atau nilai-nilai informal di samping norma-norma atau nilai-nilai yang diperlukan untuk transaksi biasa di pasar (Fukuyama, 2005: 245). Pertukaran informasi yang diwadahi oleh jaringan untuk berinteraksi akhirnya berkontribusi memunculkan

(44)

37 kepercayaan di antara mereka (Fukuyama, 2002). Jaringan sosial dapat terbentuk karena adanya nilai dan norma yang dipegang teguh bersama yang kemudian melandasi lahirnya kerja sama. Namun demikian, kerja sama sosial tidak serta merta muncul begitu saja. Hal tersebut dapat dimunculkan dengan menciptakan identitas bersama, pertukaran moral dan pengulangan interaksi. Fukuyama (2005) menjelaskan:

Orang cenderung ceroboh menggunakan istilah asas timbal balik (reciprocity) atau pengorbanan timbal balik (reciprocal altruism). Istilah tersebut dianggap sama dengan istilah tukar-menukar di pasar (market exchange), padahal tidak demikian. Di pasar, barang ditukarkan serentak. Pembeli dan penjual mengikuti perkembangan nilai tukar dengan cermat. Sedangkan menyangkut pengorbanan timbal balik, pertukaran bisa terjadi pada waktu yang berbeda. Pihak yang yang satu memberikan manfaat tanpa mengharapkan balasan langsung, dan tidak mengharapkan imbalan yang sepadan.

Penekanan pada waktu perolehan manfaat atau imbalan yang diterima di kedua belah pihak. Pertukaran pasar terjadi secara serentak dengan memprioritaskan pada perolehan manfaat yang paling tidak setimpal di antara keduanya. Sementara asas timbal balik sama sekali tidak demikian. Prinsip seperti inilah yang merefleksikan kualitas modal sosial yang baik. Terkait dengan pengulangan interaksi. Modal sosial berdasarkan tipe ikatan sosial (jaringan sosial) dapat dibedakan sebagai berikut (Woolcock, 2001):

(a) Modal sosial mengikat (bonding social capital), berarti ikatan antara orang dalam situasi yang sama, seperti keluarga dekat, teman akrab dan rukun tetangga. (b) Modal sosial menjembatani (bridging social capital), mencakup ikatan yang lebih longgar dari beberap orang, seperti teman jauh dan rekan kerja. (c) Modal sosial menghubungkan (linking social capital), menjangkau orang-orang pada situasi berbeda yang sepenuhnya berada di luar komunitas, sehingga mendorong anggotanya memanfaatkan banyak sumber daya dari yang tersedia di dalam komunitas.

Modal sosial mengikat cenderung mendorong identitas eksklusif dan mempertahankan homogenitas. sedangkan modal sosial menjembatani cenderung

(45)

38 menyatukan dari beragam ranah sosial (Putnam, 2000). Masing masing bentuk tersebut mampu menyatukan kebutuhan yang berbeda dari masing-masing anggota. Modal sosial yang mengikat adalah perekat dan memperkuat identitas spesifik (Putnam, 2000). Modal sosial menjembatani merupakan hubungan- hubungan yang menjembatani lebih baik dalam menghubungkan aset eksternal dan bagi persebaran informasi dan dapat membangun identitas dan timbal balik lebih luas (Putnam, 2000).

Bridging ditandai oleh hubungan sosial yang bersifat terbuka (inklusif), para anggotanya mempunyai latar belakang yang heterogen. Orientasi kelompok ini lebih ditekankan upaya-upaya bersama dalam mencari jawaban atas permasalahan bersama, serta mempunyai cara pandangan keluar outward looking. Sedangkan bonding yaitu kapital sosial bersifat eksklusif, keanggotannya biasanya didasarkan atas berbagai kesamaan, seperti kesamaan suku, etnis dan agama, hubungan antar individu bersifat tertutup, lebih mengutamakan solidaritas dan kepentingan kelompok (Asrori, 2014:761).

Gambar 3. Bonding, Bridging dan Linking Social Capital

Sumber: Babaei, Hamidreza, et.al. 2012

Jaringan dan kerja sama tidak dapat dipisahkan. Bonding social capital berperan dalam menciptakan identitas bersama yang kuat. Hal ini penting sebagai salah satu syarat menumbuhkan kerjasama internal kelompok. Dalam pembentukan jaringan, menumbuhkan iklim kerja sama adalah syarat lain selain nilai dan norma

(46)

39 bersama (Fukuyama, 2005). Modal sosial dalam konteks bonding social capital memiliki ciri dasar yang melekat baik individu maupun kelompok. Namun, perhatian berorientasi ke dalam (inward looking) dibandingkan ke luar (outward looking) (Putnam, 1993). Jenis masyarakat atau individu yang menjadi anggota kelompok ini umumnya homogenius, misalnya seluruh anggota kelompok berasal dari suku yang sama. Fokus perhatian pada upaya menjaga nilai-nilai yang turun temurun diakui dan dijalankan sebagai bagian dari tata perilaku (code of conduct) dan perilaku moral (code of ethics) dari suku atau entitas tersebut. Mereka cenderung konservatif dan lebih mengutamakan solidarity making dari pada perihal yang lebih nyata untuk membangun diri dan kelompok sesuai dengan tuntutan nilai dan norma masyarakat yang terbuka (Coleman J. S., 1999).

Adapun kaitan bonding social capital dengan aktivitas sosial pada Urang Banjar di bantaran sungai ditunjukkan melalui hubungan kedekatan hubungan keluarga, kelompok keagamaan, tetangga, maupun teman dekat. Sebagaimana dipaparkan di atas, hubungan yang muncul sangat tertutup, kuat, dan terjadi berdasarkan interaksi berkali-kali. Hubungan interaksi antar mereka terjalin dikarenakan memiliki kepercayaan yang kuat dengan latar belakang sosial yang cenderung sama. Bentuk bonding social capital adalah perilaku gotong royong masyarakat. Gotong royong masyarakat sebagai bentuk kerjasama tradisional yang turun temurun tidak menghilang. Gotong royong dapat didapatkan pada beberapa aktivitas sosial sebagai berikut:

(47)

40 Tabel 3. Bentuk Aktivitas Sosial Gotong Royong

No Bentuk Aktivitas Sosial Istilah Aktivitas

1 Gotong Royong dalam menyiapkan makanan pada acara keagamaan maupun hajat (Selamatan)

Mengawah

2 Gotong Royong dalam menjaga kebersihan Babarasih 3 Gotong Royong dalam memperbaiki jalan

maupun jembatan

Batimbuk/Manimbuk

4 Gotong Royong dalam mengumpulkan dana untuk acara keagamaan

Bahandil

Sumber: Peneliti (data diolah, 2020)

Gotong royong dimaknai sebagai kerja bakti yang dilakukan tanpa mengharapkan balasan. Perihal ini hanya didasarkan pada keihlasan seseorang untuk ambil andil mensukseskan satu kegiatan. Gotong royong yang dilakukan melalui aktivitas sosial tidak berhubungan dengan kepentingan personal melainkan untuk kepentingan bersama. Berdasarkan keempat bentuk aktivitas sosial Urang Banjar yang mencerminkan bonding social capital yang sangat dipengaruhi oleh rasa kepercayaan satu sama lain. Walaupun bonding social capital bersifat tertutup dalam artian hanya terjadi pada hubungan kedekatan yang sangat erat. Namun, Urang Banjar memberikan ruang kepercayaan yang besar agar setiap unsur keluarga berpartisipasi.

Bagi Urang Banjar, nilai kepercayaan (saling percaya) yang mengakar antar keluarga diikat sebagai bagian dari akar kultural, seperti etika dan moral. Kepercayaan antar keluarga menjadi pegangan dalam interaksi sosial untuk menanamkan nilai-nilai moral, sebagai jalan menuju berkembangnya nilai-nilai kejujuran (Daud, 1997). Partisipasi anggota keluarga menjadi wadah untuk asosiasi jaringan sosial lokal mempunyai dampak positif bagi masyarakat sekitar. Gotong

(48)

41 royong yang terjalin dengan dengan baik diartikan sebagai penempatan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi (Abbas, Winarso, & Meilina, 2019). Kepercayaan yang awalnya hanya dilandasi oleh hubungan keluarga diharapkan berfungsi sebagai energi sosial yang dapat membuat kelompok masyarakat atau organisasi mampu bertahan dari kemungkinan berbagai masalah yang dihadapi. Bila kepercayaan tidak menjadi pegangan dalam berinteraksi dapat mengakibatkan banyak energi terbuang sia-sia karena hanya dipergunakan untuk mengatasi saling curiga dan konflik yang berkepanjangan.

Subjek yang menggerakan gotong royong dalam aktivitas sosial Urang Banjar merupakan orang yang di tua kan dalam di masyarakat sekita (kadang disebut tuan guru) (Istiqomah & Setyobudihono, 2017). Tentunya diperlukan unsur kepemimpinan yang menggerakaan. Unsur ini adalah nilai sosial, suka menolong, menghargai pimpinan lain, serta memiliki tutur bahasa yang sopan. Walaupun demikian, setiap anggota keluarga khususnya maupun masyarakat umumnya, memiliki hak dan kewajiban dalam menjalannkan gotong royong. Berdasarkan hasil wawancara dengan bapak Ambani (60 tahun) “bilamana ada kegiatan sosial mengawah, maka anggota keluarga lain harus membantu, jika mangkir dari kewajiban tersebut, maka ia akan dikucilkan dalam kegiatan sosial”.

Setiap keluarga yang memiliki hajat untuk melaksanakan kegiatan gotong royong, maka diperlukan komunikasi terhadap masyarakat sekitar. Urang Banjar memiliki satu kebiasaan yakni menawarkan sesuatu kepada orang. Penawaran tidak hanya bersifat materil tetapi juga non materil. Penawaran tersebut dapat dikemukakan dikondisi yang tidak tertudaga, misalnya saat sedang minum kopi

(49)

42 bersama di warung, ataupun sepulangnya dari mushola. Tentunya penawaran tersebut bukan basa-basi semata dan harus dimaknai sebagai kesungguhan terhadap permohonan terhadap pertolongan. Perihal inilah yang membuat Urang Banjar terbiasa dengan kepercayaan bahwa seluruh unsur keluarga, tetangga, teman dekat senantiasa rela memberikan bantuan tanpa mengharapkan balasan.

Bonding Social Capital memberikan ruang agar kepercayaan sosial dapat timbul dari norma timbal balik dan jaringan sosial (Mutiani & Faisal, 2019). Keterikatan dan kepatuhan anggota keluarga dimaksudkan bermuara pada norma sosial memberikan hubungan timbal balik dalam satu kesepakatan aturan yang dipedomani dan dilakukan. Perihal ini diyakini mempermudah anggota masyarakat dalam mengenal dan membentuk kelompok jaringan sosial. Dalam konteks kepercayaan sosial dijadikan sebagai kunci komponen modal sosial. Dengan demikian melalui bonding social capital yakni aktivitas sosial (gotong royong) maka terbentuklan modal sosial. Prevalensi kepercayaan di dalam masyarakat atau di bagian tertentu dari itu. Adanya kepercayaan dan norma timbal balik, keadilan, kerjasama, dan manfaat yang diperoleh pada hubungan sosial, sangat penting untuk memfasilitasi dan memperkuat kelembagaan effisiensi kinerja. Berbagai tindakan kolektif yang didasari atas saling mempercayai meningkatkan partisipasi masyarakat dalam membangun kemajuan bersama.

Bridging social capital pada gilirannya berperan penting bagi kelompok untuk menciptakan perluasan kerjasama terhadap kelompok lain. Mengembangkan jaringan sosial yang didasarkan pada norma-norma bersama dan iklim kerjasama membuat modal sosial berkembang. Jaringan sosial, bagaimanapun memfasilitasi

Gambar

Tabel 1. Sumber Data
Gambar 1. Kelurahan Sungai Jingah
Gambar 3. Bonding, Bridging dan Linking Social Capital
Tabel 4. Modal Sosial Kampung Hijau Sungai Bilu

Referensi

Dokumen terkait

Hasil analisis ragam (ANOVA) terhadap total hasil tangkapan untuk setiap shortening menunjukkan bahwa perlakuan shortening berpengaruh terhadap total hasil tangkapan.

Dari penegasan dapat disimpulkan bahwa hidup sesudah mati menurut Islam adalah suatu kehidupan baru yang pasti yang akan terjadi yang hanya Allah akan mengetahuinya setelah

Perkuliahan dilaksanakan dengan menggunakan model interaktif yang memadukan kegiatan presentasi dosen dan mahasiswa secara bergantian. Tes Tulis Tercantum

Diperoleh data bahwa sebelumnya permasalahan Peraturan Daerah tersebut sudah ada dilakukan penelitian yaitu kajian Muhammad Ali Siregar (2014) dengan membahas

Dari lima sampel yang ada menunjukkan semakin rendah proporsi tepung tacca yang digunakan maka kesukaan terhadap rasa semakin tinggi, dikarenakan masih terdapat rasa pahit

Adapun variabel Independen dalam penelitian ini adalah: kecukupan modal (X 1 ) yang diukur dengan CAR dan kualitas aset.. (X 2 ) yang diukur

Berdasarkan hasil penemuan bahwa sikap mahasiswa Jurusan PLB-FIP UNJ beragam, yaitu terdapat sikap positif, sikap negatif, dan sikap ragu- ragu terhadap peningkatan

Konsep mengenai sehat dan sakit perlu dicermati secara hati-hati pada dunia k erja karena membawa imp l ikasi pada kesempatan yang diberikan.. Padahal ada