• Tidak ada hasil yang ditemukan

UJI FERTILITAS SEMEN CAIR PADA INDUK SAPI PERANAKAN ONGOLE PADA KONDISI PETERNAKAN RAKYAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "UJI FERTILITAS SEMEN CAIR PADA INDUK SAPI PERANAKAN ONGOLE PADA KONDISI PETERNAKAN RAKYAT"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

UJI FERTILITAS SEMEN CAIR PADA INDUK SAPI

PERANAKAN ONGOLE PADA KONDISI

PETERNAKAN RAKYAT

(The Fertility Test of Chilled Semen on Peranakan Ongole Cows at

Farmers Condition)

LUKMAN AFFANDHY1,P.SITUMORANG2,A.RASYID1danD.PAMUNGKAS1

1Loka Penelitian Sapi Potong, Grati, Pasuruan 67184 2Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002

ABSTRACT

The increase of beef cattle productivity needs reproduction technology, especially management and reproductive efficiency. The objective of this research was conducted to reach the fertility of chilling semen of beef cattle. The chilled semen was processed at Grati laboratory. The respondent and cows were chosen by purposive random sampling based on normal reproductivity. The area were in low and medium/high land. The totals of inseminated cows were 60 head as of 30 cows, which inseminated at peak estrus and 30 cows inseminated 6−12 hours late estrus. The farmer responses of artificial insemination technology were positive with score over four (4), especially the farmer at medium/high area. Service per conception and calving interval of cows and insemination price at medium/high were higher than those in low area, but the mating in medium/high was both natural and artificial mating and only natural mating was recorded in low land. The evaluation of fresh semen and chilled semen were motility 84,2 ± 4,8% and 63,3 ± 5,8%, respectively. The results in low land showed that the pregnant which inseminated at peak estrus and 6−12 hours late estrous occurred over 22 and 22 head (73%) with S/C 1,0 ± 0,0 and 1,1 ± 0,3, respectivelly. Meanwhile in high land, the pregnant animals which were inseminated at peak estrus and 6−12 hours late estrous occurred over 21 head (70%) and 25 head (83%) with S/C 1,0 ± 0,0 and 1,1±0,2, respectivelly. The persentage of using straw from chilled semen at high land was 98% and 78 at low land. Therefore, the chilled semen has a good prospect for increasing farmers income and has an effect on highly conception rate.

Key words: Beef cattle, fertility, bull semen

ABSTRAK

Peningkatan produktivitas sapi potong perlu adanya dukungan teknologi reproduksi guna memperbaiki dan mempertahankan fertilitas sapi potong. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan fertilitas semen cair pejantan Peranakan Ongole (PO) terhadap induk sapi PO pada usaha peternakan rakyat. Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Nguling (dataran rendah) dan Kecamatan Purwosari (dataran medium-tinggi) Kabupaten Pasuruan, sejak bulan Juni-Desember 2003. Materi penelitian menggunakan sapi-sapi induk PO milik rakyat dengan jumlah masing-masing lokasi adalah 60 ekor, terdiri atas 30 ekor diinseminasi pada saat puncak birahi, dan 30 ekor diinseminasi 6−12 jam setelah puncak birahi. Pembuatan semen cair dilakukan di laboratorium Loka Penelitian Sapi Potong, Grati dengan menggunakan pengencer air kelapa dan kuning telur 10% yang disimpan dalam suhu 5°C (cooler) selama 1−7 hari. Uji fertilitas di lapang pada sapi-sapi induk milik peternak yang dipilih secara purposive random sampling. Pengamatan dilakukan mulai perkawinan hingga induk bunting. Pemeriksaan kebuntingan dilakukan dengan palpasi rektal pada umur kebuntingan dua bulan. Data yang diamati meliputi data reproduksi, yakni service per conception (S/C), conception rate (CR), dan keberhasilan perkawinan, data ekonomi (harga semen cair), dan respons peternak terhadap perlakuan penelitian. Analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif. Hasil wawancara menunjukkan bahwa respons peternak terhadap pemanfaatan teknologi inseminasi buatan (IB) pada sapi potong induk memiliki rata-rata skor 4 (setuju), bahkan peternak sapi potong di dataran medium-tinggi lebih tertarik dan berminat dengan nilai skornya lebih dari 4 (sangat setuju). Hasil pemeriksaan semen segar dan cair pejantan PO (sebelum diinseminasikan) masing-masing motilitasnya adalah 84,2 ± 4,8% dan 63,3 ± 5,8% dengan pH 7. Sapi potong induk di dataran rendah yang di IB menggunakan semen cair menunjukkan hasil pemeriksaan kebuntingan (PKB) positif bunting pada waktu IB <6 jam dan 6−12 jam setelah birahi

(2)

masing-masing adalah 22 dan 22 ekor (73%) dengan S/C 1,0 ± 0,0 dan 1,1 ± 0,3. Sedangkan IB semen cair di dataran medium-tinggi yang menunjukkan positif bunting pada waktu IB <6 jam dan 6−12 jam setelah birahi masing-masing adalah 21ekor (70%) dan 25 (83%) dan dengan S/C 1,0 ± 0,0 dan 1,0 ± 0,2. Produksi rata-rata straw semen cair pada pejantan sapi potong adalah 100 straw/ml semen dengan biaya produksi Rp 2000/straw dengan persentase penggunaan straw 98% pada dataran medium-tinggi dan 7% pada dataran rendah. Disimpulkan bahwa uji fertilitas semen cair terhadap induk PO milik rakyat di dataran rendah maupun medium-tinggi memiliki prospek yang baik terhadap peningkatan pendapatan peternak dan memiliki kebuntingan yang baik (>70%).

Kata kunci: Sapi potong, fertilitas, semen pejantan

PENDAHULUAN

Peningkatan produktivitas sapi potong dapat dilakukan melalui beberapa cara, antara lain melalui penyediaan pejantan berkualitas, memperbaiki performans induk, sistem perkawinan, penyediaan pakan yang cukup dan sistem managemen yang memadai. Peningkatan produktivitas sapi potong perlu didukung teknologi reproduksi terutama yang berhubungan dengan efisiensi dan pengelolaan reproduksi guna memperbaiki dan mempertahankan fertilitasnya.

Salah satu usaha untuk memperbaiki fertilitas sapi potong dapat melalui penambahan hormonal (GLANVILL dan DOBSON, 1991; PETERS, 1996; STEVENSON et al., 1996) dan pengamatan estrus dengan waktu

inseminasi yang tepat (MACMILLAN dan BURKE, 1996; ROZEBOOM et al., 1997; ODAI, 2001). Pengamatan dengan penambahan hormonal memerlukan biaya tinggi dan tidak efisien serta sulit diterapkan oleh peternak. Perbaikan fertilitas yang lebih mudah diterapkan adalah dengan kontrol estrus dan waktu inseminasi yang tepat melalui teknologi inseminasi buatan (IB) dengan menggunakan semen beku (Frozen semen) maupun semen cair (chilled semen).

Teknologi IB menggunakan semen beku telah dikenal di seluruh Indonesia, mulai dari Sumatera hingga Papua (ANONIMUS, 2000a). Namun pelaksanaan teknologi IB di lapangan masih memiliki beberapa hambatan, antara lain keterlambatan pengadaan nitrogen cair dan container, angka post thawing motality (PTM) kurang dari 35% dengan angka kebuntingan 60% (YUSRAN et al., 2001; AFFANDHY et al., 2002). Mortalitas semen beku mulai dari produsen sampai dengan peternak memperlihatkan angka 30% (MA’SUM et al., 1993). Pada tahun 2000 realisasi IB di Jawa

Timur hanya sekitar 40% (ANONIMOUS, 2000b).

Selain teknologi semen beku, dapat pula digunakan teknologi alternatif, yaitu teknologi semen cair yang dapat digunakan secara langsung untuk perkawinan sapi, baik untuk skala industri maupun pada peternakan rakyat. Hasil penelitian pembuatan bahan pengencer semen menunjukkan bahwa biaya bahan diluter semen cair lebih murah daripada semen beku (RASYID et al., 2002); bahan diluter juga dapat menentukan kualitas spermatozoa dan tingkat fertilitas sapi terutama dalam proses pembuatan semen cair atau beku (HENDRI et al., 1999). Tingkat kebuntingan pada penggunaan semen dingin/cair (54,3%) yang lebih tinggi daripada semen beku (45,5%) (SITUMORANG, 2002). AFFANDHY et al. (2002) menyatakan bahwa, tingkat keberhasilan IB pada dataran tinggi dan rendah lebih banyak dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan peternak, pra-sarana peralatan IB dan keterampilan inseminator. Oleh karena itu, perlu menguji fertilitas pejantan dalam bentuk semen cair yang sesuai dengan kondisi agroekologi yang berbeda dan waktu yang tepat untuk pelaksanaan IB. Keberadaan pejantan berkualitas yang dimiliki peternak tertentu diperlukan teknologi yang tepat untuk dapat memanfaatkan pejantan tersebut sehingga akan didapatkan sumber semen dan keturunan yang baik dalam upaya mendukung program perbaikan mutu genetik sapi potong.

Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan fertilitas semen cair pejantan sapi potong pada agroekologi yang berbeda guna memperbaiki dan mempertahankan fertilitas serta perkembangbiakan sapi potong; dengan harapan dapat meningkatkan efisiensi reproduksi ternak sehingga produktivitas sapi potong dan pendapatan petani meningkat.

(3)

MATERI DAN METODE

Peternak responsden dan sapi akseptor IB semen cair yang terlibat dalam kegiatan penelitian ini berlokasi di dua daerah, yakni di dataran rendah (Kecamatan Nguling Kabupaten Pasuruan dan Tongas Kabupaten Probolinggo dan di dataran medium–tinggi di Kecamatan Purwosari Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur).

Kegiatan penelitian diawali dengan pembuatan semen cair yang dilakukan di laboratorium Lolit Sapo Grati dengan menggunakan pengencer air kelapa dan kuning telur 10% yang disimpan dalam suhu 5oC

(cooler) selama 1−7 hari (Gambar 1). Jenis kelapa yang dipakai adalah kelapa hijau lokal (Coccos nucifera spp.) dengan kandungan kimia air kelapa adalah karbohidrat 3,8 g/100ml, protein 0,2 g/100 ml, lemak 1,0 g/100ml dan air 95,5 g/100ml dengan kandungan gula 2% (1,7-3,3 g/100ml). Semen cair tersebut berasal dari pejantan sapi potong yang terpilih di kelompok peternak. Selanjutnya semen tersebut diuji-coba di lapangan pada sapi potong induk milik peternak yang dipilih secara purposive random

sampling berdasarkan: (1) Bangsa sapi PO dan

pernah beranak; (2) Mempunyai fungsi organ reproduksi normal; serta (3 Mendapatkan pakan yang mendekati seragam. Penelitian dilaksanakan di daerah dataran rendah dan di dataran medium-tinggi dengan pelaksanaan IB pada saat puncak birahi (<6jam) dan 6−12 jam setelah puncak birahi (Tabel 1).

Jumlah sapi induk yang digunakan pada setiap lokasi penelitian minimal adalah 60 ekor terdiri atas 30 ekor diinseminasi pada saat

puncak birahi dan 30 diinseminasi 6−12 jam setelah puncak birahi.

Pengamatan dilakukan mulai perkawinan (inseminasi) hingga induk bunting. Pemeriksaan kebuntingan dilakukan dengan palpasi rektal pada umur kebuntingan dua bulan. Data yang diamati meliputi data reproduksi (service per conception/SC,

conception rate/CR, dan keberhasilan

perkawinan), data ekonomi (harga semen cair), dan respons peternak terhadap perlakuan setelah akhir penelitian. CR (%) adalah jumlah ternak yang bunting dibagi jumlah ternak yang dikawinkan X 100% dan S/C adalah jumlah kali perkawinan dibagi jumlah ternak bunting. Dilakukan pula wawancara dan rekording hasil IB menggunakan semen beku di peternak guna mengetahui tingkat efisiensinya.

Tabel 1. Jumlah sapi induk (ekor) yang digunakan

untuk penelitian semen cair di daerah dataran rendah dan medium-tinggi

Dataran rendah (ketinggian <150 m dpl) Dataran medium-tinggi (kemedium-tinggian >150–600 m dpl) Straw IB Puncak birahi IB 6−12 jam setelah puncak birahi IB puncak birahi IB 6−12 jam setelah puncak birahi Semen cair (ekor) 30 30 30 30

Puncak birahi adalah terlihat gejala birahi secara nyata, yaitu keluar lendir, vulva bengkak, merah dan hangat, menaiki ternak lain, dan gelisah.

Gambar 1. Proses pembuatan semen cair

Penampungan Semen: - 2 X per minggu; -Evaluasi semen: volume, warna, gerakan massa, % motil, % hidup, konsentarsi sperma, pH

Pengencer A: air kelapa + 10%v/v kuning telur + 2,4% v/v gliserol; Konsentrasi spermatozoa dibuat 50 juta/cc; Temperatur 35oC

Didinginkan s/d 5oC selama 40–60 menit; Ditambah Pengencer B: air kelapa + 10% v/v kuning telur + 5,6% v/v gliserol pada suhu 15°C, 10°C dan 5°C, total pengencer B = pengencer A Semen dingin dikemas dalam mini straw (0,25 ml); Disimpan dalam suhu 5°C (kulkas) dan siap

(4)

Analisis data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif, guna mengetahui efektifitas penggunaan semen cair pada lokasi serta waktu saat IB yang berbeda dan analisis respons peternak menggunakan

Mann Withney (SIEGEL, 1997).

HASIL DAN PEMBAHASAN Pemilihan responsden

Pemilihan responsden berdasarkan respons peternak terhadap teknologi IB di dataran rendah dan medium-tinggi sebelum penelitian disajikan pada Tabel 2.

Respons peternak terhadap teknologi IB pada sapi potong induk memiliki rata-rata skor 4, bahkan peternak sapi potong di dataran medium-tinggi lebih tertarik dan berminat dengan nilai skornya lebih dari 4 (Tabel 2). Dengan adanya respons peternak terhadap teknologi IB tersebut maka kedua wilayah tersebut dapat digunakan sebagai lokasi penelitian. Sedangkan status keragaan reproduksi sapi potong induk milik peternak hasil wawancara sebelum uji penelitian di tampilkan pada Tabel 3.

Service per conception dan calving interval

(jarak beranak) sapi potong induk dan biaya IB di dataran medium-tinggi lebih tinggi daripada di dataran rendah, namun cara perkawinan di dataran medium-tinggi lebih banyak kombinasi kawin alam dan IB; sedangkan di dataran rendah lebih banyak kawin alam (84%).

Walaupun di dataran medium-tinggi lebih banyak dikombinasi kawin alam atau IB, namun masalah status keragaan reproduksi di dataran medium–tinggi lebih tinggi/bervariasi daripada di dataran rendah. Hal ini sama dengan yang dilaporkan oleh YUSRAN et

al.(2001) dan AFFANDHY et al. (2002) yang

menyatakan bahwa pelaksanaan teknologi IB di lapangan masih memiliki beberapa kendala, antara lain keterlambatan pengadaan nitrogen cair dan container, angka post thawing motality Tabel 2. Rata-rata respons peternak sebelum uji

coba penelitian di dataran medium-tinggi dan rendah

Lokasi/dataran

Uraian Medium

−tinggi Rendah Jumlah peternak (kepala

keluarga/KK)

25 25 Sikap peternak adanya

kelompok peternak 4,6 3,9

Minat mengikuti pembinaan dari dinas/lolit

4,6 3, Kesediaan diamati

sapinya 4,2 4,0

Kesediaan membantu kepada petugas IB (mantri) saat sapi birahi

4,2 4,1 Kesediaan menggunakan IB semen beku 4,2 4,0 Kesediaan menggunakan IB semen cair 4,2 4,1

Skor 5 (sangat setuju), skor 4 (setuju), skor 3 (ragu), skor 2 (tidak setuju) dan skor 1 (sangat tidak setuju).

Tabel 3. Keragaan status reproduksi sapi potong induk sebelum penelitian di dataran medium-tinggi dan

rendah

Lokasi/dataran

Uraian Medium-tinggi Rendah

Cara perkawinan

Kawin alam (%) 24 84

Kombinasi IB dan kawin alam (%) 24 12

Hanya IB (%) 52 4

Waktu perkawinan setelah puncak birahi (jam) 2,5 ± 0,8 2,8 ± 0,5

Service per conception 2,3 ± 1,1 1,6 ± 0,9

Calving interval (bulan) 16,4 ± 5,3 12,0 ± 2,8

Umur sapih (bulan) 6,1 ± 1,0 3,2 ± 0,4

(5)

(PTM) kurang dari 35% dengan angka kebuntingan 60%. Selain itu, permasalahan pelaksanaan IB pada sapi potong dengan menggunakan semen beku pada topografi mendatar dengan ekosistem persawahan di Jawa Timur lebih banyak dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal (YUSRAN et al., 2001). Hasil penelitian AFFANDHY et al. (2002) menyatakan bahwa, tingkat keberhasilan IB pada dataran tinggi dan rendah lebih banyak dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan peternak, prasarana peralatan IB dan keterampilan inseminator. Sebelum pelaksanaan penelitian atau uji-coba pemanfaatan teknologi IB di tingkat peternak perlu diadakan survei pendahuluan guna menentukan responden yang sesuai dan dapat menyimpulkan permasalahan yang tepat guna penelitian lebih lanjut dengan teknik PRA maupun menggunakan Test Uji Mann-Whitney yang dapat dipakan untuk menguji dua kelompok independen non parametrik yang telah ditarik dari populasi yang sama (SIEGAL, 1997).

Kualitas semen sebelum IB

Hasil evaluasi kualitas semen segar dan cair pada sapi potong pejantan PO disajikan dalam Tabel 4.

Evaluasi semen segar dan cair pada pejantan sapi potong sebelum diinseminasikan (IB) pada induk resipien menunjukkan bahwa motilitas masing-masing adalah 84,2 ± 4,8% dan 63,3 ± 5,8% dengan pH 7 (Tabel 4). Motilitas yang disimpan selama satu hingga

tujuh hari tidak nampak perbedaan masih diatas 40% dan bila kurang dari 40% tidak digunakan untuk IB sehingga tidak berpengaruh terhadap S/C atau CR-nya. Bangsa pejantan tersebut masih dikatagorikan baik sesuai dengan standar Balai Inseminasi Buatan Singosari, yaitu untuk pembuatan semen beku diharapkan mempunyai konsentrasi spermatozoa lebih dari 500 juta/ml (HEDAH, 1992). Hal tersebut dapat dibuktikan dengan konsistensi dan warna semen segar pejantan PO masih dalam batas diatas normal dan dikatagorikan baik. Konsentrasi spermatozoa adalah 2382,9 ± 645,1juta/ml (Tabel 4). DJANUAR (1985) menyatakan bahwa semen yang keruh dan kental dalam keadaan yang wajar akan memiliki konsentrasi yang tinggi, demikian pula warna putih kekuningan pada semen berasal dari lipochrom sel epitel kelenjar ampula dan masih normal. Hasil pengamatan gerakan massa pada pejantan PO diperoleh hasil angka +++ menandakan ciri-ciri gerakan cepat sekali seperti awan berputar (PARTODIHARJO, 1992). Dengan demikian pejantan PO yang dipakai untuk pembuatan semen cair yang berasal dari pejantan milik peternakan rakyat menunjukkan kualitas baik dan memenuhi standar sebagai bahan semen cair; hal sama dilaporkan oleh AFFANDHY et

al., (2003) bahwa kualitas semen segar

pejantan PO di peternakan rakyat lebih baik daripada pejantan F1 silangan Simmental atau Limousin. Demikian pula hasil evaluasi motilitas pada penelitian ini telah cukup memenuhi persyaratan untuk diinseminasikan pada induk sapi potong karena melebihi 40% Tabel 4. Kualitas semen segar dan cair pada pejantan sapi potong sebelum digunakan IB di peternak

Evaluasi kualitas sebelum diinseminasikan Parameter

Semen segar Semen cair

Volume per ejakulasi (ml) 6,1 ± 3,3

Warna semen Cream -

Gerakan massa +++ -

Konsistensi Sedang−kental -

Konsentrasi spermatozoa (juta/ml) 2382,9 ± 645,1 -

PH 6,9 ± 0,2 7,3 ± 0,2

Motilitas (%) 84,2 ± 4,8 63,3 ± 5,8

(6)

Tabel 5. Hasil IB semen cair pada sapi potong induk di dataran rendah dan medium-tinggi Dataran rendah (ketinggian <150 m dpl) Dataran medium-tinggi (ketinggian >150−600 m dpl) Parameter IB Puncak

birahi IB 6−12 jam setelah puncak birahi

IB Puncak

birahi IB 6−12 jam setelah puncak birahi

Jumlah Induk (ekor) 30 30 30 30

S/C 1,0 ± 0,0 1,1 ± 0,3 1,0 ± 0,0 1,0 ± 0,2

PKB (ekor) 22 (73%) 22 (73%) 21(70%) 25 (83%)

CR (%) 73 69 70 81

PKB = Pemeriksaan kebuntingan dilakukan pada dua bulan setelah IB dengan palpasi rektal

dari standar BIB (HEDAH et al., 1993). Dengan demikian teknologi pengolahan dan penyimpanan semen pejantan sapi potong yang diproses sebagai semen cair telah dibuat sesuai dengan kondisi yang tepat (bahan diluter yang cocok) sehingga menghasilkan kualitas semen (motilitas >40%) yang baik pula. Diluter dapat menentukan kualitas spermatozoa dan fertilisasi sapi terutama dalam proses pembuatan semen cair atau beku (HENDRI et al., 1999).

Status reproduksi sapi induk

Status keragaan reproduksi induk yang diinseminasi dengan semen cair pada sapi potong induk di dataran rendah dan medium-tinggi disajikan pada Tabel 5.

Data di dalam Tabel 5 menunjukkan bahwa sapi potong induk di dataran rendah yang di IB menggunakan semen cair menunjukkan hasil pemeriksaan kebuntingan (PKB) positif bunting pada waktu IB <6 jam dan 6−12 jam setelah birahi yang masing-masing adalah 22 dan 22 ekor (73%) dengan S/C masing-masing adalah 1,0 ± 0,0 dan 1,1 ± 0,3. Sedangkan IB di dataran medium-tinggi menunjukkan yang positif bunting pada waktu pelaksanaan IB <6 jam dan 6−12 jam setelah birahi masing-masing adalah 21 (70% dan 25 ekor (83%) dengan S/C masing-masing adalah 1,0 ± 0,0 dan 1,0 ± 0,2. Keberhasilan kebuntingan pada penelitian pemanfaatan teknologi IB semen cair pada uji coba ini masih lebih baik daripada yang dilaporkan oleh ANONIMOUS (2000b) bahwa pada tahun anggaran 2000 realisasi IB di Jawa Timur hanya sekitar 40% maupun yang dilaporkan oleh SITUMORANG (2002) menyatakan bahwa hasil kebuntingan yang lebih tinggi didapatkan pada penggunaan

semen dingin/cair (54,3%) daripada semen beku (45,5%). Keberhasilan kebuntingan yang terendah diperoleh pada inseminasi menggunakan semen cair di dataran medium-tinggi yang waktu IB-nya <6 jam (positif bunting 21 ekor/70%) dengan CR 69% dan di dataran rendah yang waktu IB-nya >6−12 jam setelah birahi (positif bunting 22 ekor/73%) dengan CR 73% (Tabel 5). Lebih rendahnya tingkat kebuntingan tersebut disebabkan oleh kekurangtepatan/keterlambatan waktu IB karena waktu puncak birahi minimal 6 jam setelah puncak birahi dan kurang dari 6 jam masih awal estrus/bukan puncak estrus dan bila diinseminasikan tidak akan terjadi fertlisasi (ANONIMUS, 1995); sedangkan rendahnya tingkat kebuntingan pada sapi induk di dataran rendah disebabkan oleh keterlambatan pelaporan gejala birahi dan peternak di dataran rendah (Kecamatan Nguling) pada umumnya tingkat pengetahuan rendah dan tidak mempunyai biaya untuk melapor ke inseminator (menunggu inseminator) yang akibatnya kemungkinan organ reproduksi induk tersebut sudah mencapai ovulasi atau 10 jam setelah berakhirnya estrus (HAVEZ, 2000). Persentase kebuntingan yang paling tinggi adalah pada sapi milik peternak di daerah dataran medium-tinnggi yang diinseminasi dengan semen cair dengan waktu IB antara 6– 12 jam setelah puncak birahi, hal ini sesuai dengan range estrus pada sapi minimal adalah 6 jam dan maksimal adalah 12–18 jam (ANONIMOUS, 1995; HAVEZ, 2000).

Pemanfaatan semen cair pada sapi potong dapat digunakan sebagai teknologi alternatif, yang dapat digunakan secara langsung untuk perkawinan sapi, baik untuk skala kelompok maupun pada peternakan rakyat dengan

(7)

memperhatikan kondisi agroekologi dan tingkat sosial-budaya maupun pengetahuan peternak dengan mempelajari pengetahuan tentang gejala estrus yang benar dan cara pengolahan atau penyimpanan semen (handling semen) yang tepat sehingga akan dihasilkan tingkat kebuntingan yang lebih baik.

Analisis ekonomi

Biaya produksi rata-rata straw semen cair dan tingkat efisiensi menggunaan semen cair pada sapi induk milik peternak serta perhitungan ekonomis biaya inseminasi menggunakan semen cair dan beku pada induk sapi potong disajikan pada Tabel 6 dan 7.

Tabel 6. Produksi straw, biaya dan efisiensi

penggunaan semen cair pada sapi potong Lokasi penelitian Parameter Dataran rendah Dataran medium-tinggi Produksi straw (biji/cc semen) 100 100 Biaya straw per 100

biji (Rp)

200.000 200.000 Biaya IB per sekali

inseminasi (Rp) 10.000 10.000

Efisiensi penggunaan straw setiap produksi (%)

78 98

Tabel 7. Perhitungan ekonomis biaya IB menggunakan semen cair dan beku pada sapi potong induk di

dataran rendah dan medium-tinggi

Dataran rendah (ketinggian <150 m dpl) Dataran medium-tinggi (ketinggian >150–600 m dpl) Parameter IB Puncak birahi (N=30) IB 6–12 jam setelah puncak birahi (N=30) IB Puncak birahi (N=30) IB 6–12 jam setelah puncak birahi (N=30) Semen cair

Rata-rata biaya IB per

peternak (Rp) 10.000 11.000 10.000 10.000

Persentase kebuntingan (%) 73 73 70 83

Taksiran harga pedet (Rp/ekor)*

1.500.000 1.500.000 1.500.000 1.500.000 Pendapatan hasil jual pedet

(Rp/ekor)** 1.095.000 1.095.000 1.050.000 1.245.000

Keuntungan (Rp/ekor)*** 1.085.000 1.084.000 1040.000 1.235.000 Biaya IB terhadap

pendapatan (%)**** 0,9 1,0 1,0 0,8

Semen beku

Rata-rata biaya IB per peternak (Rp)

27.000 30.000 41.000 42.000

Persentase kebuntingan (%) 70 57 53 70

Taksiran harga pedet (Rp/ekor)*

1.550.000 1.550.000 1.550.000 1.550.000 Pendapatan hasil jual pedet

(Rp/ekor)** 1.085.000 883.500 821.500 1.085.000

Keuntungan (Rp/ekor)*** 1.058.000 853.500 780.500 1.043.000 Biaya IB terhadap

pendapatan (%)****

2,5 3,4 5,0 3,9 * = Umur < 1 bulan (tergantung bangsa/harga pasar)

** = Taksiran harga pedet x % kebuntingan induk *** = Pendapatan jual pedet hanya dikurangi biaya IB **** = Biaya IB dibagi pendapatan x 100%

(8)

Pada Tabel 6 terlihat bahwa penggunaan

straw semen cair pada tingkat peternak di

dataran medium-tinggi lebih efisien (98%) daripada penggunaan straw di dataran rendah (78%) sehingga penyediaan straw semen cair pada dataran rendah banyak didapatkan semen yang tidak terpakai/terbuang. Sedangkan biaya perhitungan ekonomis biaya IB yang menggunakan semen cair pada tingkat peternak tampaknya yang paling menguntungkan adalah pada dataran medium-tinggi yang waktu inseminasinya lebih dari 6−12 jam setelah puncak estrus dengan menunjukkan tingkat keuntungan sebesar Rp. 1.235.000/ekor dengan persentase biaya IB terhadap pendapatan adalah 0,8%. Hasil wawancara tingkat keuntungan yang baik pada semen beku, yaitu pada dataran rendah yang waktu inseminasnya <6 jam (Rp. 1.058.000/ekor) dan pada dataran tinggi yang waktu inseminasinya >6−12 jam setelah puncak birahi (Rp. 1.043.000/ekor) dengan persentase biaya IB terhadap pendapatan masing-masing adalah 2,5 dan 3,9% (Tabel 7). Penggunaan straw semen cair pada penelitian yang paling efektif pada dataran tinggi (98%) karena adanya kelompok ternak sapi potong yang sudah mengerti dengan waktu inseminasi yang tepat adalah setelah >6 hingga 12 jam setelah terjadi puncak birahi.

Respons peternak

Respons peternak terhadap adanya teknologi semen cair yang diuji cobakan pada induknya setelah berakhirnya penelitian di dataran medium-tinggi dan rendah disajikan pada Tabel 8.

Respons peternak terhadap teknologi IB semen cair maupun beku pada kedua agroekologi di dataran rendah dan medium-tinggi adalah positif (setuju dengan skor 4−5) terutama pada peternak sapi potong di dataran medium-tinggi dengan ditujukkan nilai skor 5,0 (sangat setuju) dalam hal sikap peternak adanya kelompok peternak, mengikuti pembinaan dan menerima teknologi baru (IPTEK). Tingginya nilai skor tersebut dikarenakan di dataran medium-tinggi telah terbentuk kelompok peternak dan didukung oleh faktor lingkungan, diantaranya ketersediaan hijauan pakan yang cukup karena dekat areal pinggir hutan (ARYOGI et al.,

2001). Oleh karena itu, dengan adanya teknologi IB dengan menggunakan semen cair akan lebih mudah diterapkan dengan persyaratan ternak yang diinseminasi dapat segera menjadi bunting dan biaya IB lebih murah. Kelompok peternak sapi potong di dataran rendah (Kecamatan Nguling) belum terbentuk secara optimal dan sebagian ternak masih dikawinkan alam (Tabel 3) sehingga pemahaman penggunaan semen cair belum optimal; sehingga perlu diberi petunjuk dan contoh konkrit tentang keberhasilan semen cair daerah lain atau peternak lain yang sapinya positif bunting.

Tabel 8. Rata-rata respons peternak setelah uji coba

penelitian di dataran medium-tinggi dan rendah

Lokasi/dataran

Uraian Tinggi/

medium Rendah Jumlah peternak (KK) 100 100 Sikap peternak adanya

kelompok peternak 5,0 4,0 Minat mengikuti pembinaan dari dinas/lolit 5,0 4,0 Kesediaan diamati sapinya 4,0 4,0 Kesediaan membantu kepada petugas IB (mantri) saat sapi birahi

4,0 4,0 Kesediaan membantu

kepada petugas IB (mantri) saat sapinya lahir 4,0 4,0 Bersedia diwawancarai petugas 4,3 4,0 Kesediaan menggunakan IB semen beku 4,3 3,3 Kesediaan menggunakan IB semen cair 4,0 4,0

Semen cair biaya lebih murah

4,7 3,3 Semen cair lebih cepat

jadi 4,0 3,0 Menerima adanya teknologi baru (reproduksi) 5,0 4,0

Skor 5 (sangat setuju), skor 4 (setuju), skor 3 (ragu), skor 2 (tidak setuju) dan skor 1 (sangat tidak setuju)

(9)

KESIMPULAN

Disimpulkan bahwa respons peternak terhadap teknologi IB semen cair pada kedua agroekologi dataran medium-tinngi dan rendah menunjukkan respons positif dengan ditunjukkan tingkat kebuntingan tertinggi hingga 83% pada peternak di dataran medium-tinggi yang waktu IB-nya antara 6−12 jam dan diperoleh pula teknologi alternatif IB yang dapat diterapkan pada lokasi yang sesuai dengan kondisi agoekologi dan sosial budaya maupun daerah yang terpencil.

Pemanfaatan teknologi alternatif penggunaan semen cair dapat digunakan oleh peternak yang berlokasi di dataran rendah dan medium-tinggi guna peningkatan perkembangan populasi sapi potong. Disarankan untuk pengembangan teknologi semen cair dengan memanfaatkan keberadaan pejantan yang berkualitas di peternak sebagai sumber semen.

DAFTAR PUSTAKA

AFFANDHY, L., P. SITUMORANG, D.B. WIJONO, ARYOGI dan P.W.PRIHANDINI. 2002. Evaluasi dan alternatif pengelolaan reproduksi usaha ternak sapi potong pada kondisi lapang. Laporan Akhir Tahun. Loka Penelitian Sapi Potong.

AFFANDHY,L.,P.SITUMORANG,D.B.WIJONO,P.W. PRIHANDINI dan A.RASYID. 2003. Profil dan kualitas semen pejantan sapi peranakan Ongole dan persilangannya pada kondisi usaha peternakan rakyat. Pros. Seminar Nasional Pengembangan Sapi Lokal. Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya Malang. hlm. 70-79.

ANONIMOUS. 1995. A Practical Guide Artificial

Breeding of Cattle. Dennis Boothey and Geoff

Faney. Agmedia, East Melbourne Vic 3002. p. 127.

ANONIMOUS. 2000a. Laporan Tahunan 2000. Balai Inseminasi Buatan Singosari. Ditjen Peternakan. Departemen Pertanian Jakarta. ANONIMOUS. 2000b. Laporan tahunan 2000. Dinas

Peternakan Propinsi Jawa Timur, Surabaya. ARYOGI, U. UMIYASIH dan A. RASYID. 2001.

Pengkajian model pengembangan hijauan pakan dengen pendekatan wilayah/kawasan. Laporan Akhir Tahuan. BPTP Karangploso, Malang.

DJANUAR, R. 1985. Fisiologi Reproduksi dan

Inseminasi Buatan pada Sapi. Gadjah Madah

Univ. Press. 59 halaman (Terjemahan). GLANVILL, S.F. and H. DOBSON. 1991. Effect of

Prostaglandin Treatment on the Fertility of Problem Cows. The Veterinary Record, April

20, 1991: 374−376.

HAVEZ, E.S.E. 2000. Reproduction in Farm

Animals. 7th Edition. Reproductive Health Center. IVF Andrology Laboratory. Kiawah Island, South Carolina, USA. p. 509.

HEDAH,D. 1992. Peranan balai inseminasi buatan singosari dalam meningkatkan mutu sapi Madura melalui inseminasi buatan. Pros. Pertemuan Ilmiah Hasil Penelitian dan Pengembangan Sapi Madura. Sub Balitnak Grati: 92−100.

HEDAH,D.,E.HERMIWIYANTI dan SARASTINA. 1993. Perkembangan teknologi proses pembuatan semen beku. Dalam: Pros. Pertemuan pembahasan hasil penelitian seleksi bibit Sapi Madura. YUSRAN,M.A.danA.MUSOFIE. Sub Balitnak Grati: 59−64.

HENDRI, JASWANDI dan M. MUNDANA. 1999. Pengaruh pembekuan spermatozoa, penambahan caffeine dan heparin dalam media Brockett–Oliphant terhadap angka fertlisasi in Vitro pada sapi. J. Penelitian

Andalas. 11 (29): 34−47.

MA’SUM, K., M.A. YUSRAN, A. MUSOFIE dan L. AFFANDHY. 19934. Kualitas semen beku sapi Madura dalam distribusinya di Pulau Madura. Pros. Pertemuan Pembahasan Hasil Penelitian Seleksi Bibit Sapi Madura. Sub Balitnak Grati: 43−48.

MACMILLAN,K.L. and C.R.BURKE. 1996. Effect of

oestrous cycle comtrol on reproductive efficiency. Anim. Rep. Sci. 42: 307−320. ODAI,M. 2001. Change of milking parlor entrance

order of cows in estrus. Bull. Of National

Institute of Animal Industy No 60: 21−25. PARTODIHARDJO,S. 1992. Ilmu Reproduksi Hewan.

Cetakan ketiga. Fak. Kedokteran dan Veteriner. Institut Pertanian Bogor. Penerbit Mutiara Sumber Wijaya, Jakarta Pusat.

PETERS, A.R. 1996. Hed management for reproductive efficiency. Anim. Rep. Sci. 42: 445−464.

RASYID, A., L. AFFANDHY, P. SITUMORANG, D.B. WIJONO, T. SUGARTI dan Y.N. AGGRAENI. 2002. Evaluasi kualitas dan pengolahan semen pada sapi potong. Laporan Loka Penelitian Sapi Potong, Grati.

(10)

ROZEBOOM, K.J., M.H.T. TROEDSSON, G.C. SHURSON, J.D. HAWTON and B.G. GRABO. 1997. Late estrus or metestrus insemination after estrual inseminations decreases farrowing rate and litter size swine. J. Anim. Sci. 75: 2323−2327.

SIEGEL, S. 1997. Statistik Nonparametrik untuk

Ilmu-ilmu Sosial. Cetakan ketujuh. Penerbit

PT Gramedia Jakarta. p. 374 (terjemahan). SITUMORANG,P. 2002. Pengaruh kolesterol terhadap

daya hidup dan fertilitas spermatozoa sapi.

JITV 7 (4): 251−258.

STEVENSON, J.S.,M.W.SMITH,J.R.JAEGER,L.R. CORAH and D.G.LEFEVER. 1996. Detection of estrus by visual observation and radiotelemetry beef heifers. J. Anim. Sci. 74: 729−735. YUSRAN,M.A.,L.AFFANDHY dan SUYAMTO. 2001.

Pengkajian Keragaan, Permasalahan dan alternatif solusi program IB sapi potong di Jawa Timur. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001. Puslitbangnak. Bogor. hlm. 155−167.

DISKUSI Pertanyaan:

1. Apakah keberhasilan IB lebih dipengaruhi oleh inseminator atau ketinggian tempat?

2. Mengapa digunakan air kelapa sebagai pengencer untuk semen cair, padahal pH air kelapa cepat sekali berubah (bukan buffer)?

3. Apa arti S/C yang diperoleh = 1?

4. Inseminasi dilakukan pada hari keberapa? Jawaban:

1. Keberhasilan IB tampaknya lebih ditentukan oleh inseminator karena terus menerus dilakukan pembinaan.

2. Air kelapa digunakan karena komposisi yang dimiliki memenuhi syarat untuk digunakan. 3. Data S/C masih kurang, akan ditinjau ulang.

4. Inseminasi dilakukan pada hari ke 1-7 dengan terlebih dahulu melihat apakah kelayakan semen untuk IB.

Gambar

Gambar 1. Proses pembuatan semen cair
Tabel 3. Keragaan status reproduksi sapi potong induk sebelum penelitian di dataran medium-tinggi dan  rendah
Tabel 4. Kualitas semen segar dan cair pada pejantan sapi potong sebelum digunakan IB di peternak  Evaluasi kualitas sebelum diinseminasikan  Parameter
Tabel 5. Hasil IB semen cair pada sapi potong induk di dataran rendah dan medium-tinggi  Dataran rendah  (ketinggian &lt;150 m dpl)  Dataran medium-tinggi  (ketinggian &gt;150−600 m dpl)  Parameter  IB Puncak
+3

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh perbedaan lama inkubasi (waktu pemisahan spermatozoa X dan Y) sebelum proses pemisahan spermatozoa terhadap kualitas

Bahan dan peralatan yang digunakan pada proses pembekuan semen adalah mini straw volume 0,25 ml yang berisi semen cair kambing Peranakan Etawah (PE) hasil sexing, N 2

Tingkat Keberhasilan Inseminasi Buatan dengan Kualitas dan Deposisi Semen yang Berbeda pada Sapi Peranakan Ongole.. Ternak

bahwa untuk efektivitas pelaksanaan pemberlakuan dan pengawasan Standar Nasional Indonesia kertas dan karton untuk kemasan pangan yang diberlakukan secara wajib sesuai

Metode penelitian ini adalah survey dengan analisis data faktor-faktor eksternal dan internal yang melihat peluang, ancaman, kekuatan dan kelemahan yang

Padahal fakta yang sebenarnya, akar masalahnya adalah tidak tersedianya data hasil penelitian yang cukup baik untuk bahan penulisan makalah ilmiah yang bermutu, dibarengi oleh

Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244 , Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyebutkan bahwa praktik kefarmasian meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu Sediaan Farmasi, pengamanan,