• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyesuaian Ruang Arsitektur dalam Kehidupan Berbudaya Masyarakat Migran Madura

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Penyesuaian Ruang Arsitektur dalam Kehidupan Berbudaya Masyarakat Migran Madura"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | A 041

Penyesuaian Ruang Arsitektur dalam Kehidupan Berbudaya

Masyarakat Migran Madura

Abraham Mohammad Ridjal

amridjal@gmail.com Jurusan A rsitektur F TU B

Abstrak

Arsitektur sebagai buah karya budaya sangat melekat dalam kehidupan masyarakat di nusantara, salah satunya adalah Madura. Dalam berarsitektur, masyarakat selalu memberikan sentuhan warna dan corak yang menandakan kehidupan bersosial budaya mereka. Bahkan tidak jarang mereka membawa ciri khas yang sudah dikenal pada masyarakat sebelum mereka, meskipun berada dalam daerah yang berbeda, seperti yang terjadi pada masyarakat migran Madura di daerah Krajan Jember. Gambaran mengenai bagaimana upaya masyarakat dalam menghadirkan identitas budaya melalui arsitektur dapat terlihat melalui ciri fisik maupun penataan ruangnya. Dengan kondisi yang demikian, maka keberadaan arsitektur Krajan sebagai implementasi arsitektur migran, dapat hadir sebagai bagian dari warisan budaya yang mewarnai kebe radaan arsitektur nusantara kita. Dengan melakukan identifikasi objek melalui deskriptif kualitatif penggambaran mengenai objek arsitektur dapat lebih representatif karena dilakukan dengan indepth study untuk mengetahui gambaran secara utuh-menyeluruh. Hasil dari penelusuran kajian ini diharapkan mampu menghadirkan sebuah keterkaitan antara kehidupan bersosial budaya dengan berarsitektur. Selain itu, langkah ini juga diharapkan mampu menjembatani bagaimana proses filtrasi maupun adaptasi terkait identitas arsitektur yang selama ini semakin pudar.

Kata Kunci: adaptasi arsitektur, arsitektur migran, artefak budaya

Pendahuluan

1. Bagaimana adaptasi masyarakat migran Madura?

Sepanjang sejarah perjalanan masyarakat Madura, telah terjadi perpindahan secara besar-besaran, baik untuk selamanya ataupun sementara waktu menuju pulau Jawa maupu pulau -pulau lain di Nusantara. Hageman dalam Jonge (1989) menyebutkan bahwa terdapat sekitar 833.000 orang madura yang bermukim di Jawa Timur pada pertengahan abad yang lalu. Hal ini jauh lebih banyak dari jumlah penduduk aseli di pulau Madura. Dengan banyaknya arus perpindahan masyarakat Madura ke pulau Jawa, hal tersebut dapat disertai juga de ngan perpindahan arsitektur yang mereka bawa dari tanah kelahirannya, karena kehadiran dan peranan rumah tinggal sangat penting bagi kehidupan manusia seutuhnya. Di lain pihak, rumah tinggal merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari arsitektur yang amat penting bagi kehidupan manusia.

Arsitektur tradisional Madura merupakan salah satu ciri khas yang dimiliki oleh arsitektur Jawa Timur. Arsitektur rumah tinggal ini didukung oleh masyarakat yang secara keseluruhan memeluk agama yang sama, yaitu Islam, akan tetapi mereka memiliki orientasi yang berbeda dalam berbudaya (Wiryoprawiro, 1986). Hal tersebut akan nampak pada penampilan rumah tinggal tradisionalnya.

Rapoport dalam Catanese and Snyder (1979) menjelaskan bahwa pada awalnya arsitektur memang terkait dengan bangunan, terutama untuk tempat tinggal yang dalam hal ini banyak dimasukkan

(2)

A 042 | ProsidingSeminar Heritage IPLBI 2017

unsur adat dan budaya masyarakat yang bersangkutan, sehingga pembuatannya tidak bisa terlepas dari unsur adat istiadat yang berlaku. Dengan demikian, perpindahan masyarakat Madura ke pulau Jawa, akan diikuti pula dengan perpindahan arsitekturnya.

Dengan perbedaan kondisi lingkungan antara asal dan kini, hal tersebut sangat memungkinkan adanya perubahan dan pergeseran dalam ber-arsitektur. Oleh karena itu, upaya penyesuaian bisa dilakukan oleh masyarakat Madura melalui berbagai cara, hal ini menggambarkan pentingnya eksistensi aktivitas berkebudayaan sebagai identitas masyarakat.

2. Tujuan dan kemanfaatan bagi perkembangan arsitektur

Penyusunan artikel ini merupakan bagian dari serangkaian pengamatan yang telah dilakukan terhadap pola penyesuaian dalam berhuni masyarakat Migran Madura di pulau Jawa, khususnya daerah Tapal kuda. Pola penyesuaian sebagai bagian dari aktivitas berhuni tersebut menggambarkan bagaimana pentingnya identitas budaya dalam kelompok masyarakat tertentu. Jika ditilik dari asal mula kelahirannya, maka masyarakat Madura menggambarkan ciri masyarakat Agraris, seperti yang digambarkan oleh Pangarsa (2006) dimana masyarakat Nusantara dibagi berdasarkan empat kelompok berdasarkan karakter masyarakatnya, hal ini juga diperkuat oleh Tulistyantoro (2005) yang ditilik dari mata pencaharian masyarakatnya. Akan tetapi ciri masyarakat agraris ini tidak sepenuhnya hadir dalam masyarakat Madura, dimana Jonge (1989) menggambarkan jika salah satu ciri masyarakat pesisir juga hadir dalam kehidupan berbudaya masyarakat Madura. Selain itu, jika ditilik dari perkembangan budaya yang tersebar di masyarakat Madura maka dapat ditemukan banyak cerita atau kisah yang berkaitan dengan kebudayaan pesisir (Roikan, 2014).

Beragamnya identitas yang tersemat dalam masyarakat Madura memberikan sentuhan keunikan dalam budanyanya, salah satunya adalah arsitektur. Sebagai masyarakat yang dikenal memiliki watak yang keras, Jonge (1989) menggambarkan masyarakat Madura sebagai salah satu masyarakat yang memiliki karakter khas dan ciri khas yang mudah dikenali, salah satunya adalah melalui tutur bahasanya. Senada dengan hal tersebut, Ridjal (2008) juga menggambarkan hal yang sama, akan tetapi perubahan warna dari identitas budaya masih memungkinkan tanpa meninggalkan identitas aselinya.

Oleh karena itu, migrasi masyarakan Madura menarik untuk diamati tentng bagaimana upaya mereka dalam membangun identitas baru.

Metode Penelitian

1. Mengenali konsep ruang pada masyarakat migran Madura

Arsitektur merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam hidup manusia. Dalam berarsitektur, manusia tidak pernah bisa melepaskan diri dari batasan dan hukum-hukum alam yang ada di sekitarnya. Karena iklim dan kondisi alam tersebut merupakan salah satu faktor utama pembentuk cara hidup manusia dalam bertahan hidup, atau bahkan budaya yang ada dalam kehidupa manusia. Kondisi alam yang berbeda pada masing-masing daerah akan membentuk cara hidup dan budaya yang berbeda pula, demikian juga dengan arsitektur yang berkembang dalam masyarakatnya. Kegiatan ber-arsitektur pertama yang melekat dalam kehidupan manusia adalah berhuni, karena hal tersebut merupakan kebutuhan yang mendasar bagi kehidupan manusia yang beradab (Wiryoprawiro, 1986). Seperti yang diungkapkan ole h Rapoport (1969) , bahwa arsitektur semula lahir untuk menciptakan tempat tinggal sebagai wadah untuk perlindungan manusia dari gangguan lingkungan; alam dan binatang. Kemudian Crowe (1995) melanjutkan dengan menjelaskan bahwa bentuk dan fungsi bangunan adalah respon yang diberikan oleh manusia dalam interaksinya dengan

(3)

Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | A 043

lingkungan sekitarnya. Dalam perkembangannya, respon yang diberikan oleh manusia memiliki keragaman, tergantung dari tempat dimana mereka tinggal. Hal inilah yang menunjukkan keragaman arsitektur sebagai bentuk respon terhadap kondisi lingkungan.

Semakin berkembangnya suatu peradaban, maka hunian atau rumah tinggal – sebagai bagian dari kegiatan berarsitektur pun menjadi semakin kompleks peran dan fungsinya. Oleh karena itu, tidak heran kalau beberapa symbol pun diterapkan untuk memberikan tanda atau identitas pada huniannya. Selain itu, pemahaman dan pengamatan terhadap manusia merupakan langkah yang harus diambil juga dalam menjadikan arsitektur sebagai identitas lingkungan binaan (Ridjal, 2011). Dinamika kehidupan dalam bermasyarakat selalu mengalami perubahan tergantung dari situasi dan kondisi yang berkembang dalam masyarakat dari waktu ke waktu. Hal ini tidak mungkin menjadikan tradisi (tradtio, yang berarti diteruskan atau kebiasaan dalam bahasa latin) menjadi sesuatu yang bersifat freeze atau tetap. Akan tetapi tradisi menjadi sesuatu yang bersifat unfreeze atau selalu mengalami perubahan, tetapi dalam bentuk dasar yang sama. Demikian juga dalam berarsitektur, manusia senantiasa menjadikan arsitektur menjadi jembatan yang menghubungkan antara kebutuhan mereka akan alam dan penyesuaiannya (Ridjal, 2015).

Dalam hal ini, arsitektur dapat berfungsi sebagai suatu tanda akan kehadiran suatu kebudayaan. Sebagaimana diungkapkan oleh Mangunwijaya (1992), bahwa terdapat tingkatan makna dan nilai yang dimiliki oleh suatu tempat, artinya ada yang paling penting, ada yang kurang penting, bahkan ada pula yang tidak ada nilainya sama sekali. Pemahaman akan citra dan nilai yang dimiliki oleh suatu tempat tersebut, dapat menjadi suatu tuntunan dalam perancangan arsitektur. Hal tersebut merupakan suatu wujud peran arsitektur dalam membentuk dan mewarnai budaya yang berkembang dalam masyarakat.

Seperti halnya Madura, para migran tersebut juga memiliki upaya yang sangat kuat dalam mempertahankan eksistensi nilai ber-arsitektur mereka. Salah satu upaya yang terlihat adalah bagaimana mereka memilih lokasi yang memiliki kondisi serupa dengan asal – Madura, yang didominasi tanah kering dan berbahan induk jenis tanah kapur, sehingga Supriyadi (2007) menyebutnya sebagai daerah yang tidak mengenal musim kering. Selain memilih lokasi d engan kondisi yang hampir serupa dengan daerah asal, mereka juga menggambarkan identitas berbudayanya dengan mementuk kluster sebagai ruang huniannya. Seiring dengan perbedaan tuntutan dan kondisi yang tidak bisa dipertahankan sebagaimana aselinya, beberapa peenyesuaian menjadi keniscayaan bagi keberlangsungan budaya berhuni mereka.

Dalam merumuskan konsep ruang, menurut Tuan (1977) , menjelaskan makna yang terbentuk dari susunan ruang (space) dan tempat (place) berangkat dari pemahaman buadaya. Hal ini bisa bermakna masing-masing budaya memiliki pemahaman yang berbeda tentang ruang tersebut. Meskipun demikian, dalam menerjemahkan ruang, menurut Rapoport (1977) perlu ditekankan batas fisik ruang secara tiga deminesional, dengan pendekatan yang berbeda, tergantung dari konteks, waktu, jenis bahkan pendekatan yang berbeda akan memberikan persepsi yang berbeda pula. Kondisi ini juga terjadi dalam pengelolaan ruang hunian bagi masyarakat migran Madura.

Sebagai masyarakat komunal, Madura dikenal memiliki kecenderungan memegang teguh eksistensi identitasnya. Oleh karena itu, keberadaannya dapat dikenali berdasarkan kluster huniannya. Akan tetapi beberapa perubahan dan penyesuaian mulai muncul seiring dengan adanya persinggungan dan tuntutan dari kebutuhan maupun penyesuaian akan kondisi terbaru. Dalam hal ini adalah proses penyesuaian dengan lingkungan yang baru.

(4)

A 044 | ProsidingSeminar Heritage IPLBI 2017

2. Metode pengamatan perubahan pola ruang pada arsitektur migran Madura

Pengamatan ini merupakan suatu proses pengkajian terhadap perubahan arsitektur Madura yang ada di Jawa. Langkah awal yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan survey pendahuluan untuk mencari lokasi penelitian yang menggambarkan perubahan pola hunian sebagai bentuk adaptasi masyarakat dengan kondisi alam yang baru.

Pengamatan ini dilakukan dengan melakukan in depth study guna mengetahui dan mengidentifikasi pola hunian yang terjadi pada masyarakat migrant, dalam hal ini adalah masyarakat padhalungan atau medhalungan, yang berada di desa Krajan kelurahan Tegalgede kecamatan Sumbersari Jember. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran secara lengkap dan menyeluruh untuk menggambarkan hubungan antara adaptasi masyarakat terhadap kondisi alamnya.

Pengamatan ini juga dibantu oleh data pendukung mengenai informasi arsitektur induk, yaitu Arsitektur Madura (dalam hal ini adalah pola hunian masyarakat Sampang, Madura sebagai cikal bakal dari lahirnya perkampungan di lokasi studi). Selain itu, pengamatan juga dilakukan untuk mengetahui beberapa aspek yang didasarkan pada data yang tidak terukur, seperti mengetahui makna, proses perubahan ruang, pola penggunaan ruang dan kehidupan masyarakatnya. Dalam h al ini perolehan data yang digunakan tidak berdasarkan ukuran, namun setelah proses lapangan selesai dilakukan, tetap diperlukannya proses kuantifikasi data untuk tahap analisa data (Darjosanjoto, 2006: 37).

Pembahasan

1. Upaya masyarakat padhalungan dalam mempertahankan eksistensi identitas

Area ‘Tapal Kuda’ yang berada di ujung timur pulau Jawa dikenal sebagai basis masyarakat migran Madura, atau yang lebih lazimnya dikenal dengan istilah padhalungan atau medhalungan (penyebutan istilah ini diberikan oleh masyarakat local terhadap pendatang dari Madura, yang berarti medhal atau keluar dan lungan atau pergi). Pengamatan ini menjadi menarik, karena pada masyarakat Padhalungan ini mereka memiliki induk arsitektur yang berbeda dengan arsitektur endemiknya (yaitu Jawa, berbeda dengan pendatang lain yang memang berasal dari Jawa sebelah Barat). Akan tetapi, reaksi adaptif yang ditunjukkan oleh masyarakat Padhalungan tidak hanya duplikasi untuk menggambarkan eksistensi mereka, dimana Wilkinson (2013) menggambarkan sebagai langkah expressionism sebagai metoda untuk menunjukkan jati diri desain melalui lines, shapes maupun materials. Akan tetapi, eksistensi yang mereka hadirkan lebih merupakan sebagai upaya adaptif terhadap kondisi alam baru yang mereka tempati.

Sering dengan perpindahannya, masyarakat Madura juga menyertakan kehidupan berkebudayaan dari asal mereka, salah satunya adalah arsitektur. Sebagai masyarakat komunal, mereka biasanya selalu berkelompok dalam menghuni suatu area baru. Adapun pola berkelompok me reka kadang sudah mengalami penyesuaian, bahkan perubahan dari formasi asalnya. Ridjal (2014) menjelaskan jika perubahan tersebut disesuaikan dengan tradisi berhuni baru yang sudah berbau r dengan kebutuhan serta kondisi masyarakat baru mereka. Lebih lanjut dijelaskan bahwa eksistensi keberadaan identitas mereka selalu berusaha muncul kembali meskipun dalam bentuk yang berbedda. Hal ini menggambarkan bahwa komunikasi visual melalui ruang hunian juga sangat diperlukan untuk menunjukkan eksistenssi suatu kelompok masyarakat. Kaarhom (2007) menjelaskan jika teritori dibentuk berdasarkan oleh kebiasaan sekelompok masyarakat. Senada dengan Kaarhom, Altman (1975) juga menegaskan bahwa kepemilikan ruang (identifikasi) selain dibentuk oleh behavior juga karena aturan-aturan yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Dalam hal ini masyarakat migran Madura menggambarkannya menjadi lebih spesifik, yaitu keberadaan

(5)

Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | A 045

mereka digambarkan dengan lebih eksplisit melalui ruang hunian, meskipun ‘kadang’ hadir dalam peran yang berbeda. Terdapat beberapa hal yang mempengaruhi perbedaan peran tersebut, salah satu diantaranya adalah kondisi lingkungan dan social masyarakat dimana mereka tinggal sekarang. 2. Taneyan sebagai representasi ruang sosial dalam identitas bersama

Pemahaman makna ruang antara masyarakat tradisional dan modern memiliki beberapa perbedaan yang mencolok. Pemahaman ruang pada masyarakat modern lebih cenderung pada hubungan antara ruang dengan fungsi yang terkandung di dalamnya. Seperti yang dijelaskan oleh Ching (1996), bahwa bentukan ruang merupakan simbiosis antara bentuk dan fungsi yang diwadahi dalam ruang tersebut. Hal ini berbeda dengan apa yang dijelaskan oleh Mangunwijaya (1992), bahwa pemahaman tentang suatu ruang bukan hanya gambaran dari wilahay atau tempat, tetapi juga terkandung unsur citra dan nilai di dalamnya.

Demikian halnya dengan arsitektur tradisional Madura, pembentukan ruang yang ada di dalmnya juga terkandung unsur nilai dan citra, bukan hanya fungsi saja yang membentuk ruatu ruang. Hal ini seperti yang tergambar dalam taneyan lanjang. Faqih (2005) menjelaskan bahwa dalam taneyan lanjang, bentukan ruang yang ada itu menggambarkan konteks sosial yang ada di dalamnya. Sehingga bukan hanya unsur fungsi yang membentuk ruang dalam tane yan lanjang.

Taneyan merupakan ruang terbuka yang berada di tengah-tengah permukiman, sebagai ruang bersama dalam sosialisasi antar penghuni permukiman, serta area publik. Disinilah kelebihan tanean, bahwa tanean adalah tempat berkomunikasi dan mengikat hubungan satu keluarga dengan keluarga yang lain. Peran tanean sangat penting, karena disinilah kebersamaan dibangun, otonomi besar di rumah masing masing disatukan melalui ruang tersebut (Tulistyantoro, 2005).

Sebagai ruang terbuka, Taneyan berfungsi sebagai sarana bersama yang dibentuk bersama oleh penghuni dan juga (diharapkan bisa berlaku bagi) para pendatang atau tamu. Sebagaimana jelaskan oleh Levebre (1991) bahwa ruang sebagai produk dari berkegiatan manusia (sebagai penentu dari terbentuknya produk budaya), maka sudah sepatutnya masing-masing kelompok masyarakat memiliki norma dan aturan yang berbeda. Dalam hal ini berlaku pula dalam mendudukkan Taneyan sebagai identitas suatu kelompok masyarakat. Satu taneyan saja mungkin tidak begitu memiliki peran sebagai identitas jika tidak didukung keberadannya dengan beberapa taneyan lain di sekitarnya. Oleh karena itu, masing-masing taneyan memiliki ciri khas dan keunikannya yang disesuaikan dengan kebiasaan penghuninya. Demikian juga taneyan menjadi lebih eksis ketika berada (berbaur) dengan pola hunian lain yang tidak seragam. Masih senada dengan penjelasan sebelumnya, Levebre (2009) lebih menegaskan bahwa masyarakat sangat berperan dalam menanamkan identitas dari suatu ruang yang dihuninya, terlepas apakah it u sebagai aturan yang sudah diberlakukan sebelumnya atau sekedar kesepakatan-kesepakatan bersama. Dengan demikian, bisa diartikan bahwa identitas suatu ruang tidak harus (hadir dalam wujud nyata) secara fisik yang ditandai oleh pemilik ruang, akan tetapi bagaimana mereka memperlakukan ruang juga bisa diartikan sebagai upaya ‘menandai’ ruang tersebut.

3. Koleman sebagai identitas ruang baru pada masyarakat Padhalungan

Eksistensi masyarakat Madura sudah tercatat pada hampir semua sejarah peradaban maupun catatan sosiologi dan antropologi bangsa ini. Hal ini dikarenakan kerajaan Madura merupakan sebuah kerajaan besar yang mampu bersanding, bahkan bermitra dengan kerajaan besar di nusantara, yaitu Majapahit (Graaf dan Pigeaud, 1974). Oleh karena itu, bukan t idak mungkin ketika eksodus masyarakat Madura yang dating ke pulau Jawa atau pulau lain di Nusantara ini akhirnya memunculkan tipologi baru dari hunian masyarakat Madura.

(6)

A 046 | ProsidingSeminar Heritage IPLBI 2017

Gambar 1. Variasi pola Koleman yang menekankan pada fungsi communal space melalui kelompok hunian.

Jika merujuk pada bahasan mengenai pola hunian, maka dapat dilihat pola awal hunian masyarakat Madura adalah Taneyan Lanjhang, dimana penamaan pola hunian ini berasal dari perwujudan atau bentuk hunian secara fisik. Akan tetapi, pola taneyan lanjhang ini memiliki makna yang cukup besar sebagai pembentuk hunian dengan type communal space. Selain itu, pemaknaan dan pesan yang disematkan pada penataan hunian tersebut juga dapat dipahami sebagai gambaran dari kehidupan masyarakat Madura secara arif.

Pergeseran dan perubahan waktu secara otomatis akan diikuti juga dengan perubahan tuntutan akan kebutuhan dan kondisi bermasyarakat, apalagi bagi masyarakat yang hidup di lokasi migrant (lokasi baru dengan kondisi alam yang berbeda dari sebelumya), seperti yang terjadi pada masyarakat Padhalungan.

Perpindahan lokasi hunian yang baru, biasanya memang dibarengi dengan persandingan antara budaya induk atau asal dengan kondisi alam dan budaya yang baru. Oleh karena itu, adaptasi yang dilakukan dan dialami oleh beberapa kelompok masyarakat juga akan mengalami perbedaan antara satu kasus dengan lainnya. Dalam hal ini, masyarakat Padhalungan desa Krajan, Jember beradaptasi dengan menghadirkan kembali pola hunian, akan tetapi dengan penekanan yang berbeda.

Munculnya istilah Koleman memberikan makna penekanan terhadap fungsi hunian. Pergeseran gaya hidup, kebutuhan, tuntutan hidup seolah menjadi dasar dari ditekankan lagi eksistensi makna berhuni bagi masyarakat Madura, yaitu kebersamaan dalam communal living. Jika merujuk dari arti

(7)

Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | A 047

kata Koleman yang berarti berkumpul, menunjukkan penekanan terhadap fungsi hunian. Hal ini berbeda dengan arti kata Taneyan lajhang yang berarti halaman panjang, yang menekankan pada lokasi atau tempat. Oleh karena itu, penamaan tersebut bukan sekedar istilah baru, akan tetapi lebih pada upaya untuk mengembalikan kembali fungsi berhuni seperti pada konsep dasar hunian masyarakat Madura. Dengan demikian, salah satu langkah awal adalah menjaga eksistensinya melalui penekanan nama huniannya, agar keberadaan communal space dalam living mereka tidak semakin mengarah pada individual living.

‘Koleman’ berasal dari kata ‘kolem’ merupakan kata yang diambil dari bahasa madura yang berarti kumpul, atau kelompok. Dengan demikian Koleman adalah sebuah kata keterangan yang menyatakan tempat, yaitu tempat untuk berkumpul. Dalam hal ini tidak dijelaskan secara spesifik mengenai bentuk dari tempat tersebut, sehingga Koleman bisa jadi merupakan sebuah kelompok rumah yang masih memiliki ikatan tertentu, tanpa harus memiliki ciri khas dalam hal bentuk atau pola tertentu. Berbeda dengan ‘Taneyan lanjang’ yang berasal dari kata ‘Taneyan’ yang berarti halaman dan ‘lanjang’ yang berarti panjang atau memanjang. Sehingga dapat digambarkan secara spesifik perbedaannya yaitu Taneyan lanjang memiliki bentuk spesifik yang memanjang, karena memiliki pengertian sebagai halaman yang memanjang.

Dengan demikian, hal tersebut dapat terlihat dari variasi pola hunian pada Koleman yang tidak menekankan pada bentuk halaman yang memanjang, akan tetapi lebih pada terciptanya sebuah gugusan atau kelompok hunian yang dihuni secara bersama-sama.

4. Re-identity sebagai upaya eksistensi masyarakat padhalungan

Arsitektur sebagai bagian dari kehidupan berbudaya dalam masyarakat tidak bisa melepaskan ciri khas yang sudah dipegang teguh selama keberadaan masyarakat tersebut tetap ada. Meskipun perubahan-perubahan gaya hidup dan kondisi alam dan masyarakat sudah mulai bergeser, upaya mengidentifikasi diri masih terus terjadi, meskipun dalam skala yang berbeda-beda. Peran budaya sangat penting dalam upaya menghadirkan identitas ini. Semakin jamak-majemuk masyarakat dalam menghadirkan identitas serupa, semakin bessar peran budaya dalam mengawal identitasnya, demikian sebaliknya semakin singular-individualistik identitas yang muncul – bisa dipahami dengan semakin banyaknya ragam identitas yang muncul dalam satu kelompok masyarakat – berarti semakin kecil peran budaya dalam mengawal identitas tersebut.

Dalam kehidupan bermasyarakat, peran identitas begitu penting untuk mengenali dan dikenali. Lynch menggambarkan peran identitas memiliki dua peran penting dalam mengenali kondisi lingkungan hunian, yaitu secara kognitif dan emosional. Secara lebih spesifik, Jorg Kurt Grutter dalam Torabi (2013) bahkan menjelaskan secara konseptual identitas ruang hunian dibagi menjadi tiga tipe, yaitu: geographical space, life space dan architectural space. Berangkat dari tiga tipe identitas ruang tersebut, Torabi (2013) menggambarkan bahwa ada tujuh karakteristik dalam identitas arsitektur, yaitu shape and form building; general design principals; materials; relationship with context; temporal organization; semantic organization; spatial organization.

Berdasarkan gambaran mengenai identitas arsitektur tersebut, sepertinya terdapat kesepahaman antara Toraabi dengan Rapoport (1977) yaitu identitas arsitektur memiliki desain system dan organisasi spasial yang diterapkan dalam sekolompok masyarakat, bisa dengan cara transfer knowledge maupun perubahan fungsi. Gambaran tersebut sepertinya juga terlihat dalam masyarakat padhalungan yang memiliki identitas ruang dalam huniannya. Ridjal (2014) menjelaskan bahwa salah satu upaya masyarakat padhalungan dalam mengidentifikasi kembali ruangnya adalah dengan memberikan penekanan peran dalam ruang huniannya. Kondisi ini menggambarkan adanya kekhawatiran akan hilangnya identias ruang dalam perkembangan hunian mereka.

(8)

A 048 | ProsidingSeminar Heritage IPLBI 2017

Gambar 2. Upaya re-identifikasi ruang pada arsitektur padhalungan

Identitas

ruang

Shape and

building

forms

General

design

principals

Materials

Relationship

with context

Temporal

organization

Semantic

ornagization

Spatial

organization

mo d ifi k a s i C r e a ti n g s p a ti a l/ r e -co n d it io n

Factor pembentuk

Internal dan external

Eksistensi

identitas

Berdasarkan diagram di atas, salah satu perubahan identitas dipengaruhi oleh factor internal dan eksternal. Dalam masyarakat padhalungan di Krajan Jember, factor tersebut terbentuk melalui adanya upaya rekondisi terhadap keadaan alam, kebutuhan dan aturan (norma yang berlaku). Kondisi alam yang berbeda dengan lingkungan asalnya me mbutuhkan upaya beradaptasi dengan lingkungan baru atau bahkan menhadirkan bentuk baru dari hasil kompromi. Selain lingkungan, bentuk kompromi dalam beradaptasi juga dikarenakan adanya perubahan gaya hidup – tuntutan akan modernisasi dan kebutuhan yang semakin kompleks – mendorong upaya penyesuaian sebagai upaya eksistensi tanpa menghilangkan ciri khas yang sudah ada. Demikian halnya dengan norma atau aturan adat yang mengatur kehidupan berbudaya masyarakat Madura juga mengalami penyesuaian ketika mereka dihadapkan pada kondisi baru (kemungkinan terjadinya pe mbauran dengan budaya masyarakat local di daerah migran) seperti yang terjadi di Krajan Jember.

(9)

Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | A 049

Beberapa perubahan yang ditunjukkan oleh masyarakat padhalungan dalam menamai ruangnya menggambarkan bahwa beberapa penyesuaian akan selalu muncul dalam masyarakat yang dinamis. Selain itu, bentuk kompromi dalam aktivitas budaya justru akan menambah warna pada ruang arsitekturnya.

Simpulan

Identitas pada ruang hunian merupakan hal yang sangat penting dalam masyarakat komunal dan berbudaya. Hal tersebut disadari atau tidak merupakan kebutuhan yang dibutuhakan oleh suatu kelompok masyarakat dalam menunjukkan eksistensinya. Masyarakat Madura yang memiliki karakter sangat kuat, sebagaimana yang selama ini mereka dikenal, sehingga memerlukan upaya kompromi budaya ketika mereka hadir dalam lingkungan alam, masyarakat dan budaya yang baru. Seperti halnya yang terlihat dalam pola hunian masyarakat padhalungan Krajan, dimana selain faktor lingkungan dan kebutuhan, penekanan norma dalam berhuni juga dimunculkan untuk mempertegas eksistensi ruang huniannya. Dengan adanya upaya adaptasi ini maka varian baru dalam ruang arsitektur Madura akan semakin berkembang secara dinamis seiring dengan semakin banyaknya varian dari factor pembentuk ruang huniannya.

Daftar Pustaka

Altman, Irwin. (1975). The Environment and Social Behavior: Privacy, Personal Space, Territory, Crowding Crowe, N. (1997). Nature and The Idea of A Man-Made World; An Investigation into the Evolutionary Roots of

Form and Order in the Built Environment. The MIT Press, Cambridge

Darjosanjoto. & Endang T.S. (2006). Penelitian Arsitektur di Bidang Perumahan dan Permukiman. Surabaya: ITS Press.

Doxiadis, C.A. (1968). An Introduction To The Science Of Human Settlements- Ekistics, London: Hutchinson of London

Graaf, HJ de. & Pigeaud, Th.G.Th. Kerajaan-Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Jakarta: PT. Pustaka Graffiti Press. Levebre, H. (1991). Production of Space. Blackwell: Oxford, UK

Levebre, H.( 2009). Space, State, Worlds: Selectetd Essays. University of Minnesota Press: Minneapolis, London Pangarsa, G.W. (2006). Merah putih Arsitektur Nusantara. Jogjakarta: Andi Offset

Rapoport, A. (1969). House Form and Culture. Englewood Cliffs, NJ, Prentice Hall. Rapoport, A. (1977). Human Aspect of Urban Form. New York: Ergamen Press.

Mattias, K. (2007). A Conceptual Discussion of Territoriality, Materiality, and the Everyday Life of Public Space. Journal Space and Culture vol. 10 no. 4, November 2007. (pg. 437-453)

Gambar 3. Faktor pembentuk identitas baru pada masyarakat padhalungan

Re-condition of

context

Re-condition of

needs

Re-condition of

rules

 DInamika masyarakat  Gaya hidup modern Factor pembentuk Internal dan external Eksistensi identitas baru ‘taneyan’

(10)

A 050 | ProsidingSeminar Heritage IPLBI 2017

Rapoport, A. (2008). Some Further Thoughts on Culture and Environment. Archnet-IJAR, International Journal of Architectural Research - Volume 2 - Issue 1 - March 2008

Roikan. (2014). Perempuan dan Otonomi Ekonomi: Analisa Sosok Perempuan Pesisir dalam Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Desa Tanjung Kecamatan Sampang Kabupaten Madura. Jurnal Biokultur, Vol III/ No. 2/ Juli-Desember 2014/ hal 324-342

Ridjal, A.M. (2011). Learning Architecture from Our Ancestors. Kyoto: SUSTAIN 2011 Proceedings.

Ridjal, A.M. (2012). Change the Meaning of Space in Taneyan Represents Dynamic Patterns of Space in Madura Architecture. Brastagi: ICCSTUDN Proceedings.

Ridjal, A.M. (2014). Perubahan Fungsi Ruang Taneyan Lanjhang pada Masyarakat Migran Madura di desa Krajan Jember. Jurnal RUAS Vol 12 no.2 tahun 2014 (hal. 69-78)

Ridjal, A.M. (2014). Memahami Makna Ruang Melalui ‘Simpukng’. Jurnal RUAS Vol 13 no.1 tahun 2015 (hal. 75-84)

Snyder, J. & Catanese, A. (1979). Introduction to Architecture. New York: McGraw-Hill Book Company. Soeroto, M (2003). Dari Arsitektur Tradisional Menuju Arsitektur Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Supriyadi, S. (2007). Kesuburan Tanah di Lahan Kering Madura. EMBRYO Vol 4 no. 2 Desember 2007 (hal 124-131)

Wiryoprawiro, Z. (1986) Arsitektur Tradisional Madura SUMENEP: dengan pendekatan historis dan deskriptif, Laboratorium Arsitektur Tradisional FTSP ITS: Surabaya

Gambar

Gambar 1.  Variasi pola Koleman yang menekankan pada fungsi  communal  space  melalui  kelompok hunian
Gambar 2. Upaya  re-identifikasi  ruang pada arsitektur padhalungan
Gambar  3 . Faktor pembentuk identitas baru pada masyarakat padhalungan

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini dilatarbelakangi bahwa kewajiban bekerja dan memberi nafkah merupakan perintah syariat bagi suami/laki-laki akan tetapi fenomena ini berbanding

Pejabat Pengadaan Barang / Jasa Bidang Sumber Daya Air Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten

Pengaruh Macam Pestisida Organik dan Interval Penyemprotan Terhadap Populasi Hama Thrips, Pertumbuhan Dan Hasil Tanaman Cabai (Capsicum annum L).. Kajian Daya Insektisida Ekstrak

Bagian lingkungan makro dari audit eksternal (OT) memeriksa hubungan antara perusahaan dengan pemegang saham ekternal langsungnya, yakni pelanggan, pemasok,

Observasi dimulai dari kelas ekperimen pada hari Kamis tanggal 08 Februari 2018 sampai hari Senin tanggal 12 Februari 2018 data pre-test diambil ketika anak

Mesh yang lebih rapat digunakan untuk daerah dekat dinding baik plat sebelah atas (plat penyerap) maupun plat bawah seperti pada Gambar 2 a. Untuk simulasi dengan obstacle, mesh

Kesimpulan dari penelitian ini adalah terdapat kenaikan motivasi belajar sebesar 46% pada mata kuliah kewarganegaraan, 89% responden menyatakan blog yang disusun dapat

‘Tata bahasa’ ini kemudian banyak dianggap sebagai dasar penting kerangka analisa multimodality , dan bersandar pada kerangka ini banyak kajian telah dilakukan