• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang memiliki sumberdaya perikanan yang sangat besar. Walaupun demikian seiring meningkatnya jumlah penduduk dunia dan kebutuhan akan pangan dan gizi yang lebih baik maka permintaan ikan pun terus meningkat dari tahun ketahun. Hal ini akan mengakibatkan penurunan dari sumberdaya perikanan tersebut.

Di daerah pantai selatan Jawa Barat terdapat lokasi penting bagi perikanan tangkap yaitu Palabuhanratu. Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu yang berada di kota Palabuhanratu di Teluk Palabuhanratu menghadap ke Samudera Indonesia dipandang sangat strategis karena berada pada posisi dekat dengan daerah penangkapan (fishing ground), yakni Perairan Samudera Indonesia. Potensi sumberdaya ikan di Samudera Indonesia untuk Selatan Jawa dimana Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu berada cukup besar, yaitu sebesar 80.000 ton per tahun (Ditjen Tangkap-DKP 2000).

Secara geografis Teluk Palabuhanratu terletak pada posisi 60 57’-7007’ LS dan

106022’-106023’ BT dengan panjang pantai lebih kurang 105 km. Perairan tersebut

merupakan perairan pantai selatan Jawa Barat yang memilliki hubungan dengan Samudra Hindia. Kecamatan Palabuhanratu berbatasan dengan Kecamatan Cikedang di sebelah utara, di sebelah barat dengan Kecamatan Cisolok, Samudera Indonesia di sebelah barat daya dan di sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Warung Kiara (Ditjen Tangkap-DKP 2000).

Salah satu hasil tangkapan yang dominan dan memiliki nilai ekonomis penting di Palabuhanratu yaitu ikan cakalang (Katsuwonus pelamis Linnaeus, 1758). Ikan cakalang adalah salah satu hasil tangkapan ikan pelagis besar yang dominan selain ikan tuna dan tongkol. Ikan ini merupakan sumberdaya ikan yang potensial untuk dikembangkan, karena salah satu sumber makanan sehat bagi masyarakat dan juga sebagai sumber devisa negara. Ikan cakalang termasuk kedalam keluarga scombroidae yang tergolong ikan perenang cepat. Ikan ini ditangkap dengan menggunakan alat tangkap gill net, pancing tonda, purse seinne, huhate, rawai tuna dan payang. Wilayah penangkapan ikan cakalang meliputi Ujung Genteng, Cidaun, Ujung Kulon (Perairan Selatan Jawa), dan Samudera Hindia (Ditjen Tangkap-DKP 2000).

(2)

2 Pertumbuhan merupakan parameter utama untuk ikan-ikan bernilai ekonomis, karena pertumbuhan ini dapat menentukan hasil produksi. Pertumbuhan didefinisikan sebagai pertambahan ukuran panjang atau berat dalam satuan waktu (Effendie 1997). Pertumbuhan merupakan salah satu aspek biologi ikan yang diperlukan dalam pengelolaan perikanan. Mengingat semakin tingginya tingkat eksploitasi sumberdaya ikan cakalang untuk pemenuhan gizi maupun perekonomian. Dengan mengetahui pola pertumbuhan ikan cakalang dapat dijadikan informasi sebagai acuan dalam suatu pengelolaan sumberdaya ikan cakalang yang berkelanjutan di PPN Palabuhanratu.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan data Food Outlook (FAO 2007 in Suhana 2009) produksi perikanan tangkap Indonesia mengalami penurunan sebesar 4,55%. Penurunan tersebut lebih besar dari rata-rata penurunan produksi perikanan dari sepuluh negara produser perikanan dunia, yaitu sebesar 2,37%. Pada tahun yang sama (2007), FAO mempublikasikan bahwa kondisi sumberdaya ikan di sekitar perairan Indonesia, terutama di sekitar perairan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik sudah menujukan kondisi full exploited. Bahkan di perairan Samudera Hindia kondisinya cenderung mengarah kepada overexploited, dengan demikian dikedua perairan tersebut saat ini sudah tidak memungkinkan lagi untuk dilakukan ekspansi penangkapan ikan secara besar-besaran.

Permintaan ikan yang selalu meningkat tentunya memiliki makna positif bagi pengembangan perikanan. Terlebih bagi negara kepulauan seperti Indonesia yang memiliki potensi perairan yang cukup luas dan potensial untuk pengembangan perikanan baik penangkapan maupun akuakultur. Namun dengan adanya tuntutan pemenuhan kebutuhan akan sumberdaya tersebut maka tekanan eksploitasi terhadap sumberdaya ikan tersebut tidak dapat dihindari.

Penangkapan yang terus meningkat dapat membahayakan kelestarian ikan cakalang di Palabuhanratu (seperti data produksi ikan cakalang tahun 2005-2008 yang disajikan pada Tabel 1). Karena semakin meningkatnya upaya penangkapan terhadap suatu sumberdaya ikan maka akan mengakibatkan menurunnya populasi ikan tersebut dikemudian hari. Oleh karena itu untuk menjaga keberlanjutan sumberdaya ikan cakalang di PPN Palabuhanratu diperlukannya suatu pengkajian mengenai pertumbuhan yang mencakup struktur ukuran panjang dan pola pertumbuhan agar

(3)

dapat mengetahui ukuran ikan cakalang yang sebaiknya ditangkap oleh nelayan agar tidak merusak kelestarian dari populasi ikan cakalang.

Tabel 1. Data produksi ikan cakalang (kg) yang di daratkan di Palabuhanratu Tahun 2005-2008. Tahun Produksi (kg) 2005 1.860.679 2006 1.001.301 2007 742.047 2008 272.577 Sumber : PPN Palabuhanratu 2006-2009 1.3 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui, antara lain :

1. Mengetahui beberapa aspek biologi pertumbuhan ikan cakalang yang didaratkan di PPN Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. 2. Menduga mortalitas total dan laju eksploitasi.

3. Merumuskan alternatif rencana pengelolaan perikanan cakalang.

1.4 Manfaat

Penelitian mengenai pendugaan pertumbuhan dan mortalitas ikan cakalang ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pola pertumbuhan serta ukuran ikan cakalang yang sebaiknya ditangkap dalam upaya pengaturan dan pengendalian penangkapan ikan cakalang agar tercapai pemanfaatan sumberdaya ikan yang berkelanjutan di Teluk Palabuhanratu dan sekitarnya, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat.

(4)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Klasifikasi Ikan Cakalang

Ikan cakalang (Gambar 1) dikenal sebagai skipjack tuna dengan nama lokal cakalang. Adapun klasifikasi ikan cakalang menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut : Kelas : Chordata Subkelas : Pisces Ordo : Perciformes Subordo : Scombroidei Famili : Scrombridae Subfamili : Thunninae Genus : Katsuwonus

Spesies : Katsumonus pelamis (Linnaeus, 1758) Nama umum : Skipjack tuna

Nama lokal : Cakalang, salur (Palabuhanratu)

Gambar 1. Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) Sumber : www.fishbase.org

2.2. Morfologi Ikan Cakalang

Cakalang termasuk jenis ikan tuna dalam famili Scombridae, species Katsuwonus pelamis (Linnaeus, 1758). Ikan cakalang memiliki bentuk tubuh fusiform, memanjang dan agak bulat. Gigi-giginya kecil dan berbentuk kerucut dalam seri tunggal. Tapis insang (gill rakes) berjumlah 53- 63 pada helai pertama. Mempunyai dua sirip punggung yang terpisah. Pada sirip punggung yang pertama terdapat 14-16

(5)

jari-jari keras, jari-jari lemah pada sirip punggung kedua diikuti oleh 7-9 finlet. Sirip dada pendek, terdapat dua flops diantara sirip perut. Sirip anal diikuti dengan 7-8 finlet. Badan tidak bersisik kecuali pada barut badan (corselets) dan lateral line terdapat titik-titik kecil. Bagian punggung berwarna biru kehitaman (gelap) disisi bawah dan 6 perut keperakan, dengan 4-6 buah garis-garis berwarna hitam yang memanjang pada bagian samping badan. Ukuran fork length maksimum ikan cakalang kurang lebih 108 cm dengan berat 32,5 – 34,5 kg, sedangkan ukuran yang umumnya tertangkap adalah 40 – 80 cm dengan berat 8 – 10 kg (FAO 1983).

2.3. Biologi dan Distribusi Ikan Cakalang

FAO (1983) menyebutkan bahwa makanan utama ikan cakalang adalah ikan-ikan kecil, crustacea, dan moluska. Ikan Cakalang termasuk ikan-ikan perenang cepat dan mempunyai sifat makan yang rakus. Biasanya ikan cakalang luar biasa rakus pada waktu pagi hari (sekitar jam 09.00), kemudian menurun pada tengah hari dan nampak menanjak kembali pada waktu senja (Gunarso 1985).

Pada umumnya ikan cakalang yang berukuran panjang lebih besar dari 50 cm memangsa lebih banyak cephalopoda dan crustacea dibandingkan dengan ikan cakalang yang ukuran panjangnya lebih kecil dari 50 cm. Walaupun demikian ikan-ikan kecil masih merupakan makanan utamanya. Bervariasi berbagai jenis organisme dalam makanan ikan cakalang serta adanya sifat kanibalisme menunjukkan bahwa ikan cakalang tergolong oportunistic feeder, yaitu ikan yang memangsa segala jenis makanan yang tersedia di perairan. Ikan cakalang yang berukuran panjang 41 – 87 cm biasanya sudah mulai memijah dan dapat menghasilkan sekitar 80.000 – 2.000.000 telur (FAO 1983). Namun ukuran ikan cakalang pertama kali matang gonad yaitu pada ukuran 40 – 45 cm (www.fishbase.org).

Penyebaran ikan cakalang umumnya mengikuti penyebaran atau sirkulasi arus garis konvergensi diantara arus dingin dan arus panas yang merupakan daerah kaya akan organisme. Daerah penyebarannya membentang di sekitar 400LU-300LS,

sedangkan daerah penangkapannya yang terbesar berada sepanjang katulistiwa, yaitu antara 100LU-10oLS. Di perairan Indonesia yang padat sering dijumpai pada perairan

sekitar kalimantan, Sulawesi, Halmahera, kepulauan Maluku dan Irian Jaya (Gunarso 1985).

(6)

6 2.4. Pola Migrasi Ikan Cakalang

Migrasi atau ruaya ikan adalah adalah pergerakan perpindahan dari suatu tempat ke tempat yang lain yang mempunyai arti penyesuaian terhadap kondisi alam yang menguntungkan untuk eksistensi hidup dan keturunannya. Ikan mengadakan migrasi dengan tujuan untuk pemijahan, mencari makanan dan mencari daerah yang cocok untuk kelangsungan hidupnya. Migrasi ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor baik faktor eksternal dan faktor internal (Reinnamah 2010). Chusing (1968) in Effendie (1997) mengemukakan bahwa studi ruaya ikan merupakan hal yang fundamental untuk biologi perikanan, karena dengan mengetahui lingkaran ruaya akan diketahui batas-batas daerah mana stok atau sub populasi itu hidup.

Ikan cakalang dapat hidup nyaris di semua lautan yang ada di muka bumi ini karena itulah dapat dikatakan bahwa ikan cakalang termasuk jenis oseanodrom (hidup dan beruaya atau bermigrasi di lautan). Ruaya jenis cakalang dapat dibedakan menjadi dua, yaitu penyebaran secara vertical dan penyebaran secara horizontal. Penyebaran secara vertical berarti penyebaran menurut kedalaman perairan, sedangkan penyebaran horizontal berarti penyebaran berdasarkan letak geografis suatu perairan (www.mei-smart.blogspot.com).

Penyebaran cakalang secara horizontal memiliki tujuan yang berbeda dengan penyebaran secara vertikal. Ruaya vertikal yang dilakukan oleh cakalang dimaksudkan untuk memijah, sedangkan ruaya secara horizontal dilakukan cakalang untuk mencari makan dan melakukan pengungsian. Di Pantai Kulisusu Buton Utara pada bulan September-November jutaan ikan cakalang biasanya melakukan migrasi ke arah pantai untuk memijah (Mukhtar 2009).

Cakalang sering membentuk gerombolan untuk melakukan ruaya atau migrasi jarak jauh dengan melawan arus. Karena biasa bergerombol di perairan pelagis hingga kedalaman 200 m maka cakalang dapat pula dikatakan sebagai brakheadrom yaitu ikan yang beruaya di perairan dangkal. Di samudra Hindia secara terus-menerus dan teratur cakalang bergerak mulai dari pantai Barat Australia, sebelah selatan Kepulauan Nusa Tenggara, sebelah selatan Pulau Jawa, sebelah barat Sumatra, laut Andaman, menuju luar Pantai Bombay, di luar pantai Ceylon, sebelah barat Hindia, Teluk Aden, perbatasan samudra Hindia dengan pantai Sobali, pantai timur dan selatan Afrika dimana pergerakannya dilakukan pada bulan April hingga September. Sementara itu, di kawasan Atlantik ikan cakalang bergerak dari laut Barents menuju pantai utara Inggris Raya hingga ke kepulauan Bermuda pada September hingga Februari (www.mei-smart.blogspot.com).

(7)

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi ruaya atau migrasi ikan cakalang (Musida 2009) yaitu :

A. Faktor Eksternal  Suhu

Fluktuasi suhu dan perubahan geografis merupakan faktor penting yang merangsang dan menentukan keberadaan ikan. Suhu akan mempengaruhi proses metabolisme, aktifitas gerakan tubuh, dan berfungsi sebagai stimulus saraf.

 Salinitas

Ikan cenderung memilih medium dengan salinitas yang lebih sesuai dengan tekanan osmotik tubuh mereka masing-masing. Perubahan salinitas akan merangsang ikan cakalang dan jenis ikan lainnya untuk melakukan migrasi ke tempat yang memiliki salinitas yang sesuai dengan tekanan osmotik tubuhnya.

 Arus pasang surut

Arus akan mempengaruhi migrasi ikan melalui transport pasif telur ikan dan juvenil dari daerah pemijahan menuju daerah asuhan dan mungkin berorientasi sebagai arus yang berlawanan pada saat spesies dewasa bermigrasi dari daerah makanan menuju ke daerah pemijahan. Ikan dewasa yang baru selesai memijah juga memanfaatkan arus untuk kembali ke daerah makanan. Pasang surut di perairan menyebabkan terjadinya arus di perairan yang disebut arus pasang dan arus surut.  Intensitas cahaya

Perubahan intensitas cahaya sangat mempengaruhi pola penyebaran ikan, tetapi respon ikan terhadap perubahan intensitas cahaya dipengaruhi oleh jenis ikan, suhu, dan tingkat kekeruhan perairan. Ikan cakalang mempunyai kecenderungan membentuk kelompok kecil pada siang hari dan menyebar pada malam hari.

 Musim

Musim akan mempengaruhi migrasi vertikal dan horisontal ikan, migrasi diindikasikan dikontrol oleh suhu dan intensitas cahaya. Ikan pelagis dan ikan demersal mengalami migrasi musiman horisontal, mereka biasanya menuju ke perairan lebih dangkal atau dekat permukaan selama musim panas dan menuju perairan lebih dalam pada musim dingin.

 Matahari

Ikan-ikan pelagis, termasuk cakalang, yang bergerak pada lapisan permukaan diindikasikan menggunakan matahari sebagai kompas.

(8)

8  Pencemaran air limbah

Pencemaran air limbah akan mempengaruhi migrasi ikan, penambahan kualitas air limbah dapat menyebabkan perubahan pola migrasi ikan.

B. Faktor internal  Kematangan gonad

Kematangan gonad diduga merupakan salah satu pendorong bagi ikan untuk melakukan migrasi. Akan tetapi, ikan cakalang melakukan migrasi sebagai proses untuk pematangan gonad sehingga mampu memijah.

 Insting

Semua jenis ikan mampu menemukan kembali daerah asal mereka meskipun sebelumnya ikan tersebut menetas dan tumbuh di daerah yang sangat jauh dari tempat asalnya dan belum pernah melewati daerah tersebut. Kemampuan ini diindikasikan merupakan insting yang dimiliki oleh ikan bahkan oleh semua jenis hewan.

 Aktifitas renang

Aktifitas renang ikan meningkat pada malam hari, kebanyakan ikan bertulang rawan (elasmobranch) dan ikan bertulang keras (teleost) lebih aktif berenang pada malam hari daripada di siang hari.

2.5. Alat Tangkap Ikan Cakalang

Nelayan Palabuhanratu dalam melakukan operasi penangkapan ikan menggunakan berbagai alat penangkapan ikan. Ikan cakalang biasanya ditangkap dengan menggunakan alat tangkap gillnet, pancing tonda, purse seinne, huhate, rawai tuna dan payang. Pancing tonda merupakan salah satu alat tangkap ikan pelagis besar yang memiliki nilai ekonomis tinggi, seperti ikan tuna, ikan cakalang dan tongkol sebagai target penangkapannya.

Pancing tonda adalah alat penangkapan ikan yang sederhana dan tidak memerlukan biaya besar dalam pengoperasiannya. Pancing tonda adalah pancing yang diberi tali panjang dan ditarik oleh perahu atau kapal. Pancing diberi umpan ikan segar atau umpan palsu yang karena pengaruh tarikan bergerak di dalam air sehingga merangsang ikan buas menyambarnya. Pengoperasian tonda memerlukan kapal atau perahu yang selalu bergerak di depan gerombolan ikan sasaran. Biasanya pancing ditarik dengan kecepatan 2-6 knot tergantung jenisnya. Ukuran perahu atau kapal yang digunakan berkisar 0,5-10 GT (Sudirman & Mallawa 2004).

(9)

Rumpon biasa juga disebut dengan Fish Agregation Device (FAD) yaitu suatu alat bantu penangkapan yang berfungsi untuk memikat ikan agar berkumpul dalam suatu catchble area (Sudirman & Mallawa 2004).

Ada beberapa prediksi mengapa ikan senang berada di sekitar rumpon :

 Rumpon tempat berkumpulnya plankton dan ikan-ikan kecil lainnya, sehingga mengundang ikan-ikan yang lebih besar untuk tujuan feeding.

 Merupakan suatu tingkah laku dari berbagai jenis ikan untuk berkelompok di sekitar kayu terapung (seperti jenis-jenis tuna dan cakalang). Dengan demikian, tingkah laku ikan ini dimanfaatkan untuk tujuan penangkapan. Kepadatan gerombolan ikan pada rumpon diketahui oleh nelayan berdasarkan buih atau gelembung-gelembung udara yang timbul di permukaan air, warna air yang gelap karena pengaruh gerombolan ikan atau banyaknya ikan-ikan kecil yang bergerak disekitar rumpon. Di Indonesia, nelayan umumnya menggunakan pelampung dari bambu, sedangkan tali temalinya masih menggunakan natural fibres (bahan alamiah) biasanya dari rotan dan pemberatnya menggunakan batu gunung atau batu karang, sedangkan atraktornya dari daun kelapa. Rumpon ini jenis ini biasanya dipasang di perairan dangkal puluhan sampai ratusan meter dengan tujuan untuk mengumpulkan ikan-ikan pelagis kecil. Sedangkan rumpon yang dipasang pada perairan yang lebih dalam (ratusan sampai ribuan meter tali temalinya telah menggunakan sintetic fibres (tali nylon)), dengan tujuan utama mengumpulkan ikan layang, tuna dan cakalang (Sudirman & Mallawa 2004).

2.6. Hubungan Panjang dan Bobot

Analisis hubungan panjang dan bobot bertujuan untuk mengetahui pola pertumbuhan dengan menggunakan parameter panjang dan bobot ikan. Hasil analisis pertumbuhan panjang-bobot akan menghasilkan suatu nilai konstanta (b), yang akan menunjukkan laju pertumbuhan parameter panjang dan bobot. Ikan yang memiliki nilai b=3 (isometrik) menunjukkan pertambahan panjangnya seimbang dengan pertambahan bobot. Sebaliknya jika nilai b≠3 (allometrik) menunjukkan pertambahan panjang tidak seimbang dengan pertambahan bobotnya. Jika pertambahan bobot lebih cepat dibandingkan pertambahan panjang (b>3), maka disebut sebagai pertumbuhan allometrik positif. Sedangkan apabila pertambahan panjang lebih cepat dibandingkan pertambahan bobot (b<3), maka disebut sebagai pertumbuhan allometrik negatif (Effendie 1997).

(10)

10 2.7. Faktor Kondisi

Faktor kondisi yaitu keadaan atau kemontokan ikan yang dinyatakan dalam angka-angka. Perhitungan faktor kondisi didasarkan pada panjang dan bobot. Perhitungan faktor kondisi ini untuk melihat pada panjang dan bobot berapa ikan mencapai kondisi maksimum atau minimum. Faktor kondisi dapat mengindikasikan musim pemijahan bagi ikan khususnya untuk ikan-ikan betina (Effendie 1997). Nilai faktor kondisi dipengaruhi makanan, umur, jenis kelamin dan kematangan gonad. Selain itu faktor kondisi juga dipengaruhi oleh indeks relatif penting makanan dan pada ikan betina dipengaruhi oleh indeks kematangan gonad. Ikan yang cenderung menggunakan cadangan lemaknya sebagai sumber tenaga selama proses pemijahan, sehingga akibatnya ikan akan mengalami penurunan faktor kondisi (Effendie 1979).

2.8. Sebaran Frekuensi Panjang

Data sebaran frekuensi panjang digunakan untuk mengetahui frekuensi persebaran ikan di perairan berdasarkan ukuran panjangnya. Sebaran frekuensi panjang yang dibuat ini selanjutnya digunakan untuk pendugaan kelompok umur ikan. Analisis data frekuensi panjang ditujukan untuk menentukan umur terhadap kelompok-kelompok panjang tertentu. Analisis ini berguna dalam pemisahan suatu sebaran frekuensi panjang yang kompleks kedalam sejumlah kelompok ukuran (Sparre & Venema 1999). Menurut Busacker et al. (1990) umur ikan dapat ditentukan dari sebaran frekuensi panjang melalui analisis kelompok umur karena panjang ikan dari kelompor umur yang sama cenderung akan membentuk suatu sebaran normal. Dengan mengelompokkan ikan kedalam kelas-kelas panjang dan menggunakan modus panjang kelas tersebut kelompok umur ikan dapat diketahui.

Tanda tahunan pada ikan tropis sangat sulit diamati untuk pendugaan umur karena tanda tahunan pada musim hujan tidak berbeda jelas dengan tanda tahunan pada musim kemarau. Ikan tropis relatif mengalami pertumbuhan sepanjang tahun. Oleh karena itu pendugaan umur ikan tropis umumnya dilakukan dengan metode frekuensi panjang (Tutupoho 2008). Berbeda dengan ikan sub tropis yang mengalami pertumbuhan cepat pada saat musim panas dan mengalami pertumbuhan yang lambat pada musim dingin (Sparre & Venema 1999).

Indeks separasi merupakan kuantitas yang relevan terhadap studi bila dilakukan kemungkinan bagi suatu pemisahan yang berhasil dari dua komponen yang berdekatan, apabila indeks separasi kurang dari dua (I<2) maka tidak mungkin

(11)

dilakukan pemisahan di antara dua kelompok ukuran karena terjadi tumpang tindih yang besar antar kelompok ukuran tersebut (Hasselblad 1969, McNew & Summerflat 1978 dan Clark 1981 in Sparre & Venema 1999).

2.9. Pertumbuhan

Menurut Effendie (1997) pertumbuhan adalah pertambahan ukuran panjang atau berat dalam satu ukuran waktu, sedangkan bagi populasi adalah pertambahan jumlah. Pertumbuhan merupakan proses biologi yang kompleks, dimana banyak faktor yang mempengaruhinya. Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dibagi menjadi dua bagian besar yaitu faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam adalah faktor yang sukar untuk dikontrol, seperti keturunan, sex, umur, parasit, dan penyakit. Sedangkan faktor luar yang mempengaruhi pertumbuhan antara lain jumlah dan ukuran makanan yang tersedia, suhu, oksigen terlarut, dan faktor kualitas air. Faktor ketersedian makanan sangat berperan dalam proses pertumbuhan. Pertama ikan memanfaatkan makanan untuk memelihara tubuh dan menggantikan sel-sel tubuh yang rusak, kemudian kelebihan makanan yang tersisa baru dimanfaatkan untuk pertumbuhan. Persamaan pertumbuhan Von Bertalanfy merupakan persamaan yang umum digunakan dalam studi pertumbuhan suatu populasi (King 1995).

2.10. Mortalitas dan Laju Eksploitasi

Mortalitas alami adalah mortalitas yang terjadi karena berbagai sebab selain penangkapan seperti pemangsaan, penyakit, stres pemijahan, kelaparan dan usia tua (Sparre & Venema 1999). Laju mortalitas total (Z) adalah penjumlahan laju mortalitas penangkapan (F) dan laju mortalitas alami (M) (King 1995). Nilai laju mortalitas alami berkaitan dengan nilai parameter pertumbuhan von Bertalanffy K dan L∞. Ikan yang

pertumbuhannya cepat (nilai K tinggi) mempunyai M tinggi dan sebaliknya. Nilai M berkaitan dengan nilai L∞ karena pemangsa ikan besar lebih sedikit dari ikan kecil.

Mortalitas penangkapan adalah mortalitas yang terjadi akibat adanya aktivitas penangkapan (Sparre & Venema 1999).

Mortalitas alami dipengaruhi oleh predator, penyakit, dan usia. Selain itu menurut Pauly (1980) in Sparre & Venema (1999) bahwa faktor lingkungan yang mempengaruhi laju mortalitas alami yaitu suhu rata-rata perairan, selain itu panjang maksimum (L∞) dan laju pertumbuhan (K). Laju eksploitasi (E) merupakan bagian

(12)

12 suatu kelompok umur yang akan ditangkap selama ikan tersebut hidup. Atau dapat diartikan sebagai jumlah ikan yang ditangkap dibandingkan dengan jumlah total ikan yang mati karena semua faktor baik faktor alam maupun faktor penangkapan (Pauly 1984). Gulland (1971) in Pauly (1984) menduga bahwa stok yang dieksploitasi optimal maka laju mortalitas penangkapan (F) akan sama dengan laju mortalitas alami (M) atau laju eksploitasi (E) sama dengan 0,5 ( Foptimum = M atau Eoptimum = 0,5).

2.11. Pengelolaan Perikanan

Pengelolaan perikanan meliputi beberapa aspek termasuk sumberdaya ikan, habitat atau lingkungan, dan manusia serta berbagai faktor eksternalnya. Pengelolaan sumberdaya perikanan saat ini menuntut perhatian penuh dikarenakan oleh semakin meningkatnya tekanan eksploitasi terhadap berbagai stok ikan dan meningkatnya kesadaran dan kepedulian umum untuk memanfaatkan lingkungannya secara bijaksana, yakni dengan upaya pembangunan secara berkelanjutan. Namun demikian, upaya pengelolaan perikanan memiliki beberapa keterbatasan (constraint) karena umum sumberdaya ikan dan pemanfaatnya. Permasalahan dalam pengelolaan perikanan akan ditemui pada tiap bagian atau fungsi manajemen. Kondisi seperti ini membutuhkan berbagai upaya inovasi agar tujuan pengelolaan secara efektif dan efesien dapat tercapai (Widodo & Suadi 2006).

Secara umum tujuan utama dari pengelolaan perikanan adalah untuk menjaga kelestarian produksi terutama melalui berbagai regulasi serta tindakan perbaikan (enhancement) untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan serta untuk memenuhi keperluan industri yang memanfaatkan produksi tersebut (mencapai tujuan biologi, ekonomi dan sosial). Untuk mencapai tujuan pengelolaan, pihak yang berwenang mengelola (pengelola) harus mampu merancang, memberikan alasan yang kuat (secara politis), dan melaksanakan sekumpulan jenis pengendalian (menyelenggarakan undang-undang terhadap aktivitas penangkapan) (Widodo & Suadi 2006).

Umumnya kegiatan pengelolaan perikanan mulai bekerja ketika isu-isu ini berkembang. Jarang ditemui upaya pengelolaan diberlakukan sejak awal pengembangan perikanan di suatu wilayah tertentu. Sehingga konsep overfishing sering menjadi acuan akan perlunya berbagai tindakan pengelolaan melalui pengaturan perikanan. Overfishing secara sederhana dapat kita pahami sebagai

(13)

penerapan sejumlah upaya penangkapan yang berlebihan terhadap suatu stok ikan. Menurut Widodo & Suadi (2006) terdapat berbagai bentuk overfishing, yaitu :

a. Growth overfishing

Ikan ditangkap sebelum mereka sempat tumbuh mencapai ukuran dimana peningkatan lebih lanjut dari pertumbuhan akan mampu membuat seimbang dengan penyusutan stok yang diakibatkan oleh mortalitas alami (misalnya pemangsaan). Pencegahan Growth overfishing meliputi pembatasan upaya penangkapan, pengaturan ukuran mata jaring dan penutupan musim atau daerah penangkapan.

b. Recruitment overfishing

Pengurangan melalui penangkapan terhadap suatu stok sehingga jumlah stok induk tidak cukup banyak untuk memproduksi telur yang kemudian menghasilkan rekrut terhadap stok yang sama. Pencegahan terhadap recruitment overfishing meliputi proteksi (misalnya melalui reservasi) terhadap sejumlah stok induk (parental stock, broadstock) yang memadai

c. Biological overfishing

Kombinasi dari growth dan recruitment overfishing akan terjadi apabila tingkat upaya penangkapan dalam suatu perikanan tertentu melampaui tingkat yang diperlukan untuk menghasilkan MSY. Pencegahan terhadap biological overfishing meliputi pengaturan upaya penangkapan dan pola penangkapan (fishing pattern).

d. Economic overfishing

Terjadi bila tingkat upaya penangkapan dalam suatu perikanan melampaui tingkat yang diperlukan untuk menghasilkan MEY, yang dirumuskan sebagai perbedaan maksimum antara nilai kotor dari hasil tangkapan dan seluruh biaya dari tangkapan (tingkat upaya penangkapan MEY lebih kecil daripada tingkat upaya MSY).

e. Ecosystem overfishing

Overfishing jenis ini dapat terjadi sebagai hasil dari suatu perubahan komposisi jenis dari suatu stok sebagai akibat dari upaya penangkapan yang berlebihan, dimana spesies target menghilang dan tidak digantikan secara penuh oleh jenis “pengganti’. Biasanya ecosystem overfishing mengakibatkan timbulnya suatu transisi dari ikan bernilai ekonomi tinggi berukuran besar kepada ikan kurang bernilai ekonomi berukuran kecil, dan akhirnya kepada ikan rucah (trash fish) dan/atau invertebrata non komersial seperti ubur-ubur.

f. Malthusian overfishing

Malthusian overfishing merupakan suatu istilah untuk mengungkapkan masuknya tenaga kerja yang tergusur dari berbagai aktivitas berbasis darat (land-based

(14)

14 activities) kedalam perikanan pantai dalam jumlah yang berlebihan, yang berkompetisi dengan nelayan tradisional yang telah ada dan yang cenderung menggunakan cara-cara penangkapan yang bersifat merusak, seperti dinamit untuk ikan-ikan pelagis, sianida untuk ikan-ikan di terumbu karang dan/atau insektisida di beberapa perikanan laguna dan estuaria.

Beberapa ciri-ciri yang dapat menjadi patokan suatu perikanan sedang menuju kondisi ini antara lain, waktu melaut menjadi lebih panjang dari biasanya, lokasi penangkapan menjadi lebih jauh dari biasanya, ukuran mata jaring menjadi lebih kecil dari biasanya, yang kemudian diikuti produktivitas (hasil tangkapan per satuan upaya/trip, CPUE) yang menurun, ukuran ikan sasaran yang semakin kecil dan biaya penangkapan (operasional) yang semakin meningkat (Widodo & Suadi 2006).

2.12. Kondisi Lingkungan Perairan

Kondisi lingkungan perairan sangat berpengaruh dengan pola kehidupan ikan. Menurut Gunarso (1985) fluktuasi keadaan lingkungan mempunyai pengaruh yang besar terhadap periode migrasi musiman serta terdapatnya ikan disuatu tempat. Adapun parameter yang relatif mudah untuk diukur adalah suhu perairan. Suhu memiliki pengaruh terhadap proses fisiologi hewan seperti metabolisme dan siklus reproduksi.

Peningkatan suhu dapat mengakibatkan peningkatan kecepatan metabolisme dan respirasi organisme akuatik dan selanjutnya meningkatkan konsumsi oksigen. Effendi (2003) menyatakan peningkatan suhu 10 oC menyebabkan terjadinya

peningkatan konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sekitar 2-3 kali lipat. Namun, peningkatan suhu ini disertai dengan penurunan kadar oksigen terlarut (Effendi 2003).

Menurut Gunarso (1985) pada suatu daerah penangkapan ikan cakalang suhu permukaan laut yang disukai biasanya berkisar antara 16-26 oC, walaupun untuk

Indonesia suhu optimumnya adalah berkisar 28-29 oC. Sedangkan suhu untuk

pemijahan berkisar pada 28-29 oC. Setiap ikan mempunyai kisaran suhu tertentu

untuk melakukan pemijahan, bahkan mungkin dengan suatu siklus musiman yang tertentu pula. Selain itu biasanya ikan cakalang hidup pada perairan dengan kadar salinitas antara 33-35o/oo dengan salinitas untuk pemijahan sebesar 33o/oo. Ikan ini

jarang dijumpai pada perairan dengan kadar salinitas yang lebih rendah atau tinggi dari kisaran tersebut.

Gambar

Gambar 1. Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) Sumber : www.fishbase.org

Referensi

Dokumen terkait

Dari teori-teori diatas dapat disimpulkan visi adalah suatu pandangan jauh tentang perusahaan, tujuan-tujuan perusahaan dan apa yang harus dilakukan untuk

 Inflasi Kota Bengkulu bulan Juni 2017 terjadi pada semua kelompok pengeluaran, di mana kelompok transport, komunikasi dan jasa keuangan mengalami Inflasi

Penataan promosi statis ialah suatu kegiatan untuk mempertunjukkan, memamerkan atau memperlihatkan hasil praktek atau produk lainnya berupa merchandise kepada masyarakat

Pendapat tersebut juga sesuai dengan pendapat Sudjana (2008, p.56) bahwa evaluasi produk mengukur dan menginterpretasi penca- paian program selama pelaksanaan program

3 Scatter plot hasil clustering algoritme PAM untuk k=17 7 4 Scatter plot hasil clustering algoritme CLARA untuk k=19 9 5 Plot data titik panas tahun 2001 sampai dengan

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah dengan permainan sains dapat meningkatkan kemampuan kognitif pada anak kelompok B TK Mojorejo 3

Setelah melihat kasus pada gambar, siswa dapat menuliskan contoh sikap-sikap yang mencerminkan nilai-nilai sila keempat Pancasila dengan tepat.. Setelah mendengarkan dan mengamati

Dengan uji korelasi didapatkan bahwa defisit basa jam ke-0 mempunyai hubungan bermakna bersifat lemah dengan mortalitas (r = 0,5p = 0,001) sedangkan defisit basa jam ke-24 dan