• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODE DAYA TETAS TELUR UNTUK MENENTUKAN TINGKAT RESISTENSI CACING NEMATODA PADA DOMBA DAN KAMBING

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "METODE DAYA TETAS TELUR UNTUK MENENTUKAN TINGKAT RESISTENSI CACING NEMATODA PADA DOMBA DAN KAMBING"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

METODE DAYA TETAS TELUR UNTUK MENENTUKAN

TINGKAT RESISTENSI CACING NEMATODA PADA

DOMBA DAN KAMBING

(Hatching Method to Detect Resistancy Level of Nematoda

in Sheep and Goat)

BERIAJAYA,DYAH HARYUNINGTYAS danAMIR HUSEIN Balai Penelitian Veteriner, Jl. R.E. MartadinataNo. 30, Bogor 16114

ABSTRACT

Control of nematode infection on sheep and goats is generally carried out by regular drenching with anthelmintic. Consequently at present there are a report of anthelmintic resistance cases especially on benzimidazole group in Indonesia. The purpose of this trial is to develop detection method of anthelmintic resistance using egg hatch assay. Four sheep naturally infected with resistant worms and four sheep naturally infected with susceptible worms were used as a source of nematode eggs. About 200 mg faeces were collected from each sheep on both groups. Each sampel were mixed with 600 ml, and then filtered with sieve of 250 µm, 180 µm, 75 µm and 25 µm. Gradient glucose were used to purify the eggs. U bottom microplates were used. Each well in each row were filled with 10 µl solution of thiabendazole with concentrations of 0 µg/ml; 0.05 µg/ml; 0.1 µg/ml; 0.2 µg/ml; 0.5 µg/ml; 1 µg/ml; 2 µg/ml and 4 µg/ml respectively. Each well in overall row then were added with 90 µl solution containing 20 – 30 eggs, moreover the microplates were incubated at room temperature for 48 hours. Observation were carried out on the total initial eggs on day 0 and the total eggs after 48 hours. Trials were repeated 8 times in different day and in each repeated was carried out 2-3 times on both faecal sampel. The results showed that mean of LD50 for resistant worm were 0,47 µg/ml and for susceptible worms were 0,09 µg/ml.

Key Words: Sheep, Goats, Detection Method, Egg Hatch Assay, Resistency, Nematode

ABSTRAK

Penanggulangan terhadap nematodiasis pada domba dan kambing umumnya dilakukan dengan pemberian antelmintik secara berkala. Saat ini sudah ada laporan kasus resistensi cacing terhadap antelmintik golongan benzimidazole di Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengembangkan metoda deteksi resistensi cacing dengan uji daya tetas telur. Empat ekor domba yang sudah diketahui mengandung cacing yang sangat resisten terhadap antelmintik dan 4 ekor domba yang mengandung cacing yang sangat peka dipelihara di kandang Balitvet. Tinja yang berasal dari domba-domba tersebut dipakai sebagai sumber telur cacing yang resisten dan peka. Sebanyak 200 g tinja masing-masing dari kelompok domba peka dan resisten dilumatkan dengan air sebanyak 600 ml kemudian disaring 4 kali dengan saringan ukuran 250 µm, 180 µm, 75 µm dan 25 µm. Untuk memurnikan telur digunakan larutan gula dengan konsentrasi bertingkat. Uji dilakukan pada mikroplate yang terdiri dari 96 sumuran. Setiap sumuran tertentu diisi dengan 10 µl larutan antelmintik thiabendazole dengan konsentrasi bertingkat mulai dari 0 µg/ml; 0,05 µg/ml; 0,1 µg/ml; 0,2 µg/ml; 0,5 µg/ml; 1 µg/ml; 2 µg/ml dan 4 µg/ml. Kemudian setiap sumuran ditambahkan 90 µl larutan yang mengandung kurang lebih 20 – 30 butir telur cacing dan selanjutnya mikroplate diinkubasi pada suhu ruangan selama 2 hari. Pengamatan dilakukan terhadap jumlah telur pada awal (hari ke 0) dan jumlah telur akhir pada waktu 48 jam kemudian (hari ke-2). Ulangan dilakukan sebanyak 8 kali pada hari yang berbeda dan setiap ulangan dilakukan 2 – 3 kali uji pada kedua sampel tersebut. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rata-rata LD50 untuk cacing yang sangat resisten mempunyai konsentrasi antelmintik 0,48 µg/ml dan untuk cacing yang masih peka 0,09 µg/ml.

(2)

PENDAHULUAN

Domba dan kambing merupakan ternak ruminansia yang sangat penting bagi petani ternak karena ternak ini umumnya berfungsi sebagai tabungan. Salah satu kendala yang mengganggu usaha peternakan ini adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing. Akibat yang ditimbulkan oleh penyakit ini berupa terhambatnya pertumbuhan dan sering menimbulkan kematian terutama pada ternak muda (BERIAJAYA dan STEVENSON, 1986; CARMICHAEL et al., 1992).

Pengobatan dilakukan dengan pemberian obat cacing secara berkala. Kejadian dilapangan menunjukkan bahwa obat cacing yang digunakan sering berkurang efektivitasnya karena pemberian dosis obat yang tidak tepat dan obat yang diberikan sama jenisnya. Kejadian resistensi cacing terhadap antelmintik sudah dilaporkan ada di negera-negara Barat (BORGSTEEDE, 1986; PRICHARD, 1990; HONG

et al., 1992; WALLER et al., 1995) dan di Asia Tenggara dilaporkan ada Malaysia (DORNY et

al., 1993; RAHMAN, 1993; SIVARAJ et al., 1994.), Thailand (KOCHAPAKDEE et al., 1995) dan Philippine (MARBELLA, 1991). Baru-baru ini resisten terhadap antelmintik juga dilaporkan di Indonesia (RIDWAN et al., 2000; HARYUNINGTYAS et al., 2001; BERIAJAYA et al., 2003). Untuk mengurangi terjadinya

resisten maka perlu adanya pergantian jenis obat cacing atau mencampur beberapa jenis obat cacing (ANDERSON et al., 1978). Selain itu CARMICHAEL (1993) menyebutkan bahwa paling tidak ada 4 faktor yang menyebabkan timbulnya resistensi obat yaitu frekuensi pemberian obat, dosis yang dibawah takaran, kurang tepatnya aplikasi dan tidak ada pergantian penggunaan jenis obat cacing.

Selain pemberian obat cacing, infeksi cacing ini juga harus ditanggulangi secara bersamaan dengan pemberian pakan yang baik dan manajemen penggembalaan atau secara bergantian penggembalaan antara sapi dan domba.

Untuk mengetahui terjadinya resistensi maka diperlukan suatu metoda deteksi dini terhadap antelmintik resisten sehingga dapat diambil tindakan segera. Saat ini untuk mendeteksi resistensi terhadap antelmentika dapat dilakukan dengan Fecal Egg Count

Reduction Test (FECRT), Egg Hatch Assay

(EHA) dan Larval Development Assay (LDA) (COLES et al., 1992; JOHANSEN dan WALLER, 1989) dan beberapa metoda lain (TAYLOR et

al., 2002; COLES et al., 2006).

Saat ini di Balitvet sedang dikembangkan metoda deteksi dini dengan cara modifikasi EHA. Metoda ini cukup sederhana dimana hasilnya dapat diketahui setelah 48 jam, sedangkan cara lain seperti LDA dan FECRT masing-masing membutuhkan waktu antara 7 – 14 hari.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengembangkan metoda deteksi resistensi cacing terhadap antelmintik pada domba dan kambing dengan modifikasi uji daya tetas telur.

MATERI DAN METODE Telur cacing nematoda

Cacing yang resisten terhadap antelmintika golongan benzimidazole (kontrol positif) berasal dari domba di Stasiun Pengembangan Ternak Domba (SPTD) Trijaya, Kuningan, Jawa Barat dan cacing yang peka berasal dari domba di Cicurug, Bogor, Jawa Barat (kontrol negatif). Domba-domba dari SPTD Trijaya tersebut telah diketahui resisten berdasar penelitian sebelumnya dan diuji ulang dengan LDA pada penelitian ini. Pada penelitian ini dilakukan standarisasi uji EHA yang dibandingkan dengan kit LDA sebagai “gold

standart”.

Purifikasi telur dari sampel tinja

Sebanyak 200 g tinja diberi air sedikit, kemudian diaduk sehingga merata. Untuk mengetahui jumlah telur cacing per gram tinja maka sampel tinja tersebut diperiksa epg dengan metoda Whitlock (WHITLOCK, 1948). Bila jumlah telur cacing cukup banyak (epg > 100) maka dilanjutkan dengan penyaringan dengan menggunakan saringan ukuran 250, 180, 75 dan 25 µm. Untuk memisahkan telur dari kotoran maka digunakan gradien gula dengan konsentrasi 10, 25 dan 40%.

Larval Development Assay (LDA)

Larutan telur cacing yang telah dipurifikasi selanjutnya dihitung dan dimasukkan ke dalam

(3)

mikroplate Drench Rite dan kemudian diinkubasi selama 7 hari pada temperatur kamar. Bila telur berkembang menjadi larva pada sumuran yang berwarna merah berarti sampel tinja sudah resistensi, sedang bila pada sumuran yang berwarna hijau berarti obat cacing masih tersebut masih boleh diberikan. Untuk menentukan tingkat resistensi maka dapat dilihat pada Tabel yang tersedia dalam buku petunjuk.

Egg Hatch Assay (EHA)

Validasi uji deteksi resistensi antelmintika menggunakan mikroplate dilakukan dengan cara menempatkan telur cacing dari galur yang resisten dan yang masih peka pada sumuran yang telah mengandung antelmentika yang konsentrasinya bertingkat (COLES et al., 1992).

Mikroplate diisi obat cacing golongan benzimidazole (Thiabendazole) dengan konsentrasi bertingkat yaitu mulai dari 0 µg/ml; 0,5 µg/ml; 1 µg/ml; 2 µg/ml dan 5 µg/ml; 10 µg/ml; 20 µg/ml; 40 µg/ml. Telur yang telah dipurifikasi dihitung sebanyak 20 – 30 butir/90 ml larutan, selanjutnya dimasukkan pada tiap-tiap sumuran dengan dua kali ulangan. Konsentrasi akhir obat setelah penambahan larutan telur adalah 0 µg/ml; 0,05 µg/ml; 0,1 µg/ml; 0,2 µg/ml; 0,5 µg/ml; 1 µg/ml; 2 µg/ml dan 4 µg/ml. Mikroplate diinkubasikan selama 48 jam pada suhu kamar selanjutnya jumlah telur yang tidak menetas dihitung.

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil LD50 daya tetas telur dari sampel tinja yang mengandung telur cacing yang masih peka dan yang sudah resisten dapat dilihat pada Tabel 1. Rata-rata LD50 uji daya tetas telur cacing yang masih peka dan resisten adalah masing-masing 0,0891 ± 0,0339 dan 0,4785 ± 0,2736. Dari hasil ini dapat dilihat bahwa bila nilai LD50 kurang dari 0,1230 maka telur cacing tersebut masih dianggap peka sehingga pengobatan dengan antelmintik golongan benzimidazole dapat dilanjutkan, sedang bila nilai LD50 lebih dari 0,2049 maka telur cacing tersebut sudah resisten dan pengobatan dengan antelmintik golongan benzimidazole harus dihentikan. Batas LD50

antara telur cacing yang peka dan telur cacing yang resisten sangat sedikit sehingga agak menyulitkan, tetapi menurut literatur disebutkan bahwa batas resisten adalah bila LD50 diatas 0,1 µg/ml (COLES et al., 1992).

Untuk menentukan tingkat resistensi dari telur cacing sebagai sumber telur cacing dalam penelitian ini digunakan uji LDA (LACEY et

al., 1990). Uji ini adalah untuk melihat

perkembangan larva sejak telur menetas menjadi larva 1, larva 2 dan larva 3. Semua proses ini memakan waktu satu minggu dan diharapkan pada hari ke tujuh jumlah larva 3 sudah dapat dihitung. Sampel yang berisi telur yang masih peka menempati sumuran yang berwarna hijau sedang telur yang sudah sangat resisten menempati sumuran yang berwarna merah. Jadi sumuran yang berwarna hijau atau merah berarti dari sampel yang berisi telur cacing yang masih peka atau resisten. Hasil dari LDA dikorelasikan dengan LD50 uji daya tetas telur dari masing-masing sampel, sehingga didapat rata-rata LD50 untuk sampel yang berasal dari telur cacing yang masih peka dan resisten.

Uji yang sedang dikembang saat ini adalah EHA (egg hatch assay) dimana prosesnya hanya memakan waktu 48 jam untuk melihat daya tetas telur. Cara perhitungannya adalah dengan membandingkan jumlah telur awal dan jumlah telur akhir pada waktu 48 jam kemudian. Jumlah telur yang menetas dapat diketahui 48 jam kemudian dari berkurangnya jumlah telur awal. Setelah itu untuk mendapatkan LD50 maka digunakan rumus analisis probit dengan software program POLO.

Simpangan baku LD50 uji daya tetas telur dari sampel yang mengandung telur yang masih peka, cukup kecil dibanding LD50 telur yang sudah resisten karena kemungkinan tingkat resistensi dari sampel yang sudah resisten bervariasi karena berasal dari 4 ekor domba. Sampel tersebut merupakan pool sampel atau sampel yang berasal dari 4 ekor domba yang digabung menjadi satu sampel. Selain itu pengenceran obat dari stock solution kemungkinan juga kurang homogen terutama pada hari pertama dan kedua untuk telur cacing yang sudah resisten. Pengenceran dilakukan 2 kali yaitu pengenceran pertama untuk hari pertama dan kedua; dan pengenceran kedua untuk hari ke-3 sampai ke-8. Simpangan baku LD50 untuk telur cacing yang sudah resisten,

(4)

Tabel 1. LD50 sampel tinja yang mengandung telur cacing yang peka dan resisten yang diuji dengan EHA

Hari uji Ulangan Telur yang peka Telur yang resisten

1 1 0,0746 1,02055 2 0,06482 0,85823 3 0,06389 1,20533 2 1 0,05915 0,73867 2 0,05362 0,55878 3 1 0,07197 0,32028 2 0,09791 0,32887 4 1 0,07176 0,39253 2 0,09674 0,25597 3 NA 0,38239 5 1 0,10288 0,35028 2 0,07219 0,30704 3 0,07565 NA 6 1 0,09236 0,26559 2 0,10346 0,38345 3 0,01196 NA 7 1 0,13206 0,31029 2 0,13209 0,33672 8 1 0,13834 0,36705 2 0,15143 0,31769 3 0,11634 0,39226 Rata-rata 0,0891 ± 0,0339 0,4785 ± 0,2736

ulangan pada hari ke-3 sampai hari ke-8 sangat kecil (0,0186 – 0,0833). Hal ini menunjukkan bahwa pengenceran obat sangat penting dilakukan secara tepat dan homogen agar hasil yang didapat dapat dipercaya.

Uji ini memerlukan waktu 48 jam agar semua telur dapat menetas dan hasilnya dapat dibaca setelah 48 jam walaupun ada sebagian telur sudah menetas pada waktu 24 jam. Daya tetas telur sangat dipengaruhi oleh waktu antara sampel dikoleksi dan proses untuk uji daya tetas telur. Dalam penelitian ini sumber

telur cacing diambil dari domba yang dipelihara di kandang Balitvet dan sampel tersebut langsung diproses sehingga kemungkinan kecil waktu pengaruh antara proses pengambilan dan pemeriksaan. Bila uji ini akan diaplikasikan pada sampel-sampel lapang maka harus dipikirkan agar tinja yang berisi telur cacing tidak menetas bila waktunya memakan waktu lebih dari satu hari. Untuk mencegah agar telur tidak menetas maka sampel tinja tersebut harus anaerob tanpa oksigen, karena oksigen sangat dibutuhkan untuk penetasan telur cacing. Tinja

(5)

yang dimasukkan dalam kantong plastik harus dibungkus, sering diremas-remas dan diikat sedemikian rupa agar tidak ada udara.

Di alam, telur cacing untuk menetas menjadi larva 1 dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban. Agar telur dapat menetas maka suhu yang optimum berkisar 28oC dan kelembaban antara 80 – 100%. Oleh karena itu maka agar telur dapat menetas di dalam mikroplate maka suhu dan kelembaban harus dijaga agar stabil mendekati kondisi di alam (KUSUMAMIHARDJA, 1982).

KESIMPULAN

Uji daya tetas telur lebih tepat bila digunakan untuk mendeteksi resistensi terhadap antelmintik golongan benzimidazole. Tetapi untuk mendeteksi terhadap antelmintik golongan lain perlu penelitian lebih mendalam (DOBSON et al., 1986).

UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini merupakan kegiatan penelitian kerjasama antara Balitvet dan BPPH Wilayah VI Denpasar, Bali pada APBN tahun 2005, untuk itu kami mengucapkan terima kasih kepada Kepala Balai Penelitian Veteriner dan Kepala Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional VI Denpasar atas bantuanna sehingga penelitian ini dapat berjalan dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

ANDERSON, N., K.M. DASH, A.D. DONALD, W.H. SOUTHCOTT and P.J. WALLER. 1978. Epidemiology and control of nematode infections. In: The Epidemiology and Control

of Gastrointestinal Parasites of Sheep in Australia. DONALD, A.D., W.H. SOUTHCOTT and J.K.DINNEN (Eds.). CSIRO p. 153. BERIAJAYA and P. STEVENSON. 1986. Reduced

productivity in small ruminant in Indonesia as a result of agstrointestinal nematode infections. Proc. 5th Conf. Inst. Trop. Vet. Med. Kuala Lumpur, Malaysia.

BORGSTEEDE F.H.M. 1986. Resistance of Cooperia

curticei against fenbendazole. Res. Vet. Sci.

41: 423 – 424.

CARMICHAEL, I.H. 1993. Internal and external parasites as constraints to productivity of small ruminants in the tropics. In: Small

Ruminant Production in the humid tropics, with special reference to Indonesia.

WODZICKA-TOMASZEWSKA,M.,S.GARDINER, A. DJAJANEGARA, I M. MASTIKA and T.R. WIRADARYA (Eds.). Sebelas Maret University Press, Surakarta, pp. 284 – 335.

CARMICHAEL,I.H.,S.WIDJAJANTI,M.D.SANCHEZ, M. HUTAURUK and A.J. WILSON. 1992. Helminth Parasitism in Sheep Grazing in Rubber Plantations in North Sumatra. Final Report. Collaborative Research Project. SR-CRSP/CRIAS-James Cook University (Project ATA-219). Balai Penelitian Veteriner, Bogor, Indonesia. pp. 54.

COLES,G.C.,C.BAUER,F.H.M.BORGSTEEDE,S. GEERTS,T.R.KLEI,M.A.TAYLOR and P.J. WALLER. 1992. World Association for the Advancement of Veterinary Parasitology (W.A.A.V.P) methods for the detection of anthelmintic resistance in nematodes of veterinary importance. Vet. Parasitol. 44: 35 – 44.

COLES, G.C., F. JACKSON, W.E. POMROY, R.K. PRICHARD,G.VON SAMSON-HIMMELSTJERNA, A. SILVESTRE, M.A. TAYLOR and J. VERCRUYSSE. 2006. The detection of anthelmintic resistance in nematodes of veterinary importance. Vet. Parasitol. 136: 167 – 185.

DOBSON,R.J.,A.D.DONALD,P.J.WALLER and K.L. SNOWDON. 1986. An egg hatch assay for resistance to levamisole in trichostrongyloid nematode parasites. Vet. Parasitol. 19: 77 – 84. DORNY, P., E. CLAREBOUT, J. VERCRUYSSE, A.

JALILA and R. SANI. 1993. Benzimidazole resistance of Haemonchus contortus in goats in Malaysia. Vet. Rec. 133: 423 – 424. HARYUNINGTYAS,D., BERIAJAYA dan D.G. GRAY.

2001. Resistensi antelmintik golongan benzimidazole pada domba dan kambing di Indonesia. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 17 – 18 September 2001. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm.509 – 518.

HONG, C., K.R. HUNT, T.J. HARRIS, G.C. COLES, W.T.R.GRIMSHAW and P.F. MCMULLIN. 1992. A survey of benzimidazole resistant nematodes in sheep in three countries of southern England. Vet. Rec. 131: 5 – 7.

(6)

JOHANSEN, M.V. and P.J. WALLER. 1989. Comparison of the three in vitro techniques to estimate benzimidazole resistance in

Haemonchus contortus of sheep. Vet. Parasitol. 34: 213 – 221.

KOCHAPAKDEE,S.,V.S.PANDEY,W.PRALOMKARN, S.CHOLDUMRONGKUL,W.NGAMPONGASI and A. LAWPETCHARA. 1995. Anthelmintic resistance in goats in southern Thailand. Vet

Rec.137: 124 – 125.

KUSUMAMIHARDJA, S. 1982. Pengaruh musim, umur dan waktu penggembalaan pada derajat infestasi nematoda saluran pencernaan domba (Ovis aries Lin.) di Bogor. Thesis. Doktor. Institut Pertanian Bogor.

LACEY, E., J.M. REDWIN, J.H. GILL, V.M. DEMARGHERITI and P.J. WALLER. 1990. A larval development assay for the simultaneous detection of broad spectrum anthelmintic resistance. In: Resistance of Parasites to antiparasitic drugs. BORAY,J.C.,P.J.MARTIN and R.T. ROUSH (Eds.). MSD AGVET, Raway, NJ. pp. 177 – 184.

MARBELLA, C.O. 1991. Prevention and Control of Gastrointestinal Parasites of Goats in the Bicol Region. Terminal Report, Regional Animal Disease Diagnostic and Research Laboratory, Departement of Agriculture, region V, Cabangan, Camalig, Albay.

PRICHARD, R.K. 1990. Anthelmintic resistance in nematodes, recent understanding and future directions for control and research. Int. J.

Parasitol. 20: 515 – 523.

RAHMAN,W.A. 1993. Resistance to benzimidazole anthelmintics by Haemonchus contortus in goats in Peninsular Malaysia. Vet Parasitol. 55: 155 – 1 57.

RIDWAN, Y., F. SATRIJA, E.B. RETNANI and R. TIURIA. 2000. Haemonchus contortus resistant to albendazole on sheep farm in Bogor. Abstract in International Conference on Soil

Transmitted Helminth Control and Workshop on Indonesian Association of Parasitic Disease Control. Bali, 21 – 24 February 2000.

SIVARAJ, S., P. DORNY,J. VERCRUYSSE and V.S. PANDEY. 1994. Multiple and multigeneric anthelmintic resistance on a sheep farm in Malaysia. Vet. Parasitol. 55: 159 – 165. TAYLOR, M.A., K.R. HUNT and K.L. GOODYEAR.

2002. Anthelmintic resistance detection methods: a review. Vet. Parasitol. 103: 183 – 194

WALLER,P.J.,F.ECHEVARRIA,C.EDDIE,S.MACIEL, A. NARI and J.W. HANSEN. 1996. The prevalence of anthelmintic resistance in nematode parasites of sheep in Southern Latin America: General overview. Vet. Parasitol. 62: 181 – 187.

WHITLOCK,H.V. 1948. Some modification of the Mc Master helminth egg-counting technique and apparatus. J. Counc. Sci. Ind. Res. 21: 117 - 118.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil menunjukkan bahwa berdasarkan distribusi responden menurut supervisi kepala ruangan sebanyak 69 orang, 50 responden menyatakan bahwa supervisi kepala ruangan

Hal ini disebabkan karena pemberian pupuk kompos akan memberikan pengaruh sifat fisik dan biologi tanah yang menjadi lebih gembur, sehingga tata ruang dalam

Akta dibawah tangan memiliki nilai pembuktian yang sempurna sepanjang para pihak mengakuinya.Apabila para pihak melanggar ketentuan tertentu seperti yang tercantum

1) Dampak Kognitif, adalah yang timbul pada komunikasi yang menyebabkan dia menjadi tahu atau meningkat intelektualnya. 2) Dampak Afektif lebih tinggi kadarnya dari

Cambridge Assessment International Education is part of the University of

Pembelajaran ini harus mampu menghasilkan perubahan-perubahan kualitatif (peningkatan) tingkah laku siswa dari sebelum memasuki situasi pembelajaran dan kualitas tingkah

Responsiveness, yaitu respon atau kesigapan karyawan dalam membantu dan memberikan pelayanan yang cepat dan tanggap kepada pelanggan, meliputi kesigapan karyawan dalam

Dari penelitian tersebut dalam disimpulkandari pengelolaan zakat yang dilakukan oleh BAZ (Badan Amil Zakat) di Kabupaten Tulang Bawang dalam mendayagunakan dana zakat