BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan salah satu cabang ilmu
pengetahuan yang memegang peranan penting terhadap dalam perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi. IPA mempelajari alam dan seisinya baik yang
hidup maupun tak hidup. Pada hakikatnya, IPA dapat dipandang dari segi produk,
proses dan pengembangan sikap ilmiah (Sulistyorini, 2007), artinya, IPA memiliki
dimensi produk, proses, dan sikap yang saling terkait. Dimensi produk dalam IPA
merupakan fakta, konsep, prinsip, hukum, dan teori IPA. Dimensi proses adalah
proses mendapatkan IPA yang disusun dan diperoleh melalui metode ilmiah.
Winaputra (Samatowa, 2006) mengemukakan bahwa IPA tidak hanya merupakan
kumpulan pengetahuan tentang benda atau mahluk hidup tetapi merupakan cara
kerja, cara berpikir dan cara memecahkan masalah.
Tampak jelas bahwa IPA baik sebagai produk, proses, sikap, cara berpikir,
cara memecahkan masalah, merupakan instrumen terpenting yang dapat
membantu manusia dalam memudahkan mengarungi kehidupannya. Dalam
kehidupannya manusia akan selalu menghadapi masalah yang harus dicari
solusinya, dan dalam mencari solusi tentu manusia harus berpikir dan harus
menempuh langkah-langkah kerja yang sistematis, teliti, komprehensif dan
obyektif. IPA sebagai produk memberi landasan keilmuan untuk berpikir dan IPA
sebagai proses memberi arahan langkah-langkah kerja yang sistematis dalam
wujud metode ilmiah.
Atas dasar kepentingan itu IPA perlu dipahami dan dikuasai dengan baik
oleh manusia. Perlu ada pengenalan dan pembekalan IPA secara utuh kepada
segenap umat manusia. Dalam rangka itu IPA dijadikan salah satu mata pelajaran
sekolah dasar (SD). Tujuannya tiada lain agar siswa dapat mengenal IPA sejak
dini.
Dalam kurikulum pendidikan formal di Indonesia, pelajaran IPA juga
termasuk salah satu mata pelajaran yang diselenggarakan sejak level SD.
Pembelajaran IPA di sekolah dasar ditujukan untuk memupuk rasa ingin tahu dan
sikap positif terhadap alam, kebendaan yang sistematis yang tersusun secara
teratur. Aspek pokok dalam pembelajaran IPA adalah anak dapat menyadari
keterbatasan pengetahuan siswa, memiliki rasa ingin tahu untuk menggali
berbagai pengetahuan baru dan akhirnya dapat mengaplikasikan dalam kehidupan
sehari-hari. Secara lebih spesifik, menurut Depdiknas (2006) pembelajaran IPA di
sekolah dasar memiliki tujuan yang harus dicapai peserta didik sebagai berikut
(1) Memperoleh keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Esa
berdasarkan keberadaan, keindahan dan keteraturan alam ciptaan-Nya; (2)
Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang
bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari; (3)
Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif dan kesadaran tentang adanya
hubungan yang saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan, teknologi dan
masyarakat; (4) Mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam
sekitar, memecahkan masalah dan membuat keputusan; (5) Meningkatkan
kesadaran untuk berperan serta dalam memelihara, menjaga dan melestarikan
lingkungan alam; dan (6) Meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan
segala keteraturannya sebagai salah satu ciptaan Tuhan.
Pada tujuan pembelajaran IPA di sekolah dasar nomor 2 dan 4 secara
eksplisit dinyatakan bahwa tujuan pembelajaran IPA adalah mengembangkan
pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang bermanfaat dan dapat
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dan mengembangkan keterampilan proses
untuk menyelidiki alam sekitar, memecahkan masalah dan membuat keputusan.
Sebagaimana telah dipaparkan di muka, kedua hal ini amatlah penting untuk
dikuasai peserta didik karena akan memberikan landasan pengetahuan untuk
berpikir dan langkah-langkah kerja sistematis dalam mencari solusi atas persoalan
Agar kedua aspek tersebut dapat dicapai oleh siswa dengan baik, tentu
dalam pembelajarannya harus dipilih model, strategi, metode dan pendekatan
yang tepat, sehingga dalam prosesnya terjadi pembekalan kemampuan kognitif
dan pelatihan keterampilan proses sains tersebut. Karena IPA merupakan ilmu
yang ditemukan oleh para ilmuwan atas dasar pengamatan empiris terhadap gejala
alam yang dilanjutkan dengan segenap langkah kerja ilmiah (penyelidikan) hingga
sebuah konsep, hukum, azas, dan prinsip dapat dikonstruk, maka dalam
mempelajari IPA sebaiknya siswa difasilitasi untuk beraktivitas sebagaimana yang
dilakukan para ilmuwan dalam membangun suatu konsep IPA, tentu dalam
batas-batas kewajaran. Minimal ada dua keuntungan yang dapat diraih siswa jika
pembelajaran dilakukan secara demikian, yaitu siswa dapat menguasai produk dan
proses IPA sekaligus.
Pembelajaran IPA yang mendorong untuk menekankan pada pemberian
pengalaman belajar secara langsung melalui penggunaan dan pengembangan
keterampilan proses dan sikap ilmiah ketika mereka difasilitasi untuk
mengkonstruksi sendiri pengetahuannya, dikenal sebagai pembelajaran IPA yang
menggunakan pendekatan inkuiri ilmiah (scientific inquiry). Dengan pendekatan
inkuiri siswa diberikan kesempatan untuk mencari sendiri tentang apa yang ingin
mereka ketahui melalui pengamatan dan observasi menggunakan seluruh panca
indera (penglihatan, pendengaran, penciuman dan perabaan). Pendekatan Inkuiri
ilmiah sangat cocok digunakan dalam proses pembelajaran untuk menumbuhkan
kemampuan berpikir, bekerja dan bersikap ilmiah serta mengkomunikasikannya
sebagai aspek penting dari kecakapan hidup (Depdiknas, 2006).
Sayangnya pendekatan inkuiri masih sangat jarang digunakan dalam
pembelajaran IPA di sekolah Dasar di negara kita. Keadaan ini setidaknya
teramati dari hasil observasi pelaksanaan pembelajaran IPA di salah satu SD
Negeri di kota Metro, yang menunjukkan bahwa 1).Proses pembelajaran yang
dilakukan oleh guru lebih dominan adalah metode ceramah, dimana guru berperan
sebagai pusat pembelajaran; 2) Jarang sekali siswa terlibat aktif selama proses
pembelajaran, terutama untuk aktivitas penyelidikan ilmiah 3) Pembelajaran IPA
Dengan pembelajaran seperti itu sudah dapat ditebak hasilnya, jangankan
dalam tataran aplikasi dan keterampilan proses dalam hal pengetahuan saja hasil
belajar IPA mereka masih tergolong rendah. Hal ini tercermin dari rendahnya
hasil tes kemampuan kognitif dan keterampilan proses siswa di SD tersebut pada
saat studi lapangan dilakukan.
Kondisi tersebut di atas dapat terjadi dengan beberapa faktor penyebab,
bisa faktor keengganan dari guru untuk menggunakan metode-metode
pembelajaran IPA yang sesuai hakikat IPA atau ketidaktahuan guru-guru akan
metode-metode pembelajaran IPA seperti itu. Jika penyebabnya adalah faktor
kedua, maka perlu diperkenalkan metode-metode pembelajaran IPA yang sesuai
hakikat IPA, tentu perlu disertai dengan gambaran hasil studi empirisnya yang
membuktikan keampuhan metode tersebut dalam membantu siswa mencapai
tujuan pembelajaran IPA, agar mereka lebih tertarik.
Salah satu model pembelajaran yang memungkinkan membantu guru
mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata dan
mendorong siswa mengkonstruksi pengetahuan sendiri secara inkuiri ilmiah
adalah model pembelajaran kontekstual CTL (Contextual Teaching and Learning)
(Nurhadi, 2002 dalam Rusman, 2011). Menurut Yamin (2011), model
pembelajaran CTL sebagai suatu model pembelajaran yang memberikan fasilitas
kegiatan pembelajaran bagi siswa untuk mencari, mengolah, dan menemukan
pengalaman belajar yang bersifat lebih konkret (terkait dengan kehidupan nyata)
melalui keterlibatan aktivitas siswa dalam mencoba, melakukan, dan mengalami
sendiri. Dengan demikian, pembelajaran tidak sekedar dilihat dari sisi produk,
akan tetapi yang terpenting adalah proses (Rusman, 2011).
Siswa diberikan kesempatan untuk langsung terlibat dalam aktivitas dan
pengalaman ilmiah seperti apa yang dilakukan / dialami oleh ilmuwan. Dengan
demikian siswa dididik dan dilatih untuk terampil dalam memperoleh dan
mengolah informasi melalui aktivitas berpikir dengan mengikuti prosedur
(metode) ilmiah, seperti terampil melakukan pengamatan, pengukuran,
Pada model pembelajaran CTL terdapat ada 7 asas penting yang
dikembangkan yaitu konstruktivisme, inkuiri, bertanya, masyarakat belajar,
pemodelan, refleksi, penilaian sebenarnya. Dari 7 asas ini dikembangkan untuk
meningkatkan kemampuan kognitif dan keterampilan proses sains. Model
pembelajaran kontekstual (CTL) merupakan suatu model pembelajaran yang
mengaitkan antara subyek materi (konten/ isi) dengan keterampilan intelektual
yang dimilikisiswa dalam situasi dan kondisi yang disesuaikan dengan psikologi
kognitif siswa dan kebutuhan lingkungan (Komalasari, 2011). Penelitian terkait
penggunaan model kontekstual salah satu nya penelitian Hayati, Supardi, dan
Miswadi (2013) yang mengembangkan model kontekstual berbasis proyek untuk
meningkatkan hasil belajar dan keterampilan proses sains siswa. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa terdapat peningkatan keterampilan proses sains dan terdapat
peningkatan hasil belajar kognitif siswa. Pembelajaran kontekstual berbasis
proyek cukup berpotensi meningkatkan keterampilan proses sains siswa, yaitu
siswa akan terbiasa menumbuhkan keterampilan kinerja ilmiah dan keterampilan
memecahkan masalah. Keuntungan pembelajaran kontekstual diantaranya adalah
siswa diberikan kesempatan untuk mengembangkan keterampilan kompleks,
misalnya pemecahan masalah, berpikir tingkat tinggi, kolaborasi, komunikasi
yang siswa akan terlibat langsung dan memiliki tanggung jawab besar pada
pembelajaran mereka sendiri.
Beberapa penelitian terkait penggunaan model CTL dalam pembelajaran
IPA serta gambaran pengaruhnya terhadap hasil belajar telah dilaporkan,
diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Anak Agung Oka (2011) menemukan
bahwa pembelajaran CTL dapat meningkatkan aktivitas belajar dan
mempertahankan daya ingat siswa terhadap materi-materi pelajaran yang telah
dipelajari dalam pembelajaran sains. Penelitian yang dilakukan oleh Suryanti, dkk
(2006) menyimpulkan bahwa model pembelajaran kontekstual dengan pendekatan
inkuiri dengan setting kelompok kooperatif dapat meningkatkan aktivitas siswa di
kelas dalam hal bertanya, mengemukakan pendapat/ide serta mendengarkan
dengan aktif, serta dapat meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi pokok
bahwa penerapan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan CTL dapat
lebih meningkatkan penguasaan konsep dan kemampuan komunikasi siswa
dibandingkan penerapan pendekatan konvensional.
Atas dasar paparan di atas penulis tertarik untuk melakukan suatu
penelitian tentang implementasi model pembelajaran CTL dalam pembelajaran
IPA di sekolah dasar untuk mencari bukti empirik tentang potensi model CTL
dalam membangun kemampuan kognitif dan keterampilan proses sains siswa
sekolah dasar dengan diberi judul : Penerapan Model Pembelajaran Kontekstual
untuk Meningkatkan Kemampuan Kognitif dan Keterampilan Proses Sains Siswa
Sekolah Dasar.
B. Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas,
maka masalah dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut “Apakah terdapat
pengaruh penerapan model kontekstual terhadap peningkatan kemampuan kognitif
dan keterampilan proses sains dibandingkan dengan pembelajaran model
konvensional?”.
Untuk memperjelas rumusan masalah, maka perumusan di atas diuraikan dalam
beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Apakah peningkatan kemampuan kognitif siswa yang mendapatkan
pembelajaran dengan model kontekstual (CTL) dibandingkan dengan siswa
yang mendapatkan pembelajaran dengan model konvensional?
2. Apakah peningkatan keterampilan proses sains siswa yang mendapatkan
pembelajaran dengan model kontekstual (CTL) dibandingkan dengan siswa
yang mendapatkan pembelajaran dengan model konvensional?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran tentang pengaruh
penerapan model contextual teaching and learning (CTL) terhadap peningkatkan
kemampuan kognitif dan keterampilan proses sains sekolah dasar. Secara khusus
1. Mendapatkan gambaran tentang peningkatan kemampuan kognitif siswa yang
mendapatkan pembelajaran dengan model contextual teaching and learning
(CTL) dibandingkan dengan siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan
model konvensional.
2. Mendapatkan gambaran tentang peningkatan keterampilan proses sains siswa
yang mendapatkan pembelajaran dengan model contextual teaching and
learning (CTL) dibandingkan dengan siswa yang mendapatkan pembelajaran
dengan model konvensional.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bukti empiris
tentang potensi model contextual teaching and learning (CTL) dalam
meningkatkan kemampuan kognitif dan keterampilan proses sains siswa, yang
nantinya dapat memperkaya hasil-hasil penelitian dalam kajian sejenis dan dapat
digunakan sebagai rujukan, pembanding atau pendukung oleh berbagai pihak
yang berkepentingan seperti guru, peneliti, mahasiswa calon guru, dan lain-lain.
E. Definisi Operasioal
Untuk menghindari kesalahan dalam mengartikan istilah-istilah penting
yang digunakan dalam penelitian ini, maka diadakan pendefinisian secara
operasional atas istilah-istilah yang digunakan sebagai berikut :
1. CTL didefinisikan sebagai pembelajaran yang membantu siswa menemukan
makna dalam pelajaran dengan cara menghubungkan materi akademik
dengan kehidupan konteks mereka, yang menekankan bekerja secara ilmiah
dapat memecahkan masalah dengan pengalaman yang diperoleh dalam
lingkungan sekolah yang diterapkan dalam lingkungan nyata di luar sekolah,
dengan mengkonstruksi sendiri pemahaman siswa. Tahapan-tahapan
pembelajaran CTL dari penelitian meliputi: invitasi, eksplorasi, penjelasan
dan solusi, dan pengambilan tindakan (Sa’ud, 2008). Keterlaksanaan
tahapan-tahapan model pembelajaran CTL diterapkan dalam rencana pelaksanaan
pertemuan. Pertemuan pertama membahas pengungkit, pertemuan kedua
membahas bidang miring, dan pertemuan ketiga membahas katrol.
2. Peningkatan keterampilan proses sains didefinisikan sebagai perubahan
keterampilan proses sains ke arah yang lebih tinggi dari sebelum
pembelajaran ke setelah pembelajaran. Peningkatan ini dihitung dengan
menggunakan rumus N-Gain (Normalized gain) yang dikembangkan oleh
Hake pada tahun 1999. Keterampilan proses sains ini diklasifikasikan
menurut Rezba (1995) yang membagi keterampilan proses sains menjadi
keterampilan dasar proses sains meliputi mengamati, mengkomunikasikan,
mengklasifikasi, mengukur, menyimpulkan, dan memprediksi dan
keterampilan proses sains yang terintegrasi meliputi mengidentifikasi
variabel, membuat tabel data, menggambarkan grafik, menjelaskan hubungan
antar variabel, mengumpulkan dan menganalisis data, menganalisis
investigasi, membuat hipotesis, mendefinisikan variabel secara operasional,
mendesain eksperimen, dan melakukan eksperimen. Dari kedua aspek yang
diklasifikasikan oleh Rezba (1995) terdapat enam aspek yang ditinjau dalam
penelitian ini yaitu merumuskan percobaan materi pengungkit, bidang miring,
dan katrol, bertanya materi pengungkit, bidang miring, dan katrol,
merumuskan hipotesis materi pengungkit, bidang miring, dan katrol,
merencanakan percobaan materi pengungkit, bidang miring, dan katrol,
menarik kesimpulan dan memprediksi untuk materi pengungkit, bidang
miring, dan katrol. Keterampilan proses sains siswa diukur dari melalui
pemberian tes pilihan ganda yang mencakup indikator-indikator keterampilan
proses sains.
3. Peningkatan kemampuan kognitif didefinisikan sebagai perubahan kearah
yang lebih tinggi dari sebelum pembelajaran ke setelah pembelajaran.
Peningkatan ini dihitung dengan menggunakan rumus N-Gain (Normalized
gain) yang dikembangkan oleh Hake pada tahun 1999. Kemampuan kognitif
siswa pada penelitian ini berdasarkan kepada dimensi kognitif Anderson dan
Krathwohl (2001). Dari enam ranah kognitif meliputi hafalan (C1),
(C6) dari keenam ranah kogntif hanya empat ranah yang diteliti dalam
penelitian ini hanya mencakup aspek hafalan (C1) materi pengungkit, bidang
miring, dan katrol, pemahaman (C2) materi pengungkit, bidang miring, dan
katrol, aplikasi (C3) materi pengungkit, bidang miring, dan katrol, dan
analisis (C4) materi pengungkit, bidang miring, dan katrol. Kemampuan
kognitif siswa diukur menggunakan tes kemampuan kognitif dalam bentuk tes
jenis pilihan ganda yang mengukur empat aspek kognitif yang ditinjau.
4. Menurut Bennet (1976) dalam Yamin (2011) pembelajaran konvensional
didefinisikan sebagai proses pembelajaran guru sebagai penyalur ilmu
pengetahuan, penekanan pada ingatan, dan proses pembelajaran konvensional
ditandai dengan ceramah yang diiringi dengan penjelasan, serta pembagian
tugas dan latihan. Sejak dahulu guru dalam usaha menularkan