• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Posintuwu dan Koperasi: Elaborasi Nilai Lokal Masyarakat dalam Kelompok Usaha Simpan Pinjam (KSP) Mekar Jaya, di Desa Tonusu T2 092010001 BAB IV

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Posintuwu dan Koperasi: Elaborasi Nilai Lokal Masyarakat dalam Kelompok Usaha Simpan Pinjam (KSP) Mekar Jaya, di Desa Tonusu T2 092010001 BAB IV"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

4.1 Desa Tonusu

Tempat penelitian penulis merupakan salah satu bagian dari wilayah Desa Tonusu. Desa Tonusu sendiri menurut data sekunder yang diperoleh dari pemerintah Desa Tonusu merupakan salah satu desa yang ada di kecamatan Pamona Puselemba. Adapun luas wilayah Desa ini 10.000 Km2 terbagi atas kawasan hutan 7000 km2 dan kawasan non hutan 3000 km2. Desa ini dalam rinciannya berbatasan dengan beberapa wilayah yang dijabarkan sebagai berikut:

1. Sebelah utara berbatasan dengan hutan Negara 2. Sebelah timur berbatasan dengan Desa Mayakeli 3. Sebelah selatan berbatasan dengan Danau Poso 4. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Leboni

(2)

Duda dan Bapak Dewi. Selain mendatangkan penduduk dari Desa Sangira Bapak Malindo juga mengajak kelompok masyarakat dari daerah Sangele (sekarang kota kecil Tentena) dan Taipa lalu membentuk pemukiman bernama Suo Lembadan dikepalai oleh Bapak Pasoa. Ditahun 1950 Bapak Malindo kemudian mengabungkan kedua pemukiman ini sehingga membentuk satu desa baru di daerahSuo lemba.

(3)

Gambar2. Denah Desa Tonusu dan Kampungudang

Dalam perkembangannya Desa Suolemba kemudian berganti nama menjadi Desa Tonusu, dalam hal ini meskipun tidak ada data yang akurat tentang alasan mengapa desa ini mengalami pergantian nama akan tetapi berdasarkan catatan arsip desa yang menjadi ajuan penulis dijelaskan bahwa Tonusu memiliki makna yang kuat yaitu To (tau / orang) dan Nusu (wuku usu/ tulang rusuk). Tonusu itu sendiri oleh salah seorang tokoh masyarakat bernama Bapak Tabasi diartikan sebagai “ perkumpulan orang dari berbagai tempat yang dibangun atas dasar saling membutuhkan”.

4.2 Peralihan kelompok kerja (partei) menjadi usaha simpan pinjam (USP)

Untuk memahami proses peralihan kelompok kerja menjadi usaha simpan pinjam maka dijabarkan pemaparan sebagai berikut

(4)

Dalam kehidupan masyarakat Poso ( to pamona) mula-mula kumpulan komunitas terdiri atas kelompok kelompok kecil yang hidup dalam rumah besar yang disebut

sombori, dalam pemahamannya sombori secara umum dimaknai sebagai keluarga, akan tetapi keluarga yang dimaksudkan dalam tulisan ini memiliki pemahaman yang lebih luas karena dalam suatu sombori (rumah besar) terdiri atas 8-10 sombori-sombori (keluarga-keluarga). Biasanyasombori-somboriyang dimaksudkan masih memiliki ikatan keluarga. Setiap satusombori (rumah besar) memiliki seorang kepala keluarga yang dituakan, diera sebelum zending sebuah sombori dikepalai seorang pemimpin (kabose). Dengan kata lain makna sombori pada tulisan ini dapat berarti persatuan, keluarga besar, atau rumah.

[image:4.595.65.529.219.647.2]

Sombori sebagai rumah besar umumnya berbentuk rumah persegi panjang, rumah ini memiliki 4-5 ruas dimana setiap ruas diisi oleh 1 sombori, jadi misalnya rumah yang memiliki 4 ruas didiami 7-8sombori.

Gambar 3: Model rumah besar atauSombori1)

1

(5)

Selanjutnya setiap ruas pada sebuah rumah besar dipisahkan oleh gang kecil di dalam rumah yang disebut jara-jara. Jara-jara ini memiliki dua fungsi utama yakni tempat aktifitas utama di dalam rumah tersebut dan sebagai tempat untuk rapat atau pertemuan membicarakan seluruh kegiatan dari yang bersifat ekonomi, pertanian, politik,sosial dan lain sebagainnya.

Akan tetapi masuknya pengaruh Zending (penginjil Belanda) kemudian secara perlahan-lahan menghilangkan tradisi hidup di dalam rumah besar, Salah satu Zending yang sangat terkenal bernama Albert C Kruyt menjelaskan bahwa alasan perlarangan tatacara hidup to pamona dirumah besar dikarenakan A.Kruyt tidak sependapat dengan tradisiana mayunu. Ana mayunu merupakan istilah budak dari seorang kabose yang ada di dalam sebuah rumah besar, jika seorang kabose meninggal dunia maka ana mayununyapun harus mengikutinya dengan cara dikubur hidup-hidup atau dipacung. Bahkan dalam catatan Papa I wunte yang ditulis oleh A.Kruyt dijelaskan bahwa beliau sebagai salah satu kabose memimpin anak buahnya untuk mencari kepala manusia (memburu kepala) yang akan diletakkan bersama salah satu keluarganya yang meninggal dunia, dengan asumsi semakin banyak kepala yang diperoleh maka semakin banyak budak yang akan melayani keluarga yang meninggal tersebut di alam roh.

(6)

terakhir bersama suami dan anak-anaknya menjadi satusombori,maka secara tradisi Ibu Pelia kehilangan somborinya bersama suami dirumah tersebut. Hilangnya sombori dari Ibu Pelia di rumah dikarenakan sebagai orang tua ia tidak bertanggungjawab menafhkai keluarga dari anak terakhirnya. Bahkan dari kenangan cerita masyarakat mula-mula yang didengar oleh Ibu Pelia dari tetua dikampungnya, dahulu sebuah tempat menetap (salah satu wilayah disekitar tempat penelitian) yang saat ini menjadi sebuah perkampungan besar, ditempati oleh 5-6 rumah besar. Dimana 1 rumah besar terdiri dari satu sombori

utama yang melahirkan anak-anak yang kemudian menghasilkan sombori-sombori baru di dalam rumah tersebut. Penjelasan ini didukung oleh Bapak Ito yang merupakan tetua adat Desa Tonusu. Menurutnya dahulu sebelum menjadi perkampungan wilayah Desa Tonusu dan Desa Leboni hanya memiliki 2 tempat pemukiman, dimana setiap pemukiman terdiri dari 2 – 3 rumah besar. Adapun alasan mereka berkumpul bersama dalam satu pemukiman untuk memudahkan mengkoordinir anggota kelompoknya.

4.2.2Mo sintuwu/Po sintuwu

Bagi komunitas Masyarakat Pamona mo sintuwu dan po sintuwu merupakan dua istilah yang sangat familiar. Mo sintuwu dimaknai sebagai aktifitas melakukan sintuwu

sedangkan po sintuwu itu sendiri dimaknai sebagai nilai dari wujud apa yang dilakukan dalam aktifitas sintuwu. Menurut J. Kruyt2)dalam Depdikbud (1978), Sintuwu dipahami

2

(7)

sebagai suatu pola kehidupan bersama yang menyebabkan orang berjalan bersama-sama, mengambil jalan yang sama, memperlihatkan diri dengan seperasaan. Sintuwu

selanjutnya diwujudkan dalam tindakan metulung atau saling memberi bantuan tenaga. Ungkapan metulung kemudian dapat dilihat melalui kebiasaan mesale. Di Kabupaten Poso sendiri istilah Sintuwu dijadikan sebagai sebuah jargon politis untuk menyatukan orang-orang pamona dengan istilah tuwu malinuwu, tuwu siwagi, Sintuwu maroso. Makna jargon ini intinya mengandung makna persatuan seperti yang tertuang dalam semboyan Negara Indonesia yaitu Bhineka Tunggal Ika.

4.2.3 Po sintuwu

Berdasarkan penjelasan Bapak Bou Mulanya segala bentuk po sintuwu tidak tertulis seperti saat ini (buku po sintuwu) karena pada saat itu belum dikenal alat tulis sederhana seperti kertas dan tinta oleh kebanyakan Masyarakat Pamona. Akan tetapi sejak masuknya pengaruh Belanda melalui zendingnya pada ditahun 1945 beberapa kelompok masyarakat dari golongan Kabose sudah membuat pencatatan-pencatatan3) yang saat ini dikenal dengan nama buku po sintuwu. Hal ini kemudian memperkuat penjelasan Bapak Buloko bahwa dalam tradisipo sintuwuberlaku suatu nilai yang sangat mempengaruhi atau membelenggu4) kehidupan Masyarakat Pamona, khususnya mereka

3

Ibu penulis sendiri lahir di tahun 1957 m enjelaskan bahwa pada tahun 1962 sekolah dasar pada m asa itu masih m enerapkan sist im “ t ulis-hapus” pada sebuah batu. Zam an ini dikenal dengan ist ilahgerepu(batu tulis). 4

(8)

yang masih tinggal di pedesaan. Karena jika orang tersebut melanggar maka ia akan mendapatkan sangsi sosial baik secara fisik maupun mental. Lebih lanjut dikatakan oleh Bapak Bou bahwa besarnya pengaruh po sintuwu dalam kehidupan bermasyarakat dipengaruhi oleh status sosial seseorang, Sebagai contoh pada orang yang status sosialnya tinggi akan banyak orang yang berpo sintuwudan sebaliknya, Alasan ini secara rasional menurut penulis dimungkinkan terjadi karena orang dengan status sosial tinggi cenderung selalu terlibat dalam aktifitas mo sintuwu baik atas dorongan personal maupun atas dasar ajakan dari relasinya.

Adapun gambaran nominal po sintuwu secara materi dideskripsikan Ibu Mora sebagai berikut; Umumnya po sintuwudiberikan dalam bentuk beras berkisar 3 sampai 5 Kg, Uang Rp 20.000 dan seringkali dengan menyumbangkan tenaga fisik. Selanjutnya pada keluarga dekat yang masih memiliki ikatan sombori biasanya memberikan nominal

po sintuwu yang lebih besar berubah uang berkisar diatara Rp100.000 sampai Rp 250.000, dalam kondisi tertentu terkadang beberapa anggota keluarga memberikan 1 karung beras sedangkan untuk lauk jamuan makan bersama seperti babi atau sapi biasanya anggota keluarga melakukan patungan uang untuk pengadaannya.

Pada penjelasan lain po sintuwu sebagai bentuk bantuan tenaga tergambarkan melalui penuturan Papa Bou sebagai berikut. Saat pernikahannya (28 juli 1979) diceritakan bahwa sebagian besar rumah pemukiman yang saat ini bernama Desa Tonusu terbuat dari kayu dan umumnya berbentuk panggung. Pada masa tersebut segala bentuk

(9)
[image:9.595.63.530.207.692.2]

alas baik untuk tidur, untuk duduk hanya menggunakan ali atau sejenis tikar yang dianyam dari sejenis daun pandan tertentu yang mudah ditemui disekitar lokasi pemukiman. Bahkan untuk penyajian jamuan seperti kue dan nasi untuk tamu undangan, tuan pesta tidak terlalu direpotkan karena setiap keluarga di desa tersebut menyiapkan kue dan beberapa diataranya menyiapkan nasi yang kemudian dikumpulkan ke tuan pesta yang selanjutnya dibagikan kembali ke tamu undangan yang sebagaian besar adalah warga desa itu sendiri. Meskipun tradisi seperti ini sudah jarang ditemui di dalam masyarakat akan tetapi pada kegiatan-kegiatan tertentu seperti seperti perayaan natal kelompok atau perpisahan tahun tradisi ini masih dilakukan. Papa Bou juga mengambarkan bahwa pada masa itu akses jalan darat sudah menghubungkan Desa Tonusu dengan desa desa lain akan tetapi ketiadaan transportasi darat dan dukungan jalan yang memadai membuat masyarakat memilih jalur transportasi air dengan menggunakan sejenis perahu dayung yang disebut duanga, sedangkan untuk transportasi moderennya menggunakan perahu bermesin yang dikenal dengan istilahkatinting.

(10)

Selain itu pada masa “terisolasi” oleh alam pengaruh kebudayaan luar juga mempengaruhi tradisi pernikahan itu sendiri. Salah satu contohnya adalah penambahan syarat untuk pernikahan yang tidak masuk dalam tradisi perkawinan asli Suku Pamona

sampapitu5) seperti pengadaan langka atau dipan dan lemari pakaian. Dalam kasus pernikahan Papa Bou pengadaan syarat tambahan ditanggung secara kolektif dari beberapa keluarganya (sombori) dari beberapa tempat / desa.

Meskipun tradisipo sintuwu sangat kuat akan tetapi bukan berarti tidak ada yang berani melanggarnya. Pada wujud tindakan jenis pelanggaranpo sintuwu yang umumnya dikenal yaitu to polinoro. Akan tetapi menurut Papa Bou sebenarnya definisi orang yang malas berpo sintuwu dan molinoro itu berbeda akan tetapi sikap atau perilaku keduanya sama-sama tidak disukai oleh masyarakat. Pada konteks orang yang malas berpo sintuwu

dicontohkan sebagai berikut; ketika seseorang individu diajak6) untuk membantu pekerjaan disebuah pesta kemudian individu tersebut mengiyakan, namun pada saat bekerja ia tidak datang membantu bahkan pada kasus tertentu si individu bersikap acuh tak acuh dengan ajakan individu lain maupun kelompok komunitas. Pada konteks

molinoro pelanggaran secara spesifik terjadi ditempat individu yang sedang membuat sebuah pesta.

Seseorang yang disebut to polinoro akan datang membantu mengolah hewan untuk dikonsumsi pada saat pesta baik dalam kegiatan memasak, memotong daging dan sebagainya, namun dalam aktifitasnya mereka yang disebut to polinoro akan

5

7 jenis peralatan seperti piring, sarung, alat pertanian,dan t ikar yang digunakan untuk keperluan sehari-hari untuk bekerja diladang dan untuk keperluan memasak di dapur

6

(11)

menyisihkan sebagian dari hasil olahan bahan makanan tersebut menjadi milik mereka. Perilaku ini biasanya tersamarkan namun ada pula yang melakukannya secara terang-terangan, adapun alasan dari mereka yang disebut to polinoro yakni untuk mengganti upah lelah bekerja. Perilaku ini kadangkala menyebabkan tuan pesta sering kewalahan menjamu tamu yang tidak kebagian lauk pada saat jamuan makan. Dalam wawancara yang lain Ibu Pelia juga mendeskripsikan definisi orang yang malas berpo sintuwu

dijelaskan dalam sebuah kalimat petikan wawancara demikian “ ku kita mo i anu podo mancoko koro….” Kalimat ini bila diartikan dalam bahasa Indonesia sebagai berikut “sudah kulihat orang yang hanya berpangku tangan…) dari petikan wawancara ini dapat juga dipahami bahwa orang yang malas berpo sintuwuadalah orang yang datang kesuatu acara hanya menjadi penonton saja.

Dari beberapa penjelasan diatas, penulis kemudian menyimpulkan yang dimaksud dengan penyimpangan dalam tradisipo sintuwuadalah gambaran karakter individu dalam sebuah kelompok komunitas yang egois, kurang berempati, atau pada kasus lain dapat menjadi seorang yang antisosial. Pada kasus lain pelanggaran po sintuwu lebih dikarenakan pengaruh budaya perkotaan yang cenderung individualis serta desakan kebutuhan ekonomi yang memaksa seorang untuk mendahulukan memenuhi kebutuhan pribadi dan mengesampingkan kepentingan kolektif (sosial).

(12)

Sebagai produk dari nilaipo Sintuwu maka perlu jabarkan hal-hal mengenai kedua defenisi dari tradisi tersebut yakni

4.2.4.1 Pebedaan definisiMesaledanmewalo

Pai nu pesale danaka njo’u anu mewalo pai nu pewalo danaka re’e ma’i ri siko…maka sa’e ane na to’o yaku beda njo’u ri njau..benda walo yaku…paikanya ua darayanya mawalo siko, jela ri siko. terPapasa ncetu, mesale si’anya da njou danu

sawani. (…dan kerena anda mesale agar orang datang mewalo…dan atau karena anda

mewalo agar ada orang yang datang membantu…misalnya seseorang mengatakan saya tidak pergi kesitu (orang tertentu) karena saya tidak diwalo (mengacu pada katamewalo) …akan tetapi karena (dalam kasus lain) ia darayanya7)mewaloanda, maka seseorang itu akan datang pada anda. Sehingga jika iamesale anda harus datang bekerja kepadanya.

Sebenarnya dari kutipan wawancara dengan Ibu Pelia khususnya pada kalimatPai nu pesale danaka njo’u anu mewalo pai nu pe mewalo danaka re’e ma’i ri siko sudah sangat jelas perbedaan definisi mesale dan mewalo. Disini mesale dan mewalo

merupakan satu kesatuan dari konsep mesale artinya dalam kata mesale yang dipahami oleh Suku Pamona mengandung kata mesale itu sendiri dan mewalo. Seperti yang sudah dipaparkan pada penjelasan sebelumnya mesale memiliki 2 kemungkinan A?2B artinya A membantu B dimana B tidak harus membantu A karena yang dilakukan A adalah suatu bentuk keiklasan atau A?"B artinya A membantu B karena A juga membutuhkan B atau

7

(13)

dengan kata lain konsep masele memiliki makna yang sangat luas dengan pengertian yang tidak konsisten. sedangkan padamewalodefinisinya sangat konsisten A?½B.

Kenyataan ini kemudian mendorong penulis untuk menanyakan konsep arisan, menurut Ibu Pelia antara arisan dan mesale terdapat perbedaan yang mencolok jika pada arisan aktifitas pekerjaan seseorang disuatu tempat kerja dapat digantikan oleh material dan juga uang. Dalam hal ini seorang yang sedang mendapat jatah arisan memiliki hak menentukan apa yang dibutuhkan sebagai contoh karena Ibu Pelia sudah tua secara fisik dan tidak mampu lagi melakukan pekerjaan maka orang yang kebetulan pada saat itu sedang mendapat jatah arisan dimana Ibu Pelia menjadi salah satu anggota arisan hanya akan meminta material atau uang kepada Ibu Pelia tanpa harus bekerja. Sedangkan pada

mesale yang dibutuhkan adalah tenaga seseorang. Penjelasan ini bagi penulis sangat penting karena selama ini definisi mesale selalu diidentikan dengan kata arisan. Dari pemaparan tersebut tampaknya penulis sependapat dengan Ibu Pelia bahwa mesale tidak sama dengan arisan akan tetapi arisan mungkin hampir sama dengan mewalo. Selain itu penjasan Ibu Pelia memberikan sebuah pemikiran bahwa pada masa mudanya kondisi

mesale dan arisan didominasi oleh kegiatan mesale atau pada kasus lain kondisi mesale

dan arisan berada pada titik keseimbangan. Sebab pada saat itu kondisi masih mendukung sebab jumlah penduduk relatif sedikit, ladang yang luas, belum adanya teknologi pertanian modern dan jumlah uang relatif sedikit dengan kebutuhan8) masyarakat yang yang cenderung tidak berfariatif. Akan tetapi saat ini (Ibu Pelia sudah tua) kondisimesale

dan arisan cenderung didominasi oleh arisan. Atau dengan kata lain nilai mesale

8

(14)

mengalami degradasi pemaknaan karena konsep mesale yang dipahami orang-orang saat ini hanya sebatas mewalo bukan lagi mesale kondisi ini dimungkinkan terjadi karena jenis pekerjaan menjadi semakin bervariasi, ditambah lagi masuknya teknologi pertanian atau perladangan modern yang memungkinkan pengolahan yang tadinya membutuhkan banyak tenaga menjadi hanya beberapa orang saja. Selain itu pertambahan penduduk dengan kondisi tanah sawah yang tidak seluas kondisi mula-mula memaksa para ahli waris (penduduk yang hidup saat ini) melakukan mekanisasi pertanian seperti tindakan intensifikasi pertanian untuk pertumbuhan padi yang identik dengan membeli produk-produk seperti pupuk dan obat-obatan yang menunjang program intesifikasi tadi. Hal ini juga berlaku pada jenis tanaman ladang yang umumnya bersifat tahunan9) dimana keuntungan hasil tanaman bukan untuk dimakan melainkan untuk dijual.

4.2.4.2Mesaledalam kelompok kerja

Menurut hasil wawancara penulis dengan beberapa informan ditemukan sebuah rangkaian peristiwa yang membawa tradisi mesale kesebuah tindakan organisasi dalam bekerja. Awal mulanya kegiatanmesalemerupakan aktifitas sosial yang berorientasi pada pertanian dan perkebunan yang terjadi diantara satu rumah besar dengan rumah besar lainnya dalam suatu pemukiman. Aktifitas ini kemudian dikenal dengan isitilah meroro.

Meroro dapat dipahami sebagai kegiatan mesale dalam skala besar dengan melibatkan seluruh penduduk disuatu pemukiman atau desa, tujuan utama dari meroro ini biasanya untuk pekerjaan-pekerjaan berat dan dengan area kerja yang luas misalnya membuka hutan untuk wilayah perkebunan. Kegiatanmeroro terpaksa dilaksanakan karena sebuah

9

(15)

sombori tidak mampu menyelesaikan pekerjaan tersebut seperti terlihat pada gambar berikut ini

Baik tradisimesale atau merorosetiap anggota sub sombori dalam suatu sombori

(rumah besar) harus bekerja atau memiliki perwakilan utusan yang mengatasnamakan sub

sombori masing-masing. Perwakilan-perwakilan sub kemudian dikoordinir oleh seorang tadulako (pemimpin) yang biasanya berasal dari sub sombori dengan latarbelakang

kabose. Pada tradisi meroro setiap tadulako dari masing-masing sombori rumah besar akan mengikuti instruksi dari kepala suku, atau kepala desa dipemukiman yang kemudian diteruskan pada anggota anggota sub masing-masing.

Pada akhir tahun 60an atau awal tahun 70an istilahmesalesebagai sebuah aktifitas kerja berubah nama menjadi paratei. Perbedaan paratei dan mesale dilihat dari pelakunya. Jika pada kelompok mesale pekerja sebagian besar adalah orang-orang dewasa yang kuat atau merupakan perwakilan terbaik dari suatu sub sombori dengan jenis pekerjaan perkebunan dan padi ladang, selain itu umumnya aktifitas pekerjaan pada

mesale mula-mula bersifat sukarela. Pada kelompok paratei setiap anggota dari sub

sombori memiliki dapat berpartisipasi dalam pekerjaan dibidang pertanian. Anggota-anggota kelompoknya tidak harus berasal dari satu sombori besar, atau dengan kata lain anggota dari sub sombori A dapat bergabung dengan anggota sub sombori B,C,D dan seterusnya. Kondisi ini dimungkinkan terjadi karena dua hal: Pertama, tradisi kabose

(16)

tanaman yang dahulunya hanya berpusat pada tanaman padi ladang bertambah dengan hadirnya jenis tanaman padi sawah.

Karena pertumbuhan penduduk semakin meningkat menyebabkan kondisi hidup disatu rumah besar tidak dimungkinkan lagi. Akibatnya sub-sub sombori dari suatu rumah besar memilih untuk berpisah dari induk somborinya membentuk sombori baru. Akan tetapi lokasi sombori-sombori baru cenderung berdekatan dengan sombori induk. Sub-sub sombori inilah yang menjadi cikal bakal terbentuknya dusun-dusun disebuah perkampungan di dalam masyarakat Suku Pamona mula-mula dan umumnya suatu dusun didominasi oleh satu atau dua somboribesar. Akan tetapi dalam perkembangannya nilai khas dalam mo sintuwu mengalami “pemudaran” seiring dengan masuknya nilai-nilai baru yang dibawah oleh pihak luar seperti Gereja, LSM, dan Negara.

Masuknya pengaruh Gereja khususnya Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) menyebabkan individu-individu dari sombori-sombori disuatu dusun diklasifikasikan menjadi kelompok pelayanan Gereja. Di Desa Tonusu sendiri pasca perpindahan dari kampung tua ke kampung baru (Desa Tonusu saat ini) pada tahun 80an sudah memiliki 3 lokasi pelayanan Gereja. Dimana lokasi penelitian penulis saat ini dahulunya masuk dalam kelompok pelayanan 1. Selain pengaruh Gereja kebijakan pemerintahan pusat menyebabkan kelompok pelayanan juga disebut rukun tetangga (RT). Bahkan masuknya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) juga turun menambah jenis nama dari RT, misalnya kelompok bangun pagi, kelompok binaan dan lain lain.

(17)

aktifitas pekerjaan dimana yang dahulunya hanya seputar pekerjaan bersifat fisik, berubah menjadi pekerjaan yang lebih terorganisasi misalnya munculnya kegiatan usaha bersama (UB) dengan basis memberdayakan anggota kelompoknya, baik melalui ketrampilan pengelolaan sistim pertanian dan pemukiman maupun pengenalan cara memberdayakan uang dengan metode usaha simpan pinjam, bahkan Desa Tonusu sendiri pihak LSM YAKKUM pernah mengirim 4 stakeholder dari desa tersebut untuk mengadakan pelatihan langsung di Solo, Jawa tengah pada tahun 1970an

Usaha simpan pinjam itu sendiri dalam perkembangannya menjadi beberapa nama seperti Kelompok Simpan Pinjam (KSP) yang menjadi obyek amatan penelitian. Bahkan KSP itu sendiri berganti nama menjadi Koperasi Simpan Pinjam (KSP) setelah memiliki badan hukum.

4.2.4.3 Nilai / Norma masyarakat pedesaan dan cikal bakal KSP

(18)

budaya take and givesedangkan pada mewalomengacu pada konsep sosial ekonomicost and benefit

Perkembangan nilai dan norma inilah yang mengawasi aktifitas masyarakat yang semakin majemuk akibat mekanisasi pertanian dimana pekerjaan yang dahulunya bersifat sejenis dan umumnya tradisional berubah menjadi jenis-jenis pekerjaan majemuk dan menggunakan cara pertanian moderen seperti intensifikasi pertanian pada jenis tananaman padi. Hal ini kemudian dibenarkan oleh Bapak Bou dimana ketika beliau dalam posisinya sebagai seorang petani merasakan menipisnya nilai mesale dalam tradisi

po sintuwu disebabkan kemunculan upah atau gaji. Bahkan Bapak Bou sendiri memilih sistim gaji sebagai bagian dari pertimbangan rasional. Karena menurutnya tradisi mesale

menyebabkan seorang individu yang membutuhkan pertolongan harus meroro, memberi makan, minum, rokok dan sebagainya. Sedangkan dengan sistim upah atau gaji tidak demikian.

Perubahan sistim reward and punishmen dalam kehidupan sosial khususnya dibidang pertanian ini menyebabkan segala sesuatu terukur dengan uang, akibatnya pekerjaan yang dahulunya bersifat free atas dasar keikhlasan dalam tradisimesale jarang sekali ditemukan disekitar wilayah penelitian. Seperti kutipan jawaban dari wawancara dengan Ibu Pelia sebagai berikut:

(19)

banya mo ewa owi. Owi basa manto’o bepa maria ngaya gaga anu nda oli nce’e naka

maria tau mombetulungi10)”.

(kau tolong saya membantu memasak, sebagai contoh…jika ada pernyataan seperti itu jangan berpikir atau berharap dia (orang yang mengajak) akan mengganti tenaga atau membayar. Saat ini ketika sudah dibantu maka setelah itu sudah uang yang bergerak (harus dibayar!). Dahulu belum terlalu beragam kebutuhan yang harus dibayar dengan uang itulah sebabnya kebiasaan saling membantu masih sangat kuat

Disisi lain umumnya ditempat penelitian motifasi bercocok tanam mengalami perubahan orientasi dimana dahulu bercocok tanam digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, berubah menjadi pemenuhan kebutuhan industri. Akibatnya jenis tanamanpun umumnya merupakan jenis tanaman yang menghasilkan produk bahan mentah untuk industri seperti coklat dan cengkeh. Walaupun kondisinya demikian masih ada juga aktor aktor-yang mampu mengelaborasi nilai sintuwu dengan nilai luar, salah satunya seperti pada kutipan Ibu Pelia berikut ini

“ Maka ku epe ewa riyaku.. re’e se’e anu merapi, ri bonde ku sinjau…perapi

lemo,.pia….ane yaku ne’emo na bayari, paikanya…ane ku wai naini, si’a ma’imo

naini,… mampari ngkosika,… mewali anu ku nawa-nawa na perapi ku waika…wance’e

mo se’e…paikanya ua sima’i nda tonju mo nu anu (doi)…tidak mungkin beda ku

10

(20)

sesuaikan pai doi11 nya …jadi, ane na perapi nda wai nda gori…paikanya ane nda too

nda oli ta reke doi wawa se’i mapari mo se’e. “

(Menurut pengalaman saya (Ibu Pelia) ...sering ada yang datang dikebun ku baik meminta lemon atau daun bawang. Secara pribadi sebenarnya tidak perlu dibayar, tapi ketika saya sudah berikan yang diminta, ternyata orang tersebut langsung menyelipkan sejumlah uang dikantong. Jadi pemahanan awal karena dia hanya minta saya berikan gratis, akan tetapi karena sudah diberikan uang maka saya sesuaikan kembali (menambah) barang sesuai dengan nilai uang. Karena saya berpikir dia susah juga mendapatkan uang)

Kondisi-kondisi seperti inilah yang mendorong diciptakannya suatu sarana yang mendukung mekanisasi pertanian seperti usaha-usaha simpan pinjam, koperasi, tengkulak dan lain-lain. Bahkan menariknya dalam pengamatan penulis di sebuah KSP ditempat penelitian, menerapkan elaborasi nilai-nilai sosial (po sintuwu) dan nilai nilai ekonomi diataranya sebagai berikut: Pertama, Dalam upaya meningkatkan jumlah saldo kas keuangan kelompok untuk diperpinjamkan, KSP ini mengadakan program pencarian dana dengan cara mesale kelompok pada anggota kelompok KSP yang membutuhkan tenaga.

Mesale kelompok memiliki sedikit perbedaan dengan mesale pada tradisi Suku Pamona yang telah dipaparkan sebelumnya, karena pada mesale kelompok hubungan yang dibangun adalah antara kelompok dengan individu sedangkan pada mesale menurut tradisi Suku Pamona hubungan yang dibangun adalah antara individu dengan individu. Selebihnya model pada KSP tersebut mengambil pola mesale pada rumah besar, ini

11

(21)

dikarenakan KSP diasumsikan sebagai sombori rumah besar dan anggota anggota KSP diasumsikan sebagai sub-sub sombori dari rumah besar itu sendiri. Kedua, meskipun sering terjadi pelanggaran beberapa ketentuan kelompok KSP misalnya keterlambatan mengembalikan cicilan pinjaman, pengurus kelompok tidak langsung serta-merta menarik aset yang menjadi jaminan pada saat anggota yang bersangkutan melakukan peminjaman. Umumnya pengurus terlebih dahulu mengunjungi, menanyakan alasan-alasan penundaan serta mengingatkan anggota tersebut. Padahal menurut peraturannya dalam koperasi yang telah memiliki badan hukum yang disahkan oleh Negara, memberikan hak pada setiap pengurus koperasi untuk melakukan penarikan aset karena pelanggaran ketentuan koperasi12).

12

Gambar

Gambar 3: Model rumah besar atau Sombori1)
Gambar 4 : Foto perahu bermotor atau katinting

Referensi

Dokumen terkait

Dewasa ini multi-tier merupakan arsitektur yang telah banyak digunakan di banyak pengembangan teknologi informasi membutuhkan pemisahan lapisan kerja. Dalam penelitian

Bahwa untuk mengatasi masalah-masalah tersebut, pada 11 Januari 1911 diajukan rancangan reqout untuk merubah dan menambah redaksi Pasal 1401 BW dengan perumusan

14 sudah ditetapkan oleh pemerintah.Apabila KSP Mekar Jaya belum memenuhi konsep upah yang diterapkan oleh pemerintah, itu artinya penulis tidak bisa

Semakin lama jangka waktu suatu kredit yang diberikan maka semakin besar pula resikonya, begitu juga dengan sebaliknya. Adanya suatu jangka waktu pengembalian

Menurut Sugiyono ( 2016: 15) ” Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada