BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Metodologi Penelitian
Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah metode historis. Menurut
Kuntowijoyo, (1994: xii), metode sejarah adalah petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis tentang bahan, kritik, interpretasi, dan penyajian sejarah. Jadi metode ada hubungannya dengan suatu prosedur, proses, atau teknik yang sistematis dalam
penyidikan suatu disiplin ilmu tertentu untuk mendapatkan objek (bahan-bahan) yang akan diteliti. Metode sejarah ini dilakukan mulai dari heuristik, kritik sumber, interpretasi,
dan historiografi (Helius Sjamsuddin, 2007:13).
Dalam penelitian ini dilakukan dengan cara studi arsip (dokumen), studi pustaka (buku), dan wawancara. Data yang diperoleh dikritik, baik secara intern maupun ekstern,
sehingga menghasilkan fakta-fakta sejarah. Fakta sejarah menurut Louis Gottschalk, (1986:96) adalah unsur-unsur yang dapat dijabarkan secara langsung atau secara tidak
langsung dari dokumen-dokumen sejarah dan dianggap kredibel setelah pengujian yang seksama sesuai dengan hukum-hukum metode sejarah. Fakta sejarah tersebut kemudian diinterpretasikan dan disusun dalam bentuk cerita sejarah atau historiografi. Peneliti akan
menguji informasi yang didapat dari informan, kemudian dibandingkan dengan arsip dan buku. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan informasi yang jelas dan dapat
dipertanggungjawabkan.
diungkapkan. Untuk itu penulis nantinya akan menggunakan pendekatan politik. Data dapat diperoleh melalui arsip atau dokumen, studi pustaka, dan wawancara.
B. Data dan Sumber Data
Dalam penelitian ini ada tiga sumber data yang dimanfaatkan yaitu informan (narasumber), studi kepustakaan, serta arsip atau dokumen. Pengertian informan adalah
orang yang memberikan sejumlah informasi yang dibutuhkan. Informan yang dimaksud adalah saksi mata, maupun orang yang mengetahui peristiwa tersebut. Dari informan ini
dapat digali informasi tentang peran Jenderal Soedirman dalam pertempuran Ambarawa. Wawancara dilakukan dengan Bapak Sarmoedji seorang veteran pelaku pertempuran Ambarawa. Arsip berupa gambar berasal dari Kantor Arsip Propinsi Jawa
Tengah. Keduanya merupakan sumber primer yang akan dipakai dalam penelitian ini. Sedangkan sumber sekunder akan diperoleh dengan cara studi pustaka. Peneliti
akan mengumpulkan buku-buku yang relevan untuk kemudian diseleksi mana yang lebih relevan. Selain itu peneliti akan menggunakan majalah “Palagan” bulan Desember 2006,
Majalah “Majalah Vidya Yudha” bulan Januari 1997. Selain itu, juga akan dilakukan
wawancara dengan Bapak Sudiri yaitu pengelola Museum Palagan Ambarawa.
C. Teknik Pengumpulan Data 1. Studi Dokumen
Dokumen dalam bentuk arsip merupakan barang yang sangat berharga di mana arsip
merupakan sumber primer dalam suatu penelitian sejarah. Dokumen atau arsip merupakan saksi dari peristiwa masa lampau yang dibuat oleh pemerintah sehingga arsip juga disebut sebagai dokumen pemerintah yang sangat dipercaya kebenarannya (Sartono Kartodirdjo
dalam Koentjaraningrat 1997:56). Sumber data dalam penelitian ini berasal dari Kantor Arsip Propinsi Jawa Tengah. Dokumen yang diperoleh adalah berupa gambar.
Dalam suatu penelitian, banyak sekali permasalahan yang tidak tertangkap dalam dokumen-dokumen. Dokumen hanya menjadi saksi dari kejadian-kejadian penting
menurut kepentingan pembuat dokumen dan zamannya. Hal ini tidak melestarikan kejadian-kejadian individual dan unik yang dialami oleh seseorang atau segolongan orang. Apalagi minat dan perhatian sejarawan akan berbeda dengan minat dan perhatian pembuat
dikumen. Sehingga sejarawan harus mencari sendiri cara untuk mendapatkan keterangan. Dengan teknik wawancara yang benar, keabsahan keterangan-keterangan lisan pun dapat
dipertanggung jawabkan ( Kuntowijoyo, 1994:22-23).
Dalam penelitian ini, dilakukan wawancara dengan Bapak Sarmoedji. Seorang veteran yang menjadi pelaku pertempuran Ambarawa. Data tersebut termasuk dalam data
primer. Sedangkan nara sumber yang lain adalah Bapak Sudirin pengelola dari Museum Palagan Ambarawa. Untuk mengetahui kredibilitasnya maka akan dilakukan perbandingan
dengan sumber-sumber lain yang berupa buku-buku. Informasi yang didapat akan disaring, mana yang lebih berguna.
3. Studi Pustaka
Dalam usaha mengumpulkan data melalui teknik studi pustaka, peneliti melakukan pencatatan isi atau memfotokopi data yang diperoleh yaitu arsip, buku-buku, majalah, dan
surat kabar yang memuat tentang permasalahan yang diteliti sehingga data yang dibutuhkan dapat terkumpul. Data sekunder berupa buku yang relevan, didapatkan dari
perpustakaan pribadi, perpustakaan Bapak Sarmudji, Perpustakaan Pusat Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, Perpustakaan Umum Salatiga, Perpustakaan Umum Ambarawa, Perpustakaan Pusat Universitas Negeri Semarang (UNNES)
Semarang. Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya dan Sastra Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Perpustakaan Arsip Propinsi Jawa Tengah di Semarang.
Dalam proses analisa data, teknik yang digunakan adalah diskriptif analitik. Data yang terkumpul kemudian dianalisis apakah data tersebut sesuai dengan tema penelitian atau
tidak. Model deskriptif analitik ini akan menggambarkan bagaimana peran Soedirman dalam pertempuran Ambarawa. Penelitian ini akan mengalisis tentang kepemimpinan Soedirman dalam pertempuran Ambarawa pada tahun 1945.
E. Prosedur Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode peneliian dengan metode sejarah
(historical method). Langkah-langkah yang peneliti akan lakukan adalah: 1. Heuristik
Menurut Kuntowijoyo (1994:32), langkah heuristik merupakan sebuah kegiatan
pencarian sumber-sumber untuk mendapatkan data atau bukti sejarah. Dalam menemukan sumber-sumber sejarah, peneliti melakukan penelitian di berbagai perpustakaan dan kantor
arsip.
Pencarian sumber primer berupa gambar di Kantor Arsip Propinsi Jawa Tengah. Sedangkan sumber primer yang lain adalah pelaku sejarah sebagai informan. Peneliti datang
ke rumah informan dan dilakukan wawancara.
Pencarian sumber sekunder untuk menemukan buku-buku yang relevan dan ada
kaitannya dengan tema penelitian. Peneliti akan melakukan pencarian ke perpustakaan daerah maupun perpustakaan universitas. Buku-buku yang ada kaitannya dengan tema penelitian,
difotokopi pada bagian yang diperlukan saja tentunya dengan seijin petugas perpustakaan.
2. Kritik Sumber
Setelah semua data-data terkumpul, data tersebut diverifikasi atau dikriti agar peneliti
tidak dengan mudah menerima begitu saja sumber yang didapatkan. Akan tetapi peneliti menyaring secara kritis agar menemukan fakta yang menjadi pilihannya (Helius Sjamsuddin,
2007:131). Kritik sumber dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Kritik ekstern
Kritik ekstern dilakukan dengan melihat tanggal, bulan, tahun, bahan dokumen (jenis kertas yang dipakai). Peneliti akan mencermati apakah bahan itu asli atau salinan dalam bentuk fotokopi. Peneliti juga akan mengamati siapa pengarangnya serta mengidentifikasi
latar belakang pendidikan pengarangnya. b. Kritik intern
Kritik intern dalam penelitian ini dilakukan dengan cara membandingkan sumber yang satu dengan yang lain. Sehingga didapatkan fakta sejarah yang benar-benar relevan. Tujuan dari kritik intern adalah menguji kredibilitas data dari berbagai sumber sejarah. Peneliti menguji apakah isi, fakta, dan ceritanya dapat dipercaya dan dapat memberi informasi sesuai kebutuhan.
3. Interpretasi
Setelah melakukan kritik sumber, peneliti akan menginterpretasi sumber sejarah tersebut. Hal tersebut dilakukan dengan cara menafsirkan dan menetapkan makna serta
hubungan dari fakta-fakta yang ada. Fakta-fakta yang telah diseleksi tadi dihubungkan satu sama lainsehingga muncul fakta yang relevan yang akan menjadi kisah sejarah.
4. Historiografi
penulisan sejarah, perlu adanya gaya penulisan dan gaya bahasa untuk menyusunnya agar cerita sejarah menjadi lebih menarik dan tidak diragukan lagi kebenarannya.
F. Kerangka Berfikir
Penelitian dengan judul Peran Jenderal Sudirman dalam Pertempuran Ambarawa tahun
1945 dapat dilihat dalam skema kerangka pikir sebagai berikut:
Biografi Singkat Jenderal Soedirman
Penjelasan singkat:
Tanggal 24 Januari 1916 yang bertepatan dengan Maulud Nabi, Soedirman dilahirkan. Kemudian Soedirman diangkat sebagai anak oleh R. Cokrosunaryo, sehingga di depan
namanya diberi gelar raden menjadi Raden Soedirman. Sejak masa kanak-kanak penampilan dan kepribadian Soedirman tidak lepas dari lingkungan keluarga tempat ia dibesarkan. Di
lingkungan keluarga besarnya ia berkembang dalam dua subkultur, yakni kultur priyayi dan Perjalanan Karir Jenderal Soedirman
Kedatangan Kembali Sekutu ke Indonesia
Peran Jenderal Soedirman dalam Pertempuran Ambarawa
kultur wong cilik. Soedirman keturunan wong cilik dan kemudian diangkat dan dibesarkan oleh priyayi.
Tentunya maklum bahwa pada masa penjajahan Belanda, tidak semua bumiputera dapat bersekolah. Soedirman dapat masuk ke Hollandsch Inlandsche School (HIS) karena telah diangkat anak oleh R. Cokrosunaryo. Waktu itu usianya menginjak 7 tahun. Pada saat
naik ke kelas VII ia pindah ke HIS Taman Siswa. Sekolah ini memang disediakan untuk bumiputera. Belum genap Soedirman bersekolah di sini, sekolah tersebut ditutup karena
kekurangan dana. Kemudian Soedirman pindah ke sekolah Wiworotomo di Cilacap.
Setelah lulus dari HIS Wiworotomo, Soedirman masuk ke Taman Dewasa (SLTP di Taman Siswa). Namun pada saat masih duduk di kelas II, ia harus pindah ke Meer Uitgebreid Large Onderwijs (MULO) Wiworotomo.
Setelah lulus dari MULO, Soedirman sempat melanjutkan ke HIK Muhammadyah
Surakarta. Tidak sampai dari satu tahun Soedirman Soedirman keluar. Ia kembali ke Cilacap dan menjadi guru dan aktif di gerakan Muhammadyah. Ia berdakwah dan mengajarkan
tentang Islam. Pada tahun 1937 diadakan pemilihan Pimpinan Pemuda Muhammadyah. Soedirman terpilih sebagai Wakil Majelis Pemuda Muhammadyah (WMPM) wilayah Banyumas.
Tahun 1934 Soedirman lulus dari MULO Wiworotomo. Kemudian ia menjadi guru. Pada saat itu memang tidak banyak guru yang memiliki kualifikasi ijazah sekolah guru. Guru
biasa pun boleh asal yang bersangkutan mau belajar dan menyempurnakan pengetahuan dalam bidang keguruan.
Pada tahun 1943 di daerah karesidenan, mulai didirikan Syu Sangi Kai. Di daerah karesidenan Banyumas yang terpilih sebagai anggota dari daerah Cilacap adalah Soedirman dan Efendi. Bagi Soedirman kedudukan sebagai anggota dewan ini merupakan suatu
Dalam pendidikan PETA, Soedirman merasa mendapatkan wadah yang tepat untuk mengembangkan jiwa kemiliterannya.
Setelah kemerdekaan Indonesia, maka segera dibentuk pasukan Badan Keamanan Rakyat (BKR). Badan ini terdiri dari bekas para anggota PETA. Soedirman dipilih sebagai ketua BKR Banyumas. Organisasi BKR mempunyai peranan penting dalam rangka melucuti
senjata Jepang.
Stelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, dibentuklah Tentara Keamanan Rakyat
(TKR). Di wilayah Karesidenan Banyumas, TKR dijadikan dua resimen. Yakni Resimen Banyumas dan Purwokerto,dengan pangkat Kolonel. Langkah pertama yang diambil Soedirman selaku komandan adalah menertibkan susunan organisasi TKR, termasuk
melengkapi personel pimpinan TKR di wilayah Purwokerto. Sudirman mulai memberikan wejangan kepada anak buahnya dalam rangka meningkatkan disiplin dan mempertebal
semangat juangnya.
Tentara sekutu dan Netherlands Indies Civil Administration atau Pemerintahan sipil Belanda (NICA) datang kembali pada bulan 29 September 1945. Semula mereka mengaku akan membebaskan tawanan perang dan interniran Sekutu, serta melucuti dan mengumpulkan orang Jepang kemudian dipulangkan. Bangsa Indonesia tentu saja menyambut denagan
tangan terbuaka. Namun ternyata Belanda berkhianat. Mereka kembali memicu kerusuhan di berbagai kota untuk kembali menguasai Indonesia. Kota-kota itu adalah Medan, Palembang,
Bandung, Ambarawa, Semarang, Surabaya, Bali, dan Makasar.
Dari delapan kota tersebut, kota yang paling kecil adalah Ambarawa. Namun keberadaan kota kecil ini sangat strategis. Wilayah ini menghubungakan Semarang menuju
ke Yogyakarta yang merupakan kedudukan markas besar TKR.
Sekutu meminta ijin kepada Gubernur Jawa Tengah yaitu Wongsonegoro untuk
diam-diam diboncengi NICA ternyata ingin menguasai kembali wilayah Jawa Tengah. Pada akhirnya kota Magelang menjadi genting akibat kekacauan yang sengaja dilakukan oleh
Sekutu. Namun pada akhirnya Sekutu berhasil dipukul mundur ke Ambarawa.
Dari situlah kemudian muncul suatu pertempuran di Ambarawa. Pertempuran yang berlangsung dari tanggal 20 Nopember 1945. Pertempuran ini telah memakan banyak korban.
Antara lain tewasnya Letkol Isdiman anak buah dari Soedirman. Dengan meninggalnya Letkol Isdiman, membuat Soedirman terpukul dan turun langsung untuk memimpin jalannya