79
STUDI KASUSPenatalaksanaan Kista Dentigerus Terinfeksi dengan Fistel Ekstra Oral pada Pipi Kanan
Rita Koen Widhianingrum*, Maria Goreti**, dan Prihartiningsih***
*Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialis Bedah Mulut & Maksilofasial Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia
**KSM Bedah Mulut & Maksilofasial RSUP Dr Sardjito Kedokteran Gigi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia ***Bagian Bedah Mulut dan Maksilofasial, Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia *Jl Denta No 1 Sekip Utara, Yogyakarta, Indonesia; e-mail: rita.koen@gmail.com
ABSTRAK
Kista dentigerus merupakan kista yang berhubungan dengan gigi yang tidak erupsi berasal dari sisa epitelial organ pembentuk gigi. Gejala klinis menunjukkan pembengkakan yang tumbuh lambat dan tidak sakit pada rahang. Gambaran radiografis memperlihatkan area radiolusen uniokular yang mengelilingi mahkota gigi yang tidak erupsi. Proses infeksi kronis pada kista dentigerus dapat menyebar lambat membentuk abses subperiosteal dan melewati barrier kulit membentuk fistel ekstra oral. Studi kasus ini laporkan seorang wanita 56 tahun yang datang ke poli Bedah Mulut dan Maksilofasial RSUP Dr Sardjito dengan kasus kista dentigerus pada regio angulus mandibula kanan dengan fistel ekstra oral pada pipi kanan. Penatalaksanaan kasus adalah pemberian antibiotik, enukleasi kista, pengambilan gigi 45, 47 dan 48 yang impaksi sertafistulektomi dengan pendekatan ekstra oral dan sinus shoe polishing technique di bawah bius umum. Evaluasi 3 minggu pasca operasi menunjukkan penyembuhan ekstra oral dan intra oral sempurna serta tidak terbentuk jaringan parut.
MKGK. Juni 2015; 1(1): 79-84
Kata kunci: kista dentigerus, fistel ekstra oral
ABSTRACT: Management of Infected Dentigerous Cyst with Extra Oral Fistulae on Right Cheek. Dentigerous cyst is an odontogenic cyst associated with unerupted teeth from epithelial remnant teeth organ. The clinical appearance shows slow-growing painless swelling lesion in jaw. The radiografics reveals uniocular radiolucency surrounding unerupted teeth. The chronic infection proccess in dentigerous cyst could spread slowly forming subperiosteal abcess and, through cutaneous barrier, it forms extra oral fistulae. We reported a 56 year old woman who came to RSUP Dr Sardjito with dentigerous cyst in mandible angulus with extra oral fistulae in the right cheek. The treatment consisted of antibiotic medication; cyst enucleation; removal of unerupted third molar, second premolar, second molar; and fistulectomy with extra oral approach and sinus shoe polishing technique under general anesthetic. Three week evaluation post surgery shows succesful extra oral and intra oral healing without scarring.
MKGK. Juni 2015; 1(1): 79-84
Keywords: dentigerous cyst, extra oral fistulae
PENDAHULUAN
Kista dentigerus merupakan kista odontogenik yang paling sering terjadi, berhubungan dengan gigi yang tidak erupsi dan berasal dari sisa epitelial organ pembentuk gigi. Kista ini juga disebut kista folikular karena dianggap berasal dari struktur mesodermal folikel gigi. Kista dentigerus disebabkan oleh gigi impaksi, gigi tambahan (supernumerary), gigi yang ektopik ataupun gigi yang terdapat pada rongga sinus.1,2
Insidensi kista dentigerus sekitar 25 % dari seluruh kista rahang. Sering terjadi pada usia dekade kedua-ketiga dan laki-laki sedikit lebih banyak mengalami kista ini dibanding wanita. Sebagian besar kista dentigerus melibatkan molar tiga mandibula kemudian diikuti kaninus maksila.3
Gejala klinis yang terlihat adanya
pembengkakan yang tumbuh lambat, tidak sakit, palpasi keras menunjukkan adanya ekspansi kortikal. Jika ada rasa sakit dan pembengkakan
yang tumbuh cepat mengindikasikan adanya peradangan. Jika kista ini diaspirasi akan diperoleh cairan jernih kekuningan.3 Gambaran
histologis dinding kista memperlihatkan bahwa kista dilapisi oleh reduced enamel epithelium. Stroma jaringan ikat menunjukkan gambaran tipe
primitif ektomesenkim. Temuan tersebut
tergantung ada tidaknya komponen inflamasi pada kista. Kista yang tidak terinfeksi memiliki lapisan epitelium yang padat 2-4 lapis tersusun oleh ektomesenkim primitif. Lapisan sel ini sedikit kuboid dibanding kolumnar dan terlihat rete peg. Stroma jaringan ikat longgar dan kaya akan acid
muccopolysaccharides. Karakteristik kista
80
Gambar 1. Gambaran mikroskopik epitelium dinding kistayang dilapisi reduced enamel epithelium (tanda panah).3
Gambaran radiografis memperlihatkan gambaran radiolusen uniokular yang mengelilingi mahkota gigi, kadang-kadang dengan batas tepi sklerotik. Kista dentigerus yang besar kadang-kadang terlihat multiokular, karena gambaran trabekula tulang dalam radiolusensi tersebut. Jika terdapat ruang folikular lebih dari 5 mm (normal 2-3 mm) maka lesi mengarah kista dentigerus. Tipe gambaran radiografis pada kista dentigerus adalah (1) tipe sentral, pada tipe ini radiolusensi mengelilingi mahkota gigi yang tidak erupsi dan mahkota dapat terlihat jelas dalam lumen kista; (2) tipe lateral, pada tipe ini kista berkembang sepanjang lateral akar gigi, sebagian mengelilingi mahkota; (3) tipe circumferential, pada tipe ini kista seluruhnya mengelilingi gigi yang tidak erupsi (gigi dalam kavitas kista).3
Perawatan kista dentigerus adalah
marsupialisasi atau enukleasi. Marsupialisasi merupakan pilihan konservatif dengan cara mengurangi cairan isi kista dan membuat celah/lubang pada kista kemudian dilakukan
penjahitan pada lubang tersebut untuk
mempertahankan kontinuitas antara kista dan rongga mulut. Teknik ini bertujuan mengurangi tekanan kista dengan menciptakan ruangan.
Enukleasi sendiri merupakan pengambilan
menyeluruh dari semua jaringan dalam kista termasuk pengambilan gigi yang tidak erupsi. Indikasi enukleasi jika gigi yang berhubungan dengan kista tersebut terlihat seperti terjebak didalam kista atau jika kista sangat besar. Rekurensi tinggi jika pengambilan kista tidak bersih, tetapi jika kista sudah terambil semua maka prognosis sangat baik.1,2
Kista odontogenik dan nonodontogenik yang berasal dari ekstraoseus dan intraoseus dapat menyebabkan perforasi dengan saluran ke mukosa oral. Infeksi sekunder atau perluasan langsung dari tulang biasanya menyebabkan lesi
ini. Kista inflamatori dan kista lain yang
membesar seperti kista dentigerus dan
odontogenik keratosis bisa sebagai penyebab utama. Abses dentoalveolar yang merupakan lesi berasal dari infeksi pyogenik ligamen periodontal dan tulang, sering muncul sebagai draining lesion. Kebanyakan abses dentoalveolar ini merupakan hasil perluasan langsung dari pulpitis
akut, periodontitis nonsupuratif akut, atau
eksaserbasi akut periapical granuloma, kista atau abses kronis.1
Odontogenic cutaneous fistulae
merupakan suatu komunikasi patologik antara permukaan kulit wajah dan rongga mulut. Infeksi kronis, maupun proses inflamasi lokal dapat
menyebar lambat melalui tulang alveolar
sepanjang jalur yang memiliki resistensi rendah sehingga dapat membuat perforasi tulang kortikal, membentuk abses subperiosteal dan sekali lagi melalui periosteum infeksi akan menyebar ke jaringan lunak melalui facial planes. Jika infeksi gigi berasal superior dari perlekatan otot maksila atau inferior dari perlekatan otot mandibula maka infeksi dapat bergerak melewati barrier kulit dan membentuk saluran sinus ekstra oral.4
Gambaran klinis cutaneous fistulae
berupa ulkus kecil biasanya sakit dan
pembengkakan pada area yang terlibat sebelum terbentuk saluran sinus. Rasa sakit menghilang ketika terjadi perforasi periosteum dan mukosa, kemudian akan keluar nanah. Jika saluran sinus kecil, maka drainase dapat berlanjut menjadi kronis sebaliknya jika saluran sinus besar, infeksi akan berkurang karena drainase lebih baik dan kista dapat menghilang. Ketika kista membesar terjadi ekspansi tulang kortikal. Palpasi pada area tersebut menyebabkan rasa sakit, krepitus dan terdapat discharge yang purulen atau seperti keju. Cutaneous fistula sering terjadi pada pipi MKGK. Juni 2015; 1(1): 79-84
81
dan dagu sebagai lesi supuratif. Permukaan dalam saluran sinus sebagian disusun oleh jaringan granulomatus atau epitelium.5
Tujuan dari studi kasus ini adalah untuk memberikan informasi pada klinisi tentang tindakan bedah enukleasi kista, pengambilan gigi molar tiga yang tidak erupsi dan fistulektomi pada kasus kista dentigerus yang terinfeksi dengan fistel ekstra oral dengan pendekatan ekstra oral dan sinus shoe polishing technique. Pasien juga menyetujui penyakit ini dipublikasikan untuk
kepentingan ilmu pengetahuan dengan
menandatangani informed consent.
METODE
Pasien wanita (56 tahun) datang ke poli Bedah Mulut & Maksilofasial RSUP Dr Sardjito dengan keluhan terdapat lubang di pipi kanan yang kadang terasa sakit bila keluar nanah. Pasien pernah berobat ke Puskesmas karena sakit gigi belakang kanan bawah sekitar 5 tahun yang lalu. Pipi kanan mulai bengkak dan sering keluar nanah sejak sekitar 3 tahun yang lalu. Pasien tidak memiliki riwayat penyakit sistemik hipertensi, diabetes, asma, jantung maupun alergi.
Pemeriksaan klinis secara umum kondisi kesehatan dan tanda vital dalam batas normal.
Pemeriksaan area ekstra oral terdapat
pembengkakan pada pipi kanan dengan palpasi keras, sakit dan tampak nodul ekstra oral dengan ukuran 2x1 cm berwarna kemerahan pada regio angulus mandibula kira-kira sekitar 3 cm dari border inferior mandibula kanan (Gambar 2 dan 3). Intra oral gigi 45 dan 47 goyang derajat 2, terdapat benjolan dan area kemerahan pada
distal gigi 47 dan multipel radices (Gambar 4). Palatum, lidah dan gingiva tidak ada kelainan.
Hasil pemeriksaan radiografis panoramik
menunjukkan radiks 26, impaksi gigi 38 dan 48 serta luksasi gigi 45 dan 47 (Gambar 5). Hasil pemeriksaan radiografis thoraks, laboratorium darah dan pemeriksaan elektrokardiografi dalam batas normal. Tindakan yang dilakukan adalah enukleasi kista, pengambilan gigi 45, 47 dan 48 yang impaksi serta fistulektomi di bawah anestesi umum dengan pendekatan nasotrakeal.
Fistulektomi dilakukan dengan insisi elips ekstra oral sesuai bentuk nodul dan garis Langer’s wajah kemudian saluran sinus ditelusuri menggunakan surgical forcep sampai tembus pada lingual retromolar (distal gigi 47) sehingga tampak saluran sinus yang menghubungkan ekstra oral dengan gigi 48. Selanjutnya dilakukan
sinus shoe polishing technique, yaitu
memasukkan kasa-betadin ke dalam saluran sinus dengan gerakan maju-mundur untuk
membuang lapisan epitelial saluran sinus
(Gambar 6).
Langkah selanjutnya adalah enukleasi kista, pengambilan gigi 48 yang dilakukan dengan pendekatan ekstra oral dan pencabutan gigi 45 dan 47. Diseksi sekitar insisi dan dilakukan penjahitan intra oral dan ekstra oral lapis demi lapis menggunakan vicryl 3-0 dengan metode interrupted (Gambar 7). Jaringan kista kemudian dimasukkan dalam larutan formalin 10% dan dikirim ke Patologi Anatomi untuk pemeriksaan histopatologis.
(2) (3) (4)
Gambar 2. Gambaran klinis ekstra oral berupa pembengkakan pipi kanan, 3. Fistel ekstra oral (tanda panah), 4. Gambaran klinis intra oral, terdapat area kemerahan pada distal gigi 47 (tanda panah)
82
Gambar 5. Pemeriksaan radiografis OPG menunjukkan lesiradiolusen dengan gigi molar tiga posisi inverted yang tidak erupsi (tanda panah)
Gambar 6. Sinus shoe polishing technique (Bhattacharya, 2014)
(A) (B)
Gambar 7. Kontrol H+7 pasca operasi (sebelum pengambilan jahitan).(A) Klinis intra oral. (B) Klinis ekstra oral
(A) (B)
Gambar 8. Kontrol H+14 pasca operasi (A) Klinis intra oral menunjukkan warna yang sama dengan jaringan sekitar, (B) Klinis ekstra oral menunjukkan penyembuhan yang belum sempurna
Pasien mendapat medikasi berupa
antibiotik dan analgesik selama 5 hari. Follow up dilakukan hari ke-7, ke-14 dan ke-21 pasca operasi (Gambar 7 dan 8). Kontrol hari ke-14 intra oral menunjukkan penyembuhan yang sempurna dan warna jaringan sesuai dengan sekitar, tetapi untuk ekstra oral masih ada jaringan parut yang tidak sesuai dengan garis wajah. Kontrol terakhir (hari ke-21) menunjukkan penyembuhan sempurna, tampak daerah bekas operasi ekstra oral dan intra oral sama warna dengan jaringan sekitar serta tidak ada jaringan parut. Hasil pemeriksaan histologis menunjukkan gambaran kista dentigerus yang terinfeksi.
PEMBAHASAN
Kista dentigerus merupakan suatu kantung kista tertutup yang terbentuk disekeliling gigi yang tidak erupsi.6 Kista ini sering dihubungkan
dengan gigi impaksi terutama molar ketiga mandibula dan kaninus maksila. Gambaran klinis menunjukkan pembengkakan yang asimtomatis, tumbuh lambat pada alveolar ridge gigi yang
sedang erupsi. Gambaran radiografis
menunjukkan lesi radiolusen berbatas jelas bisa unilokular atau multiokular dengan adanya
gambaran gigi yang tidak erupsi didalamnya.7
Diagnosis awal kasus ini kista dentigerus yang terinfeksi dengan fistel ekstra oral pada pipi kanan. Diagnosis ini berdasar penampakan klinis lesi yang berupa pembengkakan yang tumbuh lambat dan tidak sakit serta adanya fistel ekstra oral yang mengeluarkan pus, didukung oleh MKGK. Juni 2015; 1(1): 79-84
83
gambaran radiologis berupa area radiolusen dengan batas jelas dan terdapat gigi molar tiga yang impaksi posisi inverted di dalam kavitas kista. Hasil pemeriksaan histopatologis secara
mikroskopis pasca operasi menunjukkan
gambaran kista dentigerus yang terinfeksi. Gambaran klinis, radiografis dan histopatologis lesi ini mendukung diagnosis pra operasi kista dentigerus yang terinfeksi, hanya pada kasus ini terdapat saluran sinus dan fistel ekstra oral.
Teori perkembangan kista dentigerus ini meliputi dua hal yaitu teori stimulasi dan teori inflamasi. Kista dentigerus biasanya muncul dari organ email setelah tahap amelogenesis selesai
kemudian terjadi akumulasi cairan yang
menyebabkan pemisahan email dari gigi yang tidak erupsi. Cairan yang mengisi bagian dalam kista ini bersifat hiperosmolaritas karena adanya albumin, imunoglobulin dan sisa-sisa epitelial squamous. Cairan yang hiperosmolaritas ini
menyebabkan cairan ekstraseluler masuk
kedalam kista sehingga terjadi ekspansi kista ke jaringan sekitar. Lapisan epitelial kista kemudian mensekresikan faktor-faktor yang mengaktivasi
kolagenase dan osteoklas sehingga
menyebabkan resorpsi tulang sekitar dan
menyebabkan ukuran kista menjadi lebih besar.
Kista yang membesar ini kemudian
menyelubungi mahkota gigi yang tidak erupsi dan
menempel pada cementoenamel junction.3
Perubahan keseimbangan antara
resistensi host dan patogenitas bakteri akan
menyebabkan invasi bakteri dan proses
penyebaran infeksi melewati barrier anatomis yang ada. Barrier anatomi yang ada antara lain (1) tulang alveolar, merupakan barrier pertama terhadap infeksi periapikal. Jika proses infeksi mulai melibatkan tulang, maka akan menyebar dengan pola radial dan meluas ke cortical plates. Lokasi perforasi korteks tergantung dekat
tidaknya ujung akar terhadap prosesus
alveolaris, (2) periosteum, barrier lokal berikutnya ini berkembang baik pada mandibula dan oleh karena itu dapat menunda penyebaran lebih lanjut ke arah abses subperiosteal. Barrier ini
tidak memberikan resistensi yang cukup
terhadap infeksi dan infeksi dapat menyebar ke sekeliling jaringan lunak dan (3) jaringan otot dan fascia.8 Pada kasus ini infeksi kronis tersebut
sudah melewati ketiga barrier anatomis tersebut sehingga terbentuk fistel ekstra oral.
Suatu fistel merupakan saluran abnormal atau komunikasi antara 2 organ internal atau
berasal dari organ internal ke permukaan tubuh. Dental fistulae atau dental sinus tract yang terbentuk dalam rongga mulut disebut internal dental fistulae, tetapi yang terbentuk pada permukaan kulit wajah disebut cutaneous dental fistulae atau cutaneous dental sinus tract. Suatu
ekstra oral dental fistulae secara klinis
memperlihatkan nodul yang seperti tertarik ke arah dalam atau papula pada kulit, lunak kadang cekat pada jaringan sekitarnya. Lesi memiliki pusat yang terbuka dan mengeluarkan produk cair dari dalam. Palpasi sekitar jaringan menghasilkan pus atau produk purulen yang
dapat mendukung diagnosis. Karakteristik
patologi fistel terdiri dari jaringan granulasi atau epitelial.9 Definisi dan gambaran klinis cutaneous
dental fistulae di atas mendukung gambaran klinis lesi pada kasus ini.
Beberapa kondisi dapat menyebabkan fistula ini, seperti abses periapikal, severe
periodontitis, pericoronitis, periimplantitis,
osteomyelitis, osteoradionekrosis, aktinomikosis, infeksi pasca ekstraksi, trauma dan infeksi
tempat operasi.9 Pada kasus ini penyebab
awalnya mungkin adalah adanya trauma kronis pada mukosa distal gigi 47 yang menyebabkan radang gusi kronis. Gigi 47 miring dan goyah membuat ligamen periodontal menjadi longgar dan ini juga memudahkan bakteri ataupun sisa makanan masuk ke celah mikro antara gigi dan tulang alveolar sehingga terbentuk infeksi pada ujung akar. Infeksi kronis ini dapat menyebar radial ke tulang sekitarnya. Tulang alveolar yang tipis pada distal gigi 47 dekat dengan dinding kista mudah ditembus oleh infeksi dari radang gusi kronis ataupun dari gigi 47 tersebut dan menyebabkan infeksi berkembang dalam kista.
Gigi 48 pada kasus ini dapat tumbuh inverted terdorong jauh dari lokasi seharusnya karena erupsinya gagal, displacement karena lesinya misal karena terdesak oleh kista atau tumor osseus atau adanya peningkatan erupsi karena lesi seperti tumor odontogenik. Johnson et al melaporkan kemungkinan hubungan aplikasi panas/hangat pada wajah untuk mengurangi rasa sakit dan saluran sinus yang berasal dari odontogenik. Aplikasi panas/hangat ini akan menyebabkan vasodilatasi dan meningkatkan aliran darah ke area infeksi sehingga berperan
mengeluarkan disharge melalui saluran sinus.6
Produk purulen yang diproduksi oleh infeksi odontogenik pada kista tersebut awalnya terkumpul dalam tulang alveolar kemudian akan
84
mencari jalur dengan resistensi yang rendah dan berlanjut melalui tulang dan jaringan lunak. Ketika tulang kortikal terkena infeksi maka ujung fistel ditentukan oleh lokasi perlekatan otot dan fascial sheaths. Saluran fistel biasanya berhenti pada jaringan ikat tetapi kadang-kadang dapat mencapai permukaan mukosa oral atau kulit dan menyebabkan fistel. Sejumlah pus atau material purulen lain dapat secara konstan keluar melalui
saluran tersebut, sehingga pus tidak
terakumulasi dalam tulang. Drainase ini
menyebabkan tekanan dalam tulang alveolar menurun dan mencegah transformasi menjadi infeksi akut.8
Hasil pemeriksaan kesehatan umum menunjukkan pasien dalam keadaan sehat. Hasil pemeriksaan penunjang menunjukkan dalam batas normal. Pasien tersebut tidak memiliki
kontraindikasi untuk dilakukan tindakan enukleasi
kista, fistulektomi, pengambilan gigi 48 yang dilakukan dengan pendekatan ekstra oral dan sinus shoe polishing technique serta pencabutan gigi 45 dan 47 dengan anestesi umum. Anestesi
yang digunakan anestesi umum dengan
pendekatan nasotrakeal karena lokasi lesi di intra oral regio posterior sehingga akan memudahkan proses tindakan bedah tersebut.
Teknik operasi untuk fistulektomi dengan membuang jaringan granulasi atau epitel pada saluran sinus mengacu pada sinus shoe polishing technique yaitu kasa-betadin yang dimasukkan dalam saluran sinus dan digerakkan maju-mundur untuk membuang lapisan epitelial pada saluran dengan sempurna. Teknik ini dapat memfasilitasi penyembuhan primer, mengurangi
jaringan parut pada ekstra oral dan
menghilangkan rekurensi infeksi maupun fistel.10
Kontrol dilakukan 3 kali yaitu hari ke-7, ke-14 dan ke-21. Kontrol pada hari ke-14 memperlihatkan luka ekstra oral tidak sesuai dengan desain awal insisi yaitu sesuai dengan
garis Langer’s wajah, hal ini kemungkinan karena adanya retraksi otot tetapi pada kontrol terakhir 21 hari pasca operasi menunjukkan hasil yang bagus dan tidak ada jaringan parut ekstra oral. Pasien juga tidak ada keluhan dan merasa nyaman dan puas dengan kondisi sekarang.
KESIMPULAN
Tindakan enukleasi kista, fistulektomi dan pengambilan gigi molar tiga yang tidak erupsi dengan pendekatan ekstra oral dan sinus shoe polishing technique merupakan pilihan yang terbaik untuk kasus kista dentigerus yang terinfeksi dengan fistel ekstra oral.
DAFTAR PUSTAKA
Rajesh P. Dentigerous cyst associated with an ectopic third molar in the maxillary sinus: A Rare Entity. Indian J Dent Res. 2007; and maxillofacial regions. Copenhagen: Blackwell Munksgaard Publishers 4th ed; 2007. H. 228.
5. Kayahan MB, Altundal H, Bayirli G. The
management of an odontogenic cutaneous sinus tract: a case report; OHDMBSC. 2003; 2(4): 60-3.
6. Neville BW, Dam DD, Allen CM, Bouquet
JE. Oral and maxillofacial pathology. Philadelphia: Saunders 2nd ed; 2001. H. 768.
7. Danuningrat CP. Kista odontogen dan
nonodontogen. Surabaya: Airlangga
University Press cetakan 1; 2006. H.1-24.
8. Malik NA. Textbook of oral and maxillofacial
surgery. New Delhi: Jaypee Brother Medical Pub 2nd ed; 2008. H. 593-6.
9. Andersson L, Kahnberg K, Progel MA. Oral
and maxillofacial surgery. Oxford United Kingdom: Wiley Blackwell 1st ed; 2010. H.529-532.
10. Bhattacharya A, Adwani D, Naphade M, Adwani N. Cutaneous fistula of odontogenic origin treated surgically using a novel shoe polishing technique. Int J Science for Med and Dent Res. 2014; 1(1): 1-5.