ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP HUKUMAN BAGI
PELAKU TINDAK PIDANA MELANGGAR BAKU MUTU AIR LIMBAH
(Studi Putusan Pengadilan Negeri Bale Bandung No.130/Pid.sus/2015/PN.BLB)
SKRIPSI Oleh:
Moch. Catur Dody Liyanto C03212048
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syariah dan Hukum Jurusan Hukum Publik Islam
Prodi Hukum Pidana Islam Surabaya
ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP HUKUMAN BAGI
PELAKU TINDAK PIDANA MELANGGAR BAKU MUTU AIR LIMBAH
(Studi Putusan Pengadilan Negeri Bale Bandung No.130/Pid.sus/2015/PN.BLB)
SKRIPSI Diajukan kepada
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu
Syariah dan Hukum
Oleh
Moch. Catur Dody Liyanto C03212048
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syariah dan Hukum Jurusan Hukum Publik Islam
Prodi Hukum Pidana Islam Surabaya
ABSTRAK
Skripsi ini adalah hasil penelitian studi kasus dengan judul “Analisis Hukum Pidana Islam Terhadap Hukuman bagi Pelaku Tindak Pidana Melanggar Baku Mutu Air Limbah (Studi Putusan Pengadilan Negeri Bale
Bandung No.130/Pid.sus/2015/PN.BLB)” yang bertujuan untuk menjawab pertanyaan: Bagaimana hukuman bagi pelaku tindak pidana melanggar baku mutu air limbah dalam putusan PN. Bale Bandung No.130/Pid.sus/2015/PN.BLB dan bagaimana analisis hukum pidana islam terhadap hukuman bagi pelku tindak pidana melanggar baku mutu air limbah dalam putusan PN. Bale Bandung No.130/Pid.sus/2015/PN.BLB?
Data ini dihimpun dengan mempelajari dokumen, berkas-berkas perkara dan bahan pustaka, yang selanjutnya diolah dengan beberapa tahap yaitu Editing: Melakukan pemeriksaan kembali terhadap data-data yang diperoleh secara cermat baik dari sumber primer atau sumber kunder, Organizing: Menyusun data secara sistematis, dan Analizing: Tahapan analisis terhadap data dengan menggunakan metode deskriptif-analisis dan pola pikir deduktif.
Hasil studi ini adalah dasar hukum yang digunakan sebagai pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi kepadda pelaku tindak pidana melanggar baku mutu air limbah adalah tuntutan Jaksa/Penuntut Umum dengan Pasal 100 jo Pasal 116 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pidana penjara 6 (bulan) masa percobaan 1 (satu) tahun dan denda sebesar Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) dirasa kurang memberikan efek jera kepada pelaku untuk mengulangi perbuatannya di masa mendatang seperti yang menjadi tujuan dari hukuman ta’zir dalam hukum pidana Islam. Dalam hukum pidan Islam tindak pidana melanggar baku mutu air limbah yang dilakukan oleh terdakwa termasuk dalam kategori jarimah ta’zir karena tidak ada ketentuan nash mengenai tindak pidana ini. Hakim dalam hal ini diberi kewenangan untuk menjatuhkan hukuman bagi pelaku jarimah ta’zir.
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN ... iv
ABSTRAK ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TRANSLITERASI ... xi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A.Latar Belakang Masalah ... 1
B.Indentifikasi dan Batasan Masalah ... 10
C.Rumusan Masalah ... 11
D.Tujuan Penelitian ... 11
E.Kegunaan Hasil Penelitian ... 12
F. Kajian Pustaka ... 12
G.Definisi Operasional ... 15
H. Metode Penelitian ... 16
I. Sistematika Pembahasan ... 19
BAB II JARIMAH TA’ZIR DALAM HUKUM PIDANA ISLAM ... 21
A.Pengertian Jarimah Ta’zir... 21
C.Macam-macam Jarimah Ta’zir ... 27
D.Hukuman Jarimah Ta’zir ... 33
BAB III PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN PN. BALE BANDUNG No. 130/Pid.Sus/PN.BLB TENTANG TINDAK PIDANA MELANGGAR BAKU MUTU AIR LIMBAH ... 44
A.Deskripsi Kasus dan Landasan Hukum ... 44
B.Keterangan Saksi-saksi, Saksi Ahli, Terdakwa dan Barang Bukti ... 49
C.Pertimbangan Hakim PN Bale Bandung terhadap tindak Pidana Melanggar Baku Mutu Air Limbah ... 59
D.Hal-hal yang memberatkan dan meringankan ... 63
E.Putusan Hakim PN Bale Bandung No.130/Pid.Sus/2015/PN.BLB ... 64
BAB IV ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM PENGADILAN NEGERI BALE BANDUNG DALAM PUTUSAN No. 130/Pid.Sus/2015/PN.BLB TENTANG TINDAK PIDANA MELANGGAR BAKU MUTU AIR LIMBAH PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM ... 67
A.Pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Bale Bandung dalam Putusan No. 130/Pid.Sus/2015/PN.BLB tentang Tidak Pidana Melanggar Baku Mutu Air Limbah ... 67
B.Analisis Hukum Pidana Islam terhadap Pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Bale Bandung dalam Putusan No. 130/Pid.Sus/2015/PN.BLB tentang Tindak Pidana Melanggar Baku Mutu Air Limbah ... 73
BAB V PENUTUP ... 80
A.Kesimpulan ... 80
B.Saran ... 81
LAMPIRAN ... 85
BAB I
ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP HUKUMAN BAGI PELAKU TINDAK PIDANA MELANGGAR BAKU MUTU AIR LIMBAH
(Studi Putusan PN. Bale Bandung No. 130/Pid.sus/2015/PN.BLB)
A. Latar Belakang Masalah
Negara Indonesia memanjang dari Barat ke Timur dengan panjang ±
5.140 kilometer dan lebar dari Utara ke Selatan ± 1.949 kilometer. Secara
astronomi, Indonesia terletak antara 06016’ 20’ LU – 11016’ 00’ LS dan 940
46’ 00’ BB – 1410 00’ 00 BT dengan luas 17.027.087 kilometer persegi
dengan garis pantai ± 80.791 kilometer dan luas wilayah perairan ±
3.166.163 kilometer persegi.1
Karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada Bangsa Indonesia,
pegunungan yang sejuk karena ditumbuhi pepohonan, sungai yang bersih
mengalir dari pegunungan ke kota, pantai yang indah dan luas,
binatang-binatang di hutan, burung-burung berkicau pada pagi hari, ikan di sungai dan
di laut, pertambangan-pertambangan minyak, emas, perak, tembaga, batu
bara dan lain-lain. Matahari sepanjang tahun terbit pada pagi hari, terbenam
sore hari, semua karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada Bangsa Indonesia.
1
2
Karunia tersebut agar dapat dinikmati generasi mendatang maka harus
dilestarikan, harus dipertahankan atau ditingkatkan.2
Namun, saat ini keadaan sudah sangat berubah. Pembuangan limbah
cair industri yang dilakukan secara besar-besaran terutama di daerah
perkotaan, baik yang terjadi di negara berkembang maupun di negara maju
telah merubah cara pandang masyarakat mengenai lingkungan. Mereka
menganggap lingkungan sebagai sesuatu yang harus dikotori dan dipandang
sebelah mata. Hal ini berakibat ketidaksuaian pada fungsi lingkungan, yaitu
fungsi daya dukung, daya tampung, dan daya lenting. Seringkali
pembuangan limbah hanya memperhitungkan cost benefit ratio tanpa
memperhitungkan social cost dan ecological cost.
Mayoritas pengembang hanya menganggap lingkungan sebagai
benda bebas (res nullius) yang digunakan sepenuhnya untuk mendapatkan
laba yang sebesar-besarnya dalam waktu yang relatif singkat, yang berakibat
terganggunya fungsi lingkungan hidup.3
Dampak negatif dari menurunnya kualitas lingkungan hidup baik
karena terjadinya pencemaran atau terkurasnya sumber daya alam adalah
2
Ibid, 7.
3
3
timbulnya ancaman terhadap kesehatan, menurunnya nilai estetika, kerugian
ekonomi (economic cost), dan terganggunya sistem alami (natural system).4
Lingkungan hidup pada prinsipnya merupakan suatu sistem yang
saling berhubungan satu dengan yang lainnya sehingga pengertian
lingkungan hidup mencakup semua unsur ciptaan Tuhan yang Maha Kuasa
di bumi ini. Itulah sebabnya lingkungan hidup termasuk manusia dan
perilakunya merupakan unsur lingkungan hidup yang sangat menentukan.
Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa lingkungan saat ini oleh
sebagian kalangan dianggap tidak bernilai karena lingkungan hidup (alam)
hanya sebuah benda yang diperuntukkan bagi manusia. Dengan kata lain,
manusia merupakan penguasa dari lingkungan hidup sehingga lingkungan
hidup hanya dipresepsikan sebagai objek dan bukan sebagai subjek.5
Akhir-akhir ini pencemaran lingkungan merupakan suatu isu global
disamping isu demokrasi dan Hak Asasi Manusia. Di antara isu tersebut
pencemaran lingkungan merupakan isu yang paling terkristalisasi. Di
Indonesia, tata kehidupan yang berwawasan lingkungan sebenarnya telah
diamanatkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun
2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
(selanjutnya penulis akan singkat menjadi UU RI No. 32 Tahun 2009), BAB
I Pasal 1 Ayat (2) yang berbunyi: Perlindungan dan pengelolaan lingkungan
4
Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia Edisi Pertama,Cetakan Keempat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), 3.
5
4
hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan
fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan atau
kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan,
pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.6
Krisis lingkungan di dunia tengah terjadi, degradasi lingkungan
tengah dirasakan semakin memburuk dan terpuruk dalam dekade terakhir.
Kerusakan hutan, Pemanasan global, kepunahan jenis, kekeringan yang
panjang, kelangkaan air bersih, pencemaran lingkungan dan polusi udara,
serta ancaman senjata biologis, merupakan sederet permasalahan lingkungan
di dunia yang bisa menghancurkan peradaban umat manusia dan makhluk di
muka bumi ini. Oleh karenanya perlu adanya upaya baik pemikiran ataupun
tidakan yang dapat mengatasi krisis tersebut.
Makin banyak berita-berita mengenai pencemaran lingkungan hidup
salah satunya sungai dari limbah cair industri dari hari-kehari. Pencemaran
sungai ini terjadi dimana-mana. Krisis air juga terjadi di hampir seluruh
dunia salah satunya Indonesia yang berada di Pulau Jawa, Pulau Sumatera,
terutama di kota-kota besar akibat pencemaran limbah cair industri, rumah
tangga, ataupun pertanian.
Pencemaran sungai di banyak wilayah di Indonesia telah
mengakibatkan terjadinya krisis air bersih. Kurangnya kesadaran warga
sekitar dan pembuangan limbah cair yang tidak terkontrol oleh perusahaan
6
5
itu salah satu penyebab masalah pencemaran sungai menjadi hal yang kronis
yang semakin parah.
Kelemahan aparat penegak hukum dalam menangani isu lingkungan
hidup salah satunya sungai sertasanksi hukuman yang dinilai masih ringan
dirasakan sebagai penyebab terulangnya kasus pembuangan limbah dari
tahun ke tahun. Dari beberapa kasus pembuangan limbah yang pernah terjadi
ada beberapa perusahaan dan korporasi yang telah di meja hijaukan. Sebagai
salah satu contoh kasus yang pernah disidangkan di Pengadilan Negeri Bale
Bandung tentang tindak pidana melanggar baku mutu air limbah yang
dilakukan oleh Herawan Koswara sebagai Direktur PT. Daya Pratama
Lestari (DPL) pada tahun 2014 yang terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah. Tindak pidana tersebut dikategorikan sebagai tindak pidana khusus
yang berhubungan dengan pencemaran lingkungan.
Kasus ini tergolong tindak pidana karena dengan sengaja melakukan
perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku
mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. Data hasil
analisa juga menunjukkan bahwa terdapat kelalaian PT. Daya Pratama
Lestari yang berakibat kebocoran Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL)
dan dengan sengaja membuang limbah langsung tanpa melalui Instalasi
Pengolahan Air Limbah (IPAL) yang langsung keluar ke media lingkungan
atau yang disimpulkan dengan tidak melakukan pengelolaan lingkungan
6
PT. Daya Pratama Lestari membuang air limbah melebihi baku mutu ke
Sungai Citarum/Waduk Saguling. Selama kurun waktu yang lama
perusahaan tersebut dengan membuang air limbah tanpa pengolahan ke
Sungai Citarum dengan debit cukup besar kira-kira 45.000 M3/bulan.
Jumlah ini cukup berkontribusi menambah beban pencemaran Sungai
Citarum yang kapasitas dukungnya semakin berkurang. Akibat terjadinya
pencemaran tersebut berpotensi menyebabkan beberapa parameter di Sungai
Citarum/Waduk Saguling khusunya BOD5, COD, DO, Phospat, Timbal,
Khlorin Bebas, Fenol, dan Sulfida melebihi baku mutu air. Oleh karena itu
Herawan Koswara sebagai Direktur PT. Daya Pratama Lestari tersebut
dikenakan Pasal 103 Jo Pasal 116 ayat (1) huruf b, Pasal 104 Jo Pasal 116
ayat (1) huruf b, dan Pasal 100 Jo Pasal 116 ayat (1) huruf b Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup.7
Menurut Yahya Harahap sebagaimana dikutip oleh Syahrul Mahmud
menyebutkan penegakan hukum lingkungan ini berkaitan dengan salah satu
hak asasi manusia, yaitu perlindungan setiap orang atas pencemaran
lingkungan atau environmental protection. Hal ini didasarkan pada
munculnya berbagai tuntutan hak perlindungan atas lingkungan, antara lain:8
7
Putusan Pengadilan Negeri Bale Bandung Nomor. 130/Pid.Sus/2015/PN.Bib
8
Syahrul Machmud, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia Edisi Kedua, Cetakan Pertama,
7
1. Perlindungan atas harmonisasi menyenangkan antara kegiatan
produksi dengan lingkungan manusia (encourage productive and
enjoyable harmony between man and his environment).
2. Perlindungan atas upaya pencegahan (prevent) atau melenyapkan
kerusakan (eliminate damage) terhadap lingkungan dan biosper serta
mendorong (stimulate) kesehatan dan kesejahteraan manusia.
3. Hak perlindungan atas pencemaran udara (air pollution) yang
ditimbulkan oleh pembakaran lahan, pabrik, dan kendaraan bermotor
dari gas beracun karbon monoksida (carbon monoxide) ,nitrogen
oxide dan hidro carbon, sehingga udara bebas untuk selamanya dari
pencemaran.
4. Menjamin perlindungan atas pencemaran limbah industri di darat, di
sungai, dan lautan, sehingga semua air terhindar dari segala bentuk
pencemaran limbah apapun (clean water).
Salah satu agama yang dapat memberikan landasan teologis dan
hukum bagi pelestarian lingkungan hidup adalah Islam. Berbeda dengan
agama-agama lain yang menekankan pada moral, Islam punya penekanan
yang kuat pada masalah hukum. Menurut H.A.R Gibb, Islam is a complete
system of way of life. Islam adalah sistem kehidupan yang sempurna.
Hukum Islam (syari’ah) mencakup seluruh kehidupan masyarakat muslim
dari individu sampai lingkungan hidup. Islam memiliki fleksibilitas dalam
menampung berbagai masalah kehidupan. Jantung Islam adalah al-Qur’an
8
Qur’an banyak ayat yang menyebutkan alam semesta atau lingkungan hidup
merupakan salah-satu tanda kekuasaan Allah. Alam semesta dibuat lebih
rendah dari manusia. Alam semesta diperuntukkan untuk manusia. Manusia
sebagai khalifah atau wakil Allah di muka bumi berkewajiban untuk
memakmurkan bumi. Manusia dipersilahkan mengelola alam untuk
kemaslahatan bersama.
Namun manusia juga harus memperhatikan kelestarian lingkungan
dengan tidak mengeksploitasi alam secara berlebihan yang menyebabkan
kerusakan pada lingkungan.
Dalam hukum pidana Islam terdapat tiga delik (jarimah) yaitu,
jarimah hudud, jarimah qishash diyat, dan jarimah ta’zir. Adapun yang
dimaksud dengan jarimah ta’zir adalah semua perbuatan yang berkaitan
dengan kepentingan dan kemaslahatan umum. Misalnya, membuat
kerusakan di muka bumi, pencurian yang tidak memenuhi syarat,
penimbunan bahan-bahan pokok, penyelundupan, dan lain-lain9. Hukuman
ta’zir adalah hukuman yang belum ditetapkan oleh syara’ dan diserahkan
kepada ulil al-Amri untuk menetapkannya. Hukuman ta’zir ini jenisnya
9
9
beragam, namun secara garis besar dapat dikelompokkan kepada empat
kelompok, yaitu sebagai berikut:10
1. Hukuman ta’zir yang mengenai badan, seperti hukuman mati dan jilid
(dera).
2. Hukuman yang berkaitan dengan kemerdekaan seseorang, seperti
hukuman penjara dan pengasingan.
3. Hukuman ta’zir yang berkaitan dengan harta, seperti denda,
penyitaan/peramapasan harta, dan penghancuran barang.
4. Hukuman-hukuman lain yang ditentukan oleh ulil amri demi
kemaslahatan umum.
Indonesia sebagai negara yang di dalamnya marak akan perbuatan
eksploitasi alam yang berlebihan dan tidak memperhatikan kelestariannya
dengan melakukan pembakaran lahan secara besar-besaran demi kepentingan
segelintir orang, masih banyak terdapat masyarakatnya yang belum
mengetahui bagaimana ancaman pidana bagi pelaku pembakaran lahan yang
telah diatur. Masyarakat Indonesia belum sadar bahwa krisis multidimensi
dan bencana yang datang bertubi-tubi seperti tanah longsor, banjir,
kekeringan, kebakaran hutan, dan lainnya adalah karena ulah manusia
sendiri.11
10
Ibid., 258.
11
Gufron, Rekonstruksi Paradigma Fikih Lingkungan (Analisis Problematika Ekologi di
10
Meski pada realitanya mayoritas warga Indonesia adalah beragama
Islam. Oleh karena itu perspektif hukum pidana Islam mengenai pemberian
sanksi pidana kepada pelaku perusakan lingkungan hidup juga perlu
dimasukkan dalam pembahasan ini.
Berdasarkan latar belakang yang sudah diuraikan di atas maka
penulis merasa perlu melakukan studi putusan kasus pembakaran lahan yang
terjadi di Pengadilan Negeri Bale Bandung dan mengangkatnya menjadi
sebuah skripsi yang berjudul: “Analisis Hukum Pidana Islam Terhadap
Hukuman Bagi Pelaku Tindak Pidana Melanggar Baku Mutu Air Limbah
(Studi Putusan PN. Bale Bandung No. 130/Pid.sus/2015/PN.BLB)”
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, terdapat beberapa
masalah pada penelitian ini. Adapun masalah-masalah tersebut dapat
diidentifikasi sebagaimana berikut :
1. Tindak pidana pencemaran lingkungan.
2. Sanksi tindak pidana terhadap pelaku pembakaran lahan.
3. Pertimbangan yang digunakan oleh hakim dalam putusan No.
130/Pid.sus/2015/PN.BLB terhadap tindak pidana pencemaran
11
4. Dasar hukum hakim Pengadilan Negeri Bale Bandung dalam putusan No.
130/Pid.sus/2015/PN.BLB terhadap tindak pidana pencemaran
lingkungan.
5. Analisis hukum pidana Islam terhadap tindak pidana pencemaran
lingkungan.
Berdasarkan identifikasi masalah diatas dan juga bertujuan agar
permasalahan ini dikaji dengan baik, maka penulis membatasi penulisan
karya ilmiah dengan batasan :
1. Pertimbangan hakim terhadap tindak pidana pencemaran lingkungan
dalam putusan Nomor 130/Pid.sus/2015/PN.BLB.
2. Analisis hukum pidana Islam terhadap pertimbangan hakim Pengadilan
Negeri Bale Bandung dalam tindak pidana pencemaran lingkungan.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah di atas, maka
secaralebih terperinci perumusan masalah dalam skripsi ini akan
memfokuskan pada beberapa pembahasan untuk diteliti lebih lanjut adalah
sebagai berikut :
1. Bagaimana hukuman bagi pelaku tindak pidana melanggar baku mutu air
12
2. Bagaimana analisis hukum pidana islam terhadap hukuman bagi pelaku
tindak pidana melanggar baku mutu air limbah dalam putusan PN. Bale
Bandung No. 130/Pid.sus/2015/PN.BLB ?
D. Tujuan Penelitian
Sejalan dengan rumusan masalah yang ditulis diatas, maka skripsi ini
bertujuan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui tindak pidana baku mutu limbah dalam putusan No.
130/Pid.sus/2015/PN.BLB yang menyebabkan pencemaran lingkungan.
2. Untuk mengetahui analisis hukum pidana Islam terhadap pertimbangan
hukum dalam putusan hakim tentang tindak pidana melanggar baku mutu
air limbah dalam putusan Nomor 130/Pid.sus/2015/PN.BLB di
Pengadilan Negeri Bale Bandung.
E. Kegunaan Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat
sekurang-kurangnya dalam dua aspek yaitu:
1. Aspek keilmuan (teoritis), dapat dijadikan sebagai sumbangan pemikiran
atau pedoman untuk menyusun hipotesis penulisan berikutnya bila ada
13
tentang tindak pidana pidana melanggar baku mutu air limbah yang
menyebabkan pencemaran lingkungan.
2. Aspek terapan (praktis), dapat dijadikan masyarakat khususnya para
pemerintah maupun korporasi dalam menjaga kelestarian lingkungan
agar tidak melakukan tindak pidana melanggar baku mutu air limbah
secara terus menerus.
F. Kajian Pustaka
Kajian Pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian atau
penelitian yang sudah pernah dilakukan di seputar masalah yang akan diteliti
sehingga terlihat jelas bahwa kajian yang akan dilakukan ini tidak
merupakan pengulangan atau duplikasi dari kajian atau penelitian yang telah
ada.12 Berkaitan dengan temanya adalah:
1. Skripsi Septya Sri Rezeki, Mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum
IAIN Sunan Ampel yang berjudul “Pertanggung jawaban Korporasi
terhadap Penerapan Prinsip Strict Liability dalam Kasus Kerusakan
Lingkungan Hidup menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
32 Tahun 2009 dalam Perspektif Hukum Pidana Islam”.13 Dalam skripsinya memaparkan korporasi sebagai legal person merupakan subjek
12
FakultasSyariah UIN Sunan Ampel Surabaya, Petunjuk Penulisan Skripsi (Surabaya: t.p.,2016), 8.
13
14
hukum yang dapat dipertanggung jawabkan pidananya baik sebagai
pimpinan korporasi (factual leader) maupun pemberi perintah
(instrument giver), keduanya dapat dikenakan hukuman secara
berbarengan. Badan hukum atau korporasi dapat dipertanggung
jawabkan secara pidana harus sejalan dengan strict liability. Sejalan
dengan strict liability dalam UU No 32 Tahun 2009. Septya Sri Rezeki
mengaitkan dengan unsur bersalah yakni ketidak hati-hatian dan ketidak
waspadaan dalam hukum Islam.
2. Selanjutnya skripsi M. Zahir Mashuri, mahasiswa Fakultas Syari’ah dan
Hukum IAIN Sunan Ampel Surabaya yang berjudul “Sanksi Pidana
Akibat Pencemaran Limbah Industri terhadap Air Sungai menurut
Maqasid As Syari’ah: Analisis Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup”.14 Skripsi yang ditulis oleh M. Zahir Mashuri adalah membahas tentang sanksi pidana yang harus ditegakkan untuk
menghindari adanya kegiatan pencemaran yang nantinya dapat
menimbulkan kerusakan fungsi lingkungan hidup bagi peruntukannya. Di
dalam skripsi juga dicantumkannya Maqasid As Syari’ah dalam
pembahasannya.
3. Skripsi ketiga adalah yang ditulis oleh Ahmad Imaduddin dengan judul
“Tinjauan Hukum Pidana Islam terhadap Kejahatan Korporasi dan
14
M. Zahir Mashuri, “Sanksi Pidana Akibat Pencemaran Limbah Industri terhadap Air Sungai
menurut Maqasid As Syari’ah: Analisis Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun
15
Sanksinya Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup”. Dari pembahasan skripsi yang dipaparkan oleh Ahmad Imaduddin terdapat persamaan dengan
skripsi penulis dalam hal tinjauan hukum pidana islam terhadap pelaku
tindak pidana pencemaran lingkungan, yang menjadi perbedaan adalah
apabila dalam skripsinya Ahmad Imaduddin sanksi yang dikenakan pada
pelaku berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997.
Sementara penulis lebih menekankan terhadap analisis hukum pidana
islam terhadap hukuman bagi pelaku tindak pidana melanggar baku mutu air
limbah yang dilatar belakangi oleh Putusan Pengadilan Negeri Bale Bandung
No. 130/Pid.sus/2015/PN.BLB.
G. Definisi Operasional
Untuk mempermudah pemahaman dan menghindari kesalah pahaman
terhadap masalah yang dibahas, maka perlu kiranya dijelaskan beberapa
istilah sebagai berikut:
1. Analisis Hukum Pidana Islam: Menganalisis tentang hukum syara’ yang
berkaitan dengan masalah perbuatan yang dilarang (jarimah) dan
hukumannya (uqubah), yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
Hukum ta’zir karena berkaitan dengan tindak pidana pencemaran
16
2. Putusan Hakim pada Kasus Tindak Pidana melanggar baku mutu air
limbah. Yang dimaksud dengan putusan hakim pada kasus ini adalah
sebuah keputusan yang sudah diputuskan di Pengadilan Negeri Bale
Bandung No. 130/Pid.sus/2015/PN.BLB tentang tindak pidana melanggar
baku mutu air limbah.
Jadi maksud dari judul ini adalah untuk meneliti putusan Pengadilan
Negeri Bale Bandung No. 130/Pid.sus/2015/PN.BLB mengenai hukuman
bagi pelaku tindak pidana melanggar baku mutu air limbah yang kemudian
di analisis dengan hukum pidana Islam.
H. Metode Penelitian
1. Data yang dikumpulkan
Data yang dikumpulkan adalah data yang berkaitan dengan hukuman
bagi pelaku tindak pidana melanggar baku mutu air limbah dalam Putusan
Pengadilan Negeri Bale Bandung No. 130/Pid.sus/2015/PN.BLB.
2. Sumber Data
Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini
17
a. Sumber primer: Sumber primer dari penelitian ini adalah putusan
Pengadilan Negeri Bale Bandung No. 130/Pid.sus/2015/PN.BLB.
b. Sumber sekunder: Sumber sekunder adalah sumber yang didapat dari
sumber tidak langsung berfungsi sebagai pendukung terhadap
kelengkapan penelitian. Data yang dimaksud antara lain :
1) Djazuli, Fiqh Jinayah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997.
2) Djazuli, Kaidah Fiqh Jinayah (Asas-asas Hukum Pidana Islam),
Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004.
3) Hasbiyallah, Fiqh dan Ushul Fiqh, Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2013.
4) Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar
Grafika, 2005.
5) Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam.
Yogyakarta: Logung Pustaka, 2004.
6) Abdur Rahman, Tindak Pidana dalam Syari’at Islam, Jakarta:
Rineka Cipta, 1992.
7) Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2012.
3. Teknik Pengumpulan Data
Pembahasan skripsi ini merupakan penelitian studi kasus dan
dokumentasi, maka dari itu teknik yang digunakan adalah dengan
pengumpulan data literatur, yaitu putusan dari Pengadilan Negeri Bale
18
bahasan tindak pidana pencemaran lingkungan. Bahan-bahan pustaka
yang digunakan disini adalah buku-buku yang ditulis oleh pakar atau ahli
hukum terutama dalam hukum pidana dan hukum pidana Islam.
Dokumentasi adalah teknik pengumpulan data yang tidak langsung
ditunjukkan pada subjek penelitian melalui dokumen, atau melalui berkas
yang ada. Dokumen yang diteliti adalah putusan Pengadilan Negeri Bale
Bandung tentang tindak pidana melanggar baku mutu air limbah dalam
putusan No. 130/Pid.sus/2015/PN.BLB.
4. Teknik Pengolahan Data
Data yang didapat dari dokumen dan terkumpulkan kemudian diolah,
berikut tahapan-tahapannya:
a. Editing: Melakukan pemeriksaan kembali terhadap data-data yang
diperoleh secara cermat baik dari sumber primer atau sumber
sekunder, tentang kajian hukum pidana Islam terhadap hukuman bagi
pelaku tindak pidana melanggar baku mutu air limbah dalam putusan
Pengadilan Negeri Bale Bandung No. 130/Pid.sus/2015/PN.BLB.
b. Organizing: Menyusun data secara sistematis mengenai kajian hukum
pidana Islam terhadap hukuman bagi pelaku tindak pidana melanggar
baku mutu air limbah (Studi putusan Pengadilan Negeri Bale Bandung
Nomor 130/Pid.sus/2015/PN.BLB).
c. Analizing: Tahapan analisis terhadap data, kajian hukum pidana
19
putusan Pengadilan Negeri Bale Bandung No.
130/Pid.sus/2015/PN.BLB.
5. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
deskriptif analisis dengan menggunakan pola pikir deduktif, yaitu
mendeskripsikan dalil-dalil dan data yang bersifat umum tentang tindak
pidana melanggar baku mutu air limbah kemudian ditarik kepada
permasalahan yang lebih bersifat khusus dalam putusan Pengadilan
Negeri Bale Bandung No. 130/Pid.sus/2015/PN.BLB dan relevansinya
dengan hukum pidana Islam.
I. Sistematika Pembahasan
Dalam menyusun skripsi yang berjudul “Analisis Hukum Pidana
Islam Terhadap Hukuman Bagi Pelaku Tindak Pidana Melanggar Baku
Mutu Air Limbah (Studi Putusan PN. Bale Bandung No.
130/Pid.sus/2015/PN.BLB)” diperlukan adanya suatu sistematika
pembahasan, sehingga dapat diketahui kerangka skripsiini adalah sebagai
berikut:
Bab pertama berisi pendahuluan, merupakan gambaran umum yang
20
danBatasan Masalah, Rumusan Masalah, Kajian Pustaka, Tujuan
Penelitian, Kegunaan Hasil Penelitian, Definisi Operasional, Metode
Penelitian, dan Sistematika Pembahasan. Alasan sub bab tersebut diletakkan
pada bab pertama adalah untuk mengetahui alasan pokok mengapa penulisan
ini dilakukan dan untuk lebih mengetahui cakupan, batasan, dan metode
yang dilakukan sehingga maksud dari penulisan ini dapat dipahami.
Bab kedua menguraikan tinjauan umum atau landasan teori
mengenai konsep ta’zir dalam hukum pidana Islam yang memuat pengertian
ta’zir, unsur-unsur ta’zir, macam-macam jarimah ta’zir, macam-macam
hukuman ta’zir dan manfaat ta’zir.
Bab ketiga tentang penyajian data dari putusan Pengadilan Negeri
Bale Bandung No. 130/Pid.sus/2015/PN.BLB. Bab ini akan memaparkan
deskripsi kasus tindak pidana melanggar baku mutu air limbah dan
pertimbangan hukum yang digunakan dalam putusan tersebut.
Bab keempat menganalisis mengenai tindak pidana melanggar baku
mutu air limbah menurut hukum pidana Islam dengan pertimbangan hukum
yang dijadikan landasan dalam memutuskan hukuman bagi pelaku pidana
bagi pelaku tindak pidana melanggar baku mutu air limbah dalam putusan
Pengadilan Negeri Bale Bandung No. 130/Pid.sus/2015/PN.BLB.
Bab kelima merupakan bab terakhir yang menjadi penutup dengan
berisikan kesimpulan dan saran-saran. Bab ini bertujuan untuk memberikan
21
bahasan tersebut dan selanjutnya memberikan saran untuk Pengadilan
Negeri Bale Bandung dan lembaga penegak hukum terkait mengenai isi dari
BAB II
JARIMAH TA’ZIR DALAM HUKUM PIDANA ISLAM
A. Pengertian JarimahTa’zir
Ta’zir menurut bahasa berasal dari kata:(1)‘azzara yang
mempunyaipersamaan kata dengan mana’a waradda yang artinya mencegah
dan menolak; (2) addaba yang artinya mendidik; (3) azzama wa waqqara
yang artinyamengagunkan dan menghormati; dan (4) a’ana wa qawwa wa
nasara yang artinya membantunya, menguatkan dan menolong.1
Dari keempat pengertian di atas, yang lebih relevan adalah
pengertian addaba (mendidik) dan mana’a wa radda (mencegah dan
menolak)2 karena ta’zir juga berarti hukuman yang berupa memberi
pelajaran. Disebut dengan ta’zir karena hukuman tersebut sebenarnya untuk
mencegah dan menghalangi orang yang berbuat jarimah tersebut untuk
tidak mengulangi kejahatannya lagi dan memberikan efek jera.3
Kata ta’zir lebih populer digunakan untuk menunjukkan arti
memberi pelajaran dan sanksi hukuman selain hukuman had. Sedangkan
menurut shara’, ta’zir adalah hukuman yang diberlakukan terhadap suatu
bentuk kemaksiatan atau kejahatan yang tidak diancam dengan hukuman
h}ad dan tidak pula kafarat, baik itu kejahatan terhadap hak Allah seperti
1
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), 248.
2
Ibid, 276.
3
22
makan di siang hari pada bulan Ramadan tanpa ada uzur, meninggalkan
salat, melakukan riba. Maupun kejahatan adami, seperti mencuri dengan
jumlah curian yang belum mencapai nisab pencurian, pencurian tanpa
mengandung unsur al-hirzu (harta yang dicuri tidak pada tempat
penyimpanan yang semestinya), korupsi, pencemaran nama baik dan
tuduhan selain zina.4
Dalam hal ini Imam al-Mawardi menjelaskan bahwa ta’zir (sanksi
disiplin) adalah menjatuhkan ta’zir terhadap dosa-dosa yang di dalamnya
tidak terdapat hudud (hukuman shar’i).5
Adapun perbedaan antara jarimah hudud dan jarimah ta’zir adalah
sebagai berikut:6
1. Dalam jarimah hudud, tidak ada pemaafan, baik oleh perorangan
maupun ulil amri (pemerintah). Bila seseorang telah melakukan
jarimah hudud dan terbukti di depan pengadilan, maka hakim hanya
bisa menjatuhkan sanksi yang telah ditetapkan. Sedangkan dalam
jarimah ta’zir, kemungkinan pemaafan itu ada, baik oleh perorangan
maupun oleh ulil amri, bila hal itu lebih maslahat.
2. Dalam jarimah ta’zir hakim dapat memilih hukuman yang lebih tepat
bagi si pelaku sesuai dengan kondisi pelaku, situasi dan tempa
kejahatan. Sedangkan dalam jarimah hudud yang diperhatikan oleh
4
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam, (Abdul Hayyie al-Kattani, dkk), jilid 7, (Jakarta: Gema Insani, 2007), 523.
5
Imam Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, (Fadli Bahri), (Jakarta: Darul Falah, 2006), 390
6
23
hakim hanyalah kejahatan material.
3. Pembuktian jarimah hudud dan qisas harus dengan sanksi atau
pengakuan, sedangkan pembuktian jarimahta’zir sangat luas
kemungkinannya.
4. Hukuman had maupun qisas tidak dapat dikenakan kepada anak kecil,
karena syarat menjatuhkan had si pelaku harus sudah balig, sedangkan
ta’zir itu bersifat pendidikan dan mendidik anak kecil itu boleh.
B. Unsur-Unsur JarimahTa’zir
Suatu perbuatan dianggap jarimah apabila unsur-unsurnya telah
terpenuhi.Unsur-unsur ini dibagi menjadi dua, yaitu unsur umum dan unsur
khusus. Unsur umum adalah unsur yang dianggap sebagai tindak pidana
berlaku pada semua jarimah, sedangkan unsur khusus hanya berlaku untuk
masing-masing jarimah dan berbeda antara jarimah yang satu dengan yang
lain.7
Abdul Qadir Audah mengemukakan bahwa unsur-unsur umum untuk
jarimah itu ada tiga macam, yaitu:8
1. Unsur formal, yaitu adanya nass (ketentuan) yang melarang perbuatan
dan mengancamnya dengan hukuman. Contohnya dalam surah Al-
Maidah: 38
,
ِهَّ
ِ نهم
ًِلا ك ن
ا ب س ك
ا مهب
ًِءا ز ج
ا مُ يهدْي أ
ا ُع طْقا ف
ُِة ق هراَسلا
ُِق هراَسلا
7
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam:Fikih Jinayah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), 27.
8
24
ِ ميهك ح
ِ زي هز ع
َُِّ
Artinya: Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (Q.S. Al-Maidah: 38).
2. Unsur material, yaitu adanya tingkah laku yang membentuk jarimah,
baik berupa perbuatan nyata (positif) maupun sikap tidak berbuat
(negatif). Contohnya dalam jarimah zina unsur materiilnya adalah
perbuatan yang merusak keturunan, dalam jarimah qadhaf unsur
materiilnya adalah perkataan yang berisi tuduhan zina.
3. Unsur moral, yaitu bahwa pelaku adalah orang yang mukallaf, yakni
orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindak pidana
yang dilakukannya.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa tindak pidana yang
tidak ditentukan sanksinya oleh Al-Quran maupun Hadis disebut sebagai
jarimah ta’zir. Contohnya tidak melaksanakan amanah, menggelapkan
harta,menghina orang,menghinaagama, menjadi saksi palsu, dan suap.9
Menurut Wahbah az-Zuhaili dalam hukuman ta’zir diberlakukan
terhadap setiap bentuk kejahatan yang tidak ada ancaman hukuman had dan
kewajiban membayar kafarat di dalamnya, baik itu berupa tindakan
pelanggaran terhadap hak Allah SWT maupun pelanggaran terhadap hak
individu (adami).10
Adapun menurut Ahmad Wardi Muslich bahwa jarimah ta’zir terdiri
9
Ibid., 163
10
25
atas perbuatan-perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman had
maupun kafarat. Pada intinya, jarimah ta’zir ialah perbuatan maksiat.11
Menurut Ibnul Qayyim perbuatan maksiat ini dibagi menjadi tiga, yaitu:12
1. Perbuatan maksiat yang pelakunya diancam dengan hukuman had tanpa
ada kewajiban membayar kafarat, seperti pencurian, menenggak
minuman keras, zina dan qadhaf. Sehingga dengan adanya hukuman h}ad
tersebut, maka hukuman ta’zir sudah tidak diperlukan lagi.
2. Perbuatan maksiat yang pelakunya hanya terkena kewajiban membayar
kafarat saja, tidak sampai terkena hukuman had, seperti melakukan
koitus (persetubuhan) di siang hari bulan Ramadhan menurut ulama
Syafi’iyah dan Hanabilah, kebalikan dari pendapat ulama Hanafiyyah
dan Malikiyah, juga seperti melakukan koitus pada saat berihram.
3. Perbuatan maksiat yang pelakunya tidak dikenakan ancaman hukuman
had dan tidak pula terkena kewajiban membayar kafarat, seperti
mencium perempuan asing, mengonsumsi darah dan babi, dan
sebagainya. Bentuk kemaksiatan ketiga inilah pelaku dapat dikenakan
hukuman ta’zir.
Para ulama juga memberi contoh perbuatan maksiat yang pelakunya
tidak bisa dikenai ta’zir, seperti seseorang yang memotong jari sendiri.
Pemotongan jari sekalipun milik sendiri itu jelas suatu maksiat, namun tidak
dapat dikenakan ta’zir kepada pelakunya sebab tidak mungkin dilaksanakan
qisas. Sesungguhnya dalam kasus tersebut tidak ada halangan
11
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana..., 249.
12
26
untukdilaksanakan ta’zir, karena pelaku telah menyia-nyiakan diri sendiri,
padahal menjaga diri sendiri adalah wajib hukumnya.13
Adapun syarat supaya hukuman ta’zir bisa dijatuhkan adalah hanya
syarat berakal saja. Oleh karena itu, hukuman ta’zir bisa dijatuhkan kepada
setiap orang yang berakal yang melakukan suatu kejahatan yang tidak
memiliki ancaman hukuman had, baik laki-laki maupun perempuan, muslim
maupun kafir, balig atau anak kecil yang sudah berakal (mumayyiz). Karena
mereka semua selain anak kecil adalah termasuk orang yang sudah memiliki
kelayakan dan kepatutan untuk dikenai hukuman. Adapun anak kecil yang
sudah mumayyiz, maka ia di ta’zir, namun bukan sebagai bentuk hukuman,
akan tetapi sebagai bentuk mendidik dan memberi pelajaran.14
Wahbah az-Zuhaili yang mengutip dari Raddul Muhtaar memberikan
ketentuan dan kriteria dalam hukuman ta’zir yaitu setiap orang yang
melakukan suatu kemungkaran atau menyakiti orang lain tanpa hak (tanpa
alasan yang dibenarkan) baik dengan ucapan, perbuatan atau isyarat, baik
korbannya adalah seorang muslim maupun orang kafir. 15
Sedangkan ruang lingkup dalam ta’zir yaitu sebagai berikut:16
1. Jarimah hudud atau qisas diyat yang terdapat syubhat dialihkan kesanksi
ta’zir.
2. Jarimah hudud atau qisas diyat yang tidak memenuhi syarat akandijatuhi
sanksi ta’zir. Contohnya percobaan pencurian, percobaan pembunuhan
13
Ahmad Djazuli, Fiqh Jinayah..., 174
14
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam..., 531.
15
Ibid., 532.
16
27
dan percobaan zina.
3. Jarimah yang ditentukan Al-Quran dan Hadis, namun tidak
ditentukansanksinya. Misalnya penghinaan, tidak melaksanakan
amanah, saksi palsu, riba, suap, dan pembalakan liar.
4. Jarimah yang ditentukan ulil amri untuk kemaslahatan umat,
sepertipenipuan, pencopetan, pornografi dan pornoaksi, penyelundupan,
pembajakan, human trafficking, dan sebagainya.
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur yang
ada dalam jarimah ta’zir adalah setiap bentuk kejahatan (maksiat) yang tidak
ada ancaman hukuman h}ad dan kewajiban membayar kafarat di dalamnya,
perbuatan jarimah hudud atau qisas yang unsurnya tidak terpenuhi, dan
melakukan suatu kemungkaran atau menyakiti orang lain tanpa hak
(meresahkan masyarakat umum).
C. Macam-Macam JarimahTa’zir
Dalam uraian sebelumnya telah dijelaskan bahwa dilihat dari hak
yang dilanggar dalam jarimah ta’zir ada dua bagian, yaitu jarimah ta’zir
yang terkait hak Allah dan jarimah ta’zir yang terkait hak individu (adami).
Hal yang dimaksud dengan kejahatan yang berkaitan dengan hak
Allah adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan kemaslahatan umum.
Seperti membuat kerusakan di muka bumi, perampokan, pencurian,
28
dimaksud dengan kejahatan yang berkaitan dengan hak individu adalah
segala sesuatu yang mengancam kemaslahatan bagi seorang manusia,
seperti tidak membayar utang dan penghinaan.17
Akan tetapi, ada ulama yang membagi kedua jarimah ini menjadi
dua bagian lagi, yakni jarimah yang berkaitan dengan campur antara hak
Allah dan hak individu di mana yang dominan adalah hak Allah, seperti
menuduh zina.Dan campur antara hak Allah dan hak individu di mana yang
dominan adalah hak individu, seperti jarimah pelukaan.
Dari segi sifatnya, jarimah ta’zir dapat dibagi menjadi tiga
bagian,yaitu:18
1. Ta’zir karena melakukan perbuatan maksiat.
2. Ta’zir karena melakukan perbuatan yang membahayakankepentingan
umum.
3. Ta’zir karena melakukan pelanggaran.
Jika dilihat dari segi dasar hukum (penetapannya), ta’zir juga
dapatdibagi kepada tiga bagian, yaitu sebagai berikut:
1. Jarimah ta’zir yang berasal dari jarimah-jarimah hudud atau qisas, tetapi
syarat-syaratnya tidak terpenuhi, atau ada syubhat, seperti pencurian
yang tidak mencapai nisab, atau oleh keluarga sendiri.
2. Jarimah ta’zir yang jenisnya disebutkan dalam nas shara’
tetapihukumannya belum ditetapkan, seperti riba, suap, mengurangi
takaran dan timbangan.
17
Ahmad Djazuli, Fiqh Jinayah..., 166.
18
29
3. Jarimah ta’zir yang baik jenis maupun sanksinya belum ditentukanoleh
shara’. Jenis ketiga ini sepenuhnya diserahkan kepada ulil amri, seperti
pelanggaran disiplin pegawai pemerintah.
Adapun Abdul Aziz Amir membagi jarimah ta’zir secara rinci
kepadabeberapa bagian, yaitu:
1. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan pembunuhan
Dalam jarimah pembunuhan itu diancam dengan hukuman mati,
dan bila qisasnya dimaafkan maka hukumannya adalah diyat dan bila
qisas dan diyatnya dimaafkan maka ulil amri berhak menjatuhkan ta’zir
bila hal itu dipandang lebih maslahat.19
Masalah lain yang diancam dengan ta’zir adalah percobaan
pembunuhan, bila percobaan tersebut dapat dikategorikan ke dalam
perbuatan maksiat. Meskipun demikian, para ulama berbeda pendapat
tentang ketentuan ta’zirnya. Imam Malik dan Imam Al-laits
berpendapat bahwa bila dalam kasus si pembunuh dimaafkan, maka
sanksinya adalah jilid seratus kali dan dipenjara selama satu tahun.Itulah
pendapat ahli Madinah yang berdasarkan riwayat dari Umar.20
Pendapat yang mengatakan adanya ta’zir kepada pembunuh
sengaja yang dimaafkan dari qisas dan diyat adalah aturan yang baik dan
membawa kemaslahatan. Karena pembunuhan itu tidak hanya
melanggar hak individu, melainkan juga melanggar hak masyarakat,
maka ta’zir itulah sebagai sanksi hak masyarakat. Jadi, sanksi
19
Ibid., 256
20
30
ta’zirdapat dijatuhkan terhadap pembunuh di mana sanksi qisas tidak
dapat dilaksanakan karena tidak memenuhi syarat.
2. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan pelukaan
Menurut Imam Malik, hukuman ta’zir dapat digabungkan dengan
qisas dalam jarimah pelukaan, karena qisas merupakan hak adami
(individu), sedangkan ta’zir sebagai imbalan atas hakmasyarakat. Di
samping itu ta’zir juga dapat dikenakan terhadap jarimah pelukaan
apabila qisasnya dimaafkan atau tidak bisadilaksanakan karena suatu
sebab yang dibenarkan oleh shara’.21
Menurut mazhab Hanafi, Syafi’i, dan Hambali, ta’zir juga dapat
dijatuhkan terhadap orang yang melakukan jarimah pelukaan dengan
berulang-ulang (residivis), di samping dikenakan hukuman qisas.
3. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan kejahatan terhadap kehormatandan
kerusakan akhlak.
Berkenaan dengan jarimah ini yang terpenting adalah zina,
menuduh zina dan menghina orang. Di antara kasus perzinaan yang
diancam dengan ta’zir adalah perzinaan yang tidak memenuhi syarat
untuk dapat dijatuhi hukuman had, atau terdapat syubhat dalam
pelakunya, perbuatannya atau tempatnya atau menzinai orang yang
telah meninggal.22
Termasuk jarimah ta’zir adalah percobaan
perzinaan/pemerkosaan dan perbuatan yang mendekati zina, seperti
21
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana..., 256.
22
31
mencium dan meraba-raba, meskipun demikian dengan tidak ada
paksaan karena hukum Islam tidak memandangnya sebagai pelanggaran
terhadap hak individu.Akan tetapi juga, hal itu dipandang sebagai
pelanggaran terhadap hak masyarakat, jelasnya bukan delik aduan,
melainkan delik biasa.23
Sedangkan penuduhan zina yang dikategorikan kepada ta’zir
adalah apabila orang yang dituduh itu bukan orang muhsan. Kriteria
muhsan menurut para ulama adalah berakal, balig, Islam, dan iffah
(bersih) dari zina. Dan termasuk juga kepada ta’zir yaitupenuduhan
terhadap sekelompok orang yang sedang berkumpul dengan tuduhan
zina, tanpa menjelaskan orang yang dimaksud. Demikian pula tuduhan
dengan kinayah (sindiran), menurut pendapat Imam Abu Hanifah
termasuk kepada ta’zir, bukan hudud.24
4. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan harta
Jarimah yang berkaitan dengan harta adalah jarimah pencurian
dan perampokan. Apabila kedua jarimah tersebut syarat-syaratnya telah
dipenuhi maka pelaku dikenakan hukuman had. Namun, apabila syarat
untuk dikenakannya hukuman had tidak terpenuhi maka pelaku tidak
dikenakan hukuman had, melainkan hukuman ta’zir. Jarimah yang
termasuk jenis ini antara lain seperti percobaan pencurian, pencopetan,
pencurian yang tidak mencapai batas nisab, melakukan penggelapan dan
perjudian. Termasuk pencurian karena adanya syubhat, seperti pencurian
23
Ibid., 181.
24
32
oleh keluarga dekat.25
Kasus perampokan dan gangguan keamanan yang tidak
memenuhi persyaratan hirabah juga termasuk jarimah ta’zir, ada pula
jarimah ta’zir yang berupa gangguan atas stabilitas umat, seperti
percobaan memecah belah umat, subversi, dan tidak taat kepada
pemerintah.26
5. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan kemaslahatan individu
Jarimah ta’zir yang termasuk dalam kelompok ini, antaralain
seperti saksi palsu, berbohong (tidak memberikan keterangan yang
benar) di depan sidang pengadilan, menyakiti hewan, melanggar hak
privacy orang lain (misalnya masuk rumah orang lain tanpa izin).27
6. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan keamanan umum
Jarimah ta’zir yang termasuk dalam kelompok ini adalahsebagai
berikut:28
a. Jarimah yang mengganggu keamanan negara/pemerintah,seperti
spionase dan percobaan kudeta.
b. Suap.
c. Tindakan melampaui batas dari pegawai/pejabat atau lalaidalam
menjalankan kewajiban, contohnya seperti penolakan hakim
untuk mengadili suatu perkara, atau kesewenang-wenangan
hakim dalam memutuskan perkara.
25
Ibid, 45.
26
Ahmad Djazuli, Fiqh Jinayah..., 184.
27
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana..., 257.
33
d. Pelayanan yang buruk dari aparatur pemerintah terhadap
masyarakat.
e. Melawan petugas pemerintah dan membangkang terhadap
peraturan, seperti melawan petugas pajak, penghinaan terhadap
pengadilan, dan menganiaya polisi.
f. Melepaskan narapidana dan menyembunyikan buronan
(penjahat).
g. Pemalsuan tanda tangan dan stempel.
h. Kejahatan yang berkaitan dengan ekonomi, seperti penimbunan
bahan-bahan pokok, mengurangi timbangan dan takaran, dan
menaikkan harga dengan semena-mena.
D. Hukuman Jarimah Ta’zir
Tujuan dari hukuman ta’zir atau sanksi ta’zir ialah sebagai
preventif (sanksi ta’zir harus memberikan dampak positif bagi orang lain
agar tidak melakukan kejahatan yang sama dengan terhukum) dan represif
(sanksi ta’zir harus memberikan dampak positif bagi si terhukum sebagai
efek jera agar tidak mengulangi perbuatannya), serta kuratif (sanksi ta’zir
membawa perbaikan sikap dan perilaku pada si terhukum) dan edukatif
(yaitu sanksi ta’zir memberikan dampak bagi terhukum untuk mengubah
pola hidupnyauntuk menjauhi perbuatan maksiat karena tidak senang
terhadap kejahatan).29
Adapun macam-macam hukuman ta’zir cukup beragam, di
29
34
antaranya adalah: Pertama sanksi ta’zir yang mengenai badan. Hukuman
yang terpenting dalam hal ini adalah hukuman mati dan jilid; Kedua sanksi
yang berkaitan dengan kemerdekaan seseorang, sanksi yang terpenting
dalam hal ini adalah penjara dengan berbagai macamnya dan pengasingan;
Ketiga sanksi ta’zir yang berkaitan dengan harta. Dalam hal ini yang
terpenting di antaranya adalah denda, penyitaan/perampasan dan
penghancuran barang; Keempat sanksi-sanksi lainnya yang ditentukan oleh
ulil amri demi kemaslahatan.
1. Hukuman ta’zir yang berkaitan dengan badan, yaitu:
a. Hukuman mati
Dalam jarimah ta’zir, hukuman mati diterapkan oleh para
fukaha secara beragam. Hanafiyah membolehkan kepada ulilamri
untuk menerapkan hukuman mati sebagai ta’zir dalam
jarimah-jarimah yang jenisnya diancam dengan hukuman matiapabila jarimah-jarimah
tersebut berulang-ulang. Contohnya pencurian yang berulang-ulang
dan menghina Nabi Muhammad beberapa kali yang dilakukan oleh
kafir dhimmi walaupun setelah itu ia masuk Islam.30
Selanjutnya kalangan Malikiyah dan sebagian Hanabilah juga
membolehkan hukuman mati sebagai sanksi ta’zir tertinggi. Sanksi
ini diberlakukan bagi mata-mata (perbuatan spionase) dan orang yang
melakukan kerusakan di muka bumi. Demikian juga dengan
Syafi’iyah yang membolehkan hukuman mati, dalam kasus
30
35
homoseks. Selain itu hukuman mati juga boleh diberlakukan dalam
kasus penyebaran aliran-aliran sesat yang menyimpang dari Al-Quran
dan Sunnah.31
Adapun para fukaha juga mengatakan bahwa imam (ulilamri)
bisa mengambil kebijakan dengan menjatuhkan hukumanmati
terhadap seorang pencuri yang berulang kali melakukan kejahatan
pencurian (residivis) dan orang yang berulang kali melakukan
kejahatan pencekikan, karena ia berarti orang yang berbuat kerusakan
di muka bumi. Begitu juga dengan setiap orang yang ancaman
kejahatan dan kejelekannya tidak dapat dicegah kecuali dibunuh,
maka ia boleh dihukum mati sebagai suatu kebijakan.32
Wahbah az-Zuhaili menyimpulkan bahwa boleh mengambil
langkah kebijakan hukum dengan menjatuhkan hukuman mati
terhadap para residivis, pecandu minuman keras,orang-orang yang
mempropagandakan kerusakan dan kejelekan, penjahat keamanan
negara dan lain sebagainya.33
Sedangkan pendapat yang membolehkan hukuman mati
sebagai sanksi ta’zir tertinggi memiliki beberapa syarat-syarat yang
harus dipenuhi, yaitu:34
1) Bila si terhukum adalah residivis, yang hukuman-hukuman
sebelumnya tidak memberi dampak apa-apa baginya.
31
Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah..., 147.
36
2) Harus dipertimbangkan dengan sebaik-baiknya dampak
kemaslahatan bagi masyarakat serta pencegahan kerusakan
yang menyebar di muka bumi.
Kesimpulannya menurut para ulama hukuman mati ituhanya
diberikan bagi pelaku jarimah yang berbahaya sekali, yang berkaitan
dengan jiwa, keamanan, dan ketertiban masyarakat atau bila sanksi
hudud tidak lagi memberi pengaruh baginya.
b. Hukuman jilid (dera)
Hukuman cambuk jilid (dera) cukup efektif dalam
memberikan efek jera terhadap pelaku jarimah ta’zir. Hukuman ini
dalam jarimah hudud telah jelas jumlahnya bagi pelaku jarimah zina
ghairu muhsan (zina yang dilakukan oleh orangyang belum menikah)
dan jarimah qadhaf (menuduh orang berzina). Namun dalam jarimah
ta’zir, hakim diberikan kewenangan untuk menetapkan jumlah
cambukan disesuaikan dengan kondisi pelaku, situasi, dan tempat
kejahatan.35
Hukuman ini dikatakan efektif karena memiliki beberapa
keistimewaan dibandingkan hukuman lainnya, yaitu:36
1) Lebih menjerakan dan lebih memiliki daya represif, karena
dirasakan langsung secara fisik.
2) Bersifat fleksibel. Setiap jarimah memiliki jumlah cambukan
yang berbeda-beda.
35
Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah..., 149.
36
37
3) Berbiaya rendah. Tidak memerlukan dana besar dan
penerapannya sangat praktis.
4) Lebih murni dalam menerapkan prinsip bahwa sanksi ini
bersifat pribadi dan tidak sampai menelantarkan keluarga
terhukum. Apabila sanksi ini sudah dilaksanakan, terhukum
dapat langsung dilepaskan dan dapat beraktivitas seperti
biasanya.
Adapun cara pelaksanaan hukuman jilid masih diperselisihkan
oleh para fukaha. Menurut Hanafiyah, jilid sebagai ta’zir harus
dicambukkan lebih keras daripada jilid dalam h}adagar dengan ta’zir
orang yang terhukum akan menjadi jera disamping karena jumlahnya
lebih sedikit daripada dalam had. Alasan yang lain adalah bahwa
semakin keras cambukan itu semakin menjerakan. Akan tetapi, ulama
selain Hanafiyah menyamakan sifat jilid dalam ta’zir dengan sifat
jilid dalam hudud.37
Menurut para fukaha contoh-contoh maksiat yang dikenai
sanksi ta’zir dengan jilid adalah:38
1) Pemalsuan stempel baitul mal pada zaman Umar bin
Khathab.
2) Percobaan perzinaan.
3) Pencuri yang tidak mencapai nisab (menurut al-Mawardi).
4) Kerusakan akhlak.
37
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana..., 260.
38
38
5) Orang yang membantu perampokan.
6) Jarimah-jarimah yang diancam dengan jilid sebagai had,
tetapi padanya terdapat syubhat.
7) Ulama Hanafiyah membagi stratifikasi manusia dalam
kaitannya dengan ta’zir menjadi empat bagian, yaitu:
a) Ashraf al-Ashraf (orang yang paling mulia);
b) Al-Ashrat (mulia);
c) Al-Ausat (pertengahan); dan Al-Suflah (para pekerja
kasar).
Para fukaha berbeda pendapat tentang jumlah maksimal jilid yang
dibenarkan dalam ta’zir. Menurut mazhab Imam Syafi’i, jumlah maksimal
jilid untuk orang merdeka ialah 39 kali cambukan, agar jumlah cambukan
tersebut lebih sedikit daripada kasus meminum minuman keras. Sedangkan
untuk budak sebanyak 20 kali cambukan.39
Abu Hanifah berpendapat jumlah maksimal pada orang merdeka
dan budak ialah 39 kali cambukan.Menurut Abu Yusuf jumlah maksimal
pemukulan ialah 75 kali cambukan.Sedangkan Imam Malik berpendapat
jumlah maksimal tidak ada batasnya, dan jumlahnya diperbolehkan
melebihi jumlah pemukulan pada hudud.40
Adapun alasan ulama Malikiyah membolehkan sanksi ta’zir dengan
di jilid melebihi had selama mengandungkemaslahatan yaitu mereka
berpedoman terhadap putusan Umar bin Khathab yang mencambuk Ma’an
39
Imam Al-Mawardi, Al-Ahkam..., 392.
40
39
bin Zaidah 100 kali karena memalsukan stempel baitul mal.41
Kemudian pendapat ulama mengenai jumlah minimal cambukan
dalam jarimah ta’zir adalah sebagai berikut:42
1) Ulama Hanafiyah. Batas terendah ta’zir harus mampu memberi
dampak preventif dan represif.
2) Batas terendah satu kali cambukan.
3) Ibnu Qudamah. Batas terendah tidak dapat ditentukan,
diserahkan kepada ijtihad hakim sesuai tindak pidana, pelaku,
waktu, dan pelaksanaannya.
4) Pendapat Ibnu Qudamah lebih baik, tetapi perlu tambahan
ketetapan hakim, tidak ada lagi perbedaan pendapat.
Menurut Djazuli sesungguhnya sanksi jilid terhadappelaku
jarimah ta’zir masih diberlakukan di beberapa negara sampai sekarang, baik
secara resmi maupun tidak resmi, juga waktu-waktu tertentu seperti
peperangan. Hal ini menunjukkan bahwa sanksi badan berupa jilid itu masih
diakui efektivitasnya untuk menjadikan terhukum jera.43
2. Sanksi ta’zir yang berkaitan dengan kemerdekaan seseorang
Dalam sanksi jenis ini yang terpenting ada dua, yaitu hukuman
penjara dan hukuman buang (pengasingan).
a. Hukuman Penjara
Dalam bahasa Arab ada dua istilah untuk hukuman penjara,
41
Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah..., 150.
42
Ibid., 151.
43
40
yaitu al-habsu dan al-sijnu yang keduanya bermakna al-man’u,
yaitu mencegah; menahan. Menurut Ibnu Al-Qayyim, al-habsu
adalah menahan seseorang untuk tidak melakukan perbuatan yang
melanggar hukum, baik itu di rumah, masjid, maupun tempat lain.
Demikianlah yang dimaksud dengan al-habsu di masa Nabi dan
Abu Bakar. Akan tetapi setelah wilayah Islam bertambah luas pada
masa pemerintahan Umar, ia membeli rumah Syafwan bin
Umayyah dengan harga 4.000 dirham untuk dijadikan penjara.44
Hukuman penjara ini dapat merupakan hukuman pokok dan
bisa juga sebagai hukuman tambahan dalam ta’zir yakni apabila
hukuman pokok yang berupa jilid tidak membawa dampak bagi
terhukum.45
Alasan memperbolehkan hukuman penjara sebagai ta’zir
ialah karena Nabi Muhammad SAW pernahmemenjarakan
beberapa orang di Madinah dalam tuntutan pembunuhan. Juga
tindakan Khalifah Utsman yang pernah memenjarakan Dhabi’ ibn
Al-Harits, salah satu pencuri dari Bani Tamim, sampai ia mati
dipenjara. Demikian pula Khalifah Ali pernah memenjarakan
Abdullah ibn Az-Zubair di Mekah, ketika ia menolak untuk
membaiat Ali.46
b. Hukuman buang (pengasingan)
44
Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah..., 152.
45
Ahmad Djazuli, Fiqh Jinayah..., 206
46
41
Dasar hukuman buang adalah firman Allah surah Al-Maidah ayat
33 yaitu:
ۡمِهيِدۡي
َ
أ َع َطَقُت ۡو
َ
أ
Artinya: ... atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya)...
Meskipun ketentuan hukuman buang dalam ayat tersebut di
atas diancamkan kepada pelaku jarimah hudud, tetapi para u\lama
menerapkan hukuman buang ini dalam jarimah ta’zir juga. Antara
lain disebutkan orang yangmemalsukan Alquran dan memalsukan
stempel baitul mal, meskipun h\ukuman buang kasus kedua ini
sebagai hukuman tambahan, sedangkan hukuman pokoknya adalah
jilid.47
Hukuman pengasingan ini dijatuhkan kepada pelaku
jarimah ta’zir yang dikhawatirkan dapat memberikanpengaruh
buruk terhadap masyarakat. Dengan diasingkannya pelaku, mereka
akan terhindar dari pengaruh tersebut.48
Adapun tempat pengasingan diperselisihkan oleh para
fukaha.Menurut Imam Malik ibn Anas, pengasingan itu artinya
menjauhkan (membuang) pelaku dari negeri Islam ke negeri bukan
Islam. Menurut Umar ibn Abdul Aziz dan Sai ibn Jubayyir,
pengasingan itu artinya dibuang dari satu kota ke kota yang lain.
Menurut Imam Abu Hanifah dan satu pendapat dari Imam Malik,
47
Ibid., 209.
48
42
pengasingan itu artinya dipenjarakan.49
Sedangkan lama pembuangan (pengasingan) menurut Imam
Abu Hanifah adalah satu tahun, menurut Imam Malik bisa lebih
dari satu tahun, menurut sebagian Syafi’iyah dan Hanabilah tidak
boleh melebihi satu tahun dan menurut sebagian Syafi’iyah dan
Hanabilah yang lain bila hukuman buang itu sebagai ta’zir maka
boleh lebih dari satu tahun.
3. Sanksi ta’zir yang berupa harta
Ada beberapa ulama yang membolehkannya dan ada juga yang
tidak sepakat tentang di perbolehkannya sanksi ta’zir berupaharta.Ulama
yang membolehkannya yaitu Abu Yusuf, Imam Syafi’i, Imam Malik dan
Imam Ahmad. Sedangkan yang tidak membolehkannya yaitu imam Abu
Hanifah dan Muhammad.
Hukuman ta’zir dengan mengambil harta bukan berarti
mengambil harta pelaku untuk diri hakim atau untuk kas negara,
melainkan menahannya untuk sementara waktu. Adapun jika pelaku
tidak dapat diharapkan untuk bertaubat, hakim dapat menyerahkan harta
tersebut untuk kepentingan yang mengandung maslahat.50
Selain denda, hukuman ta’zir yang berupa harta adalah penyitaan
atau perampasan harta.Namun hukuman ini diperselisihkan oleh para
fukaha. Jumhur ulama membolehkannya apabila persyaratan untuk
mendapat jaminan atas harta tidak dipenuhi. Syarat-syarat tersebut
49
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana..., 265
50
43
adalah sebagai berikut:51
a. Harta diperoleh dengan cara yang halal.
b. Harta itu digunakan sesuai dengan fungsinya.
c. Penggunaan harta itu tidak mengganggu hak orang lain.
Apabila persyaratan di atas tidak terpenuhi, misalnya harta
didapat dengan jalan yang tidak halal, atau tidak digunakan sesuai
dengan fungsinya maka dalam keadaan demikian ulil amri berhak untuk
menerapkan hukuman ta’zir berupa penyitaan atau perampasan sebagai
sanksi terhadap perbuatan yang dilakukan oleh pelaku.
51
BAB III
PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN PN. BALE BANDUNG No.130/Pid.sus/2015/PN.BLB TENTANG TINDAK PIDANA MELANGGAR
BAKU MUTU AIR LIMBAH
A. Deskripsi Kasus dan Landasan Hukum
Dalam putusan No. 130/Pid.sus/2015/PN.BLB tentang tindak
pidana melanggar baku mutu air limbah telah di ketahui bahwa identitas
terdakwa ialah Herawan Koswara yang merupakan direktur dari PT. Daya
Pratama Lestari (DPL) yang berkedudukan di Jalan Industri II Nomor 29
Batujajar Padalarang Kabupaten Bandung Barat Provinsi Jawa Barat dan
termasuk ke dalam wilayah hukum Pengadilan Negeri Bale Bandung, PT.
Daya Pratama Lestari (DPL) bergerak dalam bidang usaha industri tekstil
yang memproduksi kain tekstil dengan jenis Polyster yang beroperasi
sejak tahun 2000.1
Dalam hal ini terdakwa Herawan Koswara, selaku direktur PT. Daya
Pratama Lestari (DPL) di persidangan di dampingi oleh penasihat
hukumnya yaitu : Maman Budiman, SH.MH, Diar Purbayu Basyari, SE,
SH.MH, Tigor Partede, SH, Rosa Tejabuana, SH.MH, Asep Saepudin, SH,
Hendi Noviandi, SH, Yudi Kosasih, Ssy.MH, dan M. Adli Hakim, SH dan
1
45
rekan, yang beralamat Kantor di Jl. Terusan Buah Batu No. 275 C
Bandung, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 16 Pebruari 2015.
Bahwa sebelumnya terdakwa Herawan Koswara selaku direktur PT.
Daya Pratama Lestari (DPL) diajukan oleh Jaksa/Penuntut Umum, karena
bahwa dengan adanya bukti berupa temuan penyidik pada tanggal 16
Januari 2014, 19 Pebruari 2014, dan 25 Maret 2014, serta didukung bukti
laboratorium dari UPT Lab Lingkungan Kabupaten Bandung dan temuan
BPLHD Jawa Barat, mulai tanggal 23 April, 11 Juni 2012, 21 Nopember
2012, 28 Januari 2014, dan 16 September 2014, dengan hasil pengawasan
secara umum PT. Daya Pratama Lestari (DPL) tidak melakukan
pengelolaan lingkungan dengan baik terutama pada pengelolaan limbah
cair. Beserta itu bahwa PT. Daya Pratama Lestari (DPL) telah melakukan
pelanggaran antara lain membuang limbah cair ke media lingkungan tanpa
melakukan pengolahan, tidak melakukan optimialisasi IPAL sehingga
kualitas air limbah diatas baku mutu, saluran air limbah dan ruang boiler
bersatu dengan saluran drainase kondisi TPS limbah B3 tidak memenuhi
persyaratan yang berlaku dan tida ada perlengkapan sarana dan prasarana.
Selama kurung waktu yang lama perusahaan tersebut membuang air
limbah tanpa pengelolaan ke Sungai Citarum dalam debit yang cukup
besar kira-kira 45.000 m3/bulan, dan pembuangan limbah cair ini menurut
dari para peneliti, jumlah ini cukup berkontribusi menambah beban