• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP HUKUMAN BAGI PELAKU TINDAK PIDANA MELANGGAR BAKU MUTU AIR LIMBAH (STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI BALE BANDUNG NO.130/PID.SUS/2015/PN.BLB).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP HUKUMAN BAGI PELAKU TINDAK PIDANA MELANGGAR BAKU MUTU AIR LIMBAH (STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI BALE BANDUNG NO.130/PID.SUS/2015/PN.BLB)."

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP HUKUMAN BAGI

PELAKU TINDAK PIDANA MELANGGAR BAKU MUTU AIR LIMBAH

(Studi Putusan Pengadilan Negeri Bale Bandung No.130/Pid.sus/2015/PN.BLB)

SKRIPSI Oleh:

Moch. Catur Dody Liyanto C03212048

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syariah dan Hukum Jurusan Hukum Publik Islam

Prodi Hukum Pidana Islam Surabaya

(2)

ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP HUKUMAN BAGI

PELAKU TINDAK PIDANA MELANGGAR BAKU MUTU AIR LIMBAH

(Studi Putusan Pengadilan Negeri Bale Bandung No.130/Pid.sus/2015/PN.BLB)

SKRIPSI Diajukan kepada

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu

Syariah dan Hukum

Oleh

Moch. Catur Dody Liyanto C03212048

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syariah dan Hukum Jurusan Hukum Publik Islam

Prodi Hukum Pidana Islam Surabaya

(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

ABSTRAK

Skripsi ini adalah hasil penelitian studi kasus dengan judul “Analisis Hukum Pidana Islam Terhadap Hukuman bagi Pelaku Tindak Pidana Melanggar Baku Mutu Air Limbah (Studi Putusan Pengadilan Negeri Bale

Bandung No.130/Pid.sus/2015/PN.BLB)” yang bertujuan untuk menjawab pertanyaan: Bagaimana hukuman bagi pelaku tindak pidana melanggar baku mutu air limbah dalam putusan PN. Bale Bandung No.130/Pid.sus/2015/PN.BLB dan bagaimana analisis hukum pidana islam terhadap hukuman bagi pelku tindak pidana melanggar baku mutu air limbah dalam putusan PN. Bale Bandung No.130/Pid.sus/2015/PN.BLB?

Data ini dihimpun dengan mempelajari dokumen, berkas-berkas perkara dan bahan pustaka, yang selanjutnya diolah dengan beberapa tahap yaitu Editing: Melakukan pemeriksaan kembali terhadap data-data yang diperoleh secara cermat baik dari sumber primer atau sumber kunder, Organizing: Menyusun data secara sistematis, dan Analizing: Tahapan analisis terhadap data dengan menggunakan metode deskriptif-analisis dan pola pikir deduktif.

Hasil studi ini adalah dasar hukum yang digunakan sebagai pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi kepadda pelaku tindak pidana melanggar baku mutu air limbah adalah tuntutan Jaksa/Penuntut Umum dengan Pasal 100 jo Pasal 116 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pidana penjara 6 (bulan) masa percobaan 1 (satu) tahun dan denda sebesar Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) dirasa kurang memberikan efek jera kepada pelaku untuk mengulangi perbuatannya di masa mendatang seperti yang menjadi tujuan dari hukuman ta’zir dalam hukum pidana Islam. Dalam hukum pidan Islam tindak pidana melanggar baku mutu air limbah yang dilakukan oleh terdakwa termasuk dalam kategori jarimah ta’zir karena tidak ada ketentuan nash mengenai tindak pidana ini. Hakim dalam hal ini diberi kewenangan untuk menjatuhkan hukuman bagi pelaku jarimah ta’zir.

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TRANSLITERASI ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A.Latar Belakang Masalah ... 1

B.Indentifikasi dan Batasan Masalah ... 10

C.Rumusan Masalah ... 11

D.Tujuan Penelitian ... 11

E.Kegunaan Hasil Penelitian ... 12

F. Kajian Pustaka ... 12

G.Definisi Operasional ... 15

H. Metode Penelitian ... 16

I. Sistematika Pembahasan ... 19

BAB II JARIMAH TA’ZIR DALAM HUKUM PIDANA ISLAM ... 21

A.Pengertian Jarimah Ta’zir... 21

(9)

C.Macam-macam Jarimah Ta’zir ... 27

D.Hukuman Jarimah Ta’zir ... 33

BAB III PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN PN. BALE BANDUNG No. 130/Pid.Sus/PN.BLB TENTANG TINDAK PIDANA MELANGGAR BAKU MUTU AIR LIMBAH ... 44

A.Deskripsi Kasus dan Landasan Hukum ... 44

B.Keterangan Saksi-saksi, Saksi Ahli, Terdakwa dan Barang Bukti ... 49

C.Pertimbangan Hakim PN Bale Bandung terhadap tindak Pidana Melanggar Baku Mutu Air Limbah ... 59

D.Hal-hal yang memberatkan dan meringankan ... 63

E.Putusan Hakim PN Bale Bandung No.130/Pid.Sus/2015/PN.BLB ... 64

BAB IV ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM PENGADILAN NEGERI BALE BANDUNG DALAM PUTUSAN No. 130/Pid.Sus/2015/PN.BLB TENTANG TINDAK PIDANA MELANGGAR BAKU MUTU AIR LIMBAH PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM ... 67

A.Pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Bale Bandung dalam Putusan No. 130/Pid.Sus/2015/PN.BLB tentang Tidak Pidana Melanggar Baku Mutu Air Limbah ... 67

B.Analisis Hukum Pidana Islam terhadap Pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Bale Bandung dalam Putusan No. 130/Pid.Sus/2015/PN.BLB tentang Tindak Pidana Melanggar Baku Mutu Air Limbah ... 73

BAB V PENUTUP ... 80

A.Kesimpulan ... 80

B.Saran ... 81

(10)

LAMPIRAN ... 85

(11)

BAB I

ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP HUKUMAN BAGI PELAKU TINDAK PIDANA MELANGGAR BAKU MUTU AIR LIMBAH

(Studi Putusan PN. Bale Bandung No. 130/Pid.sus/2015/PN.BLB)

A. Latar Belakang Masalah

Negara Indonesia memanjang dari Barat ke Timur dengan panjang ±

5.140 kilometer dan lebar dari Utara ke Selatan ± 1.949 kilometer. Secara

astronomi, Indonesia terletak antara 06016’ 20’ LU – 11016’ 00’ LS dan 940

46’ 00’ BB – 1410 00’ 00 BT dengan luas 17.027.087 kilometer persegi

dengan garis pantai ± 80.791 kilometer dan luas wilayah perairan ±

3.166.163 kilometer persegi.1

Karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada Bangsa Indonesia,

pegunungan yang sejuk karena ditumbuhi pepohonan, sungai yang bersih

mengalir dari pegunungan ke kota, pantai yang indah dan luas,

binatang-binatang di hutan, burung-burung berkicau pada pagi hari, ikan di sungai dan

di laut, pertambangan-pertambangan minyak, emas, perak, tembaga, batu

bara dan lain-lain. Matahari sepanjang tahun terbit pada pagi hari, terbenam

sore hari, semua karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada Bangsa Indonesia.

1

(12)

2

Karunia tersebut agar dapat dinikmati generasi mendatang maka harus

dilestarikan, harus dipertahankan atau ditingkatkan.2

Namun, saat ini keadaan sudah sangat berubah. Pembuangan limbah

cair industri yang dilakukan secara besar-besaran terutama di daerah

perkotaan, baik yang terjadi di negara berkembang maupun di negara maju

telah merubah cara pandang masyarakat mengenai lingkungan. Mereka

menganggap lingkungan sebagai sesuatu yang harus dikotori dan dipandang

sebelah mata. Hal ini berakibat ketidaksuaian pada fungsi lingkungan, yaitu

fungsi daya dukung, daya tampung, dan daya lenting. Seringkali

pembuangan limbah hanya memperhitungkan cost benefit ratio tanpa

memperhitungkan social cost dan ecological cost.

Mayoritas pengembang hanya menganggap lingkungan sebagai

benda bebas (res nullius) yang digunakan sepenuhnya untuk mendapatkan

laba yang sebesar-besarnya dalam waktu yang relatif singkat, yang berakibat

terganggunya fungsi lingkungan hidup.3

Dampak negatif dari menurunnya kualitas lingkungan hidup baik

karena terjadinya pencemaran atau terkurasnya sumber daya alam adalah

2

Ibid, 7.

3

(13)

3

timbulnya ancaman terhadap kesehatan, menurunnya nilai estetika, kerugian

ekonomi (economic cost), dan terganggunya sistem alami (natural system).4

Lingkungan hidup pada prinsipnya merupakan suatu sistem yang

saling berhubungan satu dengan yang lainnya sehingga pengertian

lingkungan hidup mencakup semua unsur ciptaan Tuhan yang Maha Kuasa

di bumi ini. Itulah sebabnya lingkungan hidup termasuk manusia dan

perilakunya merupakan unsur lingkungan hidup yang sangat menentukan.

Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa lingkungan saat ini oleh

sebagian kalangan dianggap tidak bernilai karena lingkungan hidup (alam)

hanya sebuah benda yang diperuntukkan bagi manusia. Dengan kata lain,

manusia merupakan penguasa dari lingkungan hidup sehingga lingkungan

hidup hanya dipresepsikan sebagai objek dan bukan sebagai subjek.5

Akhir-akhir ini pencemaran lingkungan merupakan suatu isu global

disamping isu demokrasi dan Hak Asasi Manusia. Di antara isu tersebut

pencemaran lingkungan merupakan isu yang paling terkristalisasi. Di

Indonesia, tata kehidupan yang berwawasan lingkungan sebenarnya telah

diamanatkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun

2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,

(selanjutnya penulis akan singkat menjadi UU RI No. 32 Tahun 2009), BAB

I Pasal 1 Ayat (2) yang berbunyi: Perlindungan dan pengelolaan lingkungan

4

Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia Edisi Pertama,Cetakan Keempat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), 3.

5

(14)

4

hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan

fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan atau

kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan,

pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.6

Krisis lingkungan di dunia tengah terjadi, degradasi lingkungan

tengah dirasakan semakin memburuk dan terpuruk dalam dekade terakhir.

Kerusakan hutan, Pemanasan global, kepunahan jenis, kekeringan yang

panjang, kelangkaan air bersih, pencemaran lingkungan dan polusi udara,

serta ancaman senjata biologis, merupakan sederet permasalahan lingkungan

di dunia yang bisa menghancurkan peradaban umat manusia dan makhluk di

muka bumi ini. Oleh karenanya perlu adanya upaya baik pemikiran ataupun

tidakan yang dapat mengatasi krisis tersebut.

Makin banyak berita-berita mengenai pencemaran lingkungan hidup

salah satunya sungai dari limbah cair industri dari hari-kehari. Pencemaran

sungai ini terjadi dimana-mana. Krisis air juga terjadi di hampir seluruh

dunia salah satunya Indonesia yang berada di Pulau Jawa, Pulau Sumatera,

terutama di kota-kota besar akibat pencemaran limbah cair industri, rumah

tangga, ataupun pertanian.

Pencemaran sungai di banyak wilayah di Indonesia telah

mengakibatkan terjadinya krisis air bersih. Kurangnya kesadaran warga

sekitar dan pembuangan limbah cair yang tidak terkontrol oleh perusahaan

6

(15)

5

itu salah satu penyebab masalah pencemaran sungai menjadi hal yang kronis

yang semakin parah.

Kelemahan aparat penegak hukum dalam menangani isu lingkungan

hidup salah satunya sungai sertasanksi hukuman yang dinilai masih ringan

dirasakan sebagai penyebab terulangnya kasus pembuangan limbah dari

tahun ke tahun. Dari beberapa kasus pembuangan limbah yang pernah terjadi

ada beberapa perusahaan dan korporasi yang telah di meja hijaukan. Sebagai

salah satu contoh kasus yang pernah disidangkan di Pengadilan Negeri Bale

Bandung tentang tindak pidana melanggar baku mutu air limbah yang

dilakukan oleh Herawan Koswara sebagai Direktur PT. Daya Pratama

Lestari (DPL) pada tahun 2014 yang terbukti secara sah dan meyakinkan

bersalah. Tindak pidana tersebut dikategorikan sebagai tindak pidana khusus

yang berhubungan dengan pencemaran lingkungan.

Kasus ini tergolong tindak pidana karena dengan sengaja melakukan

perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku

mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. Data hasil

analisa juga menunjukkan bahwa terdapat kelalaian PT. Daya Pratama

Lestari yang berakibat kebocoran Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL)

dan dengan sengaja membuang limbah langsung tanpa melalui Instalasi

Pengolahan Air Limbah (IPAL) yang langsung keluar ke media lingkungan

atau yang disimpulkan dengan tidak melakukan pengelolaan lingkungan

(16)

6

PT. Daya Pratama Lestari membuang air limbah melebihi baku mutu ke

Sungai Citarum/Waduk Saguling. Selama kurun waktu yang lama

perusahaan tersebut dengan membuang air limbah tanpa pengolahan ke

Sungai Citarum dengan debit cukup besar kira-kira 45.000 M3/bulan.

Jumlah ini cukup berkontribusi menambah beban pencemaran Sungai

Citarum yang kapasitas dukungnya semakin berkurang. Akibat terjadinya

pencemaran tersebut berpotensi menyebabkan beberapa parameter di Sungai

Citarum/Waduk Saguling khusunya BOD5, COD, DO, Phospat, Timbal,

Khlorin Bebas, Fenol, dan Sulfida melebihi baku mutu air. Oleh karena itu

Herawan Koswara sebagai Direktur PT. Daya Pratama Lestari tersebut

dikenakan Pasal 103 Jo Pasal 116 ayat (1) huruf b, Pasal 104 Jo Pasal 116

ayat (1) huruf b, dan Pasal 100 Jo Pasal 116 ayat (1) huruf b Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan

Hidup.7

Menurut Yahya Harahap sebagaimana dikutip oleh Syahrul Mahmud

menyebutkan penegakan hukum lingkungan ini berkaitan dengan salah satu

hak asasi manusia, yaitu perlindungan setiap orang atas pencemaran

lingkungan atau environmental protection. Hal ini didasarkan pada

munculnya berbagai tuntutan hak perlindungan atas lingkungan, antara lain:8

7

Putusan Pengadilan Negeri Bale Bandung Nomor. 130/Pid.Sus/2015/PN.Bib

8

Syahrul Machmud, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia Edisi Kedua, Cetakan Pertama,

(17)

7

1. Perlindungan atas harmonisasi menyenangkan antara kegiatan

produksi dengan lingkungan manusia (encourage productive and

enjoyable harmony between man and his environment).

2. Perlindungan atas upaya pencegahan (prevent) atau melenyapkan

kerusakan (eliminate damage) terhadap lingkungan dan biosper serta

mendorong (stimulate) kesehatan dan kesejahteraan manusia.

3. Hak perlindungan atas pencemaran udara (air pollution) yang

ditimbulkan oleh pembakaran lahan, pabrik, dan kendaraan bermotor

dari gas beracun karbon monoksida (carbon monoxide) ,nitrogen

oxide dan hidro carbon, sehingga udara bebas untuk selamanya dari

pencemaran.

4. Menjamin perlindungan atas pencemaran limbah industri di darat, di

sungai, dan lautan, sehingga semua air terhindar dari segala bentuk

pencemaran limbah apapun (clean water).

Salah satu agama yang dapat memberikan landasan teologis dan

hukum bagi pelestarian lingkungan hidup adalah Islam. Berbeda dengan

agama-agama lain yang menekankan pada moral, Islam punya penekanan

yang kuat pada masalah hukum. Menurut H.A.R Gibb, Islam is a complete

system of way of life. Islam adalah sistem kehidupan yang sempurna.

Hukum Islam (syari’ah) mencakup seluruh kehidupan masyarakat muslim

dari individu sampai lingkungan hidup. Islam memiliki fleksibilitas dalam

menampung berbagai masalah kehidupan. Jantung Islam adalah al-Qur’an

(18)

8

Qur’an banyak ayat yang menyebutkan alam semesta atau lingkungan hidup

merupakan salah-satu tanda kekuasaan Allah. Alam semesta dibuat lebih

rendah dari manusia. Alam semesta diperuntukkan untuk manusia. Manusia

sebagai khalifah atau wakil Allah di muka bumi berkewajiban untuk

memakmurkan bumi. Manusia dipersilahkan mengelola alam untuk

kemaslahatan bersama.

Namun manusia juga harus memperhatikan kelestarian lingkungan

dengan tidak mengeksploitasi alam secara berlebihan yang menyebabkan

kerusakan pada lingkungan.

Dalam hukum pidana Islam terdapat tiga delik (jarimah) yaitu,

jarimah hudud, jarimah qishash diyat, dan jarimah ta’zir. Adapun yang

dimaksud dengan jarimah ta’zir adalah semua perbuatan yang berkaitan

dengan kepentingan dan kemaslahatan umum. Misalnya, membuat

kerusakan di muka bumi, pencurian yang tidak memenuhi syarat,

penimbunan bahan-bahan pokok, penyelundupan, dan lain-lain9. Hukuman

ta’zir adalah hukuman yang belum ditetapkan oleh syara’ dan diserahkan

kepada ulil al-Amri untuk menetapkannya. Hukuman ta’zir ini jenisnya

9

(19)

9

beragam, namun secara garis besar dapat dikelompokkan kepada empat

kelompok, yaitu sebagai berikut:10

1. Hukuman ta’zir yang mengenai badan, seperti hukuman mati dan jilid

(dera).

2. Hukuman yang berkaitan dengan kemerdekaan seseorang, seperti

hukuman penjara dan pengasingan.

3. Hukuman ta’zir yang berkaitan dengan harta, seperti denda,

penyitaan/peramapasan harta, dan penghancuran barang.

4. Hukuman-hukuman lain yang ditentukan oleh ulil amri demi

kemaslahatan umum.

Indonesia sebagai negara yang di dalamnya marak akan perbuatan

eksploitasi alam yang berlebihan dan tidak memperhatikan kelestariannya

dengan melakukan pembakaran lahan secara besar-besaran demi kepentingan

segelintir orang, masih banyak terdapat masyarakatnya yang belum

mengetahui bagaimana ancaman pidana bagi pelaku pembakaran lahan yang

telah diatur. Masyarakat Indonesia belum sadar bahwa krisis multidimensi

dan bencana yang datang bertubi-tubi seperti tanah longsor, banjir,

kekeringan, kebakaran hutan, dan lainnya adalah karena ulah manusia

sendiri.11

10

Ibid., 258.

11

Gufron, Rekonstruksi Paradigma Fikih Lingkungan (Analisis Problematika Ekologi di

(20)

10

Meski pada realitanya mayoritas warga Indonesia adalah beragama

Islam. Oleh karena itu perspektif hukum pidana Islam mengenai pemberian

sanksi pidana kepada pelaku perusakan lingkungan hidup juga perlu

dimasukkan dalam pembahasan ini.

Berdasarkan latar belakang yang sudah diuraikan di atas maka

penulis merasa perlu melakukan studi putusan kasus pembakaran lahan yang

terjadi di Pengadilan Negeri Bale Bandung dan mengangkatnya menjadi

sebuah skripsi yang berjudul: “Analisis Hukum Pidana Islam Terhadap

Hukuman Bagi Pelaku Tindak Pidana Melanggar Baku Mutu Air Limbah

(Studi Putusan PN. Bale Bandung No. 130/Pid.sus/2015/PN.BLB)”

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, terdapat beberapa

masalah pada penelitian ini. Adapun masalah-masalah tersebut dapat

diidentifikasi sebagaimana berikut :

1. Tindak pidana pencemaran lingkungan.

2. Sanksi tindak pidana terhadap pelaku pembakaran lahan.

3. Pertimbangan yang digunakan oleh hakim dalam putusan No.

130/Pid.sus/2015/PN.BLB terhadap tindak pidana pencemaran

(21)

11

4. Dasar hukum hakim Pengadilan Negeri Bale Bandung dalam putusan No.

130/Pid.sus/2015/PN.BLB terhadap tindak pidana pencemaran

lingkungan.

5. Analisis hukum pidana Islam terhadap tindak pidana pencemaran

lingkungan.

Berdasarkan identifikasi masalah diatas dan juga bertujuan agar

permasalahan ini dikaji dengan baik, maka penulis membatasi penulisan

karya ilmiah dengan batasan :

1. Pertimbangan hakim terhadap tindak pidana pencemaran lingkungan

dalam putusan Nomor 130/Pid.sus/2015/PN.BLB.

2. Analisis hukum pidana Islam terhadap pertimbangan hakim Pengadilan

Negeri Bale Bandung dalam tindak pidana pencemaran lingkungan.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah di atas, maka

secaralebih terperinci perumusan masalah dalam skripsi ini akan

memfokuskan pada beberapa pembahasan untuk diteliti lebih lanjut adalah

sebagai berikut :

1. Bagaimana hukuman bagi pelaku tindak pidana melanggar baku mutu air

(22)

12

2. Bagaimana analisis hukum pidana islam terhadap hukuman bagi pelaku

tindak pidana melanggar baku mutu air limbah dalam putusan PN. Bale

Bandung No. 130/Pid.sus/2015/PN.BLB ?

D. Tujuan Penelitian

Sejalan dengan rumusan masalah yang ditulis diatas, maka skripsi ini

bertujuan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui tindak pidana baku mutu limbah dalam putusan No.

130/Pid.sus/2015/PN.BLB yang menyebabkan pencemaran lingkungan.

2. Untuk mengetahui analisis hukum pidana Islam terhadap pertimbangan

hukum dalam putusan hakim tentang tindak pidana melanggar baku mutu

air limbah dalam putusan Nomor 130/Pid.sus/2015/PN.BLB di

Pengadilan Negeri Bale Bandung.

E. Kegunaan Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat

sekurang-kurangnya dalam dua aspek yaitu:

1. Aspek keilmuan (teoritis), dapat dijadikan sebagai sumbangan pemikiran

atau pedoman untuk menyusun hipotesis penulisan berikutnya bila ada

(23)

13

tentang tindak pidana pidana melanggar baku mutu air limbah yang

menyebabkan pencemaran lingkungan.

2. Aspek terapan (praktis), dapat dijadikan masyarakat khususnya para

pemerintah maupun korporasi dalam menjaga kelestarian lingkungan

agar tidak melakukan tindak pidana melanggar baku mutu air limbah

secara terus menerus.

F. Kajian Pustaka

Kajian Pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian atau

penelitian yang sudah pernah dilakukan di seputar masalah yang akan diteliti

sehingga terlihat jelas bahwa kajian yang akan dilakukan ini tidak

merupakan pengulangan atau duplikasi dari kajian atau penelitian yang telah

ada.12 Berkaitan dengan temanya adalah:

1. Skripsi Septya Sri Rezeki, Mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum

IAIN Sunan Ampel yang berjudul “Pertanggung jawaban Korporasi

terhadap Penerapan Prinsip Strict Liability dalam Kasus Kerusakan

Lingkungan Hidup menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

32 Tahun 2009 dalam Perspektif Hukum Pidana Islam”.13 Dalam skripsinya memaparkan korporasi sebagai legal person merupakan subjek

12

FakultasSyariah UIN Sunan Ampel Surabaya, Petunjuk Penulisan Skripsi (Surabaya: t.p.,2016), 8.

13

(24)

14

hukum yang dapat dipertanggung jawabkan pidananya baik sebagai

pimpinan korporasi (factual leader) maupun pemberi perintah

(instrument giver), keduanya dapat dikenakan hukuman secara

berbarengan. Badan hukum atau korporasi dapat dipertanggung

jawabkan secara pidana harus sejalan dengan strict liability. Sejalan

dengan strict liability dalam UU No 32 Tahun 2009. Septya Sri Rezeki

mengaitkan dengan unsur bersalah yakni ketidak hati-hatian dan ketidak

waspadaan dalam hukum Islam.

2. Selanjutnya skripsi M. Zahir Mashuri, mahasiswa Fakultas Syari’ah dan

Hukum IAIN Sunan Ampel Surabaya yang berjudul “Sanksi Pidana

Akibat Pencemaran Limbah Industri terhadap Air Sungai menurut

Maqasid As Syari’ah: Analisis Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup”.14 Skripsi yang ditulis oleh M. Zahir Mashuri adalah membahas tentang sanksi pidana yang harus ditegakkan untuk

menghindari adanya kegiatan pencemaran yang nantinya dapat

menimbulkan kerusakan fungsi lingkungan hidup bagi peruntukannya. Di

dalam skripsi juga dicantumkannya Maqasid As Syari’ah dalam

pembahasannya.

3. Skripsi ketiga adalah yang ditulis oleh Ahmad Imaduddin dengan judul

“Tinjauan Hukum Pidana Islam terhadap Kejahatan Korporasi dan

14

M. Zahir Mashuri, “Sanksi Pidana Akibat Pencemaran Limbah Industri terhadap Air Sungai

menurut Maqasid As Syari’ah: Analisis Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun

(25)

15

Sanksinya Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun

1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup”. Dari pembahasan skripsi yang dipaparkan oleh Ahmad Imaduddin terdapat persamaan dengan

skripsi penulis dalam hal tinjauan hukum pidana islam terhadap pelaku

tindak pidana pencemaran lingkungan, yang menjadi perbedaan adalah

apabila dalam skripsinya Ahmad Imaduddin sanksi yang dikenakan pada

pelaku berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997.

Sementara penulis lebih menekankan terhadap analisis hukum pidana

islam terhadap hukuman bagi pelaku tindak pidana melanggar baku mutu air

limbah yang dilatar belakangi oleh Putusan Pengadilan Negeri Bale Bandung

No. 130/Pid.sus/2015/PN.BLB.

G. Definisi Operasional

Untuk mempermudah pemahaman dan menghindari kesalah pahaman

terhadap masalah yang dibahas, maka perlu kiranya dijelaskan beberapa

istilah sebagai berikut:

1. Analisis Hukum Pidana Islam: Menganalisis tentang hukum syara’ yang

berkaitan dengan masalah perbuatan yang dilarang (jarimah) dan

hukumannya (uqubah), yang dimaksud dalam penelitian ini adalah

Hukum ta’zir karena berkaitan dengan tindak pidana pencemaran

(26)

16

2. Putusan Hakim pada Kasus Tindak Pidana melanggar baku mutu air

limbah. Yang dimaksud dengan putusan hakim pada kasus ini adalah

sebuah keputusan yang sudah diputuskan di Pengadilan Negeri Bale

Bandung No. 130/Pid.sus/2015/PN.BLB tentang tindak pidana melanggar

baku mutu air limbah.

Jadi maksud dari judul ini adalah untuk meneliti putusan Pengadilan

Negeri Bale Bandung No. 130/Pid.sus/2015/PN.BLB mengenai hukuman

bagi pelaku tindak pidana melanggar baku mutu air limbah yang kemudian

di analisis dengan hukum pidana Islam.

H. Metode Penelitian

1. Data yang dikumpulkan

Data yang dikumpulkan adalah data yang berkaitan dengan hukuman

bagi pelaku tindak pidana melanggar baku mutu air limbah dalam Putusan

Pengadilan Negeri Bale Bandung No. 130/Pid.sus/2015/PN.BLB.

2. Sumber Data

Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini

(27)

17

a. Sumber primer: Sumber primer dari penelitian ini adalah putusan

Pengadilan Negeri Bale Bandung No. 130/Pid.sus/2015/PN.BLB.

b. Sumber sekunder: Sumber sekunder adalah sumber yang didapat dari

sumber tidak langsung berfungsi sebagai pendukung terhadap

kelengkapan penelitian. Data yang dimaksud antara lain :

1) Djazuli, Fiqh Jinayah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997.

2) Djazuli, Kaidah Fiqh Jinayah (Asas-asas Hukum Pidana Islam),

Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004.

3) Hasbiyallah, Fiqh dan Ushul Fiqh, Bandung: PT Remaja

Rosdakarya, 2013.

4) Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar

Grafika, 2005.

5) Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam.

Yogyakarta: Logung Pustaka, 2004.

6) Abdur Rahman, Tindak Pidana dalam Syari’at Islam, Jakarta:

Rineka Cipta, 1992.

7) Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2012.

3. Teknik Pengumpulan Data

Pembahasan skripsi ini merupakan penelitian studi kasus dan

dokumentasi, maka dari itu teknik yang digunakan adalah dengan

pengumpulan data literatur, yaitu putusan dari Pengadilan Negeri Bale

(28)

18

bahasan tindak pidana pencemaran lingkungan. Bahan-bahan pustaka

yang digunakan disini adalah buku-buku yang ditulis oleh pakar atau ahli

hukum terutama dalam hukum pidana dan hukum pidana Islam.

Dokumentasi adalah teknik pengumpulan data yang tidak langsung

ditunjukkan pada subjek penelitian melalui dokumen, atau melalui berkas

yang ada. Dokumen yang diteliti adalah putusan Pengadilan Negeri Bale

Bandung tentang tindak pidana melanggar baku mutu air limbah dalam

putusan No. 130/Pid.sus/2015/PN.BLB.

4. Teknik Pengolahan Data

Data yang didapat dari dokumen dan terkumpulkan kemudian diolah,

berikut tahapan-tahapannya:

a. Editing: Melakukan pemeriksaan kembali terhadap data-data yang

diperoleh secara cermat baik dari sumber primer atau sumber

sekunder, tentang kajian hukum pidana Islam terhadap hukuman bagi

pelaku tindak pidana melanggar baku mutu air limbah dalam putusan

Pengadilan Negeri Bale Bandung No. 130/Pid.sus/2015/PN.BLB.

b. Organizing: Menyusun data secara sistematis mengenai kajian hukum

pidana Islam terhadap hukuman bagi pelaku tindak pidana melanggar

baku mutu air limbah (Studi putusan Pengadilan Negeri Bale Bandung

Nomor 130/Pid.sus/2015/PN.BLB).

c. Analizing: Tahapan analisis terhadap data, kajian hukum pidana

(29)

19

putusan Pengadilan Negeri Bale Bandung No.

130/Pid.sus/2015/PN.BLB.

5. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

deskriptif analisis dengan menggunakan pola pikir deduktif, yaitu

mendeskripsikan dalil-dalil dan data yang bersifat umum tentang tindak

pidana melanggar baku mutu air limbah kemudian ditarik kepada

permasalahan yang lebih bersifat khusus dalam putusan Pengadilan

Negeri Bale Bandung No. 130/Pid.sus/2015/PN.BLB dan relevansinya

dengan hukum pidana Islam.

I. Sistematika Pembahasan

Dalam menyusun skripsi yang berjudul “Analisis Hukum Pidana

Islam Terhadap Hukuman Bagi Pelaku Tindak Pidana Melanggar Baku

Mutu Air Limbah (Studi Putusan PN. Bale Bandung No.

130/Pid.sus/2015/PN.BLB)” diperlukan adanya suatu sistematika

pembahasan, sehingga dapat diketahui kerangka skripsiini adalah sebagai

berikut:

Bab pertama berisi pendahuluan, merupakan gambaran umum yang

(30)

20

danBatasan Masalah, Rumusan Masalah, Kajian Pustaka, Tujuan

Penelitian, Kegunaan Hasil Penelitian, Definisi Operasional, Metode

Penelitian, dan Sistematika Pembahasan. Alasan sub bab tersebut diletakkan

pada bab pertama adalah untuk mengetahui alasan pokok mengapa penulisan

ini dilakukan dan untuk lebih mengetahui cakupan, batasan, dan metode

yang dilakukan sehingga maksud dari penulisan ini dapat dipahami.

Bab kedua menguraikan tinjauan umum atau landasan teori

mengenai konsep ta’zir dalam hukum pidana Islam yang memuat pengertian

ta’zir, unsur-unsur ta’zir, macam-macam jarimah ta’zir, macam-macam

hukuman ta’zir dan manfaat ta’zir.

Bab ketiga tentang penyajian data dari putusan Pengadilan Negeri

Bale Bandung No. 130/Pid.sus/2015/PN.BLB. Bab ini akan memaparkan

deskripsi kasus tindak pidana melanggar baku mutu air limbah dan

pertimbangan hukum yang digunakan dalam putusan tersebut.

Bab keempat menganalisis mengenai tindak pidana melanggar baku

mutu air limbah menurut hukum pidana Islam dengan pertimbangan hukum

yang dijadikan landasan dalam memutuskan hukuman bagi pelaku pidana

bagi pelaku tindak pidana melanggar baku mutu air limbah dalam putusan

Pengadilan Negeri Bale Bandung No. 130/Pid.sus/2015/PN.BLB.

Bab kelima merupakan bab terakhir yang menjadi penutup dengan

berisikan kesimpulan dan saran-saran. Bab ini bertujuan untuk memberikan

(31)

21

bahasan tersebut dan selanjutnya memberikan saran untuk Pengadilan

Negeri Bale Bandung dan lembaga penegak hukum terkait mengenai isi dari

(32)

BAB II

JARIMAH TA’ZIR DALAM HUKUM PIDANA ISLAM

A. Pengertian JarimahTa’zir

Ta’zir menurut bahasa berasal dari kata:(1)‘azzara yang

mempunyaipersamaan kata dengan mana’a waradda yang artinya mencegah

dan menolak; (2) addaba yang artinya mendidik; (3) azzama wa waqqara

yang artinyamengagunkan dan menghormati; dan (4) a’ana wa qawwa wa

nasara yang artinya membantunya, menguatkan dan menolong.1

Dari keempat pengertian di atas, yang lebih relevan adalah

pengertian addaba (mendidik) dan mana’a wa radda (mencegah dan

menolak)2 karena ta’zir juga berarti hukuman yang berupa memberi

pelajaran. Disebut dengan ta’zir karena hukuman tersebut sebenarnya untuk

mencegah dan menghalangi orang yang berbuat jarimah tersebut untuk

tidak mengulangi kejahatannya lagi dan memberikan efek jera.3

Kata ta’zir lebih populer digunakan untuk menunjukkan arti

memberi pelajaran dan sanksi hukuman selain hukuman had. Sedangkan

menurut shara’, ta’zir adalah hukuman yang diberlakukan terhadap suatu

bentuk kemaksiatan atau kejahatan yang tidak diancam dengan hukuman

h}ad dan tidak pula kafarat, baik itu kejahatan terhadap hak Allah seperti

1

Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), 248.

2

Ibid, 276.

3

(33)

22

makan di siang hari pada bulan Ramadan tanpa ada uzur, meninggalkan

salat, melakukan riba. Maupun kejahatan adami, seperti mencuri dengan

jumlah curian yang belum mencapai nisab pencurian, pencurian tanpa

mengandung unsur al-hirzu (harta yang dicuri tidak pada tempat

penyimpanan yang semestinya), korupsi, pencemaran nama baik dan

tuduhan selain zina.4

Dalam hal ini Imam al-Mawardi menjelaskan bahwa ta’zir (sanksi

disiplin) adalah menjatuhkan ta’zir terhadap dosa-dosa yang di dalamnya

tidak terdapat hudud (hukuman shar’i).5

Adapun perbedaan antara jarimah hudud dan jarimah ta’zir adalah

sebagai berikut:6

1. Dalam jarimah hudud, tidak ada pemaafan, baik oleh perorangan

maupun ulil amri (pemerintah). Bila seseorang telah melakukan

jarimah hudud dan terbukti di depan pengadilan, maka hakim hanya

bisa menjatuhkan sanksi yang telah ditetapkan. Sedangkan dalam

jarimah ta’zir, kemungkinan pemaafan itu ada, baik oleh perorangan

maupun oleh ulil amri, bila hal itu lebih maslahat.

2. Dalam jarimah ta’zir hakim dapat memilih hukuman yang lebih tepat

bagi si pelaku sesuai dengan kondisi pelaku, situasi dan tempa

kejahatan. Sedangkan dalam jarimah hudud yang diperhatikan oleh

4

Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam, (Abdul Hayyie al-Kattani, dkk), jilid 7, (Jakarta: Gema Insani, 2007), 523.

5

Imam Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, (Fadli Bahri), (Jakarta: Darul Falah, 2006), 390

6

(34)

23

hakim hanyalah kejahatan material.

3. Pembuktian jarimah hudud dan qisas harus dengan sanksi atau

pengakuan, sedangkan pembuktian jarimahta’zir sangat luas

kemungkinannya.

4. Hukuman had maupun qisas tidak dapat dikenakan kepada anak kecil,

karena syarat menjatuhkan had si pelaku harus sudah balig, sedangkan

ta’zir itu bersifat pendidikan dan mendidik anak kecil itu boleh.

B. Unsur-Unsur JarimahTa’zir

Suatu perbuatan dianggap jarimah apabila unsur-unsurnya telah

terpenuhi.Unsur-unsur ini dibagi menjadi dua, yaitu unsur umum dan unsur

khusus. Unsur umum adalah unsur yang dianggap sebagai tindak pidana

berlaku pada semua jarimah, sedangkan unsur khusus hanya berlaku untuk

masing-masing jarimah dan berbeda antara jarimah yang satu dengan yang

lain.7

Abdul Qadir Audah mengemukakan bahwa unsur-unsur umum untuk

jarimah itu ada tiga macam, yaitu:8

1. Unsur formal, yaitu adanya nass (ketentuan) yang melarang perbuatan

dan mengancamnya dengan hukuman. Contohnya dalam surah Al-

Maidah: 38

,

ِهَّ

ِ نهم

ًِلا ك ن

ا ب س ك

ا مهب

ًِءا ز ج

ا مُ يهدْي أ

ا ُع طْقا ف

ُِة ق هراَسلا

ُِق هراَسلا

7

Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam:Fikih Jinayah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), 27.

8

(35)

24

ِ ميهك ح

ِ زي هز ع

َُِّ

Artinya: Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (Q.S. Al-Maidah: 38).

2. Unsur material, yaitu adanya tingkah laku yang membentuk jarimah,

baik berupa perbuatan nyata (positif) maupun sikap tidak berbuat

(negatif). Contohnya dalam jarimah zina unsur materiilnya adalah

perbuatan yang merusak keturunan, dalam jarimah qadhaf unsur

materiilnya adalah perkataan yang berisi tuduhan zina.

3. Unsur moral, yaitu bahwa pelaku adalah orang yang mukallaf, yakni

orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindak pidana

yang dilakukannya.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa tindak pidana yang

tidak ditentukan sanksinya oleh Al-Quran maupun Hadis disebut sebagai

jarimah ta’zir. Contohnya tidak melaksanakan amanah, menggelapkan

harta,menghina orang,menghinaagama, menjadi saksi palsu, dan suap.9

Menurut Wahbah az-Zuhaili dalam hukuman ta’zir diberlakukan

terhadap setiap bentuk kejahatan yang tidak ada ancaman hukuman had dan

kewajiban membayar kafarat di dalamnya, baik itu berupa tindakan

pelanggaran terhadap hak Allah SWT maupun pelanggaran terhadap hak

individu (adami).10

Adapun menurut Ahmad Wardi Muslich bahwa jarimah ta’zir terdiri

9

Ibid., 163

10

(36)

25

atas perbuatan-perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman had

maupun kafarat. Pada intinya, jarimah ta’zir ialah perbuatan maksiat.11

Menurut Ibnul Qayyim perbuatan maksiat ini dibagi menjadi tiga, yaitu:12

1. Perbuatan maksiat yang pelakunya diancam dengan hukuman had tanpa

ada kewajiban membayar kafarat, seperti pencurian, menenggak

minuman keras, zina dan qadhaf. Sehingga dengan adanya hukuman h}ad

tersebut, maka hukuman ta’zir sudah tidak diperlukan lagi.

2. Perbuatan maksiat yang pelakunya hanya terkena kewajiban membayar

kafarat saja, tidak sampai terkena hukuman had, seperti melakukan

koitus (persetubuhan) di siang hari bulan Ramadhan menurut ulama

Syafi’iyah dan Hanabilah, kebalikan dari pendapat ulama Hanafiyyah

dan Malikiyah, juga seperti melakukan koitus pada saat berihram.

3. Perbuatan maksiat yang pelakunya tidak dikenakan ancaman hukuman

had dan tidak pula terkena kewajiban membayar kafarat, seperti

mencium perempuan asing, mengonsumsi darah dan babi, dan

sebagainya. Bentuk kemaksiatan ketiga inilah pelaku dapat dikenakan

hukuman ta’zir.

Para ulama juga memberi contoh perbuatan maksiat yang pelakunya

tidak bisa dikenai ta’zir, seperti seseorang yang memotong jari sendiri.

Pemotongan jari sekalipun milik sendiri itu jelas suatu maksiat, namun tidak

dapat dikenakan ta’zir kepada pelakunya sebab tidak mungkin dilaksanakan

qisas. Sesungguhnya dalam kasus tersebut tidak ada halangan

11

Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana..., 249.

12

(37)

26

untukdilaksanakan ta’zir, karena pelaku telah menyia-nyiakan diri sendiri,

padahal menjaga diri sendiri adalah wajib hukumnya.13

Adapun syarat supaya hukuman ta’zir bisa dijatuhkan adalah hanya

syarat berakal saja. Oleh karena itu, hukuman ta’zir bisa dijatuhkan kepada

setiap orang yang berakal yang melakukan suatu kejahatan yang tidak

memiliki ancaman hukuman had, baik laki-laki maupun perempuan, muslim

maupun kafir, balig atau anak kecil yang sudah berakal (mumayyiz). Karena

mereka semua selain anak kecil adalah termasuk orang yang sudah memiliki

kelayakan dan kepatutan untuk dikenai hukuman. Adapun anak kecil yang

sudah mumayyiz, maka ia di ta’zir, namun bukan sebagai bentuk hukuman,

akan tetapi sebagai bentuk mendidik dan memberi pelajaran.14

Wahbah az-Zuhaili yang mengutip dari Raddul Muhtaar memberikan

ketentuan dan kriteria dalam hukuman ta’zir yaitu setiap orang yang

melakukan suatu kemungkaran atau menyakiti orang lain tanpa hak (tanpa

alasan yang dibenarkan) baik dengan ucapan, perbuatan atau isyarat, baik

korbannya adalah seorang muslim maupun orang kafir. 15

Sedangkan ruang lingkup dalam ta’zir yaitu sebagai berikut:16

1. Jarimah hudud atau qisas diyat yang terdapat syubhat dialihkan kesanksi

ta’zir.

2. Jarimah hudud atau qisas diyat yang tidak memenuhi syarat akandijatuhi

sanksi ta’zir. Contohnya percobaan pencurian, percobaan pembunuhan

13

Ahmad Djazuli, Fiqh Jinayah..., 174

14

Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam..., 531.

15

Ibid., 532.

16

(38)

27

dan percobaan zina.

3. Jarimah yang ditentukan Al-Quran dan Hadis, namun tidak

ditentukansanksinya. Misalnya penghinaan, tidak melaksanakan

amanah, saksi palsu, riba, suap, dan pembalakan liar.

4. Jarimah yang ditentukan ulil amri untuk kemaslahatan umat,

sepertipenipuan, pencopetan, pornografi dan pornoaksi, penyelundupan,

pembajakan, human trafficking, dan sebagainya.

Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur yang

ada dalam jarimah ta’zir adalah setiap bentuk kejahatan (maksiat) yang tidak

ada ancaman hukuman h}ad dan kewajiban membayar kafarat di dalamnya,

perbuatan jarimah hudud atau qisas yang unsurnya tidak terpenuhi, dan

melakukan suatu kemungkaran atau menyakiti orang lain tanpa hak

(meresahkan masyarakat umum).

C. Macam-Macam JarimahTa’zir

Dalam uraian sebelumnya telah dijelaskan bahwa dilihat dari hak

yang dilanggar dalam jarimah ta’zir ada dua bagian, yaitu jarimah ta’zir

yang terkait hak Allah dan jarimah ta’zir yang terkait hak individu (adami).

Hal yang dimaksud dengan kejahatan yang berkaitan dengan hak

Allah adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan kemaslahatan umum.

Seperti membuat kerusakan di muka bumi, perampokan, pencurian,

(39)

28

dimaksud dengan kejahatan yang berkaitan dengan hak individu adalah

segala sesuatu yang mengancam kemaslahatan bagi seorang manusia,

seperti tidak membayar utang dan penghinaan.17

Akan tetapi, ada ulama yang membagi kedua jarimah ini menjadi

dua bagian lagi, yakni jarimah yang berkaitan dengan campur antara hak

Allah dan hak individu di mana yang dominan adalah hak Allah, seperti

menuduh zina.Dan campur antara hak Allah dan hak individu di mana yang

dominan adalah hak individu, seperti jarimah pelukaan.

Dari segi sifatnya, jarimah ta’zir dapat dibagi menjadi tiga

bagian,yaitu:18

1. Ta’zir karena melakukan perbuatan maksiat.

2. Ta’zir karena melakukan perbuatan yang membahayakankepentingan

umum.

3. Ta’zir karena melakukan pelanggaran.

Jika dilihat dari segi dasar hukum (penetapannya), ta’zir juga

dapatdibagi kepada tiga bagian, yaitu sebagai berikut:

1. Jarimah ta’zir yang berasal dari jarimah-jarimah hudud atau qisas, tetapi

syarat-syaratnya tidak terpenuhi, atau ada syubhat, seperti pencurian

yang tidak mencapai nisab, atau oleh keluarga sendiri.

2. Jarimah ta’zir yang jenisnya disebutkan dalam nas shara’

tetapihukumannya belum ditetapkan, seperti riba, suap, mengurangi

takaran dan timbangan.

17

Ahmad Djazuli, Fiqh Jinayah..., 166.

18

(40)

29

3. Jarimah ta’zir yang baik jenis maupun sanksinya belum ditentukanoleh

shara’. Jenis ketiga ini sepenuhnya diserahkan kepada ulil amri, seperti

pelanggaran disiplin pegawai pemerintah.

Adapun Abdul Aziz Amir membagi jarimah ta’zir secara rinci

kepadabeberapa bagian, yaitu:

1. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan pembunuhan

Dalam jarimah pembunuhan itu diancam dengan hukuman mati,

dan bila qisasnya dimaafkan maka hukumannya adalah diyat dan bila

qisas dan diyatnya dimaafkan maka ulil amri berhak menjatuhkan ta’zir

bila hal itu dipandang lebih maslahat.19

Masalah lain yang diancam dengan ta’zir adalah percobaan

pembunuhan, bila percobaan tersebut dapat dikategorikan ke dalam

perbuatan maksiat. Meskipun demikian, para ulama berbeda pendapat

tentang ketentuan ta’zirnya. Imam Malik dan Imam Al-laits

berpendapat bahwa bila dalam kasus si pembunuh dimaafkan, maka

sanksinya adalah jilid seratus kali dan dipenjara selama satu tahun.Itulah

pendapat ahli Madinah yang berdasarkan riwayat dari Umar.20

Pendapat yang mengatakan adanya ta’zir kepada pembunuh

sengaja yang dimaafkan dari qisas dan diyat adalah aturan yang baik dan

membawa kemaslahatan. Karena pembunuhan itu tidak hanya

melanggar hak individu, melainkan juga melanggar hak masyarakat,

maka ta’zir itulah sebagai sanksi hak masyarakat. Jadi, sanksi

19

Ibid., 256

20

(41)

30

ta’zirdapat dijatuhkan terhadap pembunuh di mana sanksi qisas tidak

dapat dilaksanakan karena tidak memenuhi syarat.

2. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan pelukaan

Menurut Imam Malik, hukuman ta’zir dapat digabungkan dengan

qisas dalam jarimah pelukaan, karena qisas merupakan hak adami

(individu), sedangkan ta’zir sebagai imbalan atas hakmasyarakat. Di

samping itu ta’zir juga dapat dikenakan terhadap jarimah pelukaan

apabila qisasnya dimaafkan atau tidak bisadilaksanakan karena suatu

sebab yang dibenarkan oleh shara’.21

Menurut mazhab Hanafi, Syafi’i, dan Hambali, ta’zir juga dapat

dijatuhkan terhadap orang yang melakukan jarimah pelukaan dengan

berulang-ulang (residivis), di samping dikenakan hukuman qisas.

3. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan kejahatan terhadap kehormatandan

kerusakan akhlak.

Berkenaan dengan jarimah ini yang terpenting adalah zina,

menuduh zina dan menghina orang. Di antara kasus perzinaan yang

diancam dengan ta’zir adalah perzinaan yang tidak memenuhi syarat

untuk dapat dijatuhi hukuman had, atau terdapat syubhat dalam

pelakunya, perbuatannya atau tempatnya atau menzinai orang yang

telah meninggal.22

Termasuk jarimah ta’zir adalah percobaan

perzinaan/pemerkosaan dan perbuatan yang mendekati zina, seperti

21

Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana..., 256.

22

(42)

31

mencium dan meraba-raba, meskipun demikian dengan tidak ada

paksaan karena hukum Islam tidak memandangnya sebagai pelanggaran

terhadap hak individu.Akan tetapi juga, hal itu dipandang sebagai

pelanggaran terhadap hak masyarakat, jelasnya bukan delik aduan,

melainkan delik biasa.23

Sedangkan penuduhan zina yang dikategorikan kepada ta’zir

adalah apabila orang yang dituduh itu bukan orang muhsan. Kriteria

muhsan menurut para ulama adalah berakal, balig, Islam, dan iffah

(bersih) dari zina. Dan termasuk juga kepada ta’zir yaitupenuduhan

terhadap sekelompok orang yang sedang berkumpul dengan tuduhan

zina, tanpa menjelaskan orang yang dimaksud. Demikian pula tuduhan

dengan kinayah (sindiran), menurut pendapat Imam Abu Hanifah

termasuk kepada ta’zir, bukan hudud.24

4. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan harta

Jarimah yang berkaitan dengan harta adalah jarimah pencurian

dan perampokan. Apabila kedua jarimah tersebut syarat-syaratnya telah

dipenuhi maka pelaku dikenakan hukuman had. Namun, apabila syarat

untuk dikenakannya hukuman had tidak terpenuhi maka pelaku tidak

dikenakan hukuman had, melainkan hukuman ta’zir. Jarimah yang

termasuk jenis ini antara lain seperti percobaan pencurian, pencopetan,

pencurian yang tidak mencapai batas nisab, melakukan penggelapan dan

perjudian. Termasuk pencurian karena adanya syubhat, seperti pencurian

23

Ibid., 181.

24

(43)

32

oleh keluarga dekat.25

Kasus perampokan dan gangguan keamanan yang tidak

memenuhi persyaratan hirabah juga termasuk jarimah ta’zir, ada pula

jarimah ta’zir yang berupa gangguan atas stabilitas umat, seperti

percobaan memecah belah umat, subversi, dan tidak taat kepada

pemerintah.26

5. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan kemaslahatan individu

Jarimah ta’zir yang termasuk dalam kelompok ini, antaralain

seperti saksi palsu, berbohong (tidak memberikan keterangan yang

benar) di depan sidang pengadilan, menyakiti hewan, melanggar hak

privacy orang lain (misalnya masuk rumah orang lain tanpa izin).27

6. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan keamanan umum

Jarimah ta’zir yang termasuk dalam kelompok ini adalahsebagai

berikut:28

a. Jarimah yang mengganggu keamanan negara/pemerintah,seperti

spionase dan percobaan kudeta.

b. Suap.

c. Tindakan melampaui batas dari pegawai/pejabat atau lalaidalam

menjalankan kewajiban, contohnya seperti penolakan hakim

untuk mengadili suatu perkara, atau kesewenang-wenangan

hakim dalam memutuskan perkara.

25

Ibid, 45.

26

Ahmad Djazuli, Fiqh Jinayah..., 184.

27

Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana..., 257.

(44)

33

d. Pelayanan yang buruk dari aparatur pemerintah terhadap

masyarakat.

e. Melawan petugas pemerintah dan membangkang terhadap

peraturan, seperti melawan petugas pajak, penghinaan terhadap

pengadilan, dan menganiaya polisi.

f. Melepaskan narapidana dan menyembunyikan buronan

(penjahat).

g. Pemalsuan tanda tangan dan stempel.

h. Kejahatan yang berkaitan dengan ekonomi, seperti penimbunan

bahan-bahan pokok, mengurangi timbangan dan takaran, dan

menaikkan harga dengan semena-mena.

D. Hukuman Jarimah Ta’zir

Tujuan dari hukuman ta’zir atau sanksi ta’zir ialah sebagai

preventif (sanksi ta’zir harus memberikan dampak positif bagi orang lain

agar tidak melakukan kejahatan yang sama dengan terhukum) dan represif

(sanksi ta’zir harus memberikan dampak positif bagi si terhukum sebagai

efek jera agar tidak mengulangi perbuatannya), serta kuratif (sanksi ta’zir

membawa perbaikan sikap dan perilaku pada si terhukum) dan edukatif

(yaitu sanksi ta’zir memberikan dampak bagi terhukum untuk mengubah

pola hidupnyauntuk menjauhi perbuatan maksiat karena tidak senang

terhadap kejahatan).29

Adapun macam-macam hukuman ta’zir cukup beragam, di

29

(45)

34

antaranya adalah: Pertama sanksi ta’zir yang mengenai badan. Hukuman

yang terpenting dalam hal ini adalah hukuman mati dan jilid; Kedua sanksi

yang berkaitan dengan kemerdekaan seseorang, sanksi yang terpenting

dalam hal ini adalah penjara dengan berbagai macamnya dan pengasingan;

Ketiga sanksi ta’zir yang berkaitan dengan harta. Dalam hal ini yang

terpenting di antaranya adalah denda, penyitaan/perampasan dan

penghancuran barang; Keempat sanksi-sanksi lainnya yang ditentukan oleh

ulil amri demi kemaslahatan.

1. Hukuman ta’zir yang berkaitan dengan badan, yaitu:

a. Hukuman mati

Dalam jarimah ta’zir, hukuman mati diterapkan oleh para

fukaha secara beragam. Hanafiyah membolehkan kepada ulilamri

untuk menerapkan hukuman mati sebagai ta’zir dalam

jarimah-jarimah yang jenisnya diancam dengan hukuman matiapabila jarimah-jarimah

tersebut berulang-ulang. Contohnya pencurian yang berulang-ulang

dan menghina Nabi Muhammad beberapa kali yang dilakukan oleh

kafir dhimmi walaupun setelah itu ia masuk Islam.30

Selanjutnya kalangan Malikiyah dan sebagian Hanabilah juga

membolehkan hukuman mati sebagai sanksi ta’zir tertinggi. Sanksi

ini diberlakukan bagi mata-mata (perbuatan spionase) dan orang yang

melakukan kerusakan di muka bumi. Demikian juga dengan

Syafi’iyah yang membolehkan hukuman mati, dalam kasus

30

(46)

35

homoseks. Selain itu hukuman mati juga boleh diberlakukan dalam

kasus penyebaran aliran-aliran sesat yang menyimpang dari Al-Quran

dan Sunnah.31

Adapun para fukaha juga mengatakan bahwa imam (ulilamri)

bisa mengambil kebijakan dengan menjatuhkan hukumanmati

terhadap seorang pencuri yang berulang kali melakukan kejahatan

pencurian (residivis) dan orang yang berulang kali melakukan

kejahatan pencekikan, karena ia berarti orang yang berbuat kerusakan

di muka bumi. Begitu juga dengan setiap orang yang ancaman

kejahatan dan kejelekannya tidak dapat dicegah kecuali dibunuh,

maka ia boleh dihukum mati sebagai suatu kebijakan.32

Wahbah az-Zuhaili menyimpulkan bahwa boleh mengambil

langkah kebijakan hukum dengan menjatuhkan hukuman mati

terhadap para residivis, pecandu minuman keras,orang-orang yang

mempropagandakan kerusakan dan kejelekan, penjahat keamanan

negara dan lain sebagainya.33

Sedangkan pendapat yang membolehkan hukuman mati

sebagai sanksi ta’zir tertinggi memiliki beberapa syarat-syarat yang

harus dipenuhi, yaitu:34

1) Bila si terhukum adalah residivis, yang hukuman-hukuman

sebelumnya tidak memberi dampak apa-apa baginya.

31

Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah..., 147.

(47)

36

2) Harus dipertimbangkan dengan sebaik-baiknya dampak

kemaslahatan bagi masyarakat serta pencegahan kerusakan

yang menyebar di muka bumi.

Kesimpulannya menurut para ulama hukuman mati ituhanya

diberikan bagi pelaku jarimah yang berbahaya sekali, yang berkaitan

dengan jiwa, keamanan, dan ketertiban masyarakat atau bila sanksi

hudud tidak lagi memberi pengaruh baginya.

b. Hukuman jilid (dera)

Hukuman cambuk jilid (dera) cukup efektif dalam

memberikan efek jera terhadap pelaku jarimah ta’zir. Hukuman ini

dalam jarimah hudud telah jelas jumlahnya bagi pelaku jarimah zina

ghairu muhsan (zina yang dilakukan oleh orangyang belum menikah)

dan jarimah qadhaf (menuduh orang berzina). Namun dalam jarimah

ta’zir, hakim diberikan kewenangan untuk menetapkan jumlah

cambukan disesuaikan dengan kondisi pelaku, situasi, dan tempat

kejahatan.35

Hukuman ini dikatakan efektif karena memiliki beberapa

keistimewaan dibandingkan hukuman lainnya, yaitu:36

1) Lebih menjerakan dan lebih memiliki daya represif, karena

dirasakan langsung secara fisik.

2) Bersifat fleksibel. Setiap jarimah memiliki jumlah cambukan

yang berbeda-beda.

35

Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah..., 149.

36

(48)

37

3) Berbiaya rendah. Tidak memerlukan dana besar dan

penerapannya sangat praktis.

4) Lebih murni dalam menerapkan prinsip bahwa sanksi ini

bersifat pribadi dan tidak sampai menelantarkan keluarga

terhukum. Apabila sanksi ini sudah dilaksanakan, terhukum

dapat langsung dilepaskan dan dapat beraktivitas seperti

biasanya.

Adapun cara pelaksanaan hukuman jilid masih diperselisihkan

oleh para fukaha. Menurut Hanafiyah, jilid sebagai ta’zir harus

dicambukkan lebih keras daripada jilid dalam h}adagar dengan ta’zir

orang yang terhukum akan menjadi jera disamping karena jumlahnya

lebih sedikit daripada dalam had. Alasan yang lain adalah bahwa

semakin keras cambukan itu semakin menjerakan. Akan tetapi, ulama

selain Hanafiyah menyamakan sifat jilid dalam ta’zir dengan sifat

jilid dalam hudud.37

Menurut para fukaha contoh-contoh maksiat yang dikenai

sanksi ta’zir dengan jilid adalah:38

1) Pemalsuan stempel baitul mal pada zaman Umar bin

Khathab.

2) Percobaan perzinaan.

3) Pencuri yang tidak mencapai nisab (menurut al-Mawardi).

4) Kerusakan akhlak.

37

Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana..., 260.

38

(49)

38

5) Orang yang membantu perampokan.

6) Jarimah-jarimah yang diancam dengan jilid sebagai had,

tetapi padanya terdapat syubhat.

7) Ulama Hanafiyah membagi stratifikasi manusia dalam

kaitannya dengan ta’zir menjadi empat bagian, yaitu:

a) Ashraf al-Ashraf (orang yang paling mulia);

b) Al-Ashrat (mulia);

c) Al-Ausat (pertengahan); dan Al-Suflah (para pekerja

kasar).

Para fukaha berbeda pendapat tentang jumlah maksimal jilid yang

dibenarkan dalam ta’zir. Menurut mazhab Imam Syafi’i, jumlah maksimal

jilid untuk orang merdeka ialah 39 kali cambukan, agar jumlah cambukan

tersebut lebih sedikit daripada kasus meminum minuman keras. Sedangkan

untuk budak sebanyak 20 kali cambukan.39

Abu Hanifah berpendapat jumlah maksimal pada orang merdeka

dan budak ialah 39 kali cambukan.Menurut Abu Yusuf jumlah maksimal

pemukulan ialah 75 kali cambukan.Sedangkan Imam Malik berpendapat

jumlah maksimal tidak ada batasnya, dan jumlahnya diperbolehkan

melebihi jumlah pemukulan pada hudud.40

Adapun alasan ulama Malikiyah membolehkan sanksi ta’zir dengan

di jilid melebihi had selama mengandungkemaslahatan yaitu mereka

berpedoman terhadap putusan Umar bin Khathab yang mencambuk Ma’an

39

Imam Al-Mawardi, Al-Ahkam..., 392.

40

(50)

39

bin Zaidah 100 kali karena memalsukan stempel baitul mal.41

Kemudian pendapat ulama mengenai jumlah minimal cambukan

dalam jarimah ta’zir adalah sebagai berikut:42

1) Ulama Hanafiyah. Batas terendah ta’zir harus mampu memberi

dampak preventif dan represif.

2) Batas terendah satu kali cambukan.

3) Ibnu Qudamah. Batas terendah tidak dapat ditentukan,

diserahkan kepada ijtihad hakim sesuai tindak pidana, pelaku,

waktu, dan pelaksanaannya.

4) Pendapat Ibnu Qudamah lebih baik, tetapi perlu tambahan

ketetapan hakim, tidak ada lagi perbedaan pendapat.

Menurut Djazuli sesungguhnya sanksi jilid terhadappelaku

jarimah ta’zir masih diberlakukan di beberapa negara sampai sekarang, baik

secara resmi maupun tidak resmi, juga waktu-waktu tertentu seperti

peperangan. Hal ini menunjukkan bahwa sanksi badan berupa jilid itu masih

diakui efektivitasnya untuk menjadikan terhukum jera.43

2. Sanksi ta’zir yang berkaitan dengan kemerdekaan seseorang

Dalam sanksi jenis ini yang terpenting ada dua, yaitu hukuman

penjara dan hukuman buang (pengasingan).

a. Hukuman Penjara

Dalam bahasa Arab ada dua istilah untuk hukuman penjara,

41

Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah..., 150.

42

Ibid., 151.

43

(51)

40

yaitu al-habsu dan al-sijnu yang keduanya bermakna al-man’u,

yaitu mencegah; menahan. Menurut Ibnu Al-Qayyim, al-habsu

adalah menahan seseorang untuk tidak melakukan perbuatan yang

melanggar hukum, baik itu di rumah, masjid, maupun tempat lain.

Demikianlah yang dimaksud dengan al-habsu di masa Nabi dan

Abu Bakar. Akan tetapi setelah wilayah Islam bertambah luas pada

masa pemerintahan Umar, ia membeli rumah Syafwan bin

Umayyah dengan harga 4.000 dirham untuk dijadikan penjara.44

Hukuman penjara ini dapat merupakan hukuman pokok dan

bisa juga sebagai hukuman tambahan dalam ta’zir yakni apabila

hukuman pokok yang berupa jilid tidak membawa dampak bagi

terhukum.45

Alasan memperbolehkan hukuman penjara sebagai ta’zir

ialah karena Nabi Muhammad SAW pernahmemenjarakan

beberapa orang di Madinah dalam tuntutan pembunuhan. Juga

tindakan Khalifah Utsman yang pernah memenjarakan Dhabi’ ibn

Al-Harits, salah satu pencuri dari Bani Tamim, sampai ia mati

dipenjara. Demikian pula Khalifah Ali pernah memenjarakan

Abdullah ibn Az-Zubair di Mekah, ketika ia menolak untuk

membaiat Ali.46

b. Hukuman buang (pengasingan)

44

Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah..., 152.

45

Ahmad Djazuli, Fiqh Jinayah..., 206

46

(52)

41

Dasar hukuman buang adalah firman Allah surah Al-Maidah ayat

33 yaitu:

ۡمِهيِدۡي

َ

أ َع َطَقُت ۡو

َ

أ

Artinya: ... atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya)...

Meskipun ketentuan hukuman buang dalam ayat tersebut di

atas diancamkan kepada pelaku jarimah hudud, tetapi para u\lama

menerapkan hukuman buang ini dalam jarimah ta’zir juga. Antara

lain disebutkan orang yangmemalsukan Alquran dan memalsukan

stempel baitul mal, meskipun h\ukuman buang kasus kedua ini

sebagai hukuman tambahan, sedangkan hukuman pokoknya adalah

jilid.47

Hukuman pengasingan ini dijatuhkan kepada pelaku

jarimah ta’zir yang dikhawatirkan dapat memberikanpengaruh

buruk terhadap masyarakat. Dengan diasingkannya pelaku, mereka

akan terhindar dari pengaruh tersebut.48

Adapun tempat pengasingan diperselisihkan oleh para

fukaha.Menurut Imam Malik ibn Anas, pengasingan itu artinya

menjauhkan (membuang) pelaku dari negeri Islam ke negeri bukan

Islam. Menurut Umar ibn Abdul Aziz dan Sai ibn Jubayyir,

pengasingan itu artinya dibuang dari satu kota ke kota yang lain.

Menurut Imam Abu Hanifah dan satu pendapat dari Imam Malik,

47

Ibid., 209.

48

(53)

42

pengasingan itu artinya dipenjarakan.49

Sedangkan lama pembuangan (pengasingan) menurut Imam

Abu Hanifah adalah satu tahun, menurut Imam Malik bisa lebih

dari satu tahun, menurut sebagian Syafi’iyah dan Hanabilah tidak

boleh melebihi satu tahun dan menurut sebagian Syafi’iyah dan

Hanabilah yang lain bila hukuman buang itu sebagai ta’zir maka

boleh lebih dari satu tahun.

3. Sanksi ta’zir yang berupa harta

Ada beberapa ulama yang membolehkannya dan ada juga yang

tidak sepakat tentang di perbolehkannya sanksi ta’zir berupaharta.Ulama

yang membolehkannya yaitu Abu Yusuf, Imam Syafi’i, Imam Malik dan

Imam Ahmad. Sedangkan yang tidak membolehkannya yaitu imam Abu

Hanifah dan Muhammad.

Hukuman ta’zir dengan mengambil harta bukan berarti

mengambil harta pelaku untuk diri hakim atau untuk kas negara,

melainkan menahannya untuk sementara waktu. Adapun jika pelaku

tidak dapat diharapkan untuk bertaubat, hakim dapat menyerahkan harta

tersebut untuk kepentingan yang mengandung maslahat.50

Selain denda, hukuman ta’zir yang berupa harta adalah penyitaan

atau perampasan harta.Namun hukuman ini diperselisihkan oleh para

fukaha. Jumhur ulama membolehkannya apabila persyaratan untuk

mendapat jaminan atas harta tidak dipenuhi. Syarat-syarat tersebut

49

Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana..., 265

50

(54)

43

adalah sebagai berikut:51

a. Harta diperoleh dengan cara yang halal.

b. Harta itu digunakan sesuai dengan fungsinya.

c. Penggunaan harta itu tidak mengganggu hak orang lain.

Apabila persyaratan di atas tidak terpenuhi, misalnya harta

didapat dengan jalan yang tidak halal, atau tidak digunakan sesuai

dengan fungsinya maka dalam keadaan demikian ulil amri berhak untuk

menerapkan hukuman ta’zir berupa penyitaan atau perampasan sebagai

sanksi terhadap perbuatan yang dilakukan oleh pelaku.

51

(55)

BAB III

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN PN. BALE BANDUNG No.130/Pid.sus/2015/PN.BLB TENTANG TINDAK PIDANA MELANGGAR

BAKU MUTU AIR LIMBAH

A. Deskripsi Kasus dan Landasan Hukum

Dalam putusan No. 130/Pid.sus/2015/PN.BLB tentang tindak

pidana melanggar baku mutu air limbah telah di ketahui bahwa identitas

terdakwa ialah Herawan Koswara yang merupakan direktur dari PT. Daya

Pratama Lestari (DPL) yang berkedudukan di Jalan Industri II Nomor 29

Batujajar Padalarang Kabupaten Bandung Barat Provinsi Jawa Barat dan

termasuk ke dalam wilayah hukum Pengadilan Negeri Bale Bandung, PT.

Daya Pratama Lestari (DPL) bergerak dalam bidang usaha industri tekstil

yang memproduksi kain tekstil dengan jenis Polyster yang beroperasi

sejak tahun 2000.1

Dalam hal ini terdakwa Herawan Koswara, selaku direktur PT. Daya

Pratama Lestari (DPL) di persidangan di dampingi oleh penasihat

hukumnya yaitu : Maman Budiman, SH.MH, Diar Purbayu Basyari, SE,

SH.MH, Tigor Partede, SH, Rosa Tejabuana, SH.MH, Asep Saepudin, SH,

Hendi Noviandi, SH, Yudi Kosasih, Ssy.MH, dan M. Adli Hakim, SH dan

1

(56)

45

rekan, yang beralamat Kantor di Jl. Terusan Buah Batu No. 275 C

Bandung, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 16 Pebruari 2015.

Bahwa sebelumnya terdakwa Herawan Koswara selaku direktur PT.

Daya Pratama Lestari (DPL) diajukan oleh Jaksa/Penuntut Umum, karena

bahwa dengan adanya bukti berupa temuan penyidik pada tanggal 16

Januari 2014, 19 Pebruari 2014, dan 25 Maret 2014, serta didukung bukti

laboratorium dari UPT Lab Lingkungan Kabupaten Bandung dan temuan

BPLHD Jawa Barat, mulai tanggal 23 April, 11 Juni 2012, 21 Nopember

2012, 28 Januari 2014, dan 16 September 2014, dengan hasil pengawasan

secara umum PT. Daya Pratama Lestari (DPL) tidak melakukan

pengelolaan lingkungan dengan baik terutama pada pengelolaan limbah

cair. Beserta itu bahwa PT. Daya Pratama Lestari (DPL) telah melakukan

pelanggaran antara lain membuang limbah cair ke media lingkungan tanpa

melakukan pengolahan, tidak melakukan optimialisasi IPAL sehingga

kualitas air limbah diatas baku mutu, saluran air limbah dan ruang boiler

bersatu dengan saluran drainase kondisi TPS limbah B3 tidak memenuhi

persyaratan yang berlaku dan tida ada perlengkapan sarana dan prasarana.

Selama kurung waktu yang lama perusahaan tersebut membuang air

limbah tanpa pengelolaan ke Sungai Citarum dalam debit yang cukup

besar kira-kira 45.000 m3/bulan, dan pembuangan limbah cair ini menurut

dari para peneliti, jumlah ini cukup berkontribusi menambah beban

Referensi

Dokumen terkait

Untuk itu perlu dilakukan penelitian mengenai pertimbangan apa saja yang digunakan oleh hakim didalam menjatuhkan suatu putusan terhadap anak sebagai pelaku tindak

Serta untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika oleh pegawai negeri sipil (Studi Putusan

Yang menjadi dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh anak yaitu, pertimbangan yang bersifat yuridis,

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap wartawan pelaku tindak pidana pencemaran nama baikdalam

Menurut hasil wawancara diatas penulis sependapat dengan apa yang dinyatakan oleh narasumber bahwa dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak

1. Untuk mengetahui dan menganalisis pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana pelatihan kerja sebagai sanksi komulasi pemidanaan pada anak pelaku persetubuhan dalam putusan

Bagaimana pengaturan tindak pidana terorisme yang dilakukan oleh anak, bagaimana penerapan sanksi, dan hal apa yang menjadi bahan pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan

Objek Penelitian Objek penelitian dalam penelitian ini adalah seluruh informasi yang berkaitan dengan pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan sanksi terhadap pelaku tindak pidana yang