• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Hadirnya masyarakat informasi ditandai dengan adanya pemanfaatan - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kata Sepakat dalam Transaksi E-Commerce: Putusan No. 82/Pdt.G/2013/PN.Yk.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Hadirnya masyarakat informasi ditandai dengan adanya pemanfaatan - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kata Sepakat dalam Transaksi E-Commerce: Putusan No. 82/Pdt.G/2013/PN.Yk."

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Hadirnya masyarakat informasi ditandai dengan adanya pemanfaatan

internet yang semakin meluas dan masuk dalam berbagai aktivitas kehidupan

manusia. Hal ini terjadi bukan hanya di negara-negara maju, akan tetapi juga di

negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Fenomena ini menjadikan

informasi sebagai komoditas ekonomi yang sangat penting dan menguntungkan.

Terdapat potensi yang sangat besar peluang untuk melakukan transaksi bisnis

melalui media internet ini khususnya dalam e-commerce.

E-commerce adalah suatu kontrak. E-commerce dilakukan antara pengirim dan penerima atau dengan pihak lain, yaitu pihak ketiga dalam hubungan

perjanjian yang sama untuk mengirimkan sejumlah barang, pelayanan, atau

peralihan hak. Transaksi komersial berlangsung dalam media elektronik (media

digital) yang secara fisik tidak memerlukan pertemuan para pihak dan keberadaan

media ini dalam public network atas sistem yang berlawanan dengan private network (sistem tertutup). Sistem the public network ini harus mempertimbangkan sistem terbuka.1 E-commerce sebagai lahan pembisnis dan para pelaku usaha menjadi tren yang sangat menarik perhatian publik. Penggunaan peralatan

elektronik untuk melaksanakan transaksi komersial yang telah dirancang

1

(2)

sedemikian rupa membuat para peminat melupakan atau mengacuhkan

implikasi-implikasi yang akan ditimbulkan.

Dalam perkembangannya, kegiatan e-commerce berbasis pada Undang-Undang No.19 tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang-Undang-Undang No. 11 Tahun

2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Salah satu maksud

dan tujuan diterbitkan UU ITE dan UU Perdagangan adalah untuk memberikan

kepastian hukum dan perlindungan bagi para pelaku di sekitar e-commerce. Kegiatan perdagangan elektronik masih dipahami sebagai transaksi elektronik.

Transaksi elektronik berdasarkan Pasal 1 ayat (2) UU ITE, yakni perbuatan

hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer,

dan/atau media elektronik lainnya. Sedangkan di dalam UU Perdagangan,

disebutkan dalam Pasal 1 ayat 24 Perdagangan bahwa e-commerce adalah “Perdagangan melalui sistem elektronik”, yaitu perdagangan yang transaksinya

dilakukan melalui serangkaian perangkat dan prosedur elektronik.

Perdagangan melalui internet (e-commerce) pada dasarnya sama dengan perdagangan pada umumnya. Suatu perdagangan terjadi ketika ada kesepakatan

mengenai barang atau jasa yang diperdagangkan serta harga atas barang atau jasa

tersebut. Pembeda e-commerce dan perdagangan konvesional hanya pada media yang digunakan. Jika pada perdagangan konvensional para pihak harus bertemu

langsung di suatu tempat guna menyepakati mengenai apa yang akan

diperdagangkan serta berapa harga atas barang atau jasa tersebut. Sedangkan

(3)

perlu adanya pertemuan langsung antar para pihak. Demikian juga halnya dengan

perjanjian yang mensyaratkan atas adanya kesepakatan untuk melakukan transaksi

perdagangan dalam transaksi e-commerce.

Sebagaimana dalam perdagangan konvensional, kata sepakat dalam e-commerce menimbulkan perikatan antara para pihak untuk memberikan suatu prestasi. Memberikan sesuatu sama dengan melakukan atau berbuat sesuatu.

Adapun yang dimaksud dengan berbuat adalah melaksanakan setiap prestasi yang

bersifat positif tidak berupa memberi.2 Perikatan dan perjanjian menunjuk pada

dua hal yang berbeda. Perikatan adalah suatu istilah atau pernyataan yang bersifat

abstrak, yang menunjuk pada hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan

antara dua atau lebih orang atau pihak. Adanya hubungan hukum tersebut

melahirkan kewajiban kepada pihak yang terlibat dalam hubungan hukum

tersebut. Meskipun, bukan yang paling dominan namun pada umumnya perikatan

yang lahir dari perjanjian merupakan yang paling banyak terjadi dalam kehidupan

manusia sehari-hari. Implikasi dari perikatan itu adalah timbulnya hak dan

kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pihak yang terlibat. Dalam jual beli

perikatannya bersifat “obligatoir”. Artinya, perjanjian itu baru memberi hak dan

kewajiban kepada pihak masing-masing, belum mengalihkan hak milik dari

penjual kepada pembeli. Artinya, penjual harus menyerahkan hak milik atas

barang yang dijual belikan kepada pembeli.3

2

Ridwan Khairandy, Hukum Kontrak Indonesia dalam Perspektif Perbandingan, Cet. I, FH UII Press, Yogyakarta, 2013, h. 42.

3

(4)

Di dalam hukum perikatan Indonesia dikenal apa yang disebut ketentuan

hukum pelengkap. Ketentuan tersebut tersedia untuk dipergunakan oleh para

pihak yang membuat perjanjian apabila ternyata perjanjian yang dibuat mengenai

sesuatu hal ternyata kurang lengkap atau belum mengatur sesutu hal. Ketentuan

hukum pelengkap itu terdiri dari ketentuan umum dan ketentuan khusus untuk

jenis perjanjian tertentu. Jual beli merupakan salah satu jenis perjanjian yang

diatur dalam KUH Perdata. Sedangkan e-commerce pada dasarnya merupakan model transaksi modern antara lain jual beli, yang mengimplikasikan inovasi

teknologi seperti internet sebagai media transaksi. Dengan demikian selama tidak

diperjanjikan dan diatur lain dalam UU ITE, maka ketentuan umum tentang antara

lain perikatan dan perjanjian jual-beli yang diatur dalam Buku III KUH Perdata

berlaku sebagai dasar hukum aktifitas e-commerce di Indonesia. Jika dalam pelaksanaan transaksi e-commerce tersebut timbul sengketa, maka para pihak dapat mencari penyelesaiannya dalam ketentuan tersebut, dan juga ketentuan yang

mengatur secara khusus kesepakatan dalam transaksi elektronik sebagaimana

diatur dalam UU ITE.

Akan tetapi permasalahannya tidaklah sesederhana itu. E-commerce

merupakan model perjanjian dengan karakteristik dan aksentuasi yang berbeda

dengan model transaksi jual beli konvensional. Penting dipahami bahwa kontrak

elektronik ini adalah kontrak tidak bernama (onbenoemde contract) karena tidak disebutkan di dalam BW atau KUH Perdata. Namun, saat ini mungkin dapat

disebut bernama kalau namanya disebut dalam peraturan perundang-undangan

(5)

pembuatannya yang melalui sistem elektronik atau menggunakan media

elektronik. Dengan daya jangkau keberlakuan yang tidak hanya lokal tapi juga

bersifat global. Adaptasi secara langsung ketentuan jual beli konvensional akan

kurang tepat dan tidak sesuai dengan konteks e-commerce. Oleh karena itu perlu analisis apakah ketentuan hukum yang ada dalam KUH Perdata sudah cukup

relevan dan akomodatif dengan hakekat e-commerce atau perlu regulasi khusus yang mengatur tentang e-commerce.

Transaksi melalui internet ini dilakukan dengan tanpa tatap muka antara

para pihaknya. Mereka mendasari transaksi tersebut atas rasa kepercayaan satu

sama lain. Sehingga perjanjian, yang terjadi diantara pihakpun dilakukan secara

elektronik, dengan mengakses halaman web yang disediakan, berisi klausul atau perjanjian yang dibuat oleh pihak pertama (pengirim), dan pihak lain (penerima)

hanya menekan tombol yang disediakan sebagai tanda persetujuan atas perjanjian

yang telah ada. Sehingga para pihak tidak perlu bertemu langsung untuk

mengadakan suatu perjanjian.

Pasal 1320 KUH Perdata sebagai hukum konvensional menyatakan untuk

sahnya suatu perjanjian, diperlukan 4 syarat, yaitu:

1. Kesepakatan pihak yang mengikatkan diri

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

3. Suatu hal tertentu

4. Sebab yang halal.

(6)

3 dan 4 adalah syarat obyektif. Jika suatu perjanjian tidak memenuhi syarat

subyektif, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Jika suatu perjanjian tidak

memenuhi syarat obyektif, maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Dapat

dibatalkan artinya, salah satu pihak dapat mengajukan pembatalan perjanjian

tersebut. Perjanjian dengan sendirinya tetap mengikat kedua belah pihak selama

tidak dibatalkan atas permintaan pihak yang berhak memintakan pembatalan.

Batal demi hukum artinya, dari semula dianggap tidak pernah ada dilahirkan

perjanjian tersebut.4

Dalam hukum perjanjian konvensional agar terdapat suatu perjanjian harus

ada dua kehendak yang mecapai kata sepakat dan konsesus. Tanpa kata sepakat

tidak mungkin ada perjanjian. Tidak menjadi soal apakah kedua kehendak itu

disampaikan secara lisan maupun tertulis. Bahkan dengan bahasa isyarat atau

dengan cara membisu sekalipun dapat terjadi perjanjian asal ada kata sepakat.

Kedua belah pihak harus cakap atau mampu membuat perjanjian. Untuk adanya

perjanjian haruslah ada obyek tertentu, harus ada sesuatu yang diperjanjikan yang

pasti atau dapat dipastikan. Kecuali itu, isi perjanjian itu tidak boleh bertentangan

dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan (contra bonos mores). Dalam Pasal 1320 KUH Perdata dijelaskan kesepakatan mengandung

pengertian bahwa para pihak saling menyatakan kehendak masing-masing untuk

menutup suatu perjanjian atau pernyataan pihak yang satu cocok atau bersesuaian

dengan pernyataan pihak yang lain. Pernyataan kehendak tidak harus dinyatakan

4

(7)

secara tegas, namun dapat dengan tingkah laku atau hal-hal lain yang

mengungkapkan pernyataan kehendak para pihak.5

Isi perjanjian berkaitan dengan hak-hak konsumen. Dalam transaksi online

pihak konsumen sangat riskan untuk mengalami kerugian. Bahwa konsumen perlu

mendapatkan informasi yang menyeluruh tentang kondisi suatu barang/jasa.

Konsumen juga memiliki hak untuk menentukan sendiri pilihannya terhadap

barang/jasa yang dipilih untuk digunakan atau dimanfaatkan. Untuk itu,

konsumen perlu mengetahui seluruh larangan tentang kelayakan barang/jasa yang

ditawarkan.6

Di dalam setiap perjanjian selalu ada dua macam subyek hukum.

Masing-masing subyek hukum mempunyai hak dan kewajiban secara timbal balik dalam

pelaksanaan perjanjian yang dibuatnya. Apabila salah satu subyek tidak

melaksanakan apa yang semestinya dilakukan sesuai dengan dalam perjanjian

maka perbuatan tersebut dikatakan wanprestasi. Wanprestasi artinya tidak

memenuhi prestasi yang diperjanjikan dalam perjanjian. Wirjono Prodjodikoro

mengatakan wanprestasi adalah berarti keadaan suatu prestasi dalam hukum

perjanjian, berarti suatu hal harus dilaksanakan sebagai isi dari suatu perjanjian.

Dapat dipakai istilah pelaksanaan janji untuk prestasi dan ketiadaan pelaksanaan

janji untuk wanprestasi.7

5

Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Edisi I, Kencana, Jakarta, 2010, h. 162.

6

Abdul Halim Barkatullah, Hak-Hak Konsumen, Cet.I, Nusa Media, Bandung, 2010, h. 53-54.

7

(8)

Wanprestasi memiliki empat macam, yaitu:

a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya

b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana

dijanjikannya

c. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat

d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.8

Wanprestasi dapat dilakukan oleh pelaku usaha. Jika pelaku usaha

melakukan wanprestasi, misalnya saja dalam hal pengiriman barang yang

mengalami keterlambatan waktu sampai ketangan konsumen. Sebagai konsumen

dapat menghubungi kembali pihak pelaku usaha untuk mengkonfirmasi

keberadaan barang yang dibelinya. Atau, ada juga pelaku usaha yang dengan

sengaja berniat tidak memenuhi kewajibannya, hal ini dapat dikategorikan sebagai

penipuan, tidaklah jarang jika hal tersebut juga dapat menimbulkan perbuatan

melawan hukum. Tiap perbuatan melawan hukum yang terjadi tidak hanya

mengakibatkan kerugian uang saja, tapi juga dapat menyebabkan kerugian moril

atau idiil, yakni ketakutan, terkejut, sakit, dan kehilangan kesenangan hidup.9

Kejujuran dan kepatuhan dalam pelaksanaan, persetujuan sangatlah

berhubungan erat dengan soal penafsiran dari suatu persetujuan. Suatu persetujuan

tertentu berupa rangkaian kata-kata sebagai gambaran dari suatu perhubungan

antara kedua belah pihak. Kalau orang mulai melaksanakan persetujuan itu,

timbullah bermacam-macam persoalan yang pada waktu persetujuan terbentuk,

sama sekali tidak atau hanya sedikit nampak pada alam pikiran dan alam perasaan

8

Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2002, h. 45.

9

(9)

kedua belah pihak. Disinilah letak kejujuran dan kepatuhan, yang harus dikejar

dalam melaksanakan persetujuan.10

Sehubungan dengan hal tersebut maka penulis mengangkat putusan

No.82/Pdt.G/2013/PN.Yk, dalam putusan tersebut terdapat kasus gugatan yang

terjadi adalah mengenai transaksi jual beli online (e-commerce). Sebagai pihak Penggugat Suhartatik Kurniawati alias Mey Fung, Agama Islam, Pekerjaan

Swasta, seorang Perempuan, Kewarganegaraan Indonesia. Penggugat bertempat

tinggal di Perumahan Panjaitan Blok D No. 1, Kelurahan Citrodiwangsan,

Kecamatan Lumajang, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Dalam gugatan

tersebut, Penggugat melawan Rosita Vidiastria, Agama Islam, Pekerjaan Swasta.

Tergugat juga seorang Perempuan, Kewarganegaraan Indonesia, bertempat tinggal

di Jalan Gowongan Tengah JT.3, No 364, Kelurahan Bumijo, Kecamatan Jetis,

Kota Yogyakarta. Untuk selanjutnya disebut sebagai Tergugat I. Ada pula Rusdi,

Agama Islam, Pekerjaan Swasta, Jenis kelamin Laki-laki, Kewarganegaraan

Indonesia, Bertempat tinggal di Jalan Gowongan Tengah JT.3, No 364, Kelurahan

Bumijo, Kecamatan Jetis, Kota Yogyakarta, untuk selanjutnya disebut sebagai

Tergugat II.

Penggugat sebelumnya sudah saling kenal dengan Tergugat I melalui

pertemanan melalui facebook via internet. Dari hubungan pertemanan ini, antara Pengggugat dan Tergugat saling tukar PIN Blackberry (BB). Selanjutnya,

hubungan keduanya dilanjutkan kerjasama bisnis pemesanan gadget handphone

segala merk dan tipe handphone. Bahwa sejak pertemanan melalui facebook dan

10

(10)

komunikasi PIN Blackberry (BB), Penggugat dan Tegugat sudah terjadi hubungan

hukum berkaitan dengan PO (Pre Order) pemesanan gadget handphone segala merk dan tipe melalui online shop via internet. Sesuai pesanan yang diminta Tergugat kepada Penggugat, kegiatan usaha yang dilakukan Penggugat kepada

Tergugat sesuai dengan kesepakatan bersama, yaitu melakukan pembayaran

mentransfer melalui rekening BCA.

Sesuai pesanan yang diminta Tergugat I kepada Penggugat, Tergugat telah

melakukan pembayaran dengan cara mentransfer ke rekening BCA. Sebaliknya

Penggugat juga telah memenuhi kewajibannya selaku pelaku usaha, yaitu telah

melakukan pengiriman barang pesanan gadget handphone segala merk dan tipe ke alamat dimaksud sesuai dengan pesanan yang diminta oleh Tergugat I.

Pengiriman dilakukan melalui jasa kurir pengiriman JNE. Sebagian dikirmkan dan

diterima oleh Tergugat II. Total barang yang diterima oleh Rosita Vidiastria

(Tergugat I): empat puluh empat handphone. Total barang yang diterima oleh Rusdi (Tergugat II): seratus dua handphone.

Oleh karena adanya pemesanan gadget PO (Pre Order) handphone dengan segala merk dan tipe seperti yang dipesan oleh Tergugat I kepada Penggugat,

Penggugat telah memesan kepada agen distributor handphone di Huangzhou China yang ditunggu dari bulan Januari 2012 sampai dengan bulan Mei 2012 dan

sebagian barang pesanan Penggugat belum datang untuk dikirimkan ke alamat

Tergugat I dan sesuai dengan janjinya Penggugat didalam promo handphone

(11)

Dengan itu Penggugat membayar refund (pengembalian uang) kepada Tergugat I dengan jumlah keseluruhan sembilan ratus tiga puluh sembilan juta

enam ratus delapan puluh dua ribu rupiah. Akan tetapi Penggugat sangat terkejut

dengan sikap tergugat I dan Tergugat II yang tidak jujur dengan tidak mengakui

atas pengembalian uang dan pengiriman handphone. Jumlahnya, senilai sembilan ratus tiga puluh sembilan juta enam ratus delapan puluh dua ribu rupiah. Bahkan,

Tergugat I masih tetap meminta pembayaran pengembalian uang/refund kepada Penggugat senilai dua milyar lima ratus enam puluh juta sembilan ratus delapan

puluh satu ribu rupiah.

Akibat perbuatan para Tergugat yang tidak mengakui pernah menerima

pengembalian uang/refund dan barang handphone dari Penggugat, dan Tergugat tetap bersikeras meminta pembayaran pengembalian uang kepada Penggugat

sebesar dua milyar lima ratus enam puluh juta sembilan ratus delapan puluh satu

ribu rupiah. Maka, Penggugat merasa dirugikan karena sudah melakukan

kewajibannya dan pernah mengembalikan uang/refund serta mengirimkan barang dengan jumlah senilai sembilan ratus tiga puluh sembilan juta enam ratus delapan

puluh dua ribu rupiah.

Tergugat I dan rekan Tergugat telah memesan sebanyak seribu seratus

empat puluh unit smartphone dan gadget. Barang yang belum dikirim sebanyak sembilan ratus sembilan puluh empat unit smartphone dan gadget, sedangkan barang yang sudah dikirim dan diterima oleh Tergugat dengan jujur dan tegas

adalah benar berjumlah seratus empat puluh enam unit dengan total harga sebesar

(12)

pengiriman barang ini tidak sebanding dengan jumlah pesanan. Total uang (uang

barang, uang percepatan, uang ongkos kirim) yang sudah dikirim kepada

Penggugat dan rekan Penggugat atas perintah Penggugat sesuai order mulai 19

Desember 2011 sampai dengan tanggal 22 Mei 2012 secara bertahap adalah

sebesar dua milyar delapan ratus sembilan juta rupiah.

Tentunya pengiriman uang ini kepada Penggugat atau rekan Penggugat

setelah disepakati harga barang. Bahwa jelas disini yang dirugikan adalah

Tergugat I dan rekan Tergugat I bukan Penggugat dan yang merupakan perbuatan

melawan hukum adalah Penggugat bukan para Tergugat karena uang milik

Tergugat I dan rekan Tegugat I masih ada sebesar dua milyar seratus tujuh puluh

enam juta enam ratus delapan belas ribu rupiah ditangan Penggugat.

Fakta hukum dari Penggugat dan para Tergugat telah terdapat

perbedaan-perbedaan baik mengenai harga, jumlah HP yang dikirim dan diterima dan jumlah

uang yang telah dikembalikan (refund) oleh Penggugat. Terjadi perbedaan-perbedaan fakta hukum baik dalam jawab-jinawab antara Penggugat dan para

Tergugat maupun di dalam pembuktiannya (bukti surat-surat) masing-masing dari

penggugat maupun para tergugat. Sama sekali para pihak tidak ada yang

mengajukan bagaimana sebenarnya kesepakatan bersama yang terjadi di antara

Penggugat dengan para Tergugat didalam kerjasama bisnis online shop via internet. Khususmya, kesepakatan mengenai harga minimal Penggugat haruslah

melampirkan print out dari penawaran awal Penggugat di internet kepada para Tergugat. Seperti dikemukakan di mula, sebelum telah terjadinya kerjasama bisnis

(13)

dan tipe tersebut. Sehingga gugatan Penggugat dianggap tidak jelas dan kabur

(Obscuur Libel) karena surat gugatan Penggugat tidak memenuhi syarat substansial surat gugatan, dengan demikian gugatan Penggugat oleh pihak Hakim

tidak dapat diterima ( Niet Onvantkelijke Verklaard).

2. Rumusan Masalah

Dilihat dari latar belakang permasalahan di atas, maka penulis

merumuskan permasalahan sebagai berkut:

Bagaimana kata sepakat dalam transaksi e-commerce ?

3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kata sepakat dalam transaksi e-commerce.

4. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini terbagi menjadi dua, yaitu manfaat secara teoritis

dan manfaat secara praktis.

1. Manfaat teoritis

a. Penelitian ini diharapkan berguna unuk memberikan solusi dalam hal

meningkatkan eksistensi bisnis jual beli online (e-commerce).

b. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi atau masukan bagi

perkembangan ilmu hukum. Dilakukannya pengujian atas teori tersebut

melalui penelitian yang hasilnya dapat menolak ataupun mengukuhkan

(14)

2. Manfaat praktis

Hasil penelitian ini diharapkan berguna untuk memecahkan permasalahan

praktis terhadap suatu permasalahan yang berkaitan dengan jual beli online ( e-commerce). Jadi kedua manfaat tersebut adalah syarat untuk dilakukannya sebuah penelitian yang mana telah dinyatakan di dalam rancangan penelitian.

5. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian

hukum. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan normatif. Metode

pendekatan hukum normatif adalah metode atau cara yang dipergunakan di dalam

penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada.11

Jenis data yang digunakan dalam suatu penelitian dibedakan atas data primer dan

data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari perilaku

masyarakat. Sedangkan data sekunder adalah data dari bahan pustaka , antara lain

mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil penelitian berwujud

laporan, buku harian, dan sebagainya.12 Jenis data yang digunakan dalam

penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder dalam penelitian ini

mencangkup :

1) Bahan Hukum primer merupakan bahan-bahan hukum yang mengikat.

Dalam penelitian ini bahan hukum primer yang digunakan terdiri dari :

a. Putusan No.82/Pdt.G/2013/PN.YK.

b. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

11

Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Cet. XI, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009, h. 13-14.

12

(15)

c. Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

(UU ITE).

d. Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

2) Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer. Menurut Marzuki bahan penelitian hukum

sekunder adalah bahan-bahan berupa semua publikasi tentang hukum yang

bukan merupakan dokumen-dokumen resmi, meliputi buku-buku teks,

kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas

putusan pengadilan. Bahan penelitian hukum yang digunakan buku-buku

yang terkait dengan materi/bahasan yang penulis gunakan.13

13

Referensi

Dokumen terkait

Tenaga Kerja Kabupaten Murung Raya Tahun 2003 -2007 II-14 Jumlah Pencari Kerja yang terdaftar Menurut Tingkat. Pendidikan di Kabupaten Murung Raya Tahun 2003 -2007

Walaupun pada penelitian ini hasil yang didapatkan adalah terdapat adanya hubungan antara kelengkapan imunisasi dasar dengan kejadian stunting , namun perlu diketahui

Daftar Peserta Seminar Nasional Pengelolaan Lahan Berkelanjutan untuk Mendukung Ketahanan Pangan Nasional, Kerjasama HITI Komda Aceh, Fakultas Pertanian Universitas

Demikian halnya Dewan Hisbah Persis seperti yang menetapkan hukum zakat profesi adalah tidak wajib dan hanya memutuskan bahwa harta yang tidak terkena kewajiban

yang berupa singkapan bongkah lepas tak teratur memberikan kesan seolah-olah batuan ini merupakan fragmen yang berukuran bera­ gam di dalam batulempung. Pada beberapa

Posyandu-Posyandu Lansia Kabupaten Rokan Hulu tahun 2013 yaitu 48,06 tahun.Variabel yang berhubungan sebab akibat terhadap usia menopause adalah variabel konsumsi makanan

Makna yang terkandung dalam syair Peuayôn Aneuk di Gampong Lhok Dalam Kecamatan Peureulak Kabupaten Aceh Timur adalah tentang nasehat pentingnya mengakui adanya

Belajar melalui seni merupakan salah satu metode yang harus diterapkan dalam pendidikan anak usia dini mengingat bahwa pentingnya seni untuk membantu segala aspek