BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Hadirnya masyarakat informasi ditandai dengan adanya pemanfaatan
internet yang semakin meluas dan masuk dalam berbagai aktivitas kehidupan
manusia. Hal ini terjadi bukan hanya di negara-negara maju, akan tetapi juga di
negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Fenomena ini menjadikan
informasi sebagai komoditas ekonomi yang sangat penting dan menguntungkan.
Terdapat potensi yang sangat besar peluang untuk melakukan transaksi bisnis
melalui media internet ini khususnya dalam e-commerce.
E-commerce adalah suatu kontrak. E-commerce dilakukan antara pengirim dan penerima atau dengan pihak lain, yaitu pihak ketiga dalam hubungan
perjanjian yang sama untuk mengirimkan sejumlah barang, pelayanan, atau
peralihan hak. Transaksi komersial berlangsung dalam media elektronik (media
digital) yang secara fisik tidak memerlukan pertemuan para pihak dan keberadaan
media ini dalam public network atas sistem yang berlawanan dengan private network (sistem tertutup). Sistem the public network ini harus mempertimbangkan sistem terbuka.1 E-commerce sebagai lahan pembisnis dan para pelaku usaha menjadi tren yang sangat menarik perhatian publik. Penggunaan peralatan
elektronik untuk melaksanakan transaksi komersial yang telah dirancang
1
sedemikian rupa membuat para peminat melupakan atau mengacuhkan
implikasi-implikasi yang akan ditimbulkan.
Dalam perkembangannya, kegiatan e-commerce berbasis pada Undang-Undang No.19 tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang-Undang-Undang No. 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Salah satu maksud
dan tujuan diterbitkan UU ITE dan UU Perdagangan adalah untuk memberikan
kepastian hukum dan perlindungan bagi para pelaku di sekitar e-commerce. Kegiatan perdagangan elektronik masih dipahami sebagai transaksi elektronik.
Transaksi elektronik berdasarkan Pasal 1 ayat (2) UU ITE, yakni perbuatan
hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer,
dan/atau media elektronik lainnya. Sedangkan di dalam UU Perdagangan,
disebutkan dalam Pasal 1 ayat 24 Perdagangan bahwa e-commerce adalah “Perdagangan melalui sistem elektronik”, yaitu perdagangan yang transaksinya
dilakukan melalui serangkaian perangkat dan prosedur elektronik.
Perdagangan melalui internet (e-commerce) pada dasarnya sama dengan perdagangan pada umumnya. Suatu perdagangan terjadi ketika ada kesepakatan
mengenai barang atau jasa yang diperdagangkan serta harga atas barang atau jasa
tersebut. Pembeda e-commerce dan perdagangan konvesional hanya pada media yang digunakan. Jika pada perdagangan konvensional para pihak harus bertemu
langsung di suatu tempat guna menyepakati mengenai apa yang akan
diperdagangkan serta berapa harga atas barang atau jasa tersebut. Sedangkan
perlu adanya pertemuan langsung antar para pihak. Demikian juga halnya dengan
perjanjian yang mensyaratkan atas adanya kesepakatan untuk melakukan transaksi
perdagangan dalam transaksi e-commerce.
Sebagaimana dalam perdagangan konvensional, kata sepakat dalam e-commerce menimbulkan perikatan antara para pihak untuk memberikan suatu prestasi. Memberikan sesuatu sama dengan melakukan atau berbuat sesuatu.
Adapun yang dimaksud dengan berbuat adalah melaksanakan setiap prestasi yang
bersifat positif tidak berupa memberi.2 Perikatan dan perjanjian menunjuk pada
dua hal yang berbeda. Perikatan adalah suatu istilah atau pernyataan yang bersifat
abstrak, yang menunjuk pada hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan
antara dua atau lebih orang atau pihak. Adanya hubungan hukum tersebut
melahirkan kewajiban kepada pihak yang terlibat dalam hubungan hukum
tersebut. Meskipun, bukan yang paling dominan namun pada umumnya perikatan
yang lahir dari perjanjian merupakan yang paling banyak terjadi dalam kehidupan
manusia sehari-hari. Implikasi dari perikatan itu adalah timbulnya hak dan
kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pihak yang terlibat. Dalam jual beli
perikatannya bersifat “obligatoir”. Artinya, perjanjian itu baru memberi hak dan
kewajiban kepada pihak masing-masing, belum mengalihkan hak milik dari
penjual kepada pembeli. Artinya, penjual harus menyerahkan hak milik atas
barang yang dijual belikan kepada pembeli.3
2
Ridwan Khairandy, Hukum Kontrak Indonesia dalam Perspektif Perbandingan, Cet. I, FH UII Press, Yogyakarta, 2013, h. 42.
3
Di dalam hukum perikatan Indonesia dikenal apa yang disebut ketentuan
hukum pelengkap. Ketentuan tersebut tersedia untuk dipergunakan oleh para
pihak yang membuat perjanjian apabila ternyata perjanjian yang dibuat mengenai
sesuatu hal ternyata kurang lengkap atau belum mengatur sesutu hal. Ketentuan
hukum pelengkap itu terdiri dari ketentuan umum dan ketentuan khusus untuk
jenis perjanjian tertentu. Jual beli merupakan salah satu jenis perjanjian yang
diatur dalam KUH Perdata. Sedangkan e-commerce pada dasarnya merupakan model transaksi modern antara lain jual beli, yang mengimplikasikan inovasi
teknologi seperti internet sebagai media transaksi. Dengan demikian selama tidak
diperjanjikan dan diatur lain dalam UU ITE, maka ketentuan umum tentang antara
lain perikatan dan perjanjian jual-beli yang diatur dalam Buku III KUH Perdata
berlaku sebagai dasar hukum aktifitas e-commerce di Indonesia. Jika dalam pelaksanaan transaksi e-commerce tersebut timbul sengketa, maka para pihak dapat mencari penyelesaiannya dalam ketentuan tersebut, dan juga ketentuan yang
mengatur secara khusus kesepakatan dalam transaksi elektronik sebagaimana
diatur dalam UU ITE.
Akan tetapi permasalahannya tidaklah sesederhana itu. E-commerce
merupakan model perjanjian dengan karakteristik dan aksentuasi yang berbeda
dengan model transaksi jual beli konvensional. Penting dipahami bahwa kontrak
elektronik ini adalah kontrak tidak bernama (onbenoemde contract) karena tidak disebutkan di dalam BW atau KUH Perdata. Namun, saat ini mungkin dapat
disebut bernama kalau namanya disebut dalam peraturan perundang-undangan
pembuatannya yang melalui sistem elektronik atau menggunakan media
elektronik. Dengan daya jangkau keberlakuan yang tidak hanya lokal tapi juga
bersifat global. Adaptasi secara langsung ketentuan jual beli konvensional akan
kurang tepat dan tidak sesuai dengan konteks e-commerce. Oleh karena itu perlu analisis apakah ketentuan hukum yang ada dalam KUH Perdata sudah cukup
relevan dan akomodatif dengan hakekat e-commerce atau perlu regulasi khusus yang mengatur tentang e-commerce.
Transaksi melalui internet ini dilakukan dengan tanpa tatap muka antara
para pihaknya. Mereka mendasari transaksi tersebut atas rasa kepercayaan satu
sama lain. Sehingga perjanjian, yang terjadi diantara pihakpun dilakukan secara
elektronik, dengan mengakses halaman web yang disediakan, berisi klausul atau perjanjian yang dibuat oleh pihak pertama (pengirim), dan pihak lain (penerima)
hanya menekan tombol yang disediakan sebagai tanda persetujuan atas perjanjian
yang telah ada. Sehingga para pihak tidak perlu bertemu langsung untuk
mengadakan suatu perjanjian.
Pasal 1320 KUH Perdata sebagai hukum konvensional menyatakan untuk
sahnya suatu perjanjian, diperlukan 4 syarat, yaitu:
1. Kesepakatan pihak yang mengikatkan diri
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3. Suatu hal tertentu
4. Sebab yang halal.
3 dan 4 adalah syarat obyektif. Jika suatu perjanjian tidak memenuhi syarat
subyektif, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Jika suatu perjanjian tidak
memenuhi syarat obyektif, maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Dapat
dibatalkan artinya, salah satu pihak dapat mengajukan pembatalan perjanjian
tersebut. Perjanjian dengan sendirinya tetap mengikat kedua belah pihak selama
tidak dibatalkan atas permintaan pihak yang berhak memintakan pembatalan.
Batal demi hukum artinya, dari semula dianggap tidak pernah ada dilahirkan
perjanjian tersebut.4
Dalam hukum perjanjian konvensional agar terdapat suatu perjanjian harus
ada dua kehendak yang mecapai kata sepakat dan konsesus. Tanpa kata sepakat
tidak mungkin ada perjanjian. Tidak menjadi soal apakah kedua kehendak itu
disampaikan secara lisan maupun tertulis. Bahkan dengan bahasa isyarat atau
dengan cara membisu sekalipun dapat terjadi perjanjian asal ada kata sepakat.
Kedua belah pihak harus cakap atau mampu membuat perjanjian. Untuk adanya
perjanjian haruslah ada obyek tertentu, harus ada sesuatu yang diperjanjikan yang
pasti atau dapat dipastikan. Kecuali itu, isi perjanjian itu tidak boleh bertentangan
dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan (contra bonos mores). Dalam Pasal 1320 KUH Perdata dijelaskan kesepakatan mengandung
pengertian bahwa para pihak saling menyatakan kehendak masing-masing untuk
menutup suatu perjanjian atau pernyataan pihak yang satu cocok atau bersesuaian
dengan pernyataan pihak yang lain. Pernyataan kehendak tidak harus dinyatakan
4
secara tegas, namun dapat dengan tingkah laku atau hal-hal lain yang
mengungkapkan pernyataan kehendak para pihak.5
Isi perjanjian berkaitan dengan hak-hak konsumen. Dalam transaksi online
pihak konsumen sangat riskan untuk mengalami kerugian. Bahwa konsumen perlu
mendapatkan informasi yang menyeluruh tentang kondisi suatu barang/jasa.
Konsumen juga memiliki hak untuk menentukan sendiri pilihannya terhadap
barang/jasa yang dipilih untuk digunakan atau dimanfaatkan. Untuk itu,
konsumen perlu mengetahui seluruh larangan tentang kelayakan barang/jasa yang
ditawarkan.6
Di dalam setiap perjanjian selalu ada dua macam subyek hukum.
Masing-masing subyek hukum mempunyai hak dan kewajiban secara timbal balik dalam
pelaksanaan perjanjian yang dibuatnya. Apabila salah satu subyek tidak
melaksanakan apa yang semestinya dilakukan sesuai dengan dalam perjanjian
maka perbuatan tersebut dikatakan wanprestasi. Wanprestasi artinya tidak
memenuhi prestasi yang diperjanjikan dalam perjanjian. Wirjono Prodjodikoro
mengatakan wanprestasi adalah berarti keadaan suatu prestasi dalam hukum
perjanjian, berarti suatu hal harus dilaksanakan sebagai isi dari suatu perjanjian.
Dapat dipakai istilah pelaksanaan janji untuk prestasi dan ketiadaan pelaksanaan
janji untuk wanprestasi.7
5
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Edisi I, Kencana, Jakarta, 2010, h. 162.
6
Abdul Halim Barkatullah, Hak-Hak Konsumen, Cet.I, Nusa Media, Bandung, 2010, h. 53-54.
7
Wanprestasi memiliki empat macam, yaitu:
a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya
b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana
dijanjikannya
c. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat
d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.8
Wanprestasi dapat dilakukan oleh pelaku usaha. Jika pelaku usaha
melakukan wanprestasi, misalnya saja dalam hal pengiriman barang yang
mengalami keterlambatan waktu sampai ketangan konsumen. Sebagai konsumen
dapat menghubungi kembali pihak pelaku usaha untuk mengkonfirmasi
keberadaan barang yang dibelinya. Atau, ada juga pelaku usaha yang dengan
sengaja berniat tidak memenuhi kewajibannya, hal ini dapat dikategorikan sebagai
penipuan, tidaklah jarang jika hal tersebut juga dapat menimbulkan perbuatan
melawan hukum. Tiap perbuatan melawan hukum yang terjadi tidak hanya
mengakibatkan kerugian uang saja, tapi juga dapat menyebabkan kerugian moril
atau idiil, yakni ketakutan, terkejut, sakit, dan kehilangan kesenangan hidup.9
Kejujuran dan kepatuhan dalam pelaksanaan, persetujuan sangatlah
berhubungan erat dengan soal penafsiran dari suatu persetujuan. Suatu persetujuan
tertentu berupa rangkaian kata-kata sebagai gambaran dari suatu perhubungan
antara kedua belah pihak. Kalau orang mulai melaksanakan persetujuan itu,
timbullah bermacam-macam persoalan yang pada waktu persetujuan terbentuk,
sama sekali tidak atau hanya sedikit nampak pada alam pikiran dan alam perasaan
8
Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2002, h. 45.
9
kedua belah pihak. Disinilah letak kejujuran dan kepatuhan, yang harus dikejar
dalam melaksanakan persetujuan.10
Sehubungan dengan hal tersebut maka penulis mengangkat putusan
No.82/Pdt.G/2013/PN.Yk, dalam putusan tersebut terdapat kasus gugatan yang
terjadi adalah mengenai transaksi jual beli online (e-commerce). Sebagai pihak Penggugat Suhartatik Kurniawati alias Mey Fung, Agama Islam, Pekerjaan
Swasta, seorang Perempuan, Kewarganegaraan Indonesia. Penggugat bertempat
tinggal di Perumahan Panjaitan Blok D No. 1, Kelurahan Citrodiwangsan,
Kecamatan Lumajang, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Dalam gugatan
tersebut, Penggugat melawan Rosita Vidiastria, Agama Islam, Pekerjaan Swasta.
Tergugat juga seorang Perempuan, Kewarganegaraan Indonesia, bertempat tinggal
di Jalan Gowongan Tengah JT.3, No 364, Kelurahan Bumijo, Kecamatan Jetis,
Kota Yogyakarta. Untuk selanjutnya disebut sebagai Tergugat I. Ada pula Rusdi,
Agama Islam, Pekerjaan Swasta, Jenis kelamin Laki-laki, Kewarganegaraan
Indonesia, Bertempat tinggal di Jalan Gowongan Tengah JT.3, No 364, Kelurahan
Bumijo, Kecamatan Jetis, Kota Yogyakarta, untuk selanjutnya disebut sebagai
Tergugat II.
Penggugat sebelumnya sudah saling kenal dengan Tergugat I melalui
pertemanan melalui facebook via internet. Dari hubungan pertemanan ini, antara Pengggugat dan Tergugat saling tukar PIN Blackberry (BB). Selanjutnya,
hubungan keduanya dilanjutkan kerjasama bisnis pemesanan gadget handphone
segala merk dan tipe handphone. Bahwa sejak pertemanan melalui facebook dan
10
komunikasi PIN Blackberry (BB), Penggugat dan Tegugat sudah terjadi hubungan
hukum berkaitan dengan PO (Pre Order) pemesanan gadget handphone segala merk dan tipe melalui online shop via internet. Sesuai pesanan yang diminta Tergugat kepada Penggugat, kegiatan usaha yang dilakukan Penggugat kepada
Tergugat sesuai dengan kesepakatan bersama, yaitu melakukan pembayaran
mentransfer melalui rekening BCA.
Sesuai pesanan yang diminta Tergugat I kepada Penggugat, Tergugat telah
melakukan pembayaran dengan cara mentransfer ke rekening BCA. Sebaliknya
Penggugat juga telah memenuhi kewajibannya selaku pelaku usaha, yaitu telah
melakukan pengiriman barang pesanan gadget handphone segala merk dan tipe ke alamat dimaksud sesuai dengan pesanan yang diminta oleh Tergugat I.
Pengiriman dilakukan melalui jasa kurir pengiriman JNE. Sebagian dikirmkan dan
diterima oleh Tergugat II. Total barang yang diterima oleh Rosita Vidiastria
(Tergugat I): empat puluh empat handphone. Total barang yang diterima oleh Rusdi (Tergugat II): seratus dua handphone.
Oleh karena adanya pemesanan gadget PO (Pre Order) handphone dengan segala merk dan tipe seperti yang dipesan oleh Tergugat I kepada Penggugat,
Penggugat telah memesan kepada agen distributor handphone di Huangzhou China yang ditunggu dari bulan Januari 2012 sampai dengan bulan Mei 2012 dan
sebagian barang pesanan Penggugat belum datang untuk dikirimkan ke alamat
Tergugat I dan sesuai dengan janjinya Penggugat didalam promo handphone
Dengan itu Penggugat membayar refund (pengembalian uang) kepada Tergugat I dengan jumlah keseluruhan sembilan ratus tiga puluh sembilan juta
enam ratus delapan puluh dua ribu rupiah. Akan tetapi Penggugat sangat terkejut
dengan sikap tergugat I dan Tergugat II yang tidak jujur dengan tidak mengakui
atas pengembalian uang dan pengiriman handphone. Jumlahnya, senilai sembilan ratus tiga puluh sembilan juta enam ratus delapan puluh dua ribu rupiah. Bahkan,
Tergugat I masih tetap meminta pembayaran pengembalian uang/refund kepada Penggugat senilai dua milyar lima ratus enam puluh juta sembilan ratus delapan
puluh satu ribu rupiah.
Akibat perbuatan para Tergugat yang tidak mengakui pernah menerima
pengembalian uang/refund dan barang handphone dari Penggugat, dan Tergugat tetap bersikeras meminta pembayaran pengembalian uang kepada Penggugat
sebesar dua milyar lima ratus enam puluh juta sembilan ratus delapan puluh satu
ribu rupiah. Maka, Penggugat merasa dirugikan karena sudah melakukan
kewajibannya dan pernah mengembalikan uang/refund serta mengirimkan barang dengan jumlah senilai sembilan ratus tiga puluh sembilan juta enam ratus delapan
puluh dua ribu rupiah.
Tergugat I dan rekan Tergugat telah memesan sebanyak seribu seratus
empat puluh unit smartphone dan gadget. Barang yang belum dikirim sebanyak sembilan ratus sembilan puluh empat unit smartphone dan gadget, sedangkan barang yang sudah dikirim dan diterima oleh Tergugat dengan jujur dan tegas
adalah benar berjumlah seratus empat puluh enam unit dengan total harga sebesar
pengiriman barang ini tidak sebanding dengan jumlah pesanan. Total uang (uang
barang, uang percepatan, uang ongkos kirim) yang sudah dikirim kepada
Penggugat dan rekan Penggugat atas perintah Penggugat sesuai order mulai 19
Desember 2011 sampai dengan tanggal 22 Mei 2012 secara bertahap adalah
sebesar dua milyar delapan ratus sembilan juta rupiah.
Tentunya pengiriman uang ini kepada Penggugat atau rekan Penggugat
setelah disepakati harga barang. Bahwa jelas disini yang dirugikan adalah
Tergugat I dan rekan Tergugat I bukan Penggugat dan yang merupakan perbuatan
melawan hukum adalah Penggugat bukan para Tergugat karena uang milik
Tergugat I dan rekan Tegugat I masih ada sebesar dua milyar seratus tujuh puluh
enam juta enam ratus delapan belas ribu rupiah ditangan Penggugat.
Fakta hukum dari Penggugat dan para Tergugat telah terdapat
perbedaan-perbedaan baik mengenai harga, jumlah HP yang dikirim dan diterima dan jumlah
uang yang telah dikembalikan (refund) oleh Penggugat. Terjadi perbedaan-perbedaan fakta hukum baik dalam jawab-jinawab antara Penggugat dan para
Tergugat maupun di dalam pembuktiannya (bukti surat-surat) masing-masing dari
penggugat maupun para tergugat. Sama sekali para pihak tidak ada yang
mengajukan bagaimana sebenarnya kesepakatan bersama yang terjadi di antara
Penggugat dengan para Tergugat didalam kerjasama bisnis online shop via internet. Khususmya, kesepakatan mengenai harga minimal Penggugat haruslah
melampirkan print out dari penawaran awal Penggugat di internet kepada para Tergugat. Seperti dikemukakan di mula, sebelum telah terjadinya kerjasama bisnis
dan tipe tersebut. Sehingga gugatan Penggugat dianggap tidak jelas dan kabur
(Obscuur Libel) karena surat gugatan Penggugat tidak memenuhi syarat substansial surat gugatan, dengan demikian gugatan Penggugat oleh pihak Hakim
tidak dapat diterima ( Niet Onvantkelijke Verklaard).
2. Rumusan Masalah
Dilihat dari latar belakang permasalahan di atas, maka penulis
merumuskan permasalahan sebagai berkut:
Bagaimana kata sepakat dalam transaksi e-commerce ?
3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kata sepakat dalam transaksi e-commerce.
4. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini terbagi menjadi dua, yaitu manfaat secara teoritis
dan manfaat secara praktis.
1. Manfaat teoritis
a. Penelitian ini diharapkan berguna unuk memberikan solusi dalam hal
meningkatkan eksistensi bisnis jual beli online (e-commerce).
b. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi atau masukan bagi
perkembangan ilmu hukum. Dilakukannya pengujian atas teori tersebut
melalui penelitian yang hasilnya dapat menolak ataupun mengukuhkan
2. Manfaat praktis
Hasil penelitian ini diharapkan berguna untuk memecahkan permasalahan
praktis terhadap suatu permasalahan yang berkaitan dengan jual beli online ( e-commerce). Jadi kedua manfaat tersebut adalah syarat untuk dilakukannya sebuah penelitian yang mana telah dinyatakan di dalam rancangan penelitian.
5. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
hukum. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan normatif. Metode
pendekatan hukum normatif adalah metode atau cara yang dipergunakan di dalam
penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada.11
Jenis data yang digunakan dalam suatu penelitian dibedakan atas data primer dan
data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari perilaku
masyarakat. Sedangkan data sekunder adalah data dari bahan pustaka , antara lain
mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil penelitian berwujud
laporan, buku harian, dan sebagainya.12 Jenis data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder dalam penelitian ini
mencangkup :
1) Bahan Hukum primer merupakan bahan-bahan hukum yang mengikat.
Dalam penelitian ini bahan hukum primer yang digunakan terdiri dari :
a. Putusan No.82/Pdt.G/2013/PN.YK.
b. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
11
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Cet. XI, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009, h. 13-14.
12
c. Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
(UU ITE).
d. Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
2) Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer. Menurut Marzuki bahan penelitian hukum
sekunder adalah bahan-bahan berupa semua publikasi tentang hukum yang
bukan merupakan dokumen-dokumen resmi, meliputi buku-buku teks,
kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas
putusan pengadilan. Bahan penelitian hukum yang digunakan buku-buku
yang terkait dengan materi/bahasan yang penulis gunakan.13
13