• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PROGRAM TRANS SOSIAL 2.1 Kearifan Suku Anak Dalam - Kehidupan Suku Anak Dalam Pasca Mengikuti Program Trans Sosial di Bukit Suban Kabupaten Merangin Provinsi Jambi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PROGRAM TRANS SOSIAL 2.1 Kearifan Suku Anak Dalam - Kehidupan Suku Anak Dalam Pasca Mengikuti Program Trans Sosial di Bukit Suban Kabupaten Merangin Provinsi Jambi"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN PROGRAM TRANS SOSIAL 2.1 Kearifan Suku Anak Dalam

Dwi Fitri (2011) menyebutkan dalam jurnal yang berjudul Kearifan Suku

Anak Dalam mengatakan bahwa manusia modern seperti kita sekarang ini merupakan

keturunan dari manusia pemburu dan peramu (cro magnon) yang sehari-harinya

mengumpulkan buah-buahan, akar-akaran, serta berburu hewan liar. Di Indonesia,

manusia pemburu dan peramu masih dapat ditemui di sepanjang aliran sungai

Provinsi Jambi. Mereka adalah Suku Anak Dalam yang merupakan salah satu

komunitas masyarakat asli yang hidup di Jambi. Suku Anak Dalam atau Orang

Rimba adalah masyarakat yang tinggal di pedalaman hutan terutama di pulau

Sumatera. Pada umumnya, mereka menempati areal hutan atau daerah sepanjang

bantaran sungai yang terdapat di Provinsi Jambi. Di Provinsi Jambi Suku Anak

Dalam dapat ditemui di kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas atau areal

bantaran Sungai Beruang di kabupaten Muarajambi dan Batanghari.

Kehidupan Suku Anak Dalam ketika berada di hutan sehari – hari bergantung

dengan alam. Kegiatan berburu menjadi aspek penting dilakukan karena dengan

itulah masyarakat Suku Anak Dalam mampu bertahan hidup.Pada umumnya mereka

mencari rotan, damar, buah jerenang (sejenis buah untuk pewarna pakaian), getah

jelutung untuk karet pohon, getah balam merah untuk karet sampai berburu binatang.

Hasil pencarian dan perburuan tersebut sebagian besar akan dijual oleh masyarakat

Suku Anak Dalam untuk memenuhi kebutuhan harian mereka dan sisanya

(2)

tinggal mereka. Suku Anak Dalam memenuhi kebutuhan mereka tidak hanya berburu

saja, sebagian dari Suku Anak Dalam biasanya melakukan cocok tanam seperti

ubi-ubian. Mereka juga menjual rotan, karet, serta jerenang kepada masyarakat luar

rimba. Dari hasil penjualan itu, mereka membeli bahan kebutuhan pokok seperti gula,

kopi, atau garam.

Adanya pertukaran barang antara masyarakat luar rimba dengan Suku Anak

Dalam membuktikan adanya keterbukaan dari Suku Anak Dalam terhadap dunia luar.

Beberapa Suku Anak Dalam bahkan menetap di luar rimba dan menyesuaikan diri

dengan kehidupan Masyarakat Melayu atau Transmigran di sana. Sebagian Suku

Anak Dalam juga telah mengenal teknologi (telepon genggam), pendidikan (sekolah),

dan alat transportasi (motor) yang memberikan jalan bagi mereka untuk belajar

banyak hal baru. Meski demikian, Suku Anak Dalam mengalami Culture Shock yang

disebabkan oleh ketidakterbatasan mereka berhadapan dengan hal – hal yang baru.

Mengenai pendidikan, warga Suku Anak Dalam yang enggan menyekolahkan

anaknya, biasanya bermuara karena persoalan jauhnya sekolah. Hal itu menyebabkan

sang orangtua tidak bisa mengajarkan tentang pengetahuan lokal mereka yang berupa

adat istiadat serta kemampuan bertahan hidup dengan berladang dan berburu di hutan

secara maksimal, karena pengaruh budaya yang ada di sekitar mereka sudah berubah.

Sekarang, para guru memiliki cara dengan metode jemput bola, yakni pengajar

datang langsung ke lokasi dan mendidik anak Suku Dalam untuk bisa menjadi

pengajar bagi masyarakatnya. Pengetahuan lokal Suku Anak Dalam sangat spesial,

yang paling menarik adalah pendidikan tentang seks serta pembelajaran tentang

(3)

Meski sering dianggap primitif serta terbelakang bagi masyarakat luar rimba

atau Masyarakat Terang, warga Suku Anak Dalam justru sangat terbuka dalam

membicarakan persoalan pendidikan seksualitas. Seks menjadi sesuatu hal yang biasa

untuk dibicarakan di sana, bukan hal yang tabu. Misalnya saja, ketika seorang

pengantin lelaki bercerita tentang pengalaman malam pertamanya, ia melakukan

tanpa malu-malu. Sementara di sampingnya, ada beberapa anak kecil yang juga

mendengarkan. Hal ini menjadi unik ketika mengetahui fakta tidak ada kasus

pemerkosaan yang dilakukan oleh warga Suku Anak Dalam di luar keterbukaan

mereka terhadap seksualitas.

Menurut Suku Anak Dalam semua persoalan seksualitas itu berasal dari

pikiran. Kalau Suku Anak Dalam memiliki pikiran jahat maka, ketika seorang

perempuan berpakaian tertutup pemerkosaan bisa saja terjadi. Namun, ketika Suku

Anak Dalam memiliki pikiran yang baik maka, ketika perempuan Suku Anak Dalam

bertelanjang dada akan biasa – biasa saja. Sementara itu, mengenai proses persalinan,

warga Suku Anak Dalam, biasanya menyuruh anak-anak mereka untuk melihat

langsung proses persalinan dan perjuangan sang ibu dalam menyampaikan sang bayi

selamat sampai ke dunia. Dengan metode seperti itu, anak-anak Suku Anak Dalam itu

bisa lebih berempati terhadap perempuan serta menghormati kaum ibu melalui proses

persalinan secara alamiah.

2.2 Suku Anak Dalam Masih Melestarikan Budaya Leluhur

Dalam jurnal Humaniora Sosial Kemasyarakatan dituliskan bahwa Suku Anak

Dalam pria dan wanita nyaris bertelanjang tampak santai berjalan tanpa alas kaki

(4)

vital. Sebagian perempuan juga hanya memakai selembar kain penutup bagian bawah

tubuh saja dan membiarkan dada mereka kelihatan. Kulit mereka gelap dan tampak

kasar akibat terkena sinar matahari dan hawa dingin secara bergantian setiap hari.

Itulah gambaran orang rimba atau Suku Anak Dalam. Warga Suku Kubu yang

dikenal dengan Suku Anak Dalam sebagai Komunitas Adat Terpencil di Provinsi

Jambi dan salah satu Suku Terasing di Provinsi Jambi.

Sekitar 1.300 orang rimba atau Suku Anak Dalam masih hidup di tepi-tepi

aliran sungai Taman Nasional Bukit Dua Belas. Di hutan tropis seluas 60.500 hektar

itu mereka tinggal terpisah-pisah di tiga kabupaten, Batanghari, Sarolangun, dan

Tebo. Orang asing tidak bisa sembarangan masuk ke hutan tempat tinggal orang

rimba. Di depan gerbang ada tulisan pada papan, dilarang Memotret dan Syuting.

Aturan itu sangat ketat dan kaku. Terutama mengambil gambar perempuan dan

rumah godong (rumah terbuat dari kayu beratap rumbiyak). Pelanggar aturan itu akan

dikenai denda kain, mulai 10 lembar hingga 50 lembar, bergantung keputusan depati

(pejabat adat yang bertugas menyelesaikan sengketa).

Banyak aturan lain yang ketat yang diterapkan oleh Suku Anak Dalam. Pria

asing boleh masuk hutan kalau ditemani pria rimba atau pria Suku Anak Dalam.

Setiap masuk harus berteriak terlebih dahulu. “Ado jentan kiuna” (Ada laki-laki di

sana?). Setelah mendapat jawaban, baru bisa masuk. Peraturan lainnya adalah Pria

yang harus tetap mengenakan penutup bawah. Jika melanggar, si pria juga akan

didenda membayar sejumlah kain. Ada juga peraturan yang mengatakan bahwa Pria

(5)

dikawinkan paksa. Tapi, sebelumnya tubuh mereka akan dihujani pukulan rotan

sebagai hukuman karena telah mempermalukan orang tua.

Suku Anak Dalam tinggal di sebuah rumah godong. Luasnya sekitar 6 x 4

meter. Rumah itu biasanya didirikan kalau mereka membuka lahan, atau untuk

menunggu panen. Dulu mereka hanya menanam ubi-ubian. Kini mereka sudah bisa

menanam kelapa sawit. Rumah godong itu hanya digunakan untuk menyimpan

makanan atau peralatan mereka. Untuk tidur, mereka biasa merebahkan badan di atas

tanah. Sebagian membuat tenda dari terpal. Untuk mandi, mereka cukup

mencelupkan tubuh ke kolam atau sungai. Tentunya tanpa sabun.

Orang rimba atau Suku Anak Dalam memang sudah terbiasa dengan kehidupan

di dalam hutan. Mereka menolak tinggal di rumah. Rencananya Menteri PDT yaitu

Saifullah Yusuf memberikan bantuan rumah untuk Suku Anak Dalam, namun ditolak

oleh Suku Anak Dalam karena menurut mereka rumah tidak begitu penting bagi

mereka, hutan rimba adalah hal terpenting bagi Suku Anak Dalam. Menurut Tarib,

pernah mereka mendapat rumah beratap seng. Tapi, mereka meninggalkan rumah itu.

Karena Suku Anak Dalam meyakini bahwa ketika mereka tinggal di dalam rumah

yang beratapkan seng maka leluhur Suku Anak Dalam tidak bisa masuk.

2.3 Kebudayaan Suku Anak Dalam

Dalam jurnal Kebudayaan mengatakan bahwa Indonesia adalah salah satu

Negara yang memiliki ribuan suku bangsa ya ng beraneka ragam. Masing-masing

daerah saling mempengaruhi dan dipengaruhi oleh kebudayaan daerah lain atau

kebudayaan yang berasal dari luar. Salah satu kebudayaan tersebut adalah Suku Anak

(6)

Anak Dalam belum terlalu dikenal oleh masyarakat Indonesia karena Suku Anak

Dalam sudah sangat langka dan mereka tinggal di tempat-tempat terpencil yang jauh

dari jangkauan orang-orang.

Suku Anak Dalam disebut juga Suku Kubu atau Orang Rimba. Menurut

tradisi lisan suku Anak Dalam merupakan orang Melayu sesat yang lari ke hutan

rimba disekitar Air Hitam, Taman Nasional Bukit Duapuluh. Mereka kemudian

dinamakan Moyang Segayo. Sistem kemasyarakatan mereka adalah hidup secara

nomaden atau tidak menetap dan mendasarkan hidupnya pada berburu dan meramu,

walaupun diantara mereka sudah banyak yang telah memiliki lahan karet ataupun

pertanian lainnya. Sistem kepercayaan mereka adalah Polytheisme yaitu mereka

mempercayai banyak dewa.

Suku Anak Dalam memiliki dewa dengan sebutan Dewo dan Dewa. Ada

dewa yang baik adapula dewa yang jahat. Selain kepercayaan terhadap dewa mereka

juga percaya adanya roh nenek moyang yang selalu ada disekitar mereka.

Suku Anak Dalam juga Sangat antusias terhadap pendidikan. Mereka sangat

bersemangat mengikuti belajar di sekolah. Tak hanya anak-anak saja yang bersekolah

akan tetapi juga orang dewasa pun mengikutinya. Mereka berpikir bahwa dengan

bersekolah mereka akan pintar dan tak mudah untuk dibodohi oleh orang luar atau

masyarakat biasa.

Kebudayaan Suku Anak Dalam merupakan salah satu Komunitas Adat

Terpencil ( KAT ) yang ada di Propinsi Jambi yang mempunyai permasalahan

spesifik. Jika kita melihat pola kehidupan dan penghidupan mereka, hal ini

(7)

dengan pakaian hanya sebagian menutupi badan dengan kata lain mereka sangat

tergantung dengan hasil hutan / alam dan binatang buruan.

Penyebutan terhadap Orang Rimba perlu untuk diketahui terlebih dahulu,

karena ada tiga sebutan terhadap dirinya yang mengandung makna yang berbeda,

yaitu Pertama KUBU, merupakan sebutan yang paling populer digunakan oleh

terutama orang Melayu dan masyarakat Internasional. Kubu dalam bahasa Melayu

memiliki makna peyorasi seperti primitif, bodoh, kafir, kotor dan menjijikan. Sebutan

Kubu telah terlanjur populer terutama oleh berbagai tulisan pegawai kolonial dan

etnografer pada awal abad ini. Kedua SUKU ANAK DALAM, sebutan ini digunakan

oleh pemerintah melalui Departemen Sosial. Anak Dalam memiliki makna orang

terbelakang yang tinggal di pedalaman. Karena itulah dalam perspektif pemerintah

mereka harus dimodernisasikan dengan mengeluarkan mereka dari hutan dan

dimukimkan melalui program Pemukiman Kembali Masyarakat Terasing (PKMT).

Ketiga ORANG RIMBA, adalah sebutan yang digunakan oleh etnik ini untuk

menyebut dirinya. Makna sebutan ini adalah menunjukkan jati diri mereka sebagai

etnis yang mengembangkan kebudayaannya yang tidak bisa lepas dari hutan. Sebutan

ini adalah yang paling proposional dan obyektif karena didasarkan kepada konsep

Orang Rimba itu sendiri dalam menyebut dirinya. Suku Anak Dalam masih berpaham

animisme. Mereka percaya bahwa alam semesta memiliki banyak jenis roh yang

melindungi manusia. Jika ingin selamat, manusia harus menghormati roh dan tidak

merusak unsur-unsur alam, seperti hutan, sungai, dan bumi. Kekayaan alam bisa

(8)

berlebihan.Hingga kini suku Anak Dalam masih mempertahankan beberapa etika

khusus

2.4 Suku Anak Dalam Pertahankan Hutan Dengan Hompongan

Jurnal Kebudayaan mengatakan bahwa Kelompok Orang rimba dari Suku

Anak Dalam (SAD) yang menempati kawasan Air Hitam kabupaten Sarolangun,

Jambi mempunyai cara khas untuk menjaga kelestarian Taman Nasional Bukit Dua

Delas yang menjadi tempat hidup mereka dengan pola ’Hompongan’. Semenjak 1998

kita orang rimba SAD yang mendiami TNB12 di Air Hitam ini sudah merintis

terbentuknya ‘Hompongan’, yakni dengan menetapkan satu kawasan terluar hutan

TNBD untuk jadi kawasan mencari nafkah dan kehidupan bagi para orang rimba.

Hompongan yang dirintis oleh Suku Anak Dalam dan diperlihatkan oleh

Temenggung Tarib kepada Presiden pada tahun 2006 lalu membawa dia sebagai salah

seorang penerima Kalpataru kategori penyelamat lingkungan dari presiden,

sebenarnya selain sebagai lahan bagi SAD atau yang lebih populer disebut Suku

Kubu juga sekaligus jadi pagar atau penyangga bagi keberadaan TNBD. Hompongan

berasal dari kata Hempangan atau penghalang dalam bahasa melayu, jadi dengan

Hompongan kita kelompok SAD taat pada adat dan hukum jadi penjaga TNB12 dari

orang-orang yang berniat jahat seperti merambah hutan atau mencuri kayu karena,

Suku Anak Dalam Akan mencegah pencuri digerbang pembatas. Pola Hompongan

tersebut terbukti sangat efektif menjaga kelestarian TNB12 yang hingga kini semakin

lestari dan berkembang menjadi salah satu objek wisata andalan provinsi Jambi.

Pola Hompongan itu sendiri, awalnya hanyalah salah satu cara bagi kelompok

(9)

berladang berpindah-pindah yang bisa merusak banyak kawasan hutan. Dengan

Hompongan mereka membatasi sendiri ruang geraknya untuk melakukan nomaden,

kini Suku Anak Dalam mencari hidup hanya dari kawasan Hompongan ini, Suku

Anak Dalam bermukim di sini, jadi ketika ada orang dari luar yang masuk tanpa izin

sudah pasti akan tertahan di Hompongan yang selanjutnya mereka harus menjalani

proses interogasi sesuai peraturan adat SAD.

Karena dinilai berhasil dan efektif membantu melestarikan serta menjaga

alam, maka pola tersebut telah pula ditetapkan dan diujicobakan penerapannya

kepada kelompok-kelompok SAD lainnya di disisi lain hutan TNB12 tersebut yang

masih terus dilakukan hingga kini. Namun sayangnya upaya pemerinah mencoba

menerapkan pola ini di kelompok lain banyak mengalami kegagalan, semua itu

dikarenakan pola pikir dan penerimaan kelompok SAD tersebut tidak sama diantara

semua kelompok yang ada. Maka diantara mereka ada pula yang justru menjual

Hompongannya ke masyarakat dari luar bahkan kepada para toke atau tengkulak.

2.5 Program Trans Sosial (Transmigrasi Sosial)

Transmigrasi terdiri dari dua kata yaitu Trans yang artinya Seberang, dan

Migrace yang artinya Pindah. Transmigrasi adalah suatu program yang dibuat oleh

Pemerintah Indonesia untuk memindahkan penduduk dari suatu daerah yang padat

penduduk (kota) ke daerah lain (desa) di dalam wilayah Indonesia. Tujuan resmi

Program ini adalah untuk mengurangi kemiskinan dan kepadatan penduduk. Tujuan

lainnya yaitu Memberikan kesempatan bagi orang yang mau bekerja dan memenuhi

(10)

Seiring dengan perubahan lingkungan strategis di Indonesia, transmigrasi

dilaksanakan dengan paradigma baru sebagai berikut :

1. Mendukung ketahanan pangan dan penyediaan papan

3. Mendukung Pemerintah investasi ke seluruh wilayah Indonesia

4. Mendukung ketahanan nasional pulau terluar dan wilayah perbatasan

5. Menyumbang bagi penyelesaian masalah pengangguran dan kemiskinan,

transmigrasi tidak lagi merupakan program pemindahan penduduk melainkan upaya

untuk pengembangan wilayah.

Metodenya tidak lagi bersifat Sentralistik dan top down dari Jakarta,

melainkan berdasarkan kerja sama antar daerah pengirim transmigran dan dengan

daerah tujuan transmigrasi. Transmigrasi di Indonesia biasanya diatur dan didanai

oleh Pemerintah kepada warga yang umumnya golongan menengah kebawah.

Sesampainya ditempat transmigrasi para transmigran akan diberikan sebidang tanah,

rumah sederhana dan perangkat lain untuk penunjang hidup dilokasi tempat tinggal

yang baru.

Dasar Undang – undang yang digunakan untuk program ini adalah Undang –

undang Republik Indonesia Nomor 15 tahun 1997 tentang Ketransmigrasian,

sebelumnya Undang – undang Nomor 3 Tahun 1972 dan Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan Transmigrasi,

sebelumnya PP Nomor 42 Tahun 1973 ditambah beberapa KEPPRES dan INPRES

pendukung.

Jenis – jenis atau Macam – macam Transmigrasi :

(11)

Adalah transmigrasi yang disponsori dan dibiayai secara keseluruhan oleh

pihak Pemerintah melalui DEPNAKERTRANS (Departemen Tenaga Kerja dan

Transmigrasi).

2. Transmigrasi Spontan atau Swakarsa

Adalah perpindahan penduduk dari daerah padat kepulau barusepi penduduk

yang didorong oleh keinginan diri sendiri namunmasih mendapatkan bimbingan serta

fasilitas penunjang dari Pemerintah.

3. Transmigrasi Bedol Desa

Adalah transmigrasi yang dilakukan secara masal dan kolektif terhadap satu

atau beberapa desa beserta aparatur desanya pindah kepulau yang jarang penduduk,

biasanya transmigrasi Bedol Desa terjadi karena bencanan alam yang merusak desa

tempat asalnya.

Kehidupan Suku Anak Dalam pada awalnya tinggal di dalam hutan terisolasi

dari perkembangan zaman dan tidak mengenal hukum. Suku Anak Dalam hanya

mengenal dan taat akan hukum adat mereka saja, dan buta akan hukum Negara

Indonesia. Kehidupan Suku Anak Dalam yang demikian maka Pemerintah

menerapkan Program Trans Sosial bagi Suku Anak Dalam yang bertujuan agar

kehidupan Suku Anak Dalam lebih baik daripada yang dulu.

Suku Anak Dalam hidup di dalam hutan, jadi pemerintah meminta bantuan

kepada Temenggung Tarib untuk melakukan pendekatan kepada Suku Anak Dalam

yang ada di dalam hutan agar mengikuti Program Trans Sosial. Tetapi, Suku Anak

Dalam yang berada di dalam hutan sangat susah untuk dibujuk agar mau mengikuti

(12)

kebutuhan mereka. Belum lagi Suku Anak Dalam takut untuk bertemu dengan

Masyarakat Terang (julukan yang di berikan Suku Anak Dalam bagi masyarakat

umum). Mereka berangggapan bahwa Masyarakat Terang itu pemakan manusia,

sehingga mereka tidak mau bertemu dengan Masyarakat Terang.

Temenggung Tarib melakukan pendekatan kepada Suku Anak Dalam di saat

mereka meninggalkan hutan (budaya melangun). Saat Suku Anak Dalam keluar dari

hutan, mereka membuka hutan dan menjadikan lahan untuk mereka. Tetapi, lahan

tersebut ditanami jagung dan singkong. Suku Anak Dalam tinggal di sekitar lahan

mereka tersebut dengan mendirikan sudung (sebutan untuk rumah panggung yang

didirikan oleh Suku Anak Dalam) untuk menjadi rumah mereka. Disaat Suku Anak

Dalam keluar dari hutan dan membuka lahan Tumenggung Tarib melakukan

pendekatan dan mengajak Suku Anak Dalam untuk mengikuti program Trans Sosial.

Pemerintah memberikan fasilitas bagi Suku Anak Dalam yang mengikuti Program

Trans Sosial yaitu membuatkan perumahan dan memberikan bibit sawit bagi mereka

yang mengikuti Program Trans Sosial. Segala kegiatan dan fasilitas yang telah

diberikan oleh Pemerintah berupa :

1. Tahun I, 2008 telah dilakukan proses pemberdayaan dengan beberapa rangkaian

kegiatan antara lain :

a. Bimbingan sosial

b. Pemberian jaminan hidup

c. Bantuan peraltan kerja dan usaha

d. Bantuan peralatan rumah tangga

e. Bantuan bibit tanaman

2. Tahun II, 2009 telah dilakukan proses pemberdayaan dengan kegiatan antara lain :

(13)

b. Pemberian jaminan hidup

c. Bantuan pembangunan rumah sederhan ukuran 6 x 6

3. Tahun III, 2010 ini dilaksanakan beberapa kegiatan, antara lain :

a. Bimbingan sosial

b. Pemberian jaminan hidup

c. Bantuan pembangunan Balai Sosial

d. Bantuan pembangunan Sarana Ibadah

e. Bantuan jalan lingkungan sepanjang 5 km

f. Sertifikasi rumah dan lahan usaha

g. Pembangunan tugu / monumen pemberdayaan KAT (Komunitas Adat

Terpencil)

Gambar 5 Perumahan SAD Pasca Trans Sosial

Perumahan yang didirikan oleh pemerintah di atas lahan Suku Anak Dalam

sendiri. Bibit yang diberikan oleh pemerintah tersebut mereka tanam dan rawat.

Pemerintah dengan sabar menuntun Suku Anak Dalam untuk merawat tanaman sawit

tersebut agar menghasilkan buah yang baik. Perawatan yang diberikan seperti

mengikir rumput dan ilalang yang ada disekitar batang sawit, memberikan pupuk

dengan teratur dan tidak lupa menjaga tanaman sawit agar tidak dimakan oleh hama

(14)

akhirnya menghasilkan buah yang baik. Suku Anak Dalam dengan semangat

memanen hasil perkebunan sawit mereka. Menjual buah sawit mereka kepada

tengkulak sawit. Suku Anak Dalam dengan didampingi oleh Temenggung Tarib

merawawat dan menjaga agar kebun sawit mereka menghasilkan buah yang baik lagi.

Belum sampai mereka menikmati hasil panen yang ketiga kalinya, Suku

Anak Dalam menjual kebun sawit mereka kepada orang dusun. Karena Suku Anak

Dalam yang tadinya hidup di dalam hutan dengan segala hasil hutan yang bisa

mereka makan, sedangkan ketika mereka hidup di luar hutan mereka harus menunggu

kebun sawit mereka berbuah dan panen. Serta harus merawat dan menjaga agar kebun

sawit mereka menghasilkan buah yang baik. Hal ini yang membuat Suku Anak

Dalam tersebut malas dan tidak mau berkebun lagi dan menjual kebun sawit mereka

dengan harga relatif murah.

Hasil penjualan kebun tersebut di gunakan mereka untuk senang – senang

yaitu membeli rokok, minuman keras dan buat makan sehari – hari. Setelah uang

mereka habis Suku Anak Dalam tidak memiliki mata pencharian lagi sehingga lahan

perkebunan yang tadi sudah dijual kembali dijual lagi kepada orang lain tanpa

sepengetahuan pembeli pertama dan pembeli yang kedua ini juga tidak mengetahui

kalau lahan perkebunan sawit yang dibeli sudah pernah dijual. Hal ini mengakibatkan

konflik bagi para pembeli lahan tersebut, pembeli tersebut bersikeras bahwa mereka

yang memiliki lahan perkebunan tersebut tanpa ada yang mengalah.

Hal ini tidak membuat Suku Anak Dalam jera, tetapi mereka tetap saja

menjual lahan perkebunan tersebut kepada pembeli yang tidak mengetahui bahwa

(15)

kasus lahan ini di bawa ke jalur hukum, Suku Anak Dalam tidak mau mengikuti

hukum yang berlaku, tetapi mereka tetap bersikeras menggunakan hukum adat

mereka. Mereka tidak mengerti akan hukum negara yang berlaku. Keadaan ini tentu

saja membuat masyarakat bingung. Dalam hal apapun Suku Anak Dalam memiliki

sifat yang memikirkan keuntungan. Seperti kejadian ini jika hukum negara dapat

menguntungkan mereka maka, mereka akan memakai jalur hukum negara. Namun,

jika hukum adat yang menguntungkan mereka maka hukum adatlah yang mereka

gunakan.

Di daerah Kabupaten Merangin tepatnya di Desa Muara Delang terdapat

sebuah PT. Sari Aditya Loka I yang kosentrasinya pada buah sawit. PT tersebut

mengadakan program bantuan bagi Suku Anak Dalam yang ada di Bukit Dua Belas,

yaitu memberikan mereka bantuan lahan perkebunan. Dengan tujuan agar Suku

Dalam memiliki mata pencaharian yang tetap. Namun, tetap saja lahan tersebut

mereka jual kepada Masyarakat Terang. Sehingga, Suku Anak Dalam tidak memiliki

lahan perkebunan lagi. Suku Anak Dalam yang tidak memiliki lahan tidak bisa

bekerja karena mereka tidak memiliki izajah. Sehingga, Suku Anak Dalam banyak

yang mencuri sawit warga dan membuat warga resah, karena Suku Anak Dalam tidak

bisa di nasehati. Mereka beranggapan bahwa segala pohon dan tumbuhan maupun

hewan adalah milik nenek moyang mereka, sehingga mereka dapat memakan dan

Gambar

Gambar 5 Perumahan SAD Pasca Trans Sosial

Referensi

Dokumen terkait

The purpose of this research was to determine the addition of SRDF (Super Red Dragon Fruit) peel concentrate on Physico- chemical quality and Microstucture by SEM

Simpulan: Input, proses dan tindak lanjut pelaksanaan sistem rujukan pada kasus perdarahan post partum primer oleh Bidan Desa di wilayah kerja Puskesmas Bayat

Data-data yang terkait dengan perilaku konsumen ini diperoleh dengan metode survey dengan memakai skala linkert 1-5 pada setiap pertanyaan pada masing-masing dimensi

Berdasarkan hasil dan pembahasan yang dilakukan sebelumnya, maka kesimpulan dalam penelitian dapat diajukan sebagai berikut. Peng- hitungan persepsi masyarakat lokal

Masyarakat harus menunggu pedagang pengumpul yang datang ke desa untuk membeli hasil panen, dan apabila mereka harus keluar desa maka semua kebutuhan hidup rumahtangga

( ) ”Isu aktual” yang sedang terjadi dalam masyarakat tidak dapat digunakan sebagai salah satu kriteria perumusan isu strategis

Pengaruh Kinerja Kepala Sekolah Dan Motivasi Kerja Guru Terhadap Kinerja Mengajar Guru Di Lingkungan Sekolah Dasar Kecamatan Campaka Dan Kecamatan Cibatu Kabupaten

2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, bahwa yang dimaksud dengan asuransi atau pertang- gungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana