BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembangunan nasional adalah kegiatan yang berlangsung terus-menerus
dan berkesinambungan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat
baik materiil maupun spiritual. Untuk dapat merealisasikan tujuan tersebut perlu
banyak memerhatikan masalah pembiayaan pembangunan.1
Salah satu usaha untuk mewujudkan kemandirian suatu bangsa atau
Negara dalam pembiayaan pembangunan yaitu menggali sumber dana yang
berasal dari dalam negeri berupa pajak. Pajak digunakan untuk membiayai
pembangunan yang berguna bagi kepentingan bersama. Salah satu tugas negara
adalah melakukan pembangunan dengan tujuan akhir yaitu kesejahteraan rakyat
yang merata. Tugas untuk melakukan pembangunan tersebut dapat terlaksana
dengan adanya organisasi yang luas beserta segala cabang-cabang memungkinkan
negara dapat menunaikan tugasnya itu dengan sempurna, di mana tentunya untuk
hal itu diperlukan biaya yang tidak sedikit. Salah satu sumber biaya untuk
melaksanakan tugas negara tersebut berasal dari sektor pajak. Pajak sebagai
sumber utama penerimaan negara dipandang sangatlah perlu untuk terus
ditingkatkan sehingga pembangunan dapat dilaksanakan dengan kemampuan
sendiri berdasarkan prinsip kemandirian.2
1
Waluyo, Perpajakan Indonesia (Pembahasan Sesuai Dengan Ketentuan Perundang-undangan Perpajakan dan Aturan Pelaksanaan Perpajakan Terbaru), Jakarta, Edisi 6 Buku I, Salemba Empat, 2006, hal. 2.
2
Setiap Negara yang melakukan pemungutan pajak dari rakyatnya pasti
mempunyai tujuan, yaitu untuk menjalankan pemerintahan dalam rangka
memenuhi kebutuhan rakyat. Seperti halnya dengan Negara Republik Indonesia,
tujuan melakukan pemungutan pajak adalah untuk menjalankan pemerintahan
dalam rangka melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, meningkatkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa
dan ikut berpartisipasi menertibkan dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial. Untuk itu Negara memerlukan dana dari rakyat, salah
satu diantaranya adalah berupa uang pembayaran pajak dari rakyat.3
Pelaksanaan pemungutan pajak diharapkan dapat mencerminkan keadilan,
dengan besarnya pajak yang dibebankan sesuai dengan objek pajak yang dimiliki
rakyat. Sedangkan besarnya objek pajak dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi
suatu negara. Oleh karena itu, pelaksanaan pemungutan pajak juga diharapkan
dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara, termasuk di dalamnya
ekonomi rakyat secara individu.4
Pajak merupakan sumber penerimaan Negara yang sangat penting, di
samping minyak dan gas bumi. Hal ini dapat dilihat dari Anggaran Pendapatan
Belanja Negara (APBN) bahwa setiap tahun pajak merupakan sumber penghasilan
yang besar bagi pemerintah.5
Kontribusi pajak dalam APBN dari tahun ke tahun terus meningkat
jumlahnya. Kenyataan ini membuktikan bahwa wujud partisipasi masyarakat
3
Boediono, Perpajakan Indonesia (Teori Perpajakan Kebijaksanaan Perpajakan Pajak Luar Negeri), Jakarta, Diadit Media, 2001, hal. 51
4 Ibid. 5
wajib pajak nampak nyata dalam pembangunan. Wujud partisipasi ini harus
dibarengi pula dengan jaminan akan hak-hak wajib pajak sebagaimana tertuang
dalam Undang-Undang Perpajakan. Hak dan kewajiban wajib pajak harus
seimbang sehingga dapat diwujudkan dalam kenyataan.6
Pajak merupakan salah satu sumber pendapatan Negara guna pembiayaan
Negara baik bagi kegiatan rutin maupun kegiatan pembangunan di dalam APBN.
Bahkan pajak sudah merupakan sumber pembiayaan utama, sehingga
keberadaannya merupakan suatu keharusan. Kegiatan rutin dimaksud adalah
kegiatan penyelenggaraan pemerintah sehari-hari, sedangkan kegiatan
pembangunan adalah kegiatan melakukan perbaikan dan pembaharuan baik fisik
maupun mental serta mencerdaskan bangsa.
Dasar hukum secara konstitusional dari sistem pemungutan pajak di
Indonesia diletakkan dalam pasal 23 UUD 1945 Republik Indonesia yang
berbunyi Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan
Negara diatur dengan Undang-Undang. Jadi setiap pajak yang dipungut
pemerintah harus berdasarkan Undang-Undang.
Rachmat Soemitro mengatakan, sebagaimana telah dikutip oleh Waluyo,
Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang
(yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal balik (kontra
prestasi) yang langsung ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar
pengeluaran umum.7 Jadi, pemungutan pajak sendiri merupakan perwujudan dari
pengabdian dan peran serta wajib pajak untuk secara langsung dan
bersama-6
H. Bohari,Pengantar Hukum Pajak, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1998, hal. 109 7
sama melaksanakan kewajiban perpajakan yang diperlukan untuk pembiayaan
negara dan pembangunan nasional.
S.R, Soemarso mengatakan, sebagaimana telah dikutip oleh Bastari dalam
disertasinya, Pajak digolongkan menurut sifat dan cirinya. Menurut sifatnya pajak
dapat dibedakan menjadi pajak atas pendapatan dan kekayaan, pajak atas
kebendaan dan pajak atas pemakaian. Menurut cirinya pajak dibedakan menjadi
pajak subjektif dan pajak objektif, pajak langsung dan pajak tidak langsung, pajak
pusat dan pajak daerah.8
Salah satu pengenaan pajak yang diterapkan di Indonesia adalah Pajak
Penghasilan. Pajak penghasilan adalah pajak yang dibebankan pada penghasilan
perorangan, perusahaan atau Badan Hukum lainnya. Dilihat berdasarkan cirinya,
pajak penghasilan ini termasuk dalam pajak subjektif dengan pengertian bahwa
pemungutan pajak penghasilan ini berdasarkan pada keadaan subjek pajaknya.
Jadi, besarnya pajak dipengaruhi oleh besarnya penghasilan yang diterima oleh
subjek pajak.
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak
Penghasilan, menjelaskan bahwa pengenaan Pajak Penghasilan yang disingkat
dengan PPh terhadap subjek pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima
atau diperolehnya dalam tahun pajak . Subjek pajak9 tersebut dikenai pajak
penghasilan apabila menerima atau memperoleh penghasilan selama satu tahun
pajak atau dapat pula dikenai pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak
8
Bastari, Analisis Pengaruh Kenaikan Penghasilan Tidak Kena Pajak Terhadap Penerimaan Pemerintah Dan Perekonomian Daerah Dalam Rangka Pengembangan Wilayah Kota Medan,Disertasi Perencanaan Wilayah S3, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, 2010, hal. 12.
9
apabila kewajiban pajaknya tersebut dimulai atau berakhir dalam tahun pajak.
Tahun pajak dapat berupa tahun kalender atau tahun buku yang tidak sama dengan
tahun kalender, sepanjang tahun buku tersebut meliputi jangka waktu 12 bulan.
Ada beberapa objek Pajak Penghasilan yang dikenakan pajak melalui
pemotongan, bila dilihat dari cara pengenaannya. Salah satu jenis pajak tersebut
adalah Pajak Penghasilan Pasal 21.
Pengertian Pajak Penghasilan dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium,
tunjangan dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun
sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa dan kegiatan yang dilakukan oleh
orang pribadi Subjek Pajak dalam negeri.10
Subjek Pajak dalam negeri pada Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah
pegawai tetap, penerima pensiun, penerima honorarium, dan penerima upah.
Secara umum objek dari Pajak Penghasilan adalah penghasilan. Sedangkan secara
spesifik objek dari Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 antara lain adalah :11
1. Penghasilan yang diterima secara teratur berupa gaji, upah, uang pensiun
bulanan, dan honorarium dan penghasilan teratur lainnya dengan nama apapun.
2. Penghasilan yang diterima secara tidak teratur berupa jasa produksi, bonus dan
tunjangan hari raya dan penghasilan tidak tetap lainnya.
10
Didik Budi Waluyo, Petunjuk Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26, Jakarta, DBW Tax Center/PT Warta Mitra Mandiri, 2009, hal.1
11
Pemungutan pajak penghasilan yang dilakukan berdasarkan Pasal 21
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 adalah menggunakan sistem pemotongan
(with holding system).
PPh Pasal 21 secara jelas menyebutkan perihal adanya pemotongan,
penyetoran, dan pelaporan pajak atas penghasilan yang dilakukan oleh pemberi
kerja. Jadi pasal tersebut memberikan wewenang pada pihak ketiga, baik
bendaharawan, orang pribadi maupun badan sebagai pemberi kerja atau
penyelenggara kegiatan untuk melakukan perhitungan pajak ,yang terutang sesuai
dengan ketentuan yang berlaku, melakukan pemotongan atasnya,
menyetorkannya, dan melaporkannya pada waktu yang telah ditentukan.
Pemotongan atas PPh Pasal 21 yang dilakukan oleh pihak-pihak sebagai
pemotong tersebut terutang pada setiap akhir bulan dilakukannya pembayaran
atau pada akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan, tergantung
peristiwa yang terjadi lebih dahulu.
Berdasarkan ketentuan Pasal 21 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor
36 tahun 2008, pihak yang wajib melakukan pemotongan PPh Pasal 21 adalah
pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan
pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan.
Maksud dari pegawai disini adalah orang pribadi yang bekerja pada
pemberi kerja, baik sebagai pegawai tetap atau tetap pegawai tidak tetap/tenaga
kerja lepas berdasarkan perjanjian atau kesepakatan kerja baik secara tertulis
maupun secara tidak tertulis, untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu dengan
Salah satu yang termasuk dalam kategori pemberi kerja tersebut diatas
adalah Notaris/PPAT. Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang
untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan
yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan untuk
dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan
aktanya, memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semua sepanjang pembuatan
akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan
kepada pejabat atau orang lain.12 Sedangkan Pejabat Pembuat Akta Tanah
(selanjutnya disebut PPAT) adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk
membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas
tanah atau hak milik atas rumah susun.13
Setiap Notaris/PPAT biasanya mempunyai satu atau beberapa pegawai
yang membantu pekerjaan Notaris/PPAT dalam rangka kelancaran pekerjaannya
tersebut dengan memperoleh gaji setiap bulannya. Besarnya penghasilan telah
ditetapkan oleh Notaris/PPAT sebagai pemberi kerja dan telah disepakati
bersama. Selain menjalankan fungsinya sebagai pejabat umum, Notaris/PPAT
sebagai pemberi kerja juga ditunjuk sebagai Pemotong Pajak Penghasilan Pasal
21 atas penghasilan yang diterima oleh pegawainya tersebut.
Notaris/PPAT sebagai pemotong PPh Pasal 21 mempunyai hak dan
kewajiban. Hak-hak Notaris/PPAT sebagai pemotong adalah mengkompensasikan
kelebihan penyetoran, dalam hal terdapat kelebihan setoran PPh Pasal 21 dalam
satu bulan dengan PPh Pasal 21 yang terutang pada bulan berikutnya dalam satu
12
G.H.S. Lumban Tobing,Peraturan Jabatan Notaris, Jakarta, Erlangga, 1992, hal. 31 13
tahun pajak.14 Sedangkan kewajiban-kewajiban Notaris/PPAT sebagai pemotong
pajak antara lain :15
1. Notaris/PPAT wajib menghitung, memotong dan menyetorkan PPh Pasal 21
yang terutang pada setiap bulan selambat-lambatnya pada tanggal 10 setiap
bulannya.
2. Notaris/PPAT juga wajib melaporkan penyetoran PPh Pasal 21 walaupun
nihil.
3. Notaris/PPAT wajib memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21 baik
diminta maupun tidak diminta saat melakukan pemotongan pajak atas
penghasilan karyawannya.
4. Membuat catatan atau kertas kerja perhitungan PPh Pasal 21 untuk
masing-masing penerima penghasilan, yang menjadi dasar pelaporan Pajak
Penghasilan yang terutang untuk setiap masa pajak dan wajib menyimpan
catatan atau kertas kerja perhitungan tersebut sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
Penghitungan, pemotongan, penyetoran dan pelaporan oleh Notaris/PPAT
sebagai pemberi kerja yang membayarkan penghasilan tersebut memerlukan
kepatuhan perpajakan dari Notaris/PPAT yang merupakan salah satu pemotong
pajak. Kepatuhan pajak merupakan pelaksanaan atas kewajiban untuk
menyetor dan melaporkan pajak yang terutang sesuai dengan peraturan
perpajakan. Kepatuhan yang diharapkan adalah kepatuhan sukarela dan bukan
kepatuhan yang dipaksakan.16
Secara umum, tingkat kepatuhan penyampaian SPT Tahunan PPh di
Indonesia masih rendah. SPT Tahunan PPh Badan yang disampaikan hingga
14
Didik Budi Waluyo,Op.Cit., hal.16 15
Ibid, hal. 16 16
Oktober 2011 baru mencapai 4 % (empat persen).17 Gambaran ini mencerminkan
rendahnya tingkat kepatuhan penyampaian SPT secara umum, termasuk tingkat
kepatuhan SPT Masa PPh Pasal 21.
Ketentuan mengenai kewajiban untuk melaporkan pemotongan PPh Pasal
21 untuk setiap bulan kalender tetap berlaku, meskipun jumlah pajak penghasilan
yang dipotong pada bulan yang bersangkutan nihil.
Terkait dengan masalah pelaporan, Notaris/PPAT wajib melaporkan
pemotongan dan penyetoran PPh Pasal 21 untuk setiap Masa Pajak yang
dilakukan melalui penyampaian Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 21 ke
Kantor Pelayanan Pajak tempat pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21 terdaftar
setelah masa pajak berakhir.18 Surat Pemberitahuan Masa adalah surat
pemberitahuan untuk suatu masa pajak.19
Batas waktu pelaporan PPh Pasal 21 paling lama adalah 20 (dua puluh)
hari setelah Masa Pajak berakhir. Apabila tanggal batas waktu pelaporan Pajak
Penghasilan Pasal 21 bertepatan dengan hari libur termasuk hari sabtu atau hari
libur nasional, maka Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 21 dapat dilakukan
pada hari kerja berikutnya.
Adakalanya Notaris/PPAT sebagai pemotong PPh Pasal 21 melaporkan
Surat Pemberitahuan Masa terlambat dari jangka waktu yang ditentukan. SPT
Masa PPh Pasal 21 yang disampaikan setelah jangka waktu yang ditetapkan
17
Pernyataan dari Direktur Transformasi Teknologi Komunikasi Informasi Direktorat Jenderal Pajak, Harian Analisa tanggal 1 Oktober 2011.
18
Didik Budi Waluyo,Op.Cit, hal. 24 19
dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp. 100.000 (seratus ribu
rupiah).
Kenyataan yang banyak dijumpai di lapangan, pegawai kantor
Notaris/PPAT yang memenuhi kewajiban pajak subjektif namun bukan kewajiban
pajak objektif tidak dapat dikatakan sebagai wajib pajak, sehingga tidak dapat
dilakukan pemotongan PPh Pasal 21 karena kewajiban sebagai wajib pajak
objektif baru dapat dianggap bila penghasilannya sudah memenuhi Penghasilan
Tidak Kena Pajak (PTKP). Dari fenomena inilah akan terlihat bagaimana tingkat
kepatuhan hukum Notaris/PPAT dalam melaksanakan kewajibannya untuk
melaporkan pemotongan pajak atas penghasilan pegawainya walaupun
pemotongannya nihil.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, disusunlah tesis ini
dengan bertitik tolak pembahasan pada kepatuhan hukum. Oleh karena itu, maka
dilakukan penelitian dengan judul “Kepatuhan Hukum Notaris/PPAT Di Kota
Banda Aceh Terhadap Kewajiban Menyampaikan SPT PPh Pasal 21 Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang permasalahan tersebut, maka
permasalahan yang akan diteliti adalah :
1. Bagaimana tingkat kepatuhan notaris/PPAT di kota Banda Aceh dalam
menyampaikan SPT Masa sesuai dengan Pasal 21 Undang-Undang No. 36
2. Apakah faktor-faktor penyebab kepatuhan atau ketidakpatuhan notaris/PPAT
dalam penyampaian SPT Masa sesuai dengan Pasal 21 Undang-Undang No. 36
Tahun 2008?
3. Bagaimana akibat hukum bagi notaris/PPAT yang tidak mematuhi kewajiban
dalam penyampaian SPT Masa sesuai dengan Pasal 21 Undang-Undang 36
Tahun 2008?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui sejauh mana kepatuhan Notaris/PPAT di kota Banda Aceh
dalam menyampaikan SPT Masa sesuai dengan Pasal 21 Undang-Undang 21
Nomor 36 Tahun 2008.
2. Untuk mengetahui apa penyebab kepatuhan atau ketidakpatuhan
Notaris/PPAT dalam penyampaian SPT Masa sesuai dengan Pasal 21
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
3. Untuk mengetahui akibat hukum bagi Notaris/PPAT yang tidak mematuhi
kewajiban dalam penyampaian SPT Masa sesuai dengan Pasal 21
Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 .
D. Manfaat Penelitian
Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara
teoritis maupun secara praktis, seperti yang dijabarkan lebih lanjut sebagai
berikut:
1. Secara Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengembangan konsep
hukum di bidang perpajakan (hukum pajak) pada khususnya, terutama
2. Secara Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi pengambil
kebijakan di bidang perpajakan dalam meningkatkan pengetahuan dan
pemahaman kepada masyarakat.
E. Keaslian Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa berdasarkan
informasi dan penelusuran kepustakaan di lingkungan Magister Kenotariatan dan
Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, penelitian dengan judul
“Kepatuhan Hukum Notaris/PPAT di Kota Banda Aceh Terhadap Kewajiban
Menyampaikan SPT Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 berdasarkan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan” belum pernah
dilakukan. Memang ada ditemukan penelitian sebelumnya tentang Pajak
Penghasilan Pasal 21, namun permasalahan dan bidang kajiannya sangat berbeda,
yaitu : Tesis atas nama Devi Meliza, Mahasiswa Magister Kenotariatan, program
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara 2008, dengan judul “Analisis Yuridis
Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 Atas Honorarium Yang Diterima
Notaris/PPAT (Studi Penelitian di Kota Medan). Permasalahan yang diteliti
adalah :
1. Bagaimanakah sistem pengenaan dan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21
terhadap honorarium Notaris/PPAT?
2. Bagaimanakah sistem pelaporan dan penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 21
atas honorarium Notaris/PPAT?
3. Apakah pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas honorarium yang
Kesimpulan dari penelitian diatas adalah :
1. Sistem pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 terhadap honorarium
Notaris/PPAT dilakukan dengan asas domisili dan asas sumber sekaligus
dalam sistem perpajakannya. Selain juga menganut asas kewarganegaraan
yang parsial, yaitu khusus dalam ketentuan yang mengatur mengenai
pengecualian subjek pajak untuk orang pribadi. Sedangkan dalam pemotongan
Pajak Penghasilan Pasal 21 dianut sistemself assessment.
2. Sistem pelaporan dan penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 21 atas honorarium
Notaris/PPAT berbeda-beda, ada yang dilakukan saat pembayaran
penghasilan dan ada juga dilakukan pada akhir bulan dilakukan pembayaran
penghasilan.
3. Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas honorarium yang diterima oleh
Notaris/PPAT telah memenuhi prinsip keadilan. Hal ini tercermin dari
diterapkannya prinsip ability to pay dalam menentukan Pajak Penghasilan.
Penerapan prinsip ability to pay dalam pemotongan Pajak Penghasilan Pasal
21 terhadap Notaris, berhubungan dengan penggunaan taris progresif dalam
menentukan Pajak Penghasilan terutang.
Dari penelusuran kepustakaan atas penelitian yang pernah dilakukan
tersebut diatas, maka penelitian yang dilakukan ini adalah asli dan dapat
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Seiring dengan perkembangan masyarakat pada umumnya, peraturan
hukum juga mengalami perkembangan. Kontinuitas perkembangan ilmu hukum
selain bergantung pada metodelogi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial sangat
ditentukan oleh teori.
Fred N. Kerlinger dalam bukunya Foundation of Behavioral Research
menjelaskan bahwa suatu teori adalah seperangkap konsep, batasan dan proposisi
yang menyajikan suatu pandangan sistematis tentang fenomena dengan merinci
hubungan antar variable dengan tujuan menjelaskan dan memprediksi gejala
tersebut.20
Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori
tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan
atau pegangan teoritis dalam penelitian.21
Ilmu hukum dalam perkembangannya tidak terlepas dari ketergantungan
pada berbagai ilmu lainnya. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Soerjono
Soekanto bahwa perkembangan ilmu hukum selain bergantung pada metodologi,
aktivitas penelitian dan imajinasi sosial, juga sangat ditentukan oleh teori.22 Teori
adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses
tertentu terjadi. Suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta
yang dapat menunjukkan ketidak benarannya.23
20
Fred N. Kerlinger, Asas-Asas Penelitian Behavioral, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 2004, Hal. 14
21
M. Solly Lubis,Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung, Cetakan I, Mandar Maju, 1994, hal. 80.
22
Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI-Press, 1986, hal. 6 23
Setiap penelitian yang dilakukan harus disertai dengan
pemikiran-pemikiran teoritis. Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa
gejala spesifik atau proses tertentu terjadi.24 Teori menguraikan jalan pikiran
menurut kerangka yang logis artinya mendudukkan masalah penelitian yang telah
dirumuskan didalam kerangka teoritis yang relevan, yang mampu menerangkan
masalah tersebut.25
Teori diartikan sebagai ungkapan mengenai kausal yang logis diantara
perubahan (variabel) dalam bidang tertentu, sehingga dapat digunakan sebagai
kerangka pikir (frame of thinking) dalam memahami serta menangani
permasalahan yang timbul dalam bidang tersebut.26 Fungsi teori dalam penelitian
ini adalah untuk memberikan arahan atau petunjuk dan meramalkan serta
menjelaskan gejala yang diamati.27
Kesimpulan yang dapat diambil dari pendapat di atas adalah bahwa yang
namanya teori adalah suatu penjelasan yang berupaya untuk menyederhanakan
pemahaman mengenai suatu fenomena atau teori juga merupakan simpulan dari
rangkaian berbagai fenomena menjadi sebuah penjelasan yang sifatnya umum.28
Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk menstrukturisasikan
penemuan-penemuan selama penelitian, membuat beberapa pemikiran, ramalan
atau prediksi atas dasar penemuan dan menyajikannya dalam bentuk
penjelasan-penjelasan dan pertanyaan-pertanyaan. Hal ini berarti teori merupakan suatu
24
Ibid, hal.122 25
Made Wiratha, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian,Skripsi dan Tesis, Yogyakarta, Andi, 2006, hal. 6.
26
Bintoro Tjokroamidjojo, Teori dan Strategi Pembangunan Nasional, Jakarta, CV. Haji Mas Agung, 1998, hal. 12
27
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung, Remaja Rosdakarya, 1993, hal. 35
28
penjelasan yang bersifat rasional serta harus sesuai dengan objek yang
dipermasalahkan dan harus didukung dengan adanya fakta yang bersifat empiris
agar dapat diuji kebenarannya. Teori juga bisa digunakan untuk menjelaskan fakta
dan peristiwa hukum yang terjadi. Untuk itu, orang dapat meletakkan fungsi dan
kegunaan teori dalam penelitian sebagai ”pisau analisis” pembahasan tentang
peristiwa atau fakta hukum yang diajukan dalam masalah penelitian.29
Satjipto Raharjo mengemukakan pendapatnya bahwa hukum melindungi
kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya
untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut. Pengalokasian kekuasaan
ini dilakukan secara terukur, dalam arti, ditentukan keluasan dan kedalamannya.
Kekuasaan yang demikian itulah yang di sebut hak. Tetapi tidak di setiap
kekuasaan dalam masyarakat bisa disebut sebagai hak, melainkan hanya
kekuasaan tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak itu pada seseorang.30
Kepastian hukum sangat diperlukan untuk menjamin ketentraman dan
ketertiban dalam masyarakat karena kepastian hukum (peraturan/ketentuan
umum) mempunyai sifat sebagai berikut :31
a. Adanya paksaan dari luar (sanksi) dari penguasa yang bertugas
mempertahankan dan membina tata tertib masyarakat dengan perantara
alat-alatnya.
b. Sifat Undang- Undang yang berlaku bagi siapa saja.
Pembahasan mengenai kepatuhan hukum Notaris/PPAT terhadap
Kewajiban Menyampaikan SPT PPh Pasal 21 Berdasarkan Undang-Undang
29
Ibid, Hal. 127 30
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti, Cetakan ke V, 2000, hlm. 53
Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan, maka teori yang
dipergunakan dalam penelitian ini adalah teori ketaatan hukum. Menurut
H.C. Kelman, sebagaimana dikutip oleh Ahmad Ali, bahwa ketaatan hukum dapat
dibedakan kualitasnya dalam tiga jenis yaitu:32
a. Compliance
Yaitu jika seseorang menaati suatu peraturan, hanya karena ia takut terkena sanksi. Kelemahan ketaatan jenis ini karena ia membutuhkan pengawasan yang terus menerus.
b.Identification
Yaitu jika seseorang menaati suatu aturan, hanya karena hubungan baiknya dengan pihak lain menjadi rusak.
c. Internalization
Yaitu jika seseorang menaati suatu aturan, benar-benar karena ia merasa bahwa aturan itu sesuai dengan nilai-nilai intrinsik yang dianutnya.
Berdasarkan pengertian yang dikemukakan oleh H.C. Kelman pada
kenyataannya seseorang dapat menaati suatu aturan hukum hanya karena ketaatan
salah satu jenis saja, misalnya hanya taat kepada compliance, dan bukan karena
identification ataupun karenainternalization. Tetapi juga dapat terjadi, seseorang
menaati suatu aturan hukum berdasarkan dua jenis atau malah tiga jenis ketaatan
sekaligus. Selain karena aturan hukum tersebut memang cocok dengan nilai-nilai
intrinsik yang dianutnya, juga sekaligus ia dapat menghindari sanksi dan
memburuknya hubungan baiknya dengan pihak lain.
Suatu aturan hukum atau perundang-undangan dianggap tidak efektif
berlakunya pada saat :33
a. Jika sebagian besar warga masyarakat tidak menaatinya ;
b. Jika ketaatan sebagian besar warga masyarakat hanya ketaatan yang bersifat ‘compliance’ atau ‘identification’. Dengan kata lain, walaupun sebagian besar warga masyarakat terlihat menaati aturan hukum atau perundang-undangan,
32
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial prudence) Termasuk Interprestasi Undang-Undang (Legisprudence), Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2009, hal.347-348.
namun ukuran atau kualias efektivitas aturan perundang-undangan itu masih dapat dipertanyakan.
Dengan mengetahui adanya tiga jenis ketaatan tersebut, maka tidak dapat
sekedar menggunakan ukuran ditaatinya suatu aturan hukum atau
perundang-undangan sebagai bukti efektifnya ukuran tersebut, tetapi paling tidak juga harus
ada perbedaan kualitas efektivitasnya. Semakin banyak warga masyarakat yang
menaati suatu aturan hukum atau perundang-undangan hanya dengan ketaatan
yang bersifat ‘compliance’ atau ‘identification’ saja, berarti kualitas efektifitasnya
masih rendah, sebaliknya semakin banyak yang ketaatannya bersifat
‘internalization’, maka semakin tinggi kualitas efektifitas aturan hukum atau
perundang-undangan itu.
Terlepas dari adanya sanksi, pada umumnya orang menaati hukum yang
ada. Menurut Utrecht, orang menaati hukum karena :
a. Karena orang merasakan bahwa peraturan-peraturan itu dirasakan sebagai hukum.
b. Karena ia harus menerimanya supaya ada rasa ketentraman. Ia menganggap peraturan sebagai peraturan hukum secara rasional (rationeele aanvaarding). Agar tidak mendapatkan kesukaran-kesukaran orang memilih untuk taat saja pada hukum, karena melanggar hukum mendapatkan sanksi.
c. Karena masyarakat menghendakinya.
d. Karena adanya paksaan atau sanksi sosial. Orang merasa malu atau khawatir dituduh sebagai orang yang asosial apabila melanggar sesuatu kaidah sosial/hukum.34
Pajak merupakan sumber penerimaan Negara yang sangat penting,
disamping minyak dan gas bumi. Hal ini dapat dilihat dari APBN bahwa setiap
tahun pajak merupakan sumber penghasilan yang besar bagi pemerintah.
34
Pemerintah dalam pemungutan pajak adalah berdasarkan keadilan dan kepastian
hukum bagi para pembayar pajak.35
Pajak yang telah diatur dalam APBN, pada dasarnya digunakan untuk
membiayai pembangunan negara baik bagi kegiatan rutin maupun kegiatan
pembangunan. Pajak pada dasarnya merupakan iuran yang berupa uang atau
barang yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma hukum. Pajak ditetapkan
oleh pemerintah, dapat dipaksakan tapi tidak ada jasa balik dari negara secara
langsung.
Undang-Undang pajak sebagai bagian dari hukum yang mengikat warga
negara merupakan elemen penting dalam menunjang pembangunan ekonomi.
Pajak digunakan untuk membiayai pembangunan tersebut, bahkan pajak dalam
suatu pemerintahan dianggap sebagai satu-satunya sumber pendapatan negara
untuk pembiayaan kegiatan pemerintahan. Jika tidak ada pemasukan dari sisi
pajak maka tidak ada kegiatan pemerintahan. 36 Adapun definisi atau pengertian
pajak menurut Rochmat Soemitro, pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara
berdasarkan Undang-Undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa
timbal atau kontraprestasi yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan
untuk membayar pengeluaran umum.37 Sehingga hukum pajak merupakan suatu
aturan yang ditetapkan oleh pemerintah guna mencukupi pengeluaran dalam
anggaran belanja negara.
MJH. Smeets seperti dikutip oleh Waluyo mengatakan, Pajak adalah
prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui norma-norma umum yang dapat
35
Amin Widjaja Tunggal,Op.cit, hal. 1 36
Boediono.Ekonomi Makro, Yogyakarta, BPFE,Cetakan ke-20, 2001, hal.110 37
dipaksakannya, tanpa adanya kontraprestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal
yang individual, dimaksudkan untuk membiayai pengeluaran pemerintah.38
Salah satu dari defenisi di atas menggunakan kata “iuran”. Ada juga yang
menggunakan kalimat “prestasi” kepada pemerintah (MJH Smeets). Kalimat
“dapat dipaksakan” terdapat pada hampir semua defenisi. Kalimat ini
mengandung arti bahwa bila utang pajak tidak dibayar, ia dapat ditagih dengan
menggunakan kekerasan, misalnya dengan surat paksa, sita, penyanderaan. Agar
pengunaan istilah paksaan dapat dihindarkan, Dr. Soeparman Soemahamidjaja
menggunakan kalimat “iuran wajib” untuk mendefenisikan pajak. Dengan kata
“wajib” unsur kesadaran masyarakat ikut diperhatikan.39
Ada beberapa unsur yang dapat diperoleh dari beberapa defenisi pajak
tersebut adalah:40
1. A compulsory, merupakan suatu kewajiban yang dikenakan pada rakyat yang dikenakan kewajiban perpajakan. Jika tidak melaksanakan kewajibannya tersebut, maka dapat dikenakan tindakan hukum berdasarkan undang-undang. Dapat dikatakan bahwa kewajiban ini dapat dipaksakan oleh pemerintah.
2. Contribution, diartikan sebagai iuran yang diberikan oleh rakyat yang memenuhi kewajiban perpajakan kepada pemerintah dalam satuan moneter. 3. By individual or organizational, iuran yang dapat dipaksakan tersebut dibayar
oleh perorangan atau badan yang memenuhi kewajiban perpajakan.
4. Received by the government, iuran yang diberikan tersebut dibayarkan kepada pemerintah selaku penyelenggara pemerintahan suatu Negara.
5. For public purpose, iuran yang diberikan dari rakyat yang dapat dipaksakan yang merupakan penerimaan bagi pemerintah dijadikan sebagai dana untuk pemenuhan tujuan kesejahteraan rakyat banyak.
Diketahui dari beberapa defenisi yang telah dikemukakan di atas dapat
ditarik kesimpulan tentang ciri-ciri atau unsur pokok yang terdapat pada
pengertian pajak, yaitu:41
38
Waluyo,Op. Cit., hal. 2 39
Soemarso S.R,Op.Cit., hal. 2 40
1. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang
Merupakan hal yang sangat mendasar, dalam pemungutan pajak harus
didasarkan pada peraturan perundang-undangan. Pada hakikatnya yang
memikul beban pajak adalah rakyat, masalah tax base dan tax rate harus
melalui persetujuan rakyat yang diwakili oleh lembaga perwakilan rakyat.
Hasil persetujuan tersebut dituangkan dalam suatu undang-undang yang harus
dipatuhi oleh setiap pihak yang dikenakan kewajiban perpajakan.
2. Pajak dapat dipaksakan
Jika tidak dipenuhinya kewajiban perpajakan maka wajib pajak dapat
dikenakan tindakan hukum oleh Pemerintah berdasarkan undang-undang.
Fiskus selaku pemungut pajak dapat memaksakan wajib pajak untuk mematuhi
dan melaksanakan kewajiban perpajakannya. Tindakan hukum atas
pelanggaran peraturan perundang-undangan dapat dikenakan sanksi
administrasi maupun sanksi pidana fiskal (UU Tentang Ketentuan Umum Dan
Tata Cara Perpajakan). Sanksi administrasi merupakan sanksi yang ditujukan
bagi wajib pajak yang terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT)
Masa maupun Tahunan.42
3. Diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan umum pemerintah
Pemerintah dalam menjalankan fungsinya, seperti melaksanakan ketertiban,
mengusahakan kesejahteraan, melaksanakan fungsi pertahanan, dan fungsi
penegakan keadilan, membutuhkan dana untuk pembiayaannya. Dana yang
diperoleh dari rakyat dalam bentuk pajak digunakan untuk memenuhi biaya
atas fungsi-fungsi yang harus dilakukan pemerintah tersebut.
4. Tidak dapat ditunjukkannya kontraprestasi secara lansung
Wajib pajak tidak mendapatkan imbalan secara langsung dengan apa yang telah
dibayarkannya pada pemerintah. Pemerintah tidak memberikan nilai atau
penghargaan atau keuntungan kepada wajib pajak secara langsung. Apa yang
41 Ibid 42
telah dibayarkan oleh wajib pajak kepada pemerintah digunakan untuk
keperluan umum pemerintah.
5. Berfungsi sebagai budgeter dan regulerend
Fungsi budgetair (anggaran), pajak berfungsi mengisi kas Negara atau
anggaran pendapatan Negara, yang digunakan untuk keperluan pembiayaan
umum pemerintah baik rutin maupun untuk pembangunan. Fungsi regulerend
adalah pajak berfungsi sebagai alat untuk melaksanakan kebijakan yang
ditetapkan Negara dalam bidang ekonomi sosial untuk mencapai tujuan
tertentu.
Terdapat 2 (dua) macam keadilan dalam perpajakan yaitu keadilan
horizontal dan keadilan vertikal. Keadilan horizontal menyangkut cakupan
pengertian penghasilan, sedangkan keadilan vertikal berkenaan dengan struktur
tarif pajak. Dengan demikian tidak ada lagi perbedaan perlakuan antara wajib
pajak, artinya terkait dengan setiap orang mendapat perlakuan yang adil.43
Pajak penghasilan merupakan suatu pungutan resmi yang ditujukan kepada
masyarakat yang berpenghasilan atau atas penghasilan yang diterima dan
diperolehnya dalam tahun pajak untuk kepentingan Negara dan masyarakat dalam
hidup berbangsa dan bernegara sebagai suatu kewajiban yang harus
dilaksanakan.44
Pajak atas penghasilan umumnya dipakai sebagai instrument redistribusi
dan pemerataan penghasilan nasional. Salah satu indikasi daya bayar itu adalah
penghasilan. Selain itu, dalam kebijakan pajak atas penghasilan melekat isu
keadilan (equity) dan kewajaran (fairness). Keadilan sering diidentifikasikan
dengan keadaan sama rata (horizontal equity) dan sama rasa (vertical equity).
43
Bastari,Intisari Perkuliahan, Pengantar Pajak 44
Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Pajak Penghasilan, Pajak
Penghasilan dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau
diperolehnya dalam tahun pajak. Atas ketentuan tersebut, setiap orang pribadi
sebagai subjek pajak mempunyai kemungkinan (potensi) diwajibkan membayar
pajak. Dipenuhinya syarat sebagai subjek pajak merupakan kewajiban pajak
subjektif, sedangkan dalam hal seseorang sudah menerima atau memperoleh
penghasilan pada suatu tahun pajak, berarti dipenuhinya kewajiban pajak
objektif.
2. Konsepsi
Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Peranan konsepsi
dalam penelitian ini untuk menghubungkan teori dan observasi, antara abstrak dan
kenyataan. Pemaknaan konsep terhadap istilah yang digunakan, terutama dalam
judul penelitian, bukanlah untuk keperluan mengkominikasikannya semata-mata
kepada pihak lain, sehingga tidak menimbulkan salah tafsir, tetapi juga demi
menuntun peneliti sendiri di dalam menangani proses penelitian bersangkutan.45
Konsepsi yang dimaksud disini adalah kerangka konsepsional merupakan
bagian yang menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan konsep yang digunakan
penulis. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang
digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus,46 yang disebut dengan definisi
operasional.
45
Sanapiah Faisal, Format-Format penelitian Sosial, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1999, hal. 107-108
46
Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan
pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. selain
itu, dipergunakan juga untuk memberikan pegangan kepada proses penelitian ini.
Suatu Kerangka konsepsionil, merupakan kerangka yang menggambarkan
hubungan antara konsep-konsep khusus, yang ingin atau akan diteliti, akan tetapi
merupakan suatu abstraksi dari gejala tersebut. Gejala itu sendiri biasanya
dinamakan fakta, sedangkan konsep merupakan suatu uraian mengenai
hubungan-hubungan dalam fakta tersebut.47
Kerangka konsepsional dalam penelitian hukum, diperoleh dari peraturan
perundang-undangan atau melalui usaha untuk merumuskan atau membentuk
pengertian-pengertian hukum. Apabila kerangka konsepsional tersebut diambil
dari peraturan perundang-undangan tertentu, maka biasanya kerangka
konsepsional tersebut sekaligus merumuskan defenisi-defenisi tertentu, yang
dapat dijadikan pedoman operasional di dalam proses pengumpulan, pengolahan,
analisa dan konstruksi data.48
Kerangka konsepsional mengungkapkan beberapa konsepsi atau
pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum, guna
menghindari perbedaan penafsiran dari istilah yang dipakai, selain itu juga
dipergunakan sebagai pegangan dalam proses penelitian ini.
Dipandang perlu untuk mendefenisikan beberapa konsep penelitian untuk
menghindarkan terjadinya perbedaan penafsiran terhadap istilah-istilah yang
digunakan dalam penelitian ini, agar secara operasional diperoleh hasil penelitian
yang sesuai dengan makna variabel yang ditetapkan dalam topik, yaitu:
47
Soerjono Soekanto,Op.Cit, hal. 132 48
1. Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang
pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang,
dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk
kepentingan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
2. Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji,
upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain yang diterima atau
diperoleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan
pekerjaan atau jabatan, jasa dan kegiatan.
3. Penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima
atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari
luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah
kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk
apapun.
4. Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik,
mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh
peraturan perUndang-Undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang
berkepentingan, untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian
tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan
kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga
ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang
ditetapkan oleh Undang-Undang.
5. PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan membuat akta
otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah/hak
6. Kepatuhan adalah mengikuti suatu spesifikasi, standar atau hukum yang
telah diatur dengan jelas yang biasanya diterbitkan oleh lembaga atau
organisasi yang berwenang dalam suatu bidang tertentu.
7. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak,
pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan
kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
8. Pemotong Pajak adalah wajib pajak orang pribadi atau wajib pajak badan,
termasuk bentuk usaha tetap, yang mempunyai kewajiban untuk
melakukan pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan
pekerjaan, jasa, dan kegiatan orang pribadi.
9. Masa Pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak
untuk menghitung, menyetor dan melaporkan pajak yang terutang dalam
suatu jangka waktu tertentu.
10. Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila
Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun
kalender.
11. Surat Pemberitahuan Masa adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan
untuk melaporkan perhitungan dan atau pembayaran pajak yang terutang
dalam suatu Masa Pajak atau pada suatu saat.
G. Metode Penelitian
1. Sifat dan Jenis Penelitian
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada
metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari
satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya. Kecuali
itu, maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum
tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas
permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan.49
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, artinya penelitian ini berupaya
menggambarkan, menjelaskan serta menganalisa peraturan-peraturan yang
berhubungan dengan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan kemudian akan
dibandingkan dengan kepatuhan hukum Notaris/PPAT di Kota Banda Aceh
terhadap kewajiban menyampaikan SPT Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 tahun
pajak 2010 Berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak
Penghasilan.
Jenis penelitian yang diterapkan adalah memakai metode penulisan dengan
pendekatan yuridis empiris (penelitian hukum empiris), yaitu melihat kenyataan
secara langsung yang terjadi dalam praktek di lapangan. Dalam hal ini penelitian
yang dimaksudkan adalah sebagai pendekatan terhadap masalah dengan melihat
dari segi peraturan-peraturan yang berlaku dan dihubungkan dengan kenyataan
yang terjadi mengenai fenomena-fenomena yang berhubungan dengan Kepatuhan
Hukum Notaris/PPAT Di Kota Banda Aceh Terhadap Kewajiban Menyampaikan
SPT Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 Tahun Pajak 2010 Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan.
49
2. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Notaris/PPAT yang wilayah
hukumnya berada di kota Banda Aceh yaitu sebanyak 21 (dua puluh satu) kantor
Notaris/PPAT.
Dalam penelitian ini akan digunakan sampel populasi total yang berarti
seluruh jumlah populasi akan dijadikan sasaran penelitian. Penelitian ini didukung
dengan data penunjang melalui informan yaitu Pegawai /Petugas Kantor
Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Kota Banda Aceh sebanyak 2 (dua) orang.
3. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian adalah data primer dan data sekunder,
sebagai berikut :
a. Data Primer
Data penelitian adalah data penelitian lapangan yang terkait dengan
kepatuhan hukum Notaris/PPAT di Kota Banda Aceh terhadap kewajiban
menyampaikan SPT Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 berdasarkan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan melalui
wawancara dengan menggunakan kuesioner kepada responden, yaitu
Notaris/PPAT di Kota Banda Aceh yang berjumlah 21 (dua puluh satu)
orang dan informan yaitu pegawai Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama
b. Data Sekunder
Data sekunder dalam penelitian ini adalah bahan kepustakaan yang
meliputi bahan hukum Primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum
tertier.
1) Bahan hukum Primer, yang terdiri dari :
a. Norma atau kaidah dasar
b. Peraturan perUndang-Undangan yang terkait dengan perpajakan
khususnya mengenai Pajak Penghasilan Pasal 21 yaitu :
- Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa
kali diadakan perubahan dan terakhir kali dengan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diadakan
perubahan dan terakhir kali dengan Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008
2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan
tentang bahan hukum primer antara lain tulisan atau pendapat para
pakar hukum dibidang hukum perpajakan.
3) Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup
bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum
primer dan hukum sekunder, seperti kamus, umum, kamus hukum,
majalah, dan jurnal ilmiah yang berhubungan dengan penelitian yang
4. Alat Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan tiga alat pengumpulan data yaitu :
1. Pedoman Wawancara (Interview Guide). Untuk mendukung data sekunder
maka diperlukan wawancara terhadap Notaris/PPAT dan pegawai dari Kantor
Pelayanan Pajak (KPP) di Kota Banda Aceh. Sebelum dilakukan wawancara
dengan informan tersebut maka terlebih dahulu dipersiapkan pedoman
wawancara. Pedoman wawancara ini mengacu pada substansi masalah dalam
penelitian. Ketika dilakukan wawancara bisa dapat mengetahui jawaban atas
permasalahan yang diajukan kepada para informan tersebut.
2. Studi Kepustakaan yaitu menghimpun data dengan melakukan penelaahan
bahan kepustakaan atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer,
bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier mengenai data-data tentang
pajak, khususnya mengenai PPh Pasal 21.
3. Kuesioner yang ditujukan kepada responden.
5. Analisis Data
Analisis data sebagai tindak lanjut proses pengolahan data merupakan
kerja seorang peneliti yang memerlukan ketelitian dan pencurahan daya pikir
secara optimal.50 Analisis data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan
mengurutkan data ke dalam pola, kategori dan uraian dasar sehingga dapat
ditemukan tema dan dapat dirumuskan suatu hipotesis kerja seperti yang
disarankan oleh data.51 Analisis data merupakan hal yang sangat penting dalam
suatu penelitian dalam rangka memberikan jawaban terhadap permasalahan yang
50
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Jakarta, Sinar Grafika, 1996, Hal. 77
51
diteliti. Analisis data terhadap data primer dan data sekunder mengenai kepatuhan
hukum Notaris/PPAT di Banda Aceh dalam penyampaian SPT Masa PPh Pasal
21, setelah diadakan terlebih dahulu pemeriksaan, pengelompokan, pengolahan,
lalu dianalisis dengan menggunakan metode analisis kualitatif dengan logika
silogisme induktif, yaitu logika berpikir dari hal yang khusus menuju hal yang
umum, dengan menggunakan perangkat normatif, yaitu dengan cara melakukan
interprestasi dan konstruksi hukum atas peristiwa hukum konkrit yang terjadi
terutama hal-hal yang berkaitan dengan kepatuhan hukum Notaris/PPAT di Banda
Aceh dalam penyampaian SPT Masa PPh Pasal 21, yang diperoleh, dikumpulkan
dan selanjutnya evaluasi data secara kualitatif. Dari kegiatan interprestasi data
sekunder yang diperoleh diharapkan dapat menghasilkan kesimpulan yang sesuai