• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENYELENGGARAAN JAMINAN SOSIAL BAGI MASY

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENYELENGGARAAN JAMINAN SOSIAL BAGI MASY"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

PENYELENGGARAAN JAMINAN SOSIAL BAGI

MASYARAKAT DITINJAU DARI TEORI HUKUM RESPONSIF

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah Negara Hukum.1 Salah satu ciri dari negara hukum adalah adanya

pengakuan atas hak asasi manusia. Pengakuan atas adanya hak asasi manusia di Indonesia ditunjukan dengan dituangkannya pengakuan tersebut didalam batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945). Hak Asasi Manusia dalam UUD 1945 diatur pada BAB XA dari Pasal 28A hingga 28J. Pasal 28A menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Pasal 28A ini menjadi inti dari pasal-pasal berikutnya yang mengatur tentang hak asasi manusia. Hak setiap orang dalam mempertahankan hidup dan kehidupannya tersebut dituangkan secara lebih rinci dalam Pasal 28B UUD 1945 hingga Pasal 28J UUD 1945.

Pasal 28H ayat (3) UUD 1945 mengatur tentang hak asasi manusia yang terkait dengan hak masyarakat untuk memperoleh janiman sosial yang memungkinkan pengembangan diri masyarakat sebagai manusia yang bermartabat. Sebagai negara hukum, Indonesia wajib menjalankan pemerintahannya berdasarkan pada konstitusi.2 Pasal 28H ayat (3) UUD 1945 ini

kemudian diturunkan menjadi suatu undang-undang yang menjadi dasar pelaksanaan dari penyelenggaraan jaminan sosial di Indonesia, yaitu Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (selanjutnya disebut UU jaminan Sosial).

Sejak kemunculan UU jaminan Sosial, hingga tahun 2011 sebelum adanya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (selanjutnya

1 Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar Tahun 1945

(2)

disebut dengan UU BPJS) pelaksanaan jaminan sosial bagi masyarakat dilaksanakan oleh beberapa badan, antara lain: Perusahaan Perseroan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK), Perusahaan Perseroan Dana tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (TASPEN), Perusahaan Perseroan Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia(ASABRI), serta Perusahaan Perseroan Asuransi Kesehatan Indonesia (ASKES).3 Jika dilihat dari badan

penyelenggara jaminan sosial maka kesimpulan sementara dari penulis adalah jaminan sosial yang selama ini dilaksanakan hanya sebatas pada jaminan atas kesehatan, kecelakaan kerja, dan jaminan hari tua/pensiun.4 Meskipun penyelenggaraan jaminan sosial telah diatur, faktanya

penulis menemukan bahwa jaminan sosial yang dilaksanakan oleh pemerintah pada saat itu hanya dilaksanakan sebatas bagi sekelompok tertentu, misalnya JAMSOSTEK hanya untuk pekerja, ASKES hanya untuk PNS dan masyarakat “tidak mampu”, TASPEN untuk dana pensiun PNS, serta ASABRI yang diperuntukan sebagai jaminan hari tua bagi para pensiunan ABRI.5

Berdasakan fakta tersebut, adanya UU Jaminan Sosial senyatanya dapat dikatakan belum mampu memberikan jaminan sosial yang semestinya dapat diberikan bagi seluruh lapisan masyarakat. Belum lagi adanya persoalan lain yaitu apakah yang disebut jaminan sosial hanya sebatas pada jaminan hari tua, kecelakaan kerja, dan kesehatan saja?

B. Rumusan Masalah

Atas berbagai permasalahan yang muncul pada latar belakang, maka penulis menyusun rumusan masalah sebagai berikut :

1. Apakah dengan telah adanya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 jaminan sosial di Indonesia telah dapat terselenggara dengan baik sebagaimana yang telah di harapkan dalam pasal 28H ayat (3) UUD 1945?

2. Bagaimana seharusnya hukum dibentuk agar dapat mengatur pelaksanaan terjaminnya jaminan sosial bagi masyarakat?

3 Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasioanl

4 Ternyata analisis penulis dikuatkan setelah melihat pada Pasal 18 yang mengatur tentang jenis progam jaminan sosial dalam Undang-Undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.

(3)

BAB II

ISI

A. Pengaturan Jaminan Sosial di Indonesia

Sistem Jaminan Sosial sebagaimana yang telah diuraikan secara singkat dalam latar belakang masalah, telah diatur secara tegas di dalam batang tubuh UUD 1945. Bahkan Pasal 28H ayat (3) menyebut dengan tegas terkait kata “jaminan Sosial” tersebut. lalu sesungguhnya apakah jaminan sosial itu? Dan apa bentuk jaminan yang harus diberikan pemerintah kepada warganya terkait jaminan sosial tersebut?

Untuk menjawab hal tersebut, pasal 28H ayat (3) turunkan dalam bentuk Undang-Undang yaitu dengan di bentuknya Undang-Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Jaminan Sosial. Pengertian terkait apa itu jaminan sosial tertuang dalam Pasal 1 angka 1 UU jaminan Sosial yaitu sebagai berikut “Jaminan sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak.” Pasal tersebut memberi penjelasan atas pemberian jaminan sosial atas kebutuhan dasar bagi seluruh rakyat oleh masyarakat. Namun perlu diketahui mengenai maksud dari kebutuhan dasar tersebut? Jika harus menerjemahkan kebutuhan dasar yang dijamin oleh pemerintah melalui UU Jaminan Sosial, penulis hanya melihat adanya penjaminan atas hak kesehatan dan jaminan hari tua bagi masyarakat.6

(4)

pemberian jaminan sosial dalam UU Jaminan Sosial tersebut hanya sebatas pada suatu progam yang diharap dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak apabila tejadi hal-hal yang dapat mengakibatkan hilang atau berkurangnya pendapatan, karena menderita sakit, mengalami kecelakaan, kehilangan pekerjaan, memasuki usia lanjut, atau pensiun.7 Huruf yang

bercetak miring menjadi penekanan penulis karena, menurut penulis kalimat tersebut dapat diartikan sebagai alasan dasar dalam pemberian jaminan sosial terhadap masyarakat.

Pembatasan atas adanya ketentuan tersebut dinilai tidak sesuai dengan tujuan yang terdapat Pasal 3 UU Jaminan Sosial yang menyatakan bahwa adanya sistem jaminan sosial bertujuan untuk memberikan jaminan kebutuhan dasar hidup layak bagi setiap peserta/ anggota keluarga. Pasal 3 tersebut menegaskan pada pemberian jaminan atas kebutuhan dasar yang layak, menurut pemahaman penulis kebutuhan dasar tersebut tidak hanya sebatas pada pada kesehatan, kecelakaan, kehilangan pekerjaan, serta jaminan bagi yang telah memasuki usia pensiun saja. Menurut pandangan ahli pada umumnya kebutuhan dasar manusia terdiri atas kebutuhan-kebutuhan seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, kebebasan, serta pekerjaan yang layak.8 Jadi sesungguhnya kebutuhan dasar manusia sesungguhnya lebih luas dari cakupan

yang terdapat dalam UU Jaminan Sosial.

Selain adanya kelemahan mengenai hal yang dipenuhi atas jaminan kebutuhan dasar manusia tersebut, Pasal 3 UU Jaminan Sosial juga menunjukan suatu kelemahan didalamnya. Dalam akhir frasa pasal 3 menunjukan bahwa Jaminan Sosial diberikan hanya kepada peserta maupun anggota keluarga dari peserta. Dengan kata lain, frasa tersebut membatasi bahwa pemerintah hanya akan memberi jaminan sosial hanya kepada peserta dari progam jaminan sosial yang dilaksanakan oleh badan pelaksana yang ditunjuk oleh UU Jaminan Sosial. Adanya dasar alasan dalam pemberian jaminan sosial kepada masyarakat di dalam UU Jaminan Sosial tersebut menurut penulis merupakan suatu “lubang” dalam sistem jaminan sosial bagi masyarakat yang dilaksanakan oleh pemerintah. Dengan adanya pembatasan tersebut, dengan kata lain UU Jaminan Sosial ini belum bisa memenuhi apa yang diamanatkan dalam Pasal 28H ayat (3) UUD 1945 yang secara tegas menyebutkan bahwa Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang

7 Uraian tersebut merujuk pada alinea 3 penjelasan umum Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.

(5)

memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat. Pasal 28H ayat (3) tersebut dengan tegas menyebutkan bahwa yang berhak atas jaminan sosial adalah bagi setiap orang atau dengan kata lain adalah bagi seluruh warga negara tanpa pengecualian.

Fakta-fakta yang telah diuraikan tersebut dapat dikatakan bahwa keberadaan UU Jaminan Sosial belum mampu menjawab kebutuhan atas jaminan sosial bagi seluruh masyarakat. Jika merujuk pada apa itu hukum, dan jika hukum dikatakan berorientasi pada dua asas yaitu keadilan dan merujuk pada daya guna,9 maka menurut pandangan penulis UU Jaminan Sosial

sebagai hukum yang mengatur tentang jaminan sosial dapat dikatakan belum memenuhi kedua asas tersebut.

Tahun 2011, Pemerintah mengeluarkan teraturan perundang-undangan baru yang mengatur terkait pelaksanaan jaminan sosial yaitu Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Pelaksana Jaminan Sosial (selanjutnya disebut dengan UU BPJS). UU BPJS ini secara khusus mengatur tentang pelaksanaan sistem jaminan sosial melalui suatu badan yang baru sebagai bentuk pembaruan sistem pelayanan pemberian jaminan sosial bagi masyarakat. Badan penyelenggara sistem jaminan sosial (yang disingkat BPJS) merupakan suatu pembaruan yang tujuan utamanya mentransformasi empat badan penyelenggaraan jaminan sosial dalam UU Jaminan Sosial (yaitu: JAMSOSTEK, ASKES, ASABRI, dan TASPEN) kedalam satu badan denganh tujuan memperceat terselenggaranya jaminan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.10

UU BPJS juga mengatur terkait bentuk jaminan sosial yang diberikan pemerintah kepada masyarakat di dalam Pasal 5 dan Pasal 6. Bentuk jaminan sosial yang diselenggarakan terdiri dari dua jenis, yaitu BPJS kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan yang mencakup pada jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, serta jaminan kematian. Jika merujuk pada bentuk jaminan sosial yang diberikan oleh pemerintah, dengan adanya undang-undang baru terkait badan pelaksanaan jaminan sosial maka tidak ada bentuk baru yang dilaksanakan oleh pemerintah. Pemberian jaminan sosial masih saja hanya sebatas pada kesehatan dan ketenagakerjaan. Padahal, bila merujuk kembali pada tujuan pemberian jaminan sosial adalah pada pemenuhan kebutuhan dasar maka jika jaminan sosial hanya diberikan sebatas pada kesehatan dan ketenagakerjaan saja akan dirasa sangat kurang.

9 Penjelasan definisi Hukum berorientasi pada dua asas yaitu keadilan dan daya guna dirujuk dalam O. Notohamidjojo (Tri Budiyono (edt)), Soal-Soal Pokok Filsafat Hukum, Salatiga: Griya Media, 2011, hlm 14.

(6)

Huruf a konsiderans UU BPJS, didalamnya disebutkan bahwa sistem jaminan sosial adalah suatu progam negara yang bertujuan memberi kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat. Dari pernyataan tersebut maka dapat dikatakan tujuan pemberian jaminan sosial adalah kesejahtearaan sosial bagi seluruh rakyat. Tercapainya kesejahteraan akan terwujud apabila masyarakat dapat terpenuhi kebutuhan dasarnya, dan kebutuhan dasar manusia itu sebagaimana pernah dijelaskan sebelumnya tidak hanya sebatas pada kesehatan dan penjaminan ketenagakerjaan saja.

Jika pemerintah ingin mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia maka juga diperlukan suatu upaya untuk memberikan jaminan sosial yang dapat memenuhi kebutuhan dasar manusia, seperti hal-hal yang terkait dengan kebutuhan atas pemenuhan tempat tinggal, kebutuhan atas pendidikan dan pekerjaan yang layak. Pemenuhan tiga kebutuhan dasar ini menjadi kurang diperhatikan karena pemerintah selama ini hanya fokus pada dua bentuk pemberian jaminan sosial yang ada selama ini. Padahal sesungguhnya pemenuhan kebutuhan atas tempat tinggal yang layak, pendidikan dan pekerjaan yang layak juga harus menjadi fokus utama pemerintah, karena jika berbicara tiga hal itu maka sasaran utamanya adalah bagi masyarakat ekonomi bawah. Justru hal ini harus menjadi suatu arah pemberian jaminan sosial, jika memang tujuan dari pemberian jaminan sosial adalah kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

(7)

ASABRI dan TASPEN. UU BPJS pada akhirnya mampu menutup celah ini. Pasal 1 angka 4 UU BPJS menyebutkan bahwa peserta adalah setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, yang telah membayar iuran. Dari pasal tersebut dipahami bahwa UU BPJS mengakomodir kepesertaan jaminan sosial bagi seluruh masyarakat. Meskipun dalam peryataan pasal tersebut di sebutkan terkait pembayaran iuran namun dalam pasal-pasal berikutnya terdapat suatu penekanan bagi kewajiban pembayaran iuran baik bagi individu maupun kewajiban pembayaran iuran bagi pemberi kerja. UU BPJS mengakomodir pemberian jaminan sosial bagi seluruh pekerja baik di sektor formal maupun informal.11 Sebagai suatu

tindakan tegas agar seluruh masyarakat dapat merasakan manfaat dari pemberian jaminan sosial maka memiliki kewenangan untuk menagih pembayaran iuran bagi peserta.12

Dari pembahasan diatas maka menjadi suatu kritik adalah dengan adanya dua undang-undang yang mengatur tentang penyelenggaraan jaminan sosial bagi masyarakat pada kenyataannya belum dapat secara penuh menjadi upaya pemenuhan kebutuhan jaminan sosial yang menuju kearah kesejahteraan sosial bagi masyarakat. Hal ini terutama ditunjukan bahwa pemerintah belum secara utuh mengakomodir kebutuhan masyarakat.

Pasal 28H ayat (3) UUD 1945, memang merupakan suatu pasal yang menegaskan bahwa diperlukannya suatu jaminan sosial bagi masyarakat yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh dan bermartabat. Lalu bagaimana atau apa yang dimaksud dengan mengembangkan diri secara utuh? Untuk melihat makna mengembangkan diri secara utuh maka Pasal 28H UUD 1945 tidak dapat dilihat hanya pada 1 ayat yang berdiri sendiri, namun harus dilihat juga kaitannya dengan ayat lainnya dalam pasal 28H UUD 1945 ini.

Pasal 28H ayat (1) menyebutkan, bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta berhak memperoleh layanan kesehatan. Pasal 28 ayat (2), “setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai suatu persamaan dan keadilan”.

11 Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 15 yang menyebutkan bahwa pemberi kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta kepada BPJS sesuai dengan progam jaminan sosial yang diikuti.

(8)

Jaminan bagi masyarakat untuk dapat mengembangkan diri secara utuh dapat dikaitkan dengan pasal 28H ayat (1) UUD 1945 yaitu hak bagi masyarakat untuk hidup sejahtera, memiliki tempat tinggal, serta memperoleh layanan kesehata. Jika hal tersebut dapat dipenuhi maka masyarakat dapat memiliki kemampuan untuk mengembangkan diri mereka secara utuh. Maka dari itu, penyelenggaraan jaminan sosial bagi masyarakat juga harus selalu mengarah pada pemenuhan kesejahteraan masyarakat. Sebagaimana yang telah ada dalam analisis sebelumnya, UU jaminan sosial dan UU BPJS belum secara utuh dapat memberikan pemenuhan kesejahteraan bagi masyarakat.

Selain itu, guna memenuhi amanat pasal 28H ayat (3) UUD 1945 juga harus memperhatikan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945. Bahwa dalam penyelenggaraan sistem jaminan sosial bagi masyarakat harus dapat memberi kemudahan serta perlakuan khusus agar setiap orang memiliki kesempatan yang sama. Yang dimaksud perlakuan khusus dan kemudahan disini adalah adanya suatu perlakuan khusus bagi mereka yang tidak mampu. Dalam UU BPJS khususnya dalam BPJS kesehatan telah dapat melaksanakan hal tersebut. BPJS Kesehatan mengenal adanya iuran bagi mereka yang mampu dan bagi yang tidak mampu mendapatkan suatu kekhususan untuk mendapatkan fasilitas tersebut secara Cuma-Cuma. Kehususan dalam BPJS kesehatan tidak hanya dirasakan bagi yang tidak mampu. Setiap orang merasakan perlakuan kemudahan dan perlakuan khusus dalam pelaksanaan BPJS kesehatan. Terkait kepesertaan dalam BPJS, iuran (premi) dapat disesuaikan dengan kehendak dan kemampuan dari setiap individu.

B. Pembaruan hukum, sebagai upaya mewujudkan jaminan sosial

Dari penjelasan sub bab A, telah diketahui bahwa telah adanya UU Jaminan Sosial dan UU BPJS senyatanya masih ditemukan kekurangan dalam pemberian bantuan hukum bagi masyarakat. Sebagai suatu sistem norma dan untuk mewujudkan suatu keadilan maka hukum yang dibentuk harus dapat menciptakan suatu persamaan dihadapan hukum bagi seluruh warga negara.13Maka dari itu maka masih diperlukan suatu hukum yang dapat menjadi wadah untuk

memberikan kemanfaatan bagi masyarakat.

(9)

Jika merujuk pada pemikiran O. Notohamidjojo bahwa hukum berorientasi pada keadilan dan daya guna14 maka dibutuhkan suatu hukum yang dapat mewujudkan keadilan yaitu

persamaan kesejahteraan pada masyarakat serta menciptakan suatu hukum yang memiliki daya guna bagi masyarakat. Hukum yang berdaya guna disini maksudnya adalah hukum yang dapat memberi kepuasan bagi masyarakat.15

Untuk menciptakan suatu hukum yang berdaya guna maka hal ini dapat pula diwujudkan dalam bentuk pembangunan hukum yang responsif. Suatu hukum yang responsif menurut konsep Philipe Nonet dan Philip Selznick adalah suatu hukum yang dapat memenuhi tuntutan kebutuhan sosial terhadap masalah keadilan sosial dengan tetap mempertahankan hasil-hasil pelembagaan yang telah dicapai kekuasaan berdasar hukum.16 Suatu hukum yang responsif

memiliki tipe bahwa hukum merupakan fasilitator dari respon terhadap kebutuhan sosial.17

Suatu hukum yang responsif memiliki makna bahwa hukum diciptakan untuk melayani kebutuhan serta kepentingan sosial yang dialami dan ditemukan oleh rakyat.18 Dengan kata lain

maka, sumber dari pembentukan hukum yang responsif adalah berasal dari rakyat, yang diambil dari kepentingan-kepentingan yang dibutuhkan masyarakat.

Dalam konteks pemberian jaminan sosial bagi masyarakat tersebut, pembaruan hukum sistem jaminan sosial sangat diperlukan guna menjawab kebutuhan dalam masyarakat. Hukum yang dibentuk sebagai upaya pemenuhan jaminan sosial harus mampu lebih responsif karena jaminan sosial memiliki suatu hubungan yang sangat erat pada pemenuhan kebutuhan masyarakat. Pembentukan hukum yang terkait jaminan sosial harus berasal dari masyarakat, menjawab kebutuhan-kebutuhan masyarakat, sehingga kemudian hukum yang diciptakan akan memberi suatu keadilan dan daya guna bagi masyarakat.

Pada konteks saat ini, Presiden jokowi telah memenuhi kebutuhan dasar masyarakat dengan menerbitkan tiga kartu yaitu kartu Indonesia Sehat, Kartu Indonesia Sejahtera, dan Kartu Indonesia Pintar. Kebijakan Presiden jokowi dalam menerbitkan tiga kartu tersebut dapat dipandang sebagai kebijakan pemerintah dalam menjalankan jaminan sosial yang lebih utuh

14 dalam O. Notohamidjojo (Tri Budiyono (edt)), Soal-Soal Pokok Filsafat Hukum, Salatiga: Griya Media, 2011, hlm 14.

15Ibid.,

16 A. Mukhtie Fajar, Teori Hukum Kontemporer, malang: Setara Press, 2013, hlm 49. 17Ibid.,

(10)

yang belum terlihat atau lebih tepatnya belum terlihat sebagai satu kesatuan utuh dalam bentuk sistem jaminan sosial yang dilaksanakan oleh pemerintah yang lalu.

Meski kebijakan telah mulai diterapkan oleh pemerintahan kabinet kerja pada saat ini, namun masih sangat perlu upaya pembentukan suatu hukum yang responsif, yang dapat menjawab kebutuhan masyarakat, dan juga sebagai suatu bentuk kepastian hukum atas pelaksanaan kebijakan tersebut. Jika kemudian hari hukum yang demikian dibentuk maka ia akan terlihat sebagai hukum yang responsif karena dalam hukum responsif memiliki ciri-ciri adanya pergeseran penekanan dari aturan ke prinsip-prinsip atau tujuan, serta hukum yang memiliki karakter kerakyatan.19

(11)

BAB III

SIMPULAN DAN SARAN

Hingga saat ini pelaksaan jaminan sosial di Indonesia belum mampu menjalankan amanat dari pasal 28H ayat (3) UUD 1945, karena pemberian jaminan sosial masih diberikan sebatas pada jaminan kesehatan dan ketenagakerjaan saja. Maka dari itu diperlukan sebuah pembaruan hukum yang dapat menjamin adanya jaminan sosial bagi masyarakat di segala bidang seperti pemenuhan kebutuhan perumahan, pendidikan serta pekerjaan yang layak bagi masyarakat yang membutuhkan. Untuk dapat menciptakan hukum yang demikian maka diperlukan suatu upaya untuk menciptakan hukum yang lebih responsif dengan melihat kebutuhan dalam masyarakat itu sendiri.

Daftar Pustaka

(12)

O. Notohamidjojo (Tri Budiyono (edt)), Soal-Soal Pokok Filsafat Hukum, Salatiga: Griya Media, 2011.

Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006

Role of sociology in Indonesian development ; papers of the 1990 national seminar of HIPIIS, the Indonesian Association for the Development of Sociology, Membangun Martabat Manusia:Peranan Ilmu Sosial dalam Pembangunan, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press bekerjasama dengan HIPIIS, 1992.

Zainudin Ali, Sosiologi Hukum,Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar 1945

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini berarti bahwa agency cost yang dikeluarkan oleh perusahaan mampu meminimalisir biaya perusahaan maka kinerja perusahaan lebih menunjukkan performa yang

Makalah ini telah membahas salah satu perluasan dari masalah rute kendaraan (MRK) dasar dengan karakteristik-karakteristik yang mencakup: (1) trip majemuk (TM), (2)

Analisis Bukti Digital pada Telegram Messenger Menggunakan Framework NIST… 1403 Aplikasi Telegram yang sedang berjalan pada laptop dapat digunakan untuk mengambil data dan

kebijakan untuk mengatasi masalah, penyebab dan yang mempengaruhinya, dan pengaruh atau dampaknya. Menurutnya kebijakan itu dilakukan didasarkan karena kemampuan yang

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan tinggi tanaman dan jumlah daun sawi pada sistem akuaponik lebih baik dibandingkan pada sistem non akuaponik, sedangkan

Krim dengan ekstrak etanol tongkol jagung pada konsentrasi ekstrak yang berbeda diduga memiliki aktivitas tabir surya dengan nilai SPF yang juga berbeda. Ekstrak

“Sekolah merupakan lembaga publik yang mempunyai tugas untuk memberikan pelayanan kepada publik, khususnya pelayanan untuk peserta.. didik yang menuntut

Hal yang menandakan karakter yang dapat diamati bahwa bayi Sengkuni meskipun dilahirkan dalam wajah yang tampan tetapi ia bertaring seperti halnya ayahnya yang bertaring.Dalam