PENYAWAHAN TERUS MENERUS MEMACU PERECEPATAN PELAPUKANAN TANAH Rice‐field Cultivation Continuously was Accelerated Soil Weathering
R. Sudaryanto
Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta 57126
Abstract
This research was aimed to find out the existence of soil acceleration development indication as the result of the cultivation which was done continuously and for a long period. This research was done by analyzing soil samples which were taken from non‐rice‐field soil and cultivated soil which had been used for 20 years, 30 years, and 40 years in cultivation intensity once a year, twice a year and three times a year. Those analyzed soils had the same primary substances. The sand and clay content in the soil was chosen as the indicator of the soil weathering acceleration because of rice‐field cultivation. From the data gathered, it was analyzed the connection with the cultivation length and cultivation pattern through the similarities of correlation and regression. The research result showed that: soil which was used continuously and for a long period would tend to decrease the sand content but increase the clay content in the soil. The increase of clay and the decrease of sand in the soil indicated the high soil weathering intensity which would fasten the soil development. Therefore, it is suggested that it is not needed to do puddling phase while land preparation phase, because puddling tend to mineral weathering, and if it is possible cultivation by no tillage soil system could be done.
Keywords: sand and clay content in the soil, rice‐field cultivation, and soil development
PENDAHULUAN
Beras merupakan bahan pangan pokok
bagi sebagian besar penduduk di Republik
Indonesia. Beras pada umumnya diproduksi
dari lahan sawah. Berdasarkan data Badan
Pusat Statistik, pada tahun 1986 luas lahan
sawah di Indonesia 7,77 juta ha yang
meningkat menjadi 8,52 juta ha pada tahun
1996, tetapi pada tahun 2002 lahan sawah di
Indonesia menyusut menjadi 7,78 juta ha
(Abdurachman et al., 2005). Di Pulau Jawa
terjadi penyusutan luas lahan sawah dari 3,48 juta ha pada tahun 1988 menjadi 3,37 juta ha
pada tahun 1999. Menurut Irawan (2004),
dalam Abdurachman (2005), luas lahan
sawah yang terkonversi di pulau Jawa selama 1978 ‐1998 mencapai 0,7 juta ha, yang berarti
telah terjadi penyusutan sebesar 35 ribu
ha/tahun. Penyusutan lahan sawah secara
langsung akan menurunkan tingkat produksi
beras.
Penggunaan lahan untuk sawah diduga
dapat mempercepat penurunan kualitas
tanah (degradasi tanah), terutama tanah yang
disawahkan secara terus menerus. Hal ini
didasarkan pada penalaran dan beberapa
hasil penelitihan sebagai berikut: Budidaya
padi sawah mempunyai ciri khas yaitu: (1)
pelumpuran pada saat penyiapan lahan, dan
(2) penggenangan dan pengeringan pada saat
pemeliharaan tanaman. Pada kenyataannya
tanah sawah tidak hanya untuk menanam
padi, pada musim kemarau tanah sawah juga digunakan untuk menanam palawija, ataupun
diberakan, sehingga menghadirkan beberapa
macam pola tanam, seperti sawah 3 kali,
sawah 2 kali, dan sawah 1 kali. Tanah sawah 3 kali akan tergenang terus‐menerus sepanjang
tahun. Tanah sawah 2 kali mengalami masa
tergenang yang lebih lama dibandingkan
masa kering, sedangkan sawah 1 kali,
tanahnya mengalami masa tergenang lebih
singkat dibandingkan masa keringnya. Akibat
perbedaan pola tanam tersebut akan
menyebabkan perubahan sifat fisik tanah
(Hardjowigeno dkk., 2004).
Penyiapan lahan untuk budidaya padi
terjadi pelumpuran. Penyiapan lahan seperti
ini dapat menyebabkan penghalusan partikel
tanah dan pengaruh pelumpuran ini terhadap
sifat fisik tanah yang lain menjadi sangat
spesifik (Prasetyo dkk., 2004).
Pelumpuran tanah akan menghalusan
partikel tanah dan selanjutnya akan
berpengaruh pada sifat fisik tanah lain
seperti: retensi air, berat volume dan
permeabilitas tanah. Tanah porus dengan
agregat yang strukturnya bagus karena
pelumpuran akan menjadi masif (Sharma dan
De Datta, 1985). Hal ini tentu saja akan
menyebabkan perubahan ukuran pori tanah
yang selanjutnya akan mempengaruhi
pertukaran gas, retensi air dan transmisi air
dan evaporasi dari dalam tanah. Sanchez
(1993) menemukan bahwa 91–100 % dari
volume pori dirusak oleh pelumpuran pada
tanah bertekstur lempung debuan. Pori
kapiler bertambah 2 kali lipat karena
pelumpuran, dengan demikian akan
mengubah retensi dan transmisi air (Taylor,
1978; Cheng, 1983). Tanah‐tanah yang
bertekstur halus yang dilumpurkan juga akan
berpengaruh pada retensi air. Menurut
Farbrother (1970) pada tanah‐tanah
bertekstur liat pengurasan lengas tanah oleh
tanaman terhenti 25% berat tanah,
sementara itu tanah jenuh air adalah kira‐kira 36% berat tanah.
Menurut Ghildyal, (1978) pelumpuran
pada agregat yang baik dan tanah porus
menyebabkan tanah menjadi masif dan berat
volume meningkat bersama pengeringan
karena penyusutan. Pengeringan
menyebabkan tanah berlumpur menjadi
keras dan padat serta retakan yang lebar dan
dalam, tergantung pada kandungan dan sifat
mineral liat. Misak et al., (2002) juga
mengemukakan bahwa pelumpuran akan
menyebabkan peningkatan berat volume
tanah rata‐rata 3 – 6%,
Penurunan permeabilitas tanah akibat
pelumpuran juga dilaporkan oleh Cheng
(1983) bahwa perkolasi menurun dari 9 ‐15
mm/hari menjadi 2 – 10 mm/hari jika sistem
pola tanam di ubah dari padi – gandum
menjadi padi – padi – gandum. Misak et al.,
(2002) juga melaporkan bahwa pelumpuran
menyebabkan pemadatan tanah dan
menimbulkan penurunan kapasitas infiltrasi
rata‐rata 51%. Sementara sebelum itu
Mikklesen dan Patrick (1968) melaporkan
bahwa rata‐rata permeabilitas dan perkolasi
akan berkurang menjadi 1/3 sampai
dengan1/6 dari nilai aslinya setelah beberapa tahun secara terus menerus disawahkan.
Pada fase pemeliharaan tanaman
pemberian air irigasi dilakukan secara
periodik dengan cara penggenangan,
kemudian air ditahan dalam petak dan
dibiarkan hilang hanya melalui
evapotranspirasi dan infiltrasi. Akibatnya
terjadilah kondisi basah dan kering silih
berganti secara periodik. Prasetyo dan Kasno
(1998) menemukan bahwa hidratasi oksida
Fe dan Mg silikat dan bahan organik terjadi
pada lahan padi jika digenang dan proses
hidratasi inilah yang memudahkan terjadinya
pembengkaan tanah. Hasilnya adalah
pengurangan gaya kohesi dalam agregat
tanah dan mineral menjadi lebih lunak,
mudah hancur atau terlarut serta akan
mempermudah pelapukan mineral.
Kondisi basah dan kering yang silih
berganti pada budidaya padi sawah akan
menimbulkan suasana reduksi dan oksidasi
yang silih berganti. Suasana redoks ini
membuka kemungkinan untuk
berlangsungnya proses pelapukan mineral
yang disebut ferolisis. Menurut Brinkman
(1970) pada suasana reduksi fero yang
terbentuk akan mendesak kedudukan basa‐
basa lain seperti K, Na, Ca, dan Mg yang
terdapat dalam kisi mineral. Sebaliknya pada
saat kering fero akan teroksidasi
menghasilkan feri dan ion hidrogen, dengan
liat akan mengalami hidrolisis dan selanjutnya terjadilah pelapukan mineral.
Pelumpuran dan basah‐kering yang silih
berganti merupakan faktor pembeda yang
menonjol antara tanah sawah dengan tanah
bukan sawah. Tanah sawah yang digunakan
untuk budidaya padi sawah 3 kali, frekuensi
pelumpuran dan penggenangannya lebih
tinggi dari penggunaan lahan yang lain,
sehingga diduga akan menyebabkan
penurunan kualitas tanah (degradasi tanah).
Kecurigaan munculnya fenomena yang
mengindikasikan adanya degradasi tanah,
khususnya tanah‐tanah yang disawahkan
telah dikemukakan oleh Adiningsih (1992)
yang menemukan adanya penurunan
produksi padi yang disebabkan oleh degradasi
tanah. Degradasi tanah oleh Rossiter (2001)
didefinisikan sebagai hilangnya fungsi dari
tanah atau penurunan kapasitas tanah untuk menyediakan yang terbaik bagi pertumbuhan
tanaman. Menurut Larson dan Pierce (1991)
degradasi adalah penurunan kualitas tanah
sedangkan peningkatan kualitas tanah
disebut agradasi.
Pelumpuran, penggenangan dan
pengeringan pada budidaya padi sawah
dalam kurun waktu yang lama, diduga akan
memacu perubahan sifat fisik tanah.
Penelitian ini bertujuan membuktikan adanya
indikasi perubahan sifat fisik tanah akibat
penyawahan secara terus menerus dan dalam waktu yang lama.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilakukan dengan cara
menganalisis sampel tanah yang diambil dari
tanah bukan sawah, tanah yang telah
disawahkan selama 20 tahun, 30 tahun dan
40 tahun pada intensitas penyawahan 1 kali
setahun, 2 kali setahun dan 3 kali setahun.
Tanah‐tanah yang diamati tersebut
mempunyai bahan induk yang sama.
Penelitian ini dilakukan di Daerah Irigasi
Bendung Colo Timur, yang sumber airnya
diperoleh dari Waduk Gajahmungkur
Wonogiri Jawa Tengah. Desa Kriwen
merupakan sawah yang telah disawahkan 3
kali selama 20 tahun dan sawah di wilayah
Desa Combongan merupakan sawah yang
telah disawahkan 3 kali selama 40 tahun.
Kedua desa tersebut termasuk wilayah
Kecamatan Sukoharjo. Desa Nguter
Kecamatan Nguter teridentifikasi merupakan
desa yang lahan sawahnya telah disawahkan
3 kali selama 30 tahun.
Parameter yang diamati (indikator) dan
cara analisisnya disajikan dalam Tabel 1.
Analisis data parameter yang diamati untuk
melihat hubungan antara parameter dengan
lama penyawahan dan pola tanam dilihat
melalui grafik korelasinya. Kajian keeratan
antara parameter yang diamati dengan lama
penyawahan, dilihat dari koefisien korelasi
dan persamaan regresi.
Tabel 1. Parameter sifat fisik tanah dan cara
analisisnya yang diamati dalam
penelitian
No. Parameter Satuan
Metode Analisis/Alat
Pengukur 1
2 3
4
Berat volume Tekstur tanah meliputi:
a. Kandungan pasir b. Kandungan liat Air tersedia (available water) Permeabilitas tanah
gram/cm3 % % %
cm/jam
Ring sampler
Metode Pipet Metode pipet Kalkulasi
Permeameter
HASIL DAN PEMBAHASAN
Untuk melihat hubungan antara
parameter yang diamati dengan lama
penyawahan dan pola tanam, data parameter terkait disusun dalam bentuk matrik.
Kandungan fraksi Pasir Dalam Tanah (%)
Data kandungan fraksi pasir dalam tanah
disajikan dalam Tabel 2, Gambar grafik 1 dan Gambar diagram 2. Hubungan korelasi antara
kandungan fraksi pasir dalam tanah dengan
lama penyawahan dan pola tanam disajikan
Berdasarkan koefisien korelasi antara
kandungan pasir dalam tanah dengan lama
penyawahan dapat dijelaskan bahwa
kandungan pasir tanah berkoralasi negatif
atau mempunyai hubungan berbanding
terbalik dengan lama penyawahan, dan pola
tanam hubungan tersebut cukup signifikan.
Dari persamaan regresi di atas terlihat bahwa kandungan pasir cenderung menurun sebesar
0,297% per tahun. Sedangkan pada tanah
bukan sawah kandungan pasir tanah juga
cenderung menurun, tetapi jauh lebih kecil,
yaitu 0,095% per tahun.
Tabel 2. Hubungan antara kandungan pasir
dalam tanah (%)dengan lama
penyawahan dan penggunaan lahan Penggunaan
Lahan
Lama Penyawahan (tahun) 20 30 40
Bukan sawah 37,4 37,0 35,5
Sawah 1 kali 32,0 32,0 29,2
Sawah 2 kali 29,2 29,1 25,4
Sawah 3 kali 22,5 22,2 18,4
Penyawahan akan menurunkan
kandungan faksi pasir, melalui pelumpuran.
Pelumpuran akan terjadi merusak agregat
makro menjadi agregat yang lebih kecil,
bahkan pelumpuran dapat mencerai‐beraikan
tanah ke dalam partikel tunggal dan gesekan
antar partikel tunggal dan antara partikel
tanah dengan alat pengolah tanah akan
memungkinkan terjadinya penghalusan
partikel tanah (disintegrasi). Sementara itu
penggenangan dan pengeringan yang silih
berganti akan memungkinkan terjadinya
proses ferolisis (dekomposisi). Kedua proses
tersebut diduga akan memacu pelapukan
mineral fraksi pasir, menjadi mineral fraksi
liat.
Statement di atas ditunjang oleh Wilding
et al., (1983) yang mengatakan bahwa
ketahanan mineral terhadap pelapukan
dipengaruhi oleh (a) Perbedaan unsur
penyusun, (b) Perbedaan lingkungan
pelapukan dan (c) Ukuran mineral.
Argumentasi di atas didukung oleh hasil
penelitian Chaundhary dan Ghildyal (1969)
yang melaporkan bahwa pelumpuran dapat
menurunkan diameter agregat dari 1,70 mm
menjadi 0,30 mm. Selanjutnya Ghildyal
(1978) melakukan penelitian sendiri di
laboratorium menggunakan agregat yang
berukuran lebih kecil dari pasir kasar.
Pelumpuran dapat memecahkan kira‐kira
40% dari agregat tersebut ke dalam fraksi
yang berukuran kurang dari 0,05 mm.
Secara tidak langsung argumen di atas
juga didukung oleh Sharma dan De Datta
(1985), mereka melaporkan bahwa tanah
bertekstur lempung berliat jika dilumpurkan
akan mengalami perubahan distribusi ukuran
pori tanah. Tanah tersebut jika dilumpurkan
pori berukuran >30µm (pori makro)
berkurang sampai 87%, pori berukuran 0,6 –
30 µm (pori kapiler). dan pori berukuran <0,6
µm (pori mikro) meningkat sekitar 7 – 52%.
Sementara itu Plaster (2004) menyatakan
penurunan ukuran pori disebabkan oleh
penurunan ukuran partikel penyusun tanah.
Dari kedua hal ini dapat disimpulkan bahwa
pelumpuran akan cenderung menurunkan
kandungan fraksi pasir dalam tanah, atau
dengan kata lain pelumpuran dapat
menghaluskan partikel tanah.
Kandungan fraksi Liat Dalam Tanah (%)
Hubungan antara kandungan fraksi liat
dalam tanah dengan lama penyawahan dan
penggunaan lahan disajikan pada Tabel 3;
Gambar 4; dan Gambar 5. Sementara grafik
korelasi antara kandungan fraksi liat dalam
tanah dengan lama penyawahan disajikan
dalam Gambar 6 (lihat Lampiran).
Berdasarkan koefisien korelasi antara
kandungan fraksi liat dalam tanah dengan
lama penyawahan dapat dijelaskan bahwa
kandungan liat tanah pada berbagai macam
pola tanam berkorelasi positif atau
dengan lama penyawahan, hubungan tersebut signifikan.
Tabel 3. Hubungan antara kandungan fraksi
liat dalam tanah (%) dengan lama
penyawahan dan pola tanam
Pola Tanam Lama Penyawahan (tahun)
20 30 40
Bukan sawah 18,9 21,3 22,1
Sawah 1 kali 25,4 25,4 28,8
Sawah 2 kali 26,3 26,3 29,6
Sawah 3 kali 34,9 36,4 42
Dari persamaan regresinya terlihat jika
tanah disawahkan secara terus menerus dan
dalam waktu yang lama maka kandungan
fraksi liat cenderung meningkat sebesar
0,304% per tahun. Sedang pada tanah bukan
sawah kandungan liat juga cenderung
meningkat, tetapi peningkatannya lebih kecil
(0,16% per tahun).
Menurut Brinkman (1985) fraksi liat di
dalam tanah dapat berasal dari endapan
sedimen bersama fraksi yang lain, tetapi juga
dapat berasal dari pelapukan batuan
sedimen, atau mungkin juga berasal dari
pelapukan mineral primer atau
ditransformasi dari mineral liat yang lain. Ada
beberapa proses pelapukan mineral yang
dijelaskan oleh Brinkman (1982) yang antara
lain adalah: Hidrolisis, Pelarutan oleh asam
kuat dan cheluviasi, Ferrolysis, dan
Transformasi liat dalam kondisi alkalin.
Kondisi yang dipersyaratkan untuk
berlangsungnya proses ferolisis yaitu kondisi
basah dan kering yang bergantian dipenuhi
oleh tanah sawah. Oleh karena adanya
ferolisis inilah maka dekomposisi mineral
pada tanah sawah berlangsung lebih efektif
dan akan membentuk liat. Perubahan ukuran
partikel tanah menjadi lebih halus akan
menurunkan porositas total tanah (Plaster,
2004), dan kemudian diikuti perubahan sifat
fisik yang lain seperti, peningkatan berat
volume, penurunan permeabilitas,
peningkatan retensi air dan penurunan
transmisi air (Taylor, 1973; Cheng, 1983).
Tanah yang sering dilumpurkan akan
menyebabkan konduktifitas hirolik tanah
jenuh dan perkolasi menurun (De Datta,
1981; Gupta dan Janggi, 1972; Wickham dan
Singh, 1978).
KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat
disimpulkan bahwa terdapat perubahan sifat
fisik tanah pada tanah yang disawahkan
secara terus menerus dan dalam waktu yang
lama. Perbedaan tersebut antara lain pada
kandungan pasir, kandungan liat, serta
penurunan kandungan pasir dan peningkatan lengas.
Kandungan pasir tanah yang disawahkan
secara terus menerus dan dalam waktu yang
lama, cenderung menurunan sebesar 0,297%
per tahun, sedang pada tanah bukan sawah
penurunan kandungan pasir lebih kecil (0,095 % per tahun).
Kandungan liat di dalam tanah yang
disawahkan secara terus menerus dan dalam
waktu yang lama cenderung meningkat
0,304% per tahun. Sedang pada tanah bukan
sawah peningkatan kandungan liat relatif
kecil (0,16 % per tahun).
Penurunan kandungan pasir dan
peningkatan lengas yang lebih cepat
dibandingkan tanah yang tidak disawahkan
secara terus‐menerus dan dalam waktu yang
lama dapat menjadi indikator lajunya
pelapukan tanah. Pelapukan tanah umumnya
diikuti pelepasan unsur hara, dimana unsur
hara ini akan segera hilang dari dalam lapisan
tanah karena diserap oleh akar tanaman dan
tercuci oleh air perkolasi. Selanjutnya hal ini
akan memacu pula penurunan tingkat
kesuburan tanah.
Dari kesimpulan di atas disarankan agar
penyiapan lahan untuk tanah sawah tidak
perlu sampai terjadi pelumpuran. Bahkan bila
memungkinkan penyiapan lahan sawah
DAFTAR PUSTAKA
Abdurachman, Wahyunto dan R. Shofiyati.
2005. Kriteria Biofisik Dalam Penetapan
Lahan Sawah Abadi di Pulau Jawa. Jurnal
Litbang Pertanian 24(4) : 131‐136.
Adiningsih, S. 1992. Peranan efisiensi
penggunaan pupuk untuk melestarikan
swa sembada pangan. Pidato
pengukuhan Ahli Peneliti Utama.
Puslitanak, Badan Litbang Pertanian,
Dept. Pertanian. Bogor.
Brinkman, R. 1970. Ferolysis, a hidromorphyc
soil forming process. Geoderma 3:199‐
206.
‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐. 1985. Chemical kinetics of
wetland rice soil relative to soil fertility.
In Wetland Soil: Characterization,
Clasification, and Utilization. IRRI. Los
Banos, Laguna. Philippines.
Cheng, Y.S. 1983. Drainage of paddy soils in
Taihu lake region and its effects. Soil Res.
Rep. 8, inst. Soil Sci., Academia Sinica, Nanjing, China. pp. 1‐18.
De Datta, S.K. 1981. Principles and practics of
rice production. John Wiley and Sons. New York. 618 hal.
Farbrother, H.G. 1970. Investigations into the
irrigation practices of the Sudan Gezira.
The pattern of soil moisture changes
under irrigation. Pages 105‐117 in Cotton
Growth in the Gezira environment. A
Symposium to mark the 50th anniversary
of the Gazira research station. Siddiq,
M.A. and L.C. Hughes (eds). Agric.
Research Corp., Wad Medani. Sudan. Ghilddyal, B.P. 1978. Effects of Comparations
and puddling on Soil Physical Properties
and Rice Growth. In Soils and Rice. IRRI,
Los Banos, Philipphines pp 317‐336. Gupta, R.K., and I.K. Jaggi. 1979. Soil physical
conditions and paddy yield as influenced
by depth of puddling. Journal Agronomy
Crop Science. 148:329‐336.
Hardjowigeno, S., H. Subagyo, dan M. Luthfi
Rayes. 2004. Morfologi dan Klasifikasi
Tanah Sawah. dalam Tanah Sawah dan
Teknologi Pengelolaannya. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanah
dan Agroklimat. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian Departemen
Pertanian. Bogor.
Larson, W.E., and F.J. Pierce, 1991.
Conservation and Enhancement. In
Evaluation for Suatainable Land
Management in the Developing World.
pp. 175 – 203. Int. Board for Soil Res. and management, Bangkok, Thailand.
Mikklesen, D.S., and W.H. Patrick Jr. 1968.
Fertilizer use on rice. Pages 403‐432. in
Changing patterns in fertilizer use. Soil
Sci. Soc. Am. Medison, Wisconsin.
Misak, R.F., J.M. Al‐Awadhi, S.A. Omar, A.
Shahid. 2002. Soil Degradation et Area
Kabd Norten‐west Kuwait Cyty. Journal
land Degradation and Development. 13:403 – 415 (2002).
Prasetyo, B.H., J. Sri Adiningsih, Kasdi
Subagyono dan R.D.M. Simanungkalit.
2004. Mineralogi, Kimia, Fisika dan
Biologi Tanah Sawah. dalam Tanah
Sawah dan Teknologi Pengelolaannya.
Puslitanag. Departemen Pertanian.
Bogor.
Rossiter, D.G., 2001. Introduction to Land
Degradation, Conservation and
Rehabilitation. Land Degradation and
Desertification Website (International
Union of Soil Sciences).
http://www.nhq.nrcs.usda.gov/WSR/lan ddeg/papers.htm.
Sanchez. P.A, 1976. Properties and
Management of Soil in the Tropics. A
Wiley‐Interscience Publication John
Wiley and Sons, New York. London.
Sydney. Toronto. 618 hal.
Sharma, P.K. and S.K. De Datta. 1985. Effects
of puddling on soil physical properties
leaching losses and growth and grain
yield of lowland rice. Soil Sci. Soc. A.J.
‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐. 1985. Effects of puddling on soil
physical properties and processes. in Soil
and Rice. IRRI. Los Banos. Philipines.
Subagyo,K., F. Agus, dan S. Sukmana. 1994.
Sifat Fisisk Tanah Mineral di Beberapa
Lokasi di Sumatra dan hubungannya
dengan pencetakan sawah. dalam
Risalah Hasil Penelitian Potensi
Sumberdaya Lahan untuk
Pengembangan Sawah Irigasi di Sumatra. BPPP, Deptan. Bogor.
Taylor, H.M. 1972. Effect of drying on water
ritention of a puddled soil. Soil Sci. Sco.
Am, Proc. 36:972‐973.
Wilding, L.P. , N.E. Smeck and G.F. Hall.
1983. Pedogenesis and Soil Taxonomy,
Concepts and Interaction. Elsevier, Amsterdam‐Oxford‐New York.
L
G
G
Sains
T
ana
h
–
Ju
rnal
Ilmu
Ta
na
h
da
n
Agroklimatologi
6(
1)
20
09
Lampiran. Grafik, d
Gambar 1. Grafik ant lama peny
Gambar 4. Grafik ant lama peny
diagram dan grafi
tara kandungan pas yawahan dan pola t
tara kandungan liat yawahan dan pola t
ik korelasi kandun
sir dengan tanam
Gam
t dengan tanam
Gam
ngan pasir serta li
mbar 2.Diagram anta lama penyaw
mbar 2.Diagram anta lama penyaw
at dalam tanah
ara kandungan pas wahan & pola tanam
ara kandungan liat wahan & pola tanam
kandun
g
an
p
asir
(%
)
4
kandungan
liat
(%)
ir dengan m
Gamb
dengan m
Gamb 0 5 10 15 20 25 30 35 40
0 10
g
p
()
La
y = 0,304 R² = 0
10 20 30 40 50
0 10
Lam bar 3. Korelasi anta
penyawahan
bar 6. Korelasi anta penyawahan
y = ‐0,297x + 35,8 R² = 0,567
20 30
ama Penyawahan (t
4x + 21,26 0,488
20 30
ma Penyawahan (tah
ara kandungan pasi n & pola tanam
ara kandungan liat n & pola tanam
4
40 50
tahun)
40 50
hun)
ir dengan lama
dengan lama
Penyaw
ahan
Te
ru
s
Men
e
rus
Mema
cu
Per
cepatan....
Sudar
y