• Tidak ada hasil yang ditemukan

Survie Sanitasi Rumah Sehat Terhadap Pen

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Survie Sanitasi Rumah Sehat Terhadap Pen"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menurut World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa penyakit tuberculosis Paru (TB) saat ini telah menjadi ancaman global, karena hampir sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi. Sebanyak 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB didunia, terjadi pada Negara-negara berkembang, (Sarwani, dkk, 2012). Di Negara berkembang kematian penderita TB paru merupakan 25% dari seluruh kematian, diperkirakan 95% berada di Negara berkembang, dan 75% penderita TB paru adalah kelompok usia produktif (Simbolon, 2007).

Tuberkulosis di Indonesia merupakan salah satu penyakit yang menimbulkan masalah kesehatan di masyarakat. Penderita TB di Indonesia merupakan urutan ke-4 total seluruh kasus TB di Indonesia pada tahun 2012 sebanyak 331.424 kasus, yang terdiri dari 202.319 adalah kasus TB baru Basil Tahan Asam (BTA) positif, 104.866 kasus TB BTA negative, 15.697 kasus TB Extra Paru, 5.942 kasus TB kambuh , dan 2.600 kasus pengobatan ulang diluar kasus kambuh. Keseluruhan kasus TB yang terjadi di Indonesia ternyata 1,5 kali lebih banyak dialami oleh laki – laki dibandingkan dengan perempuan, (Febriani, 2014)

Provinsi jawa timur pada tahun 2013, Dinkes jatim berhasil mengobati pasien TB sebanyak 42.222 orang atau 89% dari total penderita TB paru 43.725 orang (Dinkes Jatim, 2014)

Tuberculosis (TB) paru dapat bertahan hidup selama beberapa minggu dalam sputum kering, ekskreta lain dan mempunyai resistensi tinggi terhadap amiseptik, terapi dengan cepat menjadi inaktif olehh cahaya matahari, sinar ultraviolet atau suhu lebih dari 60°C. Kuman ini tumbuh lambat dan membelah diri setiap 18-24 jam pada suhu optimal (Wahyuni, 2012).

Penyakit tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh

(2)

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 75 Tahun 2014 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat atau Puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif, untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi – tingginya di wilayah kerja (KepMenKes No. 75 tahun 2014).

Sanitasi lingkungan adalah status kesehatan suatu lingkungan yang mencakup perumahan, pembuangan kotoran, penyediaan air bersih dan sebagainya (Notoadmojo, 2003). Berarti sanitasi adalah suatu usaha pengendalian faktor – faktor lingkungan guna untuk mencegah timbulnya suatu penyakit dan penularan yang disebabkan oleh faktor lingkungan tersebut, sehingga derajat kesehatan dapat optimal (Depkes RI, 2002).

Upaya penyehatan lingkungan merupakan suatu usaha pencegahan terhadap bagaimana kondisi lingkungan yang mungkin dapat menimbulkan penyakit. Dimana pada saat ini penyakit yang disebabkan oleh lingkungan semakin bertambah.

Rumah merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunia yang digunakan untuk berlindung dari gangguan iklim dan makhluk hidup lainnya, serta tempat pengembangan kehidupan keluarga, oleh karena itu keberadaan rumah yang sehat, aman, serasi dan terarut sengan diperlukan agar fungsi dan kegunaan rumah dapat terpenuhi dengan baik (Fitriani, 2008).

Rumah sehat adalah tempat kediaman yang layak dihuni dan harganya terjangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah dan sedang. Hal yang harus dipenuhi yaitu memiliki luas kavling ideal, dalam arti memenuhi kebutuhna minimum luas lahan untuk bangunan sederhana sehat baik sebelum maupun setelah dikembangkan (Fitriani, 2008).

Menurut Syafri (2015), kesehatan rumah merupakan kondisi fisik, kimia, dan biologis dilingkungan rumah sehingga memungkinkan penghuni atau masyarakat memperoleh derajat kesehatan yang optimal. Menurut hasil penelitian Rosiana (2012) di dalam Syafri (2015 didapatkan bahwa ada hubungan yang signifikasi antara lantai, dinding, intensitas pencahayaan, kelembaban dengan kejadian

(3)

Berdasarkan data yang didapat pada Wilayah Kerja UPT Puskesmas Mulyorejo dari tahun 2014 – 2015 sebanyak 82 penyakit tuberculosis (TB) paru dan tahun 2015 sampai dengan agustus sebanyak 44 penyakit tuberculosis (TB) paru. Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut, maka penulis menuliskan dengan judul “Survei Sanitasi Rumah Sehat Terhadap Penderita Penyakit Tuberkulosis (TB) Paru di Kelurahan Mulyorejo”

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana sanitasi rumah sehat pada penderita penyakit Tuberkulosis (TB) Paru di kelurahan mulyorejo?

1.3 Tujuan 1.3.1 Umum

Untuk mengetahui bagaimana sanitasi rumah sehat pada penderita penyakit Tuberkulosis (TB) Paru di kelurahan mulyorejo.

1.3.2 Tujuan Kusus

Mengidentifikasi rumah sehat (Langit – langit, Dinding, Ventilasi, Pencahayaan)

1.4 Waktu

a. Waktu kegiatan Praktik Kerja Lapangan (PKL) dilaksanakan pada 10 Agustus – 5 September 2015

b. Waktu pengambilan data dilaksanakan pada tanggal 18 dan 21 Agustus 2015

1.5 Tempat

Lokasi Praktik Kerja Lapangan (PKL) adalah unit pelayanan terpadu di Puskesmas Mulyorejo Jalan Budi Utomo No.11 Kelurahan Mulyorejo Kecamatan Sukun Kota Malang

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Puskesmas

(4)

upaya promotif dan preventif, untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi – tingginya di wilayah kerjanya (Kepmenkes, 2014).

Adapun upaya – upaya yang di lakukan sebagai berikut: a. Pelayanan promosi kesehatan

b. Pelayanan kesehatan lingkungan

c. Pelayanan kesehatan ibu, anak dan keluarga berencana d. Pelayanan gizi dan

e. Pelayanan pencegahan dan pengendalian penyakit.

Upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama sebagai berikut:

a. Rawat jalan

b. Pelayanan gawat darurat

c. Pelayanan satu hari (one day care) d. Home care dan/ atau

e. Rawat inap berdasarkan pertimbangan kebutuhan pelayanan kesehatan. 2.2 Tuberculosis (Tb) Paru

Tuberculosis (TB) paru adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis, yang dapat menyerang berbagai organ, terutama paru – paru. Penyakit ini bila tidak diobati atau pengobatan tidak tuntas dapat menibulkan komplikasi berbahaya hingga kematian (Infodatin, 2015).

Tuberculosis atau TB paru adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri berbentuk batang yaitu Mycobacterium tuberculosis. Biasanya yang paling umum terinfeksi adalah paru – paru tetapi dapat mengenai organ tubuh lainnya. Tuberculosis (TB) adalah penyakit infeksi menular langsung yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Kuman ini paling sering menyerang organ paru dengan sumber penularan adalah pasien TB BTA positif. TB paru merupakan penyakit menular yang mengancam kesehatan masyarakat di dunia (Pertiwi, dkk, 2012).

a. Penyebab terjadinya Tuberculosis (TB) paru

Tuberculosis (TB) paru disebabkan oleh kuman Mikobakterium Tuberkuliosis

yang berbentuk batang. Mempunyai sifat khusus tahan terhadap asam pada pewarnaan. Kuman TB cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup sampai beberapa jam di tempet yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh, kuman ini dapat tertidur lama (dorman) selama beberapa tahun (Suharyo, 2013).

(5)

Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman keudara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak (Muaz, 2014).

Umumnya penularan terjadi dalam ruangan di mana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab.

Daya faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dan lamanya menghirup udara tersebut (Subhakti, dkk, 2014).

c. Faktor yang mempengaruh terjadinya Tuberkulosis (TB) paru

Faktor – faktor yang meningkatkan orang mudah terinfeksi penyakit TB paru ada beberapa karakteristik golongan penduduk yang mempunyai risiko mendapat TB paru yang lebih besar daripada golongan lainnya. Diantaranya adalah faktor umur, pendidikan, pengetahuan, pekerjaan, jenis kelamin, kondisi lingkungan yang tidak sehat, adanya penyakit lain yang menyebabkan daya tahan tubuh rendah, gizi buruk, kotak dengan sumber penularan, pengaruh merokok, asap dapur, asap obat nyamuk, dan sebagainya (Muaz, 2014).

Konsep “trial epidemiology” atau konsep ekologis dari John Gordon menyatakan bahwa terjadinya penyakit karena adanya ketidakseimbangan antra

agent (penyebab penyakit), host (penjamu), dan environment (lingkungan) (Muaz, 2014).

1. Faktor Agent (Penyebab penyakit)

Faktor agen yaitu semua unsur baik elemen hidup atau mati yang kehadirannya atau dan ketidakhadirannya, apabila diikuti dengan kontak yang efektif dengan manusia rentan dalam keadaan yang memungkinkan akan memudahkan terjadinya suatu proses penyakit. Untuk khusus TB paru yang menjadi agen adalah kuman Mikobakterium tuberculosis (Hudoyo, dkk, 2010).

Menurut peneliti, angka prevalensi TB di masyarakat, pengobatan yang relative lama, terutama yang kontak serumah dengan penderita TB paru menyebabkan meningkatnya kejadian TB paru. Hasil penelitian, menemukan bahwa lama dengan lebih dari >3 dengan penderita TB paru dapat meningkatkan kejadian TB paru dalam masyarakat (Hudoyo, dkk, 2010).

2. Faktor Host (Penjamu)

(6)

kelamin, ras, sosial ekonomi, kebiasaan hidup, status perkawinan, pekerjaan keturunan (Yuda, 2013).

1) Pendidikan

Pendidikan akan menggambarkan perilaku seseorang dalam kesehatan. Semakin rendah pendidikan maka ilmu pengetahuan di bidang kesehatan semakin berkurang, baik yang menyangkut asupan makanan, penanganan keluarga yang menderita sakit dan usaha – usaha preventif lainnya (Hudoyo, dkk, 2010).

Tingkat pendidikan yang rendah dapat mempengaruhi pengetahuan di bidang kesehatan, maka secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi lingkungan fisik, lingkungan biologis dan lingkungan sosial yang merugikan kesehatan dan dapat mempengaruhi penyakit TB dan pada akhirnya mempengaruhi tingginya kasus TB yang ada (Hudoyo, dkk, 2010).

Pendidikan berkaitan dengan pengetahuan penderita. Pendidikan penderita yang rendah mengakibatkan pengetahuan rendah, sehingga memungkinkan penderita dapat putus dalam pengobatan karena minimnya pengetahuan dati penderita dan ketidakmengertiannya pengobatan. Hal ini mengakibatkan penderita tidak dapat teratur dalam program pengobatan yang dijalani. Hampir seluruh penelitian sebelumnya menemukan faktor pendidikan sangat erat kaitannya dengan ketidakteraturan berobat dan minum obat (Muaz, 2014).

2) Pengetahuan

Pengetahuan penderita yang baik tentang panyakit TB paru dan pengobatannya akan meningkatkan keteraturan penderita, dibandingkan dengan penderita yang kurang akan pengetahuan penyakit TB paru dan pengobatannya (Sinaga, dkk, 2014).

Seseorang yang punya pengetahuan yang baik tentang penularan TB paru, akan berupaya untuk mencegah penularannya.

3) Pendapatan

(7)

Sekitar 90% penderita tuberculosis paru di dunia menyerang kelompok dengan sosial ekonomi lemah atau miskin. Faktor kemiskinan walaupun tidak berpengauh langsung pada kejadian tuberculosis paru namun dari beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan antara pendapatan yang rendah dan kejadian tuberculosis paru. Lebih lagi, bahwa ada hubungan pengangguran dengan kejadian tuberculosis (Muaz, 2014)

4) Pekerjaan

Hubungan antara penyakit TB paru erat kaitannya dengan pekerjaan. Secara umum peningkatan angka kematian yang dipengaruhi rendahnya tingkat sosial ekonomi yang berhubungan dengan pekerjaan merupakan penyebab tertentu yang didasarkan pada tingkat pekerjaan (Sinaga, dkk, 2014).

5) Jenis kelamin

Jenis kelamin merupakan suatu variabel untuk membedakan presentasi penyakit antara laki – laki dan perempuan. Seringkali ditemukan presentasi laki – laki lebih dari 50% dari jumlah kasus (Rahmawati, dkk, 2012).

6) Status Gizi

Secara umum kekurangan gizi, atau gizi buruk akan berpengaruh terhadap kekuatan, daya tahan dan respon imun terhadap serangan penyakit. Faktor ini sangat penting pada masyarakat miskin, baik pada orang dewasa maupun pada anak – anak (Rahmawati, dkk, 2012).

Menurut Misnardiarly dalam Toyalis menyebutkan bahwa faktor kurang gizi atau gizi buruk akan meningkatkan angka kesakitan/kejadian TB paru, terutama TB paru pertama sakit (Muaz, 2014).

7) Kebiasaan merokok

Merokok adalah membakar tembakau yang kemudia dihisap isinya. Merokok merupakan penyebab utama penyakit paru yang bersifat kronis, merokok juga terkait dengan influenza dan radang paru lainnya (Muaz, 2014). Merokok diketahuo mempunyai hubungan dengan meningkatkan resiko untuk mendapatkan kanker paru, penyakit jantung coroner, bronchitis kronis dan kanker kandung kemih. Kebiasaan merokok meningkatkan resiko untuk terkena TB paru sebanyak 2,2 kali (Rahmawati, dkk, 2012).

(8)

Umur merupakan faktor predisposisi terjadinya perubahan perilaku yang dikaitkan dengan kematangan fisik dan psikis penderita TB paru. Pada saat ini angka kejadian TB paru mulai bergerak kearah umur tua karena kepasrahan mereka terhadap penyakit yang diderita (Rahmawati, dkk, 2012).

Sedangkan berdasarkan umur, terlihat angka insiden TB secara perlahan bergerak kearah kelompok umur tua (dengan puncak pada 55 – 64 tahun). Meskipun saat ini sebagian besar kasus terjadi pada kelompok umur 15 – 54 tahun (Muaz, 2014)

3. Faktor Lingkungan

Adapun unsur – unsur lingkungan sebagai berikut:

a) Lingkungan fisik

Lingkungan fisik adalah segala sesuatu yang berada di sekitar manusia yang bersifat tidak bernyawa. Misalnya air, tanah, kelembaban udara, suhu, angina, rumah dan benda mati lainnya (Yuda, 2013).

b) Lingkungan biologis

Lingkungan biologis adalah segala sesuatu yang bersifat hidup seperti tumbuh – tumbuhan, hewan, termasuk mikroorganisme (Yuda, 2013).

c) Lingkungan sosial

Lingkungan sosial adalah segala sesuatu tindakan yang mengatur kehisupan manusia dan usaha – usahanya untuk mempertahankan kehidupan, seperti kehidupan, seperti pendidikan pada tiap individu, rasa tanggung jawab, pengetahuan keluarga, jenis pekerjaan, jumlah penghuni dan keadaan ekonomi (Yuda, 2013).

d) Lingkungan rumah

A. Suhu ruangan, yaitu dalam pembuatan rumah harus diusahakan agar konstruksinya sedemikian rupa sehingga suhu ruangan tidak berubah banyak dan agar kelembaban udara dapat dijada jangan sampai terlalu tinggi dan terlalu rendah. Untuk ini harus diusahakan agar perbedaan suhu antara dinding, lantai, atap dan permukaan jendela tidak terlalu banyak (Sinaga, dkk, 2014).

B. Harus cukup mendapatkan pencahayaan yang baik siang maupun malam. Suatu ruangan mendapat penerangan pagi dan siang hari yang cukup yaitu jika luas ventilasi minimal 10% dari jumlah luas lantai (Sinaga, dkk, 2014)

(9)

D. Harus ada ventilasi ruagan, misalnya ruangan untuk anak-anak bermain, ruang makan, ruang tidur dll.

d. Pencegahan untuk tidak tertular Tuberculosis (TB) paru

Pencegahan penyakit TB paru adalah dengan membuka jendela atau pintu di pagi hari, agar cahara matahari yang masuk kedalam rumah karena kuman TB paru akan mati bila terkena sinar matahari. Jaga kebersihan rumah dan jangan meludah disembarang tempat (Muaz, 2014).

2.2.1 Rumah

Rumah adalah sruktur fisik atau bangunan untuk tempat berlindung, dimana lingkungan berguna untuk kesehatan jasmani dan rohani serta keadaan sosialnya baik untuk kesehatan keluarga maupun individu (Keman, 2005).

Rumah sehat adalah tempat kediaman yang layak dihuni dan harganya terjangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah dan sedang. Hal yang harus dipenuhi yaitu memiliki luas kavling ideal, dalam arti memenuhi kebutuhna minimum luas lahan untuk bangunan sederhana sehat baik sebelum maupun setelah dikembangkan (Fitriani, 2008).

2.2.2 Lingkungan

Lingkungan merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap derajat kesehatan dan saling berkaitan dengan kejadian suatu penyakit masyarakat, disamping perilaku dan pelayanan kesehatan. Program lingkungan sehat bertujuan untuk mewujudkan mutu lingkungan hidup yang lebih sehat melalui pengembangan sistem kesehatan kewilayaham untuk menggerakkan pembangunan lintas sector berwawasan kesehatan (Muaz, 2014).

Lingkungan rumah menurut America Public Healt Assosiaton (APHA) lingkungan rumah yang sehat harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. Dinding

Dinding berfungsi untuk menahan angina dan debu, serta dibuat tidak tembus pandang. Bahan dinding berupa batu bata, batako, bambu, papan kayu (Fitriani, 2008).

(10)

b. Ventilasi

Dinding, jendela dan lubang ventilasi selain sebagai tempat keluar masuknya udara juga sebagai lubang pencahayaan dari luar untuk menjaga aliran udara di dalam rumah tersebut agar tetap segar (Sinaga, dkk, 2014).

Suatu ruangan harus cukup mendapatkan pencahayaan baik siang maupun malam. Suatu ruangan mendapat penerangan pagi dan siang hari yang cukup yaitu jika luas ventilasi minimal 10% dari jumlah luas lantai, demikian juga menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor: 829/Menkes/-SK/VII/1999 Tentang Syarat Kesehatan Perumahan luas penghawaan atau ventilasi alamiah yang permanen minimal 10% dari luas lantai (Muaz, 2014).

c. Pencahayaan

Untuk memperoleh cahaya cukup pada siang hari, diperlukan luas jendela kaca minimum 20% luas lantai. Jika peletakan jendela kurang baik atau kurang luas maka dapat dipasang genteng kaca. Cahaya ini sangat penting karena dapat membunuh bakteri – bakteri pathogen di dalam rumah, misalnya basil TB, karena itu rumah yang sehat harus mempunyai jalan masuk cahaya yang cukup, intensitas pencahayaan minimum yang diperlukan 60 lux. Semua jenis cahaya dapat mematikan kuman hanya beberapa dari segi lamanya proses mematikan kuman untuk setiap jenisnya (Sinaga, dkk, 2014).

Cahaya yang sama apabila dipancaran melalui kaca tidak berwarna dapat membunuh kuman dalam waktu yang lebih cepat daripada yang melalui kaca yang berwarna penularan kuman TB paru relative tidak tahan pada sinar matahari. Bila sinar matahari dapat masuk dalam umah serta sirkulasi udara teratur maka resiko penularan antar penghuni akan sangat berkurang (Muaz, 2014).

d. Kondisi Rumah

Kondisi rumah dapat menjadi salah satu faktor resiko penularan penyakit TB paru. Atap, dinding dan lantai dapat menjadi tempat perkembangbiakan kuman. Lantai dan dinding yang sulit dibersihkan akan menyebabkan penumpukan debu, sehingga akan dijadikan sebagai media yang baik bagi berkembangbiaknya kuman Mycrobacterium Tuberculosis (Muaz, 2014). 2.3 Pengertian Kesehatan Lingkungan

(11)

lingkungan optimum yang berpengaruh positif terhadap perwujudan status kesehatan optimum (Kasnodihardjo, 2013).

Menurut WHO (World Health Organization), kesehatan lingkungan adalah suatu keseimbangan ekologi yang harus ada antara manusia dan lingkungan agar dapat menjamin keadaan sehat dari manusia. Sedangkan menurut HAKLI (Himpunan Ahli Kesehatan Lingkungan Indonesia) kesehatan lingkungan adalah suatu kondisi lingkungan yang mampu menompang keseimbangan ekologi yang dinamis antara manusia dan lingkungannya untuk mendukung tercapainya kualitas hidup manusia yang sehat dan bahagia (Tribowo, dkk, 2013).

Menurut Tribowo, dkk, (2013) kesehatan lingkungan adalah salah satu faktor penting dari status kesehatan. Keempat elemen ini disamping berpengaruh langsung terhadap kesehatan juga saling mempengaruhi satu sama lain. Kesehatan lingkungan merupakan faktor mutlak dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, bahkan merupakan salah satu unsur penentu atau determinan dalam kesejahteraan penduduk (Tribowo, dkk, 2013).

2.4 Pengertian Sanitasi

Sanitasi adalah suatu usaha kesehatan masyarakat yang menitik beratkan pada pengawasan berbagai faktor lingkungan yang mempengaruhi derajat kesehatan manusia. Dimana sanitas lebih mengutamakan usaha pencegahan terhadap berbagai faktor lingkungan, sehingga munculnya penyakit dapat di hindari, (Rianti, dkk, 2010). Menurut Suriawiria, 2008, sanitasi lingkungan adalah tingginya jumlah penyakit yang berjangkit tiap tahun pada masyarakat yang menandakan masih banyaknya pencemaran (Rianti, dkk, 2010).

(12)

menggunakan untuk tempet berlindung yang mempengaruhi derajat kesehatan manusia (Yusup, dkk, 2005).

2.5 Pengertian Perilaku Hidup Sehat

Menurut Solita Perilaku Hidup Sehat merupakan segala untuk pengalaman dan interaksi individu dengan lingkungannya, khususnya yang menyangkut pengetahuan dan sikap tentang kesehatan, serta tindakannya yang berhubungan dengan kesehatan (Tribowo, dkk, 2013).

Dengan kata lain, perilaku hidup sehat adalah semua aktivita atau kegiatan seseorang, baik yang dapat diamati maupun tidak dapat diamati, yang berkaitan dengan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan. Pemeliharaan ini mencangkup mencegah atau melindungi diri dari penyakit dan masalah kesehatan lain, meningkatkan kesehatan, dan mencari penyembuhan apabila sakit atau terkena masalah kesehatan (Tribowo, dkk, 2013).

Adapun faktor – faktor yang berpengaruh terhadap perilaku hidup sehat antara lain dipengaruhi oleh (Tribowo, dkk, 2013):

a. Faktor makanan dan minuman terdiri dari kebiasaan makan pagi, pemilahan jenis makanan, jumlah makanan dan minuman, kebersihan makanan.

b. Faktor perilaku terhadap kebersihan diri sendiri terdiri dari mandi, membersihkan mulut dan gigi, membersihkan tangan dan kaki, kebersihan pakaian.

c. Faktor perilaku terhadap kebersihan lingkungan, lingkungan terdiri dari kebersihan kamar, kebersihan rumah, kebersihan lingkungan rumah, kebersihan lingkungan sekolah.

d. Faktor perilaku terhadap sakit dan penyakit terdiri dari pemeliharaan kesehatan, pencegahan terhadap penyakit, rencana pengobatan dan pemulihan kesehatan.

(13)

BAB III

TINJAUAN KASUS

3.1 Profil Puskesmas

3.1.1 Sejarah Perkembangan Puskesmas Mulyorejo

Puskesmas Mulyorejo terletak di Jalan Budi Utomo 11 A Kelurahan Mulyorejo Kecamatan Sukun Kota Malang. Tepatnya disebelah barat Kota Malang kira – kira 7 km dari pusat kota Puskesmas Mulyorejo terletak didaratan tinggi dengan kondisi tanah yang subur serta terletak yang strategis.

(14)

Pada tahun 1989, seorang dokter dan 2 orang paramedic yang baru lulus ditugaskan membina wilayah kerja yang terdiri dari desa Mulyorejo dan Bandulan yang pada saat itu disebut wilayah Puskesmas Wagir, Kodya dititipkan di Puskesmas Ciptomulyo Kecamatan Sukun. Pembinaan yang dilakukan adala pemeriksaan rawat jalan umum, ibu hamil dan imunisasi bayi (pelayanan statis) yang bertempat dibalai desa Bandulan, selain itu juga dilakukan kegiatan pembinaan posyandu dan peran serta masyarakat dalam hal ini pembinaan kader posyandu dan dukun bayi.

Pada pertengahan tahun 1990 tepatnya tanggal 1 Agustus 1990 dditugaskan seorang dokter senior sebagai pemimpin yaitu dr. Poespo Hardjo dan pada tanggal 27 Oktober 1990 dengan berdirinya Puskesmas Pembantu Mulyorejo resmi melepaskan diri dari Puskesmas Ciptomulyo. Pada tahun itu pula Puskesmas Mulyorejo yang tanpa mempunyai puskesmas indung mendapatkan kendaraan roda 4 (Puskesmas Keliling) yang dioprasikan untuk pelayanan luar gedung (posyandu).

Pada tahun 1991 mulai diberikan tenaga sebanyak 15 orang dengan membina wilayah kerja 4 desa dan 1 kelurahan. Bersamaan dengan berdirinya Pustu – Pustu di seluruh wilayah kerja, pelayanan statis dibuka setiap hari.

Tepatnya pada tanggal 11 Januari 1995 Puseksmas Induk baru diserahkan secara resmi dari Kabupaten Malang.

Kepala Puskesmas Mulyorejo berturut – turut sebagai berikut:

a. Mager Puskesmas Mulyorejo : Phl. Dr. Asih Tri Rachmi N. (1-09-1989 s/d 1-08-1990) b. Dr. Poespo Hardjo : 1-08-1990 s/d 1-04-1997 c. Dr. Nanik Julhaty : 1-04-1997 s/d 1-12-2003 d. Drg. Arie Basuki (Phl) : 1-12-2003 s/d 19-07-2005 e. Drs. Sumarjono : 19-07-2005 s/d 21-04-2009 f. Senitri Ariyani, SST : 21-04-2009 s/d 30-08-2013 g. Dr. A. A. I. Ngurah Kunti Putri : 1-08-2013 s/d 16-01-2014 h. Dr. Umar Usman : 16 Januari 2014 s/d Sekarang 3.1.2 TUJUAN

1. Umum

i. Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat ii. Meningkatkan kualitas pelayanan

2. Khusus

i. Menurunkan angka kesakitan

ii. Menurunkan angka Prevalensi penderita Tubercolosis 3.1.3 MOTTO

(15)

Mulyorejo Kecamatan Sukun Malang.

Wilayah kerja Puskesmas Mulyorejo meliputi 5 kelurahan, yaitu: 1. Karang Basuki

1. Sebelah Utara : Kelurahan Dinoyo 2. Sebelah Timur : Kelurahan Bareng

3. Sebelah Selatan : Kelurahan Sukun dan Kabupaten Malang 4. Sebelah Barat : Kabupaten Malang

Jarak antara Puskesmas Mulyorejo dengan Dinas Kesehatan : 11 km Luas wilayah kerja Puskesmas seluruhnya 11,65 km

1. Jumlah penduduk tahun 2010 (proyek BPS) 64.624 2. Jumlah kepala keluarga (KK) : 16/146

UPT Puskesmas Mulyorejo memiliki fasilitas pelayanan. Rawat jalan dan Rawat inap. Adapun pelayanan rawat jalan terdiri dari Poli Umum, Poli Gigi, Poli Kesehatan Ibu Anak dan Keluarga Berencana (KIA dan KB), Imunisasi, Lab. Laboratorium, Gizi, Klinik Sanitasi, dan Apotik. Rawat Inap terdiri dari UGD. 3.2 Identifikasi Kasus

1. Sumber Data

Sumber data yang di dapat :

a) Mengikuti aktivitas yang dilakukan puskesmas. b) Melihat data dari puskesmas

2. Wawancara

b. Identifikasi Masalah Lingkungan dan Perilaku:

Table 3.1 hasil wawancara di rumah pasien TB paru

Pasien Mulyorejo RT. 07 RW. 03

No Pertanyaan Ya Tidak keterangan

1. Telah berapa lama menderita batuk – batuk?

1 bulan

2. Berapa orang yang sakit seperti ini dalam keluarga?

2 orang

3. Apakah ada anak balita?

(16)

rumah dalam keadaan gelap?

No Pertanyaan Ya Tidak Ket

5. Apakah rumah penderita terdapat lubang haws atau lubang angina, agar sirkulasi udara di dalam rumah lancar?

6. Apakah kamar tidak memiliki ventilasi/lubang angin?

7. Apakah lantai rumah terbuat dari tanah?

8. Apakah saudara tidur sekamar atau sekamar dengan orang lain (istri/suami, anak dan lainnya)?

9. Jika batuk, dibuang di tempat khusus ludah/riak (paidon, kamar mandi, atau WC/jamban)?

10. Apakah setiap kali batuk penderita menutup mulut?

11. Apakah penggunaan alat makan saudara dipisahkan dengan anggota keluarga?

Pada tabel 3.1 di dapat hasil rumah pertama, dapat dilihat pasien telah batuk selama 1 bulan, dengan yang sakit di dalam rumah ada 2 orang, dari hasil wawancara pasien telah mengerti cara membuang ludah ataupun riak dengan benar. Dan pasien ini juga telah memisahkan alat makan sendiri.

Tabel 3.2 hasil wawancara di rumah pasien TB paru

Pasien Pisang Candi RT. 02 RW.02

No Pertanyaan Ya Tidak Ket

1. Telah berapa lama menderita batuk – batuk?

3 bulan

2. Berapa orang yang sakit seperti ini di dalm keluarga?

1 orang

No Pertanyaan Ya Tidak Ket

(17)

4. Apakah pada siang hari di dalam rumah dalam keadaan gelap?

5. Apakah rumah penderita terdapat lubang haws atau lubang angina, agar sirkulasi udara di dalam rumah lancer?

9. Jika batuk, ibuang di tempat khusus ludah/riak (paidon, kamar mandi, saudara dipisahkan dengan anggota keluarga?

Pada tabel 3.2 hasil wawancara yang didapat di rumah kedua pasien telah batuk selama 3 bulan, dan di dalam rumah hanya 1 orang yang sakit. Pada wawancara yang didapat pasien telah mengetahui cara membuang ludah dan riak dengan baik. Pasien ini juga menggunakan alat makanan secara terpisah.

Tabel 3.3 hasil wawancara di rumah pasien TB paru

Pasien Pisang Candi RT.04 RW.05

No Pertanyaan Ya Tidak Ket

1. Telah berapa lama menderita batuk – batuk?

3 bulan

2. Berapa orang yang sakit seperti ini dalam keluarga?

1 orang

3. Apakah ada anak balita? 

(18)

agar sirkulasi udara di dalam rumah

9. Jika batuk, dibuang di tempat khusus ludah/riak (paidon, kamar mandi, saudara dipisahkan dengan anggota keluarga?

Pada tabel 3.3 di dapat hasil wawancara yang dilakukan di rumah ke tiga (3), pasien telah batuk selama 3 bulan dan didalam rumah hanya menderita penyakit TB paru 1 orang. Berdasarkan hasil wawancara pasien telah mengetahui cara membuang ludah atau riak dengan baik dan menutup mulut saat batuk. Pasien ini juga memisahkan alat makan sendiri. Sehingga mencegah untuk penularan.

Tabel 3.4 hasil wawancara di rumah pasien TB paru

Pasien Pisang Candi RT.06 RW.03

No Pertanyaan Ya Tidak Ket

1. Telah berapa lama menderita batuk – batuk?

2 bulan

2. Berapa orang yang sakit seperti ini dalam keluarga?

1 orang

3. Apakah ada anak balita? 

4. Apakah pada siang hari di dalam rumah dalam keadaan gelap?

5. Apakah rumah penderita terdapat lubang haws atau lubang angina, agar sirkulasi udara di dalam rumah lancar?

(19)

ventilasi/lubang angin?

9. Jika batuk, dibuang di tempat khusus ludah/riak (paidon, kamar mandi, saudara dipisahkan dengan anggota keluarga?

Pada tabel 3.4 di dapat wawancara pada rumah ke empat (4), pasien telah batuk selama 2 bulan dan anggota yang menderita 1 orang. Pasien telah mengetahui cara membuang ludah atau riak dengan baik dan pasien menutup mulut pada saat batuk. Pasien juga memisahkan tempat makan dengan anggota keluarga lainnya. Tabel 3.5 hasil wawancara di rumah pasien TB paru

Pasien Bandulan RT.06 RW.02

No Pertanyaan Ya Tidak Ket

1. Telah berapa lama menderita batuk – batuk?

4 bulan

2. Berapa orang yang sakit seperti ini dalam keluarga?

1 orang

3. Apakah ada anak balita? 

4. Apakah pada siang hari di dalam rumah dalam keadaan gelap?

(20)

sekamar dengan orang lain (istri/suami, anak dan lainnya)? 9. Jika batuk, dibuang di tempat khusus

ludah/riak (paidon, kamar mandi, saudara dipisahkan dengan anggota keluarga?

Pada tabel 3.5 di dapat wawancara rumah ke lima (5) pasien telah menderita TB paru selama 4 bulan dan di dalam rumah yang menderita 1 orang. Dari hasil wawancara pasien telah mengetahui cara membuang ludah atau riak dengan baik. Pasien juga menutup mulut pada saat batuk dan memisahkan alat makan dengan anggota keluarga.

3. Observasi I a. Persiapan:

1. Mempelajari hasil wawancara/konseling di puskesmas 2. Formulir kunjungan lapangan

3. Menyiapkan peralatan pengukuran intensitas cahaya (luxmeter)

4. Manyiapkan alat ukur panjang (meteran)

5. Menyiapkan peralatan pengambilan sampel udara, ruangan (bila perlu)

6. Bahan penyuluhan

7. Bahan pendukung lainnya b. Observasi Lapangan I:

Table 3.6 hasil observasi di rumah pasien TB paru

Pasien Mulyorejo RT. 07 RW. 03

No Pertanyaaan Ya Tidak keterangan

(21)

(standard minimal 10%)

3. Pengamatan tempat pembuangan ludah/riak batuk

Kamar mandi atau WC atau jamban 4. Pengamatan perilaku pada waktu batuk Menutup

mulut dengan sepatu tangan atau kain

5. Apakah jendela dibuka, terutama pada pagi hari

Pada tabel 3.6 hasil observasi yang dilakukan pada rumah pertama (1) untuk penerangannya secara fisik kurang, ventilasi yang ada di rumah kurang <10% dari luas lantai. Pasien ini juga telah mengetahui untuk menutup mulut pada saat batuk atau berinteraksi pada masyarakat. Pasien juga mengetahui untuk membuka jendela pada pagi hari.

Tabel 3.7 hasil observasi di rumah pasien TB paru

Pasien Pisang Candi RT.02 RW.02

No Pertanyaan Ya Tidak Ket

1. Mengukur besaran intensitas cahaya di dalam kamar tidur pasien/klaen, ruang utama, dan ruang lainnya dalam rumah.

3. Pengamatan tempat pembuangan ludah/riak batuk

Kamar mandi atau WC atau jamban 4. Pengamatan perilaku pada waktu batuk Menutup

(22)

sepatu tangan atau kain

5. Apakah jendela dibuka, terutama pada pagi hari

Pada tabel 3.7 observasi yang dilakukan pada rumah kedua (2) untuk penerangannya secara fisik kurang, ventilasi yang ada di rumah kurang <10% dari luas lantai. Pasien ini juga telah mengetahui untuk menutup mulut pada saat batuk atau berinteraksi pada masyarakat. Pasien juga mengetahui untuk membuka jendela pada pagi hari.

Tabel 3.8 hasil observasi di rumah pasien TB paru

Pasien Pisang Candi RT. 04 RW.05

No Pertanyaan Ya Tidak Ket

1. Mengukur besaran intensitas cahaya di dalam kamar tidur pasien/klaen, ruang utama, dan ruang lainnya dalam rumah.

3. Pengamatan tempat pembuangan ludah/riak batuk

Kamar mandi atau WC atau jamban 4. Pengamatan perilaku pada waktu batuk Menutup

mulut dengan sepatu tangan atau kain

5. Apakah jendela dibuka, terutama pada pagi hari

(23)

atau berinteraksi pada masyarakat. Pasien juga mengetahui untuk membuka jendela pada pagi hari.

Tabel 3.9 hasil observasi di rumah pasien TB paru

Pasien Pisang Candi RT. 06 RW. 03

No Pertanyaan Ya Tidak Ket

1. Mengukur besaran intensitas cahaya di dalam kamar tidur pasien/klaen, ruang utama, dan ruang lainnya dalam rumah.

3. Pengamatan tempat pembuangan ludah/riak batuk

Kamar mandi atau WC atau jamban 4. Pengamatan perilaku pada waktu batuk Menutup

mulut dengan sepatu tangan atau kain

5. Apakah jendela dibuka, terutama pada pagi hari

Pada tabel 3.9 observasi yang dilakukan pada rumah ketiga (3) untuk penerangannya secara fisik kurang, ventilasi yang ada di rumah kurang <10% dari luas lantai. Pasien ini juga telah mengetahui untuk menutup mulut pada saat batuk atau berinteraksi pada masyarakat. Pasien tidak membuka jendela pada pagi hari. Tabel 3.10 hasil observasi di rumah pasien TB paru

Pasien Bandulan RT.06 RW.02

No Pertanyaan Ya Tidak

(24)

ventilasi terhadap seluruh luas lantai (standard minimal 10%)

3. Pengamatan tempat pembuangan ludah/riak batuk

Kamar mandi atau WC atau jamban 4. Pengamatan perilaku pada waktu batuk Menutup

mulut dengan sepatu tangan atau kain

5. Apakah jendela dibuka, terutama pada pagi hari

Pada tabel 3.10 observasi yang dilakukan pada rumah kedua (2) untuk penerangannya secara fisik kurang, ventilasi yang ada di rumah kurang <10% dari luas lantai. Pasien ini juga telah mengetahui untuk menutup mulut pada saat batuk atau berinteraksi pada masyarakat. Pasien juga mengetahui untuk membuka jendela pada pagi hari.

Berdasarkan hasil kondisi rumah pasien yang didapat pada tanggal 11 – 12 September 2015 sebagai berikut:

Table 3.11 kondisi rumah pasien TB Paru

No Nama Komponen rumah

(25)

3. Pisang candi RT.04 penderita telah melakukan pengobatan yang rutin di Puskesmas Mulyorejo. Dari hasil wawancara penderita telah mengetahui jika batuk ludah atau riaknya di buang ke paidon, kamar mandi atau wc, penderita telah mengetahui cara untuk membuang ludah dengan baik, sehingga kemungkinan tidak menularkan kepada yang lain. Dari hasil wawancara juga penderita selalu menutup mulut atau memakai masker jika berinteraksi kepada keluarga atau teman sendiri.

Berdasarkan hasil yang dilakukan pada wawancara telah didapat setiap pasien melakukan penggunaan alat makan secara dipisahkan dengan anggota kelurga, hal ini untuk mencegah terjadinya penularan.

Berdasarkan observasi yang didapat pasien sebagian besar membuka jendela di pagi hari, untuk pergantian sirkulasi udara. Tetapi ada sebagian pasien yang jendela kamarnya tidak dapat di buka, karena jendela nako tidak dapat berfungsi atau tidak dapat terbuka.

(26)

memiliki jendela tetapi dengan kondisi jendela yang tidak dapat di buka, sehingga kurangnya pencahayaan yang masuk kedalam rumah maupun kamar tidur pasien.

BAB IV

PEMBAHASAN

(27)

mempengaruhi kejadian penyakit maupun kecelakaan antara lain ventilasi, pencahayaan, kepadatan hunian, kelembaban ruangan.

Kondisi kesehatan lingkungan rumah berpengaruh secara tidak langsung terhadap kejadian penyakit TB paru, karena lingkungan rumah yang kurang memenuhi syarat kesehatan akan mempengaruhi jumlah atau kepadatan kuman dalam rumah tersebut, termasuk kuman Mycobacterium Tuberculosis. Hubungan penyakit tuberculosis paru dipengaruhi oleh kebersihan udara karena rumah yang terlalu sempit (terlalu banyak penghuni dan jarak antara rumah tidak ada) maka ruangan akan kekurangan oksigen sehingga akan menyebabkan menurunnya daya tahan tubuh sehingga memudahkan terjadinya penyakit (Deny, dkk, 2014).

Berdasarkan hasil survey yang didapat pada tanggal 18 – 21 Agustus 2015 dari hasil wawancara dan hasil survey rumah sehat, kondisi dilingkungan rumah penderita Tuberkulosis (TB) paru sebagian berada dalam kondisi berisiko terhadap penularan TB paru dikarenakan:

4.1 Langit – langit

Hasil survei yang didapat pada lima (5) rumah pada langit – langit rumah pasien di Kelurahan Mulyorejo ada, kotor sulit dibersihkan dan rawan kecelakanaan. Hal ini belum memenuhi syarat yang telah di tetapkan oleh Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 829/Menkes/SK/VII/1999 Tentang Syarat Kesehatan Perumahan langit – langit rumah mudah dibersihkan dan tidak terjadi rawan kecelakaan. Langit – langit yang kotor dan berdebu dapat menimbulkan terjadinya bahaya bagi penderita TB paru.

4.2 Dinding

Hasil survei yang didapat ada sebagian rumah yang memakai dinding permanen dan ada yang memakai dinding semi permanen/ setengah tembok/ pasangan. Pada lima (5) rumah pada dinding rumah pasien di Kelurahan Mulyorejo memiliki dinding yang lembab. Hal ini tidak memenuhi syarat kesehatan lainnya memberikan peluang besar bagi seseorang terjangkit

Mycobacterium Tuberculosis. Biasanya pencemaran oleh bakteri ini terjadi pada rumah yang lembab namun memiliki ventilasi yang buruk (Illu, dkk, 2013).

(28)

adalah 40 – 60% dan kelembaban udara yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah kurang dari <40% atau lebih dari >60%.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ayomi (2012) di dalam jurnal Sinaga (2013) menyatakan tentang faktor kesehatan lingkungan rumah yang berhubungan dengan kejadian TB paru, hal ini menunjukkan bahwa individu yang memiliki rumah dengan suhu <18°C dan >30°C memiliki resiko terkena TB paru sebesar 8,9 kali dibandingkan dengan suhu ruangan 18°C - 30°C.

4.3 Ventilasi

Ventilasi merupakan suatu kondisi rumah yang memiliki sirkulasi udara keluar masuk yang cukup dengan luas ventilasi minimal 10% dari luas lantai. Ventilasi buruk dapat mempengaruhi kejadian TB paru (Deny, dkk, 2014).

Dari analisis data yang dilakukan oleh Illu, dkk, (2013) menunjukkan bahwa luas ventilasi rumah memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat keparahan kejadian tuberculosis paru. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan pada lima (5) pada ventilasi rumah pasien di Kelurahan Mulyorejo mendapatkan hasil tidak memenuhi syarat yang telah di tetapkan karena sebagian dari rumah pasien tidak terdapat ventilasi sehingga tidak memudahkan udara yang masuk atau berganti dengan semestinya sehingga mempunyai risiko menderita sakit TB paru 6,296 kali lebih besar daripada seseorang yang tinggal dirumah dengan luas ventilasi memenuhi syarat.

Kuman TB paru yang ditularkan melalui droplet nuclei, dapat melayang di udara karena memiliki ukuran yang sangat kecil, yaitu sekitar 50 mikron. Apabila ventilasi rumah memenuhi syarat kesehatan, maka kuman TB dapat terbawa keluar ruangan rumah atau kamar, tapi apabila ventilasi kurang baik (buruk) maka kuman TB akan tetap di dalam rumah (Illu, dkk, 2013).

Untuk sirkulasi yang baik diperlukan paling sedikit luas lubang ventilasi sebesar 10% dari luas lantai. Untuk luas ventilasi permanene minimal 5% dari luas lantai dan luas ventilasi insidentil (dapat dibuka tutup) 5% dari luas lantai. Ventilasi yang cupuk bagi uangan akan membebaskan bakteri – bakteri termasuk bakteri pathogen karena melalui ventilasi selalu terjadi aliran udara terus menerus (Illu, dkk, 2013).

(29)

tidak sebanding dengan luas ventilasi dan jendela atau lubang angina yang terbuat dari kaca yang tidak dapat terbuka (Deny, dkk, 2014)

4.4 Pencahayaan

Pencahayaan alamiah rumah merupakan hal yang penting dan menunjang terhadap kesehatan, untuk itu bagi rumah yang pencahayaan alamiah rumah masih kurang atau belum memenuhi syarat kesehatan. Bersadarkan hasil survei yang dilakukan pada lima (5) rumah di dapat di Kelurahan Mulyorejo hasil dari setiap rumah pencahayaan dari rumah pasien belum memenuhi syarat yang telah di tetapkan. Menurut Illu, dkk (2013), pencahayaan dengan ketentuan tidak memenuhi syarat kesehatan bila intensitasnya kurang dari <60 lux dan memenuhi syarat kesehatan apa bila intensitas pencahayaan alama dalam rumah antara 60 – 120 lux. Maka, risiko untuk penderita TB paru 9 kali lebih tinggi pada penduduk yang tinggal pada rumah yang pencahayaannya tidak memenuhi syarat kesehatan. Adapun menurut Wahyuni (2012) semua jenis cahaya dapat mematikan kuman, hanya saja berbeda dari segi lamanya proses mematikan keman untuk setiap jenisnya. Cahaya yang sama apabila dipancarkan melalui kaca tidak berwarna dapat membunuh kuman dalam waktu yang lebih cepat dari pada yang melalui kaca berwarna penularan kuman TB Paru relativ tidak tahan pada sinar matahari. Bila sinar matahari dapat masuk dalam rumah serta sirkulasi udara diatur, maka risiko penularan antara pemnghuni akan sangat berkurang.

(30)

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil survey yang dilakukan pada lima (5) tempat atau lima (5) rumah didapatkan hasil sebagai berikut:

a. Langit – langit

Pada rumah pertama (1), rumah kedua (2), rumah ketiga (3), dan rumah kelima (5) memiliki langit – langit ada, namun kotor sulit dibersihkan dan rawan kecelakaan dan rumah keempat (4) memiliki langit – langit ada, bersih dan tidak rawan kecelakaan.

b. Dinding

(31)

Pada rumah pertama (1) dan rumah ketiga (3) tidak memiliki ventilasi sehingga tidak adanya sirkulasi udara yang masuk dan rumah kedua (2), rumah keempat (4), dan rumah kelima (5) memiliki ventilasi namun masih kurang dari <10% dari luas lantai.

d. Pencahayaan

Dari hasil survey yang didapat pada lima (5) rumah ini masih kurang dengan pencahayaan. Dikarenakan faktor lingkungan dengan rumah yang berdekatan dan kurangnya ventilasi, sehingga tidak memungkinkan cahaya masuk ke dalam rumah.

5.2 Saran

Saran untuk masyarakat:

a. Selalu memperhatikan dan membersihkan langit – langit di kamar maupun di ruang keluarga. Sehingga tidak terdapat debu yang ada di langit – langit kamar maupun ruang keluarga.

b. Memasang tembok permanen

c. Menambah ventilasi supaya sirkulasi udara dapat berganti

(32)

DAFTAR PUSTAKA

Ariani, Yesi, DKK, 2004. Hubungan Pengetahuan Penderita Tuberkulosis Paru dengan Kepatuhan dalam Program Pengobatan Tuberkulosis Paru di Puskesmas Teladan Medan. Fakultas Keperawatan. Medan

Deny, Agustian, dkk, 2014. Hubungan Kondisi Fisik Lingkungan Rumah Dengan Kejadian Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Perumnas I dan II Kecamatan Pontianak Barat. Fakultas Kedokteran. Universitas Tanjungpura. Pontianak. Kalimantan Barat\

Depkes RI, 2002. Pedoman Teknis Penelitian Rumah Sehat. Jakarta

Fahreza, Erwin Ulinnuha, dkk, 2012. Hubungan antara Kualitas Fisik Rumah dan Kejadian Tuberkulosis Paru dengan Basil Tahan Asam positif di Balai Kesehatan Paru Masyarakat Semarang. Jurnal kedokteran Muhammadiyah. 1(1)9-13

Febriani, Vicky Dian, 2014. Hubungan Tugas Keluarga Dengan Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Perumnas II Pontianak Tahun 2014.

Naskah Publikasi. Faklutas Kedokteran. Universitas Tanjungpura. Pontianak

Fitriani, Annisa, 2008. Rumah Sederhana Sehat (The Healthy Simple Home). Skripsi. Fakultas Teknik. Universitas Indonesia

http://www.jatimprov.go.id/site/dinkes-minta-masyarakat-turut-bantu-dampingi-penderita-tb/ , 2014

(33)

Illu, Daud Imanuel, dkk, 2013. Faktor – faktor Penentu Kejadian Tuberkulosis Paru pada Penderita Anak Yang Pernah Berobat di RSUD W.Z Yohanes – Kupang. Penelitian. Program Studi Ilmu Lingkungan. Universitas Nusa Cendana

Infdatin, 2015. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI, Tuberkulosis. Hari Tuberkulosis Sedunia. Pusadatin

Kasnodihardjo, Elsa Elsi, 2013. Pusat Teknologi Intervensi Kesehatan Masyarakat Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 7(9) 415-420

Keman, Soedjajadi, 2005. Kesehatan Perumahan dan Lingkungan Pemukiman.

Jurnal Kesehatan Lingkungan, 2(1) 29-42

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 128 Tahun 2004 Tentang Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan Masyarakat

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2014 Tentang Pusat Kesehatan Masyarakat

Muaz, Faris, 2014. Faktor – Faktor yang mempengaruhi Kejadian Tuberkulosis Paru Basil Tahan Asam Positif di Puskesmas Wilayah Kecamatan Sarang Kota Serang Tahun 2014. Skirpsi. Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Jakarta

Notoatmodjo, Soekidjo, 2003. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta

Pertiwi, Rikha Nurul, dkk, 2012. Hubungan Antara Karakteristik Individu, Praktek Hygiene dan Sanitasi Lingkungan Dengan Kejadian Tuberculosis di Kecamatan Semarang Utara Tahun 2011. Jurnal Kesehatan Masyarakat. 1(2)435-445

Rahmawati, dkk, 2012. Peran PMO Dalam Pencegahan Penularan TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Remaja Samarinda. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Hasanuddin. Samarinda

Rianti, E. Devi Dwi, dkk, 2010. Analisis Tentang Higiene dan Sanitasi Lingkungan Dengan Penyebab Terjadinya Penyakit Kulit di Kecamatan Asemrowo Surabaya. Fakultas Kedokteran. Universitas Wijaya Kusuma. Surabaya

(34)

Sarwani, Dwi SR, DKK, 2012. Faktor Risiko Multidrug Resistant Tuberculosis (MDR-TB). KESMAS. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 8(1)60-66 Simbolon, Demsa, 2007. Faktor Risiko Tuberculosis Paru di Kabupaten Rejang

Lebong. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 2(3)112-119

Sinaga, May Liani S, dkk, 2014. Hubungan Antara Kondisi Fisik Rumah Dengan Kejadian Tuberkulosis paru di Wilayah Kerja Puskesmas Tuminting Kota Manado. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Sam Ratulangi. Manado

Subhakti, Amin Khoirul, 2014. Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Tindakan Penderita TB Paru Melakukan Kontrol Ulang di Puskesmas Sidomulyo.

Program Studi keperawatan. Universitas Riau. Riau

Suharyo, 2013. Determinasi Penyakit Tuberkulosis di Daerah Pedesaan. Jurnal Kesehatan Masyarakat. 9(1) 85 – 91

Syafri, Amalia Kartika, 2015. Hubungan Kondisi Fisik Rumah Dengan Kejadian Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Ngemplak Boyolali. Naskah Publikasi. Fakultas Ilmu Kesehatan. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Surakarta

Tribowo, Cecep, DKK, 2013. Kesehatan Lingkungan dan K3. Yogyakarta. Nuha Madika

Undang – undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan

Wahyuni, Deni Sri, 2012. Hubungan Kondisi Fisik Rumah dan Karakteristik Individu dengan Kejadian Tuberkulosis Paru BTA positif di Puskesmas Ciputat Kota Tangerang Selatan. Bekala Ilmiah Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Indonesia (BIMKMI). Fakultas kedokteran dan kesehatan. Universitas Muhammadiyah Jakarta. Jakarta

Yuda, Hendri Tamara, 2013. Pengalaman Keluarga Dalam Merawat Lanisia Yang Menderita Tuberkulosis (TB) Paru di Kecamatan Gombong. Naskah Publikasi. Magister Keperawatan. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Yogyakarta

(35)

Gambar

Table 3.1 hasil wawancara di rumah pasien TB paru
Tabel 3.2 hasil wawancara di rumah pasien TB paru
Tabel 3.3 hasil wawancara di rumah pasien TB paru
Tabel 3.4 hasil wawancara di rumah pasien TB paru
+7

Referensi

Dokumen terkait

Mengikut Common Law, terdapat tiga tanggungan utama yang dikenakan ke atas tuanpunya kapal dalam kontrak pengangkutan barangan melalui laut; iaitu tanggungan untuk

Berdasarkan uraian diatas, bahwa kewenangan Notaris yang akan ditentukan kemudian tersebut dalam Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Lembaga Negara (Pemerintah

Metode Content Analysis dipilih karena penelitian yang dilakukan oleh Suwiji (2015) menunjukkan bahwa informasi yang diperoleh melalui content analysis lebih mampu

Follows Sentences Sentence Entails Semantics Semantics Representation World Aspects of the real world Aspect of the real world IKI30320 Kuliah 10 26 Mar 2007 Ruli

1. Peserta hadir 60 menit sebelum jadwal yang ditentukan untuk keperluan administrasi; 2. Membawa foto Berwarna Ukuran 3x4 sebanyak 2 buah ke lokasi

Persentase perkembangan motorik kasar anak melalui kegiatan senam irama dalam kategori sangat tinggi mengalami peningkatan, hal ini di sebabkan karena peneliti

Tingkat kemampuan berfikir abstraksi peserta didik pada suatu kelas berbeda- beda. Berpikir abstrak dalam hal ini adalah suatu kemampuan menemukan cara- cara dalam