• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROGRAM LEGISLASI NASIONAL PERTANIAN PERTANIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PROGRAM LEGISLASI NASIONAL PERTANIAN PERTANIAN"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh:

MEDINA PUTRI AMONITA 110620170001

Dosen:

Prof. Dr. H. Rukmana Amanwinata, S.H., M.H. Dr. Hernadi Affandi, S.H., LL.M.

UNIVERSITAS PADJADJARAN

FAKULTAS HUKUM

MAGISTER KENOTARIATAN

BANDUNG

(2)

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 5

BAB II TINJAUAN MENGENAI PROLEGNAS PERTANIAN DI INDONESIA ... 6

A. Pengertian Program Legislasi Nasional ... 6

B. Prolegnas dan Kinerja Lembaga Legislatif ... 10

C. Perkembangan Legislasi Pertanian ... 12

D. Kebijakan Pertanian Indonesia dipengaruhi Hukum Internasional ... 14

BAB III PENUTUP ... 22

A. Kesimpulan ... 22

B. Rekomendasi ... 23

(3)

1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia berubah seiring dengan perkembangan zaman. Perkembangan zaman ini membuat manusia yang hidup bermasyarakat memerlukan hukum yang bisa menyesuaikan dengan kondisi bermasyarakat saat ini. Hal ini sesuai dengan perkataan dari Marcus Tullios Cicero mengenai ubi societas ibi ius, yang artinya di mana ada masyarakat di situ ada hukum. Teori ini mengungkapkan konsep filosofi Cicero yang menyatakan bahwa hukum tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Kedamaian dan keadilan dari masyarakat hanya bisa dicapai apabila tatanan hukum telah terbukti mendatangkan keadilan dan dapat berfungsi dengan efektif.

(4)

2

teknologi informasi, pembentukan undang-undang tetap tidak boleh tumpang tindih dengan undang-undang induknya, yaitu Undang-Undang Dasar 1945.

Dalam mewujudkan undang-undang seperti yang disebutkan di atas, maka pembentukan undang-undang perlu dilakukan secara terencana, terpadu, dan sistematis. Hal tersebut dapat direalisasikan melalui Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dengan memperhatikan skala prioritas yang sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat.

Tujuan dari penyusunan Prolegnas ini, antara lain1:

1. Mempercepat proses pembentukan peraturan perundang-undangan sebagai bagian dari pembentukan sistem hukum nasional.

2. Membentuk peraturan perundang-undangan sebagai landasan dan paket bidang pembangunan lainnya serta mengaktualisasi hukum sebagai sarana rekayasa sosial/pembangunan, instrument pencegah/penyelesaian sengketa, pengatur perilaku anggota masyarakat dan sarana pengintegrasi bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

3. Mendukung upaya dalam rangka mewujudkan supremasi hukum, terutama penggantian terhadap peraturan perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat. 4. Menyempurnakan peraturan perundang-undangan yang sudah ada selama

ini namun tidak sesuai dengan tuntutan dan kebutuha masyarakat; dan 5. Membentuk peraturan perudang-undangan baru sesuai dengan tuntutan dan

kebutuhan masyarakat.

Prolegnas sebagai instrument perencanaan program pembentukan Undang memasuki babak baru, yaitu setelah adanya Perubahan

1 Keputusan DPR RI Nomor 01/DPRRI/III/2004-2005 tentang Persetujuan Penetapan Program

(5)

Undang Dasar 1945, khususnya Perubahan Pertama (1999)2 dan Perubahan

Kedua (2000)3. Melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, untuk pertama kalinya Prolegnas diatur secara tegas, bahwa perencanaan penyusunan Undang-Undang dilakukan dalam suatu Program Legislasi Nasional. Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan dan pengelolaan Prolegnas diatur oleh Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2005 tentang Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Nasional, khususnya di lingkungan Pemerintah. Adanya perubahan tersebut menyebabkan rezim kekuasaan memmbentuk Undang-Undang berpindah ke tangan Dewan Perwakilan Rakyat. Ketentuan mengenai hal tersebut tercantum dalam Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang”.

Tidak hanya sampai di situ, sebagai konsekuensi keniscayaan otonomi daerah yang teradopsi pada tingkat konstitusi (Pasal 18,18A dan 18B UUD 1945), maka daerah juga memiliki peran yang sangat besar dalam proses pembentukan undang undang ditandai dengan kelahiran Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Oleh karenanya fungsi utama legislasi sebenarnya tidak hanya pada DPR tetapi juga pada DPD walaupun perannya hanya sebatas mengajukan dan ikut membahas terhadap sebuah program legislasi yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan

2 Pasal 5 dan Pasal 20 UUD 1945.

3Ketentuan baru Pasal 22A UUD 1945, yang berbunyi ”Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara

(6)

4

undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama (Pasal 22D UUD 1945). Dengan perubahan tersebut peran DPR lebih kuat bila dibandingkan konstitusi sebelumnya. Disadari hal ini menjadi keniscayaan sebagai sebuah penguatan prinsip daulat rakyat ketika DPR menjadi salah satu representasinya di samping Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Kuatnya peran konstitusional DPR dalam pembangunan hukum, khususnya di bidang materi hukum, juga telah dinyatakan dalam Undang Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Perubahan lainnya adalah sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 20 ayat (4) dan (5), bahwa Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk dijadikan undang-undang. Dan bila undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.

Adapun proses pembuatan undang-undang sebagai wujud pembangunan hukum adalah rentetan kejadian yang bermula dari perencanaan, pengusulan, pembahasan dan pengesahan. Semua proses tersebut dilakukan oleh para aktor, yang dalam sistem demokrasi disebut eksekutif (Presiden beserta jajaran kementeriannya) dan legislatif (DPR & DPD).

(7)

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, dapat dirumuskan beberapa masalah, antara lain:

1. Bagaimana Prolegnas mengatur mengenai pertanian?

(8)

6

BAB

II

TINJAUAN MENGENAI PROLEGNAS PERTANIAN DI

INDONESIA

A. Pengertian Program Legislasi Nasional

Program Legislasi Nasional yang selanjutnya disebut Prolegnas adalah

grand design yang hendak dijadikan oleh DPR, DPD dan Pemerintah sebagai barometer kinerja mereka dalam fungsi legislasi sekaligus sebagai penopang negara hukum sesuai UUD 1945. Secara spesifik Prolegnas adalah implementasi fungsi lembaga legislatif sekaligus menjawab kebutuhan yuridis/legislasi masyarakat. Sayangnya Prolegnas seperti pekerjaan trial and error dalam sebuah eksperimen negara hukum yang mesti dikritisi lagi.

Prolegnas secara sempit bisa diartikan sebagai penyusunan suatu daftar materi perundang-undangan dan harapan (wishlist). Dalam arti luas, Prolegnas mencakup program pembinaan hukum, pengembangan yurisprudensi, pemberdayaan lembaga legislatif (DPR dan DPD) dan pembinaan.

(9)

nasional sendiri mencakup beberapa hal. Pertama, pembangunan substansi hukum, baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis dengan mekanisme pembentukan hukum nasional yang lebih baik sesuai dengan kebutuhan pembangunan dan aspirasi masyarakat. Kedua, penyempurnaan struktur hukum yang lebih efektif. Ketiga, pelibatan seluruh komponen masyarakat dengan kesadaran hukum tinggi untuk mendukung pembentukan sistem hukum nasional yang dicita-citakan.

Dalam penyusunan Prolegnas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, penyusunan daftar Rancangan Undang-Undang didasarkan atas:

1. perintah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. perintah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;. 3. perintah Undang-Undang lainnya;

4. sistem perencanaan pembangunan nasional; 5. rencana pembangunan jangka panjang nasional; 6. rencana pembangunan jangka menengah;

7. rencana kerja pemerintah dan rencana strategis DPR; dan 8. aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat.

Prolegnas memuat program pembentukan Undang-Undang dengan judul Rancangan Undang-Undang, materi yang diatur, dan keterkaitannya dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya. Materi yang diatur dan keterkaitannya dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya merupakan keterangan mengenai konsepsi Rancangan Undang-Undang yang meliputi:

1. latar belakang dan tujuan penyusunan; 2. sasaran yang ingin diwujudkan; dan 3. jangkauan dan arah pengaturan.

(10)

8

tahunan berdasarkan skala prioritas pembentukan Rancangan Undang-Undang. Penyusunan dan penetapan Prolegnas jangka menengah dilakukan pada awal masa keanggotaan DPR sebagai Prolegnas untuk jangka waktu 5 (lima) tahun. Prolegnas jangka menengah dapat dievaluasi setiap akhir tahun bersamaan dengan penyusunan dan penetapan Prolegnas prioritas tahunan. Penyusunan dan penetapan Prolegnas prioritas tahunan sebagai pelaksanaan Prolegnas jangka menengah dilakukan setiap tahun sebelum penetapan Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Penyusunan Prolegnas di lingkungan DPR dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi dilakukan dengan mempertimbangkan usulan dari fraksi, komisi, anggota DPR, DPD, dan/atau masyarakat, sedangkan Penyusunan Prolegnas di lingkungan Pemerintah dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. Dalam keadaan tertentu, DPR atau Presiden dapat mengajukan Rancangan Undang-Undang di luar Prolegnas mencakup:

1. untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam; dan

2. keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu Rancangan Undang-Undang yang dapat disetujui bersama oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.

Penyebarluasan dilakukan oleh DPR dan Pemerintah sejak penyusunan Prolegnas, penyusunan Rancangan Undang-Undang, pembahasan Rancangan Undang-Undang, hingga Pengundangan Undang-Undang. Yang dimaksud

dengan “penyebarluasan” adalah kegiatan menyampaikan informasi kepada

(11)

memahami Undang-Undang yang telah diundangkan. Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan tersebut dilakukan, misalnya, melalui media elektronik dan/atau media cetak.

Selain sebagai instrumen mekanisme perencanaan hukum yang menggambarkan sasaran politik hukum secara mendasar, Prolegnas secara isi/materi hukum (legal substance) memuat daftar Rancangan Undang-Undang yang dibentuk selaras dengan tujuan pembangunan nasional yang tidak dapat dilepaskan dari rumusan pencapaian tujuan negara sebagaimana dimuat dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu guna melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia; mencerdaskan kehidupan bangsa; memajukan kesejahteraan umum; dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Dalam tataran konkrit, sasaran politik hukum nasional harus mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) sebagai arah dan prioritas pembangunan secara menyeluruh yang dilakukan secara bertahap untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945.

(12)

10

kesenjangan. Keempat, hukum harus menjamin toleransi beragma yang berkeadaban antar pemeluknya4.

Pada dasarnya, pengertian politik hukum yang dikemukakan oleh berbagai ahli hukum tersebut di atas tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Perbedaan hanya terdapat pada ruang lingkup atau materi muatan politik hukum. Bagir Manan berpendapat bahwa ruang lingkup utama politik hukum terdiri atas: politik pembentukan hukum, politik mengenai isi (asas dan kaidah) hukum dan politik penegakan hukum.5 Politik pembentukan hukum mencakup kebijaksanaan pembentukan perundang-undangan; kebijaksanaan pembentukan hukum yurisprudensi atau putusan hakim; dan kebijaksanaan terhadap peraturan tidak tertulis lainnya.6 Politik mengenai isi hukum adalah kebijaksaanaan agar asas dan akidah memenuhi unsur filosofis, yuridis, dan sosiologis; mencerminkan tujuan dan fungsi hukum yang hendak dicapai; mencerminkan kebijaksanaan dan kehendak untuk mecapai cita-cita berbangsa dan bernegara di bidang ekonomi, sosial, budaya, politik dan Hankam. Politik penegakan hukum meliputi kebijaksanaan di bidang peradilan; dan kebijaksanaan di bidang pelayanan hukum.7

B. Prolegnas dan Kinerja Lembaga Legislatif

Awal 2009, DPR dan pemerintah menyetujui Prolegnas yang memuat daftar 70 Rancangan Undang-Undang IRUUJ yang akan diselesaikan pada periode DPR hasil Pemilu 2009. Persetujuan ini menimbulkan persoalan karena

4 Moh Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Jakarta:

LPES, 2007, hlm. 48 – 49.

5 Bagir Manan, Politik Perundang-Undangan Dalam Rangka Mengantisipasi Liberalisasi

Perekonomian, Dalam Course Material, Politik Hukum, Bandung: Universitas Padjadjaran, 2001, hlm. 6.

6Ibid.

(13)

seringkali tidak dilibatkannya DPD dalam penyusunan RUU tersebut.8

Bersamaan dengan itu, dalam kenyataannya kinerja DPR periode 2009-201,4 [tahun pertama), khusus dalam bidang legislasi sangat buruk dan mengecewakan. Indikasi ini seperti dicatat oleh Djayadi Hanan dan pernah pula diulas oleh Firdaus Arifin9 paling tidak disebabkan oleh empat persoalan yaitu: pertama, dibatalkannya sejumlah pasal dalam beberapa undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi (MKJ sepanjang tahun 2006 hingga 2009 lalu. Hal ini mengindikasikan ada ketidakberesan dalam proses pembuatan UIJ (law making process) yang dilakukan DPR selama ini. Selain itu, tidak sedikit UU yang dihasilkan DPR tumpang tindih dengan UU lainnya. Sebagai contoh fungsi pengawasan hakim oleh Komisi Yudisial (I{Y) yang diatur dalam UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, selain bertentangan dengan UUD 1945, juga tak sejalan dengan fungsi pengawasan yang diatur dalam UU No.5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung (MA). Akibatnya dalam praktik pun kedua lembaga ini sempat bersitegang dengan klaim masing-masing yang intinya merasa lembaga merekalah yang paling berhak mengawasi para hakim di Indonesia.

Realitas buruknya kinerja DPR daiam bidang legislasi memberikan pelajaran sangat berharga kepada kita. Ternyata, dengan menguatnya peran dan fungsi legislasi DPR, tidak serta merta mampu mengubah kualitas kinerja DPR menjadi lembaga pembuat (legislator) UU yang lebih baik. Seperti kita ketahui, pasca amandemen UUD 1945 terjadi perubahan ekstrem terhadap fungsi legislasi DPR. Jika sebelum amandemen UUD 1945, DPR berdasarkan rumusan pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) hanya mempunyai fungsi legislasi semu dalam proses pembentukan UU. Namun, pasca amandemen pertama UUD 1945, rumusan yang terdapat dalam Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20

8 Berdasarkan pengalaman Prolegnas Periode 2004-2009.

(14)

12

ayat (1) mengalami perubahan yang sangat signifikan sehingga berimplikasi pada menempatkan DPR sebagai lembaga utama pemegang kekuasaan pembuatan UU (Primaire wetgever) bahkan terkesan legislative heavy.10 Selain kedua pasal tersebut, dominasi DPR dalam proses legislasi diperkuat dengan Pasal 20 ayat (5) UUD 1945.

C. Perkembangan Legislasi Pertanian

Masyarakat petani Indonesia sebenarnya sudah mengalami revolusi pertanian (intensifikasi dan modernisasi pola pertanian dalam skala nasional). Industrialisasi pertanian diyakini akan mendorong tata kelola pertanian dengan lebih baik. Industrialisasi juga berarti ditingkatkannya produktivitas komiditi pertanian. Untuk itu pemerintah harus mendorong modernisasi produksi pertanian dan dengan itu mengembangkan minat swasta untuk masuk ke dalam sector pertanian. Dengan cara ini, meningkatkan produktivitas pangan dalam negeri melalui modernisasi dan industrialisasi bidang pertanian – diharapkan produk pertanian Indonesia dapat bersaing dengan produk pertanian dari luar baik di pasar dalam negeri maupun di luar negeri.

Sebagaimana dinyatakan oleh OECD, perindustrian akan menjadikan era penentu bagi kemajuan pertanian Indonesia (OECD Review of Agriculture, 2012). Bantuan pemerintah berupa subsidi pada sector pertanian akan digantikan oleh swastanisasi (masuknya modal privat). Di samping itu ditengarai bahwa penguasaan dan pemilikan tanah (dalam skala luas) nampaknya akan lebih mudah dipertahankan jika dilakukan oleh pihak swasta baik sebagai pemilik atau sebagai penyewa lahan pertanian. Mereka juga yang akan memiliki insentif lebih besar untuk mengembangkan pola pengelolaan yang lebih baik dan berkelanjutan. Petani (terutama mereka yang tidak memiliki

(15)

tanah) dapat bekerja sebagai buruh di sector ini dengan jaminan masa kerja yang lebih panjang. Alasannya ialah karena usaha pertanian skala besar ini akan lebih mampu menjamin tersedianya pekerjaan dalam jangka panjang, satu dan lain karena lebih mampu bertahan terhadap fluktuasi pasar (harga) dan menjaga keberlanjutan usaha. Selain itu,bagi pertanian skala kecil, mengikuti kebijakan pertanian plasma juga merupakan alternative. Hasil usaha dapat dijual ke salah satu tempat penampungan, misalnya koperasi yang khusus menerima hasil pertanian.

Pada lain pihak, modernisasi dan industrialisasi sector pertanian yang cenderung focus pada kecepatan penyediaan kebutuhan pangan dicermati melemahkan kebijakan diversifikasi pangan yang digagas pemerintah. Sebagaimana diungkap Hardinsyah, lebih dari 30 tahun program diversifikasi pangan nasional tidak pernah berhasil karena masih mengandalkan pola diversifikasi konvensional (Kompas,14 November 2013). Selama ini pemerintah berusaha memberikan penyuluhan bagi pentingnya diversifikasi pangan dalam rangka meningkatkan kecukupan pangan. Masyarakat diminta untuk beralih dari konsumsi beras ke jenis tanaman pangan lain seperti jagung, sagu, ataupun ubi. Namun tampaknya, industrialisasi pertanian yang mementingkan kuantitas dan mutu justru tidak dapat memenuhi kebutuhan akan keragaman pola konsumsi. Maka dalam kenyataan konsumen cenderung dipaparkan pada pesan untuk meninggalkan pangan tradisional dan mengkonsumsi bahan-bahan pangan yang seragam (misalnya gandum yang ditemukan dalam produk-produk mie instan).

(16)

14

dipenuhi, aspek kepraktisan, selera, keamanan dan nilai gizi, dan keterjangkauan. Dari sinilah dapat dilihat bahwa dengan tuntutan yang semakin mendesak, pemenuhan pangan harus memenuhi syarat praktis, dan terjangkau baik secara akses fisik maupun kemampuan beli masyarakat. Kenyataan di atas juga menunjukkan bahwa pola produksi pertanian dengan cara tradisional (dan yang berlandaskan konsep kedaulatan pangan) hanya akan menghambat pemenuhan pangan yang cepat berdasarkan tuntutan masyarakat (modern). Mempertahankan pola pengelolaan pertanian tradisional bisa jadi justru menghambat upaya pemenuhan pasokan pangan masyarakat urban modern di Indonesia.

Sebenarnya di tahun 2017 ini Prolegnas Pertanian telah diatur dan dituangkan ke dalam Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 68/Kpts/HK.110/2/2017 tentang Program Legislasi Pertanian Tahun 2017. Dalam keputusan tersebut dinyatakan bahwa terdapat 65 buah Rancangan UU Pertanian yang dikategorikan ke dalam kategori Prioritas tahun 2017. (terlampir dalam lampiran I)

D. Kebijakan Pertanian Indonesia dipengaruhi Hukum Internasional

(17)

Pencabutan subsidi selama ini dipandang sebagai kebijakan yang tidak menguntungkan pengusaha lokal yang memiliki keterbatasan dalam penyediaan modal kerja. Padahal bagaimanapun juga peranan subsidi pemerintah sangat dibutuhkan dalam suksesnya mendongkrak produktivitas sector pertanian domestic. Namun dengan munculnya mekanisme perdagangan bebas internasional yang dikembangkan WTO, pemberian subsidi dinilai tidak adil karena menyebabkan distorsi pasar.

Ide Ketahanan pangan dan Kedaulatan Pangan dalam kebijakan dan hukum nasional Indonesia. Di dalam Undang-Undang 18/2012, kedaulatan pangan

(18)

16

ketahanan pangan. Bunyi ketentuan ini menunjukkan sebenarnya ketidaksiapan pemerintah untuk mewujudkan kedaulatan pangan. Perlu pula diperhatikan bahwa ketika kita mengadopsi gagasan kedaulatan pangan, hal ini seharusnya menutup kemungkinan bagi penerimaan ide ketahanan pangan. Lebih lanjut dalam pasal 11 disebutkan bahwa Rencana Pangan nasional membuka peluang bagi impor pangan. Hal ini ditegaskan kembali dalam ketentuan Pasal 36 (1) yang menetapkan pembatasan bahwa impor pangan hanya dapat dilakukan apabila produksi pangan dalam negeri tidak mencukupi dan/atau tidak dapat diproduksi di dalam negeri.

Ditambahkan kembali dalam ayat (2) bahwa impor pangan pokok hanya dapat dilakukan apabila produksi pangan dalam negeri dan cadangan pangan nasional tidak mencukupi. Singkat kata, pintu impor hanya boleh dilakukan apabila dalam negeri tidak mampu memproduksi. Namun juga ternyata bahwa impor tidak tertutup bagi produk pangan yang tidak dapat dihasilkan oleh dalam negeri. Namun bukankah sudah jelas bahwa kita sejak 1985 (ketika Indonesia mendapat penghargaan dari FAO karena berhasil mencapai swasembada (pengadaan) beras), kemudian menjadi Negara pengimpor beras, justru karena produksi dalam negeri tidak lagi mencukupi kebutuhan pangan?

Hal serupa bahkan juga terjadi untuk produk pangan lainnya seperti gula maupun daging sapi. Produksi gula maupun daging sapi dalam negeri tidak dapat mencukupi kebutuhan dalam negeri. Untuk wilayah sumatera dan riau bahkan produksi gula yang terkonsentrasi di jawa tidak dapat mencapainya. Alhasil kedua wilayah tersebut seringkali terpaksa membuka keran impor untuk produk gula. Lagipula seketika keran impor dibuka, konsumen tidak dapat dipaksa untuk memprioritaskan produk dalam negeri dan pilihan konsumen terhadap produk luar semakin terbuka. Hal ini justru mengancam

(19)

sebagaimana telah diindikasikan di atas harus dimaknai sebagai kemampuan para produsen produk pertanian (petani dalam skala industri maupun nonindustri) untuk turut menentukan pembuatan kebijakan pertanian. Konsep kedaulatan pangan sebab itu dapat dikatakan berangkat dari pemahaman bahwa adalah para pelaku pertanian yang merupakan pihak yang paling mengerti kendala yang dihadapi dilapangan dan paling mampu mencari solusi terbaik untuk masalah-masalah yang muncul. Kebijakan pemerintah Indonesia karena itu seharusnya berpihak pada petani dan pertanian. Dalam kenyataan justru ini yang tidak terjadi.

Pada saat sama harus dikatakan bahwa penulis tidak hendak menolak pemberlakuan konsep kedaulatan pangan sebagai dasar pengembangan kebijakan pangan atau pertanian Indonesia. Kedaulatan pangan bukan tidak mungkin diraih. Namun pertanyaan besarnya adalah dapatkah kedaulatan atau kemandirian pangan diwujudkan dalam situasi yang sama sekali tidak mendukung berkembangnya pertanian Indonesia. Berapa beban anggaran dalam bentuk subsidi kepada petani yang dapat dan sanggup ditenggang negara? Kemudian jika produksi pangan nasional berhasil ditingkatkan dan muncul surplus yang dapat dijual ke pasar internasional, apakah negara-negara lain yang menjadi tempat dijualnya komoditi pangan ekspor tidak akan bereaksi dengan menjatuhkan bea tambahan atau bahkan melakukan embargo?

(20)

18

ialah tetap dibukanya pintu impor pangan untuk dijual bebas dan bersaing dengan produk pangan local di pasar domestic.

Lagipula Indonesia secara resmi telah menjadi anggota WTO dan terikat secara hukum oleh kesepakatan-kesepakatan yang tertuang dalam AoA. Keduanya memuat aturan-aturan tentang penciptaan dan penjagaan kelancaran perdagangan internasional. Dari sudut pandang ini, mempertahankan konsep kedaulatan pangan akan memunculkan risiko terkena imbasan berupa reaksi negative dari negara-negara mitra dagang Indonesia. Peluang yang ada bilapun hendak melindungi petani kecil dan/atau produksi pangan nasional adalah melalui pemberian subsidi terbatas.

E. Program Legislasi Nasional dalam Perspektif Hukum Politik

Menurut Mahfud MD, politik hukum adalah “legal policy atau garis

(kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam

rangka mencapai tujuan negara”. Dengan demikian, politik hukum merupakan

pilihan tentang hukum-hukum yang akan diberlakukan sekaligus pilihan tentang hukum-hukum yang akan dicabut atau tidak diberlakukan yang kesemuanya dimaksudkan untuk mencapai tujuan negara seperti yang tercantum di dalam Pembukaan UUD 194511.

Mochtar Kusumaatmadja, mengatakan “politik dan hukum itu interdeterminan”, sebab “politik tanpa hukum itu zalim, sedangkan hukum tanpa politik itu lumpuh”. Bahwa “hukum merupakan produk politik”. Sebagai

fakta sebenarnya bukan hanya hukum dalam arti UU yang merupakan produk

11 Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Edisi Revisi, Jakarta: Rajawali Pers, 2009, hlm.

(21)

politik, tetapi juga bisa mencakup hukum dalam arti-arti yang lain, termasuk konstitusi atau Undang-Undang Dasar.12

Pola pikir, sikap dan perilaku para elit itu sedikitnya akan memberi warna dominan terhadap produk-produk hukum yang dibentuknya. Karena itu untuk mewujudkan wibawa hukum dan terpeliharanya kedaulatan hukum, maka para pembentuk hukum dituntut untuk memenuhi beberapa syarat, yaitu :13

1. Bahwa pembentuk hukum harus memiliki kemampuan intelektualitas (intellectual ability);

2. Bahwa pembentuk hukum harus memiliki sikap integritas (integrity); 3. Bahwa pembentuk hukum harus memiliki pandangan jauh ke depan tentang kehidupan sosial dan masalah-masalah hukum (social judicial outlook).

Menurut Abdul Wahab, mengatakan bahwa : Implementasi kebijakan adalah Pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk Undang-Undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan lazimnya, keputusan tersebut mengindentifikasi masalah yang diatasi, menyebutkan secara tegas tujuan / sasaran yang ingin dicapai dan berbagai cara untuk menstrukturkan / mengatur proses implementasinya14. Kemudian menurut George C. Edward mengemukakan beberapa 4 (empat) variabel yang mempengaruhi implementasi kebijakan yakni komunikasi, sumberdaya, disposisi, dan struktur birokrasi.15

12 Ibid., hlm. 6.

13 Sumarno dan T. Subarsyah, Dinamika Politik Hukum Indonesia, Bandung: Pasundan Law

Faculty Alumnus Press, 1999, hlm. 21.

14 Arifin Tahir, Kebijakan Publik dan Transparansi penyelenggara Pemerintah Daerah, Bandung:

Alfabeta, 2014, hlm. 55

15 Deddy Mulyadi, Studi Kebijakan Publik dan Pelayanan Publik, Bandung: Alfabeta, 2014, hlm.

(22)

20

Selain itu Padmo Wahjono mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan penyelenggaraan Negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu yang di dalamnya mencakup pembentukan, penerapan, dan penegakan hukum.16 Kemudian Teuku Mohammad Radhie memberikan definisi politik hukum sebagai suatu pernyataan kehendak penguasa Negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun.17

Sedangkan menurut Satjipto Rahardjo18, politik hukum adalah aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dengan hukum tertentu di dalam masyarakat yang cakupannya mliputi jawaban atas berbagai pertanyaan mendasar, yaitu:

1. Tujuan apa yang hendak dicapai melalui sistem yang ada;

2. Cara-cara apa dan yang mana yang dirasa paling baik untuk dipakai dalam mencapai tujuan tersebut;

3. Kapan waktunya dan melalui cara bagaimana hukum itu perlu diubah;

4. Dapatkah suatu pola yang baku dan mapan dirumuskan untuk membantu dalam memutuskan proses pemelihian tujuan serta cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut dengan baik.

Dari beberapa pandangan para ahli mengenai definisi politik hukum, dapat ditarik kesimpulan bahwa politik hukum adalah kebijakan Negara untuk memilih menggunakan metode, tujuan, dan arah yang ditetapkan untuk pembentukan, penerapan dan penegakan hukum sebagai suatu pernyataan

16Padmo Wahjono, “Menyelisik Proses Terbentuknya Peraturan Perundang-undangan”, dalam

majalah Forum Kedadilan, No. 29, April 1991, hlm. 65.

17 Teuku Mohammad Radhie, “Pembaruan dan Politik Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional”, dalam majalah Prisma, No.6 Tahun II, Desember 1973, hlm. 3.

(23)
(24)

22

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Prolegnas adalah instrumen perencanaan program pembentukan Undang-Undang yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis. Pengertian ini menunujukkan bahwa prolegnas merupakan instrumen mekanisme perencanaan hukum, yakni para pembentuk undang-undang (DPR dan Pemerintah) merencanakan pembangunan materi hukum melalui perundang-undangan melalui suatu program yang terencana, terpadu dan tersistematis. Prolegnas menjadi acuan dalam proses perencanaan penyusunan Undang-Undang secara nasional dan memiliki peran yang sangat penting dalam pembangunan hukum secara keseluruhan.

Masyarakat petani Indonesia sebenarnya sudah mengalami revolusi pertanian (intensifikasi dan modernisasi pola pertanian dalam skala nasional). Industrialisasi pertanian diyakini akan mendorong tata kelola pertanian dengan lebih baik. Industrialisasi juga berarti ditingkatkannya produktivitas komiditi pertanian. Untuk itu pemerintah harus mendorong modernisasi produksi pertanian dan dengan itu mengembangkan minat swasta untuk masuk ke dalam sector pertanian.

(25)

Dalam keputusan tersebut dinyatakan bahwa terdapat 65 buah Rancangan UU Pertanian yang dikategorikan ke dalam kategori Prioritas tahun 2017.

B. Rekomendasi

(26)

24

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Arifin Tahir. Kebijakan Publik dan Transparansi penyelenggara Pemerintah Daerah. Bandung: Alfabeta. 2014.

Bagir Manan. Politik Perundang-Undangan Dalam Rangka Mengantisipasi Liberalisasi Perekonomian. Dalam Course Material, Politik Hukum. Bandung: Universitas Padjadjaran. 2001.

Deddy Mulyadi. Studi Kebijakan Publik dan Pelayanan Publik. Bandung: Alfabeta. 2014.

Moh. Mahfud MD. Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi. Jakarta: LPES. 2007.

________________. Politik Hukum di Indonesia. Edisi Revisi. Jakarta: Rajawali Pers. 2009.

________________. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: LPES. 2001.

Satjipto Rahardjo. llmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti. Cet. Ke-2. 1991. Sumarno dan T. Subarsyah. Dinamika Politik Hukum Indonesia. Bandung: Pasundan Law Faculty Alumnus Press. 1999.

Majalah dan Jurnal:

Republika. 5 Januari 2010 dan Majalah Konstitusi April –Mei 2007.

Padmo Wahjono. Menyelisik Proses Terbentuknya Peraturan

(27)

Teuku Mohammad Radhie. “Pembaruan dan Politik Hukum dalam Rangka

Pembangunan Nasional”. dalam majalah Prisma. No.6 Tahun II. Desember 1973. Peraturan Perundang-undangan:

Keputusan DPR RI Nomor 01/DPRRI/III/2004-2005 tentang Persetujuan Penetapan Program Legislasi Nasional Tahun 2005-2009. Jakarta: Dewan Perwakilan Rakyat. 2005.

Referensi

Dokumen terkait

Dari pernyataan yang diperoleh melalui wawancara dengan Kepala Bidang Tindak Pidana Umum di Kejaksaan Negeri Banda Aceh tersebut jelas tidak sejalan dengan ketentuan dari

Alhamdulillah berkat rahmat dan hidayah-Nya pula, penulis telah selesai menyusun skripsi ini untuk memenuhi dan melengkapi syarat-syarat guna mencapai gelar Sarjana

Ketiga; Penerapan sistem konversi pada sistem simpan pinjam pada UPK Mandiri Syariah Kecamatan Montasik sesuai dengan ekonomi syariah, dimana dalam praktinya pihak

Remuk Diterjang Badai Noda Hitam di Jalan Hidup Artis Ganasnya Dampak Video “Ariel” Luna Kembali Diperiksa, Cut Tari Tumbang Tidak Nyuci Baju tapi Makan Sushi Pro-Kontra Penahanan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perputaran persediaan tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap likuiditas, maka perputaran persediaan tidak dapat dijadikan

Hasil studi bertujuan untuk mengetahui fenomena aliran dan perpindahan panas pada elliptical tube banks , ditinjau secara kualitatif menggunakan visualisasi

Penelitian ini bertujuan untuk menguji: (1) perbedaan kemampuan bermain drama siswa SMAN 1 Rongkop, Gunungkidul yang mengikuti pembelajaran dengan strategi

Berdasarkan uji ANOVA yang telah dilakukan pada bab sebelumnya diperoleh informasi bahwa pada keenam rasio yang diuji ternyata tidak ada perbedaan yang signifikan antara