Prospek Usaha Penggemukan Daging
Kambing, Domba dan Sapi Potong
Daging merupakan salah satu penyumbang protein hewani, di samping susu dan telur. Produksi daging sapi dalam negeri baru memenuhi 24% dari kebutuhan daging nasional. Kebutuhan daging sapi nasional saat ini sekitar 385,03 ton/tahun, sedangkan produksi daging nasional baru sekitar 249,92 ton/tahun. Artinya, masih terjadi kekurangan pasokan daging sapi sebesar 35,1%. Hal itu yang menyebabkan pemerintah sering melakukan impor daging sapi baik dalam bentuk ternak hidup, maupun daging beku.
Dalam jangka pendek, impor sapi memang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan daging dalam negeri. Namun, dalam jangka panjang alangkah lebih baik jika industri sapi potong dikembangkan dalam negeri. Jika industri sapi potong di Indonesia bisa dikembangkan lagi banyak tenaga kerja yang bisa terserap. Bahkan bisa menciptakan peluang usaha yang baru.
Usaha penggemukan ternak potong merupakan salah satu yang paling mudah dilakukan oleh peternak pemula. Jenis ternak yang dapat digemukkan antara lain domba,
kambing, dan sapi. Ketiga hewan tersebut merupakan sumber pedaging utama di Indonesia. Jumlah peternak yang menggeluti usaha penggemukan memang masih sedikit. Hal ini terkait beberapa kendala yang dihadapi oleh peternak, seperti kecilnya keuntungan dari hasil penggemukkan. Hal ini disebabkan, biaya penggemukan yang relatif tinggi dibandingkan dengan keuntungan penjualannya.
Hal yang perlu diperhatikan agar peternak mendapatkan harga yang bagus adalah harus memahami kondisi pasar dan menghasilkan ternak potong yang berkualitas untuk dijual. Peternak harus jeli melihat pasar aman yang akan dibidik. Pada saat Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha adalah saat yang baik untuk menjual sapi, kambing atau domba. Saat tersebut harga melambung tinggi. Di luar pasar tersebut, usaha jasa akikah juga merupakan pasar yang bagus.
Pakan juga menyumbang biaya produksi yang paling besar dalam usaha peternakan, yaitu sekitar 60-80% dari keseluruhan biaya produksi.
Pakan utama ternak ruminansia adalah hijauan, sekitar 60-70%. Namun, ketersediaan pakan hijauan sangat terbatas. Karena itu, pengembangan peternakan perlu diintergrasikan dengan usaha pertanian sebagai strategi dalam penyediaan pakan ternak melalui optimalisasi pemanfaatan limbah pertanian.
Tidak ada satu jenis dan formulasi pakan terhebat yang dapat diterapkan pada semua usaha ternak potong yang tersebar di berbagai lokasi usaha. Yang ada adalah strategi untuk mencari dan mengolah bahan pakan potensial setempat menjadi produk ekonomis yang aman, sehat, utuh, halal, dan berkualitas. Dengan cara ini, peternak pemula ataupun berpengalaman bisa menerapkan teknik pemberian pakan secara praktis, murah, dan berkualitas.
Sejarah industri penggemukan sapi potong berawal dari kondisi yang terjadi di Indonesia yaitu makin terkurasnya sapi lokal yang ada. Seperti kita ketahui, ternak sapi khususnya sapi potong merupakan salah satu sumber daya penghasil bahan makanan berupa daging yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan penting artinya di dalam kehidupan masyarakat. Dengan makin terkurasnya sapi lokal kita, maka mulai dicari solusi untuk menanggulanginya yaitu salah satunya dengan mengoptimalkan berat potong sapi di Indonesia melalui program penggemukan.
Pada pertengahan tahun 1980an Indonesia mulai mengembangkan penggemukan sapi potong menggunakan sapi FH jantan. Seiring dengan perkembangannya pada awal tahun 1990an mulai berkembang industri penggemukan sapi potong ini dengan menggunakan sapi bakalan import dari Australia.
Bersama itu pula berkembang penggunaan pakan sapi potong dengan bahan baku limbah industri pertanian seperti onggok, gaplek, dedak, pollard, bungkil sawit dll yang mempunyai harga relatif murah. Disamping itu juga permintaan daging yang terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk Indonesia yang cukup besar.
mengkonsumsi cukup tinggi (13%). Selain itu daging sapi memiliki kelompok konsumen tertentu (menengah ke atas), sementara daging unggas konsumennya menengah ke bawah. Harga daging sapi juga relatif lebih tinggi dibandingkan dengan daging unggas.
Perkembangan populasi sapi (sapi potong dan sapi perah) di Indonesia dalam delapan tahun terakhir menunjukkan adanya peningkatan. Berdasarkan data hasil Sensus Pertanian tahun 2003 (ST03) populasi sapi di Indonesia tercatat 10,2 juta ekor. Jika populasi tahun 2003 ini dibandingkan dengan hasil awal PSPK2011 dimana populasi sapi di Indonesia mencapai 15,4 juta ekor, maka rata-rata pertambahan per tahun populasi sapi selama 2003– 2011 sekitar 653,1 ribu ekor dengan tingkat pertumbuhan rata-rata sebesar 5,32 persen per tahun.
Secara regional/pulau rata-rata pertumbuhan per tahun populasi sapi yang tertinggi di pulau Sumatera sebesar 9,66 persen. Pulau Jawa yang memiliki populasi sapi terbanyak di Indonesia, mencatat pertumbuhan hanya 3,85 persen per tahun. Angka pertumbuhan sapi di Pulau Jawa ini terendah jika dibandingkan dengan regional/pulau lainnya di Indonesia. Namun demikian, meskipun pertumbuhannya rendah, secara absolut penambahan populasi sapi di Pulau Jawa masih yang terbanyak, yakni rata-rata 264,3 ribu ekor per tahun.
Perkembangan populasi kerbau di Indonesia selama periode 2003-2011 berdasarkan hasil Sensus Pertanian 2003 (ST03) dan PSPK2011 menunjukkan adanya tren penurunan dengan tingkat penurunan rata-rata 0,58 persen per tahun. Dalam jumlah absolut, penurunan populasi kerbau ini mencapai 7,8 ribu ekor per tahunnya.
Dirinci wilayah regional/pulau, pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara mencatat populasi kerbau mengalami penurunan masing-masing 2,61 persen, dan 1,76 persen per tahun, sedangkan di regional/pulau lainnya masih mengalami peningkatan. Populasi kerbau di Maluku dan Papua mencatat pertumbuhan populasi tertinggi, yakni 4,61 persen per tahun sedangkan daerah lainnya kurang dari 2 persen.
Secara absolut pulau Sumatera mencatat rata-rata peningkatan jumlah populasi kerbau terbesar, yakni 6,1 ribu ekor per tahun sedangkan daerah lain kurang dari seribu ekor per tahun. Sebaliknya di pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara mencatat penurunan populasi kerbau cukup banyak, yakni masing-masing 10,7 ribu, dan 4,9 ribu per tahunnya
Sementara kebutuhan daging sapi dalam negeri terus meningkat dari 303,3 ribu ton pada tahun 2002 menjadi 378,93 ribu ton pada tahun 2005 dan 389,3 ribu ton pada tahun 2006. Diasumsikan pada tahun 2010 akan terjadi peningkatan kebutuhan daging 115,67 juta ton dari angka kebutuhan tahun 2005. Menurut perhitungan Deptan pada Rencana Aksi Pemantapan Ketahanan Pangan menuju swasembada daging (sapi) 2010, setidaknya populasi sapi saat itu harus mendekati 16,7 juta ekor!!! Sementara itu pertumbuhan sapi potong lokal hanya 3% per tahun. Praktis angka populasi sebesar itu tidak akan pernah dicapai oleh pertumbuhan sapi potong lokal tanpa penambahan induk dari luar. Ini merupakan peluang untuk menggemukkan sapi potong.
Berdasarkan hasil Pendataan Sapi Potong, Sapi Perah, dan Kerbau (PSPK) 2011 yang dilaksanakan serentak di seluruh Indonesia mulai 1-30 Juni 2011, populasi sapi potong mencapai 14,8 juta ekor; sapi perah 597,1 ribu ekor dan kerbau 1,3 juta ekor. Dirinci menurut daerah, provinsi yang memiliki populasi sapi potong lebih dari 0,5 juta ekor berturut turut adalah Jawa Timur 4,7 juta ekor; Jawa Tengah 1,9 juta; Sulawesi Selatan 984 ribu ekor; NTT 778,2 ribu ekor; Lampung 742,8 ribu ekor; NTB 685,8 ribu ekor; Bali 637,5 ribu ekor; dan Sumatera Utara 541,7 ribu ekor. Sementara itu untuk sapi perah populasi terbanyak di Jawa Timur 296,3 ribu ekor sedangkan kerbau di NTT sebanyak 150 ribu ekor.
Secara regional/pulau populasi sapi potong terbesar terdapat di Pulau Jawa 7,5 juta
ekor atau 50,74 persen dari populasi sapi potong nasional. Regional/pulau Sumatera memiliki populasi terbesar kedua setelah Jawa dengan populasi 2,7 juta ekor (18,40 persen) disusul kemudian oleh Bali dan Nusra 2,1 juta ekor (14,19 persen); Sulawesi 1,8 juta ekor (11,97 persen); Kalimantan 437,3 ribu ekor (2,95 persen) serta Maluku dan Papua 258,1 ribu ekor (1,74 persen). Untuk sapi perah regional/pulau Jawa mencatat populasi 592,4 ribu ekor (99,21 persen) sedangkan kerbau terbanyak dijumpai di regional/pulau Sumatera 512,8 ribu ekor (39,30 persen).
Untuk kerbau jantan, jumlah terbanyak pada umur dewasa (>2 tahun) sekitar 42,34 persen dari total populasi kerbau jantan.
Berdasarkan hasil awal PSPK2011 populasi sapi (sapi potong+sapi perah) di Indonesia sebanyak 15,4 juta ekor. Jika dibandingkan dengan hasil Sensus Pertanian 2003 sebanyak 10,2 juta ekor, maka rata-rata pertumbuhan populasi sapi selama 2003–2011 mencapai 5,32 persen per tahun atau rata-rata pertambahan 653,1 ribu ekor setiap tahunnya. Sebaliknya untuk populasi kerbau tercatat pada tahun 2003 sebanyak 1,4 juta ekor sedangkan pada tahun 2011 sebanyak 1,3 juta ekor sehingga rata-rata pertumbuhannya -0,58 persen
atau berkurang rata rata sekitar 7,8 ribu ekor setiap tahunnya. (http://yuari.wordpress.com/2011/08/18/rilis-data-populasi-sapi-potong-sapi-perah-dan-kerbau-di-indonesia-2011-2012/)
Profil Peternakan Sapi di Indonesia
Sapi merupakan komoditas yang menghadapi persoalan cukup serius, karena ada kecenderungan yang sangat nyata bahwa impor daging, jeroan, bakalan dan sapi potong masih sangat besar.
Impor daging dan sapi bakalan yang cenderung terus meningkat dalam dasa warsa terakhir merupakan indikasi yang sangat baik bahwa produktivitas sapi dalam negeri belum mampu merespon perkembangan lonjakan permintaan daging. Ada 3 prinsip dalam pengaturan kebutuhan daging sapi yaitu kelestarian sumber daya ternak nasional, keseimbangan suplai-demand dan mengurangi ketergantungan impor.
Lebih dari 90% usaha peternakan sapi potong di Indonesia merupakan usaha peternakan rakyat yang perlu mendapat perhatian sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan peternak dan meningkatkan produktivitas ternaknya.
Kelangkaan pasokan daging sapi akan berdampak luas karena masih banyak dilakukan pemotongan hewan betina produktif dan ternak muda yang ukurannya kecil serta adanya pihak-pihak yang kurang bertanggung jawab dengan memanfaatkan situasi pasar, memasukkan daging ilegal / produk yang tidak ASUH (Aman. Sehat, Utuh, Halal).
Hambatan dan Peluang Industri Penggemukan Sapi Potong
Faktor ekonomi :
Nilai tukar rupiah yang masih fluktuatif
Belum berjalannya kredit perbankan sehingga berpengaruh terhadap modal
Masih tingginya country risk Indonesia yang akan berpengaruh terhadap biaya L/C yang tinggi
Banyak perusahaan sapi potong yang terkena dampak krisis ekonomi.
Faktor politik
Hubungan luar negeri Indonesia dengan Australia (Australia hanya satu-satunya negara yang secara teknis sangat kompetitif untuk mensuplai sapi potong ke Indonesia)
Faktor lain
Daya beli masyarakat menurun
Jumlah dan kualitas sapi lokal belum siap untuk mensuplai bakalan
Peluang :
Prospek usaha sapi potong terbuka lebar dalam waktu yang lama karena permintaan
daging terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, peningkatan kesadaran gizi, peningkatan taraf ekonomi dan untuk status sosial.
Harga sapi impor yang melonjak sangat tinggi saat ini mengakibatkan sebagian
Peluang Usaha Budidaya Sapi Potong : Jumlah penduduk Indonesia yang besar sangat potensial bagi permintaan produk peternakan. Peningkatan konsumsi daging per kapita sedikit saja dapat menyebabkan kebutuhan terhadap ternak potong yang sangat besar. Meningkatnya konsumsi daging karena meningkatnya taraf hidup dan tingkat ekonomi masyarakat merupakan faktor pendorong bagi berkembangnya industri daging, sehingga membuka peluang usaha penggemukan sapi potong di Indonesia.
Meningkatnya harga daging sapi dan kerbau menyebabkan pemotongan ternak melampaui batas kemampuan perkembangbiakannya, sehingga pertumbuhan populasi terganggu. Selama Pelita I dan II, populasi sapi daging turun 0,19% per tahun dan selama Pelita I, II dan III, populasi kerbau turun 5,84%, 1,4% dan 0,32%. Peningkatan populasi dalam tahun berikutnya sebagian besar disebabkan oleh impor ternak. Sepuluh tahun terakhir peningkatan populasi sapi sangat lambat walaupun telah dibantu dengan impor ternak dan daging. Pertumbuhan populasi sapi menurun dari 9,62% per tahun pada pelita III menjadi 1-2% per tahun pada pelita IV dan V dan pertumbuhan populasi kerbau menurun dari 4,30% per tahun pada Pelita IV menjadi 2,09% per tahun pada Pelita V.
Industri penggemukan sapi potong mulai berkembang dengan pesat pada tahun 1992 yang ditandai dengan berdirinya beberapa perusahaan penggemukan sapi feedlot. Jumlah ini berkembang terus hingga mencapai lebih dari 40 perusahaan pada tahun 1997 yang tersebar terutama di pulau Jawa dan Lampung dengan total impor sapi bakalan berkisar antara 300.000-400.000 ekor per tahun. Beberapa perusahaan penggemukan sapi diantaranya adalah PT. Tipperary Indonesia, PT. Great Giant Livestock Co., PT. Suntoryfood Co., PT. Karyana Gita Utama dan PT. Lembu Jantan Perkasa.
Industri sapi potong masih mengandalkan bakalan impor dari Australia yang memiliki harga yang lebih murah daripada sapi lokal. Impor sapi bakalan tersebut dimaksudkan untuk menutupi kekurangan sapi bakalan lokal. Pada tahun 1999, harga sapi
Brahman Cross jantan kebiri sebagai sapi bakalan di Australia adalah US$ 0,98/kg bobot hidup dan sampai di Indonesia dengan diperhitungkan biaya pemasaran menjadi sebesar US$ 1,03/kg bobot hidup. Sementara itu, harga sapi lokal sebelum krisis pada tahun 1997 adalah Rp 3.800 – 4.000/kg bobot hidup atau US$ 1,4 – 1,6/kg bobot hidup.
dari US$ 1.200 menjadi US$ 300/kapita/tahun. Disamping itu, harga sapi bakalan impor dalam rupiah menjadi sangat mahal karena nilai tukar rupiah yang merosot drastis.
Masalah pokok peternakan yang dihadapi dewasa ini adalah sebagai berikut.
Populasi ternak yang ada terlalu sedikit untuk dapat mengimbangi permintaan yang
semakin meningkat.
Kemampuan berproduksi ternak yang ada belum dapat mengimbangi peningkatan
permintaan tanpa terganggu kelestarian populasi.
Fluktuasi kurs rupiah mempengaruhi harga sapi bakalan impor.
Bisnis ternak sapi potong tetap menguntungkan
Usaha peternakan sapi potong pada saat ini masih tetap menguntungkan. Pasalnya,
permintaan pasar terus memperlihatkan peningkatan. Termasuk di pasar ekspor seperti ke Malaysia. Di negara jiran itu permintaan cenderung meningkat yang dipicu oleh bergesernya tradisi memotong kambing ke tradisi memotong sapi atau kerbau pada saat perhelatan keluarga atau perayaan lainnya.
Indonesia dengan jumlah penduduk di atas 220 juta jiwa membutuhkan pasok
daging yang besar. Peternakan domestik belum mampu memenuhi permintaan daging dari warganya. Timpangnya antara pasokan dan permintaan, ternyata masih tinggi.
Tidak mengherankan, lembaga yang memiliki otoritas tertinggi dalam hal pertanian
termasuk peternakan, Deptan, mengakui masalah utama usaha sapi potong di Indonesia terletak pada suplai yang selalu mengalami kekurangan setiap tahunnya.
Sementara laju pertumbuhan konsumsi dan pertambahan penduduk tidak mampu
Indonesai selalu melakukan impor baik dalam bentuk sapi hidup maupun daging dan jeroan sapi.
Menurut data Susenas (2002) yang dikeluarkan BPS, memperlihatkan konsumsi
daging sapi dan jeroan masyarakat Indonesia sebesar 2,14 kg/kap/tahun. Konsumsi tersebut sudah memperhiutngkan konsumsi daging dalam bentuk olahan seperti sosis, daging kaleng dan dendeng.
Asumsi
*Penduduk tahun sebesar 206,3 juta dengan tingkat pertumbuhan sebesar 1,49% per tahun
*Populasi sapi lokal sebesar 11,6 juta ekor dengan tingkat pertumbuhan sebesar 14% per tahun.
*Konsumsi daging sebesar 1,72 kg/kapita/tahun dengan peningkatan sebesar 0,1 kg/kapita/tahun.
* Produksi daging sapi sebesar 350,7 ribu ton.
Proyeksi kebutuhan daging
* Th 2000 - Penduduk 206 juta orang
- Konsumsi 1,72 kg/kapita/tahun
- Produksi daging 350,7 ribu ton/tahun
- Pemotongan sapi 1,75 juta ekor/tahun
* Th 2010 - Penduduk 242, 4 juta orang
- Konsumsi 2,72 kg/kapita/tahun
- Produksi daging 654,4 ribu ton/tahun
* Th 2020 - Penduduk 281 juta orang
- Konsumsi 3,72 kg/kapita/tahun
- Produksi dagiing 1,04 juta ton/tahun
- Pemotongan sapi 5,2 juta ekor/tahun (naik 197%)
Sumber : Apfindo
Dengan kondisi tersebut diperkirakan keadaan populasi 2009 hanya mampu
memasok 80% dari total kebutuhan dalam negeri. Keadaan tersebut tentu sangat menghawatirkan karena suatu saat akan terjadi dimana kebutuhan daging sapi dalam negeri sangat tergantung kepada impor. Dengan demikian ketergantungan tersebut tentu akan mempengaruhi harga sapi lokal.
Konono, menurut analisa Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia
(Apfindo), populasi sapi lokal Indonesoia, cenderung semakin menurun tanpa ada subtitusi dari impor sapi bakalan. Contoh pada 1997, populasi sapi lokal sebesar 11,9 juta ekor menjadi 11 juta ekor (8,2%) pada 2000 dikarenakan impor sapi bakalan terganggu krisis.
Semakin sulitnya sapi lokal memenuhi kebutuhan daging pada hari-hari besar
keagamaan (Idul Fitri, Natal, dan tahun baru), tanpa dibantu oleh sapi impor (kasus 2001). Dan tiap provinsi sumber ternak mulai khawatir terhadap pupolasi sapi di daerahnya (Sulawesi Selatan, NTT, NTB, Jateng dan Jatim).
Kemudian adanya pemotongan sapi betina produktif. Pemerintah tidak mempunyai
Belum lagi akibat soal kualitas sapi lokal. Semakin menurun dengan terjadinya
in-breeding diantara sapi lokal sehingga berat hidu psapi lokal semakin menurun (rata-rata 300 kg). Program cross breeding yang dilakukan selama ini tidak mengakibatkan peningkatan kualitas sapi lokal karena keterunannya (F-1) terus dipotong, bukan untuk dikembangbiakan kembali.
Kondisi itu, dengan sendirinya, membuat Indonesia harus mampu mendorong
pertumbuhan produksi sapi sekaligus daging sapi. Arena kebutuhan daging sapi yang semakin meningkat, jika tidak disertai pertumbuhan populasi, mengakibatkan semakin banyaknya sapi lokal yang diptong termasuk sapi betina, sehingga jika tidak waspada Indonesia akan masuk dalam food trap. Di mana ketergantungan akan impor akan semakin besar dan pada akhirnya akan 100% tergantung impor.
Itu sebabnya, bisnis ternak sapi potong, menjadi salah satu lahan usaha yang
prospektif. Salah satu contoh kasus di Provinsi Sumatra Barat. Saat ini, di provinsi itu, diyakini pertumbuhan konsumsi atas daging ternak sapi terus memperlihatkan trend meningkat namun belum mampu dipenuhi oleh produksi daging nasional.
Apalagi, produksi daging dari ternak sapi potong di Sumbar, berpotensi untuk
diekspor ke sejumlah negara di kawasan Asia Tenggara seperti Malaysia dan Singapura karena permintaan daging di kedua negara tersebut cenderung meningkat.
Peluang ekspor daging sapi ke Malaysia sangat terbuka karena permintaan di negara
jiran itu cenderung meningkat. Hal itu dipicu oleh bergesernya tradisi memotong kambing kepada tradisi memotong sapi atau kerbau pada saat perhelatan keluarga atau perayaan lainnya.
Bahkan, kenadti kebutuhan konsumsi daging sapi di Provinsi Sumbar sudah
Target produksi daging tersebut mengacu kepada target hasil kesepakatan Widya
Karya Pangan dan Gizi 10 KG per kapita per tahun (27,5% x daging sapi).
Skala rumah tangga
Banyak sistem yang biasa digunakan untuk mengembangkan ternak sapi potong. Salah satu sistem yang paling dikenal adalah sistem kandang dalam lembaga yang berbadan hukum resmi seperti koperasi. Sistem ini termasuk sistem berskala besar karena jumlah sapi yang dibudidayakan bisa mencapai ratusan ekor, selain keuntungan yang diperoleh dari aplikasi sistem ini jauh lebih besar.
Seperti yang dilakukan di Sumbar, saat ini di provinsi itu, mulai berkembang sistem lain yakni ternak sapi potong berskala rumah tangga yang menggunakan cara konvensional sehingga memudahkan sebuah rumah tangga mengembangkan usaha ternak sapi potong ini. Sistem ini dikembangkan karena ternak sapi potong dipandang sebagai bentuk usaha yang dapat memberikan tambahan pendapatan kepada para peternak kecil skala rumah tangga tersebut sekaligus mengangkat masyarakat ekonomi lemah.
Ternak sapi potong berskala rumah tangga tersebut sangat ekonomis, baik dari sisi biaya pemeliharaan maupun biaya pembuatan kandang. Karena berskala kecil, pembuatan kandang biasanya berbentuk tunggal. Tapi hal teknis lainnya seperti ukuran kandang untuk seekor sapi tidak jauh berbeda dengan ukuran kandang untuk penggemukan sapi komersil dalam skala besar. Ukuran kandang untuk seekor sapi jantan dewasa 1,5×2 meter atau 2,5×2 meter. Sedangkan untuk sapi betina dewasa 1,8×2 meter dan anak sapi 1,5×1 meter dengan tinggi 2-2,5 meter.
Seperti yang lazim diketahui, jenis-jenis sapi potong yang terdapat di Indonesia saat ini merupakan sapi asli Indonesia dan sapi impor. Dari jenis sapi potong tersebut, masing-masing memiliki sifat dan ciri khas baik dilihat dari bentuk luarnya seperti ukuran tubuh, warna bulu maupun genetiknya. Biasanya sapi-sapi asli Indonesia yang dijadikan sumber daging para peternak sapi adalah sapi bali, sapi ongole, sapi po (peranakan ongole), sapi madura dan sapi aceh.
potong memiliki bentuk badan persegi panjang atau berbentuk bulat silinder. Sedangkan badan bagian muka, tengah dan belakang tumbuh sama kuat. Sedangkan garis badan atas dan bawah sejajar.
Selain masalah bibit, peternak harus tahu tentang bagaimana memilih lokasi penggemukan yang memenuhi syarat ideal. Lokasi ideal untuk membangun kandang adalah daerah yang letaknya cukup jauh dari pemukiman penduduk. Kandang harus terpisah dari rumah tinggal dengan jarak minimal 10 meter. Sinar matahari harus dapat menembus pelataran kandang dan dekat dengan lahan pertanian.
Pendapatan meningkat
Pola tersebut ternyata membuahkan hasil. Setelah sistem itu diterapkan setahun lalu
dengan bimbingan tim teknis hasilnya sangat mengejutkan. Selama satu tahun, disamping Pemkot Sawahlunto telah membeli bibit sapi sedikitnya 650 ekor untuk dibudidayakan oleh hampir 300 keluarga kurang mampu di daerah ini, keuntungan yang diterima peternak berskala rumah tangga tersebut pun meningkat.
Dalam tempo enam bulan, satu ekor sapi potong bisa menghasilkan keuntungan
sekitar Rp4 juta-Rp5 juta.
Padahal, dalam satu rumah tangga, sapi potong yang dibudidayakan rata-rata dua
sampai tiga ekor.
“Harga bibit satu ekor berkisar antara Rp6 juta-Rp7 juta, sementara setelah
dipelihara selama enam bulan, harga sapi di pasaran meningkat antara Rp10 juta-Rp11 juta, sehingga peternak memperoleh keuntungan Rp4 juta-Rp5 juta per ekor atau sekitar Rp12 juta-Rp15 juta per satu rumah tangga.
Besarnya keuntungan yang diterima peternak dengan cara konvensional tersebut ke
Saat ini, minat masyarakat daerah ini untuk membudidayakan sapi potong mulai
tinggi. Sampai akhir Januari 2005, sekitar 300 keluarga telah mendaftar diri dan menunggu mendapatkan total 700 ekor bibit sapi potong untuk dibudidayakan.
Sumber :
http://sahabat88.wordpress.com/
http://sahabat88.wordpress.com/category/ekonomi/
http://sahabat88.wordpress.com/2008/04/07/bisnis-ternak-sapi-potong-tetap-menguntungkan/
Jalan Mulus Swasembada Sapi 2014
27 Agustus 2011 05:11:26
Sensus terbaru yang dilakukan BPS dan Kementerian Pertanian mencatat populasi sapi lokal sekitar 16,2 juta ekor. Sebelum sensus dilakukan, banyak pihak berpegang pada asumsi bahwa populasi sapi di Indonesia hanya berkisar 12 juta ekor lebih. Ada optimisme baru akan terwujudnya swasembada sapi pada 2014.
Berdasarkan data terbaru ini, pemerintah pun optimis swasembada sapi pada tahun 2014 nanti akan terwujud. Bahkan, menjadikan Kementerian Perdagangan yakin bahwa untuk memenuhi kebutuhan daging sapi nasional jangka pendek maupun jangka menengah, populasi sapi sudah sangat cukup, meski impor dari Australia memang jadi dihentikan.
Menurut Mendag, Mari Elka Pangestu, tanpa dibukanya kembali ekspor sapi Australia ke Indonesia, pemerintah sudah menyiapkan stok daging sapi untuk dipasarkan terutama menjelang bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri. Bahkan, kata Mendag, penyediaan stok daging sapi juga sudah disiapkan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan konsumsi setelah Hari Raya Idul Fitri. “Tidak ada masalah dengan stok daging sapi untuk ke depan, baik untuk jangka pendek maupun jangka menengah. Kita sedang menyusun data-data baru, termasuk karena sudah adanya sensus sapi dan kita sudah menyiapkan langkah-langkah sampai dengan akhir tahun. Sudah pasti cukup,” tandas Mendag, kepada wartawan awal Juli lalu. Optimisme tersebut didukung oleh keterangan Kepala Badan Pusat Statistik, Rusman Heriawan, di kantor Presiden, Kamis, 7 Juli 2011. Menurutnya, jumlah daging sapi di Indonesia sudah cukup.
Berdasarkan sensus sapi yang dilakukan lembaganya, untuk sapi potong saja, jumlah populasinya ada sekitar 14,43 juta ekor sapi. Sementara itu, dari sisi kebutuhan, tercatat sapi yang dibutuhkan adalah sebanyak 2,5-3 juta ekor sapi per tahun. Artinya, daging dari jumlah lembu-lembu berdasarkan sensus terbaru itu bisa memenuhi 90 persen kebutuhan lokal, sedangkan 10 persennya dapat dipenuhi sapi impor. Bahkan, Rusmawan berpendapat, yang 10 persen itu kalau tidak dipenuhi tidak menimbulkan turbulence pada konsumsi. “Angka 90 persen itu tingkat konsumsi yang aman, tidak akan terjadi chaos jika daging Sebagaimana disampaikan oleh Menteri Pertanian, Suswono, bahwa angka konsumsi daging sapi di Indonesia ini sebenarnya masih tergolong rendah, yaitu hanya sebesar 1,7 kilogram per kapita per tahun, atau setara dengan 2,5-3 juta ekor sapi per tahun.
http://ditjenpdn.kemendag.go.id/index.php/public/information/articles-detail/berita/32
kertas pasokan daging itu memenuhi kebutuhan warga, daging itu kerap tak tersebar merata. “Problemnya, bagaimana mempertemukan supply (pasokan) dan demand (permintaan),” ujar nya. Karena itu, ia mengusulkan untuk menambah frekuensi pertemuan penjual dan pembeli dengan memperbanyak pasar hewan.
Itulah fakta dan data yang menjadikan swasembada sapi yang ditargetkan selesai tahun 2014 bukan suatu yang sulit untuk diwujudkan. Bahkan, jumlah impor pun sudah mulai bisa ditekan prosentasenya. Yakni, seperti pernah disampaikan oleh Menteri Pertanian, Suswono, pada tahun 2014 nanti Indonesia menargetkan impor daging sapi hanya 10 persen dari total konsumsi nasional.
Perlu diketahui, bahwa saat ini kebutuhan daging sapi mencapai 430 ribu ton per tahun. Dari jumlah ini, sebanyak 25 persen atau 100 ribu ton daging berasal dari impor. Dan sampai saat ini, untuk mengamankan pasokan daging sapi dalam negeri, pemerintah masih mengandalkan sentra-sentra sapi di Jawa Timur dan Nusa Tenggara Timur. Sementara itu, khusus untuk wilayah Jakarta dan sekitarnya, biasanya kebutuhan dipenuhi dari daging beku impor.
Latihan soal :
1. Jelaskan kendala dan peluang yang dihadapi dalam pengembangan sapi potong!
2. Ada 3 prinsip dalam pengaturan kebutuhan daging sapi di Indonesia. Jelaskan masing-masing!
3. Jelaskan mengapa sapi lokal di Indonesia populasinya semakin menurun dari tahun ke tahun!
RANGKUMAN SINGKAT