• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROBLEM DAN PROSPEK PENGEMBANGAN USAHA PEMBIBITAN SAPI POTONG DI INDONESIA. Prajogo U. Hadi dan Nyak Ilham

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PROBLEM DAN PROSPEK PENGEMBANGAN USAHA PEMBIBITAN SAPI POTONG DI INDONESIA. Prajogo U. Hadi dan Nyak Ilham"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Jl. A. Yani No. 70, Bogor 16161

P

embibitan sapi potong merupakan sumber utama sapi bakalan bagi usaha penggemukan sapi potong di Indonesia. Selain itu, sapi asal impor dari Australia juga merupakan sumber sapi

bakalan yang makin penting bagi usaha penggemukan, walaupun perannya masih relatif kecil (Hadi et al., 1999a). Hal ini menunjukkan bahwa sumber utama daging sapi bagi konsumsi nasional masih

ter-gantung pada usaha pembibitan di dalam negeri yang berupa peternakan rakyat. Sampai saat ini belum ada perusahaan swasta atau perusahaan negara yang bergerak di bidang pembibitan sapi

PROBLEM DAN PROSPEK PENGEMBANGAN

USAHA PEMBIBITAN SAPI POTONG

DI INDONESIA

Prajogo U. Hadi dan Nyak Ilham

ABSTRAK

Sumber utama sapi bakalan untuk usaha penggemukan adalah kegiatan pembibitan sapi potong di dalam negeri oleh peternak kecil, sedangkan produksi sapi bakalan sangat dipengaruhi oleh problem dan prospek usaha pembibitan itu sendiri. Untuk itu perlu dilakukan review berbagai hasil penelitian atau literatur yang berkenaan dengan usaha pembibitan dan penggemukan sapi potong. Beberapa temuan krusial dalam artikel ini adalah sebagai berikut: 1) skala usaha pembibitan per peternak sangat kecil (1−3 ekor) dengan teknologi budi daya sederhana, 2) pembibitan umumnya dilakukan di daerah dataran rendah dengan ketersediaan pakan terbatas, sedangkan penggemukan dilakukan di dataran tinggi dengan ketersediaan pakan cukup, 3) produktivitas pembibitan masih rendah karena rasio pelayanan kawin suntik per kebuntingan masih tinggi, jarak waktu beranak cukup panjang, tingkat kematian pedet prasapih tinggi, dan adanya serangan parasit, 4) di daerah tertentu peternak cenderung memilih peranakan bangsa sapi betina Peranakan Friesh Holland (PFH) dan semen Simmental dan sederajad karena harga pedetnya sangat tinggi, 5) usaha pembibitan dengan induk Peranakan Ongole (PO) dan semen Simmental mendatangkan kerugian, sedangkan dengan induk PFH dan semen Simmental memberikan keuntungan, walaupun sangat marjinal, 6) usaha penggemukan memberikan keuntungan jauh lebih besar namun membutuhkan modal jauh lebih besar pula yang sulit dipenuhi peternak sehingga usaha pembibitan masih merupakan lahan usaha yang dipilih peternak, 7) perlu integrasi kuat antara usaha pembibitan sebagai pemasok sapi bakalan dengan usaha penggemukan (termasuk perusahaan "feedlot" sebagai pengguna sapi bakalan, dan 8) perlu perbaikan program kawin suntik dengan penyediaan semen Simmental dan sederajad dalam jumlah cukup.

Kata kunci: Sapi potong, pembibitan, penggemukan, analisis ekonomi, Indonesia

ABSTRACT

Problems and prospects of beef cattle breeding in Indonesia

The major source of feeder steer for fattening activity to meet the increasing demand for beef has been domestic breeding activity by small growers, while the production of feeder steer is affected by the problems as well as the prospect of the breeding farm itself. In this sense, it is necessary to review various research results and literatures related to the cattle breeding and fattening activities This article depicts the following crucial findings: 1) the average size of breeding farm is small (i.e., 1−3 heads) with low production technologies, 2) breeding activities generally take place in low altitude areas with relatively limited feed availability, while fattening activities occur in high altitude areas with relatively sufficient availability, 3) breeding productivity remains low because of high service per conception ratio, long calving interval, high mortality rate of pre-weaned calves dan the presence of parasit infestation, 4) in particular regions, small growers tend to choose Simmental crossbred and the like since the price of its calves are very high, 5) breeding farm using female Ongole bred and Simmental’s semen is unprofitable, while using female Friesh Holland crossbred and Simmental’s semen is profitable though very marginal, 6) fattening farms provide high profits but require much more capital that small growers cannot afford, so that breeding farms remain attractive to small growers, 7) tight integrations between breeding farms as steer suppliers and fattening farms (including feedlot company) as feeder steer users are very important, and 8) it is necessary to improve artificial insemination program including provision of sufficient Simmental’s semen and the like.

(2)

potong karena usaha tersebut dinilai kurang menguntungkan (Hadi dan Ilham, 2000).

Biro Pusat Statistik (1997) me-nunjukkan bahwa konsumsi daging sapi per kapita rata-rata meningkat dari 0,31 kg pada tahun 1990 menjadi 0,62 kg pada tahun 1996. Selanjutnya Hadi et al. (1999) memproyeksikan bahwa total permintaan daging sapi untuk konsumsi langsung dan industri pengolahan makanan secara nasional akan meningkat dari 197.890 ton pada tahun 2000 menjadi 249.730 ton pada tahun 2003. Untuk memenuhi kebutuhan daging sapi yang terus meningkat dilakukan impor ternak hidup dan daging. Hadi et al. (1999) mem-proyeksikan bahwa impor ternak bakalan dan daging sapi masing-masing akan mencapai 446.225 ekor dan 23.520 ton pada tahun 2003. Jika impor tersendat, misalnya karena depresiasi rupiah ter-hadap dolar AS yang cukup tajam, dikhawatirkan populasi sapi lokal akan makin cepat terkuras. Banyaknya kasus pemotongan sapi betina produktif akhir-akhir ini merupakan indikasi adanya pengurasan ternak sapi lokal (Hadi et al., 2002). Meningkatnya impor tersebut merupakan indikasi kuat adanya peluang pasar bagi pengembangan usaha pem-bibitan sapi potong di Indonesia.

Sehubungan dengan permasalahan tersebut, artikel ini bertujuan untuk: 1) mengidentifikasi karakteristik umum usaha pembibitan sapi potong rakyat, 2) menganalisis kelayakan finansial usaha pembibitan versus usaha penggemukan sapi potong rakyat, 3) mengidentifikasi bangsa-bangsa sapi yang mempunyai prospek ekonomi yang baik untuk di-kembangkan, 4) mengidentifikasi masalah dan prospek usaha pembibitan sapi potong, dan 5) memberikan saran ke-bijakan pengembangan usaha pembibit-an sapi potong di Indonesia.

KARAKTERISTIK UMUM

USAHA PEMBIBITAN

SAPI POTONG RAKYAT

Tujuan Pemeliharaan Sapi

Potong

Tujuan pemeliharaan sapi potong oleh peternakan rakyat adalah untuk

pembibitan (reproduksi) dan peng-gemukan (Prasetyo, 1994). Usaha pem-bibitan umumnya dilakukan di daerah dataran rendah dengan ketersediaan pakan relatif kurang, sedangkan usaha penggemukan banyak terdapat di daerah dataran tinggi dengan ketersediaan pakan relatif cukup. Di Jawa Tengah, misalnya, daerah Grobogan, Pati, Blora, dan Rembang merupakan daerah dataran rendah dengan ketersediaan pakan relatif kurang sehingga usaha pembibitan lebih sesuai dibandingkan dengan usaha peng-gemukan. Sebaliknya, daerah Wonosobo dan Salatiga merupakan daerah dataran tinggi dengan ketersediaan pakan relatif cukup sehingga lebih sesuai untuk usaha penggemukan. Hal serupa juga terjadi di Jawa Timur. Daerah Tuban, Lamongan, dan Probolinggo merupakan dataran rendah dengan ketersediaan pakan relatif kurang, sedangkan daerah Magetan dan Malang merupakan dataran tinggi dengan ketersediaan pakan relatif cukup (Hadi et

al., 2002).

Pemeliharaan dengan pola seperti di atas berkaitan dengan kebutuhan pakan ternak. Usaha pembibitan relatif tidak memerlukan banyak pakan karena tujuan utamanya adalah untuk menghasilkan pedet, sedangkan penggemukan memer-lukan lebih banyak pakan karena tujuan utamanya adalah untuk menghasilkan daging. Namun demikian untuk usaha pembibitan, selama masa kebuntingan terutama pada minggu ketiga terakhir dan selama masa laktasi, ternak memerlukan pakan dengan kuantitas dan kualitas yang memadai agar pertumbuhan janin dan pedet selama prasapih tetap normal (Roy, 1959). Dengan pakan yang cukup, pedet akan mempunyai bobot badan normal dan tumbuh sehat. Menurut Lebdosukoyo

et al. (1979), sapi induk yang sedang

menyusui, terutama yang digunakan sebagai hewan kerja untuk mengolah tanah, memerlukan energi dan fosfor dalam jumlah cukup agar produktivitasnya tidak terganggu. Namun, pemberian pakan yang berlebihan dapat menyebabkan kegemukan, dan sebaliknya pemberian pakan yang kurang dapat menghambat aktivitas reproduksi (Toelihere, 1981).

Skala Usaha

Jumlah pemilikan induk sapi untuk pembibitan umumnya sangat kecil. Di daerah pertanian intensif seperti

Ka-bupaten Grobogan dan Wonosobo, rata-rata pemilikan sapi induk berkisar 1−3 ekor/petani (Hadi dan Ilham, 2000). Hal serupa juga terjadi di kabupaten-kabupaten lain, seperti Lampung Tengah, Lamongan, Magetan, Lombok Barat, dan Maros (Hadi et al., 2002). Di daerah dengan pola pemeliharaan sapi secara ekstensif atau dilepas, pemilikan sapi potong bisa mencapai ratusan ekor, seperti di Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat (Hadi dan Purwantini, 1991a; Hadi et al., 2002), Sumba Timur di Nusa Tenggara Timur (Hadi dan Purwantini, 1991b) dan Barru di Sulawesi Selatan (Hadi et al., 2002).

Kecilnya skala usaha pemeliharaan sapi di daerah pertanian intensif di-sebabkan peternakan merupakan usaha yang dikelola oleh rumah tangga petani, dengan modal, tenaga kerja, dan ma-najemen yang terbatas. Kecilnya pemilikan ternak juga karena umumnya usaha pembibitan atau penggemukan merupakan usaha sampingan, selain usaha tani utama seperti padi, palawija, sayuran atau tanaman perkebunan. Di daerah pertanian ekstensif, cukup besarnya skala usaha disebabkan padang rumput untuk peng-gembalaan cukup tersedia, sehingga kebutuhan tenaga kerja dan biaya pakan dapat dikatakan hampir mendekati nol (Hadi dan Purwantini, 1991a; 1991b; Hadi

et al., 2002).

Reproduksi

Teknik reproduksi sapi potong ter-diri atas Inseminasi Buatan (IB) dan per-kawinan alami. Di daerah-daerah pertanian intensif, IB makin populer karena terbatasnya sapi pejantan dan adanya pelayanan IB dari Dinas Peternakan setempat (Hadi dan Ilham, 2000; Hadi et

al., 2002). Umumnya bangsa sapi yang

digunakan adalah Peranakan Ongole (PO), baik induk maupun semennya. Di samping itu, akhir-akhir ini juga terjadi peningkatan permintaan terhadap sapi bakalan peranakan bangsa sapi ber-produktivitas tinggi, seperti Simmental dan Charolise, yang perkawinannya hanya dapat dilakukan melalui IB. Na-mun, untuk perkawinan pertama, sebagian peternak masih menerapkan IB dengan sapi sebangsanya, yaitu sapi PO. Hal ini karena sapi induk PO yang masih dara akan mengalami kesulitan dalam me-lahirkan anak pertama jika menggunakan

(3)

semen Simmental atau Charolise karena ukuran anaknya lebih besar. Akibatnya, induk atau anaknya bisa mati atau terjadi perusakan peranakan (prolapsus uteri) yang mengganggu proses kelahiran berikutnya. Setelah kelahiran pertama, IB dengan semen Simmental atau Charolise dapat dilakukan.

Di daerah-daerah pertanian ekstensif, perkawinan alami lebih dominan daripada IB karena pejantan cukup tersedia dan terbatasnya pelayanan IB. Jenis sapi yang dikembangkan adalah Sapi Bali di Nusa Tenggara Barat (Hadi dan Purwantini, 1991a; Hadi et al., 2002) dan Sulawesi Selatan (Hadi et al., 2002) serta Sumba Ongole (SO) di Nusa Tenggara Timur (Hadi dan Purwantini, 1991b).

Angka rasio pelayanan kawin per kebuntingan ("service per conception ratio" = S/C) pada IB masih cukup tinggi, yang menunjukkan kurang berhasilnya IB. Sebagai contoh, rata-rata S/C di daerah Wonosobo adalah 0,60, di Kecamatan Kalikajar (Wonosobo) 0,20, dan di daerah Grobogan 2,60 (Hadi dan Ilham, 2000). Hasil penelitian Subiharta et al. (2000) juga menunjukkan bahwa S/C di daerah Grobogan hanya 0,68. Penyebab tingginya angka S/C antara lain adalah: 1) petani terlambat mendeteksi saat berahi atau terlambat melaporkan berahi sapinya kepada petugas inseminator, 2) adanya kelainan pada alat reproduksi induk sapi, 3) inseminator kurang terampil, 4) Fasilitas pelayanan inseminasi terbatas, dan 5) kurang lancarnya transportasi. Masalah tersebut menyebabkan sebagian peternak belum pernah menggunakan IB. Di daerah Wonosobo misalnya, dari 8 pos IB yang sudah ada di Kecamatan Kalikajar, hanya 5 pos yang sudah beroperasi, sedangkan sisanya masih pada taraf introduksi (Hadi dan Ilham, 2000).

Jarak waktu beranak ("calving interval") juga terlalu panjang. Idealnya, jarak waktu beranak adalah 12 bulan, yaitu 9 bulan bunting dan 3 bulan menyusui (Toelihere et al., 1980). Dalam kenyataan, jarak waktu antara melahirkan dan kawin lagi ("post partum mating") terlalu pan-jang, 4,50 bulan, seperti yang terjadi di daerah Grobogan (Hadi dan Ilham, 2000; Subiharta et al., 2000). Hal ini men-cerminkan produktivitas usaha pem-bibitan masih rendah.

Tingkat kematian ("mortality rate") pedet prasapih juga tinggi, bahkan ada yang mencapai 50% (Hadi dan Ilham, 2000). Masalah ini biasanya bersumber

dari kualitas pakan induk yang kurang baik, terutama pada saat bunting tua dan menyusui, adanya serangan parasit, dan manajemen perkawinan yang belum memadai (Pusat Penelitian dan Pengem-bangan Peternakan, 1992). Rendahnya produktivitas sapi pembibitan seperti ini menyebabkan kebutuhan sapi bakalan bermutu tinggi belum dapat terpenuhi. Hal tersebut juga mencerminkan lemahnya program perbaikan mutu genetik sapi potong.

Pemilihan Bangsa Sapi

Pemilihan bangsa sapi berkaitan dengan permintaan bakalan untuk usaha penggemukan (Hadi dan Ilham, 2000). Di sebagian besar wilayah Indonesia, populasi sapi PO masih sangat dominan karena pada awalnya daerah tersebut merupakan basis lokasi pengembangan bangsa sapi tersebut. Namun di beberapa daerah seperti Wonosobo, Grobogan, Salatiga, dan Magetan, pengusahaan bangsa sapi lain seperti Brahman, Peranakan Friesh Holland (PFH), Pe-ranakan Charolise, PePe-ranakan Hereford, dan Peranakan Simmental mulai ber-kembang walaupun populasinya masih jauh lebih sedikit (Hadi et al., 2002).

Meskipun harga sapi bakalan Peranakan Simmental dan Peranakan Charolise jauh lebih mahal dibanding PO, minat peternak dalam usaha penggemukan dua bangsa sapi tersebut makin besar karena pertambahan bobot badan harian ("Average Daily Gain" = ADG), tingkat konversi pakan ("feed conversion rate"), dan komposisi karkas lebih tinggi dengan komponen tulang lebih rendah (Hadi dan Ilham, 2000). Karakteristik demikian juga dipunyai oleh bangsa sapi PFH dan Peranakan Hereford.

Hasil penelitian Wiguna et al. (1982) menunjukkan bahwa ADG anak sapi hasil persilangan antara Brahman dan PO lebih tinggi dibanding anak sapi persilangan PO murni, masing-masing 0,47 kg dan 0,44 kg di daerah Playen serta 0,43 kg dan 0,41 kg di daerah Wates, Yogyakarta. Ke-untungan yang dapat diperoleh dari usaha penggemukan sapi bakalan hasil per-silangan tersebut lebih besar daripada hasil perkawinan PO murni. Subiharta et

al. (2000) menunjukkan bahwa sapi

peranakan Limousine dan peranakan Simmental (induk berasal dari PFH atau peranakan Simmental) dapat mencapai

ADG jauh lebih besar, yaitu masing-masing 1,18 kg (kisaran 0,80−1,60 kg) dan 0.90 kg (kisaran 0,70−1,30 kg).

Penelitian Usri et al. (1979) me-nunjukkan bahwa bobot badan sapi hasil persilangan antara pejantan Charolise dan induk PO sampai umur 12 bulan lebih tinggi dibanding sapi hasil persilangan antara pejantan Brahman dan induk PO, tetapi pada umur 18 dan 24 bulan terjadi hal yang sebaliknya. Hal tersebut di-sebabkan sapi hasil persilangan antara pejantan Charolise dan induk PO di-gunakan sebagai hewan kerja untuk mengolah tanah dengan pemberian pakan terbatas sehingga tidak sesuai dengan peruntukan dan adaptasi lingkungannya. Fenomena yang sama juga terjadi pada pedet sapi hasil persilangan antara pejantan Limousine dan induk PO. Sampai umur sapih (205 hari), pedet tumbuh lebih baik dibandingkan dengan pedet hasil persilangan antara pejantan Brahman dan induk PO (Talib, 1990). Namun, karena pedet hasil persilangan antara pejantan Brahman dan induk PO lebih mampu beradaptasi dan tumbuh baik pada lingkungan di daerah Bojonegoro dan Magetan, ADG selama pascasapih dan bobot badan pada umur satu tahun lebih besar dibanding pedet hasil persilangan antara pejantan Limousine dan induk PO (Talib, 1991).

Perbedaan ADG tersebut mem-pengaruhi harga jual sapi. Makin tinggi ADG, makin tinggi pula harga sapi. Sapi Peranakan Simmental, PFH dan Limou-sine mempunyai ADG masing-masing 1,18 kg, 1,32 kg, dan 0,90 kg (Subiharta et al., 2000). Berdasarkan potensi genetik, sapi Simmental mempunyai ADG sangat tinggi, yaitu 1,60 kg (Sugeng, 1998), sedangkan sapi PO hanya mempunyai ADG 0,40 kg (Dinas Peternakan Jawa Tengah, 1998, dikutip oleh Subiharta et al., 2000). Pemilihan jenis sapi bakalan Peranakan Simmental oleh peternak di-nilai tepat karena sapi tersebut merupakan tipe pedaging dengan ADG sangat tinggi, bobot hidupnya mencapai 1,15 ton, dan kualitas dagingnya memenuhi standar internasional dengan kandungan lemak rendah (Sugeng, 1998).

Pergeseran minat peternak dalam penggemukan sapi lokal ke sapi bakalan Peranakan Simmental di dataran tinggi seperti Wonosobo juga didorong oleh beberapa faktor, yaitu: 1) adanya per-geseran minat jagal atau pedagang ke arah bangsa sapi Peranakan Simmental karena

(4)

dapat memberikan keuntungan finansial jauh lebih besar, 2) tersedianya bahan pakan ternak lokal yang memadai sepanjang tahun baik kuantitas dan kualitas, 3) adanya lomba atau kontes keunggulan sapi yang diadakan pe-merintah sekali setiap tahun yang dapat meningkatkan harga sapi yang menang dan mengharumkan nama peternaknya, 4) defisit produksi daging sapi yang cukup besar, terbukti dari banyaknya sapi yang didatangkan dari luar daerah seperti Batang, Grobogan, Ambarawa, Boyolali, dan DI Yogyakarta sekitar 2.000 ekor/ tahun (Hadi dan Ilham, 2000)

Makin besarnya minat usaha peng-gemukan sapi Peranakan Simmental ini menyebabkan terjadinya pergeseran permintaan terhadap sapi bakalan ke arah bangsa sapi tersebut. Perubahan ini perlu diantisipasi peternak pembibitan ("bree-der") dengan menyesuaikan usahanya ke arah pembibitan bangsa sapi tersebut. Namun, peternak yang modalnya terbatas lebih memilih mengusahakan bangsa sapi PFH yang harga sapi bakalannya lebih murah dibanding Peranakan Simmental. Dengan menggunakan sapi bakalan PFH, skala pemeliharaan bisa meningkat dari rata-rata 2 ekor menjadi 3−5 ekor/petani (Hadi dan Ilham, 2000). Oleh karena itu, bangsa sapi Peranakan Simmental dan PFH di daerah-daerah tertentu, terutama di dataran tinggi, diperkirakan akan berkembang lebih pesat menggantikan bangsa sapi lokal dan lainnya yang lebih rendah produktivitasnya.

Pemeliharaan Ternak

Di daerah pertanian intensif, sebagian peternak memelihara sapi dalam kandang permanen, namun ada juga yang menggunakan kandang sederhana. Kapasitas kandang bervariasi sesuai dengan jumlah sapi yang dipelihara. Pengandangan dilakukan agar sapi tidak mengganggu pertanaman karena lokasi usaha berada di daerah pertanian intensif yang pada umumnya tidak mempunyai tempat penggembalaan (Hadi dan Ilham, 2000). Di daerah pertanian ekstensif, ternak sapi umumnya cukup digembalakan karena lapangan penggembalaan umum tersedia luas (Hadi dan Purwantini, 1991a; 1991b; Hadi et al., 2002).

Peternak pembibitan di daerah pertanian intensif umumnya meng-gunakan sistem kereman sehingga sapi

induk cepat menjadi gemuk. Namun, induk yang terlalu gemuk bisa terganggu proses reproduksinya atau menyebabkan kemajiran. Setelah melahirkan anak kedua, sapi induk tidak bunting lagi walaupun sudah dilakukan IB beberapa kali (Hadi dan Ilham, 2000). Peternak biasanya menjual sapi yang majir sebagai sapi potong. Untuk menghindari pemotongan sapi induk yang majir, petugas IB ber-upaya melakukan penyuntikan tepat waktu sesuai dengan saat berahi sapi. Penggunaan preparat hormon tidak dilakukan karena biayanya terlalu mahal. Oleh karena itu, perlu dilakukan pe-nyuluhan tentang cara pemeliharaan induk sapi secara tepat.

Pola pengandangan ternak pada usaha pembibitan umumnya bersifat perseorangan karena pemilikan sapi induk relatif kecil. Beberapa peternak yang melakukan usaha penggemukan meng-gunakan kandang kolektif. Cara ini dinilai dapat memberi beberapa keuntungan, antara lain: 1) mendorong saling tukar informasi antarpetani, 2) mempermudah pengawasan terhadap kesehatan dan perkembangan bobot badan ternak, 3) meningkatkan total skala usaha pe-meliharaan (Hadi dan Ilham, 2000), dan 4) mencegah terjadinya pencurian ternak (Hadi et al., 2002). Pada umumnya, kandang perseorangan berlokasi di dekat rumah tempat tinggal, sedangkan kandang kolektif berada di ladang yang me-mungkinkan pengangkutan pupuk kan-dang lebih mudah dan efisien.

Di daerah pertanian intensif, jenis pakan terdiri atas hijauan dan konsentrat, namun sebagian besar berupa pakan hijauan, terutama pada usaha pembibitan. Pakan hijauan yang merupakan sumber serat kasar, berasal dari rumput segar (rumput raja) yang ditanam pada pematang sawah atau lahan lainnya, serta sisa-sisa tanaman, seperti jerami padi, jerami jagung atau jerami kacang-kacangan, (Hadi dan Ilham, 2000). Di daerah Wonosobo misalnya, sesuai dengan kondisi alamnya yang dingin dan basah, hijauan pakan ternak cukup tersedia. Pakan konsentrat, terutama untuk peng-gemukan, terbuat dari bahan padat energi, seperti bekatul, jagung, ubi kayu, ampas ubi kayu, dan ampas tahu. Di daerah Wonosobo, peternak sudah terbiasa menggunakan campuran dedak padi dan ubi kayu yang dicincang dan sebagian peternak membeli konsentrat yang siap pakai. Di daerah pertanian ekstensif,

rumput alam merupakan satu-satunya sumber pakan ternak (Hadi dan Pur-wantini, 1991a; 1991b).

Untuk mencegah timbulnya ganggu-an penyakit, di daerah pertganggu-aniganggu-an intensif dilakukan pengobatan dengan dibantu Dinas Peternakan setempat. Di daerah tertentu, seperti Kecamatan Kalikajar (Wonosobo), sekali setahun ternak dikumpulkan di lapangan dalam acara selamatan atau kontes ternak. Pada saat itu, sapi yang dipamerkan diberi pe-ngobatan gratis oleh Dinas Peternakan setempat. Oleh karena itu, di daerah Wonosobo secara umum tidak ada penyakit serius pada ternak sapi, kecuali gangguan reproduksi dan kurangnya nafsu makan pada sapi induk (Hadi dan Ilham, 2000). Di daerah pertanian eksten-sif, karena ternak sapi dilepas maka peternak hampir tidak pernah melakukan pengawasan terhadap kesehatan ternak-nya (Hadi dan Purwantini, 1991a; 1991b).

KELAYAKAN FINANSIAL

USAHA PEMBIBITAN

VERSUS PENGGEMUKAN

Peternak yang rasional secara ekonomi akan menanamkan modalnya pada usaha yang bisa memberikan keuntungan paling tinggi baginya. Ada tiga pilihan bagi peternak dalam usaha peternakan sapi, yaitu pembibitan, penggemukan, atau kombinasi pembibitan dan penggemukan. Hadi dan Ilham (2000) telah menganalisis usaha pembibitan di daerah pertanian intensif berdasarkan bangsa induk sapi, yaitu PO dan PFH yang dikawinkan secara IB dengan semen Simmental, serta usaha penggemukan sapi bakalan PO dan Peranakan Simmental.

Hasil analisis (Tabel 1) menunjukkan bahwa usaha pembibitan dengan meng-gunakan induk PFH dan semen Simmental selama 8 tahun memberikan keuntungan dengan "Net Present Value" (NPV) sekitar Rp 0,10 juta dan "Benefit-Cost Ratio" (BCR) 1,003 pada tingkat bunga bank 18%/tahun. Ini berarti bahwa usaha pembibitan dengan menggunakan induk PFH dan semen Simmental secara finansial menguntungkan peternak, walaupun ke-untungan tersebut relatif kecil. Sebalik-nya, usaha pembibitan dengan meng-gunakan induk PO dan semen Simmental menimbulkan kerugian cukup besar dengan NPV sekitar - Rp 18,80 juta dan

(5)

BCR 0,73, walaupun tidak dikenakan bunga bank. Ini berarti bahwa usaha pembibitan dengan menggunakan semen Simmental tidak selalu menguntungkan peternak, tergantung pada induk yang digunakan.

Hasil analisis usaha penggemukan (Tabel 1) memberikan gambaran bahwa usaha penggemukan dengan meng-gunakan sapi bakalan hasil persilangan antara induk PO dan semen Simmental menghasilkan NPV Rp 15 juta dan BCR 1,15, sedangkan dengan menggunakan sapi bakalan hasil persilangan antara induk PFH dan semen Simmental diperoleh NPV Rp 17,80 juta dengan BCR 1,17 pada tingkat bunga bank 18%/tahun. Ini menunjukkan bahwa usaha penggemukan sapi tersebut secara finansial sangat menguntungkan peternak. Usaha peng-gemukan sapi bakalan hasil persilangan antara induk PFH dan semen Simmental memberikan keuntungan lebih besar dibanding penggemukan sapi bakalan hasil persilangan antara induk PO dan semen Simmental. Hal ini karena sapi peranakan Simmental dengan induk PFH mempunyai pertambahan bobot badan harian jauh lebih tinggi dibanding peranakan Simmental dengan induk PO.

Berdasarkan analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa usaha pembibitan sapi potong secara finansial memberikan keuntungan jauh lebih kecil dibanding usaha penggemukan. Hasil penelitian di beberapa propinsi juga memberikan kesimpulan serupa, bahwa BCR untuk usaha penggemukan adalah 1,63 − 1,72 (Direktorat Jenderal Peternakan, 1995) dan 1,10−1,60 (Adnyana et al., 1996),

jumlah besar pada awal pemeliharaan (Tabel 3).

PERMASALAHAN DAN

PELUANG PENGEMBANGAN

USAHA PEMBIBITAN

Permasalahan

Usaha pembibitan sapi potong dapat dilakukan oleh peternakan rakyat, pemerintah dan perusahaan swasta atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Permintaan yang tinggi akan sapi bibit dan sapi bakalan hingga saat ini belum dapat dipenuhi oleh usaha pembibitan sapi potong di dalam negeri. Hal ini tercermin pada impor sapi bakalan dan daging sapi beku yang cenderung makin besar serta harga sapi bibit dan sapi bakalan di dalam negeri yang makin tinggi (Hadi et al., 1999). Lambatnya perkembangan usaha pembibitan disebabkan oleh beberapa masalah sebagai berikut.

Usaha pembibitan rakyat

Usaha pembibitan rakyat dapat dilakukan secara intensif di sekitar daerah pertanian dengan sistem dikandangkan seperti di Lampung, Jawa, Nusa Tenggara, dan Sulawesi. Selain itu, usaha pem-bibitan rakyat dapat juga dilakukan secara ekstensif yang mengandalkan basis

Tabel 1. Hasil analisis kelayakan finansial usaha pembibitan dan

penggemukan sapi selama 8 tahun, kasus di Jawa Tengah, 20001.

Uraian NPV (Rp) BCR Usaha pembibitan (3 ekor induk selama 8 tahun)

Induk PFH >< semen Simmental di Wonosobo 104.979 1,003 Induk PO >< semen Simmental di Grobogan −18.784.850 0,730 Usaha penggemukan (3 ekor sapi bakalan selama 8 tahun)

Peranakan : Induk PFH >< semen Simmental di 17.809.694 1,170 Wonosobo

Peranakan : Induk PO >< semen Simmental di Grobogan 15.032.951 1,150

1 Untuk menghitung NPV dan BCR digunakan tingkat bunga bank 18%/tahun, kecuali untuk

pembibitan Simmental >< PO yang tanpa bunga karena semua NPV setiap tahunnya negatif kecuali pada tahun terakhir.

Sumber: Hadi dan Ilham (2000).

Tabel 2. Struktur biaya usaha pembibitan sapi potong selama 8 tahun, kasus di Jawa Tengah, 2000.

Uraian Biaya (Rp)1 %

Investasi:

Kandang 1.200.000 2,61 Bibit/induk (3 ekor umur 1 tahun) 9.000.000 19,59

Biaya operasional Untuk induk Hijauan 13.140.000 28,60 Konsentrat 10.161.600 22,12 Obat dan IB 1.440.000 3,13 Untuk anak Konsentrat 1.134.000 2,47 Obat 270.000 0,59 Tenaga kerja 9.600.000 20,89 Jumlah 45.945.600 100

1 Merupakan rata-rata induk PO dan PFH dengan semen Simmental.

Sumber: Hadi dan Ilham (2000).

sedangkan untuk pembibitan adalah 1,62 (Direktorat Jenderal Peternakan, 1995).

Peternak yang rasional secara ekonomi akan memilih usaha peng-gemukan dibanding pembibitan. Namun, kebutuhan akan modal yang jauh lebih besar untuk membeli sapi bakalan pada setiap periode pemeliharaan merupakan kendala yang perlu mendapat perhatian. Hadi dan Ilham (2000) menunjukkan bahwa modal utama untuk usaha pem-bibitan adalah untuk membeli pakan yang tidak harus dikeluarkan dalam jumlah besar pada awal pemeliharaan (Tabel 2), sedangkan untuk usaha penggemukan modal utama adalah untuk membeli sapi bakalan yang harus dikeluarkan dalam

(6)

pakannya pada padang penggembalaan, seperti di sebagian daerah Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi, dan Aceh.

Di daerah-daerah sentra produksi pertanian, usaha pembibitan sapi lokal cenderung menurun. Hadi dan Ilham (2000) dan Hadi et al. (2002) menyebutkan ada tiga faktor yang menjadi penyebab-nya. Pertama, sebagian petani memelihara sapi sebagai ternak kerja untuk menarik bajak, garu, atau gerobak. Namun peng-gunaan tenaga ternak ini cenderung menurun sejalan dengan makin tingginya intensitas tanam, adanya keharusan menerapkan pola tanam serentak pada komoditas pangan yang membutuhkan ketepatan waktu olah tanah, dan me-ningkatnya penggunaan traktor terutama di daerah beririgasi teknis. Kedua, di sebagian besar daerah telah ada sistem perkawinan dengan teknologi IB, namun kegiatan ini belum sepenuhnya berhasil. Di Grobogan misalnya, tingkat ke-berhasilan IB hanya sekitar 68%. Ketiga, jumlah tenaga kerja keluarga peternak sangat terbatas (1−2 orang dewasa) dan kemampuan peternak membayar tenaga kerja upahan sangat rendah. Di samping itu, usaha memelihara ternak merupakan usaha sambilan di samping usaha tani utama tanaman pangan. Hal ini me-nyebabkan kemampuan peternak mencari pakan (terutama rumput) sangat terbatas, sehingga jumlah ternak yang dipelihara menjadi terbatas.

Untuk pembibitan ekstensif, yang pakannya mengandalkan padang peng-gembalaan umum, ada dua masalah utama

yang dihadapi (Hadi dan Ilham, 2000; Hadi

et al., 2002). Pertama, luas areal padang

penggembalaan umum cenderung me-nurun karena konversi ke penggunaan hutan tanaman industri dan lahan pertanian lain sehingga daya tampung ternak menurun atau terjadi "overgrazing" yang menyebabkan kualitas padang penggembalaan menurun. Belum adanya kepastian hukum mengenai keberadaan padang penggembalaan dalam tata guna lahan menyebabkan mudahnya terjadi konversi. Berbagai upaya telah dilakukan namun hingga kini belum berhasil. Kedua, adanya kasus-kasus penyakit "brucella" yang menyebabkan sistem reproduksi sapi induk terganggu. Dengan sistem pemeliharaan ekstensif, pengendalian penyakit ini sulit dilakukan.

Usaha pembibitan pemerintah

Pembibitan sapi potong oleh pemerintah selama ini dilakukan oleh Unit Pelaksana Teknis (UPT) Balai Pembibitan Ternak dan Hijauan Makanan Ternak. Dari delapan UPT yang ada, tujuh UPT menangani pembibitan sapi potong, namun kemampuannya untuk mem-produksi dan mendistribusikan bibit masih terbatas (Hadi dan Ilham, 2000). Untuk meningkatkan kinerja UPT diperlukan beberapa perubahan, terutama yang berkaitan dengan aturan cara men-distribusikan ternak hasil produksi UPT. Melalui kerja sama dengan masyarakat di sekitar UPT, baik dalam usaha pembibitan maupun penggemukan dengan sistem

bagi hasil, diharapkan upaya ini mampu membantu masyarakat lokal serta me-ningkatkan produksi bibit dan daging sapi.

Beberapa penyakit sapi, termasuk "brucella", sering dijumpai pada usaha pembibitan pemerintah. Penyakit ini dapat menurunkan reproduktivitas sapi induk di pusat pembibitan. Pemberantasan pe-nyakit tersebut sulit dilakukan karena adanya kontak ternak di pusat pembibitan dengan ternak rakyat yang digembalakan di sekitar areal pembibitan.

Selain UPT Pembibitan, juga terdapat UPT Balai Inseminasi Buatan (BIB) yang bertugas memproduksi dan mendis-tribusikan semen beku. Perubahan permintaan akan jenis ternak seperti Peranakan Simmental, Charolise, dan Hereford hendaknya dapat diantisipasi oleh BIB melalui pengadaan pejantan bangsa sapi yang diminati peternak. Di Wonosobo misalnya, semen Charolise pernah diintroduksikan ke daerah tersebut, namun setelah minat peternak muncul, persediaan semen bangsa sapi tersebut tidak ada lagi (Hadi dan Ilham, 2000).

Untuk menghasilkan turunan yang baik, maka penggunaan induk juga diperlukan. Di Wonosobo, misalnya, penggunaan induk PFH menghasilkan keturunan yang lebih baik dan disukai peternak (Hadi dan Ilham, 2000). Kelebihan induk PFH adalah mampu menghasilkan susu yang cukup selama periode prasapih. Namun karena PFH merupakan sapi penghasil susu, maka perkawinan induk PFH dengan pejantan sapi potong (Simmental atau sederajad) sebaiknya dilakukan mendekati fase "culling", tetapi produksi susu induk masih cukup untuk memenuhi kebutuhan pedet selama periode prasapih. Anak yang lahir baik jantan maupun betina digunakan sebagai bakalan sapi potong, Di daerah-daerah yang tidak terdapat induk PFH dapat digunakan induk bangsa sapi lain yang mampu memproduksi susu untuk men-cukupi kebutuhan pedet selama periode prasapih. Kemampuan menghasilkan keturunan yang baik merupakan per-paduan antara bangsa sapi dan pakan yang diberikan (kuantitas dan kualitas).

Usaha pembibitan swasta

Selama ini, pihak swasta lebih tertarik untuk menanamkan modalnya pada usaha penggemukan daripada pembibitan,

Tabel 3. Struktur biaya usaha penggemukan sapi potong selama 8 tahun menurut peranakan bangsa sapi, kasus di Jawa Tengah, 2000.

Uraian >< semen SimmentalPeranakan induk PO Peranakan induk PFH >< semen Simmental di Grobogan (%) di Wonosobo (%) Biaya investasi kandang 0,61 0,78 Biaya operasional

Sapi bakalan (3 ekor) 73,55 77,02 Pakan Konsentrat 7,94 10,73 Hijauan 9,93 7,41 Obat-obatan 1,11 0,21 Tenaga kerja 5,88 2,55 Peralatan, dll 0,98 1,30 Jumlah 100 100 Sumber: Hadi dan Ilham (2000).

(7)

terbukti dari cepat berkembangnya usaha "feedlot" sejak tahun 1991. Hal ini disebabkan antara lain usaha peng-gemukan memiliki risiko yang lebih kecil, perputaran modal lebih cepat, dan waktu pengembalian modal ("payback period") lebih singkat dibanding usaha pembibitan (Hadi dan Ilham, 2000). Insentif berupa subsidi bunga bank untuk kredit investasi pembibitan sapi kini tidak lagi tersedia karena adanya penyalahgunaan kredit.

Peraturan tentang penguasaan lahan dengan status Hak Guna Usaha (HGU) yang hanya berlaku 25−30 tahun dalam satu kali pengurusan merupakan masalah bagi usaha pembibitan sapi potong, karena usaha ini membutuhkan waktu lama untuk dapat menghasilkan keuntungan yang memadai (Hadi dan Ilham, 2000). Di samping itu, proses pengurusan peng-gunaan lahan dan ijin usaha biasanya membutuhkan waktu yang cukup lama. Tidak adanya kepastian dalam penguasa-an lahpenguasa-an ini akpenguasa-an menghambat investor untuk menanamkan modalnya dalam usaha pembibitan sapi potong.

Peluang dan Strategi

Pengembangan

Kelayakan usaha

Dari hasil analisis biaya dan pendapatan diketahui bahwa usaha pembibitan dengan menggunakan induk PO dan semen Simmental sangat tidak menguntungkan walaupun tanpa bunga modal. Sebaliknya, dengan menggunakan semen Simmental dan induk PFH masih menguntungkan walaupun dikenakan bunga modal 18%/tahun. Namun, usaha penggemukan memberikan keuntungan finansial jauh lebih besar dalam waktu lebih pendek, sehingga usaha ini lebih menarik bagi investor dibanding usaha pembibitan. Di daerah-daerah yang sulit memperoleh induk PFH dapat digunakan induk bangsa sapi lain yang produksi susunya dapat memenuhi kebutuhan anaknya selama periode prasapih. Salah satu upaya untuk itu adalah meningkatkan kualitas pakan induk pada saat bunting tua dan selama menyusui anaknya.

Namun di daerah Wonosobo, cukup banyak peternak yang melakukan usaha pembibitan, terutama yang menggunakan induk PFH dan semen Simmental. Hal ini disebabkan kebutuhan modal awal pada

usaha pembibitan lebih sedikit dibanding usaha penggemukan. Selama jangka waktu 8 tahun usaha pembibitan, pembelian induk hanya dilakukan sekali, sedangkan pada usaha penggemukan pembelian sapi bakalan dilakukan setiap awal periode penggemukan (4−6 bulan). Namun demikian, usaha pembibitan dengan menggunakan induk PFH (yang sudah mendekati fase "culling") dan semen Simmental atau sederajad perlu di-kembangkan sehingga anaknya kelak mempunyai pertambahan bobot badan per hari di atas 1 kg (Hadi dan Ilham, 2000). Hasil penelitian Subiharta et al. (2000) menunjukkan bahwa dengan teknologi "flushing" melalui pemberian pakan konsentrat pada induk sapi bunting berumur 8 bulan sampai pedet berumur 2−3 bulan, bobot lahir dapat ditingkatkan dari 28 menjadi 32 kg untuk pedet betina dan dari 30 menjadi 32 kg untuk pedet jantan. Waktu kawin kembali setelah melahirkan dapat diperpendek dari 4,50 bulan menjadi 3,60 bulan dan angka S/C dapat diperkecil dari 2,60 menjadi 2,50. Teknologi ini memberikan kemungkinan bagi peternak pembibitan untuk mem-peroleh keuntungan lebih besar.

Lokasi pengembangan

Pengembangan usaha pembibitan sapi potong perlu mempertimbangkan lokasi yang tepat. Dalam jangka pendek, pembibitan dapat dilakukan di daerah pedesaan yang mempunyai fasilitas transportasi cukup baik agar pengangkut-an pedet dari lokasi pembibitpengangkut-an ke lokasi penggemukan bisa lebih cepat dan murah. Pada umumnya lokasi penggemukan, baik oleh peternak rakyat maupun perusahaan swasta, berada di pinggiran kota untuk mendekati daerah konsumen ("consumer oriented") seperti Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi.

Lokasi pembibitan oleh rakyat perlu dipusatkan di Pulau Jawa. Di samping fasilitas transportasi yang baik, ke-tersediaan pakan berupa hijauan dan limbah pertanian juga relatif banyak karena Pulau Jawa merupakan daerah sentra produksi tanaman pangan dan sayuran. Demikian pula bahan-bahan untuk pakan konsentrat cukup tersedia seperti dedak/bekatul, ampas tahu, ampas ubi kayu, dan ubi kayu. Pernyataan di atas sejalan dengan pendapat Ilham

(1995) bahwa usaha pembibitan dan penyediaan sapi bakalan lebih dikon-sentrasikan di daerah pedesaan, sedang-kan untuk penggemusedang-kan lebih me-nguntungkan dilakukan di pinggiran kota. Dengan demikian, pemanfaatan pakan menjadi lebih optimal, penyusutan bobot badan sapi potong selama transportasi menuju pusat konsumen dapat diperkecil, dan biaya pengangkutan relatif murah. Berdasarkan ketersediaan pakan, daerah-daerah di Jawa Tengah yang berpotensi untuk pusat pembibitan adalah Pati, Rembang, Blora, dan Grobogan, sedang-kan yang berpotensi sebagai pusat penggemukan adalah Magelang, Boyolali, dan Wonosobo. Di Jawa Timur, daerah Tuban, Bojonegoro, Lamongan, dan Probolinggo berpotensi untuk lokasi pembibitan, sedangkan daerah Magetan dan Malang berpotensi untuk peng-gemukan (Hadi et al., 2002).

Dalam jangka panjang, pengembang-an usaha di luar Pulau Jawa dapat dipertimbangkan, terutama di daerah yang transportasinya relatif mudah dan tersedia lahan untuk menanam rumput dalam skala luas atau tersedia padang penggembalaan ternak. Sistem penggembalaan ("pasture") perlu dilihat kemungkinannya karena pakan untuk usaha pembibitan lebih banyak bersumber dari hijauan daripada konsentrat.

Harga sapi bakalan hasil

pembibitan lokal versus impor

Selama ini, pengusaha penggemukan sapi lebih memilih mengimpor sapi bakalan dari Australia daripada membeli sapi bakalan hasil pembibitan di dalam negeri. Alasannya antara lain adalah: 1) sapi bakalan impor lebih murah daripada sapi bakalan dalam negeri, 2) untuk mem-peroleh sapi bakalan dalam jumlah besar, cara impor lebih cepat dibanding pe-ngadaan dari dalam negeri, dan 3) waktu dan biaya transportasi dari Australia (Darwin) lebih murah daripada dari Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Selatan (Hadi et al., 1999; Hadi et al., 2002).

Penggunaan sapi bakalan dari Jawa dengan bangsa sapi peranakan Simmental atau sederajad, mungkin dapat mengatasi permasalahan yang ada. Harga ternak hidup peranakan Simmental di Wonosobo adalah Rp 10.500 kg, sedangkan sapi impor dari Australia Rp 10.250/kg bobot hidup

(8)

Pengintegrasian usaha

pembibitan dan penggemukan

Pengintegrasian usaha pembibitan dan penggemukan ke dalam satu jaringan usaha yang solid ("Integrated Breeding -Fattening Farming System") sangat diperlukan karena keduanya secara fungsional tidak terpisahkan. Dalam hal ini, usaha pembibitan merupakan usaha hulu pemasok sapi bakalan bagi usaha penggemukan. Di Jawa Tengah misalnya, usaha pembibitan di Wonosobo di-integrasikan dengan usaha pembibitan di daerah yang sama. Di Grobogan, usaha pembibitan berperan sebagai pemasok sapi bakalan bagi usaha penggemukan di Wonosobo (Hadi dan Ilham, 2000). Pola tersebut dapat diterapkan di daerah-daerah lain agar industri sapi potong lebih efisien (Hadi et al., 1999b).

Efisiensi biaya pada usaha

penggemukan dan pembibitan

komersial

Masalah utama usaha penggemukan komersial adalah tingginya biaya tetap ("fixed cost") untuk manajemen dan lain-lain. Untuk menekan biaya diperlukan sapi bakalan yang harganya relatif murah te-tapi mempunyai potensi ADG sangat tinggi. Selama ini, perusahaan swasta mengimpor sapi bakalan dari Australia karena dinilai lebih murah dibanding mendatangkan sapi lokal jenis PO dari Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat atau daerah lainnya. Jika pembibitan dapat dilakukan di Jawa yang sekaligus merupakan daerah sentra konsumen daging sapi di Indonesia, dengan meng-gunakan bangsa sapi dengan ADG cukup tinggi seperti Peranakan Simmental atau sederajad, maka peternak kecil berpeluang untuk memasok sapi bakalan secara lebih efisien bagi usaha penggemukan.

Teknologi pembibitan mungkin tidak dipengaruhi skala usaha (bersifat "scale neutral"), tetapi meningkatnya skala akan menghemat biaya usaha ("size economies"). Kebutuhan pakan dan biaya IB per ekor akan sama pada skala kecil dan besar, tetapi pada skala besar biaya operasional lebih efisien. Total biaya tetap akan makin besar dengan meningkat-nya skala usaha, tetapi dengan jumlah induk yang makin besar, biaya manajemen

untuk memproduksi per ekor pedet akan makin kecil.

KESIMPULAN DAN

IMPLIKASI KEBIJAKAN

Kesimpulan

1) Usaha pemeliharaan sapi potong rakyat mempunyai karakteristik umum sebagai berikut: a) tujuan usaha adalah pembibitan atau penggemukan, b) skala usaha sangat kecil, yaitu 1−3 ekor/peternak, c) sistem reproduksi belum efisien, d) mulai tampak adanya pergeseran pemilihan bangsa sapi dari yang kurang produktif ke yang lebih produktif, dan e) cara pemeliharaan ternak di daerah pertanian intensif umumnya dikandangkan dengan teknik pemeliharaan sederhana, se-dangkan di daerah pertanian ekstensif dilepas di padang penggembalaan. 2) Usaha pembibitan sapi potong secara

ekonomi menguntungkan jika peternak menggunakan semen Simmental atau sederajad dan induk PFH, tetapi kurang prospektif dengan meng-gunakan induk PO jika untuk tujuan komersial. Namun pembibitan dengan menggunakan induk PO (SO dan Bali di daerah-daerah tertentu) dengan cara tradisional serta tidak untuk usaha komersial sampai saat ini masih mampu bertahan dan sangat dominan 3) Di masa datang, permintaan terhadap

sapi bakalan hasil persilangan dengan menggunakan semen sapi unggul diperkirakan akan meningkat cepat, karena bobot badan anak sapi hasil persilangan dapat tumbuh lebih cepat. 4) Beberapa masalah dalam pengem-bangan usaha pembibitan adalah: a) di daerah sentra produksi pertanian usaha pembibitan menurun karena berkurangnya permintaan tenaga kerja ternak untuk mengolah tanah sebagai akibat dari makin tingginya intensitas tanam terutama padi, b) upaya IB masih kekurangan tenaga inseminator, semen bangsa sapi unggul dan fasilitas IB, c) skala usaha kecil karena tenaga kerja keluarga terbatas, d) areal padang penggembalaan makin sempit karena terjadi konversi ke penggunaan lain, e) adanya penyakit reproduksi pada sistem pembibitan ekstensif, f) UPT terkait belum mampu memproduksi (nilai tukar Rp 8.000 per dolar AS) pada

bulan Maret 2000 (Hadi dan Ilham, 2000). Jika rupiah mengalami depresiasi lagi, misalnya menjadi sekitar Rp 10.000 per dolar AS seperti yang terjadi selama semester kedua tahun 2001, harga sapi bakalan dari Australia menjadi sekitar Rp12.800/kg. Dalam kondisi demikian, impor akan turun dan harga sapi bakalan dalam negeri akan terangkat. Pada tahun 2002, dengan nilai tukar rupiah sekitar Rp 9.500 per dolar AS, diharapkan volume impor akan meningkat kembali. Namun, dalam jangka pendek, produksi sapi bakalan peranakan Simmental dan se-derajad masih terbatas karena peng-gunaan semen bangsa sapi tersebut belum lama diintroduksi dan ketersediaan se-mennya juga terbatas.

Diferensiasi peternak rakyat

dan swasta dalam usaha

pembibitan dan penggemukan

Apabila pembibitan sapi potong oleh peternak kecil lebih prospektif, pelibatan pihak swasta untuk melakukan usaha serupa tidak perlu dilakukan. Usaha pembibitan bangsa sapi yang mempunyai ADG tinggi, seperti Peranakan Simmen-tal dan sederajad, bisa segera dikem-bangkan. Pedagang juga menyukai bangsa sapi ini karena secara finansial lebih menguntungkan. Ini berarti bahwa sapi bakalan hasil pembibitan dalam negeri cukup kompetitif dan prospektif di pasar domestik. Diharapkan kondisi ini dapat menarik pihak swasta dalam bisnis pembibitan sapi potong (Hadi dan Ilham, 2000).

Usaha penggemukan juga tidak perlu bergantung pada swasta, karena peternak telah mampu melakukan usaha serupa dengan menggunakan sapi bakalan unggul. ADG ternak dapat ditingkatkan dengan pemberian pakan yang memadai. Namun, lokasi penggemukan hendak-nya berada di daerah sentra produksi tanaman pangan dan sayuran serta hasil sampingan agroindustri (tahu, tapioka dan lain-lain) dengan mengadopsi sistem usaha tani tanaman dan ternak secara terpadu ("Integrated Crop-Livestock Farming System"). Penanaman jenis rumput unggul seperti rumput raja dapat dilakukan pada pematang sawah atau lahan lainnya (Hadi dan Ilham, 2000; Hadi

(9)

dan mendistribusikan ternak dalam jumlah yang memadai, dan kurang responsif terhadap meningkatnya minat pe-ternak akan semen sapi unggul jenis tertentu, g) pihak swasta belum ada yang tertarik pada usaha pembibitan karena kurang me-nguntungkan dibanding usaha penggemukan.

Implikasi Kebijaksanaan

Dalam jangka pendek, pengembang-an pembibitpengembang-an perlu diprioritaskpengembang-an di Pulau Jawa. Dalam jangka panjang, usaha pembibitan perlu diarahkan ke daerah-daerah luar Jawa yang mempunyai cukup sumber pakan, terdapat lahan cukup luas untuk membangun "pasture" dan mem-punyai prasarana transportasi cukup baik.

Beberapa langkah ke depan yang perlu ditempuh antara lain adalah : 1) Mengatur perkawinan melalui teknik

IB dengan beberapa alternatif kombinasi bangsa sapi. Alternatif I: menggunakan semen bangsa sapi potong unggul (Simmental dan sederajad) dan induk PFH yang sudah mencapai fase "culling", khususnya di daerah-daerah pengembangan sapi perah. Alternatif II: menggunakan semen bangsa sapi potong unggul (Simmental dan sederajad) dan induk bangsa sapi lain yang mempunyai kemampuan cukup besar dalam menghasilkan susu khususnya di daerah-daerah dengan populasi induk sapi PFH terbatas. Alternatif III: menggunakan induk PO dengan semen PO untuk perkawinan pertama dan semen Simmental dan sederajad untuk perkawinan kedua dan seterusnya.

2) Memberikan pelayanan IB sebaik mungkin kepada peternak melalui peningkatan keterampilan petugas IB, penyediaan fasilitas kerja, dan penyediaan semen sapi unggul yang diminati peternak. Penyuluhan tentang tanda-tanda berahi sapi induk, pemberian pakan dan perawatan perlu diteruskan. Kinerja UPT pembibitan dan UPT IB dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat peternak juga perlu ditingkatkan. 3) Memperpanjang HGU (75−100 tahun),

serta memberikan keringanan bunga bank, penundaan cicilan hutang, pembebasan sementara pajak selama usaha belum berproduksi dan kemudahan ijin usaha kepada investor. 4) Mengintegrasikan daerah pengem-bangan pembibitan dengan daerah penggemukan dengan memperhatikan ketersediaan pakan.

DAFTAR PUSTAKA

Adnyana, M.O., M. Gunawan, N. Ilham, Saktyanu K. Darmoredjo, K. Kariyasa, I. Sadikin, A. Djulin, K.M. Noekman, dan A.M. Hurun. 1996. Prospek dan Kendala Agribisnis Peternakan dalam Era Perdagangan Bebas. Laporan Penelitian, Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. 314 hlm. Biro Pusat Statistik. 1997. Survai Sosial Ekonomi

Nasional (SUSENAS 1996). Biro Pusat Statistik. Jakarta. 232 hlm.

Direktorat Jenderal Peternakan. 1995. Iden-tifikasi dan Kajian Agribisnis Peternakan di 13 Propinsi di Indonesia: Vol. III Buku I, III, dan IV. Nexus Indoconsultama. Jakarta. 467 hlm.

Hadi, P.U., A. Thahar, N. Ilham, and B. Winarso. 2002. A Progress report summary: analytic framework to facilitate development of Indonesia’s beef industry. Paper Presented at the “Routine Seminar”. Center for Agro Socio Economic Research and Develop-ment. Bogor, 8 Maret 2002. 24 p. Hadi, P.U. dan N. Ilham. 2000. Peluang

pengembangan usaha pembibitan ternak sapi potong di Indonesia dalam rangka swa-sembada daging 2005. Makalah dipresentasi-kan dalam Pertemuan Teknis Penyediaan Bibit Nasional dan Revitalisasi UPT T.A. 2000. Direktorat Perbibitan, Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan, Jakarta, 11−12 Juli 2000. 22 hlm.

Hadi, P.U. dan T.B. Purwantini. 1991a. Kajian Pola Produksi Pertanian Lahan Kering di

Kabupaten Bima - Nusa Tenggara Barat. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. 121 hlm. Hadi, P.U. dan T.B. Purwantini. 1991b. Kajian Pola Produksi Pertanian Lahan Kering di Kabupaten Sumba Timur - Nusa Tenggara Timur. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. 239 hlm.

Hadi, P.U., H.P. Saliem, dan N. Ilham. 1999. Pengkajian konsumsi daging sapi dan kebutuhan impor daging sapi Dalam Sudaryanto, T., IW. Rusastra, dan E. Djamal (Ed.). Analisis dan Perspektif Kebijaksana-an PembKebijaksana-angunKebijaksana-an PertKebijaksana-aniKebijaksana-an Pascakrisis Ekonomi. Monograph Series. Pusat Pe-nelitian Sosial Ekonomi Pertanian (20): 289−312.

Hadi, P.U., D. Vincent, and N. Ilham. 1999a. The impact of the economic crisis on Indonesia’s beef sector In Simatupang, P., S. Pasaribu, S. Bahri, and R. Stringer (Eds.). Indonesia’s Economic Crisis: Effects on Agricultural and Policy Responses. Published for CASER by Centre for International Economic Studies, University of Adelaide, Australia. p. 303−331.

Hadi, P.U., D. Vincent, and N. Ilham. 1999b. A Framework for Policy Analysis of the Indonesian Beef Industry. A Collaborative Research Between Center for Agro Socio-economic Research in Bogor and Centre for International Economics in Canberra. 121 p.

Ilham, N. 1995. Strategi pengembangan ternak ruminansia di Indonesia ditinjau dari segi potensi sumber daya pakan dan lahan. Forum Agro Ekonomi 13(12): 33−43.

Lebdosukoyo, S., S. Priyono, R. Utomo, dan S. Reksohadiprodjo. 1979. Status gizi sapi-sapi induk di Playen dan Cangkringan D.I. Yogyakarta. Prosiding Seminar Penelitian dan Penunjang Pengembangan Peternakan. Lembaga Penelitian Peternakan, Bogor. hlm. 171−175.

Prasetyo, T. 1994. Perbaikan Manajemen dan Teknologi Penggemukan Sapi di Lahan Kering DAS Jratunseluna dan Brantas Bagian Hulu. Majalah Ilmiah Universitas Semarang Edisi Khusus. hlm. 16−23.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. 1992. Penelitian Pengembangan Teknologi Peternakan di Daerah Padat Penduduk (Jawa). P4N Pusat Penelitian dan Pengem-bangan Peternakan, Bogor. 99 hlm. Roy, J.H.B. 1959. The Calf : Its Management,

Feeding and Health. 2nd. Farmer and

Stock-Breeder Publication, London. 126 p. Subiharta, U. Nuschati, B. Utomo, D. Pramono,

S. Prawirodigdo, T. Prasetyo, A. Musofie, Ernawati, J. Purmiyanto, dan Suharno. 2000. Laporan Hasil Kegiatan Pengkajian Sistem Usaha Tani Pertanian Sapi Potong di Daerah Lahan Kering. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Ungaran. Semarang. 24 hlm. Sugeng, Y.B. 1998. Sapi Potong: Pemeliharaan,

(10)

Analisis Penggemukan. Penebar Swadaya. Jakarta. 32 hlm.

Talib, C. 1990. Produktivitas pedet peranakan Ongole dan silangannya dengan Brahman dan Limousin, pertumbuhan pada umur 120 hari sampai umur 205 hari. Ilmu dan Peternakan 4(3): 315−318.

Talib, C. 1991. Produktivitas pedet peranakan Ongole dan silangannya dengan Brahman dan Limousin, pertumbuhan pada umur 205 hari sampai 365 hari. Ilmu dan Peternakan 4(4): 384−388.

Toelihere, M.R. 1981. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Angkara. Bandung. 213 hlm. Toelihere, M.R., T.L. Yusuf, dan M.B. Taurin.

1980. Inseminasi Buatan. Ed.6. Departemen Reproduksi, Institut Pertanian Bogor. 81 hlm.

Usri, N., M. Tabrani, dan M.P. Rukmana. 1979. Perbandingan berat badan sapi persilangan antara PO dengan Brahman dan Persilangan PO dengan Charolise. Prosiding Seminar Penelitian dan Penunjang Pengembangan

Peternakan. Badan Litbang Pertanian, Bogor. hlm. 321−323.

Wiguna, M.A., Soeharto P.R., dan Soekoharto. 1982. Pengaruh Hasil Keturunan Sapi Inseminasi Buatan (IB) terhadap Per-kembangan Peternakan sapi dan Pendapatan Petani Dalam Proceedings Seminar

"Penelitian Peternakan". Cisarua 8−11 Februari. Pusat Penelitian dan Pengembang-an PeternakPengembang-an, Bogor. hlm. 52−57.

Gambar

Tabel 2. Struktur biaya usaha pembibitan sapi potong selama 8 tahun, kasus di Jawa Tengah, 2000.

Referensi

Dokumen terkait

Program peningkatan mutu guru dibutuhkan oleh para guru SMP se- Kabupaten Banyumas. Agar efektif, program peningkatan mutu guru hendaknya berbasis pada kebutuhan

Seminar Nasional Tahunan VI Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 25 Juli 2009. Semnaskan_UGM/Daftar Isi xii STRATEGI PENINGKATAN HARGA RUMPUT LAUT

Machasin, Menyelami Kebebasan Manusia: Telaah Kritis Terhadap Konsepsi Al- Qur‟an, (Cet.. Merujuk pada hakekat khalifah dan konsep amanah yang dibebankan kepada

“PENGEMBANGAN SISTEM KEAMANAN BRANKAS MENGGUNAKAN NFC DENGAN OTENTIKASI PASSWORD VIA SMS DILENGKAPI KAMERA CCTV (HARDWARE)” beserta seluruh isinya adalah karya saya

Dengan menggunakan metode ini memungkinkan untuk dilakukan suatu simulasi dari Dengan menggunakan metode ini memungkinkan untuk dilakukan suatu simulasi dari beberapa

Dari uraian di atas, penulis berkesimpulan bahwa peran PPTK dalam pengadaan barang/jasa sesuai dengan PERMENDAGRI nomor 13 tahun 2006 adalah menyiapkan dokumen

Berdasarkan dari hasil penelitian yang telah dilakukan: 1).Dengan pemberian reward dan punishment akan mendorong karywan untuk dapat melaksanakan tugas