• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pandangan Hidup Urang Sunda Ungkapan Tra

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pandangan Hidup Urang Sunda Ungkapan Tra"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Pandangan Hidup Urang Sunda: Ungkapan Tradisional sebagai Unsur Kearifan Lokal Budaya Daerah

Oleh Silvia Rahmelia silviarahmelia@gmail.com

Abstrak

Pada hakikatnya setiap masyarakat akan selalu mengalami perubahan, namun salah satu akar kehidupan yang hampir dikatakan tidak mengalami perubahan tetapi sedikit terkikis oleh arus globalisasi dan moderniasai ialah pandangan hidup dalam suatu budaya daerah. Pola hidup yang tertuang dalam keberadaan bahasa yang mewakili jati diri dan pandangan hidup semestinya dijaga sebagai warisan budaya yang sarat nilai dan berfungsi sebagai refleksi dari setiap tingkah laku. Sebab merujuk pada hakikat individu sebagai mahluk sosial dalam berbagai ruang lingkup harus bertitik tolak pada nilai moral dalam konteks agama, kearifan lokal daerah, serta nilai-nilai universal yang telah melembaga. Salah satu wujud kelestarian tersebut adalah keberadaan ungkapan tradisional yang menjadi kearifan lokal pada kehidupan masyarakat Sunda.

Pendahuluan

(2)

baru. Tafsir baru ini akan mencerahkan dan memberi parameter terhadap keberhasilan suatu upaya revitalisasi kebudayaan. Seperti halnya sejauh mana ayat budaya Sunda “caina hérang laukna beunang” terinternalisasi dalam pola pikir masyarakat Sunda. Atau bagaimana undak usuk basa Sunda dapat terus hidup dan dilestarikan dalam proses belajar mengajar di persekolahan.

Etnopedagogi sebagai praktik pendekatan berbasis kearifan lokal dalam pendidikan memandang pengetahuan atau kearifan lokal ini sebagai sumber inovasi dan keterampilan yang dapat diberdayakan untuk kesejahteraan masyarakat. Menurut Alwasilah (dalam Zuriah, 2012, hlm. 171) yang dimaksud kearifan lokal ialah

koleksi fakta, konsep, keyakinan, dan persepsi masyarakat terhadap lingkungan mereka. Ini termasuk cara mengamati dan mengukur lingkungan, memecahkan masalah, dan memvalidasi informasi. Singkatnya, kearifan lokal adalah proses bagaimana pengetahuan dihasilkan, disimpan, diterapkan, dikelola, dan diwariskan.

Mencermati makna kearifan lokal sebagai unsur dari etnopedagogik, dewasa ini kearifan lokal (local wisdom) kerapkali dianggap ketinggalan jaman. Padahal jika ditelaah dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, nilai tradisi yang terkandung dalam kearifan lokal suatu daerah menyentuh persoalan pokok dalam kehidupan individu, kelompok, masyarakat, hingga kehidupan berbangsa dan bernegara.

(3)

ditrunkan oleh leluhur di suatu daerah. Sementara itu Flynn (2005, hlm. 619) mengintisari philosophy as way of life atau kita artikan pandangan hidup, ke dalam latihan spiritual (pandangan Hadot) dan mekanisme dari dalam diri (pandangan Foucault) sebagai unsur norma dan nilai moral.

Norma-norma diciptakan agar mengatur tata laksana hubungan antar manusia di dalam suatu masyarakat. Norma ini dikenal dengan cara (usage), kebiasaan (folkways), tata kelakuan (mores), dan adat istiadat (customs) (Suryani, 2011, hlm. 115). Norma ini merupakan salah satu aspek dari pandangan hidup yang dimiliki oleh setiap kelompok masyarakat. Pandangan hidup menjadi persoalan yang sangat fundamental

Pembahasan

A. Pandangan Hidup sebagai Unsur Kearifan Lokal Budaya Sunda

Arti pandangan hidup suatu bangsa berlaku baik bagi bangsa Indonesia sebagai suatu keseluruhan maupun bagi setiap suku bangsanya. Dalam hal ini, masyarakat Sunda menurut Darmayanti (2016) adalah “kelompok etnis adat terbesar di bagian barat Pulau Jawa. Budaya Sunda berhubungan erat dengan animisme, Hindu-Budha, dan filsafat Islam”. Sunda sebagai kelompok masyarakat budaya yang sudah tua dan mampu bertahan hingga kini kiranya memiliki pandangan hidupnya sendiri dan dapat hidup dalam kemandiriannya di tengah-tengah masyarakat modernis.

Pandangan hidup sendiri menurut Kaelan, 2013, hlm. 51) adalah

(4)

Pola hidup masyarakat adat Sunda yang direpresentasikan oleh masyarakat Kampung Naga contohnya, memiliki karakter sederhana, kebersamaan, dan damai. (Ningrum, 2012, hlm. 49).

“Teu saba, teu soba, teu banda, teu boga, teu weduk, teu bedas, teu gagah, teu pinter” (Satu ungkapan yang menyatakan kerendahan diri, tidak punya pengalaman apa-apa, tidak punya apa-apa-apa, tidak punya kekuatan apa-apa-apa, tidak

gagah, tidak juga pintar)

Cuplikan prinsip hidup di atas merupakan salah satu kearifan lokal yang masih dipegang teguh oleh masyarakat adat Kampung Naga Kabupaten Tasikmalaya Jawa Barat (Sya, 2014, hlm. 90; Ninigrum, 2012, hlm. 50). Pada awalnya sangat dimungkinkan pandangan hidup ini berasal dari kearifan Illahi (perennial wisdom), hasil kontemplasi, ijtihad, proses berpikir kritis, penalaran, dan logika. Anggapan lain tentang latar belakang prinsip atau pedoman hidup orang Sunda ini kemungkinan muncul dari interaksi keseharian yang menghasilkan construct berupa nilai-nilai luhur dan ideal untuk kesejahteraan hidup bermasyarakat.

Eksistensi perilaku yang dibelajarkan dari prinsip hidup yang tertuang dalam tata bahasa menunjukkan komponen filsafat pendidikan yang membaur dalam sistem sosial budaya. Sudaryat (2014, hlm. 120) mengungkapkan

(5)

Keberadaan bahasa yang mewakili jati diri dan pandangan hidup semestinya dijaga sebagai warisan budaya yang sarat nilai dan berfungsi sebagai refleksi dari setiap tingkah laku. Sebab merujuk pada hakikat individu sebagai mahluk sosial dalam berbagai ruang lingkup harus bertitik tolak pada nilai moral dalam konteks agama, kearifan lokal daerah, serta nilai-nilai universal yang telah melembaga. Salah satu wujud kelestarian tersebut adalah keberadaan ungkapan tradisional yang menjadi kearifan lokal pada kehidupan masyarakat Sunda.

B. Ungkapan Tradisional Masyarakat Sunda

Ungkapan tradisional disampaikan oleh penuturnya agar pendengarnya mengetahui mana nilai-nilai yang baik dan mana nilai-nilai yang dianggap tidak baik. Ungkapan atau dalam makna lain diartikan idiomatik jika itu terdiri atas dua atau tiga kata yang dapat memperkuat diksi (pilihan kata) di dalam sebuah tulisan. Berdasarkan tata bahasa, ungkapan idiomatik juga memiliki makna konotatif dan denotatif. Akan tetapi ekspresi idiomatik tradisional khususnya ungkapan tradisional sunda, secara estetis dan fleksibel cenderung memiliki makna yang konotatif.

(6)

1) Ungkapan Hubungan Antara Manusia dengan Sesama Manusia

Hubungan antara manusia dengan sesama manusia dalam masyarakat Sunda dikenal dengan “silih asih, silih asah, dan silih asuh”. Artinya adalah harus saling mengasihi, mengasah atau mengajari, dan mengasuh hingga tercipta suasana kehidupan masyarakat yang diwarnai keakraban, kerukunan, kedamaian, ketentraman, dan kekeluargaan. Sikap saling menyayangi atau memperhatikan kebutuhan direpresentasikan dalam ungkapan “manajemen kolektif aktif” (Suradisastra, 2008, hlm. 86).

Ungkapan silih asah, silih asih, silih asuh juga merupakan tritangtu populer urang sunda. Adapun tritangtu sendiri menurut Sumardjo (2011, hlm. 279) merupakan filosofi masyarakat dan kebudayaan Sunda. Tritangtu tersebut di atas berarti juga tekad, ucap, lampah.

Disamping ungkapan di atas, terdapat beberapa ungkapan lain sebagai berikut

“Kawas gula jeung peueut (seperti gula dengan nira yang matang), artinya hidup rukun sayang menyayangi, tidak

pernah berselisih”.

(7)

tentang apa yang harus dilakukan sebagai individu atau sebagai masyarakat merujuk pada wacana etika dan moral, maka jawabannya khusus dalam konteks falsafah masyarakat Sunda, diwakili dengan ungkapan di atas. Hidup rukun sayang menyayangi dan menghindari perselisihan.

“Ulah rubuh-rubuh gedang (jangan rebah seperti papaya), artinya janganlah mengerjakan pekerjaan tanpa mengetahui

apa maksud dan tujuannya, hanya karena orang lain melakukannya)”.

Penampilan tingkah laku orang Sunda dalam pergaulan hendaknya saling mencintai, saling menghargai, sopan-santun, saling setia dan jujur disertai kerelaan, sesuai ‘folkways’ yang mencakup aturan hidup/kehidupan sosial, sopan santun, dan kesusilaan.

“Ngadeudeul ku congo rambut (memberi bantuan dengan ujung rambut), artinya memberi sumbangan atau bantuan

kecil, tetapi disertai kerelaan atau dengan ikhlas hati”

Masyarakat Sunda sering menghindari hal-hal perselisihan, menghindari menghasut dan melibatkan orang lain dalam perselisihan.

“Ulah marebutkeun balung tanpa eusi (jangan memperebutkan tulang tanpa isi), artinya jangan memperebutkan perkara yang tidak ada gunanya”.

(8)

lingkungan nasional dan global. Padahal kesatuan sosial masyarakat tradisional meningkatkan etika yang padu dengan nilai-nilai komunitas yang sama baiknya. Solidaritas sosial ini mesti didukung juga oleh pemahaman terhadap isu-isu sosial sebagaimana dikatakan Nelson (1998, hlm. 56).

Mencermati filosofi masyarakat Sunda di atas, Juul (2010, hlm. 255) mengungkapkan bahwa terutama dalam masyarakat yang ditandai dengan perbedaan budaya dengan nilai individualisme dan pluralisme yang kerapkali dikedepankan, dibutuhkan konsep solidaritas inklusif. Solidaritas inklusif ini mencakup orang-orang yang berbeda dari kelompok minoritas.

“Ulah ngaliarkeun taleus ateul (jangan menyebarkan talas gatal), artinya jangan menyebarkan perkara yang dapat

menimbulkan keburukan/keresahan”

Selain itu di dalam proses interaksi sosial antara individu yang satu dengan individu lainnya, dalam masyarakat Sunda tidak boleh menyinggung perasaan orang lain yang akan mengakibatkan perpecahan di antara anggota masyarakat itu sendiri.

“Ulah nyolok mata buncelik (jangan mencolok mata yang melotot), artinya jangan berbuat sesuatu di hadapan orang

lain, dengan maksud mempermalukan orang lain”

(9)

2) Ungkapan Hubungan Antara Manusia dengan Negara dan Bangsanya

Hubungan antara manusia dengan negara dan bangsanya, menurut pandangan hidup orang Sunda, hendaknya didasari oleh sikap yang menjunjung tinggi hukum, membela negara, dan menyuarakan hati nurani rakyat. Pada dasarnya, tujuan hukum yang berupa hasrat untuk mengembalikan rasa keadilan, yang bersifat menjaga keadaan, dan menjaga solidaritas sosial dalam masyarakat. Masalah ini dalam masyarakat Sunda terpancar dalam ungkapan berikut ini.

“Kudu nyanghulu ka hukum, nunjang ka nagara, mupakat ka balarea (harus mengarah kepada hukum, mengarah ke kaki

negara, bermupakat kepada orang banyak), artinya harus menjunjung tinggi hukum, berpijak kepada ketentuan negara,

dan bermufakat kepada kehendak rakyat

Kesepakatan kata atau permufakatan bersama diistilahkan sebagai konsensus. Konsensus bisa berarti memiliki tujuan langsung bahwa anggota musyawarah harus mencapai kesepakatan satu sama lain dalam suatu pembahasan. Tidak diperkenankan menyalahgunakan kebenaran dan mempromosikan kepentingan tertentu (Landemore dan Page, 2015, hlm. 232).

Masyarakat Sunda mementingkan kerja sama dalam kekeluargaan demi kelangsungan dan kesejahteraan hidup masyarakatnya.

“Bengkung ngariung bongkok ngaronyok (melingkar/lengkung dalam berkumpul bungkuk dalam berhimpun), artinya bersama-sama dalam suka dan duka

(10)

mementingkan masyarakat, bangsa, dan negara. Masalah yang tidak kurang pentingnya dalam kehidupan masyarakat Sunda ialah bahwa kita harus menjunjung tinggi keadilan dan kebenaran.

“Nyuhunkeun bobot pangayon timbang taraju (memohon pertimbangan), artinya memohon pertimbangan

dan kebijaksanaan yang seadil adilnya, memohon ampun

Dari hubungan antara manusia dengan negara dan bangsanya, kita dituntut agar taat dan patuh terhadap norma-norma dan aturan-aturan yang dikeluarkan oleh agama atau pemerintah. Sejatinya sebagai seorang warga negara yang baik seorang individu merupakan pemimpin bagi dirinya sendiri. Dalam hal ini segala pertimbangan dan kebijaksanaan dalam kerangka prinsip kepemimpinan dan konsep diri, terutama prinsip-prinsip kepemimpinan tradisional dapat membantu kita bertransformasi menjadi individu yang berkarakter. Disamping itu berkontribusi pada efektifitas untuk memfasilitasi tujuan-tujuan kolektif. “The point of leadership (challenging traditional leadership) is to help others move toward common goals” (Milstead, 2004, hlm. 8).

Kesimpulan

(11)

Disamping itu manusia dan kebudayaan harus berimbang. Sebagaimana dikemukakan Alwasilah (2006, hlm. 19) selain pemahaman objektif yang diperoleh lewat pengamatan (explicit knowledge), masyarakat Sunda juga semestinya lebih banyak memiliki tacit knowledge, dengan parameter perasaan dan pemahaman terhadap khazanah budaya terutama pandangan hidup orang Sunda sendiri yang dikristalisasi menjadi beberapa idiomatik, ungkapan, atau tritangtu yang selalu membentuk pola hubungan kausalitas yang membentuk kesatuan kualitas.

Daftar Pustaka

Alwasilah, C. A. (2006). Pokoknya Sunda Interpretasi Untuk Aksi. Bandung: PT Kiblat Buku Utama.

Darmayanti, T. E. (2016). The Ancestral Heritage: Sundanese Traditional Houses Of Kampung Naga, West Java, Indonesia. MATEC Web of Conferences. 66 (6). DOI: 10.1051/matecconf/20166600108.

Flynn, T. (2005). Philosophy as A Way of Life. Philosophy and Social Criticism. Vol. 31(5). Hlm. 609-622. [Online] Tersedia: http://www.sagepublication.com (diakses pada 27 September 2016).

Juul, S. (2010). Solidarity and Social Cohesion in Late Modernity: A Question of Recognition, Justice, and Judgement in Situation. European Journal of Social Theory. Vol. 13(2). Hlm. 235-269. [Online] Tersedia: est.sagepub.com (diakses pada 27 September 2016).

Kaelan. (2013). Negara Kebangsaan Pancasila. Sleman: Penerbit Paradigma.

(12)

Dissensus. Journal of Politics, Philosophy, and Economics. Vol. 13(3). Hlm. 229-254.

Milstead, J.A. (2004). Challenging Five Traditional Leadership Principles. Journal of Policy, Politics, and Nursing Practice. Vol. 5(1). Hlm. 5-9. Sage Publications.

Nelson, P.S., dan Grimes, P.W. (1998). The Social Issues Pedagogy VS. The Traditional Principles of Economics: An Empirical Examination. The American Economist Journal. Vol. 42(1). Hlm. 56-64. Tersedia: JSTOR (diakses pada 27 September 2016).

Ningrum, E. (2012). Masyarakat Tradisional Kampung Naga Kabupaten Tasikmalaya. Jurnal Mimbar. Vol. XXVIII(1). Hlm. 47-54.

Sudaryat, Y. (2014). The Interpretation of Sundanese Educational Philosophy in Traditional Idiomatic Expression. EDUCARE: International Journal for Educational Studies. Vol. 6(2). Hlm. 119-127.

Sumardjo, J. (2011). Pola Rasionalitas Budaya. Bandung: Penerbit Kelir

Suradisastra, K. (2008). Farmer’s Institutional Empowerment Strategy. Journal Forum Penelitian Agro Ekonomi. Vol. 26(2). Hlm. 82-91.

Suryani, E. (2011). Ragam Pesona Budaya Sunda. Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia.

Sya, A. (2014). Kontribusi Nilai-Nilai Tradisi Sunda dalam Mewujudkan Kesejahteraan Bangsa Indonesia di Era Globalisasi. Prosiding The 4th International

(13)

Warnke, G. (2000). Feminism and Democratic Deliberation. Journal of Philosophy and Sodial Criticism. Vol. 26(3). Hlm. 61-74. Tersedia: http://sagepub.com. (Diakses pada 24 September 2016)

Referensi

Dokumen terkait

Ekspor Produk COVID-19 Medical Supplies asal Indonesia juga tidak terlepas dari interdependensi dengan negara lain pada level yang beragam. Dari 17 kelompok produk yang merupakan

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan mengenai pengaruh kepemimpinan, komunikasi, dan lingkungan kerja terhadap semangat kerja pada PT Angkasa Pura 1 Divisi

Model tersebut berupa suatu sistem persamaan diferensial dengan lima variabel, yang menyatakan banyaknya vektor pada masa inkubasi, banyaknya vektor terinfeksi,

Dalam pemeriksaan ini didapatkan adanya peningkatan spesifisitas (dibanding-kan dengan pemeriksaan tumor marker tunggal) yang berguna sebagai alat diagnosa,

Pada umumnya jenis-jenis pohon hutan memperbanyak diri secara alami melalui biji (generatif), namun ada beberapa jenis yang yang secara alami memperbanyak diri secara

Hasil analisis ragam (ANOVA) terhadap total hasil tangkapan untuk setiap shortening menunjukkan bahwa perlakuan shortening berpengaruh terhadap total hasil tangkapan.

Dari penegasan dapat disimpulkan bahwa hidup sesudah mati menurut Islam adalah suatu kehidupan baru yang pasti yang akan terjadi yang hanya Allah akan mengetahuinya setelah

Teori konstruksi sosial mengandung pemikiran yang sama dengan teori interaksi sosial yang membahas tentang konsep “makna subjektif dan objektif” dari perilaku manusia,