• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENYALAHGUNAAN PADA TRANSAKSI DAGANG ELE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENYALAHGUNAAN PADA TRANSAKSI DAGANG ELE"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

PENYALAHGUNAAN PADA TRANSAKSI DAGANG ELEKTRONIK (E-COMMERCE) DAN PERLINDUNGAN BAGI KONSUMEN DALAM ASPEK

HUKUM PERDAGANGAN DI INDONESIA

Diajukan untuk:

Memenuhi Salah Satu Syarat Dalam Memperoleh Nilai Tugas Mata Kuliah Pengantar Hukum Telematika

Ditulis oleh:

Syifa Fauziah

0101 15 122

Semester II - D

Fakultas Hukum Universitas Pakuan Bogor

(2)

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb.

Segala puji saya ucapkan kehadirat Allah SWT, karena berkat Rahmat dan Izin-Nya saya dapat mengerjakan tugas makalah ini. Saya menulis makalah ini sebagai persyaratan untuk memenuhi salah satu syarat dalam mendapatkan nilai tugas pada mata kuliah Pengantar Hukum Telematika pada Universitas Pakuan, Bogor.

Makalah ini, saya buat karena mendapatkan tugas dari dosen mata kuliah

Pengantar Hukum Telematika dengan tema “Transaksi Elektronik (E-commerce)”

dan judul “Penyalahgunaan Pada Transaksi Dagang Elektronik (E-commerce) Dan Perlindungan Bagi Konsumen Dalam Aspek Hukum Perdagangan Di Indonesia”, yang juga menjadikan ini sebagai ilmu pengetahuan untuk saya dan juga untuk mendapatkan nilai tugas mata kuliah Pengantar Hukum Telematika dari Bapak

Agus Satory, S.H., M.H.

Demikian, makalah ini saya tulis untuk melengkapi tugas dari dosen mata kuliah. Mohon maaf apabila ada tulisan yang kurang berkenan dalam karya ilmiah ini. Saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu saya dalam menyelesaikan tugas ini.

Wassalamualaikum wr.wb.

Bogor, April 2016

(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iii

BAB I PENDAHULUAN ... 5

1.1 Latar Belakang ... 5

1.2 Identifikasi Masalah ... 6

1.3 Tujuan Penelitian ... 7

1.4 Metode Penelitian... 8

1.5 Teknik Penelitian ... 10

1.6 Sistematika Penelitian ... 11

BAB II TINJAUAN UMUM ... 13

2.1. Tinjauan tentang Transaksi Dagang Elektronik ( E-commerce ) ... 13

2.1.1. Pengertian E-commerce ... 13

2.1.2. Karakteristik E-commerce... 13

2.1.3. Jenis-Jenis E-commerce ... 15

2.2. Tinjauan Perlindungan Bagi Konsumen ... 16

2.2.1. Pengertian Konsumen ... 16

2.2.2. Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha ... 17

2.2.3. Perlindungan Konsumen ... 20

(4)

2.3.1. Pengertian Perjanjian ... 22

2.3.2. Jenis – Jenis Perjanjian ... 22

2.3.3. Asas-asas Hukum Perjanjian ... 25

2.3.4. Syarat Sahnya Hukum Perjanjian ... 27

2.3.5. Akibat Hukum dari Suatu Perjanjian yang Sah... 28

2.3.6. Berakhirnya Suatu Perjanjian... 29

BAB III ANALISIS DAN PEMBAHASAN ... 30

3.1 Keabsahan Perjanjian dalam Transaksi Dagang Elektronik (E-commerce) ... 30

3.2 Penyalahgunaan E-commerce di Indonesia ... 35

3.3 Perlindungan Hukum Bagi Konsumen dalam Transaksi Dagang Elektronik ( E-commerce) ... 38

3.4 Upaya Hukum Bagi Konsumen yang Dirugikan dalam E-commerce di Indonesia ... 48

BAB IV SIMPULAN DAN SARAN ... 54

4.1. Simpulan ... 54

4.2. Saran ... 55

(5)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penggunaan media internet sebagai jalur perdagangan baru merupakan bukti atas modernisasi perdagangan di dunia, termasuk Indonesia. Internet mempelopori tumbuhnya transaksi perdagangan dengan menggunakan sarana elektronik atau yang kemudian dikenal dengan transaction electronic commerce (e-commerce).

Electronic commerce transaction adalah transaksi dagang antara penjual dan

pembeli dalam rangka penyediaan barang atau jasa termasuk melelangkan barang atau jasa, dan atau mengalihkan hak dengan menggunakan media elektronik komputer maupun internet. Di Indonesia banyak sekali perusahaan yang menggunakan layanan tersebut dengan tujuan untuk memperluas pemasaran dan meningkatkan daya beli masyarakat.

Tingginya pengguna internet memicu pelaku usaha untuk menempatkan produk mereka dalam layanan-layanan online berbasis web atau yang kemudian dengan istilah perdagangan elektronik (e-commerce). Kecerdasan pelaku usaha untuk memanfatkan internet sebagai sarana promosi, transaksi, toko online, maupun sarana bisnis lainnya tidak diimbangi dengan lahirnya perangkat perundang-undangan yang mengatur hal tersebut. Akibatnya banyak pihak yang dirugikan akibat kekosongan hukum dalam cyberspace.

(6)

tercantum dalam Undang-Undng Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK).

Keberadaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dapat dijadikan paduan hukum bagi Undang-Undang Perlindungan Konsumen untuk saling mendukung satu sama lainnya. Permasalahannya adalah bagaimana jika pelaku usaha dalam e-commerce tersebut tidak berada pada wilayah domisili yuridiksi Indonesia. Inilah yang kemudian disebut sebagai salah satu kelemahan penggunaan Undang-Undang Perlindungan Konsumen dalam transaksi

e-commerce. Dimana Undang-Undang Perlindungan Konsumen secara tegas

menekankan bahwa aturan tersebut hanya dapat diberlakukan kepada pelaku usaha yang bergerak didalam wilayah hukum Republik Indonesia (Pasal 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999), jika kembali pada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE) secara jelas menyebutkan bahwa prinsip utama transaksi elektronik adalah kesepakatan atau dengan cara-cara yang disepakati oleh kedua belah pihak (dalam hal ini pelaku usaha dan konsumen). Transaksi elektronik mengikat para pihak yang bersepakat (Pasal 18 UUITE) sehingga dari sudut pandang hukum perlindungan konsumen, konsumen yang melakukan transaksi elektronik dianggap menyepakati seluruh syarat dan ketentuan yang berlaku dalam transaksi tersebut. Akibatnya banyak pula para pelaku usaha yang memanfaatkan hal tersebut untuk menipu para konsumen yang kurang memahami akan hal tersebut

Dari uraian diatas, diperlukan suatu aturan hukum yang jelas untuk mendapatkan suatu kepastian hukum terhadap para pihak khususnya bagi konsumen, maka dari itu penulis mengambil judul “penyalahgunaan pada transaksi dagang elektronik (e-commerce) dan perlindungan bagi konsumen dalam aspek hukum perdagangan di indonesia”. Yang di tinjau dari hukum perjanjian di Indonesia dan hukum perlindungan konsumen.

(7)

Pada penelitian ini saya mencoba mengemukakan beberapa masalah, sebagai berikut:

1) Bagaimana gambaran umum mengenai keabsahan dalam perjanjian transaksi perdagangan melalui internet (e-commerce) ditinjau dari hukum perjanjian Indonesia?

2) Bagaimana gambaran umum mengenai penyalahgunaan transaksi dagang elektronik (e-commerce) yang terjadi di Indonesia?

3) Bagaimana gambaran umum mengenai perlindungan hukum bagi konsumen dalam transaksi dagang elektronik (e-commerce) di Indonesia? 4) Bagaimana gambaran umum mengenai upaya hukum bagi konsumen yang

dirugikan dalam transaksi dagang elekteronik (e-commerce)?

Dari uraian diatas dapatlah diidentifikasikan masalah yang akan diteliti, yaitu: “Bagaimana gambaran umum mengenai penyalahgunaan pada transaksi dagang elektronik (e-commerce) dan perlindungan bagi konsumen dalam aspek hukum perdagangan di indonesia?”

1.3Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Untuk memperoleh gambaran umum mengenai keabsahan dalam perjanjian transaksi perdagangan melalui internet (e-commerce) ditinjau dari hukum perjanjian Indonesia.

2) Untuk mengetahui gambaran umum mengenai penyalahgunaan transaksi dagang elektronik (e-commerce) yang terjadi di Indonesia.

(8)

4) Untuk mengetahui gambaran umum mengenai upaya hukum bagi konsumen yang dirugikan dalam transaksi dagang elektronik

(e-commerce).

1.4Metode Penelitian

Metode yang digunakan penulis dalam penelitian ini sebagai berikut:

1) Ruang lingkup penelitian

Karena dalam pembahasan e-commerce sangat luas kajiannya, maka penulis memberikan ruang lingkup (batasan masalah) mengenai kajian kerangka hukum e-commerce, dibatasi dari berbagai aspek yaitu :

a. Aspek hukum perjanjian

b. Aspek hukum perlindungan konsumen

2) Jenis penelitian

Jenis penelitian yang penulis pergunakan dalam penyusunan penulisan hukum ini adalah penelitian hukum doktrinal/normatif atau penelitian hukum kepustakaan, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.1 Bahan-bahan tersebut disusun secara sistematis, dikaji, kemudian ditarik suatu kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti. Hal ini sesuai dengan pandangan Soerjono Soekanto, bahwa penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka, dapat dinamakan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan. Penelitian hukum normatif atau kepustakaan tersebut mencakup:

a. Penelitian terhadap asas-asas hukum (rechtbeginselen) b. Penelitian terhadap sistematika hukum

1 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,

(9)

c. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal d. Perbandingan hukum

e. Sejarah hukum

Dalam penelitian ini penulis melakukan penelitian terhadap asas-asas hukum, sistematika hukum, serta sinkronisasi vertikal atas dokumen yang diteliti terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3) Sifat penelitian

Sifat penelitian yang digunakan penulis dalam penulisan hukum ini adalah deskriptif, yaitu menggambarkan serta menguraikan semua data yang diperoleh dari hasil studi kepustakaan yang berkaitan dengan judul penulisan hukum yang secara jelas dan rinci kemudian dianalisis guna menjawab permasalahan yang diteliti.2

4) Jenis data dan sumber data

Jenis data yang penulis pergunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder, yaitu data atau informasi hasil penelaahan dokumen penelitian serupa yang pernah dilakukan sebelumnya, bahan kepustakaan seperti buku-buku, literatur, jurnal, artikel internet, maupun arsip-arsip yang berkesesuaian dengan penelitian yang dibahas. Sumber data merupakan tempat di mana dan ke mana data dari suatu penelitian dapat diperoleh. Sumber data dalam penelitian ini adalah sumber data sekunder berupa dokumen publik dan catatan-catatan resmi (public documents and official

records), disamping sumber data yang berupa Undang-Undang negara

maupun peraturan pemerintah, penulis juga memperoleh data dari beberapa jurnal, buku-buku referensi, dan media massa yang mengulas mengenai e-commerce. Menurut Soerjono Soekanto dalam bukunya Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, data sekunder di

2

(10)

bidang hukum ditinjau dari kekuatan mengikatnya dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu:

a. Bahan hukum primer

Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat. Dalam hal ini penulis menggunakan bahan hukum primer, yaitu: a) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) b) Undang-Undang Perlindungan Konsumen

c) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik b. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti:

a) Hasil karya ilmiah para sarjana b) Artikel-Artikel

c) Hasil-hasil penelitian

Dalam hal ini penulis menggunakan hasil karya ilmiah para sarjana yang berupa teori-teori dan juga hasil-hasil penelitian. c. Bahan hukum tersier atau penunjang

Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, misalnya bahan dari media internet, kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif, dan sebagainya (Soerjono Soekanto, 2001:113). Dalam hal ini penulis menggunakan bahan dari media internet, kamus, buku, artikel.

1.5Teknik Penelitian

Teknik yang digunakan penulis dalam penelitian ini sebagai berikut:

1) Teknik pengumpulan data

(11)

artikel maupun dokumen lain yang dibutuhkan untuk kemudian dikategorisasi menurut pengelompokan yang tepat. Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik studi pustaka untuk mengumpulkan dan menyusun data yang diperlukan.

2) Teknik analisis data

Analisis data merupakan langkah selanjutnya untuk mengolah hasil penelitian menjadi suatu laporan. Analisis data adalah proses pengorganisasian dan pengurutan data dalam pola, kategori, dan uraian dasar, sehingga akan dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja.

Teknik analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah non statistik. Analisis non statistik ini dilakukan dengan kualitatif. Mengenai kegiatan analisis isi dalam penelitian ini adalah mengklasifikasi pasal-pasal dokumen sampel ke dalam kategori yang tepat. Setelah analisis data selesai, maka hasilnya akan disajikan secara deskriptif yaitu dengan jalan menuturkan dan menggambarkan apa adanya sesuai dengan permasalahan yang diteliti dan-data yang diperoleh.

1.6Sistematika Penelitian

Dalam pembahasan makalah ini, penulis membagi dalam empat bab dengan maksud agar memiliki susunan yang sistematis, sehingga dapat memudahkan untuk mengetahui dan memahami hubungan antara bab yang satu dengan bab yang lain sebagai suatu rangkaian yang konsisten dan tidak dapat dilakukan secara acak yang masing-masing digolongkan dalam sub bab. Adapun sistematika tersebut adalah:

1) Pendahuluan

(12)

ini terdapat latar belakang, identifikasi masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, teknik penelitian dan sistematika penelitian.

2) Tinjauan Umum

Dalam bab ini akan dipaparkan secara umum pengertian tentang

e-commerce, perlindungan bagi konsumen, hukum perjanjian, untuk

mempermudah pembahasan poin-poin yang nantinya muncul dalam bab berikutnya.

3) Analisis dan Pembahasan

Dalam bab ini akan dibahas mengenai keabsahan terhadap perjanjian

e-commerce di Indonesia, penyalahgunaan e-commerce di Indonesia,

perlindungan hukum bagi konsumen dalam transaksi e-commerce di Indonesia, dan upaya hukum bagi konsumen yang dirugikan dalam transaksi e-commerce di Indonesia.

4) Simpulan dan Saran

(13)

BAB II

TINJAUAN UMUM

2.1.Tinjauan tentang Transaksi Dagang Elektronik ( E-commerce ) 2.1.1. Pengertian E-commerce

Perdagangan elektronik atau e-dagang (bahasa Inggris: Electronic commerce, juga e-commerce) adalah penyebaran, pembelian, penjualan, pemasaran barang dan jasa melalui sistem elektronik seperti internet atau televisi, www, atau jaringan komputer lainnya. E-dagang dapat melibatkan transfer dana elektronik, pertukaran data elektronik, sistem manajemen inventori otomatis, dan sistem pengumpulan data otomatis.

Berdasarkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi elektronik (ITE) Bab I pasal 1 ayat 2 pengertian Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan atau media elektronik lainnya. Dalam era industri yang diikuti dengan kemajuan perdagangan, baik pada aras nasional regional maupun internasional, telah diikuti dengan hukum dagang yang mengatur transaksi dagang pada tingkat nasional maupun global. Hukum dagang mengatur bagaimana perjanjian dagang dibuat secara sah agar ditaati oleh para pihak yang membuatnya.3

2.1.2. Karakteristik E-commerce

Ada empat karakteristik e-commerce, diantaranya:4

3

Pengertian Transaksi Elektronik, http://yosafinerifki.ilearning.me/2013/12/06/pengertian-transaksi-elektronik/. Diakses pada tanggal 22 April 2016.

4 Pengertian, contoh dan Karakteristik E-commerce di Indonesia,

(14)

a. Transaksi Tanpa Batas

Sebelum era internet, batas-batas geografi seringkali menjadi penghalang suatu bisnis untuk go international, sehingga hanya perusahaan yang bermodal besar saja yang dapat memasarkan produknya ke luar negeri. Dewasa ini, dengan internet pengusaha kecil dan menengah dapat memasarkan produknya secara internasional, cukup dengan membuat situs web atau dengan memasang iklan di situs-situs internet tanpa dibatas waktu (24 jam), dan tentu saja pelanggan dari seluruh dunia dapat mengakses situs tersebut serta melakukan transaksi secara on line. Karena hal itulah E Commerce menjadi tanpa batas, Selanjutnya.

b. Transaksi anonim

Apakah arti anonym, secara mudah adalah para penjual dan pembeli dalam transaksi melalui internet tidak harus bertemu muka satu sama lainnya. Penjual tidak memerlukan nama dari pembeli sepanjang pembayarannya telah diotorisasi oleh penyedia layanan sistem pembayaran yang ditentukan, pada umumnya dengan kartu kredit, dan bahkan kini transaksi bisa dilakukan secara virtual melalui Paypal atau payment gateway sejenisnya. Sudah canggih pokoknya sekarang.

c. Produk Digital dan Non Digital

Pertama produk digital, kenapa? penjelasannya adalah produk-produk digital seperti software komputer, musik dan produk lain yang bersifat digital, dapat dipasarkan melalui internet dengan cara mendownload secara elektronik. Sedangkan produk non digital adalah dalam perkembangannya obyek yang ditawarkan melalui internet meliputi barang-barang kebutuhan lainnya.

d. Produk Barang Tak Berwujud

(15)

Banyak perusahaan yang bergerak di bidang e-commerce menawarkan barang tak berwujud (intangible) seperti data, software dan ide-ide yang dijual melalui internet. Namun setelah persetujuan bertransaksi tentunya barang akan berwujud dan berada ditangan Anda, selanjutnya apalagi kalau tidak buru buru dipakai.

2.1.3. Jenis-Jenis E-commerce

E-commerce merupakan aktivitas pembelian dan penjualan melalui jaringan

internet dimana pembeli dan penjual tidak bertemu secara langsung, melainkan berkomunikasi melalui media internet. E-commerce memiliki berbagai macam jenis transaksi dalam menerapkan sistemnya. Jenis-jenis transaksi e-commerce diantaranya sebagai berikut:5

1) Collaborative Commerce (C- Commerce)

Collaborative Commerce yaitu kerjasama secara elektronik antara rekan

bisnis. Kerja sama ini biasanya terjadi antara rekan bisnis yang berada pada jalur penyediaan barang (supply Chain).

2) Business to Business (B2B)

E-commerce tipe ini meliputi transaksi antar organisasi yang dilakukan di

Electronic market.

3) Business-to-Consumers (B2C)

Business-to-Consumers yaitu penjual adalah suatu organisasi dan pembeli

adalah individu.

4) Consumer-to-Business (C2B)

Dalam Consumer-to-Business konsumen memberitahukan kebutuhan atas suatu produk atau jasa tertentu, dan para pemasok bersaing untuk

(16)

menyediakan produk atau jasa tersebut ke konsumen. Contohnya di priceline.com, dimana pelanggan menyebutkan produk dan harga yang diinginkan, dan priceline mencoba menemukan pemasok yang memenuhi kebutuhan tersebut.

5) Customer to Customer (C2C)

Customer to Customer yaitu konsumen menjual secara langsung ke

konsumen lain atau mengiklankan jasa pribadi di Internet. Dalam

Customer to Customer seseorang menjual produk atau jasa ke orang

lain. Dapat juga disebut sebagai pelanggan ke palanggan yaitu orang yang menjual produk dan jasa ke satu sama lain.

2.2.Tinjauan Perlindungan Bagi Konsumen 2.2.1. Pengertian Konsumen

Pengertian Konsumen adalah berasal dari alih bahasa dari kata

consumer (Inggris-Amerika), atau consument/Konsument (Belanda).

Pengertian dari consumer atau consument itu tergantung dalam posisi mana ia berada. Secara harfiah arti kata consumer adalah (lawan dari produsen). Setiap orang yang menggunakan barang.6

Menurut undang-undang Nomer 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen Pasal 1 butir 2 yang berbunyi; Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.7

Menurut Hornby, konsumen adalah seseorang yang membeli barang atau menggunakan jasa, seseorang atau perusahaan yang membeli barang

6

Pengertian Konsumen,Hak dan Kewajiban,

http://www.landasanteori.com/2015/09/pengertian-konsumen-hak-dan-kewajiban.html. Diakses pada tanggal 24 April 2016.

7Pengertian Konsumen Menurut UU PK,

(17)

tertentu atau menggunakan jasa tertentu, sesuatu atau seseorang yang menggunakan suatu persediaan atau sejumlah barang, setiap orang yang menggunakan barang atau jasa.

Berdasarkan Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 1 butir 2 mendefinisikan konsumen sebagai "Setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingaan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan."

Definisi ini sesuai dengan pengertian bahwa konsumen adalah end user atau pengguna terakhir, konsumen merupakan pembeli dari barang dan/atau jasa tersebut.

Menurut BPHN (Badan Pembinaan Hukum Nasional), konsumen akhir adalah “Pemakai akhir dari barang, digunakan untuk keperluan diri sendiri atau orang lain dan tidak diperjual belikan”. Yang dimaksud dengan konsumen adalah end user atau pengguna terakhir.

YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia), konsumen akhir adalah pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, bagi keperluan diri sendiri atau keluarganya atau orang lain dan tidak untuk diperdagangkan.

2.2.2. Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha a) Hak Konsumen

Didalam pasal 4, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Hak Konsumen adalah:8

1) Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa

8 Indonesia, Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 8

(18)

2) Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa

3) Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa

4) Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/ jasa yang digunakannya.

5) Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut

6) Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen 7) Hak untuk diperlukan dan dilayani secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif

8) Hak untuk mendapatkan kompensasi ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya

9) Hak-hak yang diatur dalam perundang-undangan lainnya.

b) Kewajiban Konsumen

Didalam pasal 5, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Kewajiban Konsumen adalah:9

1) Membaca atau mengikuti petunjuk informasi prosedur pemakaian barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan

2) Beritikad baik dalam melakukan transaksi penbelian barang dan/atau jasa

3) Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati 4) Mengikuti upaya penyelesaian hukum secara patut.

c) Hak Pelaku Usaha

9

(19)

Didalam pasal 6, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Hak Pelaku Usaha adalah:10

1) Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan

2) Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritkad tidak baik

3) Hak untuk melakukan pembelaan driri yang sepatutnya didalam penyelesaian hukum sengketa konsumen

4) Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.

5) Hak-hak yang diatur dalam perundang-undangan lainnya.

d) Kewajiban Pelaku Usaha

Didalam pasal 7, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Kewajiban Pelaku Usaha adalah:11

1) Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya

2) Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi jaminan barang dan atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan perbaikan, dan pemeliharaan

3) Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif

4) Menjamin mutu barang dan atau jasa yang diproduksi dan atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan atau jasa yang berlaku

10 Ibid., Pasal 6.

11

(20)

5) Memberi kesempatan pada konsumen untuk menguji, dan atau mencoba barang dan atau jasa tertentu serta mamberi jaminan dan atau garansi atas barang yang dibuat dan atau yang diperdagangkan 6) Memberi kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian,dan atau pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan apabila barang dan/atau jasa yang diperdangkan

7) Memberi kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian yang diterima dan/atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

2.2.3. Perlindungan Konsumen

Undang-undang tentang perlindungan konsumen, UU No. 8 tahun 1999 menegaskan sebagai segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen (pasal 1 butir 1).12

Kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen tersebut antara lain adalah dengan meningkatkan harkat dan martabat konsumen serta membuka akses informasi tentang barang dan atau jasa baginya, dan menumbuh kembangkan sikap pelaku usaha yang jujur dan bertanggung jawab. Tujuan yang ingin dicapai perlindungan konsumen umumnya dapat dibagi dalam 3 (tiga) bagian utama yaitu:

a) Memberdayakan konsumen dalam memilih, menentukan barang dan/atau jasa kebutuhannya dan menuntut hak-haknya.

b) Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang memuat unsusr-unsur kepastian hukum, keterbukaan informasi dan akses untuk mendapatkan informasi tersebut.

12

(21)

c) Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap jujur dan bertanggung jawab.

Perlindungan konsumen yang dijamin oleh undang-undang ini adalah adanya kepastian hukum terhadap segala perolehan kebutuhan konsumen, yang bermula dari ”benih hidup dalam rahim ibu sampai dengan tempat pemakaman dan segala kebutuhan diantara keduanya”. Kepastian hukum itu meliputi segala upaya berdasarkan atas hukum untuk memberdayakan konsumen memperoleh atau menentukan pilihannya atas barang dan/atau jasa kebutuhannya serta mempertahankan atau membela hak-haknya apabila dirugikan oleh perilaku pelaku usaha penyedia kebutuhan konsumen.

Pemberdayaan konsumen ini adalah dengan meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandiriannya melindungi diri sendiri sehingga mampu meningkatkan harkat dan martabat konsumen dengan menghindari berbagai ekses negaif pemakaian, penggunaan, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa kenutuhannya. Disamping itu juga kemudahan dalam proses menjalankan sengketa konsumen yang timbul karena kerugian harta bendanya, keselamatan, kesehatan tubuhnya, penggunaan dan/atau pemanfaatan produk konsumen. Istilah pemakai, pengguna, atau pemanfaat, undang-undang perlindungan konsumen menggunakan istilah yang hampir bersamaan artinya. pemakai, pengguna, atau pemanfaat sering diartikan bersamaan dengan kaitan apapun.

Undang-undang tidak menjelaskan arti masing-masing istilah tersebut. Dalam pembahasan penggunaan istilah-istilah ini pakar hukum perlindungan konsumen menyepakati penggunaan istilah-istilah untuk kegiatan secara tertentu.

(22)

2) Istilah pengguna ditujukan untuk penggunaan produk konsumen yang menggunakan arus listrik atau elektronik

3) Istilah pemanfaatan ditujukan untuk pemanfaatan produk konsumen berbentuk jasa (dokter, asuransi, transportasi dsb).

2.3.Tinjauan hukum perjanjian 2.3.1. Pengertian Perjanjian

Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini, timbulah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.13

Menurut Pasal 1313 KUH Perdata Perjanjian adalah Perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Dari peristiwa ini, timbulah suatu hubungan hukum antara dua orang atau lebih yang disebut Perikatan yang di dalamya terdapat hak dan kewajiban masing-masing pihak. Perjanjian adalah sumber perikatan.14

2.3.2. Jenis – Jenis Perjanjian

Secara umum perjanjian dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu perjanjian obligatoir dan perjanjian non obligatoir.15 Perjanjian obligatoir adalah perjanjian yang mewajibkan seseorang untuk menyerahkan atau membayar sesuatu.16 Sedangkan perjanjian non obligatoir adalah perjanjian

13

Prof. R. Subekti, S.H., Hukum Perjanjian, (Jakarta: Citra Aditya Bhakti, 1987, Cet. Ke-4), hlm. 6.

14 Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetbook), Pasal 1313.

15 Komariah, Hukum Perdata, (Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2002), hlm.169.

(23)

yang tidak mewajibkan seseorang untuk menyarahkan atau membayar sesuatu.17 Perjanjian obligatoir terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu:

1) Perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik. Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang membebankan prestasi hanya pada satu pihak. Misalnya perjanjian hibah, perjanjian penanggungan (borgtocht), dan perjanjian pemberian kuasa tanpa upah. Sedangkan perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang membebankan prestasi pada kedua belah pihak. Misalnya jual beli.18

2) Perjanjian cuma-Cuma dan perjanjian atas beban. Perjanjian Cuma-Cuma adalah perjanjian dimana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain tanpa menerima sesuatu manfaat bagi dirinya. Misalnya hibah, pinjam pakai, pinjam meminjam tanpa bunga, dan penitipan barang tanpa adanya biaya. Sedangkan perjanjian atas beban adalah perjanjian yang mewajibkan pihak yang satu untuk melakukan prestasi berkaitan langsung dengan prestasi yang harus dilakukan oleh pihak lain. Contoh perjanjian atas beban adalah jual beli, sewa-menyewa, dan pinjam meminjam dengan bunga.19

3) Perjanjian konsensuil, perjanjian riil dan perjanjian formil. Perjanjian konsensuil adalah perjanjian yang mengikat sejak adanya kesepakatan dari kedua belah pihak. Contohnya perjanjian jual beli dan perjanjian sewa-menyewa.20 Sedangkan perjanjian riil adalah perjanjian yang tidak mensyaratkan kesepakatan, namun juga memasyarakatkan penyerahan objek perjanjian atau bendanya. Misalnya perjanjian

17

Ibid., hlm.171.

18 Herlien Budiono, Ajaran Umum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan,

(Bandung: Citra Aditya, 2010), hlm.54-55. 19 Ibid., hlm.59.

20

(24)

penitipan barang dan perjanjian pinjam pakai.21 Perjanjian formil adalah perjanjian yang selain dibutuhkan kata sepakat, juga dibutuhkan formalitas tertentu, sesuai dengan apa yang telah ditentukan oleh Undang-Undang. Contohnya pembebanan jaminan fidusia.22

4) Perjanjian bernama, perjanjian tak bernama dan perjanjian campuran. Perjanjian bernama adalah perjanjian yang secara khusus diatur dalam Undang-Undang. Perjanjian tak bernama adalah perjanjian yang tidak diatur secara khusus didalam Undang-Undang. Misalnya perjanjian leasing, franchising, dan factoring. Sedangkan perjanjian campuran adalah perjanjian yang merupakan kombinasi dan dua atau lebih perjanjian bernama. Misalnya perjanjian pemondokan (kost) yang merupakan campuran dari perjanjian sewa-menyewa dan perjanjian untuk melakukan suatu pekerjaan (mencuci baju, menyetrika baju, dan membersihkan kamar).23

Perjanjian non obligatoir terbagi menjadi:

1) Zakelijk overeenkomst, adalah perjanjian yang menetapkan dipindahkannya suatu hak dari seseorang kepada orang lain. Misalnya balik nama hak atas tanah.24

2) Bevifs overeenkomst, adalah perjanjian untuk membuktikan sesuatu.25 3) Liberaoir overeenkomst, adalah perjanjian dimana seseorang

membebaskan pihak lain dari suatu kewajiban.26

(25)

4) Vaststelling overeenkomst, adalah perjanjian untuk mengakhiri keraguan mengenai isi dan luas perhubungan hukum diantara para pihak.27

2.3.3. Asas-asas Hukum Perjanjian

Ada beberapa asas yang dapat ditemukan dalam Hukum Perjanjian, diantaranya yaitu:28

1) Asas Konsensualitas, yaitu bahwa suatu perjanjian dan perikatan

yang timbul telah lahir sejak detik tercapainya kesepakatan, selama para pihak dalam perjanjian tidak menentukan lain. Azas ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata mengenai syarat-syarat sahnya perjanjian.

2) Asas Kebebasan Berkontrak, yaitu bahwa para pihak dalam suatu

perjanjian bebas untuk menentukan materi/isi dari perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan kepatutan. Azas ini tercermin jelas dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. 3) Asas Beritikad baik, diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata.

Asas itikad baik adalah bertindak sebagai pribadi yang baik. Itikad yang baik dalam pengertian yang sangat subyektif dapat diartikan sebagai kejujuran seseorang yang ada pada waktu diadakannya perbuatan hukum. Sedangkan itikad baik dalam pengertian obyektif yaitu bahwa pelaksanaan suatu perjanjian itu harus didasarkan pada

27 Ibid.

28 Materi Hukum,

(26)

norma kepatutan atau apa yang dirasa sesuai dengan kepatutan dalam masyarakat.

4) Asas Kepercayaan (vertrouwensbeginsel), adanya kepercayaan

antara para pihak, maka dengan sendirinya para pihak saling mengikatkan dirinya dalam suatu perbuatan hukum. Pengikatan para pihak yang didasari kepercayaan pada perjanjian mendukung para pihak dalam melakukan prestasi, karena perjanjian tersebut mempunyai kekuatan yang mengikat dan dapat dijadikan sebagai undang-undang.

5) Asas Kekuatan Mengikat (Asas Pucta Sunt Servanda), dapat ditemukan di dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yaitu: “setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Isi pasal tersebut dapat menjelaskan bahwa perjanjian yang dibuat mengikat para pihak yang membuat perjanjian saja bukan pihak lain yang tidak terkait dalam perjanjian tersebut, dengan adanya perjanjian yang telah disepakati maka tidak ada alasan para pihak untuk tidak melakukan prestasi.

6) Adanya Kepastian Hukum, kepastian ini terungkap dari kekuatan

mengikat perjanjian itu yaitu sebagai undang-undang bagi para pihak. Kepastian hukum merupakan konsekuensi dari adanya asas yang lain. Adanya asas Pucta Sunt Servanda dimana akan menciptakan kekuatan mengikat antara pihak yang melakukan perjanjian yang melakukan perbuatan hukum berdasarkan atas KUHPerdata, maka perjanjian yang mereka buat akan menjadi undang-undang bagi kedua belah pihak.

7) Asas Keseimbangan, asas ini menghendaki kedua belah pihak

(27)

kedua, dan pihak pertama akan mendapatkan hak dari pihak kedua, demikian sebaliknya.

2.3.4. Syarat Sahnya Hukum Perjanjian

Dalam Pasal 1320 KUH Perdata disebutkan, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu:29

1) Sepakat, mereka yang mengikatkan dirinya, artinya bahwa para pihak

yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat atau setuju mengenai perjanjian yang akan diadakan tersebut, tanpa adanya paksaan, kekhilafan dan penipuan.

2) Kecakapan, yaitu bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian

harus cakap menurut hukum, serta berhak dan berwenang melakukan perjanjian.

Mengenai kecakapan Pasal 1329 KUH Perdata menyatakan bahwa setiap orang cakap melakukan perbuatan hukum kecuali yang oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap. Pasal 1330 KUH Perdata menyebutkan orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian yakni:

1) Orang yang belum dewasa.

Mengenai kedewasaan Undang-undang menentukan sebagai berikut: (i) Menurut Pasal 330 KUH Perdata: Kecakapan diukur bila para

pihak yang membuat perjanjian telah berumur 21 tahun atau kurang dari 21 tahun tetapi sudah menikah dan sehat pikirannya.

(ii) Menurut Pasal 7 Undang-undang No.1 tahun 1974 tertanggal 2 Januari 1974 tentang Undang-Undang Perkawinan (“ Undang-undang Perkawinan”): Kecakapan bagi pria adalah bila telah

29

(28)

mencapai umur 19 tahun, sedangkan bagi wanita apabila telah mencapai umur 16 tahun.

2) Mereka yang berada di bawah pengampuan.

3) Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang (dengan berlakunya Undang-Undang-Undang-Undang Perkawinan, ketentuan ini sudah tidak berlaku lagi).

4) Semua orang yang dilarang oleh Undang-Undang untuk membuat perjanjian-perjanjian tertentu.

Mengenai suatu hal tertentu, hal ini maksudnya adalah bahwa perjanjian tersebut harus mengenai suatu obyek tertentu.

Suatu sebab yang halal, yaitu isi dan tujuan suatu perjanjian haruslah berdasarkan hal-hal yang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban.

Apabila syarat subyektif tidak dapat terpenuhi, maka salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang dapat meminta pembatalan itu, adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya (perizinannya) secara tidak bebas.

Jadi, perjanjian yang telah dibuat itu akan terus mengikat kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tersebut.

Sedangkan apabila syarat obyektif yang tidak terpenuhi, maka perjanjian itu akan batal demi hukum. Artinya sejak semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.

2.3.5. Akibat Hukum dari Suatu Perjanjian yang Sah

(29)

sebagai undang- undang bagi mereka yang membuatnya, tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan kedua belah pihak atau karena alasan- alasan yang cukup menurut undang- undang, dan harus dilaksanakan dengan itikad baik, yaitu:30

1) Berlakunya sebagai Undang-undang 2) Tidak dapat ditarik kembali secara sepihak 3) Pelaksanaan dengan itikad baik

2.3.6. Berakhirnya Suatu Perjanjian

Di dalam Pasal 1381 KUHPerdata disebutkan beberapa cara hapusnya suatu perjanjian yaitu:31

a) Pembayaran

b) Penawaran tunai disertai dengan penitipan c) Pembaharuan hutang

d) Perjumpaan hutang e) Percampuran hutang f) Pembebasan hutang

g) Musnahnya benda yang terhutang h) Kebatalan/pembatalan

i) Berlakunya syarat batal j) Kadaluarsa atau lewat waktu

30Akibat Hukum Perjanjian yang Sah,

http://sangkoeno.blogspot.co.id/2015/01/akibat-hukum-perjanjian-yang-sah.html. Diakses pada 24 April 2016.

31

(30)

BAB III

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

3.1 Keabsahan Perjanjian dalam Transaksi Dagang Elektronik (E-commerce)

Kontrak elektronik (e-contract) merupakan kontrak yang terjadi akibat suatu transaksi komersial elektronik (e-commerce). Secara garis besar, ilustri terjadinya suatu transaksi dagang elektronik (e-commerce) adalah sebagai berikut: Toko X memiliki website (situs) yang didalamnya terdapat segala informasi produk yang dimiliki toko X termasuk pula harga, tata cara pembayaran, dan penyerahan barang

Situs ini dapat diakses oleh calon pembeli. Pembeli memilih barang yang diinginkannya dan mengisi order form (formulir pesanan) yang tersedia atau mengirimkan e-mail berisi pesanan barang. Selanjutnya pembeli harus melakukan pembayaran sesuai dengan tata cara pembayaran yang telah ditentukan. Setelah menerima formulir pesanan dan pemabayaran dari pembeli, maka toko X akan mengirimkan barang yang dipesan.

(31)

Di Indonesia, syarat sahnya perjanjian terdapat dalam pasal 1320 KUHPerdata, yaitu:

1) Adanya kesepakatan

Kesepakatan adalah penyesuaian pernyataan kehendak antara satu pihak atau lebih dengan pihak lain. Suatu kesepakatan selalu diawali dengan adanya suatu penawaran oleh satu pihak dan penerimaan oleh pihak lain. Jika penawaran tidak ditanggapi dengan penerimaan maka kesepakatan tidak akan terjadi.

Pada transaksi dagang elektronik konvensial, terjadinya kesepakatan mudah diketahui karena kesepakatan dapat langsung diberikan secara lisan maupun tertulis. Sebaliknya, dalam transaksi dagang elektronik, kesepakatan tidak diberikan secara langsung melainkan melalui media elektronik (khususnya internet)

Pada transaksi dagang elektronik, pihak yang melakukan penawaran adalah merchant atau produsen/penjual yang dalam hal ini menawarkan barang dan jasa melalui website. Penawaran ini dapat diakses oleh siapa saja. Jika calon pembeli tertarik untuk membeli barang yang ditawarkan maka ia hanya perlu meng “klik” barang yang ingin dibelinya. Umumnya setelah pesanan barang diterima oleh penjual, penjual akan mengirim

e-mail kepada pembeli yang berisi konfirmasi bahwa pesanan sudah

diterima. Dalam transaksi dagang elektronik (e-commerce), kesepakatan diberikan melalui media elektronik (khususnya internet) dan akibatnya menyebabkan keraguan mengenai kapan terjadinya kesepakatan.

Selain teori-teori mengenai saat terjadinya perjanjian yang telah diuraikan dalam tinjauan pustaka, masih ada beberapa teori yang dapat digunakan untuk menentukan saat terjadinya perjanjian, yaitu:

(32)

b) Perjanjian terjadi pada saat diterimanya penerimaan tersebut oleh pihak penerima penawaran (acceptor’s acceptance/transmission theory)

c) Perjanjian terjadi pada saat diterimanya penerimaan tersebut oleh offeror (reception theory)

d) Perjanjian terjadi saat offeor mengetahui adanya penerimaan

(information theory)32

Untuk menentukan kapan terjadinya kesepakatan dalam suatu transaksi dagang elektronik (e-commerce) negara-negara yang tergabung dalam Masyarakat Ekonomi Eropa menerapkan sistem “3 Klik” dengan mekanisme kerja sebagai berikut:

a) Klik pertama: calon pembeli melihat penawaran dari calon penjual b) Klik kedua: calon pembeli memberikan penerimaan terhadap

penawaran tersebut.

c) Klik ketiga: peneguhan dan persetujuan calon penjual kepada pembeli mengenai diterimanya penerimaan calon pembeli.33

Di Indonesia belum ada ketentuan semacam ini. Ajaran umum yang diikuti, menyatakan bahwa suatu perjanjian dianggap lahir saat offerte menerima jawaban. Menurut Hikmahanto Juwana, kontrak pada transaksi dagang elektronik (e-commerce) sudah berlaku secara sah dan mengikat pada saat pembeli meng-klik tombol send dan dalam hal ini pembeli

32 Arsyad M. Sanusi, E-commerce: Hukum dan Solusinya, (Bandung: P.T. Mizan Grafika

Sarana, 2001), hlm. 4-5.

33 Edmon Makarim, Kompilasi Hukum Telematika, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003),

(33)

dianggap telah sepakat serta menyetujui syarat dan kondisi yang tercantum dalam penawaran.34

Terdapat kesepakatan diantara para hakim Pengadilan Niaga untuk menerapkan sistem 3 klik untuk menentukan kapan terjadinya kesepakatan. Sistem 3 klik ini hampir sama dengan sistem yang diterapkan oleh negara-negara masyarakat Ekonomi Eropa, dimana klik pertama merupakan tahapan penawaran oleh calon penjual, klik kedua merupakan tahapan penerimaan oleh calon pembeli, dan klik ketiga merupakan saat terjadinya kesepakatan.

Penentuan kapan kesepakatan terjadi bagi pihak pembeli lebih sulit karena keputusan akhir terdapat ditangan penjual. Pembeli hanya bisa menunggu konfirmasi dari penjual. Dengan demikian menurutnya kesepakatan terjadi pada saat pembeli menerima konfirmasi dari penjual bahwa pemesanan barang dan pembayaran telah diterima oleh penjual, baik melalui website ataupun e-mail.

2) Adanya kecakapan

Pihak-pihak yang membuat perjanjian haruslah cakap dan berwenang untuk melakukan perbuatan hukum. Cakap disini berarti telah dewasa. Menurut pasal 1330 KUHPerdata, yang termasuk tidak cakap untuk membuat perjanjian adalah orang-orang yang belum dewasa, mereka yang ditaruh dibawah pengampunan, dan wanita bersuami. Dalam perkembangannya istri dapat melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 31 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 jo SEMA No.3 Tahun 1963.

34 Hikmahanto Juwana, Legal Issues on E-commerce and E-Contract in Indonesia, (Jurnal

(34)

Dalam transaksi dagang elektronik sulit menentukan kecakapan seseorang karena transaksi tidak dilakukan secara fisik, tetapi melalui media elektronik. Kontrak dalam transaksi dagang elektronik tidak dapat dikatakan sah, terutama karena sulitnya melihat kecakapan para pihak karena dalam transaksi dagang elektronik (e-commerce) tidak terjadi pertemuan antara para pihak.

3) Adanya suatu hal tertentu

Yang dimaksud hal tertentu menurut undang-undang adalah prestasi yang menjadi pokok perjanjian yang bersangkutan. Walaupun undang-undang tidak mengharuskan suatu barang sudah ada atau belum ada pada saat perjanjian, barang yang dimaksudkan dalam perjanjian setidaknya harus ditentukan jenisnya. Lebih lanjut pasal 1234 KUHPerdata menyebutkan bahwa tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu.

4) Adanya suatu sebab yang halal

Sebab yang halal disini berkaitan dengan isi dari perjanjian dan bukan sebab para pihak mengadakan perjanjian. Pasal 1335 KUHPerdata menyatakan bahwa suatu persetujuan yang dibuat karena sebab yang terlarang tidak mempunyai kekuatan. Lebih lanjut dalam pasal 1337 KUHPerdata disebutkan bahwa yang termasuk dalam sebab yang terlarang adalah yang dilarang oleh undang-undang atau berlawanan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.

(35)

batal demi hukum yang berarti sejak semula dianggap tidak pernah diadakan perjanjian.

Agar kontrak yang terjadi akibat transaksi dagang elektronik dapat dikatakan sah menurut hukum perdata Indonesia, maka kontrak tersebut juga harus memenuhi persyaratan sahnya perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPerdata tersbut. Kenyataannya, kontrak yang terjadi akibat suatu transaksi dagang elektronik tidak memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, terutama karena kesulitan menentukan kecakapan para pihak dan belum adanya peraturan mengenai kapan terjadinya kesepakatan dalam transaksi dagang elektronik

Para pelaku transaksi dagang elektronik memberikan pendapat yang berbeda. Airin Sunandar mengatakan bahwa karena ia selalu melakukan transaksi dagang elektronik dengan pihak yang sudah dipercaya maka ia menganggap bahwa kontrak yang terjadi alam transaksi dagang elektronik

(e-commerce) adalah sah.

3.2 Penyalahgunaan E-commerce di Indonesia35

Dalam beberapa dekade terakhir ini, banyak sekali perbuatan-perbuatan pemalsuan (forgery) terhadap surat-surat dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan bisnis. Perbuatan-perbuatan pemalsuan surat itu telah merusak iklim bisnis di Indonesia. Dalam KUH Pidana memang telah terdapat Bab khusus yaitu Bab XII yang mengkriminalisasi perbuatan-perbuatan pemalsuan surat, tetapi ketentuan-ketentuan tersebut sifatnya masih sangat umum. Pada saat ini surat-surat dan dokumen-dokumen yang dipalsukan itu dapat berupa electronic

document yang dikirimkan atau yang disimpan di electronic files badan-badan

atau institusi-institusi pemerintah, perusahaan, atau perorangan. Seyogyanya

35Penyalahgunaan E-Commerce di Indonesia, http://dedyjokoarif.blogspot.co.id/. Diakses

(36)

Indonesia memiliki ketentuan-ketentuan pidana khusus yang berkenaan dengan pemalsuan surat atau dokumen dengan membeda-bedakan jenis surat atau dokumen pemalsuan, yang merupakan lex specialist di luar KUH Pidana.

Di Indonesia pernah terjadi kasus cybercrime yang berkaitan dengan kejahatan bisnis, tahun 2000 beberapa situs atau web Indonesia diacak-acak oleh cracker yang menamakan dirinya Fabianclone dan naisenodni. Situs tersebut adalah antara lain milik BCA, Bursa Efek Jakarta dan Indosatnet (Agus Raharjo, 2002.37).

Selanjutnya pada bulan September dan Oktober 2000, seorang craker dengan julukan fabianclone berhasil menjebol web milik Bank Bali. Bank ini memberikan layanan internet banking pada nasabahnya. Kerugian yang ditimbulkan sangat besar dan mengakibatkan terputusnya layanan nasabah (Agus Raharjo 2002:38).

Kejahatan lainnya yang dikategorikan sebagai cybercrime dalam kejahatan bisnis adalah Cyber Fraud, yaitu kejahatan yang dilakukan dengan melakukan penipuan lewat internet, salah satu diantaranya adalah dengan melakukan kejahatan terlebih dahulu yaitu mencuri nomor kartu kredit orang lain denganmeng-hack atau membobol situs pada internet.

Menurut riset yang dilakukan perusahaan Security Clear Commerce yang berbasis di Texas, menyatakan Indonesia berada di urutan kedua setelah Ukraina (Shintia Dian Arwida. 2002).

Cyber Squalling, yang dapat diartikan sebagai mendapatkan,

memperjualbelikan, atau menggunakan suatu nama domain dengan itikad tidak baik atau jelek. Di Indonesia kasus ini pernah terjadi antara PT. Mustika Ratu dan Tjandra, pihak yang mendaftarkan nama domain tersebut (Iman Sjahputra, 2002:151-152).

(37)

Cybercrime. Dalam amar putusannya Majelis Hakim berkeyakinan bahwa Petrus Pangkur alias Bonny Diobok Obok telah membobol kartu kredit milik warga Amerika Serikat, hasil kejahatannya digunakan untuk membeli barang-barang seperti helm dan sarung tangan merk AGV. Total harga barang yang dibelinya mencapai Rp. 4.000.000,- (Pikiran Rakyat, 31 Agustus 2002).

Namun, beberapa contoh kasus yang berkaitan dengan cybercrime dalam kejahatan bisnis jarang yang sampai ke meja hijau, hal ini dikarenakan masih terjadi perdebatan tentang regulasi yang berkaitan dengan kejahatan tersebut. Terlebih mengenai UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Internet dan Transaksi Elektronika yang sampai dengan hari ini walaupun telah disahkan pada tanggal 21 April 2008 belum dikeluarkan Peraturan Pemerintah untuk sebagai penjelasan dan pelengkap terhadap pelaksanaan Undang-Undang tersebut.

Disamping itu banyaknya kejadian tersebut tidak dilaporkan oleh masyarakat kepada pihak kepolisian sehingga cybercrime yang terjadi hanya ibarat angin lalu, dan diderita oleh sang korban.

Upaya penanggulangan kejahatan e-commerce sekarang ini memang harus diprioritaskan. Indonesia harus mengantisipasi lebih berkembangnya kejahatan teknologi ini dengan sebuah payung hukum yang mempunyai suatu kepastian hukum. Urgensi cyberlaw bagi Indonesia diharuskan untuk meletakkan dasar legal dan kultur bagi masyarakat indonesia untuk masuk dan menjadi pelaku dalam pergaulan masyarakat yang memanfaatkan kecanggihan dibidang teknologi informasi.

(38)

hukum yang jelas dan tegas dapat meminimalisasi adanya tindak kejahatan dan kecurangan sehingga memberikan kemudahan bagi auditor untuk melacak tindak kejahatan tersebut. Adanya jaminan keamanan yang diberikan akan menumbuhkan kepercayaan di mata masyarakat pengguna sehingga diharapkan pelaksanaan e-commerce khususnya di Indonesia dapat berjalan dengan baik.

Kasus-kasus cybercrime dalam bidang e-commerce sebenarnya banyak sekali terjadi, namun ditengah keterbatasan teknologi dan sumber daya manusia aparat hukum dibidang penyelidikan dan penyidikan, banyak kasus-kasus yang tidak terselesaikan bahkan tidak sempat dilaporkan oleh korban, sehingga sangat dibutuhkan sekali kesigapan sistem peradilan kita untuk menghadapi semakin cepatnya perkembangan kejahatan dewasa ini khususnya dalam dunia cyber.

Untuk mencapai suatu kepastian hukum, terutama dibidang penanggulangan kejahatan e-commerce, maka dibutuhkan suatu undang-undang atau peraturan khusus mengenai cybercrime sehingga mengatur dengan jelas bagaimana dari mulai proses penyelidikan, penyidikan sampai dengan persidangan.

Diharapkan aparat penegak hukum di Indonesia lebih memahami dan “mempersenjatai” diri dengan kemamampuan penyesuaian dalam globalisasi perkembangan teknologi ini sehingga secanggih apapun kejahatan yang dilakukan, maka aparat penegak hukum akan dengan mudah untuk menanggulanginya dan juga tidak akan terjadi perbedaan persepsi mengenai penerapan suatu undang-undang ataupun peraturan yang telah ada, dan dapat tercapainya suatu kepastian hukum di tengah-tengah masyarakat Indonesia.

3.3 Perlindungan Hukum Bagi Konsumen dalam Transaksi Dagang Elektronik (E-commerce)

(39)

e-commerce tidak terjadi pertemuan secara fisik antara konsumen dengan penjualnya yang kemudian dapat menimbulkan berbagai permasalahan.36

Berikut akan dijelaskankan berbagai permasalahan yang penting seputar transaksi e-commerce dan pengaturan permasalahannya. Permasalahan tersebut sebagai berikut :

1) Privasi

Pengertian privasi tidak sama dengan kerahasiaan (Confidentiality), privasi merupakan konsep yang lebih luas dari sekedar kerahasiaan yang meliputi hak untuk bebas dari gangguan, hak untuk tetap mandiri, hak untuk dibiarkan sendiri, hak untuk mengontrol peredaran dari informasi tentang seseorang dan dalam hal apa saja informasi tersebut harus diperoleh dan digunakan. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE) sudah memberikan perlindungan terhadap data pribadi seseorang, hal ini diatur dalam pasal 26 disebutkan bahwa :

a) Kecuali ditentukan lain oleh Peraturan Perundang-undangan, penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan Orang yang bersangkutan.

b) Setiap Orang yang dilanggar haknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan gugatan atas kerugian yang ditimbulkan berdasarkan Undang-Undang ini.

2) Otensitas Subyek Hukum

Otensitas sama artinya dengan autentik, autentik menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia artinya dapat dipercaya, asli atau sah. Masalah otensitas para subyek hukum dalam transaksi e-commerce sangat penting karena menyangkut keabsahan perjanjian yang dibuat melalui e-commerce. Yang menyangkut otensitas adalah :

36 Perlindungan Hukum, http://www.damandiri.or.id/arirahmathakimundipbab2c.pdf. Diakses

(40)

a) Kecakapan para pihak

Pada transaksi e-commerce sangat sulit untuk menentukan seseorang yang melakukan transaksi telah dewasa atau tidak berada di bawah pengampuan karena proses penawaran dan penerimaan tidak dilakukan secara fisik melainkan melalui suatu media elektronik.

Dengan adanya pengaturan sebagaimana disebutkan diatas, maka jelas bahwa untuk melakukan transaksi elektronik harus memenuhi syarat kecakapan sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata.

b) Validitas subyek hukum

Validitas dalam e-commerce adalah hal yang sangat penting, pengertian validitas ini adalah sejauh mana kebenaran akan keberadaan suatu subyek hukum. Konsep validitas dalam e-commerce menjadi penting karena dapat mencegah terjadinya penipuan, untuk mengetahui kemana ganti rugi harus diajukan dan menambah cara yang dilakukan oleh pelaku usaha untuk menunjukkan validitasnya misalnya :

Dengan pencantuman alamat

 Mencantumkan logo perusahaan pencantuman logo perusahaan dalam suatu website, menandakan bahwa website tersebut benar-benar ada, karena sudah diotorisasi oleh CA

(Certification Authority).

 Feedback dari pelanggan.

 Ini adalah salah satu bentuk validitas yang paling sederhana namun tingkat validitasnya hampir sempurna. Dalam transaksi

e-commerce, apabila suatu website menerima feed back yang

(41)

Validitas erat kaitannya dengan CA (Certification Authority), namun dalam UUITE tidak menggunakan istilah CA tapi menggunakan istilah “lembaga sertifikasi keandalan”, dimana dalam Pasal 1 angka 11 diartikan sebagai lembaga independen yang dibentuk oleh profesional yang diakui, disahkan dan diawasi oleh pemerintah dengan kewenangan mengaudit dan mengeluarkan sertifikat keandalan dalam transaksi elektronik. Dari rumusan pasal tersebut dapat ditafsirkan bahwa pelaku usaha tidak diwajibkan untuk menggunakan jasa CA, sehingga tidak semua situs e-commerce dijamin otentisitasnya oleh CA. Seharusnya UUITE mewajibkan sertifikasi setiap situs

e-commerce untuk memberikan perlindungan bagi konsumen

dari penipuan.

c) Obyek transaksi e-commerce

Yang menjadi obyek transaksi e-commerce adalah barang atau jasa yang diperjual belikan oleh pelaku usaha kepada setiap orang yang membeli barang dan jasa melalui e-commerce. Namun tidak semua barang atau jasa dapat diperjualbelikan dalam transaksi e-commerce. UUITE dan UUPK tidak mengatur mengenai syarat-syarat barang atau jasa yang diperbolehkan untuk diperjualbelikan dalam transaksi

e-commerce, namun dengan melihat ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata

terdapat ketentuan yang mengatur mengenai barang-barang yang boleh untuk diperdagangkan yakni :

1) Barang itu adalah barang yang dapat diperdagangkan, baik yang ada sekarang maupun yang akan ada.

2) Tidak bertentangan dengan undang-undang dan ketertiban umum.

(42)

Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) tidak mengatur mengenai persyaratan tentang barang atau jasa yang boleh diperdagangkan, melainkan hanya mengatur mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha dalam memasarkan barang atau jasa.

Walaupun UUITE tidak mengatur mengenai kriteria barang yang boleh diperdagangkan dalam transaksi e-commerce, namun UUITE mewajibkan pelaku usaha untuk menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan produk yang ditawarkan (Pasal 9 UUITE) dan melarang penyebaran berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik (Pasal 28 ayat 1 UUITE).

d) Tanggung Jawab Para Pihak

Transaksi e-commerce dilakukan oleh pihak yang terkait, walaupun pihak- pihaknya tidak bertemu secara langsung satu sama lain melainkan berhubungan melalui media internet. Dalam e-commerce, pihak-pihak yang terkait tersebut antara lain :

1) Penjual atau merchant yang menawarkan sebuah produk melalui Internet sebagai pelaku usaha.

2) Pembeli yaitu setiap orang tidak dilarang oleh undang-undang, yang menerima penawaran dari penjual atau pelaku usaha dan berkeinginan melakukan transaksi jual beli produk yang ditawarkan oleh penjual.

(43)

4) Provider sebagai penyedia jasa layanan akses Internet.

Transaksi jual beli secara elektronik merupakan hubungan hukum yang dilakukan dengan memadukan jaringan (network) dari sistem yang informasi berbasis komputer dengan sistem komunikasi yang berdasarkan jaringan dan jasa tekomunikasi. Hubungan hukum yang terjadi dalam transaksi jual beli secara elektronik tidak hanya terjadi antara pengusaha dengan konsumen saja, tetapi juga terjadi pada pihak-pihak dibawah ini:

1) Business to business

2) Costumer to costumer

3) Custumer to business

4) Consumer To Consumer (C2C) Costumer to goverment

Pada dasarnya proses transaksi jual beli secara elektronik tidak jauh berbeda dengan jual beli biasa, sebagai berikut:

1) Penawaran, yang dilakukan oleh penjual atau pelaku usaha

(44)

usaha yang menawarkan sebuah produk maka tidak dapat dikatakan ada penawaran. Dengan demikian, penawaran melalui media Internet hanya dapat terjadi apabila seseorang membuka situs yang menampikan sebuah tawaran melalui internet tersebut 2) Penerimaan, dapat dilakukan tergantung penawaran yang terjadi.

Apabila penawaran dilakukan melalui e-mail address, maka penerima dilakukan melalui e-mail, karena penawaran hanya ditujukan sebuah e-mail tersebut yang ditujukan untuk seluruh rakyat yang membuka website yang berisikan penawaran atas suatu barang yang ditawarkan oleh penjual atau pelaku usaha. Setiap orang yang berminat untuk membeli barang yang ditawarkan itu dapat membuat kesepakatan dengan penjual atau pelaku usaha yang menawarkan barang tersebut. Pada transaksi jual beli secara elektronik khususnya melalui website, biasanya calon pembeli akan memilih barang tertentu yang ditawarkan oleh penjual atau pelaku usaha dan jika calon pembeli atau konsumen itu tertarik untuk membeli salah satu barang yang ditawarkan, maka barang itu akan disimpan terlebih dahulu sampai calon pembeli/konsumen merasa yakin akan pilihannya, selanjutnya pembeli/konsumen akan memasuki tahap pembayaran.

3) Pembayaran dapat dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung, misalnya melalui fasilitas Internet namun tetap

bertumpu pada sistem keuangan nasional, yang mengacu pada sistem keuangan lokal. Klasifikasi cara pembayaran adalah sebagai berikut:

(45)

melakukan pengambilan atau deposit uangnya dari account masing-masing.

 Pembayaran dua pihak tanpa perantara, yang dapat dilakukan langsung antar kedua pihak tanpa perantaraan mengunakan uang nasionalnya.

 Pembayaran dengan perantaraan pihak ketiga, umumnya merupakan proses pembayaran yang menyangkut debet, kredit ataupun cek masuk. Metode pembayaran yang dapat digunakan antara lain: sistem pembayaran melalui kartu kreditonline serta sistem pembayaran check in line. Apabila kedudukan penjual dengan pembeli berbeda, maka pembayaran dapat dilakukan melalui cash account to account atau pengalihan dari rekening pembeli pada rekening penjual.

Berdasarkan kemajuan teknologi, pembayaran dapat dilakukan melalui kartu kredit pada formulir yang disediakan oleh penjual dalam penawarannya. Pembayaran dalam transaksi jual beli secara elektronik ini sulit untuk dilakukan secara langsung, karena adanya perbedaan lokasi antar penjual dengan pembeli, dimungkinkan untuk dilakukan.

4) Pengiriman, merupakan suatu proses yang dilakukan setelah

pembayaran atas barang yang telah ditawarkan oleh penjual kepada pembeli, dalam hal ini pembeli berhak atas penerimaan barang termaksud. Pada kenyataannya barang yang dijadikan objek perjanjian dikirimkan oleh penjual kepada pembeli dengan biaya pengiriman sebagaimana telah diperjanjikan antar penjual dan pembeli.

(46)

secara konvensional, dimana antara penjual dengan pembeli saling bertemu secara lansung, namun dapat juga hanya melalui media Internet, sehingga orang yang saling berjauhan atau berada pada lokasi yang berbeda tetap dapat melakukan transaksi jual beli tanpa harus bersusah payah untuk saling bertemu secara langsung, sehingga meningkatkan efektifitas dan efisiensi waktu serta biaya baik bagi pihak penjual maupun pembeli.

Pasal 15 Undang-Undang Informasi dan Transaksi elektronik (UUITE) menjelaskan bahwa sistem penyelenggaraan informasi dan transaksi elektronik harus dilakukan secara aman, andal dan dapat beroperasi sebagaimana mestinya. penyelenggaraan sistem elektronik bertanggung jawab atas sistem yang diselenggarakannya. Pasal 16 UUITE menjelaskan bahwa sepanjang tidak ditentukan lain oleh undang-undang tersendiri, setiap penyelenggaraan sistem elektronik wajib mengoperasikan sistem elektronik secara minimum, yang harus dapat dilakukan oleh penyelenggara sistem elektronik adalah:

1) Dapat menampilkan kembali informasi elektronik yang berkaitan dengan penyelenggaraan sistem elektronik yang telah berlangsung;

2) Dapat melindungi otentifikasi, integritas, rahasia, ketersediaan, dan akses dari informasi elektronik dalam penyelenggaraan sistem elektronik tersebut;

3) Dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk dalam penyelenggaraan sistem elektronik tersebut;

4) Dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk dengan bahasa, informasi, atau simbol yang dapat dipahami oleh pihak yang bersangkutan dengan penyelenggaraan sistem elektronik tersebut; dan

(47)

Dalam Pasal 9 UUITE dijelaskan bahwa pelaku usaha yang menawarkan produk melalui sistem elekronik harus menyediakan informasi yang dilengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan.

Dalam Pasal 10 ayat (1) UUITE dijelaskan bahwa setiap pelaku usaha yang menyelenggarakan Transaksi Elektronik dapat disertifikasi oleh lembaga Sertifikasi keandalan.

Dalam Pasal 10 ayat (2) UUITE menyebutkan “ketentuan mengenai pembentukan Lembaga Sertifikasi keandalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan pemerintah.

Terkait dengan tanggung jawab seseorang mengenai tanda tangan elektronik maka dalam Pasal 12 ayat (1) UU ITE disebutkan bahwa “setiap orang yang terlibat dalam tanda tangan elektronik berkewajiban memberikan pengamanan atas tanda tangan elektronik yang digunakannya”.

Dalam Pasal 12 ayat (2) UU ITE dijelaskan bahwa Pengamanan tanda tangan elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya meliputi :

1) Sistem tidak dapat diakses oleh orang lain yang tidak berhak;

2) Penanda tangan harus menerapkan prinsip kehati-hatian untuk menghindari penggunaan secara tidak sah terhadap data terkait pembuatan tanda tangan elektronik;

3) Penanda tangan harus tanpa menunda-nunda, menggunakan cara yang dianjurkan oleh penyelenggara tanda tangan elektronik jika;

a) penanda tangan mengetahui bahwa data pembuatan tanda tangan elektronik telah di bobol; atau

(48)

tangan elektronik. Dalam hal sertifikasi digunakan untuk mendukung tanda tangan elektronik, penanda tangan harus memastikan kebenaran dan keutuhan semua informasi yang terkait dengan sertifikasi elektronik tersebut.

Pasal 12 ayat (3) UUITE juga menjelaskan bahwa “setiap orang yang melakukan pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bertanggung jawab atas segala kerugian dan konsekuensi hukum yang timbul. Artinya setiap orang bertanggung jawab atas segala kerugian yang timbul akibat pelanggaran yang dilakukan terhadap pemberian pengamanan atas tanda tangan elektronik tersebut.

3.4 Upaya Hukum Bagi Konsumen yang Dirugikan dalam E-commerce di Indonesia37

Upaya konsumen untuk menuntut ganti rugi akibat kerugian yang terjadi dalam transaksi e-commerce dapat dilakukan melalui cara:

1) Litigasi

Dasar hukum untuk mengajukan gugatan di pengadilan terdapat dalam Pasal 38 ayat 1 UU ITE dan Pasal 45 ayat 1 UUPK. Dalam Pasal 38 ayat 1 UU ITE disebutkan bahwa : “Setiap orang dapat mengajukan gugatan terhadap pihak yang menyelenggarakan Sistem Elektronik dan/atau menggunakan Teknologi Informasi yang menimbulkan kerugian”.

Sedangkan dalam Pasal 45 ayat 1 UUPK disebutkan bahwa: “Setiap konsumen yang dirugikan bisa menggugat pelaku usaha melalui lembaga

37Aspek Hukum Perdagangan,

Referensi

Dokumen terkait

Sebagai salah satu komoditas utama dari kabupaten bireuen, saat ini kedelai yang dihasilkan hanya dijual secara langsung kepengepul dengan harga murah, sehingga walaupun

Pekerjaan pemasangan rambu-rambu tambang yang harus dikerjakan oleh pihak kontraktor ataupun perusahaan yang meliputi : papan blok, pita elevasi, pita batas lahan, pita

Serat Wedhatama, yang merupakan karya besar Sri Mangkunegara IV dapat dijadikan rujukan utama dalam pembelajaran muatan lokal Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa,

Meskipun masih memiliki banyak kendala, Program Astek merupakan fondasi dasar penyelenggaraan Asuransi Sosial bagi Tenaga Kerja di Indonesia.. What do you know

Tabel I.3 Data Hasil Survei Pendahuluan pada Pegawai Kantor Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Pangkalpinang .... Tabel I.4 Data Spesifikasi Jabatan Pegawai Struktural di

Validasi retrospektif hanya dapat diterima untuk proses yang telah tertata dengan baik dan akan tidak sesuai ketika telah terjadi perubahan dalam komposisi produk, prosedur

Peneliti dan guru kelas berkolaborasi dalam pembuatan RPP (Rencana Pelaksaan Pembelajaran). Tugas guru dalam pelaksanaan penelitian adalah melaksanakan pembelajaran

Dalam studi manajemen, kehadiran konflik pendidikan tidak bisa terlepas dari permasalahan keseharian yang dirasakan oleh pengelola lembaga pendidikan. Konflik tersebut