• Tidak ada hasil yang ditemukan

pengertian umum teori dan klasifikasi me

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "pengertian umum teori dan klasifikasi me"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

Pengertian, Teori, dan Klasifikasi Metafora

Pengertian

Secara etimologis, terminologi metafora dibentuk melalui perpaduan dua kata Yunani—―meta‖ (diatas) dan ―pherein‖ (mengalihkan/memindahkan). Dalam bahasa Yunani Modern, kata metafora juga bermakna ―transfer‖ atau ―transpor‖. Dengan demikian, metafora adalah pengalihan citra, makna, atau

kualitas sebuah ungkapan kepada suatu ungkapan lain (Classe: 2000: 941). Pengalihan tersebut dilakukan dengan cara merujuk suatu konsep kepada suatu konsep lain untuk mengisyaratkan kesamaan, analogi atau hubungan kedua konsep tersebut. Sebagai contoh, dalam metafora ―Pelanggan adalah

raja,‖ berbagai citra atau kualitas seorang raja, seperti kekuasaan, pengaruh,

posisi, dan sebagainya dipindahkan kepada pelanggan. Ungkapan Shakespeare yang sangat terkenal ―All the world's a stage‖ adalah contoh

metafora yang sering dikutip. Metafora ini mengindikasikan bahwa ―the world‖ dan ―stage‖ adalah dua hal yang analog.

(2)

Berikut ini adalah uraian singkat tentang keempat teori tersebut, yang secara khusus ditinjau dari perspektif penerjemahan.

2. Teori Metafora

a. Teori Perbandingan (Comparison Theory)

Teori perbandingan, yang identik dengan definisi etimologis di atas, digagas oleh Aristoteles pada abad keempat masehi. Menurut Aristoteles, metafora merupakan sarana berpikir yang sangat efektif untuk memahami suatu konsep abstrak, yang dilakukan dengan cara memperluas makna konsep tersebut dengan cara membandingkannya dengan suatu konsep lain yang sudah dipahami. Melalui perbandingan itu terjadi pemindahan makna dari konsep yang sudah dipahami kepada konsep abstrak. Batasan ini biasanya diungkapkan dengan rumus ―A adalah B dalam konteks X, Y, Z …‖

Sebagai contoh, dalam metafora ―Guru adalah matahari bangsa‖, fungsi ‗matahari‘ sebagai pemberi ‗terang‘ dan ‗kehangatan‘ dipindahkan kepada ‗guru‘. Pemindahan ini membuat ―guru‖ menjadi ―pemberi terang dan

kehangatan‖ kepada bangsa. Oleh Aristoteles, ungkapan-ungkapan linguistik

yang dihasilkan dari metafora sebagai sarana berpikir itu disebut sebagai stilistika.

(3)

(2004: 118) menambahkan bahwa majas tersebut digunakan untu memperindah ungkapan-ungkapan dalam puisi. Dengan kata lain, Aristoteles lebih mementingkan metafora sebagai ekspresi linguistik, bukan sebagai konsep berpikir yang menghasilkan ekspresi tersebut.

Sejak dicanangkan oleh Aristoteles, metafora menjadi salah satu bidang kajian utama bidang filsafat, linguistik dan kritik sastra di Barat. Namun, menurut Punther (2007: 10-12), penekanan pada fungsi metafora sebagai ornamen retoris mengakibatkan kajian-kajian itu hanya terfokus pada upaya upaya untuk membedakan bahasa harfiah dan bahasa figuratif. Akibatnya, selama hampir 16 abad metafora tidak dianggap sebagai bagian integral diskursus filsafat dan bahasa sehari-hari, dan pengertian metafora sebagai perbandingan antara sebuah konsep yang asing (topik) dengan suatu konsep lain yang sudah dipahami (citra) yang menghasilkan kemiripan (titik kesamaan) diantara keduanya, yang kemudian dipindahkan kepada topik sehingga pemahaman terhadapnya meningkat juga tidak mengalami perubahan secara substantif.

(4)

penjelasan mengenai topik itu. Dalam ungkapan ―Guru adalah matahari bangsa‖, ―guru‖ merupakan topik dan ―adalah matahari bangsa‖ merupakan

penjelasan. Hubungan antara kedua proposisi tersebut merupakan sebuah perbandingan yang terdapat dalam bagian penjelasan. Penjelasan tersebut mengungkapkan kemiripan atau menunjukkan titik kesamaan tertentu. Dalam contoh di atas, bagian penjelasan mengungkapkan kemiripan antara ―guru‖ dan ―matahari‖ sebagai pemberi ‗terang‘ dan ‗kehangatan‘.

b. Teori Interaksi

Pemunculan konsep metafora yang berbeda dengan konsep Aristoteles diawali oleh Richards. Perbedaan itu terlihat paling tidak dalam dua poin. Pertama, Richards (1936: 90) menyatakan bahwa metafora sesuatu yang istimewa dan hanya digunakan oleh orang-orang berbakat sebagai ornamen retoris. Dengan kata lain, dia menolak pandangan bahwa metafora digunakan secara khusus hanya dalam karya sastra.

(5)

tidak terjadi pemindahan makna dari ―matahari‖ kepada ―guru‖. Kedua kata itu

tetap pada makna harfiah masing-masing. Namun sebagian wilayah makna kedua kata itu, seperti makna ‗mendidik‘ dan ‗mengajar‘ berinteraksi dengan makna ‗menerangi‘ dan ‗menghangatkan‘, dan menghasilkan gagasan

―melalui pendidikan dan pengajaran yang dilakukannya, guru menerangi dan

memberi kehangatan pada bangsa‖. Secara grafis, proses kognitif yang menghasilkan metafora ini digambarkan dalam Bagan 3 di bawah ini.

Pada bagan tersebut, tampak dua lingkaran yang disatukan, masing-masing menampilkan wilayah makna ―guru‖ dan wilayah makna ―matahari‖.

(6)

terdiri dari ―hangat‖ dan ―menerangi.‖ Meskipun wilayah makna itu menyatu,

makna harfiah ―guru‖ dan ―matahari‖ tidak menghilang, melainkan ada di latar

belakang makna metaforis. Itulah sebabnya Richard menekankan bahwa dalam metafora tidak terjadi substitusi makna melainkan interaksi makna.

Istilah vehicle yang diajukan Richard ini mirip dengan ‗topik‘, istilah tenor mirip dengan ―citra,‖ dan istilah ground mirip dengan ―titik kesamaan‖. Menurut Stockwell (2002: 106), dalam ungkapan stilistik posisi vehicle selalu mendahuli tenor, meskipun dalam skema proses kognitifnya tenor diletakkan sebelum vehicle. Jadi, dalam metafora ―Guru adalah matahari bangsa‖, ―Guru‖ merupakan vehicle dan ―matahari‖ merupakan tenor‖. Fitur umum yang terdapat diantara keduanya, seperti ‗hangat‘ dan ‗menerangi‘, disebut

ground.

Berdasarkan gagasan Richards, Black mengembangkan teori interaksi dengan menekankan bahwa metafora pada hakikatnya merupakan instrumen kognitif yang tidak dapat berlangsung tanpa adanya interaksi antar elemen-elemen pembentuknya, yang terdiri dari aspek konteks, situasi, pembicara/pendengar, penulis/pembaca, dan tema pertuturan. Esensi aspek-aspek kontekstual ini dapat dilihat dalam contoh-contoh berikut.

(7)

Kalimat (1) di atas merupakan metafora jika dilihat dari konteksnya bahwa Ali berumur 40 tahun. Dalam konteks ini, ―Ali‖ dianalogikan sebagai ―anak kecil‘ karena memiliki sifat kekanak-kanakan. Akan tetapi, kalimat itu

bukan sebuah metafora jika diketahui Ali masih berumur lima tahun. Kalimat (2) merupakan metafora jika diketahui Toto bukan seorang pemain film (aktor) namun pandai bersandiwara bagaikan seorang aktor. Sebaliknya, kalimat itu bukan metafora jika Toto benar-benar seorang aktor. Melalui penjelasan dan contoh-contoh tersebut, terlihat bahwa dalam teori interaksi Black kriteria pokok yang menentukan apakah sebuah tuturan merupakan metafora atau hanya sekedar pernyataan harfiah adalah konteks dan situasinya.

(8)

lainnya. Selain itu, ketiga konsep itu juga sama-sama menekankan fungsi metafora sebagai bahasa figuratif.

c. Teori Pragmatik

(9)

mengakrabkan, atau mengarahkan penutur kepada makna yang mungkin diabaikannya.

Sama dengan Davidson, Searle (1981: 76-103) juga menolak konsep perubahan makna pada topik karena adanya pemindahan makna dari citra, atau karena adanya interaksi vehicle dengan tenor. Menurut Searle, di dalam metafora sama sekali tidak ada perubahan makna. Searle mengakui bahwa makna ungkapan metaforis berbeda dengan makna harfiah kata-kata atau kalimat penyusunnya. Namun hal itu tidak disebabkan oleh perubahan makna elemen-elemen leksikal, melainkan karena penutur bermaksud mengungkapkan makna yang lain melalui kata-kata atau kalimat tersebut. Hal ini, secara sederhana, diungkapkan dengan rumusan bahwa penutur mengatakan ―S adalah P‖, padahal yang dimaksudkannya adalah ―S adalah R‖.Sehubungan dengan itu, Searle mengusulkan bahwa untuk menjelaskan

metafora perlu dibedakan antara makna harfiah kata-kata atau kalimat dengan makna yang disampaikan penutur (makna metaforis yang ingin diungkapkan melalui makna harfiah kata-kata atau kalimat yang digunakan).

(10)

hubungan internal elemen-elemen kontekstual tuturan tersebut, termasuk makna yang disampaikan penutur.

d. Teori Kognitif

Wilayah kajian metafora yang dulu cenderung mengacu pada ungkapan figuratif mulai berubah sejak Lakoff dan Johnson menerbitkan Metaphors We Live By pada tahun 1980. Dalam buku ini mereka

menegaskan bahwa metafora tidak hanya digunakan dalam karya sastra tetapi dalam kehidupan sehari-hari. Menurut mereka, ―metaphors are pervasive in our ordinary everyday way of thinking, speaking, and acting.‖

(11)

tidak dapat dipertahankan‖, ―Aku berhasil menghancurkan argumentasinya‖

dan ―Dia selalu menang dalam perdebatan‖, sebenarnya merupakan variasi

metafora linguistik yang dibentuk berdasarkan metafora konseptual ARGUMEN MERUPAKAN PERANG, seperti terlihat dari uraian yang diadopsi dari penjelasan Lakoff dan Johnson berikut.

metafora konseptual: ARGUMEN MERUPAKAN PERANG

metafora linguistik a) Pendapatmu tidak dapat dipertahankan. b) Aku berhasil mementahkan argumentasinya. c) Dia selalu menang dalam perdebatan.

Selain itu, berbagai kalimat sering diinterpretasikan secara metaforis tanpa memperhatikan makna sebenarnya. Sebagai contoh, kalimat ―Pembunuhnya adalah binatang‖ cenderung diinterpretasikan secara metaforis. Biasanya, setelah dijelaskan bahwa kata ―binatang‖ dalam kalimat

itu adalah hewan sesungguhnya (singa, beruang, dan sebagainya), barulah pendengar menginterpretasikannya secara harfiah.

(12)

terhubung secara harfiah, dan secara semantis terhubung dan tersimpan dalam pikiran. Hal-hal itu diungkapkan dalam pertuturan melalui seperangkat kata atau ungkapan yang dianggap terhimpun dalam kelompok-kelompok yang serupa dengan kumpulan tersebut—yang sering disebut oleh linguis sebagai ‗kelompok leksikal‘ (lexical sets) atau ‗bidang-bidang leksikal‘ (lexical fields). Ranah sasaran cenderung bersifat lebih abstrak dan mengikuti struktur yang dimiliki ranah sumber melalui pemetaan ontologis. Pemetaan inilah yang disebut metafora konseptual. Oleh karena itu, entitas, atribut, dan proses dalam ranah sasaran diyakini berhubungan satu sama lain seperti pola yang dipetakan dari hubungan antara entitas, atribut, dan proses dalam ranah sumber. Pada tataran bahasa, seluruh. entitas, atribut, dan proses dalam ranah sasaran dileksikalkan melalui kata-kata dan ungkapan dari ranah sumber. Kata-kata atau ungkapan inilah yang disebut dengan metafora linguistik.

(13)

dihasilkan dari sebuah metafora konseptual. Berdasarkan rumusan ini, sebagai contoh, untuk konsep DUNIA dapat dibentuk metafora konseptual DUNIA ADALAH PANGGUNG SANDIWARA. Dalam konteks ini pemahaman tentang sandiwara digunakan untuk memahami kehidupan. Dari metafora konseptual DUNIA ADALAH PANGGUNG SANDIWARA dapat dibentuk berbagai metafora linguistik, seperti: ―Pertolongan yang diberikannya hanyalah sandiwara‖; ―Para anggota parlemen itu hanyalah badut-badut politik‖; ―Kehidupan pernikahannya tak lebih dari sinetron belaka‖; dan

sebagainya.

Bagi pendukung teori kongnitif, pikiran dianggap lebih penting dari bahasa. Teori kongnitif tidak dimaksudkan untuk menjelaskan ungkapan-ungkapan bahasa yang digunakan, yang dianggap hanya sebagai manifestasi permukaan dari fenomena yang jauh lebih penting. Meskipun demikian, pola-pola ungkapan bahasa merupakan data yang digunakan sebagai bukti utama untuk menyajikan teori ini. Data-data linguistik tersebut biasanya dihasilkan secara intuitif, baik oleh peneliti maupun informan. Namun selama beberapa tahun terakhir beberapa peneliti mulai menganalisis data linguistik yang diperoleh secara alami.

(14)

definisi-definisi itu tetap bermuara kepada dua tataran, yakni: metafora konseptual dan metafora linguistik. Metafora konseptual merupakan proses pemindahan sebuah konsep yang dikenal kepada konsep lain yang masih asing agar konsep yang asing itu dapat dipahami. Pemindahan konsep itu bisa melalui perbandingan, interaksi, atau pemetaan. Metafora linguistik merupakan ekspresi linguistik yang diperoleh dari sebuah metafora konseptual.

Perbedaan yang terdapat dalam berbagai definisi dan teori metafora di atas terletak pada penekanan esensi dan fungsi kedua jenis metafora tersebut. Bagi Aristoteles, metafora linguistik lebih penting dari metafora konseptual dan sangat diperlukan sebagai bahasa figuratif (majas) dalam puisi dan kajian sastra. Bagi Lakoff dan Johnson, metafora yang paling esensial adalah metafora konseptual, dengan alasan bahwa metafora linguistik merupakan manifestasi linguistis dari metafora konseptual (sebagai sistem berpikir yang terlibat dalam kehidupan sehari-hari manusia). Krennmayr (2011: 11) menegaskan bahwa berbeda dengan pandangan filsuf dan linguis terdahulu, yang memandang bahasa terpisah dari pikiran, linguis kontemporer sejak pemunculan linguistik kognitif memandang bahasa berinteraksi dengan persepsi, memori, dan pikiran.

(15)

mencakup personifikasi, karena personifikasi juga didasarkan pada perbandingan benda atau binatang dengan manusia. Dalam personifikasi ―Nyiur melambai-lambai‖ terdapat perbandingan antara gerakan daun nyiur

dengan gerakan tangan manusia. Perbandingan itu menghasilkan titik kesamaan berupa ―gerakan gemulai dari kanan ke kiri atau sebaliknya‖. Jadi,

proses pembuatan personifikasi sama dengan metafora. Mendukung konsep ini, Alm-Arvius (2003: 129) menegaskan bahwa personifikasi merupakan sub-kategori metafora yang bersifat lebih umum dan komprehensif. Dengan kata lain, metafora merupakan atasan personifikasi, dan personifikasi merupakan subordinat metafora. Penjelasan Alm-Arvius ini menjelaskan bahwa perbedaan di antara metafora dan personifikasi terletak hanya pada ruang lingkup. Metafora membandingkan semua benda ide, atau tindakan dengan sebuah benda, ide, atau tindakan lain, sedangkan personifikasi khusus menampilkan benda atau hewan sebagai manusia.

3. Komponen Metafora

(16)

persamaan antara citra dan topik (ground atau ―titik kesamaan‖). Dengan demikian, dalam contoh ―Guru adalah matahari bangsa‖ di atas, ―Guru‖ merupakan ‗topik‖, ―matahari‖ merupakan ―citra‖, dan ―menerangi‖ dan ―menghangatkan‖ merupakan ―titik kesamaan‖.

Ketiga komponen pembangun metafora tidak selalu disebutkan secara eksplisit. Adakalanya, salah satu dari ketiga bagian itu (topik, sebagian dari citra, atau titik kemiripan) dinyatakan secara implisit. Sehubungan dengan itu, Orrecchioni (dalam Zaimar, 2002: 48-49) membedakan metafora ke dalam dua jenis: metafora in praesentia, yang bersifat eksplisit dan metafora in absentia, yang bersifat implisit. Dalam metafora ―Tono adalah buaya darat‖,

misalnya, kedua unsur yang dibandingkan muncul--―Tono‖ sebagai vehicle dan ―buaya darat‖ sebagai tenor). Sedangkan dalam metafora ―Banyak

pemuda yang ingin mempersunting mawar desa itu‖, kata mawar dibandingkan secara in absentia dengan gadis. Dalam konteks ini, ―mawar‖ sebagai citra muncul, sedangkan ―gadis‖ sebagai topik tidak muncul. Dengan demikian, terjadi perbandingan implisit. Untuk mengetahui titik kemiripan dalam metafora seperti ini, diperlukan pengetahuan tentang konteks tempat metafora tersebut digunakan, pemahaman terhadap makna ‗mawar‘ dalam

(17)

4. Prosedur Mengidentifikasi Metafora

Pemahaman atas definisi, komponen, dan tipe metafora belum menjamin kemampuan mengidentifikasi keberadaan majas ini dalam wacana, apalagi bila wacana yang dianalisis merupakan korpus yang besar. Krennmayr (2011: 15-16) menegaskan bahwa pendekatan ―I -know-it-when-I-see-it‖ atau intuitif tidak bisa diharapkan untuk menghasilkan identifikasi metafora yang akurat. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu prosedur yang terukur. Untuk menjawab kebuutuhan ini, kelompok Pragglejaz menyusun Metaphor Identification Procedure (MIP), yang dirancang secara khusus bagi

para peneliti untuk mengenali metafora dalam bahasa lisan dan tulisan. Prosedur ini bertujuan untuk menentukan apakah unit leksikal tertentu dalam wacana berperan sebagai metafora dengan melihat hubungan unit leksikal tersebut dalam wacana. Karena banyak kata yang berfungsi sebagai metafora dalam konteks yang berbeda, untuk menerapkan MIP diperlukan kemampuan untuk membedakan kata-kata yang menyampaikan makna metaforis dan yang tidak.

Secara terperinci, kelompok Pragglejaz (2007) merumuskan MIP sebagai berikut:

1. Baca wacana secara menyeluruh untuk membangun pemahaman umum tentang maknanya.

(18)

3. (a) Untuk setiap unit leksikal dalam teks, lihat maknanya dalam konteks, yaitu, bagaimana makna itu berlaku sebagai suatu entitas, relasi, atau atribut dalam situasi yang ditimbulkan oleh teks (makna kontekstual). Perhitungkan apa yang datang sebelum dan setelah unit leksikal. (b) Untuk setiap unit leksikal, tentukan apakah unit itu memiliki makna

kontemporer yang lebih mendasar dalam konteks lain daripada dalam konteks tersebut. Dalam identifikasi metafora ini, makna dasar cenderung: (i) lebih nyata (apa yang diungkapkan lebih mudah dibayangkan, dilihat, didengar, diraba, dicium, dan dirasakan); (ii) terkait dengan tindakan fisik; (iii) Lebih tepat (tidak samar-samar); dan (iv) secara historis lebih tua.Makna dasar harus merupakan makna yang paling sering muncul dari unit leksikal tersebut.

(c) Jika unit leksikal memiliki makna kontemporer yang lebih mendasar dalam konteks lain dibandingkan dengan konteks yang ada, periksa apakah makna kontekstual berbeda dengan makna dasar tetapi dapat dimengerti melalui perbandingan dengan makna dasar tersebut.

4. Jika ya, tandai unit leksikal tersebut sebagai metafora.

(19)

tersebut berbunyi: ―For years, Sonia Gandhi has struggled to convince

Indians that she is fit to wear the mantle of the political dynasty into which she married, let alone to become premier.‖ Berdasarkan pembacaan menyeluruh

atas wacana tersebut (langkah 1) dipahami bahwa artikel itu membahas politik kontemporer di India, khususnya kontroversi mengenai peran Sonia Ghandi sebagai politisi.

Pada langkah ke-2, unit-unit leksikal kalimat tersebut diidentifikasi sebagai berikut: / For / years /, Sonia Gandhi / has / struggled / to / convince / Indians / that / she / is / fit / to /wear/ the / mantle / of / the / political / dynasty / into / which / she / married / let alone / to / become / premier /.

Selanjutnya, makna setiap unit leksikal diperiksa secara berurutan. Sebagai contoh, makna kontekstual preposisi ―for‖ mengungkapkan durasi sebuah periode waktu. Makna dasar ―for‖ bisa menyatakan pengenalan terhadap penerima suatu tindakan, seperti dalam kalimat ―I‘ve brought a cup

of tea for you.‖ Inilah makna utama ―for‖ yang disajikan dalam kamus. Makna

kontekstual yang ditemukan di atas berbeda dengan makna dasar. Namun makna kontekstual tidak bisa dipahami melalui perbandingan dengan makna dasar tersebut. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa preposisi ―for‖

bukanlah sebuah metafora (langkah ke-4).

Hal yang sama ditemukan pada kata ―years‘, ‗Sonia Gandhi‖ dan ―has‘.

(20)

kata ―struggled‖. Dalam wacana ini, kata ―struggled‖ mengindikasikan upaya,

kesulitan, dan kendala dalam mencapai suatu tujuan, yaitu merubah pandangan dan sikap negatif orang lain. Penelusuran di kamus mengungkapkan bahwa makna dasar verba ―struggled‖ adalah

‗menggunakan kekuatan fisik terhadap sesuatu atau seseorang. Terlihat

bahwa makna kontekstual berbeda dengan makna dasar, dan makna kontekstual tersebut dapat dipahami melalui perbandingannya dengan makna dasar. Makna berbentuk upaya, kesulitan, perlawanan dan konflik psikis dapat dipahami melalui makna berbentuk upaya, kesulitan, perlawanan dan konflik fisik. Dengan demikian, kata ―struggled‖ dalam wacana ini merupakan metafora.

Melalui penerapan MIP pada kalimat di atas, ditemukan bahwa enam dari seluruh 27 unit leksikal yang ada merupakan metafora, yakni

―struggled‖, ―fit‖, ―wear‖, ―mantle‖, ―dynasty‖ dan ―into‖.

5. Jenis-Jenis Metafora

(21)

a. Klasifikasi Berdasarkan Unsur Fungsional Sintaksis

Ditinjau dari segi sintaksis, Wahab (1995: 72) membagi metafora ke dalam tiga kelompok, yaitu metafora nominatif, metafora predikatif, dan metafora kalimatif. Metafora nominatif merupakan metafora yang makna kiasnya terdapat pada nomina kalimat, sedangkan komponen-komponen lain hanya menyatakan makna langsung. Karena nomina bisa berposisi sebagai subjek dan objek dalam kalimat, metafora ini dibagi lagi menjadi dua macam, yaitu metafora subjektif dan metafora objektif. Dalam metafora subjektif, yang juga disebut sebagai metafora nominatif, makna kias hanya muncul pada subjek saja. Sebagai contoh, dalam ungkapan ―Badai derita tak henti melanda‖, subjek ―badai derita‖ mengaitkan ‗badai‘ dengan sesuatu yang abstrak, yaiutu ‗derita‘. Subjek ini merupakan metafora, sedangkan komponen lainnya, yaitu ―tak henti melanda‖ mengungkapkan makna literal.

Dalam metafora objektif, yang juga disebut sebagai metafora komplementatif, makna kias hanya muncul pada objek saja. Dalam ungkapan ―Wajahnya diselimuti mendung kelabu‖, misalnya, kelompok kata ―diselimuti mendung kelabu‖ berfungsi sebagai komplemen dan mengungkapkan makna kias, yang berarti ―kemuraman atau kesedihan.‖

(22)

ada) menyatakan makna literal. Sebagai contoh, dalam ungkapan ―Sumpah serapah mengalir dari mulutnya‖, kata ―mengalir‖ merupakan predikasi yang

cocok untuk air. Namun dalam konteks kalimat ini, kata itu merupakan metafora yang menekankan bahwa orang dimaksud tak henti-hentinya mengucapkan sumpah serapah.

Dalam metafora kalimatif, seluruh lambang kias yang dipakai tidak terbatas pada nomina (baik yang berlaku sebagai subjek maupun yang berlaku sebagai komplemen) dan predikat saja, melainkan pada seluruh komponen dalam kalimat metaforis itu, seperti dalam ―Fajar kemerdekaan

akan mengusir kelam derita.‖

b. Klasifikasi Larson

Larson (1998: 274-275) membedakan metafora ke dalam dua kelompok: metafora mati (dead metaphor) dan metafora hidup (live metaphor). Metafora mati merupakan bagian dari konstruksi idiomatis dalam

(23)

terus-menerus dalam bahasa Indonesia hingga penutur tidak perlu berpikir tentang perbandingan anatara kata ―kaki‖ dan ―meja‖. Dalam bahasa Inggris,

terdapat banyak idiom seperti ―run into debt‖, ―foot of the stairs‖, dan ―the head of state‖. Ungkapan-ungkapan ini merupakan metafora karena penutur

bahasa Inggris dapat langsung memahami maknanya tanpa harus berpikir tentang perbandingan antara kata-kata penyusunnya. Metafora mati disebut ―mati‖ karena eksistensinya sebagai metafora hampir tidak disadari oleh

penutur. Ungkapan yang termasuk dalam metafora mati cenderung tidak lagi dianggap sebagai metafora tetapi sebagai kata-kata sederhana dengan makna fungsional sederhana. Kecenderungan ini merupakan salah satu pendorong berkembangnya bahasa. Penutur mencoba untuk menjelaskan sesuatu dengan membuat sebuah ungkapan yang memunculkan citra yang tidak lazim, dan akhirnya ungkapan itu menjadi standar sedangkan citra aslinya yang hilang atau berevolusi.

(24)

pembaca atau pendengar, karena jika ungkapan yang didengar atau dibaca tidak sesuai dengan pola makna yang biasa, seorang pendengar atau pembaca akan dipaksa untuk berpikir keras tentang makna ungkapan tersebut, penggunaannya, dan tujuan pembicara atau penulis menggunakannya. Kata kata bercetak-miring dalam kalimat berikut adalah beberapa contoh metafora hidup.

(1) Banyak partai politik yang ada saat ini hanya berfungsi sebagai perahu pemimpinnya untuk memuaskan syahwat politik mereka menjadi presiden.

(2) Pemimpin sekarang perlu menjadikan korupsi musuh utama.

c. Klasifikasi Newmark

Newmark (1998: 106) mengklasifikasikan metafora ke dalam enam jenis: metafora mati (dead metaphor), metafora klise (cliché metaphor), metafora standar (standard or stock metaphor), metafora kontemporer (recent metaphor), metafora orisinal (original metaphor), dan metafora saduran (adapted metaphor). Masing-masing metafora tersebut diuraikan pada bagian berikut.

(25)

bagian-bagian tubuh, unsur-unsur ekologi, dan aktivitas-aktivitas utama manusia, seperti puncak, dasar, kaki, mulut, warna, dan sebagainya. Beberapa contoh metafora mati adalah: ―kaki gunung‖, ―mulut sungai‖, dan ―puncak karir‖.

Menurut Newmark, metafora mati banyak digunakan untuk memperjelas atau mendefinisikan konsep dan bahasa ilmiah, seperti ―landasan teori‖ dan ―dari

lubuk hati yang terdalam‖. Kutipan dari puisi Rendra (dalam McGlynn, 1990: 70)berikut adalah satu contoh lain metafora mati: ―di perut kota New York.‖

Metafora klise merupakan metafora yang digunakan oleh penutur secara otomatis. Karena sudah sering digunakan, kesan metaforisnya tidak begitu kental. Menurut Newmark, metafora ini biasa digunakan untuk menggantikan ungkapan (khususnya yang bersifat emosional) yang secara harfiah sudah jelas namun kaitannya dengan inti permasalahan tidak ada. Newmark memberikan kalimat ―The country school will in effect become not a

backwater but a breakthrough‖ sebagai contoh metafora klise. Kata backwater secara harfiah mengacu pada ―bagian sungai yang airnya

mengalir perlahan-lahan‖, namun dalam konteks kalimat di atas, kata ini mengacu pada sebuah ―tempat yang tenang‖. Kata breakthrough pada

awalnya bermakna ―sebuah dorongan penyerangan yang menembus dan

(26)

Metafora standar merupakan metafora yang sudah mapan dan digunakan secara efektif dalam komunikasi informal untuk mengungkapkan situasi mental atau fisik. Newmark menambahkan bahwa metafora jenis ini memiliki kehangatan emosional dan tidak ―mati‖ walaupun sering digunakan.

Beberapa contoh metafora standar adalah: ―muka tembok‖, ―Biarkan ketel itu tetap mendidih‖, ―secercah sinar harapan‖.

Metafora kontemporer merupakan metafora berbentuk neologisme (ungkapan bentukan baru, atau kata lama yang dipakai dengan makna baru) namun penggunaannya sudah meluas bahkan di dalam bahasa-bahasa lain. Beberapa contoh metafora jenis ini adalah: ―walkman‖, yang dibentuk dari kata lama ―walk‖ dan ―man‖ namun dalam pengertian baru mengacu pada ―alat pemutar kaset yang bisa dibawa-bawa (portable casette player)‖; ―software‖, dibentuk dari kata lama ―soft‖ dan ―ware‖ namun dalam pengertian baru mengacu pada perangkat pemrograman dalam komputer; dan ―head -hunting‖, yang mengacu pada ―proses rekrutmen sumber daya manusia‖.

(27)

dalam ungkapan ―Mingguan itu banyak memuat gosip‖, kata ―mingguan‖ yang

pada awalnya berarti sesuatu yang terjadi seminggu sekali dihubungkan dengan surat kabar sehingga membentuk makna baru: ―surat kabar yang terbit sekali seminggu.‖

Metafora orisinal merupakan metafora yang mengandung inti pesan, kepribadian dan pandangan seorang penulis. Metafora orisinal biasanya merupakan metafora puitis yang diciptakan untuk mengungkapkan sesuatu yang spesifik pada sebuah peristiwa. Sebagai contoh, kesan yang ditangkapnya setelah menyaksikan berbagai bantuan kemanusiaan bagi para korban tsunami di Asia awal tahun 2005, Presiden World Vision, Stearns menyatakan: “This tidal wave of generosity will help them rebuild…” Dalam ungkapan ini, ―tidal wave‖ yang biasanya mengacu pada bencana alam

digunakan untuk mengungkapkan kebaikan. Kutipan dari puisiTaufik Ismail (dalam McGlynn, 1990: 70) berikut adalah contoh lain metafora orisinal: ―Bukit-bukit yang ditumbuhi rumah-rumah Eropa, Meksiko, Habsyi dan Cina, …‖ Sebagai hasil kreativitas, metafora orisinal tidak berhubungan erat

dengan konvensi-konvensi budaya dan linguistik. Oleh karena itu, faktor paling krusial dalam upaya memahaminya adalah konteks.

(28)

saduran adalah ungkapan ―the ball is a little in their court‖, yang diadaptasi dari idiom metaforis kontemporer ―the ball is in their court‖.

(29)

Referensi

Alm-Arvius, Christina. Figures of Speech. (Sweden: Studentlitteratur, Lund, 2003).

Classe, Oliver (Ed.). Encyclopedia of Literary Translation into English. (Vol. 2). (London: Fitzroy Dearborn Publishers, 2000).

Danesi, Marcel. Messages, Signs, and Meanings: A Basic Textbook in Semiotics and Communication Theory (3rd Ed.) (Toronto: Canadian Scholars‘ Press Inc., 2004)

Davidson, Donald. "What Metaphors Mean," Critical Inquiry 5(1), 31-47. (Chicago: The University of Chicago Press, 1978).

Dickins, James. ―Two Models for Metaphor Translation‖. Target, 17(2), 2005

Krennmayr, Tina. Metaphor in Newspapers. (Utrecht: LOT, 2011).

Lakoff, George and Mark Johnson. ―Conceptual Metaphor in Everyday Language‖. Dalam The Journal of Philosophy, Vol. 77, No. 8 (Aug., 1980), pp. 453-486, http://www.jstor. org/stable/2025464 (diakses 20 Februari 2011)

Larson, Mildred L. Meaning-Based Translation: a Guide to Cross-Language Equivalence. (Lanham and London: University Press of America, 1998).

McGlynn, John H. (Ed. & Transl.).On Foreign Shores: American Images in Indonesian Poetry. (Jakarta: The Lontar Foundation, 1990).

Newmark, Peter. A Textbook of Translation. (New York: Prentice-Hall International, 1988).

Ortony, Andrew (Ed.). Metaphor and Thought. (2nd ed.). (Cambridge: Cambridge University Press, 1993)

Pragglejaz Group. MIP: A Method for Identifying Metaphorically Used Words in Discourse. Dalam Metaphor and Symbol, 22(1), 1–39. (Lawrence Erlbaum Associates, Inc., 2007).

(30)

Punter, David. Metaphor. (New York: Routledge, 2007).

Richards, Ivor Amstrong. The Philosophy of Rhetoric. (New York: Oxford University, Press, 1936).

Searle, John R. Expression and Meaning: Studies in the Theory of Speech Acts. (Cambridge: Cambridge University Press, 1981).

Stockwell, Peter. Cognitive Poetics: An introduction. (New York: Routledge, 2002).

Wahab, Abdul. Isu Linguistik dan Pengajaran bahasa dan Sastra. (Surabaya: Airlangga University Press., 1995).

Referensi

Dokumen terkait

Objektif permainan dalam board game ini adalah semua pemain harus mengumpulkan kartu sebanyak mungkin dengan tetap menjaga kadar sodium, gula, dan juga lemak

Sarwono (2012:30-31) menjelaskan bahwa remaja akhir (late adolescence) merupakan masa konsolidasi menuju periode dewasa dan ditandai dengan pencapaian lima hal,

Penjadwalan flow shop didefinisikan sebagai sebuah permasalahan produksi dimana terdapat satu set n job yang di proses pada aliran semua mesin yang identik,

modifikasi dari metode penilaian cex tradisional dengan cara : 1) Satu orang penilai menilai residen yang melakukan pemeriksaan terhadap pasien selama 15- 20 menit, 2)

Parfum Laundry Pamulang Beli di Toko, Agen, Distributor Surga Pewangi Laundry Terdekat/ Dikirim dari Pabrik.. BERIKUT INI TARGET MARKET

Mes- kipun di sisi yang lain, reaktualisasi filsafat Islam, khususnya dalam rangka reintegrasi keilmuan di perguruan tinggi Islam menjadi sangat krusial mengingat umat

Adalah gabungan dari produk asuransi seumur hidup (whole life) dan investasi dimana Pemegang Polis mempunyai kebebasan untuk memilih penempatan Dana Investasinya pada

Populasi jabon putih dari wilayah NTB (Lombok Barat dan Sumbawa) mempunyai nilai keragaman yang lebih tinggi dibandingkan nilainya dari wilayah Sumatera (Sumatera Barat dan