• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN KOMUNIKASI DENGAN TINGKAT CEMAS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "HUBUNGAN KOMUNIKASI DENGAN TINGKAT CEMAS"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN KOMUNIKASI DENGAN TINGKAT

CEMAS PADA KELUARGA PASIEN

BAB 1

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Dalam praktek keperawatan profesional perawat memegang tanggung jawab yang sangat besar, dimana perawat dituntut untuk melaksanakan perannya selama 24 jam berada disamping pasien dan keluarganya. Pasien bersama keluarganya yang masuk rumah sakit (MRS) akan mengalami perasaan cemas atau yang sering disebut ansietas. Perasaan cemas atau ansietas ini akan lebih jelas ditemukan pada pasien dan keluarga yang MRS dalam Critical Care Unit. Penelitian menunjukkan bahwa keluarga akan mengalami ansietas dan disorganisasi perasaan ketika anggota keluarganya MRS dengan penyakit kritis atau terminal, ini disebabkan mereka tidak mampu untuk membangun dukungan bagi klien dan mereka sering terlihat

kesulitan bekerja sama dengan perawat. Perasaan frustasi dan permusuhan dengan staf perawatan pada prinsipnya akan selalu berada bersama pasien dan keluarganya selama 24 jam. Hal ini menimbulkan kebingungan dan meningkatkan stress dan kemarahan dalam diri keluarga terhadap staf perawat. Sebenarnya hal demikian tidak akan terjadi apabila sejak dari pertama kali pasien MRS, perawat mampu memberikan pengertian dan pendekatan yang terapeutik kepada pasien dan keluarganya yang diwujudkan dengan pelaksanaan komunikasi yang efektif antara perawat dengan pasien dan keluarganya berupa komunikasi terapeutik. Tapi ternyata dari beberapa riset dinyatakan bahwa komunikasi terapeutik perawat masih kurang baik (Bart Smet, 1994; Saelan, 1998).

Dr. Makmur Sentosa di RSU Kardinah pada seminar PPNI yang dimuat Harian Umum Suara Merdeka 18 Juni 2001, mengatakan bahwa salah satu permasalahan terhadap pelayanan kesehatan adalah komunikasi yang kurang baik antara tenaga kesehatan dan pasien. Dari riset Bart Smet tahun 1994, kurangnya komunikasi antara staf rumah sakit dengan pasien

(2)

perawat, aspek yang paling membuat ketidakpuasan adalah jumlah dan jenis informasi yang diterima (Bart Smet, 1994).

Dalam penelitian Anderson (1986) mendapatkan bahwa jumlah informasi yang diberikan oleh dokter kepada pasien rata-rata 18 jenis informasi untuk diingat, ternyata hanya mampu mengingat 31%. Ley dan Spelman (1967) menemukan bahwa lebih dari 60% yang

diwawancarai setelah bertemu dengan dokter dan perawat salah mengerti tentang instruksi yang diberikan kepada mereka. Hal ini disebabkan oleh kegagalan profesional kesehatan dalam memberikan informasi yang lengkap, penggunaan istilah-istilah medis (sulit untuk dimengerti) dan banyaknya instruksi yang harus diingat oleh pasien.

Penelitian Sri Asih Rusmini tahun 1996 pada RSU Doris Sylvanus Palangkaraya didapatkan bahwa perilaku perawat khususnya dalam berkomunikasi kurang baik. Juga penelitian yang dilakukan Hj. Indirawaty di RSU Haji Sukolilo Surabaya bahwa kepuasan pasien terhadap komunikasi perawat 54, 2 % tidak puas, 16, 7 % cukup puas dan 29, 2 % sangat puas. Sebuah studi pembahasan tentang tiga puluh lima tipe – tipe pasien yang berbeda

menunjukkan 8 – 82 % pasien yang tidak puas (Bart Smet, 1994). Menurut Ley yang dikutip oleh Bart Smet sbb : 1) Pasien tidak puas dengan aspek komunikasi dari pertemuan klinis, 2) Nampaknya memberi informasi saja tidaklah cukup. Mereka harus diberitahu dalam cara sehingga dapat mengerti dan mengingatnya. Karena kurangnya umpan balik dalam bentuk pertanyaan dan komentar dari pasien, sehingga sukar bagi para tenaga kesehatan untuk memperbaiki komunikasi.

Hasil penelitian Saelan (1998), menyatakan bahwa dalam hal komunikasi dengan pasien, pendekatan komunikasi terapeutik, dari semua perawat yang diteliti sebanyak 38 orang mendapatkan nilai kurang. Hal ini disebabkan karena kurang disadari pentingnya komunikasi oleh perawat dan rendahnya pengalaman perawat akan teori, konsep dan arti penting

(3)

Keperawatan Kesehatan di Rumah Sakit memenuhi kebutuhan dari komunikasi pasien adalah merupakan salah satu standar intervensi keperawatan.

Dari hasil pengamatan penulis selama berpraktek di perawatan bedah RSUD

Polewali kecenderungan yang terjadi yaitu nampak pada hubungan interpersonal perawat dengan pasien dan keluarganya ditunjukkan dengan komunikasi antara perawat yang sering tidak terapeutik saat berinteraksi dengan pasien dan keluarganya, ada beberapa keluhan pasien dan keluarganya terhadap pelayanan yang diberikan yang seharusnya bisa diatasi dengan komunikasi terapeutik dari perawat.

Banyak faktor penyebab terjadinya kecemasan atau ansietas dalam diri pasien dan keluarganya selama pasien di rumah sakit, salah satunya adalah faktor komunikasi terapeutik perawat. Keluarga akan mengalami ansietas dan disorganisasi perasaan ketika anggota keluarganya mengalami sakit yang harus dirawat di rumah sakit dan ini akan lebih jelas ditemukan di unit perawatan kritis. Pasien yang dirawat dalam Critical Care Unit tidak hanya membutuhkan tehnologi dan terapi tapi juga memerlukan perawatan humanistik dari keluarganya. Pada umumnya pasien yang datang di unit perawatan kritis ini adalah dalam keadaan mendadak dan tidak direncanakan, hal ini yang menyebabkan keluarga dari pasien datang dengan wajah yang sarat dengan bermacam-macam stressor yaitu ketakutan akan kematian, ketidakpastian hasil, perubahan pola, kekhawatiran akan biaya perawatan, situasi dan keputusan antara hidup dan mati, rutinitas yang tidak beraturan, ketidakberdayaan untuk tetap atau selalu berada disamping orang yang disayangi sehubungan dengan peraturan kunjungan yang ketat, tidak terbiasa dengan perlengkapan atau lingkungan di unit perawatan kritis, personel atau staf di ruang perawatan, dan rutinitas ruangan. Semua stressor ini menyebabkan keluarga jatuh pada kondisi krisis dimana koping mekanisme yang digunakan menjadi tidak efektif dan perasaan menyerah atau apatis dan kecemasan akan mendominasi perilaku keluarga. Dan pada saat demikian perawat kurang atau tidak dapat melaksanakan komunikasi terapeutik yang efektif sehingga keluarga akan terus terpuruk dalam situasi yang demikian dan pada akhirnya asuhan

(4)

Dalam kaitan antara komunikasi terapeutik perawat terhadap tingkat kecemasan keluarga pasien maka sangat diperlukan solusi–solusi yang dapat meningkatkan ketrampilan

berkomunikasi perawat dan juga yang dapat menhilangkan berbagai hambatan–hambatan terhadap komunikasi terapeutik yang dilaksanakan perawat. Ketrampilan berkomunikasi bukan merupakan kemampuan yang kita bawa sejak lahir dan juga tidak akan muncul secara tiba – tiba saat kita memerlukannya. Ketrampilan tersebut harus dipelajari dan dilatih secara terus menerus melalui kemampuan belajar mandiri, penyegaran dan pelatihan terutama berhubungan dengan upaya untuk mendapatkan pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang diperlukan (Sullivan, et all, 1995). Selain itu, faktor-faktor penghambat komunikasi merupakan faktor yang dapat mengganggu atau sama sekali bisa membuat perawat tidak mampu berkomunikasi secara terapeutik. Solusi–solusi ini dapat dijadikan pilihan karena bertujuan membantu tenaga kesehatan profesional (termasuk perawat) memperbaiki penampilan kerja guna memberikan pelayanan keperawatan yang berkualitas.

Dari pemikiran dan fenomena di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti hubungan

komunikasi yang dilakukan perawat terhadap penurunan tingkat kecemasan keluarga pasien yang menjalani perawatan di Unit Perawatan Bedah RSUD polewali.

1.2 Perumusan masalah

.

1.2.2 Pertanyaan penelitian :

Berdasarkan pernyataan masalah, maka perumusan pertanyaan penelitian adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah komunikasi verbal yang dilakukan perawat di Unit Perawatan Bedah RSUD

polewali?

2. Bagaimanakah komunikasi non verbal yang dilakukan perawat di Unit Perawatan Bedah RSUD

(5)

3. Apakah ada hubungan komunikasi verbal yang dilakukan perawat dan tingkat kecemasan

keluarga pada pasien yang diarawat di unit perawatan Bedah RSUD polewali?

4. Apakah ada hubungan komunikasi non verbal yang dilakukan perawat dan tingkat kecemasan

keluarga pada pasien yang diarawat di unit perawatan Bedah RSUD polewali?

5. Adakah hubungan Komunikasi verbal dan non verbal yang dilakukan perawat dan tingkat

kecemasan keluarga pada pasien yang dirawat di unit perawatan Bedah RSUD polewali?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

6. Untuk mempelajari hubungan komunikasi terapeutik perawat baik verbal maupun non verbal

dengan tingkat kecemasan keluarga dari pasien yang menjalani perawatan di Unit Perawatan Bedah RSUD polewali.

1.3.2 Tujuan khusus

1. Untuk mengidentifikasi komunikasi verbal yang dilakukan perawat di Unit Perawatan Bedah

RSUD polewali.

2. Untuk mengidentifikasi komunikasi non verbal yang dilakukan perawat di Unit Perawatan

Bedah RSUD polewali.

3. Untuk mengidentifikasi tingkat kecemasan keluarga pasien

4. Mengidentifikasi apakah ada hubungan antara komunikasi verbal perawat dan tingkat

kecemasan keluarga pada pasien yang dirawat di unit perawatan Bedah RSUD polewali.

5. Mengidentifikasi apakah ada hubungan antara komunikasi non verbal perawat dan tingkat

(6)

6. Mengidentifikasi apakah ada hubungan antara komunikasi verbal maupun non verbal yang

dilakukan perawat dan tingkat kecemasan keluarga dari pasien yang menjalani perawatan di Unit Perawatan Bedah RSUD polewali.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi rumah sakit

1. Meningkatkan kualitas pelayanan keperawatan khususnya terhadap sikap dan ketrampilan

dalam berkomunikasi.

2. Memberikan informasi terntang pentingnya pelatihan komunikasi terapeutik sebagai salah

satu upaya yang harus terus menerus dilaksanakan dalam meningkatkan kualitas pelayanan kepada pasien dan keluarganya serta masyarakat.

3. Mendorong peningkatan mutu pelayanan kesehatan yang dilakukan khususnya sikap dan

kemampuan komunikasi terapeutik perawat.

4. Untuk meningkatkan pendapatan rumah sakit pada akhirnya karena dengan kualitas

pelayanan keperawatan yang diberikan dalam bentuk komunikasi yang terapeutik dapat meningkatkan kepuasan pasien yang pada akhirnya pasien tetap loyal terhadap rumah sakit yang bersangkutan dan tidak berpindah ke tempat pelayanan jasa yang lain.

1.4.2 Bagi perawat

1. Menambah pengetahuan dalam upaya meningkatkan kualitas personal perawat sebagai “care

giver”.

2. Dapat memberi gambaran atau informasi bagi peneliti berikutnya.

3. Memberi informasi terhadap perawat tentang pengaruh komunikasi terapeutik terhadap tingkat

kecemasan kelurga dari pasien dan didalam meningkatkan mutu pelayanan keperawatan.

4. Meningkatkan kualitas asuhan keperawatan yang diberikan.

1.4.3 Bagi pasien dan keluarga

1. Agar dapat menerima pelayanan keperawatan yang lebih berkualitas khususnya dalam

(7)

2. Supaya klien dan keluarga merasa lebih aman, tenang dan nyaman selama proses perawatan

di rumah sakit yang akan membantu terhadap penyembuhan pasien terhadap sakitnya.

1.5 Relevansi

Perawat harus menyadari bahwa komunikasi terapeutik adalah elemen penting dari kemampuan terapeutik perawat. Sehingga berkomunikasi yang asertif dalam praktek keperawatan profesional sangat berpengaruh atau membantu pasien dan keluarganya dalam proses penyembuhan atau dalam memenuhi kebutuhan dasarnya serta memberikan perasaan tenang tanpa kecemasan selama dirawat di rumah sakit.

Disisi lain pasien dan keluarga sebagai komunikan dapat memberikan respon atau persepsi yang obyektif terhadap nilai-nilai sikap atau ketrampilan yang ada dalam komunikasi terapeutik yang ditampilkan oleh perawat selama terjadinya interaksi dengan pasien dan keluarganya. Evaluasi yang dibangun atas dasar persepsi yang benar dari pasien dan keluarganya akan membantu memperbaiki kinerja perawat dalam asuhan keperawatan yang pada akhirnya akan meningkatkan mutu pelayanan keperawatan menuju profesionalisme keperawatan.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

(8)

respon dan proses adaptasi terhadap kecemasan. Juga akan dibahas tentang Critical Care Nursing. Serta hubungan komunikasi dan tingkat kecemasan.

2.1 Konsep komunikasi

2.1.1 Pengertian

Istilah komunikasi berasal dari bahasa latin comunication yang berarti sama dalam hal ini berarti sama makna. Komunikasi juga diartikan sebagai upaya seseorang untuk merubah pikiran, perasaan atau perilaku orang lain (Effendi, 1992).

Komunikasi juga merupakan elemen dasar dari hubungan interpersonal untuk membuat, memelihara, dan menampilkan kontak dengan orang lain (Mary Ann, 1998).

2.1.2 Komponen komunikasi

Komunikator: penyampai informasi atau sumber informasi, Komunikan: penerima informasi atau memberi respon terhadap stimulus yang disampaikan oleh komunikator, Pesan: gagasan atau pendapat, fakta, informasi atau stimulus yang disampaikan, Media: saluran yang dipakai untuk menyampaikan pesan, Encoding : perumusan pesan oleh komunikator sebelum disampaikan kepada komunikan, Decoding : penafsiran pesan oleh komunikan pada saat menerima pesan.

2.1.3 Berbagai Macam Komunikasi

Ada 3 (tiga) macam komunikasi antara lain (Kariyoso, 1994) :

1. Komunikasi searah

Komunikator mengirim pesannya melalui saluran atau media dan diterima oleh komunikan. Sedangkan komunikan tersebut tidak memberikan umpan balik (feedback).

2. Komunikasi dua arah

Komunikator mengirim pesan (berita) diterima oleh komunikan, setelah disimpulkan kemudian komunikan mengirimkan umpan balik kepada sumber berita atau komunikator.

(9)

Komunikan menerima pesan atau berita dari komunikator kemudian disalurkan kepada komunikan kedua, dari komunikan kedua disampaikan kepada komunikan ketiga dan seterusnya.

2.1.4 Tingkat hubungan komunikasi

Komunikasi intrapersonal, terjadi dalam diri individu sendiri. Komunikasi ini akan membantu agar seseorang atau individu tetap sadar akan kejadian disekitarnya. Melamun maka anda sedang melakukan komunikasi interpersonal. Komunikasi interpersonal, interaksi antara dua orang atau kelompok kecil. Komunikasi ini merupakan inti dari praktek keperawatan karena dapat terjadi antara perawat dan klien serta keluarga, perawat dengan perawat, dan perawat dengan tim kesehatan lain. Komunikasi massa, interaksi yang terjadi dalam kelompok besar.

Ceramah yang diberikan pada mahasiswa, kampanye, merupakan contoh komunikasimassa.

2.1.5 Komunikasi verbal

1. Pengertian

Komunikasi yang dilakukan melalui kata-kata, bicara atau tertulis (Intansari Nurjannah, 2001). Meskipun yang paling mempengaruhi komunikasi adalah bahasa non verbal, kata adalah alat yang sangat penting dalam komunikasi. Validasi tentang pengertian komunikasi verbal antara perawat dan pasien adalah penting. Menurut Leddy (1998), beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh perawat dalam berkomunikasi secara verbal adalah: Masalah teknik yaitu seberapa akurat komunikasi tersebut dapat mengirimkan simbol dari komunikasi tersebut. Masalah semantik yaitu seberapa tepat simbol dalam mengirimkan pesan yang dimaksud. Masalah pengaruh yaitu seberapa efektif arti yang diterima mempengaruhi tingkah laku.

2. Faktor-faktor penting dalam komunikasi verbal

(10)

kemahiran dalam berbahasa (bahasa Inggris, Indonesia, dll). Dalam penggunaan bahasa memerlukan kejelasan yaitu memilih kata yang jelas dan tidak mempunyai arti yang salah. Keringkasan yaitu pesan singkat dan tanpa penyimpangan untuk menghindari kebingungan tentang apa yang penting dan apa yang kurang penting. Kecepatan yaitu kecepatan bicara mempengaruhi komunikasi verbal. Seseorang yang dalam keadaan cemas atau sibuk biasanya akan lupa untuk berhenti berbicara dan pembicaraan dilakukan sangat cepat sehingga hal ini menyebabkan pendengar tidak dapat memproses pesan dan menyusun respon yang akan diberikan.Komunikasi verbal dengan kecepatan yang sesuai akan memberikan kesempatan bagi pembicara sendiri untuk berpikir jernih tentang apa yang diucapkan dan juga akan menyebabkan seseorang dapat menjadi pendengar yang efektif. Voice tone menunjukan gaya dari ekspresi yang digunakan dalam bicara dan dapat merubah arti dari kata.Pengaruh dari bicara dengan suara yang keras akan berbeda dengan suara yang lembut atau lemah.Suara yang keras menunjukan berbicara yang terburu-buru,tidak sabar,sindiran tajam dan marah.

Salah satu komunikasi verbal yang penting dalam keperawatan adalah wawancara. Wawancara merupakan salah satu cara untuk mendapatkan data dari klien dalam tahap pengkajian. Wawancara adalah pola komunikasi yang mempunyai tujuan yang spesifik yaitu untuk mendapatkan riwayat kesehatan, mengidentifikasi kebutuhan kesehatan, faktor resiko, dan untuk menentukan perubahan spesifik dari tingkat kesehatan dan pola hidup. (Potter dan Perry, 1993). Pewawancara akan mendapatkan informasi tentang keadaan kesehatan klien, pola hidup, pola sakit, sistem dukungan, pola adaptasi, kekuatan dan keterbatasan.

Wawancara yang dilakukan perawat pada dasarnya tergantung pada situasi yang ada. Pada situasi emergensi, fokus wawancara perawat adalah mengenai trauma, faktor presipitasi serta alergi yang dimiliki klien.

(11)

3. Teknik wawancara 1) Teknik mencari masalah

Wawancara yang dilakukan berfokus untuk mengidentifikasi masalah klien yang potensial dan data berikutnya didapatkan dengan berfokus pada masalah yang telah ditemukan. Contoh: perawat menanyakan apakah klien mengalami mual, jika ya, kemudian perawat mengumpulkan data tentang kejadian, faktor pencetus, gejala yang menyertai, aktifitas yang dilakukan klien dengan menggunakan teknik pemecahan masalah.

2) Teknik pemecahan masalah

Teknik ini berfokus pada pengumpulan data yang lebih dalam terhadap masalah yang sudah diidentifikasi oleh perawat dan klien (Ivey, 1988). Contoh : jika klien mengalami mual, perawat kemudian mengumpulkan informasi tentang datangnya gejala tersebut (berangsur-berangsur atau tiba-tiba), faktor yang memperberat gejala yang berhubungan, cara

menyelesaikan masalah yang telah dicoba oleh klien dan keefektifan pemecahan masalah tersebut.

3) Teknik pertanyaan langsung

Teknik ini merupakan teknik wawancara yang strukturnya memungkinkan didapatkan 1-2 jawaban. Teknik ini sering digunakan untuk mengklarifikasi informasi yang sudah didapatkan sebelumnya atau untuk menyediakan informasi tambahan (Ivey, 1988). Tujuan dari teknik wawancara ini adalah agar klien tidak dengan sengaja memberikan informasi yang berlebihan dari data yang ingin didapatkan oleh pewawancara. Biasanya pertanyaan ini digunakan untuk mendapatkan data biografi dan informasi spesifik tentang masalah kesehatan seperti gejala, faktor presipitasi, dan aktifitas pemecahan masalah.

4) Teknik pertanyaan terbuka

Teknik wawancara ini bertujuan untuk mendapatkan respon lebih dari satu jawaban dari klien. Teknik ini dapat memicu terjadinya diskusi dengan klien mengenai gambaran status kesehatan klien saat ini. Contoh: perawatan kesehatan apa yang kamu butuhkan atau inginkan? Bagaimana perasaanmu?

2.1.6 Komunikasi non verbal 1. Pengertian

(12)

pelakunya (Johnson, 1981). Komunikasi non verbal merupakan komunikasi yang tidak melibatkan bicara dan tulisan (Intansari Nurjannah, 2001). Sebesar 90% dari arti komunikasi berasal dari komunikasi non verbal (Hunsaker cit. Leddy, 1998). Hal ini menunjukan pentingnya mempelajari komunikasi non verbal.

2. Fungsi komunikasi non verbal

Adapun fungsi komunikasi non verbal menurut Mark L.Knapp (1972) adalah (1) Repetisi-mengulang kembali gagasan yang sudah disajikan secara verbal. Misalnya, setelah saya menjelaskan penolakan saya, saya menggelengkan kepala berkalikali, (2) Subtitusi -menggantikan lambang-lambang verbal. Misalnya, tanpa sekata pun anda berkata. Anda dapat menunjukan persetujuan dengan mengangguk-angguk, (3) Kontradiksi – menolak pesan verbal atau memberikan makna yang lain terhadap pesan verbal. Misalnya, anda memuji prestasi kawan anda dengan mencibirkan bibir anda, (4) Komplemen-melengkapi dan memperkaya makna pesan non verbal. Misalnya, air muka anda menunjukan tingkat penderitaan yang tidak terungkap dengan kata-kata, (5) Aksentuasi – menegaskan pesan verbal atau menggarisbawahinya. Misalnya, anda mengungkapkan betapa jengkelnya anda dengan memukul mimbar.

3. Arti penting komunikasi non verbal

Menurut Dale G. Leathers (1976) yang dikutip oleh Jalaludin Rakhmat, menyebutkan enam alasan mengapa pesan nonverbal sangat penting.

(13)

rekan anda ketika ia melukiskan kecantikan seorang wanita dengan kalimat yang tidak selesai, ”Pokoknya…….,” ketika anda melihat gerak kepala, tubuh dan tangannya.

Kedua, perasaan dan emosi lebih cermat disampaikan lewat pesan nonverbal ketimbang pesan verbal. Anda boleh menulis surat kepada pacar anda dan mengungkapkan gelora kerinduan anda. Anda akan tertegun, Anda tidak menemukan kata-kata yang tepat untuk menyatakan sesuatu yang begitu mudah diungkapkan melalui pesan nonverbal. Bagaimana harus anda tuliskan dalamsurat Anda getaran suara, tarikan napas, kesayuan mata, dan detak jantung? Meurut Mahrabian (1967), hanya 7% perasaan kasih sayang dapat dikomunikasikan dengan kata-kata. Selebihnya, 38% dikomunikasikan lewat suara, dan 55% dikomunikasikan melalui ungkapan wajah (senyum, kontak mata, dan sebagainya).

Ketiga, pesan nonverbal menyampaikan makna dan maksud yang relatif bebas dari penipuan, distorsi dan kerancuan. Pesan nonverbal jarang dapat diatur oleh komunikator secara sadar. Sejak Zaman Prasejarah, wanita selalu mengatakan “tidak” dengan lambang verbal, tetapi pria jarang tertipu. Mereka tahu ketika “tidak” diucapkan, seluruh anggota tubuhnya mengatakan “ya”. Dalam situsi yang “double binding” – ketika pesan nonverbal bertentangan dengan pesan verbal – orang bersandar pada pesan nonverbal.

Keempat, pesan nonverbal mempunyai fungsi metakomunikatif yang sangat diperlukan untuk mencapai komunikasi yang berkualitas tinggi. Fungsi metakomunikatif artinya memberikan informasi tambahan yang memperjelas maksud dan makna pesan. Diatas telah disebutkan bahwa pesan nonverbal mempunyai fungsi repetisi, substitusi, kontradiksi, komplemen dan aksentuasi. Semua ini menambah kadar informasi dalam penyampaian pesan. Kelima, pesan nonverbal merupakan cara berkomunikasi yang lebih efisien dibandingkan dengan pesan verbal. Dari segi waktu, pesan verbal sangat tidak efisien. Diperlukan lebih banyak waktu untuk mengunkapkan pikiran kita secara verbal daripada secara nonverbal.

(14)

4. Klasifikasi komunikasi nonverbal

1) Kinesics

Merupakan komunikasi nonverbal yang dilakukan melalui pergerakan tubuh. Kinesics terdiri dari :

Ekspresi muka. Posisi mulut, alis, mata dan senyum. Perawat sangat perlu melakukan validasi persepsi dari ekspresi muka yang ada pada klien sehingga perawat tidak salah mempersepsikan apa yang diobservasi dari klien. Misalnya perawat melihat seorang klien merengutkan mulutnya, perawat bisa mengklarifikasi dengan menanyakan apakah klien marah. Perawat juga perlu memperhatikan ekspresi verbalnya sendiri sehingga tidak terjadi perawat menyapa dengan suara yang ramah dan lembut tetapi mukanya tampak sinis atau merengut. Perasaan yang paling mudah dikenali melalui wajah adalah kebahagiaan, kesedihan, kemarahan, ketakutan, dan kebencian. Ekpresi wajah ini cenderung universal, yaitu orang-orang diseluruh dunia tersenyum jika mereka senang dan mengkerutkan kening jika merekah sedih (Ekman dan Friesen, 1975) yang dikutip oleh Niven. Dengan cara yang sama ada bukti bahwa ekspresi wajah cenderung untuk mempunyai arti yang juga universal, yaitu senyuman dikenal sebagai tanda kebahagiaan sedangkan kerutan kening dikenal sebgai tanda kesedihan diseluruh dunia (Ekman dan Friesen, 1975) yang dikutip oleh Niven. Dua implikasi yang penting untuk tenaga perawat adalah membuat pasien lebih sering tersenyum dapat membuat mereka merasa lebih baik dan belajar untuk menekan ekspresi wajah pada saat mjengalami stres mungkin menurunkan pengalaman emosional dari stres itu sendiri.

(15)

Mempertahankan sikap terbuka, tidak melipat kaki atau tangan akan menunjukan keterbukaan untuk berkomunikasi. Tetap rileks, tetap dapat mengontrol keseimbangan antara ketegangan dan relaksasi dalam memberikan respon pada klien.

Leddy (1998) mencontohkan beberapa sikap kinesic yang menunjukan komunikasi nonverbal: dengan lembut menggosok bagian belakang telinga menggunakan jari telunjuk menunjukkan seseorang yang ragu; sambil lalu menggosok mata dengan tangan menunjukan seseorang yang tidak paham dengan apa yang dikomunikasikan; menutupkan tangan ke mulut menunjukkan seseorang yang mencoba menyembunyikan sesuatu; bersandar dengan kedua tangan mendukung kepala menunjukan superior atau keyakinan; menjepit batang hidung dengan mata tertutup menunjukan pikiran yang penuh dengan penilaian; menggerakan mata kearah bawah dari batang hidung dan menatap dengan tajam lawan bicara menunjukkan penilaian negatif yang sangat kuat.

Gerakan tubuh dan posture. Kaki yang kejang dan meloncat menunjukan seseorang yang tidak sabar, bosan atau tegang. Penampilan membungkuk menunjukan depresi. Meremas tangan menunjukan takut, nyeri atau kwatir. Penampilan kaku menunjukkan nyeri atau tegang. Mengacungkan jempol menunjukkan kemenangan. Menurunkan jempol menunjukkan konotasi negatif. Menendang obyek menunjukkan marah. Individu dengan postur membungkuk, dengan kepala dan mata melihat kebawah menunjukkan seseorang dengan harga diri rendah. Berdiri tegak dengan kepala meninggi dan tangan dipinggang menandakan status superior terhadap orang lain.

(16)

merasa tidak nyaman, meragukan diri, menjadi marah, heran mengapa, menjadi bingung sendiri, merasa terancam, dan menjadi curiga.

Rungapadiachy juga menyatakan situasi yang menyebabkan lebih banyak tatapan mata yaitu pada saat topik mudah dan tidak pribadi, pada saat individu tertarik pada orang lain, seseorang yang terbuka, pada saat seseorang ingin terlibat dalam diskusi, pada saat seseorang mencoba untuk mendominasi atau mempengaruhi orang lain. Sedangkan situasi dimana tatapan mata kurang dilakukan dapat diprediksikan pada situasi sebagai berikut yaitu saat seseorang secara fisik tertutup, saat seseorang terlibat dalam topik yang sulit atau tidak dikenal, saat seseorang tidak tertarik pada reaksi orang lain, jika seseorang tidak suka pada orang lain, tertutup, dan pada saat seseorang tidak butuh atau tidak ingin untuk terlibat.

2) Paralanguage

Paralanguistic atau paralanguage menunjuk pada bahasa itu sendiri. Vokal dapat membedakan emosi yang dirasakan satu orang dengan orang lain. Beberapa komponen paralanguage adalahKualitas suara. Terdiri dari Resonansi yaitu intensitas suara mengisi ruang. Irama yaitu aliran, kecepatan dan gerakan suara. Pitch, meninggi atau merendahnya suara. Kecepatan,berapa cepat suara digunakan. Volume, kekerasan suara. Inflection, perubahan dalam tinggi atau rendahnya atau volume dari suara. Seseorang yang suaranya meningkat dalam hal kekerasannya,warna nada dan kecepatan bicaranya sering dianggap orang lain sebagai orang yang aktif dan dinamis. Orang dengan intonasi dan volume suara yang besar dan lancar dianggap meyakinkan.

Vokal tanpa bahasa (non language vocalizations) adalah suara tanpa adanya struktur linguistik. Misalnya sedu sedan, tertawa, mendengkur, mengerang, merintih, hembusan nafas (menunjukkan takut, nyeri atau kaget), nafas panjang atau keluh kesah (menunjukkan keengganan untuk melakukan sesuatu).

3) Proxemics

(17)

Pemaksaan masuk ke area yang pribadi yang tidak diharapkan dari seseorang akan menimbulkan rasa tidak nyaman, gelisah, dan perasaan negatif lain (Wilson & Kneisl, 1983). Pengaturan meja atau kursi juga akan menurunkan atau meningkatkan jarak interpersonal. Empat jarak interaksi menurut Hall dan Linberg (1998) antara lain : jarak intim (sampai dengan 18 inchi), jarak personal (18 inchi sampai 4 kaki) untuk interaksi dengan seseorang yang telah dikenal, jarak sosial (4 kaki sampai 12 kaki) untuk interaksi mengenai suatu urusan tetapi bukan orang khusus atau tertentu, jarak publik ( lebih dari 12 kaki ) untuk pembicaraan formal.

Tingkat normal dari kedekatan fisik berbeda dalam tiap budaya.Dengan cara yang sama, ada perbedaan individual dalam jarak interpersonal. Masalah timbul jika individu dari budaya yang berbeda tidak dapat menyepakati jarak interpersonal yang “tepat”- satu orang tidak dapat berada dalam posisi yang cukup dekat karena yang lainnya terus melangkah mundur. Tenaga perawat seharusnya menyadari perbedaan individu dan budaya dalam kedekatan fisik karena berbicara terlalu dekat dengan seseorang akan tampak mengganggu; berbicara terlalu dekat dengan seseorang akan tampak mengganggu; berbicara terlalu jauh akan tampak dingin dan tidak personal. Ada satu kondisi dimana masuk kedaerah personal seseorang terbukti produktif. Baron (1978) yang dikutip oleh Niven menemukan bahwa jika kebutuhan seseorang untuk mendapatkan bantuan besar dan ia dapat meyakinkan penolong yang potensial tentang kenyataan ini, maka masuk kedaerah personal akan menghasilkan lebih banyak bantuan yang akan ditawarkan dari pada hanya berdiam diri saja.

4) Sentuhan

(18)

keibuan, nyaman atau perhatian (Ellis,1994). Persepsi tentang sentuhan sangat dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu seseorang, asumsi dan situasi saat itu. Sentuhan dapat dikategorikan menurut pesan yang dikomunikasikan (Knap ciit.Townsen, 1993) : Fungsional-profesional. Sentuhan tipe ini tidak khusus dan untuk urusan tertentu, digunakan untuk menyelesaikan tugas tertentu . Misalnya seorang penjahit mengukur baju orang yang ingin menjahitkan baju. Sosial-sopan. Sentuhan tipe ini lebih dari sentuhan yang bukan ditujukan untuk orang tertentu, tapi menunjukan penegasan atau penerimaan terhadap orang lain tersebut. Misalnya berjabat tangan. Sahabat-hangat. Sentuhan ini berada pada tingkat yang menandakan rasa suka yang kuat pada orang lain, sebuah perasaan bahwa dia adalah teman. Misalnya meletakkan satu tangan pada bahu orang lain. Cinta-keintiman. Sentuhan tipe ini menunjukan kasih sayang yang kuat atau daya tarik untuk orang lain. Misalnya memeluk yang kuat.Sexual arousal. Tipe sentuhan berada pada tingkat ekspresi dari daya tarik fisik saja. Misalnya menyentuh daerah kemaluan orang lain.

5) Cultural Artifact

Artifact adalahhal – hal yang ada dalam interaksi seseorang dengan orang lain yang mungkin bertindak sebagai rangsang non verbal misalnya: baju, kosmetik, parfum atau bau badan, deodorant, perhiasan, kaca mata, rambut palsu, cambang, kumis dan lain-lain. Penampilan personal dan cara memakai baju menurut Rosdahl (1999) juga termasuk dalam artifact. Misalnya seorang penjahat melihat seorang laki-laki gagah memakai baju loreng maka penjahat akan ketakutan karena dia mengira orang tersebut adalah tentara padahal orang tersebut seperti apa yang dipikirkannya

6) Gaya Berjalan

Beberapa gaya berjalan yang menunjukan pesan tertentu antara lain: cara berjalan yang bersemangat dan gembira akan menunjukan seseorang tersebut dalam keadaan senang . Cara berjalan menyeret menunjukan sedih atau merasa kecil hati.

7) Penampilan fisik umum

(19)

Ellis (1994) menyarankan cara menginterpretasikan tingkah laku non verbal : menyadari beberapa arti dari tingkah laku non verbal; meluaskan pemahaman dan menajamkan kemampuan interpretasi tingkah laku non verbal dan menggunakan latar belakang orang yang diobservasi untuk mencoba menafsirkan arti tingkah laku non verbalnya; membaca komunikasi non verbal sebanyak-banyaknya yang disampaikan seseorang dan mendiskusikan dengan rekan atau perawat lain; memvalidasi persepsi dari tingkah laku seseorang dengan menggambarkan apa yang diamati dan tanyakan apakah anda menginterpretasikan dengan tepat.

Terdapat enam jalan di mana komunikasi verbal dan non verbal saling berhubungan : Pengulangan.Komunikasi non verbal mengulangi ide komunikasi verbal misalnya secara verbal mengatakan ikan yang sangat besar dan kemudian tangan pembicara direntang untuk menunjukan ukuran ikan tersebut. Berlawanan. Komunikasi nonverbal berlawanan dengan komunikasi verbal misalnya seseorang yang mengatakan tidak marah tetapi ekspresi mukanya menunjukan kemarahan.Pelengkap. Pesan dari komunikasi non verbal menambah pesan dari komunikasi verbal misalnya seseorang yang mengatakan saya sedikit tersinggung tapi suara dan tindakannya menunjukan kemarahan yang lebih besar. Tekanan. Komunikasi non verbal yang menekankan komunikasi non verbal misalnya menginginkan orang lain tenang mengangkat tangannya pada saat meminta agar orang lain tenang (Ekman, cit. Wilson dan Kneils, 1983).

Menghubungkan dan mencocokan. Misalnya seorang wanita tetap membuka dan menutup mulutnya dengan singkat saat orang lain bicara menandakan wanita ini ingin menandakan giliran bicara. Mengganti. Komunikasi non verbal digunakan untuk mengganti komunikasi verbal misalnya lambaian tangan atau menepuk tangan untuk memuji orang lain yang dianggap berprestasi.

2.1.6 Faktor yang mempengaruhi proses komunikasi

(20)

Kepada remaja, anda barangkali perlu belajar bahasa ”gaul” mereka sehingga remaja yang kita ajak bicara akan merasa kita mengerti mereka dan komunikasi diharapkan akan lancar.

Persepsi adalah pandangan pribadi seseorang terhadap suatu kejadian atau peristiwa. Persepsi dibentuk oleh harapan atau pengalaman.Perbedaan persepsi dapat mengakibatkan terhambatnya komunikasi. Misalnya kata-kata virus mempunyai perbedaan persepsi pada seorang ahli komputer dengan seorang dokter.

Nilai adalah standar yang mempengaruhi pengaruhi perilaku sehingga penting bagi perawat untuk menyadari nilai seseorang. Perawat perlu berusaha untuk mengetahui dan mengklarifikasi nilai sehingga dapat membuat keputusan dan interaksi yang tepat dengan klien. Dalam hubungan profesionalnya diharapkan perawat tidak terpengaruh oleh nilai pribadinya.Perbedaan nilai tersebut dapat dicontohkan sebagai berikut, klien memandang abortus tidak merupakan perbuatan dosa sementara perawat memandang bahwa abortus merupakan tindakan dosa.Hal ini dapat menyebabkan konflik antara perawat dan klien.

Latar belakang sosial budaya. Bahasa dan gaya komunikasi akan sangat dipengaruhi oleh faktor budaya. Budaya juga akan membatasi cara bertindak dan berkomunikasi. Seorang remaja putri ingin membeli makanan khas disuatu daerah. Remaja tersebut berasal dari daerah lain. Pada saat membeli makanan tersebut, si remaja tiba-tiba menjadi pucat ketakutan karena si penjual menanyakan padanya berapa banyak cabe merah yang dibutukan untuk campuran makanan yang akan diberikan.Apa yang terjadi ? Si remaja tersebut merasa dimarahi oleh si penjual karena cara menanyakan cabe itu seperti membentak bagi si remaja putri padahal si penjual merasa tidak memarahi remaja tersebut. Hal ini dikarenakan budaya dan logat bicara si penjual yang memang tegas dan keras sehingga terkesan marah-marah bagi orang dengan latar budaya yang berbeda.

(21)

Jenis kelamin. Setiap jenis kelamin mempunyai gaya komunikasi yang berbeda. Tanned (1990) menyebutkan bahwa wanita dan laki-laki mempunyai perbedaan gaya komunikasi. Dari usia tiga tahun wanita bermain dengan teman baiknya atau dalam group kecil dan menggunakan bahasa untuk mencari kejelasan, meminimalkan perbedaan, serta membangun dan mendukung keintiman. Laki-laki dilain pihak, menggunakan bahasa untuk mendapatkan kemandirian dari aktifitas dalam group yang lebih besar,dimana jika mereka ingin berteman, maka mereka melakukannya dengan bermain..

Pengetahuan. Tingkat pengetahuan akan mempengaruhi komunikasi yang dilakukan. Seseorang yang tingkat pengetahuan rendah akan sulit merespon pertanyaan yang mengandung bahasa verbal dengan tingkat pengetahuan yang lebih tinggi. Perawat perlu mengetahui tingkat pengetahuan klien sehingga perawat dapat berinteraksi dengan baik dan akhirnya dapat memberikan asuhan keperawatan yang tepat kepada klien.

Peran dan hubungan. Gaya komunikasi sesuai dengan peran dan hubungan antar orang yang berkomunikasi. Cara komunikasi seorang perawat dengan koleganya, dengan cara komunikasi seorang perawat pada klien akan berbeda tergantung perannya. Demikian juga antara guru dengan murid.

Lingkungan. Lingkungan interaksi akan mempengaruhi komunikasi yang efektif. Suasana yang bising, tidak ada privacy yang tepat akan menimbulkan kerancuan, ketegangan dan ketidaknyamanan. Misalnya berpacaran di pasar tentunya tidak nyaman. Untuk itulah perawat perlu menyiapkan lingkungan yang tepat dan nyaman sebelum memulai interaksi dengan klien.

Jarak. Jarak dapat mempengaruhi komunikasi. Jarak tertentu dapat menyediakan rasa aman dan kontrol. Dapat dimisalkan dengan individu yang merasa terancam ketika seseorang tiudak dikenal tiba-tiba berada pada jarak yang sangat dekat dengan dirinya.Hal itu juga yang dialami klien saat pertama kali berinteraksi dengan perawat.Untuk itu perawat perlu memperhitungkan jarak yang tepat pada saat melakukan hubungan dengan klien.

2.1.7 Arti komunikasi bagi perawat

(22)

Hornby (1974) terapeutik merupakan kata sifat yang dihubungkan dengan seni dari penyembuhan. Disini dapat diartikan bahwa terapeutik adalah segala sesuatu yang memfasilitasi proses penyembuhan. Mampu terapeutik berarti seseorang mampu melakukan atau mengkomunikasikan perkataan, perbuatan, atau ekspresi yang memfasilitasi proses penyembuhan. Sebagai alat bagi perawat untuk mempengaruhi tingkah laku klien dan kemudian untuk mendapatkan keberhasilan dalam intervensi keperawatan. Komunikasi merupakan hubungan itu sendiri, dimana tanpa ini tidak mungkin terjadi hubungan terapeutik perawat-klien.

2.1.8 Aplikasi komunikasi dalam asuhan keperawatan

Komunikasi dalam praktik keperawatan profesional merupakan unsur yang utama bagi perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan untuk mencapai hasil yang maksimal. Menurut Nursalam (2002) kegiatan keperawatan yang memerlukan komunikasi meliputi : (1) timbang terima; (2) interview/anamnese; (3) komunikasi melalui komputer; (4) komunikasi rahasia klien; (5) komunikasi melalui sentuhan; (6) komunikasi dalam pendokumentasian; (7) komunikasi antar perawat dan profesi kesehatan lain dan (8) komunikasi antar perawat dan pasien. Dalam hal ini peneliti meneliti tentang komunikasi antar perawat dengan klien dalam hubungannya dengan kepuasan klien.

2.2 Konsep Kecemasan

2.2.1 Pengertian Kecemasan

Kecemasan yang dirasakan oleh klien dan keluarganya disaat klien harus dirawat mendadak dan tanda terencana merupakan reaksi pertama yang muncul begitu mulai masuk rumah sakit dan akan terus menyertai klien dan keluarganya dalam setiap upayanya perawatan terhadap penyakit yang diderita klien.

Cemas adalah emosi dan merupakan pengalaman subyektif individual, mempunyai kekuatan tersendiri dan sulit untuk diobservasi secara langsung. Perawat dapat mengidentifikasi cemas lewat perubahan tingkah laku klien.

(23)

mempunyai sumber yang jelas dan obyeknya dapat didefinisikan. Takut merupakan penilaian intelektual terhadap stimulus yang mengancam dan cemas merupakan respon emosi terhadap penilaian tersebut.

Lebih jauh dikatakan pula, kecemasan dapat dikomunikasikan dan menular, hal ini dapat mempengaruhi hubungan terapeutik perawat klien. Hal ini menjadi perhatian perawat.

Bostrom (1995) mengemukakan stressor sebagai factor presipitasi kecemasan adalah bagaimana individu berhadapan dengan kehilangan dan bahaya yang mengancam. Bagaimana mereka menerimanya tergantung dari kebutuhan, keinginan, konsep diri, dukungan keluarga, pengetahuan, kepribadian dan kedewasaan.

Kecemasan adalah suatu kondisi yang menandakan suatu keadaan yang mengancam keutuhan serta keberadaan dirinya dan dimanifestasikan dalam bentuk prilaku seperti rasa tak berdaya, rasa tidak mampu, rasa takut, phobia tertentu (Hamid dkk,1997).

Kecemasan muncul bila ada ancaman ketidakberdayaan, kehilangan kendali, perasaan kehilangan fungsi-fungsi dan harga diri, kegagalan pertahanan, perasaan terisolasi (Hudak dan Gallo, 1997).

2.2.2 Teori-teori Penyebab kecemasan

Direktorat Kesehatan jiwa, Depkes RI (1994) mengembangkan teori-teori penyebab kecemasan sebagai berikut :

1. Teori Psikoanalitik

Kecemasan merupakan konflik emosional yang terjadi antara 2 elemen kepribadian yaitu Id dansuper ego. Id melambangkan dorongan insting dan impuls primitif, super ego mencerminkan hati nurani seseorang, sedangkan ego atau aku digambarkan sebagai mediator dari tuntutan Id dan super ego. Kecemasan berfungsi untuk memperingatkan ego tentang suatu bahaya yang perlu diatasi.

2. Teori Interpersonal

(24)

menyebabkan seseorang tidak berdaya. Individu yang mempunyai harga diri rendah biasanya sangat mudah untuk mengalami kecemasan berat.

3. Teori Perilaku

Kecemasan merupakan hasil frustasi segala sesuatu yang mengganggu kemampuan untuk mencapai tujuan yang diingikan. Para ahli prilaku menganggap kecemasan merupakn suatu dorongan, yang mempelajari berdasarkan keinginan untuk menghindari rasa sakit. Pakar teori meyakini bahwa bila pada awal kehidupan dihadapkan pada rasa takut yang berlebihan maka akan menunjukkan kecemasan yang berat pada masa dewasanya.

Sementara para ahli teori konflik mengatakan bahwa kecemasan sebagai benturan-benturan keinginan yang bertentangan. Mereka percaya bahwa hubungan timbal balik antara konflik dan daya kecemasan yang kemudian menimbulkan konflik.

4. Teori Keluarga

Gangguan kecemasan dapat terjadi dan timbul secara nyata dalam keluarga, biasanya tumpang tindih antara gangguan cemas dan depresi.

5. Teori Biologi

Teori biologi menunjukkan bahwa otak mengandung reseptor spesifik untuk benzodiasepin. Reseptor ini mungkin mempengaruhi kecemasan.

2.2.3 Cara Penilaian Tingkat Kecemasan

Menurut Maramis, ME (1990) ada test-test kecemasan dengan pertanyaan langsung, mendengarkan kriteria penderita, serta mengobservasinya terutama perilaku non verbalnya. Ini sangat berguna dalam menentukan adanya kecemasan dan untuk menetapkan tingkatnya. Penting adalah tanda-tanda kedutan, tremor atau meraba-raba diri sendiri, tatapan mata kurang atau menerawang, kurang senyum, dan kecenderungan menegakkan tubuh. Otot-otot muka lebih mudah dikontrol oleh karena itu penderita dapat saja berpura-pura tidak cemas, tetapi gerakan lain seperti tersebut diatas kurang dapat dikontrol. Adalah penting bagi tim kesehatan untuk peka terhadap isyarat-isyarat non verbal tersebut. Untuk menentukan tingkat kecemasan dipakai skor HARS yang telah dianggap baku.

(25)

Scale) adalah terdiri dari 14 item yaitu : 1) Perasaan cemas, 2) Ketegangan, 3) ketakutan, 4) Gangguan tidur, 5) Gangguan kecerdasan, 6) Perasaan depresi, 7) Gejala somatik, 8) Gejala sensorik, 9) Gejala cardiovasculer, 10) Gejala pernafasan, 11) Gejala gastrointestinal, 12) Gejala urogenetalia, 13) Gejala vegetatif atau otonom, 14) Perilaku sewaktu wawancara.

2.2.4 Respon klien terhadap kecemasan

Kecemasan yang timbul dapat diidentifikasi melalui respon yang dapat berupa respon fisik, emosional, dan kognitif atau intelektual.

1. Respon Fisiologis :

1) Kardiovaskuler : Palpitasi berdebar, tekanan darah meningkat/menurun, nadi

meningkat/menurun.

2) Saluran Pernafasan : Nafas cepat dangkal, rasa tertekan di dada, rasa seperti tercekik.

3) Gastrointestinal : Hilang nafsu makan, mual, rasa tak enak pada epigastrium, diare.

4) Neuromuskuler : Peningkatan refleks, wajah tegang, insomnia, gelisah, kelelahan secara

umum, ketakutan, tremor.

5) Saluran Kemih : Tak dapat menahan buang air kecil.

6) Sistem Kulit : Muka pucat, perasaan panas/dingin pada kulit, rasa terbakar pada muka,

berkeringat setempat atau seluruh tubuh dan gatal-gatal.

2. Respon Kognitif : konsentrasi menurun, pelupa, raung persepsi berkurang atau menyempit,

takut kehilangan kontrol, obyektifitas hilang.

3. Respon emosional : kewaspadaan meningkat, tidak sadar, takut, gelisah, pelupa, cepat marah,

kecewa, menangis dan rasa tidak berdaya.

2.2.5 Rentang respon dan proses adaptasi terhadap cemas

Stuart dan Sundeen (1995) mengatakan rentan respon individu berfluktuasi antara respon adaptif dan maladaptive seperti :

(26)

Antisipasi Ringan Sedang Berat Panik

(Gambar : Rentang respon adaptif dan maladaptif)

(Dikutip dari Stuart dan Sundeen (1995) : Principles and practice of psychiatric nursing (5thed),

Philadelphia : Mosby Year Book)

Roy(1992) mengatakan manusia mahluk yang unik karenanya mempunyai respon yang berbeda-beda terhadap cemas tergantung kemampuan adaptasi ini dipengaruhi oleh pengalaman berubah dan kemampuan koping individu. Koping adalah mekanisme mempertahankan keseimbangan dalam menghadapi stress.

Selanjutnya Roy (1992) menerangkan proses adaptasi dipengaruhi oleh 2 aspek yaitu :

Stresor (stimulus lokal) : yaitu semua rangsang yang dihadapi individu dan memerlukan respon adaptasi.

Mediator (proses adaptasi) :

1) Stimulus internal yaitu factor dari dalam yang dimiliki individu seperti keyakinan, pengalaman

masa lalu, sikap, dan kepribadian.

2) Stimulus eksternal (kontekstual) yaitu factor dari luar yang berkontribusi atau melatar belakangi dan mempengaruhi respon adaptasi individu terhadap stressor yang dihadapi.

2.3 Critical Care Nursing

2.3.1 Sejarah

ICU (Intensive Care Unit) sudah dimukai pada tahun 1950 akan tetapi hanya

diperuntukkan untuk pasien-pasien polio. Pada tahun 1960 RR (Recovery Room) mulai ada dan dipakai untuk pasien post operasi seperti operasi jantung, dsb. Selanjutnya pada tahun 1970 ICU (Intensive Care Unit)digunakan untuk pasien-pasien post operasi jantung, neurologikal, trauma, transplantasi, pediatric, dan neonatus.

2.3.2 Pengertian

(27)

kemampuan untuk deteksi dan manajemen keadaan yang mengancam kehidupan serta masalah kesehatan yang terjadi secara tiba-tiba, dan 20 % Life Threatening. Dimana pendidikan kesehatan memegang peran utama termasuk peningkatan kesehatan dan deteksi dini.

Pelayanan keperawatan kegawatdaruratan adalah pelayanan profesional yang didasarkan pada ilmu dan metodologi keperawatan gawat darurat berbentuk pelayanan bio-psiko-sosio-spiritual yang komperhensif ditujukan kepada klien/pasien yang mempunyai masalah aktual atau resiko yang mengancam kehidupan, terjadi secara mendadak atau tidak dapat diperkirakan, dan tanpa atau disertai kondisi lingkungan yang tidak dapat dikendalikan. Rangkaian kegiatan yang dilaksanakan dikembangkan sedemikian rupa sehingga mampu mencegah kematian atau kecacatan yang mungkin terjadi.

Dampak psikososial kegawatan pada Pasien dan keluarga

Paisen yang dirawat di ruang intensive mengalami keadaan gawat yang dapat mengancam kehidupan. Kondisi seperti ini menimbulkan ketakutan dan kecemasan yang meningkat pada pasien dan keluarganya. Hal ini sangat dipengaruhi oleh koping psikologis pasien dan keluarga itu sendiri, akan tetapi pada unit ini akan sering ditemukan bahwa koping yang digunakan efektif akan tetapi kecemasan berkelanjutan maka koping akan menjadi tidak efektif dan hal ini akan memperburuk keadaan pasien dan keluarganya.

Dampak pada Pasien

(28)

pemakaian ventilator. Sedangkan Reigel (1989) mengatakan bahwa 30 % sampai 70 % pasien mempunyai stress psikologis seperti ; powerlessnes, anger, dan syndrome ICU.

Dampak pada keluarga

Dalam Critical Care Nursing keluarga mempunyai kontribusi yang sangat penting. Kebutuhan Keluarga :

1) Kebutuhan akan informasi

- Penyakit pasien serta kemajuannya

- Hasil yang diharapkan

- Orientasi tentang ICU

- Beri waktu untuk bertanya

2) Kebutuhan emosional

- Mengurangi kecemasan dengan menjelaskan keadaan pasien sehingga keluarga percaya,

pasien dan keluarga mendapat pengetahuan

- Memberi informasi setiap hari

- Rencana untuk pindah

3) Kebutuhan fisik/personal

- Waktu kunjungan

- Tempat menunggu

- Libatkan dalam menolong pasien walaupun dalam hal kecil

2.3.4. Kecemasan di unit perawatan kritis

Kecemasan atau ansietas dipandang sebagai suatu keadaan ketidakseimbangan atau ketegangan yang dengan cepat mengusahaan terjadinya koping. Koping kemudin dapat dipandang sebagai suatu transaksi antara orang dengan lingkungan. Keberhasilan transaksi menurunkan ketegangan dan meningkatkan rasa tenang dan sejahtera.

Adanya stress atau ancaman terhadap keutuhan seseorang, pertahanan, keamanan dan pengendalian akan menyebabkan ansietas. Penyakit merupakan salah satu stress.

(29)

dirasakan oleh keluarga. Tanggung jawab pasien sekarang ditambahkan pada tanggung jawab orang lain, bila tanggung jawab ini ditinggalkan anggota keluarga akan mengalami berbagai tingkat ketidaknyamanan. (Hudak & Gallo, 1997 : 27)

2.4 Hubungan Komunikasi dan Tingkat Kecemasan

Asuhan Keperawatan kritis dimana perawat dihadapkan dalam situasi yang tiba-tiba dan tidak diduga yang mengancam kehidupan. Bagi kebanyakan perawat hal ini membutuhkan suport sistem.

Intervensi krisis bagi keluarga dengan stres akut adalah penting untuk pencegahan krisis fungsi kesehatan mental keluarga.

Ansietas pada klien dan keluarga yang menjalani perawatan di unti perawatan kritis terjadi karena adanya ancaman ketidak berdayaan kehilangan kendali, perasaan kehilangan fungsi dan harga diri, kegagalan membentuk pertahanan, perasaaan terisolasi dan takut mati. Untuk membantu meningkatakan perasaan pengendalian diri pada klien dan keluarga dapat salah satunya dapat melalui pemberian informasi dan penjelasan (Hudak & Gallo, 1997 : 11). Pemberian informasi dan penejelasan ini dapat dilakukan dengan baik apabila didukung oleh pelaksanaan komunikasi yang efektif.

Bantuan kepada keluarga pada perasaannya amat penting untuk menghindari keterlambatan reaksi kedukaan dan depresi yang berlarut-larut. perawat dapat memberi petunjuk pada keluarga untuk saling membantu dalam menangis dan membagi rasa takut dan kesedihannya.Refleksi perasaan atau aktif mendengar diperlukan untuk melalui keadaan ini.

Waktu perawat dalam keperawatan kritis untuk keluarga seringkali terbatas karena pekerjaan yang ada, sehingga menjadi penting untuk membuat setiap interaksi berguna bagi keluarga. perawat harus bertanggung jawab terhadap percakapan langsung dan memfokuskan pada saat ini dan sekarang. Ia harus menghindari usaha memberikan nasehat yang tidak berguna dalam menekankan pendekatan penyelesaian masalah. Untuk membuat interaksi bermakna, perawat harus memfokuskan pada situasi krisis dan menghindari keterlibatan dalam masalah kronik yang lama dan berlarut-larut. (Hudak& Gallo, 1997 : 30)

BAB 3

(30)

3.1 Kerangka Konsep

Faktor Internal : - Jenis kelamin - Usia

- Status Perkawinan - Pengetahuan

- Pengalaman masa lalu - Pemahaman keagamaan

Keterangan :

: Diteliti.

(31)

Gambar 3.1 : Kerangka Konseptual Hubungan Antara Komunikasi yang Dilakukan Perawat dan Tingkat Kecemasan Keluarga pada Pasien yang Dirawat di Unit Perawatan bedah

Pasien dan keluarga yang masuk rumah sakit (MRS) pasti akan mengalami perasaan cemas atau ansietas yang merupakan respon psikologis yang dirasakan oleh keluarga ataupun pasien sendiri. Keadaan emosi ini dialami secara obyektif dan dikomunikasikan dalam

hubungan interpersonal. Ansietas atau kecemasan ini akan lebih jelas ditemukan pada keluarga ataupun pasien yang dirawat di unit perawatan bedah atau Critical Care Unit.

Kecemasan atau ansietas adalah menggambarkan keadaan kawatir, gelisah, takut, tidak tentram disertai berbagai keluhan fisik. Disini dituntut peran perawat yang berada disamping pasien dan keluarganya selama 24 jam untuk mampu melaksanakan asuhan keperawatan profesional kepada klien dan keluarganya. Dalam hubungan interpersonal antara perawat – pasien – keluarga, hal ini menuntut penampilan kerja (kinerja) perawat melalui penerapan komunikasi terapeutik yang ditampilkan dengan komunikasi baik verbal maupun nonverbal.

Dengan komunikasi baik verbal maupun non verbal yang efektif diharapkan baik pasien sendiri maupun keluarga akan memberikan respon yang adaptif yaitu penurunan tingkat kecemasan ini akan berdampak terhadap proses perawatan pasien itu sendiri. Oleh karena itu bagi peneliti dipandang perlu melakukan penelitian untuk mengkaji dan mengidentifikasi

penampilan kerja perawat khususnya dalam penerapan komunikasi terapeutik yang ditampilkan dalam komunikasi verbal dan nonverbal dalam praktek keperawatan profesional dengan penurunan tingkat kecemasan keluarga dari klien yang di rawat di unit perawatan kritis pasien.

3.2 Hipotesis

H1 : Ada hubungan komunikasi verbal maupun nonverbal yang dilakukan perawat terhadap tingkat kecemasan keluarga dari pasien yang menjalani perawatan di unit perawatan Bedah RSUD Polewali.

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1 Jenis penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian survey analitik dengan pendekatan cross sectional study dimana data di kumpulkan pada saat bersamaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Hubungan Komunikasi Perawat Terhadap Tingkat Kecemasan Keluarga Pada Pasien Yang Dirawat di unit perawatan Bedah RSUD Polewali.

(32)

4.2 Kerangka Kerja

Penyajian Hasil

Pengumpulan data dilakukan terhadap responden dengan

menggunakan kuesioner

Sampel dalam penelitian ini adalah keluarga pasien yang memenuhi

kriteria inklusi, berjumlah 24 orang

(33)

4.3 Populasi, Sampel dan Sampling

4.3.1 Populasi

Populasi adalah setiap subjek (dapat berupa manusia,binatang percobaan,dan lain-lain) yang memenuhi karakteristik yang ditentukan (Sastroasmoro,1995). Ada dua jenis populasi yaitu populasi target dan populasi terjangkau. Dengan perkataan lain populasi terjangkau adalah bagian dari populasi target yang dibatasi oleh tempat dan waktu. Dari populasi terjangkau inilah akan dipilih sampel yang terdiri dari subjek yang akan diteliti. Pada penelitian ini populasi terjangkaunya adalah keluarga dari pasien yang di unit perawatan Bedah RSUD Polewali

4.3.2 Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi yang dipilih dengan cara tertentu hingga dianggap mewakili populasinya (Sastroasmoro,1995). Sampel adalah keseluruhan objek yang diteliti dan dianggap mewakili keseluruhan populasi (Nursalam & Siti Pariani, 2000). Pada penelitian ini sampel diambil dari keluarga dari pasien yang sakit dan dirawat di unit perawatan Bedah RSUD Polewali

Kriteria inklusi adalah karakteristik sampel yang dapat dimasukkan atau layak untuk diteliti (Nursalam & Siti Pariani, 2000:65). Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah : semua keluarga pasien yang dirawat diunit perawatan kritis, responden adalah memiliki hubungan keluarga dengan pasien, tidak mengalami gangguan orientasi realita, jenis kelamin laki-laki dan perempuan dengan umur 20-60 tahun, Keluarga pasien yang dirawat di unit perawatan kritis, keluarga pasien bersedia menjadi responden dan untuk pasien yang dirawat pada hari 1 sampai hari ke 3.

(34)

hari. Dalam penelitian ini besar sampel ditetapkan berdasarkan rumus sebagai berikut (Anwar.A, 1987)

Dimana :

n = perkiraan jumlah sampel N = perkiraan besar populasi.

Z = nilai standar normal untuk  = 0,05 (1,96)

p = perkiraan proporsi, jika tidak diketahui dianggap 50% (0,5) q = 1 – p (0,5)

d = tingkat kesalahan, yang dipilih (d = 0,05).

25 x 1.96² x 0.5 x 0.75

= 24 0.05² x 24 + 1.96² x 0.5 x 0.75

4.3.3 Sampling

Sampling adalah suatu proses dalam menyeleksi porsi dari populasi untuk dapat mewakili populasi (Nursalam & Siti Pariani, 2000: 66). Penelitian ini menggunakan Purposive sampling. Suatu teknik penetapan sampel dengan cara memilih sampel diantara populasi sesuai dengan yang dikehendaki peneliti, sehingga sampel tersebut dapat mewakili karakteristik populasi yang dikenal sebelumnya (Nursalam, 2000: 68).

4.4 Identifikasi Variabel

4.4.1 Variabel independen

Variabel independen adalah faktor yang diduga sebagai faktor yang mempengaruhi variabel depedent (Nursalam & Siti Pariani, 2000:166). Variabel independennya adalah komunikasi verbal dan non verbal yang dilakukan oleh perawat dengan keluarga pasien.

(35)
(36)

4.5 Definisi Oprasional

Variabel Definisi Parameter Alat Ukur Skala Skor

(37)
(38)

4.6 Pengumpulan Data 4.6.1 Instrument

Instrumen penelitian adalah pedoman tertulis tentang wawancara atau pengamatan atau daftar pertanyaan, yang disiapkan untuk mendapatkan informasi dari responden (Gulo, W. 2002: 123). Instrumen dalam penelitian ini berupa lembar kuesioner dengan beberapa pertanyaan tertutup untuk mengidentifikasi pelaksanaan komunikasi perawat dan tingkat kecemasan keluarga. 4.6.2 Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilakukan di unit perawatan Bedah RSUD Polewali. Waktu dilakukan penelitian ini adalah pada bulan Maret 2003

4.6.3 Prosedur Penelitian

Setelah proposal disetujui oleh institusi dan pembimbing segera peneliti meminta ijin kepada pihak rumah sakit. Setelah mendapatkan ijin dari Kepala Rumkital Dr. Ramelan Surabaya. Peneliti menyusun tim work yang akan membantu peneliti memberikan perlakuan dengan menggunakan komunikasi terapeutik kemudian melakukan koordinasi untuk menyamakan persepsi dan pandangan sesuai harapan peneliti. Kemudian peneliti mengadakan pendekatan kepada keluarga dari klien untuk mendapatkan persetujuan sebagai responden peneliti.

4.6.4 Analisa Data

Setelah data terkumpul kemudian diolah yang meliputi identifikasi masalah penelitian dengan menggunakan cara deskriptif dengan menggunakan tabel deskriptif yang dikonfirmasi dalam bentuk prosentasi dan narasi.

Untuk mengetahui hubungan komunikasi yang dilakukan perawat dengan tingkat kecemasan keluarga dari klien yang dirawat di unit perawatan kritis adalah dengan menggunakan uji korelasiSperman’s rho dengan derajat kemaknaan p < 0,05 artinya ada hubungan yang bermakna antara dua variabel, maka H1 diterima. Uji statistik yang akan digunakan adalah dengan program SPSS for Windows.

4.7 Masalah Etika

(39)

Ramelan Surabaya. Setelah mendapatkan persetujuan barulah melakukan penelitian dengan menekankan masalah etika yang meliputi:

4.7.1 Informed consent

Lembar persetujuan diberikan pada subyek yang akan diteliti. Peneliti menjelaskan maksud dan tujuan riset yang dilakukan. Jika subyek bersedia diteliti maka harus menandatangani lembar persetujuan. Jika subyek menolak untuk diteliti maka peneliti tidak akan memaksa dan tetap menghormati haknya.

4.7.2 Tanpa nama (Anonimity)

Untuk menjaga kerahasiaan identitas, peneliti tidak akan mencantumkan nama subyek pada lembar likert scale yang diisi oleh subyek. Lembar tersebut hanya diberi nomor kode tertentu.

4.7.3 Kerahasiaan (Anonfidentiality)

Peneliti menjamin kerahasiaan informasi yang diperoleh dari responden.

4.8 Keterbatasan

Keterbatasan adalah kelemahan atau hambatan dalam penelitian (Burns dan Grove, 1991). Dalam penelitian ini keterbatasan yang dihadapi peneliti adalah:

4.8.1 Instrument

Pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner berupa pertanyaan tertutup

memungkinkan terjadinya ketelitian responden terhadap pertanyaan yang diberikan kurang, dan dapat dipengaruhi oleh emosi dan harapan-harapan pribadi yang bersifat subyektif, sehingga hasilnya kurang terwakili secara kualitatif.

Selain itu dalam penelitian ini peneliti tidak melakukan observasi langsung kepada perawat pelaksana dalam melakukan komunikasi kepada responden sehingga hasil penelitian ini dirasa kurang representatif.

(40)

Sampel yang didapatkan di unit perawatan Bedah RSUD Polewali jumlahnya terbatas, sehingga hasilnya kurang sempurna dan kurang memuaskan.

4.8.3 Feasibility

Karena keterbatasan waktu, kemampuan, ketersediaan subyek dan hambatan yang lain maka penelitian ini tidak dapat menggambarkan keadaan yang terjadi.

http://nasruddin-nersb.blogspot.com/2013/08/hubungan-komunikasi-dengan-tingkat.html

Gambar

Gambar 4.1  Kerangka kerja penelitian hubungan antara komunikasi yang dilakukan perawat dan kecemasan

Referensi

Dokumen terkait

Dengan demikian ia dapat menghidupi diri dan keluarganya tanpa memberatkan pemerintah (masyarakat umum), disamping itu dengan karyanya juga dapat menambah secara langsung

Lampiran 21 Surat Keterangan Penelitian dari MI Darul Huda Pojok Ngantru

Memberikan pengenalan dasar-dasar teknik sistem komputer: Sistem bilangan, rangkaian logika dasar, mikrokomputer, mikroprosesor/mikrokontroler, memori (RAM/ROM), bahasa

[r]

Tingkat suku bunga yang digunakan dalam penelitian ini adalah tingkat suku bunga pinjaman Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang ditetapkan oleh Bank Rakyat Indonesia (2016)

Pengelolaan sarana dan prasarana merupakan kegiatan yang sangat penting di sekolah, karena keberadaannya akan sangat mendukung terhadap suksesnya proses pembelajaran

Pada tahap selanjutnya dilakukan identifikasi masalah yang sangat menarik perhatian. Cara melakukan identifikasi masalah antara lain sebagai berikut. a) Menuliskan

Untuk manual book dari mesin ini tidak ada karena dipinjam oleh mahasiswa UNPAD dan sampai pada saat ini belum dikembalikan pada pihak LIPI, dan untuk pemeliharaan tidak