• Tidak ada hasil yang ditemukan

metode penelitian sastra feminis dan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "metode penelitian sastra feminis dan "

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)

METODE PENELITIAN SASTRA, SEBUAH PENGANTAR

1. Ilmu Sastra a. Sejarah Sastra

Banyak dari kita yang sering mendengar suatu istilah bahkan sampai hafal istilah itu. Tapi kelemahan kita adalah menghafal tanpa mengerti arti sebenarnya dari istilah tersebut. Istilah sastra kerap melintas ditelinga kita tapi apakah sesungguhnya sastra itu?

Sastra (Sanskerta: शशसत, shastra) merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta śāstra, yang berarti "teks yang mengandung instruksi" atau "pedoman", dari kata dasar śās- yang berarti "instruksi" atau "ajaran". Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan untuk merujuk kepada "kesusastraan" atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu. Tetapi kata "sastra" bisa pula merujuk kepada semua jenis tulisan, apakah ini indah atau tidak. Selain itu dalam arti kesusastraan, sastra bisa dibagi menjadi sastra tertulis atau sastra lisan (sastra oral). Di sini sastra tidak banyak berhubungan dengan tulisan, tetapi dengan bahasa yang dijadikan wahana untuk mengekspresikan pengalaman atau pemikiran tertentu.

Sejarah sastra bertugas menyusun perkembangan sastra dari mulai timbulnya hingga perkembangannya yang terakhir. Misalnya, sejarah timbulnya suatu kesusastraan, sejarah jenis sastra

(genre), sejarah perkembangan gaya-gaya sastra, sejarah perkembangan pikiran-pikiran manusia yang

dikemukakan dalam karya-karya sastra, dan sebagainya (Pradopo, 2007: 9).

b. Kritik Sastra

Kritik sastra adalah ilmu sastra yang berusaha menyelidiki karya sastra dengan langsung menganalisis, memberi pertimbangan baik buruknya karya sastra, bernilai seni atau tidaknya (Pradopo, 2007: 9).

Kritik sastra adalah cabang ilmu sastra yang berurusan dengan penilaian sastra atau suatu kegiatan yang menilai baik-buruknya karya sastra atau kritik sastra itu semacam resensi dan ulasan kritik sastra. Prinsip kritik sastra adalah mengobrak-abrik karya sastra untuk memperoleh mana yang baik dan mana yang buruk. Menurut HB. Yassin kritik sastra adalah pertimbangan baik dan buruk sesuatu hasil karya sastra.

Kritik sastra bersifat ilmiah karena terikat pada teori, metode, dan objek. Kritik sastra memberikan penilaian atas karya sastra berdasarkan teori dan sejarah sastra, artinya kritik sastra memerlukan teori dan sejarah sastra dan sebaliknya kritik sastra memberikan sumbangan pendapat atau bahan bagi penyusunan/pengembangan teori sastra dan sejarah sastra.Kritik sastra dapat memberikan petunjuk kepada pembaca tentang karya sastra yang unggul dan yang rendah, yang asli dan yang bukan serta memberikan sumbangan pendapat/pertimbangan kepada pengarang tentang karyanya.

1. Jenis-Jenis Kritik Sastra i. Menurut Bentuknya

(2)

karya sastra, yang dengannya karya sastra dan para sastrawannya dinilai. Adapun kritik terapan adalah pelaksanaan dalam penerapan teori-teori kritik sastra sastra baik secara eksplisit, maupun implisit.

ii. Menurut Pelaksanaannya

Menurut pelaksanaanya kritik sastra terbagi atas kritik judisial (judicial criticism) dan impresionistik (impressionistic criticism). Kritik judisial adalah kritik sastra yang melakukan analisis, interprestasi, dan penilaiannya berdasarkan ukuran-ukuran, hukum-hukum dan standar-standar tertentu. Kritikus judisal melakukan kritik sastra berdasarkan ukuran-ukuran tersebut. Jenis sifatnya deduktif. Dapat dikatakan kritik ini merupakan kebalikan dari kritik yang sifatnya induktif. Dalam kritik yang induktif, seorang kritikus tidak menerapkan standar-standar tertentu dalam mengkritik karya sastra. Ia berangkat dari fenomena yang ada dalam karya sastra itu secara objektif. Sedangkan kritik impresionik adalah kritik yang dibuat kritikus dengan mengemukakan kesan-kesan kritikus tentang objek kritiknya, tanggapan-tanggapan tentang kara sastra itu berdasarkan apa yang dirasakan kritikus tersebut. Dalam kritik yang impresionik, seorang kritikus menggunakan tafsiran untuk mengagumkan pembaca. Dalam kritik jenis ini kritikus jarang menggunakan penilaian.

iii. Menurut Orientasi Kritik

Ferdinaen Saragih dalam artikelnya yang berjudul “Jenis-Jenis Kritik Sastra dan Pengertiannya”, mengutip pendapat Abram dalam David Logde, 1972:5-21 membagi jenis kritik berdasarkan orientasinya, yaitu kritik mimetik, kritik ekspresif, kritik pragmatik dan kritik objektif.

1. Kritik mimetik adalah kritik yang memandang karya sastra sebagai pencerminan kenyataan kehidupan manusia. Menurut Abrams, kritikus pada jenis ini memandang karya sastra sebagai tiruan aspek-aspek alam. Sastra merupakan pencerminan/penggambaran dunia kehidupan. Sehingga kriteria yang digunakan kritikus sejauh mana karya sastra mampu menggambarkan objek yang sebenarnya. Semakin jelas karya sastra menggambarkan realita semakin baguslah karya sastra itu. Kritik jenis ini jelas dipengaruhi oleh paham Aristoteles dan Plato yang menyatakan bahwa sastra adalah tiruan kenyataan.

2. Kritik ekspresif adalah kritik sastra yang memandang karya sastra sebagai ekspresi, curahan perasaan, atau imajinasi pengarang. Kritik ekspresif menitikberatkan pada pengarang. Kritikus ekspresif meyakini bahwa sastrawan (pengarang) karya sastra merupakan unsur pokok yang melahirkan pikiran-pikiran, persepsi-persepsi dan perasaan yang dikombinasikan dalam karya sastra. Kritikus dalam hal ini cenderung menimba karya sastra berdasarkan kemulusan, kesejatian, kecocokan penglihatan mata batin pengarang/keadaan pikirannya. Pendekatan ini sering mencari fakta tentang watak khusus dan pengalaman-pengalaman sastrawan yang sadar/tidak, telah membuka dirinya dalam karyanya.

(3)

pendidikan maupun efek lainnya. Sementara tujuan karya sastra pada umumnya: edukatif, estetis, atau politis. Dengan kata lain, kritik ini cenderung menilai karya sastra atas keberhasilannya mencapai tujuan. Ada yang berpendapat, bahwa kritik jenis ini lebih bergantung pada pembacanya (reseptif). Kritik jenis ini berkembang pada Angkatan Balai Pustaka. Sutan Takdir Alisjabana pernah menulis kritik jenis ini yang dibukukan dengan judul “Perjuangan dan Tanggung Jawab” dalam Kesusastraan.

4. Kritik objektif memandang karya satra hendaknya tidak dikaitkan dengan hal-hal di luar karya sastra itu. Ia harus dipandang dsebagai teks yang utuh dan otonom, bebas dari hal-hal yang melatarbelakanginya, seperti pengarang, kenyataan, maupun pembaca. Objek kritik adalah teks satra: unsur-unsur interinsik karya tersebut.

iv. Menurut Objek Kritik

Karya sastra terdiri atas beragam jenis, yaitu puisi, prosa dan drama. Artinya, kritik sastra dapat menjadikan puisi, puisi, prosa atau drama sebagai objeknya. Dengan demikain, jenis kritik ini dapat dibagi lagi menjadi berdasarkan objeknya, yakni kritik puisi, kritik prosa, kritik drama. Selain itu, kritik satra itu sendiri dapat dijadikan kritik sehingga dinamakan kritik atas kritik.

Karya sastra merupakan sebuah keseluruhan yang mencakupi dirinya, tersusun dari bagian-bagian yang saling berjalinan erat secara batiniah dan mengehendaki pertimbangan dan analitis dengan kriteria-kriteria intrinsik berdasarkan keberadaan (kompleksitas, koherensi, keseimbangan, integritas, dan saling berhubungan antarunsur-unsur pembentuknya. Jadi, unsur intrinsik (objektif)) tidak hanya terbatas pada alur, tema, tokoh, dsb; tetapi juga mencakup kompleksitas, koherensi, kesinambungan, integritas, dan sebagainya. Pendekatan kritik sastra jenis ini menitikberatkan pada karya-karya itu sendiri.

Kritik jenis ini mulai berkembang sejak tahun 1920-an dan melahirkan teori-teori: 1. New Critics (Kritikus Baru di AS)

2. Kritikus formalis di Eropa 3. Para strukturalis Perancis v. Menurut Sifatnya

Dalam dunia kritik sastra sering terjadi pertentangan antara kritik sastra yang ditulis kalangan akademik dan nonakademik. Hal ini misalnya terlihat pada polemik antara kritikus sastra yang mengusung apa yang dinamakan metode Ganzheit dengan tokoh antara lain Goenawan Mohamad dan Arif Budiman versus kritikus sastra yang kemudian diistilahkan dengan aliran Rawamangun dengan tokoh-tokohnya antaralain M.S Hutagalung. Dapat dikatakan kritik aliran Rawamangun mewakili jenis kritik sasta kalangan akademik. Sedangkan kritik sasta aliran Ganzheti mewakili kalangan nonakdemik.

(4)

sastra. Para penulisnya umumnya sastrawan, wartawan atau kalangan umum yang tertarik mendalam dunia sastra.

2. Pendekatan Kritik Sastra i. Pendekatan Mimetik

Pendekatan ini memandang karya sastra sebagai tiruan atau pembayangan dunia kehidupan nyata sebagaimana dikemukakan pertamakali oleh Plato dan Aristoteles. Menurut Platokarya sastra hanyalah tiruan alam yang nilainya jauh di bawah realitas sosial dan ide.Sedangkan menurut Aristotelestiruan itu justru membedakannya dari segala sesuatu yang nyata dan umum karena seni merupakan aktivitas manusia.

ii. Pendekatan Ekspresif

Pendekatan ini memandang karya sastra sebagai pernyataan dunia batin pengarang. Dengan demikian apabila segala gagasan, cita, rasa, emosi, ide, angan-angan merupakan “dunia dalam” pengarang, maka karya sastra merupakan “dunia luar” yang bersesuaian dengan dunia dalam itu. Dengan pendekatan ini penilaian sastra tertuju pada emosi atau keadaan jiwa pengarang sehingga karya sastra merupakan sarana untuk memahami keadaan jiwa pengarang.

iii. Pendekatan Objektif

Pendekatan ini memandang karya sastra sebagai dunia otonom yang dapat dilepaskan dari dunia pengarang dan latar belakang sosial budaya zamannya sehingga karya sastra dapat dianalisis berdasarkan strukturnya, dengan kata lain karya sastra dipahami berdasarkan segi intrinsiknya.

iv. Pendekatan Pragmatik

Pendekatan ini memandang makna karya sastra ditentukan oleh publik pembaca selaku penyambut karya sastra. Dengan demikian karya sastra dipandang sebagai karya seni yg berhasil atau unggul apabila bermanfaat bagi masyarakat, seperti: mendidik, menghibur, menyenangkan, dst.

3. Kritik Sastra Indonesia Modern

i. Kritik Sastra Angkatan Balai Pustaka

Paham para pengarang dalam masa permulaan kesustraan Indonesia modern memandang bahwa karya sastra yang baik adalah suatu karya yang langsung memberi didikan kepada para pembaca (Pradopo, 2007: 94).

(5)

ii. Kritik Sastra Angkatan Pujangga Baru

Dalam masa Pujangga Baru telah bergema pertentangan paham tentang karya sastra, yang berupa paham “seni untuk seni” dan “seni bertendens”. “Seni untuk seni” menghendaki seni yang murni, seni untuk kepentingan seni, seni yang berdiri otonom, bahkan untuk kepentingan seni “murninya”, pada permulaannya ia mementingkan bentuk pengucapannya daripada isi karya sastranya‒ ia lebih mementingkan bentuk pengucapan “seninya” dari “isi” sastranya. Tokoh sastrawan yang gigih bertahan pada semboyan “seni untuk seni” dengan tegas diwakili oleh Sanusi Pane.

“Seni bertendens” menghendaki seni diciptakan untuk tujuan, yaitu untuk kepentingan masyarakat, untuk membawa bangsa Indonesia ke taraf penghidupan yang lebih tinggi. Seniman harus memelopori bangsanya, ia harus memimpin bangsanya dalam perjuangan untuk memperoleh kemerdekaan dan kehidupan. Tokoh sastrawan yang memegang semboyan ini adalah Sutan Takdir Alisjahbana. Pandangan beliau adalah pandangan seorang utilitarian yang lebih mementingkan tujuan daripada pernyataan seni.

Selain Sanusi Pane dan Sutan Takdir Alisjahbana, tokoh sastrawan pada era Pujangga Baru adalah Amir Hamzah, dan Armijn Pane.

iii. Kritik Sastra Angkatan ‘45

Sastrawan Angkatan ’45 menghendaki kesusastraan yang universal, yang dapt diterima oleh segala manusia, karena yang dikemukakan dalam karya sastra ialah persoalan-persoalan manusia yang umum, persoalan hakikat manusia karena pada hakikatnya manusia seluruh dunia adalah sama, dari sejak dahulu hingga sekarang. Mereka menghendaki kebahagiaan, terbebas dari derita, siksaan, dan penjajahan, dan sebagainya. Maka dalam penilaian pun menghendaki penilaian yang sifatnya universal, yang dapat berlaku secara umum. Angkatan ’45 dipelopori oleh Chairil Anwar dalam bidang puisi dan Idrus dalam bidang prosa. Tokoh Angkatan ’45 yang penting lainnya adalah Asrul Sani dan H. B. Jassin.

iv. Kritik Sastra Akademik dan Kritik Sastra Nonakademik

Kritik sastra akademik sering dipertentangkan dengan kritik sastra nonakademik. Hal ini mulai mencuat pada polemik yang terjadi tahun 1968-an antara kritikus yang mengusung apa yang dinamakan metode Ganzheit (dengan tokoh-tokohnya antara lain Goenawan Mohamad dan Arif Budiman) versus kritik sastra yang kemudian diistilahkan dengan kritik aliran Rawamangun (dengan salah seorang tokohnya M.S. Hutagalung). Dapat dikatakan kritik aliran Rawamangun mewakili jenis kritik kalangan akademik. Kritik Ganzheit mewakili kritik kalangan nonakademik.

(6)

skripsi, tesis, disertasi, makalah, artikel, jurnal, dan sejenisnya. Kritik sastra ini umumnya ditulis kalangan akademik: mahasiswa, dosen, peneliti di lembaga-lembaga bahasa dan sastra.

Kritik nonakademik bersifat sebaliknya. Kritik sastra ini tidak terpaku pada format TPI; teori dan metode -meskipun digunakan- umumnya tidak dieksplisitkan, dan menggunakan bahasa ilmiah populer. Jenis-jenis tulisannya berupa esai, resensi, dan artikel yang dipublikasikan lewat koran, majalah, atau buku-buku antologi kritik sastra. Para penulisnya umumnya sastrawan, wartawan, atau kalangan umum yang tertarik dan mendalami sastra.

c. Teori Sastra

1. Pengertian Teori Sastra

Teori sastra dapat didefinisikan sebagai seperangkat konsep yang saling berkaitan secara ilmiah, yang disajikan secara sistematis, yang berfungsi untuk menjelaskan sejumlah gejala sastra (Ratna, 2012: 10). Dalam referensi yang lain dijelaskan Teori sastra ialah cabang ilmu sastra yang mempelajari tentang prinsip-prinsip, hukum, kategori, kriteria karya sastra yang membedakannya dengan yang bukan sastra. Secara umum yang dimaksud dengan teori adalah suatu sistem ilmiah atau pengetahuan sistematik yang menerapkan pola pengaturan hubungan antara gejala-gejala yang diamati. Teori berisi konsep/ uraian tentang hukum-hukum umum suatu objek ilmu pengetahuan dari suatu titik pandang tertentu. Teori sastra dapat disusun berdasarkan studi langsung terhadap karya sastra dan itu secara otomatis perlu mengkaji sejarah serta kritik-kritik mengenai suatu pendapat tentang sastra (Tambunsaribu, 2012: 2).

2. Perkembangan Teori Sastra

Teori sastra berasal dari kata theria(bahasa Latin). Secara etimologis teori berarti kontemplasi terhadap kosmos dan realitas. Pada tataran yang lebih luas,dalam hubungannya dengan dunia keilmuan teori berarti perangkat pengertian,konsep,proposisi yang mempunyai korelasi,yang telah teruji kebenarannya.

Pada umumnya, teori dipertentangkan dengan praktik.Setelah suatu ilmu pengetahuan berhasil untuk mengabstraksikan keseluruhan konsepnya pada suatu rumusan ilmiah yang dapat diuji kebenarannya, yaitu teori itu sendiri,maka teori tersebut mesti dioperasikan secara praktis, sehingga cabang-cabang ilmu pengetahuan sejenis dapat dipahami secara lebih rinci dan mendalam.

Pemanfaatan teori formal menurut Vredenbreght (Ratna, 2012: 4), memiliki kelebihan dalam kaitannya dengan usaha peneliti sepanjang sejarahnya, untuk secara terus-menerus memperbaharui sekaligus mengujinya melalui data yang berbeda-beda, sehingga teori makin lama makin sempurna. Teori ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang sastra diadopsi melalui pemikiran para sarjana Barat. Tradisi seperti ini sering menimbulkan perdebatan diantara para sarjana Indonesia antara yang tidak setuju dengan yang setuju. Kelompok yang pertama menginginkan agar khasanah Indonesia dianalisis dengan menggunakan teori sastra Indonesia, dengan konsekuensi agar sarjana Indonesia dapat menemukan teori-teori sastra yang lahir melalui sastra Indonesia sebagai teori Indonesia asli,sebaliknya yang kedua tidak mempermasalahkan perbedaan diantaranya, dengan pertimbangan sebagai berikut:

(7)

3. Globalisasi, termasuk paradigma postmodernisme menghapuskan perbedaan antara Barat dengan Timur. Sebuah teori disebut baik apabila memiliki sifat-sifat sebagai berikut:

1. Mudah disesuaikan dengan ciri-ciri karya yang akan dianalisis. 2. Mudah disesuaikan dengan metode dan teori yang menyertainya.

3. Dapat dimanfaatkan untuk menganalisis, baik ilmu sejenis maupun berbeda.

4. Memiliki formula-formula yang sederhana tetapi mengimplikasikan jaringan analisis yang kompleks. 5. Memiliki prediksi yang dapat menjangkau objek jauh kemasa depan.

Teori dan metode memiliki fungsi untuk membantu menjelaskan dua hubungan gejala atau lebih, sekaligus meramalkan model hubungan yang terjadi.

Teori dan metode disamping mempermudah memahami gejala yang akan diteliti yang lebih penting adalah kemampuannya untuk memotivasi,mengevokasi, sekaligus memodifikasi pikiran peneliti.Artinya dengan memanfaatkan teori dan metode tertentu maka dalam pikiran peneliti akan timbul kemampuan untuk memahami gejala sebelumnya yang sama sekali belum tampak. Sebagai alat, teori berfungsi untuk mengarahkan suatu penelitian, sedangkan analisis secara langsung dilakukan melalui instrument yang lebih konkret yaitu melalui metode dan teknik.

Berbeda dengan objek, aspek kebaruan dalam teori dan metode merupakan syarat pokok.Teori yang lama dengan sendirinya harus ditinggalkan, digantikan dengan teori dan metode yang baru.Demikian

karya sastra sebagai objek penelitian, metode dan teori sebagai cara untuk meneliti, berkembang bersama-sama dalam kondisi yang saling melengkapi.

Dalam khasanah sastra Indonesia aktivitas penelitian dengan memanfaatkan teori dan metode intuisif ekspresif sudah dimulai sejak periode Pujangga Baru.Pesatnya perkembangan teori sastra selama satu abad sejak awal abad ke-20 hingga awal abad ke-21 dipicu oleh beberapa indikator, sebagai berikut:

1. Medium utama sastra adalah bahasa, sedangkan dalam bahasa itu sendiri sudah terkandung problematika yang sangat luas.

2. Sastra memasukkan berbagai dimensi kebudayaan, sedangkan dalam budaya itu sendiri juga sudah terkandung permasalahan yang sangat beragam.

3. Teori-teori utama dalam sastra sudah berkembang sejak zaman Plato dan Aristoteles, yang dengan sendirinya telah dimatangkan dengan berbagai disiplin, khususnya filsafat.

4. Kesulitan dalam memahami gejala sastra memicu para ilmuwan untuk menemukan berbagai cara sebagai teori yang baru.

5. Ragam sastra sangat banyak dan berkembang secara dinamis, kondisi-kondisi sastra yang juga memerlukan cara pemahaman yang berbeda-beda.

(8)

1. Hipotesis dan asumsi tidak diperlukan sebab analisis bersifat deskripsi bukan generalisasi. 2. Populasi dan sampel tidak mutlak diperlukan kecuali dalam penelitian tertentu.

3. Tidak diperlukan objektivitas yang umumsebab peneliti terlibat secara terus-menerus, objektivitas terjadi saat penelitian dilakukan.

4. Kerangka penelitian tidak bersifat tertutup, korpus data bersifat terbuka deskripsi dan pemahaman berkembang terus.

5. Objek yang sesungguhnya bukanlah bahasa tapi wacana,teks,sebab sebagai hakikat deskrusif bahasa sudah terikat dengan sistem model kedua dengan berbagai sistem komunikasinya.

3. Macam-macam Teori Sastra i. Teori-Teori Strukturalisme - Teori Formalisme

Sebagai teori modern mengenai sastra,secara historis kelahiran formalisme dipicu oleh tiga faktor sebagai berikut:

1. Formalisme lahir akibat penolakannya terhadap paradigma positivisme abad ke-19 yang memegang teguh prinsip-prinsip kausalitas dalam hubungan ini sebagai reaksi terhadap studi biografi.

2. Kecenderungan yang terjadi dalam ilmu humaniora dimana terjadinya pergeseran dari paradigma diakronis ke sinkronis.

3. Penolakan terhadap pendekatan tradisional yang selalu memberikan perhatian terhadap karya sastra dengan sejarah sosiologi dan psikologi.

Formalisme menolak karya sastra sebagai ungkapan pandangan hidup, sekaligus perbedaan secara dikotomis antara bentuk dan isi. Sebagai kandungan, masalah-masalah yang berkaitan dengan isi dapat dipahami dalam kaitannya dengan fungsi. Formalisme juga menolak peranan karya sastra semata-mata sebagai sarana untuk memahami hakikat kebudayaan yang lebih luas. Sebagai sistem komunikasi, berbeda dengan bahasa sehari-hari yang menyampaikan informasi melalui tanda-tanda bahasa itu sendiri. Formalisme mengutamakan pola-pola suara dan kata-kata formal, bukan isi, oleh karena itulah, cara kerjanya disebut metode formal.

Peletak dasar formalisme adalah kelompok formalis Rusia, yang terdiri dari para pakar sastra dan linguistik. Ada dua pusat kegiatan, yaitu:

a). Lingkaran Linguistik Moskow yang didirikan tahun 1915 oleh Roman Jakobson, Petr Bogatyrev, dan Grigorii Vinokur.

b). Mahzab Opojaz (Masyarakat Studi Puitika Bahasa) Leningrad yang didirikan tahun 1916 oleh Boris Eichenbaum, Victor Sklovski, Osip Brik, dan Lev Iaukubinskii (Nina Kolesnikoff dalam Irena R Makaryk dalam Ratna, 2012: 82).

(9)

konsep fungsi, sehingga menjadikan teks sebagai suatu kesatuan yang terorganisasikan. Formalisme dianggap sebagai peletak dasar ilmu sastra modern (Luxemburg, dkk dalam Ratna. 2012: 83).

(10)

- Teori Strukturalisme Dinamik

Secara etimologis struktur berasal dari kata structura, bahasa Latin yang yang berarti bentuk atau bangunan. Menurut Teeuw (dalam Ratna, 2012: 88), khususnya dalam ilmu sastra, strukturalisme berkembang melalui tradisi formalisme. Artinya hasil-hasil yang dicapai melalui tradisiformalis sebagian besar dilanjutkan dalam strukturalis. Di satu pihak, para pelopor formalis sebagian besar terlibat dalam mendirikan strukturalis. Di pihak lain atas dasar pengalaman formalislah mereka mendirikan strukturalisme, dengan pengertian bahwa berbagai kelemahan yang terkandung dalam formalisme diperbaiki kembali dalam strukturalisme.

Secara definitif strukturalisme berarti paham mengenai unsur-unsur, yaitu struktur itu sendiri, dengan mekanisme antarhubungannya, di satu pihak antarhubungan unsur yang satu dengan unsur lainnya, di pihak yang lain hubungan antar unsur (unsur) dengan totalitasnya. Hubungan tersebut tidak semata-mata bersifat positif, seperti keselarasan, kesesuaian, dan kesepahaman, tetapi juga negatif, seperti konflik dan pertentangan.

Klimaks strukturalisme dianggap sebagai involusi, tidak memberikan arti yang memadai terhadap hakikat kemanusiaan. Strukturalisme dianggap sebagai mementingkan objek, dengan konsekuensi menolak, bahkan ‘mematikan’ subjek pencipta. Oleh karena itulah strukturalisme dianggap sebagai antihumanis. Strukturalisme juga dianggap melepaskan karya dari sejarah sastra dan sosial budaya yang justru merupakan asal-usulnya.

Lahirnya strukturalisme dinamik didasarkan atas kelemahan-kelemahan strukturalisme sebagaimana yang dianggap sebagai perkembangan kemudian formalisme di atas. Strukturalisme dinamik dimaksudkan sebagai penyempurnaan strukturalisme yang semata-mata memberikan intensitas terhadap struktur intrinsik, yang dengan sendirinya melupakan aspek-aspek ekstrinsiknya. Strukturalisme dinamik mula-mula dikemukakan oleh Mukarovsky dan Felik Vodicka (Fokkema dalam Ratna, 2012: 93). Menurutnya, karya sastra adalah proses komunikasi, fakta semiotik, terdiri atas tanda, struktur, dan nilai-nilai. Karya seni adalah petanda yang memperoleh makna dalam kesadaran pembaca. Oleh karena itulah, karya seni harus dikembalikan pada kompetensi penulis, masyarakat yang menghasilkannya, dan pembaca sebagai penerima.

- Teori Semiotika

(11)

makna suatu karya, analisis strukturalisme mesti dilanjutkan dengan analisis semiotika. Demikian juga sebaliknya, analisis semiotika mengandaikan sudah melakukan analisis strukturalisme.

Menurut Paul Cobley dan Litza Janz (dalam Ratna, 2012: 97) semiotika berasal dari kata seme, bahasa Yunani, yang bearti penafsir tanda. Literatur lain menjelaskan bahwa semiotika berasal dari kata

semeion, yang berarti tanda. Dalam pengertian yang lebih luas, sebagai teori, semiotika berarti studi

sistematis mengenai produksi dan interpretasi tanda, bagaimana cara kerjanya, apa manfaatnya terhadap kehidupan manusia.

Kajian mengenai semiotika secara benar-benar ilmiah baru dilakukan pada awal abad ke-20, yang dilakukan oleh dua orang ahli yang hidup pada zaman yang sama, dengan konsep dan paradigma yang hampir sama, tetapi sama sekali tidak saling mengenal. Kedua sarjana tersebut adalah Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan Charles Sanders Peirce (1839-1914). Saussure adalah ahli bahasa, sedangkan Peirce adalah ahli filsafat dan logika, tetapi di samping itu ia juga menekuni ilmu kealaman, psikologi, astronomi, dan agama. Saussure menggunakan istilah semiologi, sedangkan Peirce menggunakan istilah semiotika.

Dalam semiotika, terdapat dua aliran utama, yaitu Saussurean dan Peircean. Menurut Aart van Zoest (dalam Ratna, 2012: 103), dikaitkan dengan bidang-bidang yang dikaji, pada umumnya semioyika dapat dibedakan paling sedikit menjadi tiga aliran, sebagai berikut.

1. Aliran semiotika komunikasi, dengan intensitas kualitas tanda dalam kaitannya dengan pengirm dan penerima, tanda yang disertai dengan maksud, yang digunakan secara sadar, sebagai signal, seprti rambu-rambu lalu lintas, dipelopori oleh Buyssens, Prieto, dan Mounin.

2. Aliran semiotika konotatif, atas dasar ciri-ciri denotasi kemudian diperoleh makna konotasinya, arti pada bahasa sebagai sistem model kedua, tanda-tanda tanpa maksud langsung, sebagai symtom, di samping sastra juga diterapkan dalam berbagai bidang kemasyakatan, dipelopori oleh Ronald Barthes.

3. Aliran semiotika ekspansif, diperluas dengan bidang psikologi (Freud) dan sosiologi (Marxis), termasuk filsafat, dipelopori oleh Julia Kristeva.

Dalam lapangan semiotika, pengertian tanda ada dua prinsip, yaitu (1) penanda (signifier) atau yang menandai, yang merupakan bentuk tanda, dan (2) pertanda (signified) atau yang ditanda yang merupakan arti tanda. Ada tiga jenis tanda yang pokok, yaitu ikon, indeks, dan simbol. Ikon dan indeks merupakan tanda yang menunjukkan adanya hubungan ilmiah, yaitu persamaan dan sebab akibat, antara penanda dan pertanda. Simbol adalah tanda yang tidak menunjukkan adanya hubungan ilmiah antara keduanya, hubungannya bersifat arbitrer berdasarkan konvensi masyarakat. Sebuah sistem tanda yang utama yang menggunakan simbol adalah bahasa. Arti simbol ditentukan oleh konvensi masyarakat.

(12)

suasana, perasaan, intensitas, arti tambahan (konotasi), daya liris, dan segala pengertian tanda-tanda yang ditimbulkan oleh konvensi sastra.

Menurut Pradopo (dalam Hudayat, 2007: 59) studi sastra bersifat semiotik itu adalah usaha untuk menganalisis karya sastra sebagai suatu memungkinkan karya sastra mempunyai makna-makna. Dengan melihat variasi-variasi di dalam struktur karya sastra atau hubungan-dalam (internal relation) antar unsurnya akan dihasilkan bermacam-macam makna. Bahasa sebagai sistem semiotik tingkat pertama diorganisasikan sesuai dengan konvensi-konvensi tambahan yang memberikan makna dan efek-efek lain dari arti yang diberikan oleh penggunaan bahasa biasa. Oleh karena memberi makna karya itu dengan jalan mencari tanda-tanda yang memungkinkan timbulnya makna sastra, maka menganalisis karya sastra itu adalah memburu tanda-tanda.

Dalam sistem semiotik, menghubungkan teks sastra dengan hal-hal di luar dirinya itu dimungkinkan, sesuai dengan tanda bahasa yang bermakna, yang pemakaiannya tidak lepas dari konvensi dan hal-hal di luar strukturnya. Berhubungan dengan hal ini, dalam metode sastra semiotik dikenal metode hubungan intertekstual untuk memberi makna lebih penuh kepada sebuah karya sastra daripada jika karya sastra hanya dianalisis secara struktural murni. Prinsip hubungan antarteks ini disebabkan oleh kenyataan bahwa karya sastra itu tidak lahir dalam kekosongan budaya, termasuk sastra. Sebuah karya sastra merupakan aktualisasi atau realisasi tertentu dari sebuah sistem konvensi atau kode sastra dan budaya. Menurut pandangan intertekstualitas, sebuah karya sastra merupakan jawaban terhadap karya sastra yang lain yang lahir sebelumnya, baik berupa penerusan konvensi sastranya maupun penentangan konvensi ataupun konsep estetik, atau yang lain. Untuk memberikan makna atau konkretisasi sebuah karya sastra, prinsip intertekstualitas itu perlu diterapkan, yaitu dengan jalan membandingkan sistem tanda dalam hipogramnya dengan sistem tanda karya sastra yang menanggapi dan mentransformasikannya. Sistem tanda tersebut berupa konvensi-konvensi tambahan dalam sastra, yaitu tanda-tanda dalam karya sastra yang memungkinkan diproduksinya maknakarya sastra.

Semiotika Sastra.

Ikon yaitu ciri-ciri kemiripan itu sendiri, berfungsi sebagai menarik partikel-partikel ketandaan, sehingga proses intrpretasi dimungkinkan secara terus-menerus. Ada tiga macam ikon, yaitu: a) ikon topografis, berdasarkan persamaan tata ruang, misalnya puisi-puisi konkret atau visual, b) ikon diagramatis atau relasional, berdasarkan persamaan dua diagram, c) ikon metaforis, berdasarkan persamaan dua kenyataan yang didenotasikan sekaligus langsung atau tidak langsung, misalnya alegori atau parabel. Edmund Leach (dalam Ratna, 2012:116) membedakan antara simbol dengan tanda dan sinyal. Sinyal menunjukkan hubungan dua gejala secara mekanis dan otomatis. Simbol ditandai oleh dua ciri, yaitu: a)antara penanda dan petanda tak ada hubungan intrinsik sebelumnya, b) penanda dan petanda merupakan unsur struktural yang berbeda. Ciri-ciri tanda, a) ada hubungan intrinsik sebelumnya, b) termasuk kedalam konteks kultural yang sama.

(13)

Semiotika sosial memiliki implikasi lebih jauh dalam kaitannya dengan hakikat teks sebagai gejala yang dinamis. Sebagai ilmu tanda, semiotika sosial mesti dipahami dalam kaitannya dengan konteks, dimana tanda-tanda tersebut difungsikan. Tanda difungsikan dalam dirinya sendiri. Oleh karena itulah baik dalam strukturalisme maupun semiotika konsep antar hubungan memegang peranan yang sangat menentukan, fungsi-fungsi yang selalu diabaikan oleh para peneliti sastra.

- Teori Strukturalisme Genetik

Sejajar dengan strukturalisme dinamik, strukturalisme genetik dikembangkan atas dasar penolakan terhadap analisis strukturalisme murni, analisis terhadap unsur-unsur intrinsik. Baik strukturalisme dinamik maupun strukturalisme genetik juga menolak peranan bahasa sastra sebagai bahasa yang khas, bahasa sastra. Perbedaannya, strukturalisme dinamik terbatas dalam melibatkan peranan penulis dan pembaca dalam rangka komunikasi sastra, strukturalisme genetik melangkah lebih jauh yaitu ke struktur sosial. Langkah-langkah inilah yang berhasil membawa strukturalisme genetik sangat dominan pada periode tertentu, dianggap sebagai teori yang berhasil memicu kegairahan analisis, baik di Barat maupun di Indonesia.

Strukturalisme genetik ditemukan oleh Lucien Goldmann, seorang filsuf dan sosiolog Rumania-Perancis. Strukturalisme genetik memiliki implikasi yang lebih luas dalam kaitannya dengan perkembangan ilmu kemanusiaan pada umumnya. Sebagai seorang strukturalis, Goldmann sampai pada kesimpulan bahwa struktur bermakna, dimana setiap gejala memiliki arti apabila dikaitkan dengan struktur yang lebih luas, demikian seterusnya sehimgga setiap unsur menopang totalitasnya.

Secara definitif strukturalisme genetik adalah analisis struktur dengan memberikan perhatian terhadap asal-usul karya. Secara ringkas berarti bahwa strukturalisme genetik sekaligus memberikan perhatian terhadap analisis intrinsik dan ekstrinsik. Meskipun demikian, sebagai teori yang telah teruji validitasnya, strukturalisme genetik masih ditopang oleh beberapa konsep canggih yang tidak dimiliki oleh teori sosial lain, misalnya: simetri atau homologi, kelas-kelas sosial, subyek transindividual, dan pandangan dunia. Konsep-konsep inilah yang berhasil membawa strukturalisme genetik pada puncak kejayaannya, sekitar tahun 1980-an hingga 1990-an.

Secara definitif strukturalisme genetik harus menjelaskan struktur dan asal-usul struktur itu sendiri, dengan memperhatikan relevansi konsep homologi, kelas sosial, subyek transindividual, dan pandangan dunia. Dalam penelitian, langkah-langkah yang dilakukan, di antaranya: a) meneliti unsur-unsur karya sastra, b) hubungan unsur-unsur karya sastra dengan totalitas karya sastra, c) meneliti unsur-unsur masyarakat yang berfungsi sebagai genesis karya sastra, d) hubungan unsur-unsur masyarakat dengan totalitas masyarakat, e) hubungan karya sastra secara keseluruhan dengan masyarakat secara keseluruhan.

- Teori Strukturalisme Naratologi

Naratologi, dari kata narratio (bahasa Latin, berarti cerita, perkataan, kisah, hikayat) dan logos

(14)

Konsep-konsep yang berkaitan dengan narasi dan narator, demikian juga dengan wacana teks, berbeda-beda sesuai dengan para penggagasnya. Narasi baik sebagai cerita maupun penceritaan didefinisikan sebagai representasi paling sedikit dua peristiwa faktual atua fiksional dalam urutan waktu. Narator atau agen naratif (Mieke Bal dalam Ratna dalam Hudayat, 2007: 72) didefinisikan sebagai pembicara dalam teks, subjek secara linguistik, bukan person, bukan pengarang. Kajian wacana naratif dalam hubungan ini dianggap telah melibatkan bahasa, sastra, dan budaya yang dengan sendirinya sangat relevan sebagai objek ilmu-ilmu kemanusiaan (humaniora).

Dikaitkan dengan cerita dan penceritaan, maka hanya penceritaan yang memiliki identitas yang sama baik dengan wacana atau teks. Bal menyebutkan bahwa pembaca membaca teks dan wacana yang berbeda dari cerita yang sama. Perbedaan bukan semata-mata diakibatkan oleh perbedaan bahasa, tetapi bagaimana cerita ditampilkan kembali. Setiap orang misalnya, akrab dengan cerita Jaka Tarub, tetapi tidak semua orang menikmati cerita tersebut melalui teks yang sama sebab teks tidak diceritakan dalam bahasa, melainkan melalui bahasa; diceritakan oleh narator, bukan pengarang.

Dalam analisis diskursif yang termasuk dalam wilayah pascastruktural, analisis naratif merupakan bagian ideologi. Cerita dan penceritaan dimanfaatkan untuk melegetimasi kekuatan dan kekuasaan bagi mereka yang memilikinya. Revolusi, restorasi, dan afirmasi terhadap kelompok tertentu tidak semata-mata dilakukan melalui kekuatan fisik, politik, dan ekonomi, tetapi juga melalui kata-kata, semboyan, dan wacana. Pada paham pascastruktural, naratologi tidak membatasi diri pada teks sastra saja melainkan keseluruhan teks sebagai rekaman aktivitas manusia, sehingga kajiannya bersifat interdisipliner. Aktivitas kebudayaan pun sesungguhnya adalah teks yang dengan sendirinya dapat dianalisis sesuai dengan ciri-ciri teks. Visi sastra kontemporer memandang bahwa sebagai seni waktu, penceritaan menduduki posisi penting dalam memahami aktivitas kultural, dengan pertimbangan bahwa di satu pihak ceritalah yang menampilkan keseluruhan unsur karya; cerita sebagai tulang punggung karya. Di pihak lain, dalam kaitannya dengan kebudayaan yang lebih luas, cerita berfungsi untuk mendokumentasikan seluruh aktivitas manusia sekaligus mewariskannya kepada generasi berikutnya. Dalam hubungan inilah dikatakan bahwa dunia kehidupan itu sendiri dianggap sebagai teks yang dengan sendirinya dapat dipahami melalui paradigma sebuah teks.

Teori sastra kontemporer memberikan wilayah yang sangat luas terhadap eksistensi naratif. Wilayah tersebut selain menjangkau novel, juga roman, cerpen, puisi naratif, dongeng, biografi, lelucon, mitos, epik, catatan harian, dan sebagainya. Naratif tidak dibatasi pada genre sastra, tetapi juga setiap bentuk cerita dalam media massa.

Secara historis, Maria-Laure Ryan dan Ernst van Alphen (Makaryk dalam Hudayat, 2007: 75) menyebutkan bahwa naratologi dapat dibagi menjadi tiga periode, yaitu:

1. Periode prastrukturalis (hingga tahun 1960-an).

2. Periode strukturalis (tahun 1960-an hingga tahun 1980-an). 3. Periode pascastrukturalis (tahun 1980-an hingga sekarang).

(15)

(peran dan fungsi). Pada umumnya periode strukturalis terlibat ke dalam dikotomi fabula dan sjuzhet (cerita dan plot). Para pelopornya, di antaranya: Claude Levi-Strauss (struktur mitos), Tzvetan Todorov (historie dan discours), Claude Bremond (struktur dan fungsi), Mieke Bal (fabula, story, text). Greimas (tata bahasa naratif dan struktur actans). Shlomith Rimmon-Kenan (story, text, narration).

Naratologi pascastrukturalis pada umumnya mendekonstruksi dikotomi parole dan langue, fabula,

dan sjuzhet dengan ciri-ciri naratif nonliterer, interdisipliner, termasuk feminis dan psikoanalisis. Para pelopornya, di antaranya: Gerard Gennet (urutan, durasi, frequensi, modus, dan suara), Gerald Prince (struktur narratee), Seymoeur Chatman (struktur naratif), Jonathan Culler (kompetensi sastra), Roland Barthes (Kernels dan satellits), Mikhail Bakhtin (wacana polifonik), Hayden White (wacana sejarah), Marry Louise Pratt (tindak kata), Umberto Eco (wacana dan kebohongan), Jacques Derrida (dekonstruksi), Michel Foucault (wacana dan kekuasaan), Jean-Francois Lyotard (metanarasi), dan Jean Baudrillad (hiperealitas, pastiche).

Berikut ini dibicarakan empat ahli naratologi, yaitu Propp, Levi-Strauss, Todorov, dan Greimas sebagai pelopor naratologi periode strukturalis.

1. Vladimir Propp

Propp dianggap sebagai strukturalis pertama yang membicarakan secara serius struktur naratif, sekaligus memberikan makna baru terhadap dikotomi fabula dan sjuzhet. Objek penelitian Propp adalah cerita rakyat, seratus dongeng Rusia yang dilakukan tahun 1928 dan baru dibicarakan secara luas tahun 1958. Propp (dalam Hudayat, 2007: 76) menyimpulkan bahwa semua cerita yang diselidiki memiliki struktur yang sama. Artinya, dalam sebuah cerita para pelaku dan sifat-sifatnya dapat berubah, tetapi perbuatan dan peran-perannya sama. Oleh karena itu, penelitian Propp disebut sebagai usaha untuk menemukan pola umum plot dongeng Rusia bukan dongeng pada umumnya. Menurutnya, dalam struktur naratif yang penting bukanlah tokoh-tokoh, melainkan aksi tokoh-tokoh yang selanjutnya disebut fungsi. Unsur yang dianalisis adalah motif (elemen), unit terkecil yang membentuk tema. Propp memandang sjuzhet

sebagai tema bukan plot seperti yang dipahami oleh kaum formalis. Menurutnya, motif merupakan unsur yang penting sebab motiflah yang membentuk tema. Sjuzhet dengan demikian hanyalah produk dari serangkaian motif. Motif dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: pelaku, perbuatan, dan pendeita yang kemudian dikelompokkan menjadi dua, yaitu unsur tetap (perbuatan) dan unsur yang berubah (pelaku dan penderita). Dalam hubungan ini yang penting adalah unsur yang tetap (perbuatan) yaitu fungsi itu sendiri.

(16)

2. Levi-Strauss

Berbeda dengan Propp, Levi-Strauss lebih memberikan perhataiannya pada mitos. Levi-Strauss menilai cerita sebagai kualitas logis bukan estetis. Ia mengembangkan istilah myth dan mytheme melalui jangkauan perhatiannya terhadap mitos yang terkandung dalam setiap dongeng, baik secara bulat maupun fragmentasi. Menurutnya, mitos adalah naratif itu sendiri, khususnya yang berkaitan dengan aspek-aspek kebudayaan tertentu.

Pada dasarnya mitos merupakan pesan-pesan kultural terhadap anggota masyarakat. Dengan kalimat lain, Levi-Strauss menggali gejala di balik material cerita, sebagaimana tampak melalui bentuk-bentuk yang telah termodifikasikan, dan harus direkonstruksi melaluinya. Mytheme yang mungkin susunannya tidak teratur, sebagaimana dekronologisasi kejadian dalam plot, maka tugas penelitilah untuk menyusun kembali sehingga dikemukakan makna karya yang sesungguhnya. Pendekatan antropologi sastra, melalui struktural, khususnya konsep-konsep oposisi biner, tabu, dan incest, misalnya, dilakukan terhadap mitos Oedipus. Di satu pihak, oposisi biner didasarkan atas kenyataan bahwa manusia secara kodrati memiliki kecenderungan untuk berpikir secara dikotomis, seperti laki-laki perempuan, bumi langit, dan sebagainya. Pelarangan perkawinan di antara keluarga secara logis memaksa manusia untuk mencari pasangan di luar keluarga yang pada gilirannya akan membentuk ikatan-ikatan baru, sekaligus menciptakan hubungan yang harmonis dengan masyarakat yang lain.

Berhubungan dengan pembicaraan strukturalisme, Levi-Strauss menyatakan bahwa struktur bukanlah representasi atau subtitusi realitas. Struktur dipahaminya sebagai realitas empiris itu sendiri yang tampil sebagai organisasi logis yang disebut sebagai isi. Oleh karena itulah, disebutkan bahwa isi tidak bisa terlepas dari bentuk tersebut, dan sebaliknya.

3. Tzvetan Todorov

Disamping memperjelas perbedaan antara fabula dan tsuzhet, Todorov (dalam Hudayat, 2007: 79) mengembangkan konsep historie dan discours yang sejajar dengan fabula dan stuzhet. Dalam menganalisis tokoh-tokoh, Todorov menyarankan untuk melakukannya melalui tiga dimensi, yaitu: kehendak, komunikasi, dan partisipasi. Menurutnya, objek formal puitika bukan interpretasi atau makna, melainkan struktur atau aspek kesastraan yang terkandung dalam wacana. Dalam analisis harus mempertimbangkan tiga aspek, yaitu (1) aspek sintaksis, meneliti urutan peristiwa secara kronologis dan logis, (2) aspek semantik, berkaitan dengan makna dan lambang, meneliti tema, tokoh, dan latar, dan (4) aspek verbal, meneliti sarana-sarana seperti sudut pandang, gaya bahasa, dan sebagainya.

Konsep Todorov yang lain adalah in presentia dan in absentia. Konsep pertama menyatakan hubungan unsur yang hadir bersama, secara berdampingan, sebagai hubungan konfigurasi atau konstruksi. Konsep kedua menyatakan hubungan yang salah satu faktornya tidak hadir, sebagai hubungan makna dan perlambangan. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya antarhubungan adalah kausalitas.

(17)

4. Greimas

Objek penelitian Greimas tidak terbatas pada genre tertentu, yaitu dongeng, tetapi diperluas pada mitos. Dengan memanfaatkan fungsi-fungsi yang hampir sama, Greimas (dalam Abdullah, 1999: 11-13; Ratna: 2004: 137-140, dalam Hudayat, 2007: 80) memberikan perhatian pada relasi, menawarkan konsep yang lebih tajam dengan tujuan yang lebih universal, yaitu tata bahasa naratif universal. Greimas lebih mementingkan aksi dibandingkan dengan pelaku. Tidak ada subjek di balik wacana. Yang ada hanyalah subjek, manusia semu yang dibentuk oleh tindakan yang disebut actans dan acteurs.

Berbeda dengan actans yang terbatas fungsinya dalam struktur naratif, acteurs merupakan kategori umum. Dia mencontohkan: John dan Paul memberikan apel kepada Mary. John dan Paul adalah dua acteurs tetapi satu actans. John dan Paul juga merupakan pengirim. Mary sebagai penerima. Apel adalah sebagai objek. Dalam kalimat John membelikan dirinya sendiri sebuah baju, John adalah satu acteu yang berfungsi sebagai dua actans, baik sebagai pengirim maupun penerima.

Kemampuan Greimas dalam mengungkap struktur actas dan acteurs menyebabkan teori struktur naratologinya tidak semata-mata bermanfaat dalam menganalisis teks sastra melainkan juga filsafat, religi, dan ilmu sosial lainnya. Tiga puluh satu fungsi dasar analisis Propp disederhanakan menjadi dua puluh fungsi yang kemudian dikelompokkan menjadi tiga struktur, yaitu struktur berdasarkan perjanjian, struktur yang bersifat penyelenggaraan, dan struktur yang bersifat pemutusan. Demikian juga tujuh ruang tindakan disederhanakan menjadi enam actans (peran, pelaku, para pembuat) yang dikelompokkan menjadi tig pasangan oposisi biner, yaitu subjek dengan objek, kekuasaan dengan orang yang dianugerahi atau pengirim dan penerima, dan penolong dengan penentang.

Actans merupakan peran-peran abstrak yang dapat dimankan oleh seorang atau sejumlah pelaku. Actans merupakan struktur dalam, sedangkan acteurs merupakan struktur luar. Acteurs merupakan manifestasi kongkret actans. Oleh karena itu, artikulasi acteurs menentukan dongeng tertentu, sedangkan struktur actans menentukan genre tententu. Acteurs yang sama pada saat yang berbeda-beda dapat merepresentasikan actans yang berbeda-beda. Sebaliknya, actans yang sama terbentuk oleh acteur yang berbeda-beda.

Untuk menyederhanakan konsep-konsep tersebut di atas, maka dalam kritik sastra Indonesia istilah

fabula dan sjuzet sebagai konsep dasar dari naratologi ditafsirkan dengan istilah cerita dan penceritaan.

Dalam penceritaanlah terkandung wacana dan atau teks. Penceritaan memiliki identitas yan hampir sama dengan wacana, teks, dan plot. Cerita adalah bahan kasar, perangkat peristiwa, seperti ringkasan cerita atau sinopsis. Wacana adalah cerita yang telah disusun kembali tetapi lebih banyak berkaitan dengan unsur bahasa , sebagai model pertama. Adapun teks adalah susunan peristiwa yang sesungguhnya; susunan kejadian yang didominasi oleh kualitas literer, sebagai model kedua.

(18)

Paradigma postrukturalisme adalah cara-cara mutakhir baik dalam bentuk teori maupun metode dan teknik, yang digunakan dalam menguji objek.Pada umumnya kelemahan strukturalisme dapat diidentifikasi sebagai berikut: a)model strukturalisme, terutama pada awal perkembangannya dianggap terlalu kaku sebab semata-mata didasarkan pada struktur dan sistemtertentu. b) strukturalisme terlalu banyak memberikan perhatian suatu karya sastra sebagai kualitas otonom dengan sistem dan strukturnya.c) hasil analisis dengan demikian seolah-olah demi karya sastra itu sendiri, bukan untuk kepentingan masyarakat secara luas.

Strukturalisme (Ritzer dalam Ratna, 2012: 144) lahir sebagai reaksi terhadap model-model penelitian sebelumnya yang memberikan perhatian pada sejarah dan asal-usul suatu gejala kultural khususnya bahasa. Sedangkan postmodernisme, berasal dari kata ‘post’ +modern+ ‘isme’ yang berarti paham sesudah modern, dan postkulturalisme, dari kata ‘post’ +struktur+ ‘isme’ yang berarti paham sesudah struktur, baik secara historis pragmatis maupun intelektual akademis memiliki kaitan yang sangat erat. Prefiks ‘post’ dengan padanannya, seperti ‘para’ dan akhir, sudah digunakan jauh sebelumnya, seperti post industri, para-Marxis, akhir manusia dan akhir sejarah, dan sebagainya.Postmodernisme dan postrukturalisme berkembang dengan sangat pesat, dipicu oleh tiga indikator yang saling melengkapi, yaitu:

1. Postmodernisme dan postrukturalisme sebagai kecenderungan mutakhir peradaban manusia berkembang dalam situasi dan kondisi yang serba cepat.

2. Perkembangan pesat kajian wacana, baik dalam bidang sastra, sebagai teks, maupun nonsastra sebagaidiskursus.

3. Perkembangan pesat interdisipliner yang memungkinkan berbagai disiplin dalam kajian tunggal. a. Teori Postmodernisme

Modernisme dan postmodernisme merupakan dua gejala yang saling melengkapi, postmodernisme tidak menghancurkan modernisme, post modernisme hanya membangkitkan kembali segala sesuatu yang laten, tersembunyi, terlupakan, terabaikan, dan terlalaikan. Semua yang terlupakan tersebut, bagi kelompok postmodernisme tetap memiliki fungsi, yang dengan sendirinya juga harus diberikan arti. Meskipun demikian Robert Dunn (dalam Ratna, 2012: 151) mencoba memberikan ciri-ciri modernisme dengan postmodernisme, diantaranya: a) pergeseran nilai yang menyertai budaya massa dari produksi ke konsumsi, dari pencipta ke penerima, dari karya ke teks, dariseniman ke penikmat, b) pergeseran dari keseriusan (intelektualitas) ke nilai-nilai permainan(populer), dari kedalaman kepermukaan, dari universal ke partikular, c) kebangkitan kembali nilai-nilai estetis periode 1960-an, d) munculnya politik representasi periode 1970-an y1970-ang menent1970-ang struktur otoritas, e) keb1970-angkit1970-an kembali tradisi primordial d1970-an nilai-nilai masyarakat lainnya.

(19)

totalisasi dengan memberikan intensitas pada perbedaan-perbedaan relativitas dan pluralisme. Postmodernisme mengakui identitas lain sebagai retivisme budaya. Oleh karena itu, metode yang dianggap tepat adalah kualitatif, sebab tujuannya bukanlah objektifitas, tatapi dasar-dasar berpikir yang berbeda.

b. Teori Poststruktulisme

Hubungan antara strukturalisme dengan poststrukturalisme sangat kompleks. Menurut Teeuw (dalam Ratna, 2007: 160) strukturalisme dianggap memiliki kelemahan dengan alasan, a) belum memiliki syarat sebagai teori yang lengkap, b) Karya seni tidak bis diteliti secara terpisah daro struktur sosial, c) Kesangsian terhadap struktur obyektif karya, d) Karya dilepaskan dari relevansi pembacanya, dan e) Karya sastra juga dilepaskan dari relevansi sosial budaya yang melatarbelakanginya. Di satu pihak strukturalisme mementingkan pola-pola, di pihak lain menekankan adanya satu arti. Oleh karena itulah, strukturalisme perlu disempurnakan, yang secara keseluruhan dilengkapi oleh poststrukturalisme.

Atas dasar persamaan dan perbedaannya dengan strukturalisme, maka secara definitif poststrukturalisme adalah teori-teori sastra sesudah strukturalisme. Persamaan yang dimaksudkan, baik strukturalisme maupun poststrukturalisme memandang struktur yaitu unsur-unsur dengan mekanisme antar hubungannya sebagai masalah utama. Perbedaannya, apabila strukturalisme memandang antar unsur dengan mekanisme hubungan yang relatif stabil, bahkan statis, maka postsrukturalisme memadang model hubungan tersebut bersifat labil dan dengan sendirinya dinamis. Secara praktis kelompok strukturalis berusaha menguasai teks, kemudian berusaha mengungkapkan rahasia-rahasia yang terkandung di dalamnya.

- Teori Resepsi Sastra

Secara definitif resepsi sastra, berasal dari kata recipere (Latin), reception (Inggris), yang diartikan sebagai penerimaan atau penyambutan pembaca. Dalam arti luas resepsi didefinisikan sebagai pengolahan teks, cara-cara pemberian makna terhadap karya, sehingga dapat memberikan respons terhadapnya. Respons yang dimaksudkan tidak dilakukan antara karya dengan seorang pembaca, melainkan pembaca sebagai proses sejarah, pembaca dalam periode tertentu.

Secara etimologis resepsi berarti tanggapan. Analog dengan pengertian tersebut, maka rsepsi sastra berarti tanggapan pembaca terhadap karya sastra. Sesuai dengan namanya pendekatan ini mencoba memahami dan menilai karya sastra berdasarkan tanggapan para pembaca terhadap karya sastra tertentu. Pendekatan tersebut dilandasi oleh pandangan bahwa sejak terbitnya karya sastra selalu mendapat tanggapan dari para pembacanya (Pradopo dalam Wiyatmi, 2008: 102).

Resepsi sastra tampil sebagai sebuah teori dominan sejak tahun1970-an dengan pertimbangan:

1. Sebagai jalan keluar untuk mengatasi strukturalisme yang dianggap bahwa hanya memberikan perhatian terhadap unsur-unsur.

2. Timbulnya kesadaran untuk membangkitkan kembali nilai-nilai kemanusiaan dalam rangka kesadaran humanisme universal.

(20)

5. Kesadaran bahwa nilai terkandumg dalamhubungan ambiguitas antara karya sastra dengan pembaca.

Dalam penelitian resepsi dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu: a) resepsi secara sinkronis, b) resepsi secara diakronis. Bentuk pertama meneliti karya sastra dalam hubungannya dengan pembaca sezaman. Sekelompok pembaca, misalnya, membeeikan tanggapan baik secara sosiologis maupun psikologis terhadap sebuah novel. Bentuk resepsi yang lebih rumit adalah tanggapan pembaca secara diakronis sebab melibatkan pembaca sepanjang sejarah. Penelitian resepsi secara diakronis memerlukan data dokumenter yang memadai.

- Teori Interteks

Penelitian dilakukan dengan cara menemukan hubunga-hubungan bermakna di antara dua teks atau lebih. Teks-teks yang dikerangkakan sebagai interteks tidak terbatas sebagai persamaan genre, interteks memberikan kemungkinan yang seluas-luasnya bagi peneliti untuk menemuka hypogram. Interteks dapat dilakukan dengan antara novel dengan novel, novel dengan puisi, novel dengan mitos. Hubungan yang dimaksudkan tidak sematamata sebagai persamaan, melainkan juga sebaliknya sebagai pertentangan, baik sebagai parodi maupun negasi.

Pemahaman secara intertekstual menggali secara maksimal makna-makna yang terkandung dalam sebuah teks. Menurut teori interteks, pembacaan yang berhasil justru apabila didasarkan pada pemahaman terhadap karya-karya terdahulu. Dalam interteks, sesuai dengan hakikat teori-teori pascastrukturalis, pembaca bukan lagi menjadi konsumen, melainkan produsen. Oleh karena itulah, secara aktif aktivitas interteks terjadi melalui dua cara, yaitu: (a) membaca dua teks atau lebih secara berdampingan pada saat yang sama, (b) hanya membaca sebuah teks tetapi dilatarbelakangi oleh teks-teks lain yang sudah pernah dibaca sebelumnya. Intertekstualitas yang sesungguhnya adalah yang kesua, sebab aktivitas inilah yang memungkinkan terjadinya teks jamak, teks tanpa batas.

- Teori Feminis

Sebagai gerakan modern, feminisme lahir awal abad ke-20, yang dipelopori oleh Virginia Woofl, dalam bukunya yang berjudul A Room of One’s Own (1929). Perkembangannya yang sangat pesat, yaitu sebagai salah satu aspek teori kebudayaan kontemporer, terjadi tahun 1960an. Model analisisnya sangat beragam, sangat kontekstual, berkaitan dengan aspek-aspek sosial, politik, dan ekonomi. Menurut Teeuw dalam Ratna (2012: 183) beberapa indikator yang dianggap telah memicu lahirnya gerakan feminis didunia Barat tersebut adalah sebagai berikut.

1. Berkembangnya teknik kontrasepsi yang memungkinkan perempuan melepaskan diri dari kekuasaan laki-laki.

2. Radikalisasi politik, khususnya sebagai akibat perang Vietnam.

3. Lahirnya gerakan pembebasan dari ikata-ikatan tradisional, misalnya ikatan gereja, ikatan kulit hitam Amerika, ikatan mahasiswa, dan sebagainya.

(21)

6. Reaksi terhadap pendekatan sastra yang mengasingkan karya dari struktur sosial, seperti kritik baru dan strukturalisme.

7. Ketidakpuasan terhadap teori dan praktik ideologi Marxisortodoks, tidak terbatas sebagi Marxis Soviet atau China, tetapi Marxis di dunia Barat secara keseluruhan.

Pendekatan feminisme dalam kajian sastra sering dikenal dengan nama kritik sastra feminis, adalah salah satu kajian karya sastra yang mendasarkan pada pandangan feminisme yang menginginkan adanya keadilan dalam memandang eksistensi perempuan, baik sebagai penulis maupun dalam karya sastra-karya sastranya. Djananegara dalam Wiyatmi (2008: 113) feminisme dan pascamodernisme pada umumnya menggoncangkan sistem nilai yang telah mapan, mendekonstruksi sistem pemikiran tunggal, narasi-narasi besar, baik yang berkaitan dengan wacana sastra maupun sistem religi, patriarki, ideologi, dan sebagainya. Sebagai gerakan kontemporer, feminisme dan pascamodernisme mempertanyakan kredibilitas cita-cita besar, cerita-cerita yang membentuk metanarasi, homologi menurut pemahaman Lyotard. Menurut teori pascamodernisme, legitimasi homologi perlu dideligitimasikan, yaitu dengan cara paralogi, sistem pemikiran plural.

Teori-teori feminis, sebagai alat kaum wanita untuk memperjuangkan hak-haknya, erat berkaitan dengan konflik kelas dan ras, khususnya konflik gender. Artinya, antara konflik kelas dengan feminisme memiliki asumsi-asumsi yang sejajar, mendekonstruksi sistem dominasi dan hegemoni, pertentangan antara kelompok yang lemah dengan kelompok yang dianggap lebih kuat.

Sesuai dengan latar belakang kelahirannya, sebagai gerakan politik, sosial dan ekonomi, analisis feminis dengan demikian termasuk penelitian multidisiplin, melibatkan berbagai ilme pengetahuan. Keberagaman dan perbedaan objek dengan teori dan metodenya merupakan ciri khas studi feminis. Dalam kaitannya dengan sastra, bidang studi yang relevan diantaranya: tradisi literer perempuan, pengarang perempuan, pembaca perempuan, ciri-ciri khas bahasa perempuan, tokoh-tokoh perempuan, novel populer dan perempuan, dan sebagainya. Dalam kaitannya dengan kajian budaya, permasalahan perempuan lebih banyak berkaitan dengan kesetaraan gender. Tokoh terpenting feminis kontemporer yaitu Luce Irigarai, Julia Kristeva, Helene Cixous, dan Donna Haraway.

- Teori Postkolonial

Secara etimologis postkolonial berasal dari kata “post” dan kolonial, sedangkan kata kolonial itu sendiri berasal dari akar kata colonia, bahasa romawi yang berarti tanah pertanian atau pemukiman. Jadi, secara etimologis kolonial tidak mengandung arti penjajahan, penguasaan, pendudukan, dan konotasi eksploitasi lainnya, postkolonial melibatkan tiga pengertian, yaitu: a)abad berakhirnya imperium kolonial diseluruh dunia, b) segala tulisan yang berkaitan dengan pengalaman-pengalaman kolonial, c) teori-teori yang digunakan untuk menganalisis masalah-masalah pascakolonialisme. Paling sedikit terkandung empat alasan mengapa karya sastra dianggap tepat untuk dianalisis melalui teori-teori postkolonial, yaitu:

1. Sebagai gejala kultural sastra menampilkan sistem komunikasi antara pengirim dan penerima, sebagai mediator masa lampau dengan masa sekarang.

(22)

3. Karya sastra tidak terikat oleh ruang dan waktu, kontemporaritas adalah manifestasi yang paling signifikan. 4. Berbagai masalah yang dilukiskan secara simbolis, terselubung, sehingga tujuan-tujuan yang sesungguhnya

tidak tampak.

(Said,2003:44-45, visi postkolonial menunjukkan bahwa pada masa penjajahan yang ditanamkan adalah perbedaan sehingga jurang pemisah antara kolonial dengan pribumi bertambah lebar.

Analisis wacana postkolonialis bisa digunakan, di satu pihak untuk menelusuri aspek-aspek yang tersembunyi atau sengaja disembunyikan, sehingga dapat diketahui bagaimana kekuasaan itu bekerja, di pihak lain membongkar disiplin, lembaga, dan ideologi yang mendasarinya. Dalam hubungan inilah peranan bahasa, sastra dan kebudayaan pada umumnya dapat memainkan peranan sebab dalam ketiga gejala tersebutlah terkandung wacana sebagaimana diintesikan oleh kelompok kolonialistik.

- Teori Dekonstruksi

Ciri khas deskrontruksi sebagaimana dikemukakan oleh Derida (Ratna, 2012: 222) adalah penolakannya terhadap logosentrisme dan fonosentrisme yang secara keseluruhan melahirkan oposisi biner dan cara-cara berfikir lainnya yang bersifat hirerakis dikotomis.

Dekonstruksi merupakan metode pembacaan teks. Dengan dekonstruksi ditunjukkan bahwa dalam setiap teks selalu hadir anggapan-anggapan yang dianggap absolut. Padahal, setiap anggapan selalu kontekstual: anggapan selalu hadir sebagai konstruksi sosial yang menyejarah. Maksudnya, anggapan-anggapan tersebut tidak mengacu kepada makna final. Anggapan-anggapan-anggapan tersebut hadir sebagai jejak

(trace) yang bisa dirunut pembentukannya dalam sejarah.

Aliran dekonsruksi lahir di Perancis sekitar tahun 1960-an, yang kemudian berpengaruh besar di Amerika sekitar tahun 1970-an hingga pada tahun 1980-an. Tokoh terpenting dekonstruksi adalah Jacques Derrida, seorang Yahudi Aljazair yang kemudian menjadi ahli filsafat dan kritik sastra di Perancis. Tokoh lainnya yaitu Nietzsche, Paul de Man, J.Hillis Miller, Geoffery Hartman, Harold Bloom.

Prinsip dekonstruksi yaitu melacak unsur-unsur aporia (makna paradoks, makna kontradiktif, dan makna ironi) dan Membalikkan atau merubah makna-makna yang sudah dikonvensionalkan. Metode dekonstruksi yang dilakukan Derrida lebih dikenal dengan istilah dekonstruksi metaforik. Metafora di sini bukan dipahami sebagai suatu aspek dari fungsi ekspresif bahasa tapi sebagai suatu kondisi yang esensial tentang tuturan. Dekonstruksi mentut kita lebih teliti dan kritis terhadap teks sastra.

c. Teori Postrukturalisme Naratologi

(23)

selalu berubah setiap kali dipentaskan. Pementasan tidak bisa dianggap sebagai aspek sekunder atau pelengkap,melainkan merupakan bagian integral totalitas.

2. Fokus Penelitian Sastra

Langkah awal dalam merencanakan sebuah penelitian sastra adalah menentukan teks sastra yang aka dikaji atau diteliti dan persoalan apa yang hendak diteliti. Setelah itu, langkah kedua adalah penentuan fokus penelitian. Secara umum, penelitian sastra dibagi menjadi lima fokus, yaitu:

1. Penelitian genetik (penelitian dengan fokus teks dan hubungannya dengan penulis).

Penelitian dengan fokus ini percaya bahwa kajian akan mencapai objektivitas jika pengkaji meneliti intensitas penulis atau apa yang sesungguhnya dikehendaki oleh penulis, karena penulis adalah sumber informasi yang paling sahih dan dapat dipercaya tentang teks yang dihasilkannya. Dengan kata lain, seperti apa makna dari suatu puisi adalah apa yang dimaksud penulis tentang puisi tersebut tatkala ia menciptakannya. Penelitian ini dilakukan dengan cara mengkaitkan antara karya sastra dengan kehidupan, pikiran, intensitas, milliu sosial/politis/intelektual atau kepribadian penulisnya, baik yang bersifat sadar maupun bawah sadar. Jika penulis masih hidup wawancara terhadap penulis dilakukan untuk mendapatkan data, jika penulis sudah meninggal, apa lagi pada masa yang sudah lampau, peneliti akan membongkar dan mencermati tulisan-tulisan ikhwal penulis, baik dari karya penulis sendiri (surat, catatan harian, tulisan lain, otokritik dan sebagainya) maupun karya orang lain tentang penulis tersebut. Teori yang dapat digunakan untuk mendukung penelitian ini: Expressive Realism, Historicism, Biographical Criticism, Psikoanalisis.

2. Penelitian dengan fokus teks dan hubungannya dengan pembaca.

Penelitian dengan fokus ini melihat pembaca sebagai faktor penentu dari makna.Makna dari sebuah teks tidak mungkin muncul dan tidak lebih dari sekadar onggokan kertas tanpa peran aktif pembaca.Tanggapan dan reaksi pembaca yang bervariasi terhadap suatu teks menjadi daya tarik peneliti. Pada abad ke-20 terjadi pergeseran cara pandang pembaca dari pembaca imajiner atau pembaca yang tersirat dalam teks kea rah pembaca dalam arti yang sebenarnya. Salah satu contoh adalah teks-teks yang menakutkan (The Frankenstein), atau teks yang bersifat controversial dan mendapatkan banyak sensor (Are You There God dan It’s Margaret), atau terhadap pengakhiran cerita yang mengundang debat seperti bunuh diri sang tokoh pada The Awakening, isu lesbianism pada The Hurs, diasumsikan bahwa pembaca atau kelompok-kelompok pembaca akan memberikan tanggapan atau reaksi yang berbeda terhadap teks-teks tersebut. Adanya perbedaan asumsi masing-masing pembaca atau kelompok pembaca merupakan hal yang cukup menarik untuk diteliti lebih jauh, dengan fokus penelitian pada pembaca.Teori yang dapat digunakan untuk mendukung penelitian ini adalah Reader-Response Theory, teori resepsi, dan psikoanalisis pembaca.

(24)

Penelitian dengan fokus ini percaya bahwa objektivitas kajian dapat dicapai jika peneliti memandang teks secara otonom tanpa mengkait-kaitkan dengan penulis, pembaca, realitas atau teks lain. Sumber data penelitian dengan fokus ini adalah elemen-elemen yang ada di dalam teks itu saja.Penelitian dilakukan dengan mengkonsentrasikan diri pada informasi yang ada pada teks dan hubungan internal antar informasi atau elemen di dalam teks sebagai entitas yang utuh. Penelitian ini tidak membutuhkan bahan atau sumber data lain selain teks itu sendiri. Teori yang dapat digunakan untuk mendukung penelitian ini di antaranya:

New Criticism, Structuralism.

4. Penelitian dengan fokus teks dan hubungannya dengan realitas.

Peneliti dengan fokus ini percaya bahwa teks sastra adalah cerminan realitas, sehingga sebuah teks akan dianggap berbobot jika ia mampu memotret realitas. Peneliti mencari hubungan antara kejadian atau realitas teks dengan realitas nyata pada saat teks itu ditulis untuk melihat sejauh mana teks menggambarkan realita.Dalam perkembangannya pakar sastra pasca strukturalisme memandang realitas secara berbeda dengan pengamat sastra yang menganut paham mimesis.Mereka berpendapat bahwa yang dapat dibangun dari teks-teks adalah suatu „versi realitas‟ yang berbeda-beda dari teks satu ke teks yanglain.Mereka juga berpendapat bahwa teks sastra justru memiliki kemampuan untuk menciptakan realitas. Teori yang dapat digunakan untuk mendukung penelitian ini di antaranya: mimesis, sosiologi sastra, cultural studies,

marxism, postrukturalisme, poskolonialisme, feminisme.

5. Penelitian dengan fokus teks dan hubungannya dengan teks lain.

(25)

3. Objek Penelitian Sastra a. Objek Formal

Obyek formal adalah objek yang dilihat dari sudut pandang tertentu. Karena objek formal mengandaikan cara keberadaan yang spesifik, teknik pengumpulan data yang dapat digunakan secara efisien dan efektif tentunya harus sesuai dengan cara keberadaan dari objek formal itu. Untuk memperoleh data verbal cara terbaik yang dapat digunakan adalah teknik simak yang dapat disetarakan dengan observasi , untuk memperoleh data intensional yang diperlukan tentu saja teknik wawancara, sedangkan data social dapat dipinjam segala macam teknik yang biasa digunakan dalam ilmu sosial.

Objek formalnya meliputi kajian strukturalisme sastra, sosiologi sastra, psikologi sastra, semiotika, antropologi sastra, filologi, hingga yang termutakhir, postkolonialisme sastra. Pada sisi ini, objek formal dipandang sebagai unit analisis atau kajian yang digunakan untuk membedah karya sastra. Dengan kedua batasan ini, sastra dapat dikatakan sebagai sebuah ilmu atau keilmuan.

b. Objek Material

Objek Material adalah objek yang menjadi lapangan penelitian. Yang menjadi objek material adalah keseluruhan tuturan manusia atau masyarakat bahasa yang diteliti, sedangkan objek formalnya dapat berupa satuan-satuan tertentu dari tuturan itu beserta relasi-relasi tertentu antar satuan tuturan yang bersangkutan. Tidak tertutup kemungkinan yang menjadi objek formal adalah konteks tutran, intensi penutur, efek tuturan, dan sebagainya , yang kesemuanya ditentukan oleh sudut pandang yang digunakan peneliti terhadap objek materialnya.

Sudut pandang tidak saja menentukan objek material penelitian, melainkan sekaligus mengimplikasikan asumsi-asumsi peneliti mengenai kodrat keberadaaan objek penelitiannya.

Tujuan utama dari karya sastra adalah menghubungkan pembaca dengan dinamika kehidupannya, sehingga terjadi proses pelajaran khusus untuk melakoni kehidupan yang sebenarnya. Pada posisi ini, bahasa menjadi medium utama untuk mengomunikasikan makna-makna bagi pengarang dengan permainan diksi untuk menghasilkan bentuk-bentuk karya yang dimanifestasikan melalui puisi, prosa, dan drama. Sastra hadir dalam spektrum zaman untuk menjelaskan identitas kultural suatu masyarakat tertentu sesuai dengan teritorial sastra itu berkembang. Sebagi suatu diskursus keilmuan, sastra mesti memiliki objek material maupun objek formalnya. Objek material sastra meliputi karya-karya sastra itu sendiri, yakni novel, teks drama, puisi, novelet, karya-karya epos kuno, hingga esai.

4. Ciri-Ciri Penelitian Sastra

(26)

2. Populasi dan sampel tidak mutlak diperlukan, kecuali dalam penelitian tertentu, misalnya penelitian yang melibatkan sejumlah karya atau konsumen

3. Kerangka penelitian tidak bersifat tertutup, korpus data bersifat terbuka, deskripsi dan pemahaman berkembang terus

4. Tidak diperlukan objektivitas dalam pengertian yang umum sebab peneliti terlibat secara terus-menerus, objektivitas terjadi saat penelitian dilakukan

(27)

5. Metode-Metode Penelitian Sastra 1. Intuitif

Metode intuitif dianggap sebagai kemampuan dasar manusia dalam upaya memahami unsur-unsur kebudayaan. Manusia memahami kebudayaan jelas dengan pikiran dan perasaannya, yaitu dengan intuisi, penafsiran, unsur-unsur, sebab akibat, dan seterusnya. Sejajar dengan perkembangan ilmu pengetahuan maka setiap komponen diperbaharui sekaligus disesuaikan dengan objek yang dipahami.

Ciri-ciri khas metode intuitif adalah kontemplasi, pemahaman terhadap gejala-gejala kultural dengan mempertimbangkan keseimbangan antara individu dengan alam semesta. Dikaitkan dengan zamannya yang jelas metode intuitif memiliki hubungan yang erat dengan hermeneutika.

Metode intuitif kontemplatif, demikian juga metode intuitif hermeneutis jelas telah digunakan dalam memahami sastra, khususnya sastra Indonesia sebelum lahirnya strukturalisme.

2. Hermeneutika

Metode ini dianggap sebagai metode ilmiah paling tua yang sudah ada sejak zaman Plato dan Aristoteles. Mula-mula metode ini berfungsi untuk menafsirkan kitab suci. Hermeneutik modern baru berkembang sejak abad ke-19 melalui gagasan Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, Gadamer, Habermas, Ricoeur, dan sebagainya. Dalam sastra dan filsafat, hermeneutik disejajarkan dengan interpretasi,

pemahaman, verstehen, dan retroaktif. Dalam ilmu-ilmu sosial juga disebut metode kualitatif, analisis isi, alamiah, naturalistik, studi kasus, etnografi, etnometodologi, dan fenomenologi. Metode ini ini tidak mencari makna yang benar melainkan makna yang paling optimal. Untuk menghindarkan keterbatasan proses

interpretasi, peneliti harus memiliki titik pijak yang jelas. Penafsiran terjadi karena setiap subjek

memandang objek melalui horison dan paradigma yang berbeda-beda. Keragaman tersebut pada gilirannya menimbulkan kekayaan makna dalam kehidupan manusia, menambah kualitas estetika, etika, dan logika.

3. Metode kualitatif

Metode kualitatif memberikan perhatian kepada data alamiah yang berada dalam hubungan konteks keberadaanya. Landasan berpikir metode kualitatif adalah paradigma positivisme Max Weber, Immanuel kant, dan Wilhlem Dilthey . Objek sosial bukan gejala social sebagai bentuk substantif melainkan makna-makna yang terkandung di balik tindakan yang justru mendorong timbulnya gejala sosial tersebut. Dalam hubungan inilah metode kualitatif dianggap persis sama dengan metode pemahaman atau verstehen.Penelitian kualitatif mempertahankan nilai-nilai. Dalam ilmu sosial, sumber datanya adalah masyarakat sedangkan data penelitiannya adalah tindakan-tindakan. Dalam ilmu sastra, sumber datanya adalah karya sedangkan data penelitiannya teks. Sejalan dengan uraian di atas, ciri-ciri terpenting metode kualitatif . Ciri-ciri yang dimaksud adalah:

(28)

2. Lebih mengutamakan proses dibandingkan dengan hasil penelitian sehingga makna selalu berubah.

3. Tidak ada jarak antara subjek peneliti dengan objek penelitian, subjek peneliti sebagai instrumen utama sehingga terjadi interaksi langsung di antaranya.

4. Desain dan kerangka penelitian bersifat sementara sebab penelitian bersifat terbuka. 5. Penelitian bersifat alamiah, terjadi dalam konteks sosial budayanya masing-masing.

4. Metode Analisis Isi (Content Analysis)

Analisis Isi (Content Analysis) secara sederhana diartikan sebagai metode untuk mengunpulkan dan menganalisis muatan dari sebuah “teks”. Teks dapat berupa katakata, makna gambar, simbol, gagasan, tema dan bermacam bentuk pesan yang dapat dikomunikasikan. Analisis Isi berusaha memahami data bukan sebagai kumpulan peristiwa fisik, tetapi sebagai gejala simbolik untuk mengungkap makna yang terkadang dalam sebuah teks, dan memperoleh pemahaman terhadap pesan yang direpresentasikan. Sesuai tujuannya, maka metode Analisis Isi menjadi pilihan untuk diterapkan pada penelitian yang terkait dengan isi komunikasi dalam sebuah teks. Ada beberapapertanyaan tipikal yang dapat dijawab dengan menggunakan metode Analisis Isi, yaitu:

1. Pertanyaan tentang prioritas/ hal penting dari isi teks, seperti frekuensi, dimensi, aturan dan jenis-jenis citra atau cerita dari peristiwa yang direpresentasikan.

2. Pertanyaan tentang “bias” informasi dalam teks, seperti komparasi relatif tentang durasi, frekuensi, prioritas, atau hal yang ditonjolkan dalam berbagai representasi.

3. Perubahan historis dalam modus representasi.

5. Metode Formal

Metode formal adalah analisis dengan mempertimbangkan aspek-aspek formal, aspek-aspek bentuk yang mengarah pada unsur-unsur karya sastra. Tujuan metode formal adalah studi ilmiah mengenai sastra dengan memperhatikan sifat-sifat teks yang dianggap artistik. Ciri-ciri utama metode formal adalah analisis terhadap unsur-unsur karya sastra kemudian mempertalikan hubungan antarunsur tersebut dengan

totalitasnya. Metode ini sama dengan metode struktural yang berkembang menjadi teori strukturalisme. Metode formal memandang bahwa keseluruhan aktivitas kultural memiliki dan terdiri atas unsur-unsur.

6. Metode Dialektika

Referensi

Dokumen terkait

Tahap pengumpulan data merupakan tahap yang digunakan penulis dalam mengumpulkan data berupa kata-kata maupun kalimat yang menunjukkan citra perempuan pada novel

adalah citra perempuan dalam novel Pengakuan Eks Parasit Lajang karya.. Ayu utami dengan menggunakan tinjauan kritik

Penerapan metode urai kode sastra dalam pembelajaran menyusun teks cerita pendek dapat terlaksana dengan baik karena guru dan peserta didik

Struktur Mikro, yaitumenganalisis wacana secara detail dengan mengamati bagian-bagian terkecil dalam suatu teks, seperti gaya bahasa yang dipakai, bentuk kalimat

Analisis teks dalam penelitian ini merujuk pada usaha pencarian makna dalam tanda-tanda dan simbol-simbol yang terkandung dalam lirik lagu grup band Dewa 19 dengan