• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tujuan Penelitian

Dalam dokumen metode penelitian sastra feminis dan (Halaman 45-48)

MITOS MODERN DALAM ROMAN DIE VERWANDLUNG KARYA FRANZ KAFKA MELALUI ANALISIS LIMA KODE SEMIOTIK ROLAND BARTHES

A. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan mitos-mitos beserta maknanya dalam RomanDie

Verwandlung karya Franz Kafkadengan menggunakan analisis lima kode semiotik Roland Barthes (kode

hermeneutik, kode semik, kode simbolik, kode proairetik, dan kode referensial atau kultural). B. Batasan Istilah

1. Roman merupakan salah satu bentuk karya sastra yang bergenre prosa. Roman memiliki pandangan

tersendiri terhadap kepribadian satu tokoh yang mempunyai ciri khas ataupun kelompok tertentu yang mempunyai perbedaan nasib dalam dunianya. Tokoh-tokoh di dalamnya selalu berusaha menunjukkan eksistensinya karena kehilangan aturan-aturan dan rasa tenteram, adanya permasalahan, perpecahan, bahaya, dan ketidakselarasan dari kesempurnaan dan kenyataan yang ada, baik di dalam maupun di luar dunia yang dibangunnya.

2. Semiotika adalah suatu ilmu yang mengkaji tentang tanda. Tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain (makna) yang dapat berupa pengalaman, pikiran, perasaan, gagasan, dan lain-lain.

3. Mitos adalah sebuah sistem komunikasi, dimana mitos adalah sebuah pesan yang tidak bisa menjadi sebuah objek, konsep, atau ide, dengan kata lain, mitos adalah wacana yang berkonotasi.

4. Leksia (lexias) adalah satuan terkecil pembacaan, sepotong bagian teks, yang apabila diselesaikan dapat berdampak atau memiliki fungsi yang khas bila dibandingkan dengan potongan teks lain di sekitarnya. C. Kajian Teori

1. Roman

Ada perbedaan terminologi antara Roman dalam teori sastra Jerman dan teori sastra Indonesia. Menurut teori sastra Jerman, Roman bisa masuk menjadi roman ataupun novel dalam teori sastra Indonesia. Roman

dalam teori sastra Jerman tidak selalu menceritakan kehidupan seorang tokoh dari lahir sampai akhir hayatnya, tapi bisa juga seperti novel dalam teori sastra Indonesia yang hanya berupa penggalan kehidupan seorang tokoh yang digambarkan dalam cerita tersebut.

2. Semiologi Roland Barthes

Dalam bukunya yang berjudul Mythologies, Barthes mengemukakan tentang adanya mitos. Mitos yang dimaksudkan di sini bukan cerita-cerita rakyat, melainkan adalah sebuah tipe wicara (type of speech). Mitos merupakan sebuah sistem komunikasi, dimana mitos adalah sebuah pesan yang tidak bisa menjadi sebuah objek, konsep, atau ide. Mitos tidak ditentukan oleh objek pesannya, namun oleh cara bagaimana mitos tersebut mengutarakan pesan itu sendiri (walaupun mitos memiliki batas-batas formal yang tidak begitu substansial). Karena mitos adalah wicara (di mana wicara ini sendiri adalah sebuah pesan yang bisa terdiri

dari berbagai bentuk tulisan atau representasi), maka ia tidak berupa wicara lisan saja, tetapi juga bisa berbentuk wacana tertulis, fotografi, sinema, reportase, olahraga, pertunjukan, publikasi, yang kesemuanya bisa berfungsi sebagai pendukung wicara mistis (Barthes, 2006: 152-3).

Secara semiotis, mitos dicirikan oleh hadirnya sebuah tataran kewacanaan yang disebut sebagai sistem semiologis tingkat kedua (second order semiological system). Pada tataran bahasa, yaitu sistem semiologis tingkat pertama, penanda-penanda berhubungan dengan petanda-petanda sedemikian sehingga menghasilkan tanda. Tanda-tanda pada tataran pertama ini pada gilirannya hanya akan menjadi penanda- penanda yang berhubungan pula dengan petanda-petanda pada tataran kedua. Pada tataran signifikasi inilah mitos berada (Barthes via Budiman, 2002: 94).

Bahasa MITOS

(Dari gambar di atas terlihat bahwa dalam mitos terdapat dua sistem semiologis, di mana salah satu sistem tersebut tersusun berdasarkan keterpautannya dengan sistem yang lain: sistem linguistik, bahasa (atau model representasi yang diasimilasikan padanya), yang akan saya sebut sebagai bahasa-objek, karena ia adalah bahasa yang digunakan oleh mitos untuk membangun sistemnya sendiri; dan mitos itu sendiri, yang akan saya sebut sebagai metabahasa, sebab ia adalah bahasa kedua, tempat di mana bahasa yang pertama dibicarakan).

Beberapa kriteria yang bisa digunakan sebagai panduan untuk mencari atau menemukan leksia-leksia dari suatu teks, yaitu:

1. kriteria pertama, pemusatan

Suatu penggalan teks dapat dikatakan sebagai leksia apabila penggalan tersebut berpusat pada satu titik perhatian, yaitu satu peristiwa yang sama, satu tokoh yang sama, dan satu masalah yang sama.

2. kriteria kedua, koherensi

Suatu leksia yang baik merupakan pemenggalan teks yang mampu mengurung suatu kurun ruang dan waktu yang koheren, yaitu dapat berupa suatu hal, keadaan, peristiwa dalam ruang dan waktu yang sama.

3. kriteria ketiga, batasan formal

Ada kalanya suatu leksia dapat diperoleh dengan mempertimbangkan penanda-penanda formal yang memberi jeda, atau batas antara bagian dalam teks tersebut, misalnya ruang kosong atau nomor yang menandai pergantian bab, jarak baris yang menandai pergantian paragraf dan tanda-tanda formal lain yang menandai pergantian suatu masalah.

4. kriteria keempat, signifikasi

Leksia sebaiknya merupakan penggalan yang benar-benar signifikan sebagai sebuah narasi. Sebagai contoh adalah judul yang hanya berupa satu atau dua huruf, bilangan angka, mengadopsi kosakata dari disiplin tertentu, dan lain-lain. Selain itu, hal-hal yang memiliki kadar signifikasi yang tinggi dalam sebuah cerita dapat dipandang sebagai satu leksia tersendiri.

Langkah-langkah analisis terhadap teks akan dilakukan secara mendetail, melalui tahap demi tahap yang secara garis besar terbagi dalam beberapa tahap, yaitu:

1. Penanda 2. Petanda 3. Tanda

I. PENANDA PETANDA TANDA

1. pembagian teks ke dalam satuan-satuan analisis (leksia)

2. identifikasi terhadap leksia-leksia tersebut secara sistematis dan berurutan

penyusunan daftar semua kode pada kartu data dan penafsiran atas leksia-leksia tersebut.

Setiap leksia bisa mengandung satu sampai tiga kode. Dalam menganalisis sebuah teks, Barthes menggunakan lima kode. Kode-kode tersebut adalah sebagai berikut:

1. Kode Hermeneutik (HER)

Kode hermeneutik adalah kode yang mengandung unit-unit tanda yang secara bersama-sama berfungsi untuk mengartikulasikan dengan berbagai cara dialektik pertanyaan-respons, yang dalam prosesnya jawaban atau kesimpulan (cerita) ditangguhkan atau mengalami penundaan, sehingga menimbulkan semacam enigma atau teka-teki. Kode ini menentukan misteri dan ketegangan (suspence)

dengan membantu pembaca mengenali apa yang dianggap sebagai teka-teki dan menyusun rincian-rincian sebagai kontribusi yang memungkinkan terjadinya pemecahan.

2. Kode Semik (SEM)

Kode semik atau konotasi adalah kode yang memanfaatkan isyarat, petunjuk atau kilasan makna yang ditimbulkan oleh penanda-penanda tertentu. Kode ini merupakan penanda yang mengacu pada gambaran-gambaran mengenai kondisi psikologis tokoh, suasana atmosferik suatu tempat atau objek tertentu. Kode semik disebut juga sebagai kode semantik, merupakan kode yang berada dalam kawasan penanda, yakni penanda yang memiliki konotasi atau penanda materialnya sendiri tanpa rantai penandaan pada tingkat ideologis karena sudah menawarkan makna konotasi. Kode ini menjadi penanda bagi dunia konotasi yang ke dalamnya mengalir kesan atau nilai rasa tertentu. Pada tataran tertentu, kode konotatif ini agak mirip dengan apa yang disebut sebagai tema atau struktur tematik. Kode ini juga memberikan stereotip- stereotip kultural (misal: model-model kepribadian) yang membuat pembaca mampu menghimpun kepingan-kepingan informasi untuk menciptakan pelbagai karakter.

3. Kode Simbolik (SIM)

Kode simbolik merupakan kode pengelompokan yang kemunculannya berulang-ulang secara teratur melalui berbagai cara dan sarana tekstual, misalnya: berupa antitesis: hidup dan mati, di luar dan di dalam, dingin dan panas, dan seterusnya. Kode ini memberikan dasar bagi suatu struktur simbolik dan mengatur kawasan antitesis dari tanda-tanda di mana satu ungkapan atau tanda meleburkan dirinya ke dalam berbagai substitusi, keanekaragaman penanda dan referensi, sehingga menggiring kita dari kemungkinan- kemungkinan makna ke kemungkinan lain. Penanda-penanda dalam wilayah ini mempunyai banyak makna

(multivalence) yang dapat saling bertukar posisi (reversibility). Kode simbolik merupakan kode yang

mengatur aspek bawah sadar tanda dan dengan demikian merupakan kawasan psikoanalisis (Barthes, 1990: 19). Dengan kata lain, kode simbolik membimbing eksplorasi dari rincian-rincian tekstual menuju interpretasi-interpretasi simbolik.

4. Kode Proairetik atau Kode Aksi (PRO)

Kode ini merupakan kode tindakan yang didasarkan pada konsep proairesis, yakni kemampuan untuk menentukan akibat dari suatu tindakan rasional yang mengimplikasikan suatu logika perilaku manusia: tindakan-tindakan membuahkan dampak-dampak yang masing-masing memiliki nama generik sendiri, semacam judul bagi sekuen yang bersangkutan. Kode ini mengatur alur suatu cerita atau narasi dan

menjamin bahwa teks yang dibaca mempunyai sebuah cerita, yakni serangkaian aksi yang saling berkaitan satu sama lain.

5. Kode Kultural atau Referensial (KUL)

Kode kultural adalah kode yang mengatur dan membentuk suara-suara kolektif dan anonim dari pertandaan yang berasal dari pengalaman manusia dan tradisi yang beranekaragam. Kode ini dalam pengertian yang luas adalah penanda-penanda yang merujuk pada seperangkat referensi atau pengetahuan umum yang mendukung teks. Unit-unit kode ini dibentuk oleh beranekaragam pengetahuan dan kebijaksanaan yang bersifat kolektif. Dalam mengungkapkan kode ini, analis cukup mengindikasikan adanya tipe-tipe pengetahuan yang menjadi rujukan tersebut, misal: filsafat, psikologi, sosiologi, dan sebagainya. Kode ini merupakan serangkaian kode kultural yang paling mudah dipikirkan sebagai pegangan yang memberikan informasi kultural yang menjadi sandaran teks tersebut.

Dalam dokumen metode penelitian sastra feminis dan (Halaman 45-48)

Dokumen terkait