• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendekatan-Pendekatan Teori Sastra

Dalam dokumen metode penelitian sastra feminis dan (Halaman 31-37)

Pendekatan adakalanya disamakan dengan metode (Ratna, 2004: 53-55). Lebih lanjut, Ratna menguraikan bahwa secara etimologis, pendekatanberasal dari kata appropio, approach, yang diartikan sebagai jalan dan penghampiran. Pendekatan didefinisikan sebagai cara-cara menghampiri objek, sedangkan metode adalah cara-cara mengumpulkan, menganalisis, dan menyajikan data. Dengan dasar pertimbangan bahwa sebuah penelitian merupakan kegiatan ilmiah yang tersusun secara sistematis dan metodis, maka perlu dibedakan antara metode dengan pendekatan.

Pendekatan pada dasarnya memiliki tingkat abstraksi yang lebih tinggi baik dengan metode maupun teori. Dalam sebuah pendekatan dimungkinkan untuk mengoperasikan sejumlah teori dan metode. Dalam hubungan inilah, pendekatan disejajarkan dengan bidang ilmu tertentu, seperti pendekatan sosiologi sastra, mitopoik, intrinsik dan ekstrinsik, pendekatan objektif, ekspresif, mimetik, pragmatik,dan sebagainya. Definisi tersebut bersifat relatif sebab yang jauh lebih penting adalah tujuan yang hendak dicapai sehingga sebuah pendekatan pada tahap tertentu bisa menjadi metode. Pendekatan adalah pengakuan terhadap hakikat ilmiah objek ilmu pengetahuan itu sendiri.

Pendekatan mengimplikasikan cara-cara memahami hakikat keilmuan tertentu. Penelitian secara keseluruhan ditentukan oleh tujuan. Pendekatan merupakan langkah pertama dalam mewujudkan tujuan penelitian. Pada dasarnya, dalam rangka melaksanakan suatu penelitian, pendekatan mendahului teori dan metode. Artinya, pemahaman mengenai pendekatanlah yang seharusnya diselesaikan terlebih dahulu, kemudian diikuti dengan penentuan masalah, teori, metode, dan tekniknya.

a. Pendekatan Mimesis

Dasar pertimbangan pendekatan mimesis adalah dunia pengalaman, yaitu karya sastra itu sendiri yang tidak bisa mewakili kenyataan yang sesungguhnya melainkan hanya sebagai peniruan kenyataan (Abrams, 1958:8). Kenyataan di sini dipakai dalam arti yang seluas-luasnya, yaitu segala sesuatu yang berada di luar karya sastra dan yang diacu oleh karya sastra, seperti misalnya benda-benda yang dapat dilihat dan diraba, bentuk-bentuk kemasyarakatan, perasaan, pikiran, dan sebagainya Luxemberg, 1989:15). Melalui pandangan ini, secara hierarkis karya seni berada di bawah kenyataan. Akan tetapi Marxis dan sosiologi sastra memandang karya seni dianggap sebagai dokumen sosial; karya seni sebagai refleksi dan kenyataan di dalamnya sebagai sesuatu yang sudah ditafsirkan.

Sehubungan dengan pendekatan mimesis, Segers (2000, 91-94) mengungkapkan konsep yang dipakai kaum Marxist. Menurut konsep ini konsep imitasi harus menjadi norma dasar telaah. Kritik Marxist menyatakan bahwa dunia fiksional teks sastra seharusnya merefleksikan realitas sosial. Lebih jauh Segers mempertimbangkan fiksionalisasi dalam telaah teks sastra yang berhubungan dengan pendekatan mimesis. Menurutnya, norma fiksionalitas mengimplikasikan bahwa tanda-tanda linguistik yang berfungsi dalam teks sastra tidak merujuk secara langsung pada dunia kita, tetapi pada dunia fiksional teks karya sastra.

Adapun John Baxter (dalam Makaryk, 1993: 591-593) menguraikan bahwa mimesis adalah hubungan dinamis yang berlanjut antara suatu seni karya yang baik dengan alam semesta moral yang nyata atau masuk akal. Mimesis sering diterjemahkan sebagai "tiruan". Secara terminologis, mimesis menandakan suatu seni

penyajian atau kemiripan, tetapi penekanannya berbeda. Tiruan, menyiratkan sesuatu yang statis, suatu produk akhir; mimesis melibatkan sesuatu yang dinamis, suatu proses, suatu hubungan aktif dengan suatu kenyataan hidup. Menurut Baxter, metode terbaik mimesis adalah dengan jalan memperkuat dan memperdalam pemahaman moral, menyelidiki dan menafsirkan semesta yang diterima secara riil.

Proses tidak berhenti hanya dengan apa pembaca atau penulis mencoba untuk mengetahuinya. Mungkin rentang batas yang riil dengan yang dihadirkan dapat dikhayalkan walaupun hanya sesaat dalam kondisi riil, atau suatu perspektif pada aspek yang riil yang tidak bisa dijangkau jika tidak dilihat. Kenyataan kadang-kadang digambarkan berbeda karena tak sesuai dengan pandangan kenyataan yang menyeluruh. Oleh karena itu, kenyataan tidak dapat dihadirkan dalam karya dalam cakupan yang ideal. Mimesis sama dan sebangun dengan apa yang Coleridge sebut sebagai 'imajinasi yang utama' yang oleh Whalley disebut sebagai hasil dari kesadaran tertinggi.

Melalui penjabaran di atas, dapat diketahui secara konseptual dan metodologis bahwa pendekatan mimesis menempatkan karya sastra sebagai: (1) produk peniruan kenyataan yang diwujudkan secara dinamis, (2) representasi kenyataan semesta secara fiksional, (3) produk dinamis yang kenyataan di dalamnya tidak dapat dihadirkan dalam cakupan yang ideal, dan (4) produk imajinasi yang utama dengan kesadaran tertinggi atas kenyataan.

Secara metodis, langkah kerja analisis melalui pendekatan ini dapat disusun ke dalam langkah pokok, yaitu: (1) mengungkap dan mendeskripsikan data yang mengarah pada kenyataan yang ditemukan secara tekstual, (2) menghimpun data pokok atau spesifik sebagai variabel untuk dirujukkan ke dalam pembahasan berdasarkan kategori tertentu, sesuai tujuan, misalnya menelusuri unsur fiksionalitas sebagai refleksi kenyataan secara dinamis, dan sebagainya, (3) membicarakan hubungan spesifikasi kenyataan dalam teks karya sastra dengan kenyataan fakta realita, dan (4) menelusuri kesadaran tertinggi yang terkandung dalam teks karya sastra yang berhubungan dengan kenyataan yang direpresentasikan dalam karya sastra.

Realitas: sosial, budaya, politik

Karya sastra

b. Pendekatan Ekspresif

Pendekatan ekspresif ini tidak semata-mata memberikan perhatianterhadap bagaimana karya itu diciptakan tetapi bentuk-bentuk apa yang terjadidalam karya sastra yang dihasilkan. Wilayah studi pendekatan ini adalah diripengarang, pikiran dan perasaan, dan hasil-hasil karyanya. Pendekatan inidapat dimanfaatkan untuk menggali ciri-ciri individualisme, nasionalisme,komunisme, feminisme, dan sebagainya dalam karya baik karya sastraindividual maupun karya sastra dalam kerangka periodisasi.

Menurut Abrams (1958: 22) pendekatan ekspresif ini menempatkankarya sastra sebagai curahan, ucapan, dan proyeksi pikiran dan perasaanpengarang. Pengarang sendiri menjadi pokok yang melahirkan produksipersepsi-persepsi, pikiran-pikiran, dan perasaan-perasaan yangdikombinasikan. Praktik analisis dengan pendekatan ini mengarah padapenelusuran kesejatian visi pribadi pengarang yang dalam paham strukturgenetik disebut pandangan dunia. Seringkali pendekatan ini mencari fakta-faktatentang watak khusus dan pengalaman-pengalaman sastrawan yangsecara sadar atau tidak telah membukakan dirinya dalam karyanya tersebut.

Dengan demikian secara konseptual dan metodologis dapat diketahui bahwapendekatan ekspresif menempatkan karya sastra sebagai: (1) wujud ekspresipengarang, (2) produk imajinasi pengarang yang bekerja dengan persepsipersepsi,pikiran-pikiran dan perasaan-perasaannya, (3) produk pandangandunia pengarang. Secara metodis, langkah kerja yang dapat dilakukan melaluipendekatan ini adalah: (1) memberikan sejumlah pikiran, persepsi, danperasaan pengarang yang hadir secara langsung atau tidak di dalam karyanya,(2) memetakan sejumlah pikiran, persepsi, dan perasaan pengarang yangditemukan dalam karyanya ke dalam beberapa kategori faktual teks berupawatak, pengalaman, dan ideologi pengarang, (3) merujukkan data yangdiperoleh pada tahap (1) dan (2) ke dalam fakat-fakta khusus menyangkutwatak, pengalaman hidup, dan ideologi pengarang secara faktual luar teks (datasekunder berupa data biografis), dan (4) membicarakan secara menyeluruh,sesuai tujuan, pandangan dunia pengarang dalam konteks individual maupunsosial dengan mempertimbangkan hubungan-hubungan teks karya sastra hasilciptaannya dengan data biografisnya.

Pengarang karya sastra

ide, gagasan, emosi

pengalaman (lahir dan batin)

Skema hubungan antara karya sastra dengan pengarang c. Pendekatan Pragmatik

Pendekatan pragmatis menurut Abrams (1958: 14-21) memberikan perhatian utama terhadap peranan pembaca. Pendekatan ini memberikan perhatian pada pergeseran dan fungsi-fungsi baru pembaca. Pendekatan pragmatis mempertimbangkan implikasi pembaca melalui berbagai kompetensinya. Dengan mempertimbangkan indikator karya sastra dan pembaca, maka masalah-masalah yang dapat dipecahkan

melalui pendekatan pragmatis di antaranya berbagai tanggapan masyarakat atau peneriman pembaca tertentu terhadap sebuah karya sastra, baik dalam kerangka sinkronis maupun diakronis.

Segers (2000:35-47) dalam kaitannya dengan pendekatan pragmatik, mengawali pembicaraannya dengan uraian seputar estetika resepsi. Menurutnya, secara metodologis estetika resepsi berusaha memulai arah baru dalam studi sastra karena berpandangan bahwa sebuah teks sastra seharusnyadipelajari (terutama) dalam kaitannya dengan reaksi pembaca. Dalam uraiannya, Segers memetakan estetika resepsi ke dalam tiga bagian utama, yaitu (1) konsep umum estetika resepsi, (2) penerapan praktis estetika resepsi, dan (3) kedudukan estetika resepsi dalam tradisi studi sastra.

Estetika resepsi yang termasuk ke dalam wilayah pendekatan pragmatik memuat konsep-konsep dasar seperti yang dikemukanan Jauss dan Iser. Kata kunci dari konsep yang diperkenalkan Jauss adalah

rezeptions undwirkungsasthetik “tanggapan dan efek”. Menurutnya, pembacalah yang menilai, menikmati,

menafsirkan, dan memahami karya sastra. Pembaca dalam kondisi demikianlah yang mampu menentukan nasib dan peranannya dari segi sejarah sastra dan estetika. Resepsi sebuah karya dengan pemahaman dan penilaiannya tidak dapat diteliti lepas dari rangka sejarahnya seperti yang terwujud dalam horison harapan pembaca masing-masing. Baru dalamkaitannya dengan pembaca, karya sastra mendapat makna dan fungsinya.

Tujuh bagian penting yang menjadi dasar dari teori estetika resepsi Jauss, yaitu: (1) pengalaman pembaca, (2) horison harapan, (3) nilai estetik, (4) semangat zaman, (5) rangkaian sastra, (6) perspektif sinkronik dan diakronik, dan (7) sejarah umum. Pengalaman pembaca yang dimaksud mengindikasikan bahwa teks karya sastra menawarkan efek yang bermacam-macam kepada pembaca yang bermacam-macam pula dari sisi pengalamannya pada setiap periode atau zaman pembacaannya. Pembacaan yang beragam dalam periode waktu yang berbeda akan menunjukkan efek yang berbeda pula. Pengalaman pembaca akan mewujudkan orkestrasi yang padu antara tanggapan baru pembacanya dengan teks yang membawanya hadir dalam aktivitas pembacaan pembacanya. Dalam hal ini, kesejarahan sastra tidak bergantung pada organisasi fakta-fakta literer tetapi dibangun oleh pengalaman kesastraan yang dimiliki pembaca atas pengalaman sebelumnya.

Horison harapan muncul pada tiap aktivitas pembacaan pembaca untuk masing-masing karya di dalam momen historis melalui bentuk dan pemahaman atas genre, dari bentuk dan tema karya yang telah dikenal, dan dari oposisi antara puisi dan bahasa praktis. Karya sastra tidak berada dalam kekosongan informasi. Dengan kondisi tersebut, teks karya sastra mampu menstimulus proses psikis pembaca dalam meresepsi teks karya sastra yang dibacanya sehingga bagian dari proses tersebut mengimplikasikan adanya harapan- harapan atas karya yang dibacanya.

Horison harapan atas sebuah karya membuka peluang untuk menentukan karakter artistiknya melalui kesamaan dan tingkat pengaruhnya pada syarat pembaca. Penandaan perbedaan jarak estetik antara horizon harapan yang diberinya dan tampilan suatu karya baru akan mengarahkan potensi-potensi resepsi yang dapat mengakibatkan terjadinya perubahan horison sampai pada penghilangan pengalaman yang umum dikenal atau sampai pada peningkatan kesadaran pengalaman yang baru saja dicetuskan. Kondisi yang mengindikasikan adanya jarak estetik ini dapat menjadi objektif menurut sejarah sejalan dengan spektrum reaksi pembaca dan pertimbangan kritiknya.

Perihal semangat zaman, rekonstruksi horison harapan pada permukaan suatu karya yang telah diciptakan dan diterima di masa lalu memungkinkan pembaca mempertanyakan kembali tentang teks tersebut. Proses pembacaan diarahkan kepada bagaimana pembaca zaman sekarang bisa memandang dan memahami karya tersebut. Pendekatan ini mengoreksi norma-norma klasikal yang tidak dikenal atau memodernisasi pemahaman seni dan menghindari kesulitan yang menyelimutinya.

Teori estetik resepsi tidak hanya memahami bentuk suatu karya sastra dalam bentangan historis berkenaan dengan pemahamannya. Teori menuntut bahwa sesuatu karya individu menjadi bagian rangkaian karya lain untuk mengetahui arti dan kedudukan historisnya dalam konteks pengalaman kesastrannya. Pada tahapan sejarah resepsi karya sastra terhadap sejarah sastra sangat penting, yang terakhir memanifestasikan dirinya sebagai proses resepsi pasif yang merupakan bagian dari pengarang. Pemahaman berikutnya dapat memecahkan bentuk dan permasalahan moral yang ditinggalkan oleh karya sebelumnya dan pada gilirannya menyajikan permasalahan baru.

Keberhasilan linguistik melalui perbedaan dan hubungan metodologis yang menyeluruh dari analisis sinkronis dan diakronis adalah kesempatan untuk menanggulangi perspektif diakronis yang sebelumnya merupakan satusatunya perspektif yang diberlakukan di dalam sejarah sastra. Pembenahan tersebut membuka perubahan dalam perilaku estetik. Perspektif sejarah sastra selalu menemukan hubungan fungsional antara pemahaman karya-karya baru dengan makna karya-karya terdahulu. Perspektif ini juga mempertimbangkan pandangan sinkronis guna menyusun dalam kelompok-kelompok yang sama, berlawanan dan teratur sehingga diperoleh sistem hubungan yang umum dalam karya sastra pada waktu tertentu.

Tugas sejarah sastra yang utuh tidaklah hanya diwakili kesinkronisan dan kediakronisan di dalam rangkaian sistemnya, tetapi juga melihat seperti 'sejarah khusus' dalam hubungan uniknya terhadap 'sejarah umum'. Hubungan ini tidak berakhir dengan fakta yang beragam, diidealkan, satirik, atau gambaran berupa kayalan tentang keberadaan sosial, tetapi hubungannya dapat ditemukan di dalam sastra dari semua waktu. Fungsi sosial sastra memanifetasikan dirinya di dalam kemungkinan riil hanya jika pengalaman kesastraan pembaca masuk ke dalam horison harapannya dari kehidupan praktisnya untuk kemudian pembaca melaksanakan pemahaman atas dunianya. Manifestasi tersebut mempunyai dan mempengaruhi perilaku sosialnya.

Konsep yang dikemukakan Iser (1987: ix-xii; 54) adalah terdapat hubungan dialektis antara teks, pembaca, dan interaksinya. Iser menyebutnya sebagai respon estetik sebab walaupun pusat perhatiannya sekitar teks, tetapi mengarahkan persepsi dan imajinasi pembaca dalam rangka melakukan penyesuaian dan bahkan membedakan fokusnya. Teori ini melihat bahwa karya sastra sebagai suatu yang diformukasikan kembali dari sesuatu yang telah diformukasikan dalam realita. Karya sastra ini melahirkan sesuatu yang tidak ada sebelumnya. Konsekuensinya, teori respon estetik dihadapkan pada permasalahan bagaimana suatu situasi yang tidak diformukasikan dapat diproses dan dipahami. Asumsi dasar dari teori ini adalah teks hanya bisa hadir saat dibaca dan perlu pengujian atas teks tersebut melalui pembaca.

Konsep dialektika respon estetik (Iser, 1987: 20 dan 54), interaksinya dapat dicermati melalui pengertian implied reder, literary repertoire, dan literary strategies Implied reader merupakan model, rol, dan standpoint yang membuat pembaca sebagai real reader menyusun makna teksnya. Repertoire

merupakan seperangkat norma sosial, historis, dan budaya yang dipakai untuk membaca yang dihadirkan oleh teks dan merupakan semua wilayah familiar dalam teks berupa acuan kepada karya-karya yang ada lebih dahulu. Strategi digunakan untuk defamiliarisasi dan untuk mengkomunikasikan teks dengan pembacanya tanpa mendeterminasikannya. Melalui strategi ini disajikan primary code kepada pembaca dan membuat pembaca mengaturnya sendiri sehingga lahir makna yang bervariasi.

Masing-masing teori di atas (Jauss dan Iser) mengarahkan praktik metodisnya. Pandangan Jauss dengan tujuh tesisnya memetakan analisis pada aspek estetik dan historisnya. Ketujuh tesis tersebut merupakan pemodelan yang mengarah tuntutan metodisnya. Adapun pandangan Iser yang menyatakan bahwa terdapat interaksi antara teks dan pembaca dalam proses pembacaan. Teks hanya bisa hadir saat dibaca dan perlu pengujian atas teks tersebut melalui pembaca. Deskripsi tentang teks tidak lebih dari pengalaman pembaca yang terbudaya. Dengan demikian, langkah-langkah yang perlu diikuti sehubungan dengan pernyataan di atas adalah dengan jalan langkah (1) menandai adanya kualitas yang khusus atas teks sastra yang mencirikan adanya perbedaan dengan teks lainnya dan (2) memerikan dan meneliti unsur-unsur dasar penyebab tanggapan terhadap karya sastra.

Karya sastra pembaca

Hubungan antara karya sastra dengan pembaca dalam pendekatan pragmatik d. Pendekatan Objektif

Pendekatan objektif (Abrams, 1978: 26-29) memusatkan perhatian semata-mata pada unsur-unsur, antarhubungan, dan totalitas. Pendekatan ini mengarah pada analisis intrinsik. Konsekuensi logis yang ditimbulkan adalah mengabaikan bahkan menolak segala unsur ekstrinsik, seperti aspek historis, sosiologis, politis, dan unsur-unsur sosiokultural lainnya, termasuk biografi. Oleh karena itulah, pendekatan objektif juga disebut analisis otonomi. Pemahaman dipusatkan pada analisis terhadap unsur-unsur dengan mempertimbangkan keterjalinan antarunsur di satu pihak dan unsur-unsur dengan totalitas di pihak lain.

Konsep dasar pendekatan ini (Hawkes dalam Pradopo, 2002: 21) adalah karya sastra merupakan sebuah struktur yang terdiri dari bermacam-macam unsur pembentuk struktur. Antara unsur-unsur pembentuknya ada jalinan erat (koherensi). Tiap unsur tidak mempunyai makna dengan sendirinya melainkan maknanya ditentukan oleh hubungan dengan unsur-unsur lain yang terlibatdalam sebuah situasi. Makna unsur-unsur karya sasatra itu hanya dapat dipahami sepenuhnya atas dasar tempat dan fungsi unsur itu dalam keseluruhan karya sastra.

Secara metodologis, pendekatan ini bertujuan melihat karya sastra sebagai sebuah sistem dan nilai yang diberikan kepada sistem itu amat bergantung kepada nilai komponen-komponen yang ikut terlibat di dalamnya. Analisis karya sastra melalui pendekatan ini tergantung pada jenis sastranya.Analisis sajak berbeda dengan analisis prosa. Analisis yang digunakan terhadap saja misalnya penelusuran lapis norma, mulai dari lapir bunyi sampai ke lapis metafisik. Teknik analisisnya pun bisa diarahkan pada pembacaan heuristik sampai ke tingkat pembacaan hermeneutik. Adapun terhadap prosa, sesuai dengan sifat fiksi yang merupakan struktur cerita, analisisnya diarahkan pada struktur ceritanya. Struktur yang dimaksud dijajaki

melalui unsur-unsurpembentuknya berupa: tema, fakta cerita (tokoh, alur, dan latar), dan sarana cerita (pusat pengisahan, konflik, gaya bahasa, dan lain-lain.). Pada analisis prosa, tema dan fakta-fakta cerita dipadukan menjadi satu oleh sarana sastra. Di dalam analisisnya, unsur-unsur tersebut ditelusuri dan dikemukakan hubungan dan fungsi tiap-tiap unsur. Tema berjalin erat dengan fakta-fakta dan berhubungan erat dengan sarana sastra.

Keempat pendekatan tersebut mengalami perkembangan sehingga menjadi lebih luas, antara lain: 1. Pendekatan Biografis

Pendekatan ini merupakan studi sistematis mengenai proses kreativitas. Segala hal yang berkaitan dengan pengarang dianggap sangat berpengaruh dalam proses pembuatan karya sastra. Oleh karena itu, penelitian harus mencamtumkan biografi, surat-surat, dokumen penting pengarang, foto-foto, bahkan wawancara langsung dengan pengarang. Pendekatan ini berpandangan bahwa karya sastra identik dengan riwayat hidup, pernyataan-pernyataan pengarang dianggap sebagai suatu kebenaran, biografi mensubordinasikan karya.

Dalam dokumen metode penelitian sastra feminis dan (Halaman 31-37)

Dokumen terkait